Malam hari di tahun 1972. Saya sudah beranjak mau pergi . Ketika tiba tiba gadis itu muncul dari balik pintu. Diantara tirai warna biru. Lampu temaram kamar tamu tak memungkinkan mengamati wajahnya dengan jelas. Saya tergagap ketika MUS, kakaknya memperkenalkannya singkat. “ Kenalkan adikku LIN”. Saya menyambut uluran tangannya dengan ringan. Jabatan tangan biasa. Tak menggenggam erat, juga tak longgar sekali. Wajar wajar saja. Sedang sedang saja. Hati tak tergetar, pikiran tak tergoyahkan. Aku selalu ingin sekokoh batu karang. Dihadapan gadis yang baru kenal.
Hanya ketika dia tersenyum lembut, saya sedikit terpana. Ada getaran ringan. Namun tak jelas juga wajahnya. Ah biarlah kesan itu berlalu. Walau seribu bidadari datang menemuiku, hati ini ingin tetap sedingin salju. Jangan hiraukan senyum itu. Ini prinsip. Aku ini bukan lelaki malang yang terbuang.
Dengan langkah ringan saya keluar dari kamar tamu. Sang kakak berucap “ Terima kasih, mau ngantar ya”. Di pintu pagar, LIN berucap “ Main ke sini Mas kalau ada waktu ”. Saya hanya menggumam ringan. Maunya tahan diri, tahan harga. Bergegas saya naik becak dari jalan Gadjah Mada 25 ke Patangpuluhan, tempat pondokan saya. Dua puluh lima rupiah tanpa tawar menawar. Pantang pemuda masa kini tawar menawar dengan sopir becak dihadapan gadis yang baru dikenal.
Sore itu saya dalam perjalanan dari Ambarawa kembali ke Yogya. Sudah hampir gelap ketika di alun alun Magelang, kondektur mengumumkan kalau bis batal menuju Yogya. Hanya sampai Magelang. Saya dan penumpang lain, dipindah ke bis yang sedang menunggu di barat alun alun. Bis Mustika. Hanya ada satu kursi kosong. Saya duduk di situ. Bersebelahan dengan seorang gadis. Berpenampilan tinggi kokoh. Kuat seperti karateka. Kami berkenalan dan bicara ringkas. Dia kuliah di fakultas hukum UGM. Sampai Yogya sudah gelap. Dia turun di Bausasran. Saya ikut turun. Tak terpikir panjang, saya mengantarkannya ke tempat pondokan di jalan Gadjah Mada. Dia mondok bersama adiknya LIN, katanya kuliah di AKUB.
Malam harinya saya teringat kembali senyum itu. Teringat kata kata itu. Wajah LIN terkesan lembut dalam keremangan malam. Ingin melihat wajahnya secara jelas. Ingin menatapnya tegas. Ingin menyapanya dengan hangat. Beberapa hari berlalu. Saya tak mampu melupakan semua itu. Senyum itu. Tak bisa melupakan sapaannya. Hari Jum’at malam saya bersama teman akrab, AJI, kembali ke sana. Tak juga bisa membuat tenang. Hari berikutnya, Sabtu siang, bersama teman sekuliah At, datang ke sana. Semakin galau. Bah, persetan dengan prinsip prinsip itu. Walau yang kutemui bukan bidadari, hatiku tak bisa sedingin salju. Dia gadis yang lembut sederhana, mahasiswa AKUB. Bukan bidadari yang beramai ramai menemui dalam khayalku. Lagi pula mana ada sih bidadari ramai ramai mau datang menemuiku. Hari hari selanjutnya saya ke tempat pondokan itu, di jalan Gadjah Mada. Dekat bioskop Permata, Yogya. Hati selalu berbunga bunga. Memang hati tak akan pernah bisa sedingin salju.
Hampir empat puluh tahun berlalu. Gadis yang saya kenal waktu itu, sudah tertidur pulas. Dini hari, saya masih terjaga, tenggelam dalam lamunan, tak bisa tidur. Edaaan enggak.
Salam damai,
Ki Ageng Similikithi
Manila, 23 Juli 2011.
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150264496108467
Saturday, August 6, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment