Saturday, May 1, 2010

Berpisah di simpang jalan

Tak ingat lagi kapan persisnya. Di suatu sore yang cerah kira kira tiga tahun lalu. Saya bersama Nyi mau jalan jalan ke pantai Manila. Di ruang parkir lantai bawah, sepasang penghuni baru, menyapa ramah “Selamat sore. Apa kabar ?”. Saya menjawab spontan “Magandang hapon. Kabar baik. Kamusta?” Mereka baru masuk beberapa hari di apartemen sebelah. Pintunya persis bersebelahan dengan pintu saya. Mereka tahu mengucapkan salam dalam bahasa Indonesia. Temannya banyak dari Indonesia sewaktu tinggal di Amerika.

Pasangan suami isteri Efren Morelos dan Cynthia Morelos. Mereka baru kembali dari Amerika setelah tinggal di sana lima belas tahun lebih. Kegiatan bisnis mereka dialihkan ke Manila dan menjangkau negara sekitar Filipina, seperti Palau, Papua new Guinea dan negara2 Pasifik lainnya. Bisnis generator dan alat berat. Pasangan suami isteri yang rukun dan serasi. Umur mereka baru di sekitar pertengahan empat puluhan. Mereka mempunyai anak tunggal, masih duduk di SMP. Sering tinggal di asrama. Bisnis berkembang bagus. Kehidupan mereka nampak makmur dengan gaya hidup flamboyant. Khas keluarga tingkat menengah atas Filipina.

Seperti halnya pria Filipina, Efren orangnya kalem dan ramah. Selalu menyapa bila ketemu saya. Senyumnya tak pernah lepas. Cynthia berpenampilan menarik. Gaya berpakaiannya sehari hari cenderung casual. Yang sering saya lihat pakai celana pendek ketat dan t shirt tanpa lengan. Modis dan seksi. Kami tak berhubungan lebih dekat. Hanya kadang kadang bicara bila bertemu di lantai parkir. Yang menarik saya mobilnya. Mereka mempunyai dua mobil, satu X trail dan satunya Moris model seperti mobil Mr. Bean. Beberapa lama kemudian saya tahu kalau Cynthia, berasal dari keluarga kaya jaman Marcos. Sesudah kejatuhan Marcos keluarganya pindah ke Amerika. Karena menyurutnya ekonomi di Amerika, mereka kemudian mengalihkan bisnisnya ke Asia dan kembali ke Manila.

Karena kegiatan usahanya, Efren harus sering bepergian ke luar kota atau ke luar negeri. Mungkin sampai dua minggu dalam sebulannya. Kami pernah janjian mau makan malam dan ball room sama sama. Namun tak pernah kesampaian. Jika di Manila, Efren sering hanya tinggal di rumah saja. Semua berjalan normal. Seperti halnya pasangan pasangan tengah baya pada umumnya. Selalu rukun tak pernah terdengar suara mereka bertengkar, apalagi menjerit histeris. Semua berjalan biasa saja. Namun kira kira satu setengah tahun lalu, ada sedikit perubahan. Kami jarang lagi berjumpa di lantai parkiran. Di akhir pekan Efren keluar sendirian biasanya sekitar jam depalan atau sembilan dan pulang sekitar tengah malam. Cynthia sebaliknya berdiam diri di rumah. Namun menjelang tengah malam dia keluar dan kembali dini hari. Tak ada suara berisik. Hanya saat mereka keluar dan masuk apartemen, suara pintu sangat jelas terdengar. Juga saat mereka berjalan di koridor, selalu nampak dari jendela ruang depan saya.

Tak pernah terpikir perubahan itu. Hanya suatu saat Cynthia secara tak sengaja menyapa di koridor “ Do you still go for ball room Ki ?”. “ Once and a while in the week end. Not more than two hours”. Dia cerita kalau sering ke salah satu bar dengan live music di dekat apartemen. Hanya jalan 5 menit. Tak bicara lebih lanjut. Hanya kemudian acara ke bar tidak hanya di akhir pekan. Hampir setiap malam. Efren juga secara teratur pergi lebih awal, pulang menjelang tengah malam. Di akhir pekan dia sama sekali tak pulang ke rumah. Berbulan bulan irama berjalan dengan tenang. Tak ada suara pertengkaran antara mereka.

Suatu saat saya melihat Efren bicara serius dengan Datoin, petugas keamanan, di lantai parkir. Efren kelihatan rusuh dan murung. Tetapi tetap tersenyum menyapa saya. Bahkan sempat ngobrol sebentar. Kami secara sambil lalu bicara mau saling pinjam mobil selama week end. Saya boleh memakai Moris kecilnya. Dia akan pakai mobil saya. Saya sih senang senang saja. Walau merk Benz, pendinginnya selalu bermasalah. Tak pernah mengenakkan untuk ke luar kota. Malamnya Datoin cerita katanya Efren ketahuan sama Cynthia kalau punya teman wanita. Seorang gadis cantik yang tinggal di Mandaluyong. Makanya dia sering keluar petang hari. “Babaero sir”. Babaero maksudnya sugar daddy.

Habis pertemuan itu saya jarang sekali ketemu Efren. Dia praktis sudah pindah tempat tinggal. Kedua mobilnya ternyata tak dibawa. Milik Cynthia. Cynthia tetap asyik menikmati live musicnya. Selalu sampai pagi. Tak ada hak saya untuk menilai mereka. Kesukaan mereka berbeda. Efren suka musik klasik. Sering sendirian menonton konser di Cultural Centre. Sementara Cynthia suka musik keras. Waktu dan tempat tak pernah pas. Musik klasik dan music keras. Satu di Cultural Centre, satunya di bar. Satunya petang hari, satunya lewat tengah malam. Mereka menjalani perbedaan dengan tenang dan damai selama bertahun tahun. Cuma di Manila resiko jadi lain. Pria segantheng Efren, dari kelompok menengah atas, sering sendirian, dengan cepat akan menjadi daya tarik gadis belia. Datoin bilang, teman wanita Efren masih berumur 26 tahun. Seorang sekretaris. Edaaan. Keberuntungan sering datang tak terduga.

Beberapa bulan kemudian, selama tiga minggu persis, Cynthia tak pernah keluar malam hari. Mengurung diri di rumah sepanjang hari. Datoin bilang katanya mereka sedang dalam proses pengadilan untuk bercerai. Ada detektif swasta yang selalu mengawasi Cynthia di depan rumah. Tak tahu untuk apa. Mungkin di pengadilan jika salah satu pihak berhasil megajukan bukti penyelewengan, mereka akan menang dalam pembagian harta kepemilikan.

Ketika proses pengadilan selesai, beritanya menyebar di apartemen. Dari petugas keamanan. “It is all over Sir. The Morelos, officially divorced”. Petang itu Cynthia pergi ke luar. Tak lama seperti biasanya. Jam sepuluh malam sudah kembali. Tidak sendirian. Bersama seorang pria setengah baya. Mobilnya Benz di parkir di lantai bawah. Saya melihatnya saat turun mau ke ball room. Menjelang tengah malam saat saya pulang, mobil itu masih terpakir di sana. Dua orang pengawal nampak sabar menunggu. Paginya Datoin cerita, tamu Cynthia adalah penasehat hukumnya. Baru jam tiga pagi meninggalkan apartemen. Konsultasi hukum memang bisa bertahan lama. Apa lagi kalau kliennya secantik Cynthia. Edaaan.

Di akhir pekan saya ketemu Cynthia di lantai bawah. “ How is your ball room? You still have your ball room Ki ?”. Saya iyakan pertanyaannya. “ That’s good but not for me”. Tak apa apa. Saya juga tak bernyali mengajaknya kok belum belum sudah bilang duluan nggak minat. Belum tahu dia siape gue.

Jika ingat saat saat pertama kami berkenalan dengan keluarga Morelos, pasangan yang nampak begitu serasi dan rukun, rasanya sayang sekali melihat mereka bercerai. Namun saya menghargai mereka. Bercerai tanpa suara. Tanpa bertempur ramai ramai. Apa lagi sampai konperesi pers segala. Efren dapat teman baru. Sekretaris yang cantik. Cynthia dapat pasangan baru. Bukan penasehat hukum yang sudah setengah baya itu. Tetapi pemain live music di bar yang selalu dikunjungi hampir tiap hari. Juga lebih muda.

Mereka berani memutuskan hubungan perkawinan yang sudah berjalan hampir dua puluh tahun. Bersimpang jalan. Tanpa jeritan histeris, tanpa pertengkaran hebat yang mengganggu tetangga. Tanpa gebug gebugan dan saling menjelekkan. Hanya saling mengintai dengan detektif swasta. Berpisah di simpang jalan dengan damai.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi

Tuesday, April 27, 2010

Selingkuh mengenal warna kulit

Minggu siang benar benar terik. Terseok kelelahan saya menaiki tangga menuju apartemen di lantai dua. Duduk sejenak di anak tangga. Baru saja selesai main golf di Philippines Navy dengan beberapa teman. Kebetulan ada kawan lama berkunjung. Dennis seorang guru besar dri Harvard. Sudah kenal sejak dua puluh tahun lalu di Yogya. Dulu kami sering terlibat dalam berbagai proyek dan penelitian.

Meski hawa panas, hati terasa dingin. Sebelum main tadi saya berseloroh sambil melepas perang urat syaraf. “When the soil is hard and the weather is friendly, I am unbeatable”. Benar benar lega, karena salah satu teman, Gregg, handicapnya banyak dibawah saya (lebih baik), dan saya belum mengalahkannya selama berbulan bulan. Hari ini saya menang dengan 2 stroke.

“Excuse me, sir”. Tiba tiba dua wanita ingin lewat. Satu dari mereka membawa bayi kecil lucu. Khas bayi Afrikano. Melihat seragamnya, dia seorang baby sitter. Wanita yang satunya membawa tas. Mereka berdua turun menuju lantai bawah tempat parkir. Saya berdiri dan beranjak ke atas. Hanya beberapa anak tangga. Terkejut luar biasa ketika seseorang menegur “Hi Ki. Long time no see”. Saya tergagap menjawab sekenanya. “Hi”. Rasa terkejut tak terkendali. Tak bisa bicara sewajarnya. Seolah melihat sesuatu yang mencengangkan. Melisa nama wanita muda itu. Usia nya sedikit di atas tiga puluhan. Wajahnya putih bersih. Kulitnya halus bak pualam. Suaminya seorang pensiunan warga Amerika. Mereka tinggal di apartemen di atas apartemen saya. Saya sering bertemu mereka dan say hallo setiap bertemu di lantai bawah. Tak kenal dekat.

Bukan kecantikannya yang membuat saya terpana tanpa suara. Bukan pula kulitnya yang putih bagai pualam yang membuat saya tergagap seribu bahasa. Tetapi bayi lucu bertampang dan berkulit Afrikano itulah yang membuat saya terhenyak. Semenjak dia melahirkan kira kira enam bulan lalu, saya tak pernah berjumpa dengan pasangan itu. Hanya kadang2 terdengar tangis bayi lirih dari lantai di atas saya. Beberapa kali si Daten, petugas keamanan di bawah, yang sering saya minta nyopir mobil saya, suka bilang “ Sir, the baby of Mr. Hodge is Afrikano”. Mr. Hodge adalah suami Melisa. Orang Amerika kulit putih asli ras Kaukasoid. Bukan African American. Tak pernah saya hiraukan cerita petugas itu. Kalau diituruti tak akan ada habisnya.

Pasangan Melisa dan Hodge nampak rukun dari luar. Walau mungkin tak terlalu serasi. Beda usia terlalu jauh. Tetapi bukan hal yang aneh. Banyak pasangan beda usia jauh. Terutama dengan wanita belia. Asal suka sama suka. Mungkin terikat dalam perkawinan. Mungkin hanya kohabitasi atau hidup bersama. Yang penting ada jaminan hukum. Di Yogya NYI juga pernah bertemu seorang wanita pengusaha kaya umur 65 tahun yang bersuamikan sambungan umur 33 tahun. Beberapa teman saya ekspat yang berusia di atas setengah abad, juga beristerikan sambungan wanita belia. Hak pribadi masing masing.

Bayi lucu bertampang dan berkulit Afrikano tadi adalah bayi Melisa dan Mr. Hodge. Lo kok bisa? Tak bisa dijelaskan dengan gamblang. Setahun lalu saya ingat sewaktu Mr. Hodge berlibur kembali ke negaranya, Melisa sering menerima teman. Kadang2 tinggal beberapa hari. Seorang Afrika yang tampan. Kebetulan setiap lewat unit saya di akhir pekan, saya tak sengaja sering melihatnya melewati tangga yang sama. Sekali lagi, Daten si petugas itu yang suka komentar. “Mrs. Melisa has an Afrikano friend”. “ How come ? Melissa and Mr. Hodge are good couple”. “ Pakitang tao Sir”. Nampak bagus di luar belum tentu nyata di dalam.

Sewaktu ditinggal suaminya libur selama sebulan pulang ke negara asalnya, Melisa katanya juga berlibur dengan teman Afrikano itu ke Boracay. Cerita yang beredar di kalangan petugas keamanan. Saya tak pernah terpikir waktu itu. Hanya sering melamun (ngudoroso, Jawa). “Aja kagetan. Aja gumunan. Aja dumeh. Aja meri”. Jangan kaget. Jangan terkejut. Jangan sok. Jangan iri. Semua sudah ada tempatnya masing masing. Sudah menjadi jalan dan keberuntungan masing masing.

Sejak kelahiran bayinya, baik Mr. Hodge maupun Melisa jarang nampak keluar. Apa lagi bersama. Nggak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Siang kemarin pertemuan saya yang pertama sejak kira kira enam bulan lalu dengan Melisa. Sesudah duduk sebentar minum air dingin di ruangan, barulah saya bisa menarik benang merah cerita cerita yang saya dengar sayup sayup dari petugas keamanan Daten.

Ingatan saya melayang ke belakang. Sewaktu kuliah genetika di tingkat satu di tahun 69. Dosen favorit genetika bertampang simpatik dan ngganteng. Saat memberr kuliah, dia menceritakan satu kasus yang dilaporkan di tahun enam puluhan di Amerika. Ada sepasang bayi kembar dari pasangan kulit putih. Bayi yang satu benar2 asli ras Kaukasoid (kulit putih). Tetapi yang satunya masuk ras Negroid (kulit hitam). Dan wanita itu mengaku dalam wawancara kalau dia memang berselingkuh dengan seorang Afrikano. Bukan hal yang sulit dijelaskan secara genetika dan secara biologis.Kembar dizygotik dengan dua telor. Masing masing dibuahi oleh sel sperma yang asalnya berlainan. Mungkin agak sukar dimengerti saja. Yang saya herankan kok ya bisa bisanya ngepaskan gitu. Antara masuknya sel spermatozoa sang suami sama sang PIL (pria idaman lain). Edaaan.

Tak tahu apa yang akan terjadi dengan pasangan Melisa dan Hodge. Urusan mereka pasti mereka mampu mengambil jalan keluar. Yang susah kalau banyak orang ikut campur. Selama enam bulan ini mereka nampak tenang di apartemennya. Mereka pasti bisa mencari jalan terbaik. Cinta memang tak pernah mengenal perbedaan umur maupun warna kulit. Hanya perselingkuhan saja jika tak hati hati bisa terpengaruh perbedaan warna kulit bo. Tak ada maksud untuk menghujat siapapun dalam tulisan ini. Hanya ungkapan keterpanaan semata mata.

Salam damai. Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh lan aja merinan.
Ki Ageng Similikithi

Saturday, April 24, 2010

Wewangian Arab

Bulan April di Muscat. Hawa musim panas membakar di siang hari. Seharian saya di rumah sama cucu. NYI sering ikut keluar. Antar jemput Laras, cucu sulung. Dia masih di play group. Saya banyak bermalasan di rumah. Hanya kadang ikut jalan jalan di sore hari. Hawa lebih sejuk dengan angin bertiup sepoi. Sore itu kami berenam ke pantai di Mutrah, 20 km dari rumah. Bersih dan teratur. Kami menuju pasar tradisional. Sangat tertata rapi dan bersih. Muscat sangat siap menyambut turis. Dalam kampung dengan gang2 sempit, berderet segala macam toko. Menjual apa saja, mulai perhiasan emas, karpet, kerajinan, dan lain lain. Orang Oman juga sangat ramah dan membantu terhadap pengunjung.

Swiss Arabia. Nama salah satu toko wewangian, menarik perhatian saya. Sejak mendarat di bandara Muscat, saya mencium bau wangi yang kuat. Nyi bilang kalau pria Arab biasanya selalu rajin pakai wewangian. Penjaga toko nampaknya orang India. Setiap ditanya selalu mengiyakan dengan menggelengkan kepala. “Do you have a real traditional Arab perfume?”“ Yes Sir. I have plenty. Natural Arabian essential oil”. Minyak essensial adalah minyak aromatic dari tanaman atau bunga bungaan. Biasanya dibuat dengan proses destilasi. Bedanya dengan parfum modern yang biasa kita pakai, wewangian minyak essensial ini masih asli, tidak tercampur alkohol.

“ This perfume is perfectly suitable for man. It also attracts ladies. Beautiful ladies only”. Bicaranya meyakinkan sekali. NYI menggumam “ Gombal, nek tuku cepet wae tuku”. Saya pilih satu. Baunya lembut menghanyutkan. Lupa dari bunga apa. Tawar menawar sebentar, 100 cc hanya dua puluh enam dolar. Dikasih bonus tiga botol kecil wewangian a 15 cc, dalam kotak kecil yang menarik. “Beli sekalian untuk oleh oleh” NYI menyarankan. Ragu ragu saya. Oleh oleh kok minyak wangi. Terlalu pribadi. Sore itu hanya duduk duduk dipantai. Menikmati angin laut. Akhirnya makan malam di rumah makan Turki. Sempat lihat babut (karpet) sutera dari Esfahan Iran. Indah sekali. Koleksi saya hanya dari Tibet sama Kashmir. Pengin tambah koleksi sutera. Perlu survei dulu karena mahal.

Malam itu tertidur pulas. Pagi pagi dikejutkan dengan teriakan Laras “Ki sama NYI kok tidur melulu sih”. Jam 730, biasanya Nyi ikut ngantar dia ke sekolah. Nyi selalu bangun pagi. Jam lima terus solat. Kali ini ketiduran sampai siang. Saya pikir karena capai semalam jalan jalan. Atau masih jetlag. Pikiran saya melenceng. Jangan jangan karena wewangian Arab itu. Semalam saya coba sebelum tidur. Siapa tahu bisa mimpi indah. Edaaaan. Siang itu saya bilang. Pengin ke Mutrah lagi. Lihat babut sutera itu. Tetapi sebenarnya juga pengin beli wewangian itu lagi untuk oleh oleh.

Selang tiga hari kami kembali ke Mutrah. NYI akan dihadiahi anak saya Wisnu sama Indri. Mereka ke toko emas yang berjajar di lorong lorong sempit. Tetapi sangat teratur. Emas Arab katanya lebih bagus. Tak tahulah. Saya tak paham. Saya mampir ke toko Swiss Arabia. Penjaganya kali ini bukan pria India itu. Seorang wanita Oman. Masih muda. “ Can I have the same traditional Arabic perfume ? The one that attracts ladies”. Dengan tenang dia menjawab. “Certainly Sir. Not only ladies, but also bull, camel and goat”. Mungkin menyindir, mungkin bercanda. Tak usah dipikirin. Saya pilih minyak jasmine. Bisa untuk pria dan wanita. Beli beberapa botol kecil untuk oleh oleh.

Sewaktu pulang ke Manila tak berani saya bawa botol botol parfum itu di tentengan. Resiko. Saya pernah lihat orang Indonesia pulang dri Timur Tengah, parfumnya disita di Changi. Hanya 100 cc yang boleh di bawa. Saya masukkan bagasi bersama babut sutera Persia itu. Koleksi baru.

Minggu berikutnya, hari Senin di kantor Manila. Nara, kolega baru ahli bahan alam, yang ketemu pertama kali. Dia dari Asia Tengah, didikan Jerman. Suaminya seorang geolog didikan Rusia. Strong personality. Sewaktu saya kasih minyak itu dia lantas cerita panjang lebar. Sejak diketemukannya teknologi destilasi untuk ekstraksi minyak aromatik bunga bungaan, kemudian manusia memakai minyak wewangian untuk parfum, perselingkuhan dan penyelewengan merebak dalam kehidupan manusia.. Katanya instink manusia terhadap pheromone alami jadi buyar. Pheromone adalah senyawa biologis endogen yang dikeluarkan dalam bentuk bau yang khas, berkaitan dengan hubungan sosial, terutama hubungan cinta pria dan wanita. Pasangan pasangan akan saling terikat dalam hubungan cinta yang langgeng karena sensasi bau yang khas yang keluar dari masing masing anggota pasangan.

Pheromone hanya dikeluarkan dalam hubungan dalam satu spesies. Jadi tak mungkin pria yang memakai minyak essensial Arab itu juga akan menarik onta, kambing atau sapi. Sendiri sendiri pheromonnya. Amatilah sebelum kuda, kambing, lembu atau anjing itu bercinta, si jantan akan mengendus endus hidung dan mulutnya di daerah kemaluan pasangan wanitanya. Sebenarnya dia ingin mencari bau pheromone alamiah dari pasangannya. Jika bau itu tak terdeteksi, mungkin hubungan seksual bisa batal atau tak mencapai intensitas puncak. Juga jangan berang jika pasangan pria anda nyungir nyungir hidungnya saat mau bercinta. Dia sebenarnya sedang mencari bau pheromone alamiah anda. Mendeteksinya dan membedakannya dari berbagai bau parfum yang anda kenakan. Mungkin pertanda kesetiaan.

Dengan teknologi destilasi manusia menemukan minyak essensial bunga bungaan. Dipakai sepanjang jaman sebagai wewangian dalam tata pergaulan sehari hari. Implikasinya tak tersadari. Kemampuan instink untuk membau pheromone alamiah pasangan cinta jadi kabur. Karena begitu banyak bau yang membanjiri kehidupan manusia. Entah namanya parfum, entah pheromone sintetik komersial. Perselingkuhan dan penyelewengan meraja lela. Spesias spesies lain, seperti burung dara, kuda, onta mungkin tak ada istilah perselingkuhan. Tak ada kemampuan memanipulasi bau pheromone alamiah. Jangan ganti ganti parfum atau wewangian. Pasangan anda bisa bingung atau pura pura bingung. Kalau bercinta terus nyungir nyungir.

Take it easy. Hanya lamunan maya. Salam damai.
Ki Ageng Similikithi

Wednesday, April 21, 2010

Nama saya Richie

“You must be excited to go home, kuya”. Sapanya ramah ketika kami sama sama boarding di bandara DOHA. Hari Sabtu minggu lalu. Dalam perjalanan menuju Manila dengan maskapai Qatar Airways. “My name is Richie. Richie Alvares”. Sapanya lebih lanjut. Campur antara Tagalog dan Inggris. Kuya adalah sebutan untuk kakak. “Would you speak in English, please. My Tagalog is very limited”. Saya membalas ringan. “ I am sorry, I thought you are Filipino”.

Sambil menata begasi dia terus bercerita dengan ceria. Kontraknya di DOHA habis, harus pulang dulu ke Filipina. Nanti akan balik lagi dengan sponsor baru. Tak sempat bertanya kerjanya di mana. Juga tak berniat bercerita banyak. Rasanya masih capai menunggu di bandara selama lebih tujuh jam. Tak ada fasilitas eksekutif. Perjalanan pribadi, maunya irid. Kemudian wanita muda tadi terlibat pembicaraan hangat dengan penumpang disampingnya. Seorang pria Filipina dan satunya seorang Iran yeng berwajah seperti Farah Diba (isteri almarhum Syah Iran). Saya duduk di barisan kursi di seberang mereka.

Pesawat belum take off juga. Saya lihat wanita muda itu saling tukar alamat dengan penumpang2 sebelahnya. Tak ada yang istimewa. Tiba tiba dia bilang ke saya “ Hi kuya, here is my contact number. Can I have yours?. I may need your help”. Dia menyodorkan kertas tissue dengan nama dan nomer hand phone. Dan minta saya menulis nomer tilpon saya di kertas tissue. Ball point saya kebetulan nggak bagus untuk kertas tissue. Tanpa pikir panjang saya berikan kartu nama saya. Kartu nama resmi dengan alamat kantor dan nomer tilpon. Baru kemudian terpikir kalau hal itu tak pernah dibenarkan oleh kantor karena alasan keamanan. Namun tak saya pusingkan. Saya toh tak ada maksud apa apa. Dan saya juga banyak kenalan di Manila. Mau ketipu dari mana? Saya pernah kecopetan saja di Geneva, Beijing dan Los Angeles. Belum pernah di Manila setelah 11 tahun di sana. Tak ada jeleknya kalau bisa menolong, pikir saya.

Hari Minggunya saya beberapa kali terima teksnya. Hanya courtesy message. Saya balas dengan ringan. Mulanya biasa saja. Tetapi hari Senin, mulai aneh pesan pesannya. Pengin ketemu. Saya bilang saya sibuk selama hari kerja. Week end ada waktu di hari Sabtu. Saya biasa makan siang di Pan Pacific hotel karena Nyi tidak di rumah. Dia tinggal di Oman beberapa minggu. “I would be happy to have lunch with you this Saturday. Your Iranian friend is most welcome”. Siapa tahu si Farah Diba mau ikut. Bisa foto sama sama, pasang di FB. Edaaan.

Hari Senin tak ada cerita apa apa yang istimewa. Banyak pesan masuk. Banyak tilpun masuk. Sebagian besar urusan kerjaan. Satu dua dari NYI. “Nek ballroom pasangane ganti ganti lo. Aja wong siji terus terusan”. Pesan rutin, saya iyakan selalu. Tadi malam mulai terima teks aneh aneh dari Richie. Butuh ketemu sekali malam itu. Ada masalah besar. Pikir saya, saya juga tak lepas dari masalah. Tak saya perhatikan pesan pesan itu. Hanya sesekali saya balas ringan dan sopan. Jam tiga pagi tiba tiba saya dikejutkan suara tilpon. Saya lompat setengah mati, saya pikir tilpun dri Nyi. Mata masih kabur tak bisa lihat nomernya. Di seberang sana suara wanita. Suara Richie. Parau dan nggak karuan. Dia mabuk. “I need your help please. I am in Malate. I need some money”. Saya juga tinggal di Malate. Saya katakan, jangan tilpun saya malam malam gini. Teksnya masih beberapa kali datang sampai jam 5 pagi. Tak saya layani.

Pagi tadi saya datang di kantor dengan rasa kantuk. Saya serahkan nomer tipon Richie ke sekretaris saya. Please take care and advise her not to disturb me. Sekretaris saya bilang katanya Richie marah sewaktu dibilang jangan tilpon lagi. “Don’t bother, everybody has her/his own reason to be upset”. Saya juga tak peduli. Maksud saya baik. Saya percaya dan menghormati dia walau hanya bicara sesaat. Dia yang tidak menghargai nilai persahabatan. Saya selalu menghormati nilai persahabatan. Tak pernah saya menyalah gunakan persahabatan untuk kepentingan macam macam. Good bye Richie

Salam damai
Ki Ageng Similikithi

Saturday, April 17, 2010

Cerita lewat dunia maya

Terasa ada sesuatu sesuatu yang hilang. Sejak beberapa bulan terakhir tak sempat lagi menulis dan bercerita di dunia maya. Hanya karena kesibukan semata. Mungkin juga karena jenuh dalam keheningan yang dalam. Tanpa sapaan, tanpa ungkapan. Hanya lamunan yang melanglang. Mencoba lagi untuk menulis ketika ada teman maya yang menanyakan kelanjutan cerita yang belum selesai itu.

Ada rasa bersalah yang menyelinap. Seperti beberapa tahun lalu ketika tak mampu lagi meneruskan tulisan “ Cerita dari balik rembulan”. Cerita tentang kisah perjalanan yang selalu saya sampaikan ketika pulang. Ketika anak anak masih kecil. Ketika Moko masih ada di antara kami. Saya selalu menikmati matanya yang berbinar mendengarkan cerita cerita saya. Ketika dia pergi, saya ingin merangkai kembali cerita cerita itu. Dengan harapan moga moga dia akan mendengarnya dari balik rembulan. Saya berjanji untuk menulisnya kembali cerita cerita itu. Tetapi ketika tak ada kemampuan lagi untuk merangkainya, untuk menulisnya, ada rasa bersalah yang mendera. Tak bisa memenuhi janji itu lagi.

Ketika berbulan bulan terhenti meneruskan cerita perjalanan cinta dua manusia, Bramantyo dan Pipit Rosalina, saya merasa bersalah kepada pasangan yang sebagian besar kisah hidupnya telah mengilhami cerita itu. Pasangan itu juga sudah pergi selamanya. Saya bersalah tak mencurahkan kisah cinta mereka yang langgeng dalam cerita saya “ Kasih Menyusur Waktu”. Saya tak bergeming ketika seseorang memberikan komentar cerita cinta itu berbau picisan. Saya tidak peduli. Mengungkapkan kisah sepasang anak manusia menyusuri perjalanan kasih mereka yang abadi , bukanlah hanya monopoli seorang sastrawan. Saya bukanlah siapa siapa. Bukan sastrawan yang ingin dipuja. Saya hanya seorang manusia yang ingin mengungkapkan cerita tentang perjalanan hidup. Perjalanan Bramantyo dan Pipit Rosalina, yang tokoh tokoh aslinya telah tiada. Dan saya merasa lebih bersalah ketika terhenti. Ketika tak mampu lagi meneruskannya.

Saya juga merasa bersalah terhadap mereka yang telah berbaik hati dan meluangkan waktu membaca cerita saya. Seolah meninggalkan mereka dengan tanda tanya. Tentang kelanjutan kisah itu. Hari hari ini saya mencoba lagi untuk merangkai kata. Untuk meneruskan cerita. Untuk menyapa mereka. Meskipun hanya lewat dunia maya. Dunia tak berbatas. Tak bertepi. Keberadaan manusia hanyalah partikel yang teramat kecil dalam jagad raya. Mungkin hanya dengan cerita cerita itu orang akan ingat akan keberadaan kita.

Salam damai dari Muscat

Friday, April 16, 2010

Kami mau ke Larnaca

Jam menunjukkan pukul tiga sore. Anak muda itu nampak sibuk di note booknya. Perawakannya tinggi, tegap. Dia berdiri di samping saya di ruang internet bandara Doha. Saya pikir orang Filipina. Tak sempat bicara. Sibuk dengan komputer masing masing. Sejenak kemudian seorang temannya mendekat. Mereka bicara berbisik. Bukan bahasa Tagalog. Saya tak bisa menduga duga. Tiba tiba salah satu terbatuk ringan.
"Wah masih bathok". Saya tersadar mereka dari Indonesia, persisnya dari Bali. Orang Bali biasanya tak bisa bilang batuk, tetapi bathok.
" Wah sampeyan dari Bali Bung".
"Iya pak kami berdua dari Bali".
"Mau pulang ke Denpasar?".
"Kami akan ke Larnaca"
"Di mana itu?" Saya tak ingat secara langsung nama kota Larnaca di mana.
"Di Siprus. Sejak pagi tadi sudah nunggu. Connecting flight nanti jam empat tiga puluh lewat Libanon".
" Mengapa lewat Lebanon? Suasananya tak bisa di prediksi".
" Kami menerima tiket yang sudah diatur agen".
" Tugas di mana bung?"
" Kami kerja di kapal pak".
' Selamat jalan. Semoga sukses selalu ya. Hati hati lewat Lebanon".

Kami hanya sempat bicara tak lebih tiga menit. Tak sempat berkenalan. Tetapi dalam hati saya memuji semangat ke dua anak muda itu. Mungkin mereka meninggalkan anak istri demi masa depan mereka. Hidup memang perjuangan. Ingatan saya melayang 30 tahun lalu. Di bandara Paya Lebar, Singapura, seorang Bapak usia di atas enam puluhan bertanya kemana saya pergi. Saya sedang dalam perjalanan ke Newcastle (UK). Hidup memang perjalanan panjang meniti impian.
Selamat jalan anak muda. Semoga impian anda tercapai kelak

Doha, 16 April 2010

Friday, January 29, 2010

Angin lembut pagi hari - Mengenang Wasito


Hari Sabtu menjelang petang di pertengahan tahun 1963. Saya pulang naik sepeda dari Ambarawa. Lupa urusan apa, mungkin pulang les sore hari. Kira kira jam lima sore. Sinar marahari mulai meredup. Angin bertiup ringan. Hawa sejuk terasa segar. Tak banyak pencemaran kala itu. Sepanjang kiri dan kanan jalan masih rindang oleh naungan pohon pohon besar, pohon asam atau mahoni. Belum banyak rumah. Kebun kebun di tepi jalan masih rapat dengan pepohonan. Desa saya Ngampin hanya berjarak kurang lebih tiga kilometer dari sekolah Taman Siswa di Ambarawa. Kala itu saya masih duduk di kelas satu SMP.

Saya bersiul pelan ketika menuruni tanjakan di muka kerkop sebelum menanjak kembali memasuki desa Garung. Angin semakin terasa sejuk menerpa. Di sebelah kanan jalan terlihat hamparan teras indah persawahan di tanah miring desa Sumber. Tiba tiba di ujung jalan sebelum menanjak kembali saya melihat seseorang naik sepeda menurun dari arah berlawanan. Kami berpapasan di turunan jalan yang agak menikung. Dia juga bersiul ringan dengan wajah yang ceria. Tiba tiba pemuda itu melambaikan tangannya dengan ramah “ Haiiii”. Wajah yang saya sangat kenal. Mas Wasito, dua tahun di atas saya. Baru saja lulus dari SMP Pangudi Luhur siang. Dia tetangga dekat saya. Bapaknya adalah guru saya di sekolah rakyat, pak Darmowigoto. Saya pikir dia telah berangkat pindah ke Solo meneruskan SMAnya. Ternyata belum berangkat. Berpakaian celana panjang warna hitam dan baju lengan pendek warna jambon ringan. Saya selalu mengagumi cara berpakaiannya yang selalu rapih dengan warna warna yang serasi. Sesuai selera dan imaginasi anak muda.

Mas Wasito orangnya ramah suka tersenyum. Wajahnya tampan dan lembut. Kami sering berolok olok kalau wajahnya tampan priyayi. Banyak teman sepermainan yang wajahnya bagus(tampan) tetapi tampan ndeso. Yang parah kalau wajahnya tidak tampan tetapi juga ndeso. Maklum ini olok olokan kami teman teman sepermainan yang sama sama anak desa. Orangnya sabar tak pernah terlibat dalam keributan sama sekali. Kadang kadang saya merasa iri oleh karena dia masih bisa sering menikmati jalan jalan dengan sepeda di sore hari di Ambarawa. Dengan baju dan celana panjang bagus. Di kelas satu SMP saya belum punya celana panjang. Sore hari lebih banyak bekerja entah mengurus pemerahan susu atau menarik uang langganan susu. Saya tak pernah ikut mengantar susu. Ada loper susu khusus namanya Reso Darman, yang kalau naik sepeda lambatnya tak karuan. Sehari hari saya lebih dekat bergaul dengan Sunu, adik Wasito. Dia satu kelas dibawah saya di sekoah rakyat. Kami teman sepermainan. Dia yang cerita kalau Wasito akan meneruskan SMA di Solo, tinggal bersama kakaknya. Sunu sekelas dengan adik saya Gondo. Mereka berteman akrab sejak sekolah rakyat. Masih sering bertemu sampai sekarang. Sunu sekarang tinggal di Solo.

Esok harinya, Minggu pagi. Udara cerah. Belum masanya musim kering yang panas. Tetapi sudah lewat musim hujan. Langit selalu nampak biru tanpa tersaput awan. Di selatan nampak sepasang gunung, terlihat kelam, Gadjah Mungkur dan Telomoyo. Saya sedang berada di kebun depan di samping gereja. Dari kejauhan saya melihat orang orang berjalan keluar selepas kebaktian gereja di pagi hari. Anjing anjing saya selalu melolong panjang ketika mendengar dentang lonceng gereja tua itu. Entah pagi entah sore. Pagi itu juga sama, anjing anjing saya melolong berkepanjangan. Saya melihat mas Wasito diantara orang yang pulang meninggalkan gereja. Dia tidak melihat saya oleh karena saya terlindung dibalik pepohonan yang rapat.

Selang beberapa lama kemudian, saya masih di kebun itu. Memangkas ranting ranting muda yang tumbuh di batang pohon kopi Arabica. Di kebun itu memang hanya ditanami kopi jenis Arabica. Di kebun belakang dan sebelah Barat rumah, ditanami kopi jenis Robusta. Penghasilan kopi dan pemerahan susu adalam sumber utama penghasilan keluarga saat itu. Tiba tiba saja terdengar orang berteriak menjerit dari rumah seberang gereja. Mungkin Kamto. “Ada orang jatuh. Tolooong”. Saya bergegas lari menyeberang halaman gereja. Banyak orang berlarian ke arah seberang selatan jalan. Saya lihat Kamto dan adik saya Gondo, ikut berlarian ke arah selatan. Ternyata semua berlari ke arah rumah mas Wasito. “Siapa yang jatuh?”. Saya merasa takut sekali. Gemetar tubuh saya. “Mas Wasito jatuh dari pohon kelapa itu”. Sepertinya Kamto yang berteiak.

Saya melihat ibundanya menangis panik. Tubuh Wasito terbaring diam di dipan di ruang tengah. Banyak orang berkumpul di sana. Semuanya panik. Rencana mas Wasito akan berangkat ke Solo hari itu. Dia mencoba memetik kelapa untuk oleh oleh. Ibundanya sudah mengingatkan, nggak usah memanjat pohon kelapa. Mungkin dia berpikir waktu itu, hanya itu yang bisa dibawa untuk oleh oleh. Adalah kebanggaan anak anak desa jika membawa oleh oleh hasil kebun, saat menengok saudara yang tinggal di kota. Itu juga yang sering kami lakukan.

Diputuskan untuk segera membawa Wasito, yang masih dalam keadaan tidak sadar ke RSU di Ambarawa. Saya tidak ikut mengantar. Hanya kabarnya di RSU Ambarawa, mereka diminta terus saja ke rumah sakit CBZ (sekarang RS Karyadi) di Semarang. Sore itu kami mendengar kalau mas Wasito tidak tertolong jiwanya. Dia meninggal dalam usia sangat muda, mungkin enam belas tahun. Jatuh dari pohon kelapa di halaman sendiri. Hanya beberapa jam sebelum berangkat ke Solo untuk meneruskan sekolah.

Esok harinya saya ikut mengantar jasadnya ke pemakaman. Di bukit Penggung. Saya melihat Sunu begitu terpukul, menangis berkepanjangan. Ibundanya berkali kali pingsan. Saya merenung membayangkan wajahnya yang tampan dan sabar. Saya ingat lambaian tangannya yang hangat dua hari sebelumnya. Lambaian tangan yang tak akan pernah saya lupakan. Angin bertiup lembut mengantar kepergiannya. Dia di makamkan di dekat makam keluarga saya. Hanya berjarak puluhan meter. Selamat jalan mas Wasito, semoga cita citamu terbawa dalam perjalanan kekal di alam sana.

Bulan Desember 2009, saya mengunjungi makan anak saya tersayang Moko di bukit Penggung. Selalu saya sempatkan jika saya pulang ke Ambarawa. Saya berjanji untuk selalu menengoknya sampai perjalanan waktu berakhir. Setelah berdoa di makam Moko, makam ibu dan bapak saya, serta makam kakak saya mbak Ti (pernah saya ceritakan di KOKI), makam sanak saudara yang lain, tiba tiba timbul keinginan menjenguk makam Wasito. Dia berbaring tenang disamping makam ayah bundanya. Dalam keheningan di bawah pohon kamboja. Teringat jelas wajahnya yang ceria dan lambaian tangannya yang hangat menyapa saya hampir lima puluh tahun lalu. Saya membayangkan wajahnya yang lembut dan tampan dan pakaiannya dengan kombinasi warna yang pas. Saya meneteskan air mata. Moga moga dia selalu bahagia dan ceria di alam sana. Dengan wajahnya yang lembut dan tampan. Moga moga bisa bertemu anak saya tersayang Moko. Anak anak muda yang terenggut cita citaya karena Sang Kala yang datang menjemput terlalu awal.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi