Minggu malam di musim panas tahun 1980. Saya tiduran di kamar di Summerhill House, NewCastle Upon Tyne (UK). Setiap Minggu malam selalu kesulitan tidur. Sengaja jam sembilan masuk kamar setelah lihat TV ramai ramai di ruang bawah. Pak Tarto dan Lisa masih berdua di bawah meneruskan nonton TV. Lisa sedang ambil program master di bidang pertambangan. Dia tinggal di asrama putri, di seberang kota, kira2 15 km jauhnya. Akhir pekan dia menginap mengunjungi pak Tarto. Tak tahu hubungan mereka. Sama sama sudah dewasa. Sudah berkeluarga.
Baru beberapa saat tiduran ketika pintu diketuk keras. Kaget setengah mati saya. Tetapi memang kebiasaan di sana kalau mengetuk pintu selalu keras. Lisa nampak emosional di muka pintu. "Ki tolong antar saya pulang".. Dia nampak gelisah dan marah. "Bukankah pak Tarto yang mau ngantar?". "Nggak mau. Dia sudah masuk kamar. Pintunya juga dikunci?". Saya berlagak pilon, tahu kalau mereka pasti bertengkar hebat. Saya pura pura bertanya "Ada apa sih kok aneh?". Jawabannya setengah teriak. "Tak ada apa apa. Masak saya dibilang gatel. Emangnya saya siapa".
Beberapa minggu lalu dia mengeluh, jika kulitnya kering dan gatal. Waktu itu saya anjurkan periksa ke poli di klinik universitas. Kebetulan dokternya saya juga kenal baik. Saya balik bertanya "Lo belum jadi periksa dokter rupanya?". Jawabnya semakin galak " Bloon kau. Yang dibilang gatel bukan kulit saya tahu". Baru paham saya, ternyata mereka baru saja tengkar. Lisa tak terima dibilang gatel walaupun dia sedang sakit kulit gatal dan kering. Lisa lulus undergraduate dari Praha. Sedangkan pak Tarto baru ambil program doktor di bidang Biologi. Saya juga baru memulai program doktor waktu itu.
Saya coba mengetuk kamar pak Tarto, tetapi terkunci rapat. Tak ada reaksi. Saya intip dari lobang pintu, Nampak dia sudah berselimut sarung rapat rapat. Akhirnya saya antar Lisa, naik bis kemudian ganti kereta cepat Metro. Tak banyak cerita dalam perjalanan. Saya memang tak akrab sekali. Orangnya manja tetapi suka uring uringan. Pernah beli jas hangat kepanjangan. Pas dicoba di rumah saya bilang apa nggak kepanjangan, dia marah sekali. Berhari hari saya didiamkan.
Menjelang tengah malam saya baru sampai rumah. Tak aman malam malam gini keluar sebenarnya. Banyak punk dijalan yang sering bertindak brutal. Kapan itu ada seorang Pakistan, seorang ahli hukum, baru nunggu bis dikeroyok sampai luka berat. Ketika masuk kamar, di bawah pintu saya temukan kertas kartu pustakan bertuliskan, "Kau kejam". Ternyata dari pak Tarto. Tak saya perhatikan, langsung saya tidur. Keesokan harinya kami bertemu di dapur waktu sarapan. Pak Tarto diam seribu bahasa. Saya juga diam, dari pada salah bicara. Dia sepuluh tahun di atas saya. Putri satu satunya sudah mau lulus ITB.
Saya baru bertemu pak Tarto malam harinya. Waktu makan malam. Kami bertiga, dengan seorang lagi teman dari Indonesia, Huta, selalu masak bersama. Dia lagi ambil program Master di bidang biologi laut, dosen salah satu perguruan tinggi ternama di Jawa Tengah. Pak Tarto masih diam saja dengan wajah cemberut. Saya sindir, kok diam saja?. Eh malah si Huta ini yang menyahut "Ki kau kejam". Baru tahu rupanya dia cerita sama si Huta peristiwa semalam. Kejam gimana ? Nggak dhong saya.
Akhirnya pak Tarto bicara kalau dia tak enak hati, kenapa saya mengantar Lisa pulang ke asrama. Saya bilang, dia nggedor kamar saya, nangis2 minta diantar pulang. Pak Tarto sudah mengunci pintu Pak Tarto bilang, jika ada pasangan tetangga yang sedang bertengkar, jangan coba coba ikut campur, malah dikira cari kesempatan. Tak baik itu. Pikir saya, mau cari kesempatan ngapain, dikasih pun belum tentu mau. Sori mek, bukan selera saya. Pak Tarto juga bilang jika beberapa minggu lagi Lisa akan nggabung tinggal di Summerhill bersama kami.
Tanggal satu bulan depannya Lisa betul jadi pindah di apartemen kami. Cuma beda unit, beda pintu keluar masuk. Semua berjalan normal. Tak ada yang istimewa. Hanya suatu sore pak Tarto bilang jika Lisa akan gabung masak sama sama untuk makan malam. Kami tak keberatan. Setiap petang kami makan malam bersama. Ongkos belanja biasanya diperhitungkan tiap akhir minggu. Lisa memang sering belanja, kemudian kami semua mengganti beayanya. Tetapi rupanya dia tak bisa masak. Setiap kali masakan siap pak Tarto selalu mengetok pintunya untuk makan malam. Kadang kadang Huta yang memberi tahu Lisa, jika masakan telah siap.
Semua berjalan biasa saja, kami selalu masak bersama dan makan malam bersama, sambil ngobrol. Beberapa bulan kemudian, dalam rangka penyelesaian disertasinya, pak Tarto harus pergi ke London beberapa hari. Saya, Huta dan Lisa makan malam bertiga. Saya dan Huta yang masak. Lisa paling nyiapkan minuman. Kebetulan akhir pekan itu saya bersama pembimbing saya menghadiri pertemuan reguler di Sheffield. Naik mobil ramai ramai, berangkat pagi, pulang sore hari. Sampai Newcastle sudah menjelang petang. Tiba tiba saja, pembimbing saya ngajak makn malam semua peserta program doktor yang dibimbingnya. Ada empat orang. Kami makan sambil ngobrol sampai jam sembilan malam.
Sampai rumah di Summerhill sudah lewat jam sepuluh langsung masuk kamar. Mau tidur. Jam sebelas malam pintu diketok dari luar. Ternyata pak Tarto, masih berpakaian lengkap dengan jas berdiri di muka pintu. Rupanya dia baru datang dari London. Aturan dia datang sore tadi. Langsung mengeluh, "Gimana sih kamu ini?. Lisa terlantar, nggak ada yang masak". Ternyata pak Tarto datang terlambat dari London, tak tahu apa sebabnya.. Huta ada acara akhir pekan sama teman temannya. Hura hura, dia masih sorangan. "Kasihan Lisa, nggak terurus. Sampai hati kau menelantarkan dia Ki. Kejam kau". Tak saya layani keluhannya. Ngapain, jika memang mau makan malam di ujung jalan ada rumah makan. Di dapur juga banyak persediaan mie.
Peristiwa itu sudah 30 tahun berlalu. Ketika kami pulang ke Indonesia sempat bertemu pak Tarto sepuluh tahun kemudian, saat resepsi pernikahan Huta di Semarang. Saya bersama Nyi dan pak Tarto bersama isteri. Dia cerita kalau Lisa sudah kawin lagi dan punya anak. Dia memperkenalkan saya ke isterinya "Ini Ki, pacar Lisa di NewCastle" Edan batin saya kok bisa ya? Untung Nyi tahu persis cerita tentang peristiwa itu
Saya bertemu dengan pak Tarto terakhir di satu pertemuan ilmiah di Bandung, di awal tahun sembilan puluhan. Saya menerima penghargaan penelitian dari suatu Yayasan. Pak Tarto diundang mewakilki salah satu lembaga yang sangat terpandang di Indonesia untuk menyerahkan penghargaan itu. Kaget dia bertemu saya. Saat memberikan penghargaan itu, dia berbisik "Kau to Ki. Kau memang kejam. Lama saya tak ketemu Lisa". Saya tak bisa menahan tawa. "Gatel saya pak". Nyi kemudian bertanya, kok didepan cengengesan ada apa tadi ? Saya hanya menjawab ringan, Kau memang kejam. Jangan gatel.
Huta sekarang menjadi guru besar di bidangnya. Masih aktif, menjadi dosen teladan beberapa kali. Lisa, saya tak pernah bertemu lagi. . Moga moga dia bahagia. Baru saja saya tanya adik saya, ternyata Pak Tarto sudah lama berpulang. Beliau tokoh besar ilmu pengetahuan di Indonesia. Tak meninggalkan aib apa apa. Ini hanya peristiwa kecil dalam perjalanan hidupnya yang panjang dan penuh warna. Selamat jalan pak Tarto. Beristirahatlah dalam damai. Saya tidak kejam loooo.
Salam damai
Ki AgengSimilikithi
Manila, 20 Agustus 2011.
Saturday, August 20, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment