Sore hari
yang sejuk tahun 1959. Saya bersama beberapa teman tetangga duduk duduk di
jembatan ini. Kami berempat sama Jumadi, Kamto dan adik saya Gondo. Duduk duduk
di jembatan bambu. Melihat kendaraan lewat antara Ambarawa Magelang. Desa kami
Ngampin hanya dua kilometer dari Ambarawa. Disebelah Timur pekarangan ada
gereja, sore sore seperti itu biasanya ada kebaktian Tidak enak duduk duduk di
sana. Tidak bebas berteriak atau bicara keras.
Mungkin
menjelang jam lima sore. Tiba tiba ada dua pengendara udug besar berhenti dari
arah Magelang. Sang pengendara berbaju putih dibawah jaket kulit dan bertopi,
menggerutu... Sial!. Rupanya ada yg tidak beres pada mesin sepeda motornya.
Udhug besar merk BSA. Temannya juga berbaju putih, agak tinggi badannya, naik Harley
bilang... tenang saja kita perbaiki. Mereka berdua memperbaiki udhug BSA itu.
Rupanya agak kesulitan, kunci tidak lengkap.
Tiba tiba
seorang pengendara lain berhenti dari arah Magelang. Merk juga sama BSA ttp
nampak lebih baru. Ada apa pak ? Bapak mau kemana. Sang pengendara masih lebih
muda menyapa ramah. Dari Yogya mau pulang Semarang. Mesin rewel, kunci tdk
lengkap.
Mari saya
bantu pak. Pengendara muda ini nampak lebih cekatan. Beberapa saat langsung
bisa disarter lagi BSA yang macet itu.
Masih jam
lima istirahat dulu. Hawanya sejuk. Dik tulung golekke degan ijo 3 ya. Dia
bilang ke saya. Saya iyakan tetapi saya tidak bisa panjat pohon kelapa.
Akhirnya seorang tetangga yg nonton disuruh panjat pohon kelapa. Dia ambil 5
kelapa muda warna hijau. Sekalian disuruh buka. Pengendara itu kemudian tanya,
habis berapa? Saya bilang gak usah bayar ttp tolong yang ambil tadi dikasih
upah. Dikasih lima rupiah. Dia mengeluh. Wah kurang ini pak. Kelapanya yg lain
pada gagal tua kalau ada yg diambil degannya. Mosok ? Bapak pengendara itu
terbelalak. Satu tetangga saya yang lain bilang, nggak pak tidak apa apa. Dan
yang punya pohon kelapa itu masnya ini, sambil nunjuk saya. Dancuk kowe ya,
sang pengendara BSA menghardik pemanjat itu.. Terima kasih banyak ya dik. Bilang
sama Bapak nanti di rumah. Sapaan ramah ke saya sebelum ngobrol sama temannya.
Kami
hanya mendengar kan saja. Pengendara yg datang kemudian ternyata dari Magelang
mau pulang ke Semarang. Dia bertanya, bapak bapak tugas dimana ? Kami berdua
dari Divisi Diponegoro Kenal sama boss saya pak, sering ke markas besar juga
dan pakai HD, pak Hamid. Wah kenal lah. Nama saya Toro, kapten Toro. Mereka
sama sama menstart motor gedenya. Lancar semua. Pengendara muda itu pamit
mendahului. Saya berangkat duluan. Jam tujuh ada janji dengan pak Hamid. Salam
untuk pak Hamid, dari kapiten Toro. Pengendara muda langsung melesat dan suara
mesin menggelegar. Kapten Toro dan temannya berangkat pelan. Melambaikan tangan
ke saya.
Tidak
tahu sampai sekarang saya masih terkesan penampilan kapiten Toro. Berwibawa
tenang tdk banyak bicara. Naik motor gede juga tidak tergesa gesa, tidak
gecacalan. Nampak sangat percaya diri dan cekatan.
Mandor
saya saat ini di perumahan Ngampin Griya Permai namanya juga Toro, umur dan
perawakan hampir seperti kapiten Toro. Tidak se ngganteng kapiten Toro. Jika di
kasih instruksi selalu bilang ya ya ya. Tetapi harus diulangi instruksi berkali
kali. Jarang sekali instruksi langsung dikerjakan. Ya memang dia mandor Toro
bukan kapiten Toro yang saya kagumi. Agak ndableg.
Salam
hormat untuk kapiten Toro. Tidak tahu beliau dimana. Apa masih ada oleh karena
tahun 59 itu kira kira umurnya sudah pertengahan tiga puluhan.
Yogyakarta,
29 Juni 2020.
https://www.facebook.com/ki.a.similikithi/posts/10158692590369940
No comments:
Post a Comment