Sabtu sore di Philippines Navy Golf. Saya bersama seorang teman, Dr Iwan, sedang menikmati makan sore sesudah main delapan belas holes. Sebenarnya tak ada rencana main ok paginya baru tiba dri Yogya. Jam 0530 tiba setelah penerbangan selama 3. 5 jam dri Jakarta. Rasanya masih ngantuk dan capek. Tetapi bosan sendirian di rumah. Akhirnya kami main jam 13 30, bersama dengan dua pemain asal Norwegia dan Australia. Tak sempat banyak ngobrol.
Setiap sabtu sore selalu ada live music di sini. Beberapa kelompok musik dari militer sering main. Yang paling saya sukai adalah dari kelompok marinir. Kali ini hanya ada seorang pianis dan seorang penyanyi wanita dengan suara sangat merdu. Seorang diplomat Australia, panggilannya John, ikut menyumbangkan lagu, When I Fall in Love. Saya lupa nama lengkapnya. Dia kelihatan kenal baik dengan si penyanyi. Di ujung ruangan nampak seorang senator yang sering masuk TV, lagi asyik ngobrol dengan teman2nya.
Sesaat kemudian lagu Jambalaya mengayun merdu menghentak dengan irama mengasyikkan. Gaya penyanyi ini pas benar dengan irama Jambalaya. Ingatan saya melayang ke masa tiga puluh empat tahun silam, tepatnya di tahun 1973. Di suatu petang di kampus Bulaksumur, ada pergelaran musik oleh mahasiswa UGM. Kelompok musik dan penyanyinya semua berasal dri UGM. Saya menonton bersama dengan seorang teman, yang juga ketua senat mahasiswa FK, Achdiat Agoes. Kami berdua masih belum punya pacar, masih dalam tahap pencarian dan PDKT.
Ada penyanyi cantik, saya tidak tahu mahasiswi mana, dengan elegan sekali menyanyi lagu Jambalaya. Irama nyanyian dan gerak tubuhnya demikian menghanyutkan dan mengundang para penonton untuk ikut bergoyang. Namun setiap kali teman saya ini selalu mengingatkan. Hi duduk tenang ! Saya ingat, si penyanyi memakai celana jean keputih putihan dan kaos merah jingga. Serasi dan mempesona. Penonton kebanyakan mahasiswa semua duduk di rumput dengan tertib menikmati irama musik satu per satu. Tak ada kegemparan, tak ada keributan. Semua berjalan tertib.
Saya mencoba cari tahu dari mana penyanyi itu. Teman saya hanya menjawab, “jangan tanya, she is far away from us”. Saya tak tahu apa maksudnya. Biasanya teman ini selalu proaktif, karena kami memang masih dalam taraf pencarian. Aneh kok kali itu dia menyerah duluan, mungkin sudah ditolak sebelumnya. Dua tahun lagi akan lulus, sebagian besar harus tugas di daerah terpencil. Pengin secepat mungkin punya pacar tetap. Sampai detik ini saya tak tahu siapa mahasiswi yang nyanyi itu, dan tak punya nyali cukup waktu itu untuk mencari tahu.
Kampus Bulak Sumur dengan Cemara Tujuh-nya, terpopulerkan lewat novel Ashadi Siregar ‘ Cintaku di Kampus Biru’ . Novel popular ini pernah tampil dalam cerita bersambung Kompas di awal tahun tujuh puluhan. Ada banyak novel Ashadi Siregar, yang berputar hampir semuanya tentang cinta di sekitar kampus. Ada semacam pengaruh menyejukkan dari musim novel2 cinta ini dalam kehidupan anak2 muda dan mahasiswa. Paling tidak di Yogyakarta. Ketertiban dan keasyikan tanpa keributan dalam pergelaran musik tadi mungkin juga terimbas dri pengaruh hipnotis dari novel novel Ashadi. Kampus UGM, kampus biru yang romantis, kampus perdamaian. Tak hanya dikumandangkan lewat musik, juga berbagai kegiatan lain seperti baca puisi, drama, dan kelompok2 sni yang lain. Setiap mahaiswa ingin menjaga kesan itu.
Di awal tahun sembilan puluhan sesudah saya jadi dosen di UGM, dalam salah satu acara pertemuan internasional, saya mengundang peserta ke kampus dan menikmati acara musik di petang hari. Salah satu peserta yang baru saja datang dri Amerika Latin, mengatakan mengapa Indonesia begitu damai ? Orang bisa menikmati acara musik di alam terbuka sore hari ? Di negara di mana dia bertugas, petang hari orang harus tinggal di dalam rumah oleh karena selalu ada kontak senjata antara militer dengan pemberontak atau antara gang2 narkotika. Saya tak membayangkan waktu itu. Tetapi di akhir sembilan puluhan suasana malam yang mencekam juga menghinggapi banyak tempat di Indonesia. Tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Para seniman senior waktu itu menolak novel2 Ashadi sebagai karya sastra. Dianggap terlalu murahan hanya mengungkap kisah roman picisan semata. Dan jawaban Ashadi lugas. ‘’ Saya tak kecil hati karya saya tak diakui sebagai karya sastra, juga tak akan merasa tambah bangga jika diakui sebagai karya sastra ‘’. Nggak tahulah, faktanya para mahasiswa sering mempersonifikasi dirinya seperti tokoh2 dalam novel2 tersebut.
Di kemudian hari dan terutama saat ini, kita juga banyak melihat kenyataan bahwa yang namanya pergelaran musik dan pergelaran akbar selalu sarat dengan keributan. Bahkan sering sering memakan korban jiwa. Saya yakin bahwa mereka yang datang, termasuk yang menjadi korban, sebenarnya hanya ingin menikmati hiburan musik, menikmati musik sesuai dengan irama hatinya. Memilukan jika pergelaran pergelaran seperti ini sering berakhir ricuh dan makan korban. Di Pekalongan tahun lalu, korban jiwa berjatuhan dalam konser musik.
Kita banyak kehilangan nuansa cinta dan damai dalam pergelaran2 akbar. Lihatlah rapat2 akbar yang selalu mengobarkan hujatan dan pesan pesan kebencian. Entah itu oleh organisasi massa atau oleh kelompok agama. Berangkat pergelaran akbar bawa pentungan sama batu. Kalau ada toko, ada polisi, ada penjual makanan di tepi jalan, rasanya mereka pengin nglempar batu, pengin menjarah, dan pengin mengeroyok. Kenyataanya sering terjadi kan ?
Mengapa karya2 yang mengungkapkan cinta dan kedamaian tak bisa masuk sebagai karya sastra ? Mengapa malu mengangkat dan mengumandangkan cinta kasih dan damai dalam pergelaran dan rapat akbar ? Berdosakah jika anak2 muda mempunyai bayangan tentang cinta sewaktu menonton pergelaran atau rapat akbar. Saya masih ingat pergelaran musik di tahun 1973 dengan kenangan yang indah, bukan karena hangar bingar kekacauan. Hanya mengingat penyanyi dengan kaos merah jingga yang begitu anggun. Hanya ingat peristiwanya, tak tahu siapa dia sebenarnya. Tak pernah sempat sampai tergila gila jatuh cinta padanya. Saya sering cerita mengenai peristiwa ini ke isteri saya kemudian. Pertanyaannya, mengapa saya tidak mengajak dia melihat pergelaran itu ? Jawaban saya juga sama. Pertama kami belum resmi pacaran, baru kenalan tahap awal. Kedua saya hanya punya kendaraan sepeda usang tanpa boncengan. Taksi belum ada, naik becak ke Bulaksumur terlalu jauh. Kalau ada taksi pun tak mungkin mampu naik taksi. Uang bulanan selalu defisit. Defisit ini saya tutup dengan menulis di koran dan media massa. Mentraktir pacar harus benar2 masuk dalam rencana bulanan, terutama cash flow yang selalu nyaris.
Inti dari tulisan saya mengapa pergelaran2 akbar saat ini selalu gemuruh dan bergelora dalam suasana panas ? Mengapa tidak mengemasnya dalam kemasan yang menyejukkan dan romantisme anak anak muda. Mungkin keributan dan kekerasan bisa dikurangi dicegah dan dikurangi. Tidak tentang roman picisan, bukan tentang karya sastra atau bukan, tetapi tentang kasih dan perdamaian. Inilah hakekat hidup manusia.
Ki Ageng Similikithi\
Pernah dimuat dalam Kolom Kita Kompas Cyber Media, 20 Maret 2007
Sunday, August 7, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment