Hari Sabtu menjelang petang di pertengahan tahun 1963. Saya pulang naik sepeda dari Ambarawa. Lupa urusan apa, mungkin pulang les sore hari. Kira kira jam lima sore. Sinar marahari mulai meredup. Angin bertiup ringan. Hawa sejuk terasa segar. Tak banyak pencemaran kala itu. Sepanjang kiri dan kanan jalan masih rindang oleh naungan pohon pohon besar, pohon asam atau mahoni. Belum banyak rumah. Kebun kebun di tepi jalan masih rapat dengan pepohonan. Desa saya Ngampin hanya berjarak kurang lebih tiga kilometer dari sekolah Taman Siswa di Ambarawa. Kala itu saya masih duduk di kelas satu SMP.
Saya bersiul pelan ketika menuruni tanjakan di muka kerkop sebelum menanjak kembali memasuki desa Garung. Angin semakin terasa sejuk menerpa. Di sebelah kanan jalan terlihat hamparan teras indah persawahan di tanah miring desa Sumber. Tiba tiba di ujung jalan sebelum menanjak kembali saya melihat seseorang naik sepeda menurun dari arah berlawanan. Kami berpapasan di turunan jalan yang agak menikung. Dia juga bersiul ringan dengan wajah yang ceria. Tiba tiba pemuda itu melambaikan tangannya dengan ramah “ Haiiii”. Wajah yang saya sangat kenal. Mas Wasito, dua tahun di atas saya. Baru saja lulus dari SMP Pangudi Luhur siang. Dia tetangga dekat saya. Bapaknya adalah guru saya di sekolah rakyat, pak Darmowigoto. Saya pikir dia telah berangkat pindah ke Solo meneruskan SMAnya. Ternyata belum berangkat. Berpakaian celana panjang warna hitam dan baju lengan pendek warna jambon ringan. Saya selalu mengagumi cara berpakaiannya yang selalu rapih dengan warna warna yang serasi. Sesuai selera dan imaginasi anak muda.
Mas Wasito orangnya ramah suka tersenyum. Wajahnya tampan dan lembut. Kami sering berolok olok kalau wajahnya tampan priyayi. Banyak teman sepermainan yang wajahnya bagus(tampan) tetapi tampan ndeso. Yang parah kalau wajahnya tidak tampan tetapi juga ndeso. Maklum ini olok olokan kami teman teman sepermainan yang sama sama anak desa. Orangnya sabar tak pernah terlibat dalam keributan sama sekali. Kadang kadang saya merasa iri oleh karena dia masih bisa sering menikmati jalan jalan dengan sepeda di sore hari di Ambarawa. Dengan baju dan celana panjang bagus. Di kelas satu SMP saya belum punya celana panjang. Sore hari lebih banyak bekerja entah mengurus pemerahan susu atau menarik uang langganan susu. Saya tak pernah ikut mengantar susu. Ada loper susu khusus namanya Reso Darman, yang kalau naik sepeda lambatnya tak karuan. Sehari hari saya lebih dekat bergaul dengan Sunu, adik Wasito. Dia satu kelas dibawah saya di sekoah rakyat. Kami teman sepermainan. Dia yang cerita kalau Wasito akan meneruskan SMA di Solo, tinggal bersama kakaknya. Sunu sekelas dengan adik saya Gondo. Mereka berteman akrab sejak sekolah rakyat. Masih sering bertemu sampai sekarang. Sunu sekarang tinggal di Solo.
Esok harinya, Minggu pagi. Udara cerah. Belum masanya musim kering yang panas. Tetapi sudah lewat musim hujan. Langit selalu nampak biru tanpa tersaput awan. Di selatan nampak sepasang gunung, terlihat kelam, Gadjah Mungkur dan Telomoyo. Saya sedang berada di kebun depan di samping gereja. Dari kejauhan saya melihat orang orang berjalan keluar selepas kebaktian gereja di pagi hari. Anjing anjing saya selalu melolong panjang ketika mendengar dentang lonceng gereja tua itu. Entah pagi entah sore. Pagi itu juga sama, anjing anjing saya melolong berkepanjangan. Saya melihat mas Wasito diantara orang yang pulang meninggalkan gereja. Dia tidak melihat saya oleh karena saya terlindung dibalik pepohonan yang rapat.
Selang beberapa lama kemudian, saya masih di kebun itu. Memangkas ranting ranting muda yang tumbuh di batang pohon kopi Arabica. Di kebun itu memang hanya ditanami kopi jenis Arabica. Di kebun belakang dan sebelah Barat rumah, ditanami kopi jenis Robusta. Penghasilan kopi dan pemerahan susu adalam sumber utama penghasilan keluarga saat itu. Tiba tiba saja terdengar orang berteriak menjerit dari rumah seberang gereja. Mungkin Kamto. “Ada orang jatuh. Tolooong”. Saya bergegas lari menyeberang halaman gereja. Banyak orang berlarian ke arah seberang selatan jalan. Saya lihat Kamto dan adik saya Gondo, ikut berlarian ke arah selatan. Ternyata semua berlari ke arah rumah mas Wasito. “Siapa yang jatuh?”. Saya merasa takut sekali. Gemetar tubuh saya. “Mas Wasito jatuh dari pohon kelapa itu”. Sepertinya Kamto yang berteiak.
Saya melihat ibundanya menangis panik. Tubuh Wasito terbaring diam di dipan di ruang tengah. Banyak orang berkumpul di sana. Semuanya panik. Rencana mas Wasito akan berangkat ke Solo hari itu. Dia mencoba memetik kelapa untuk oleh oleh. Ibundanya sudah mengingatkan, nggak usah memanjat pohon kelapa. Mungkin dia berpikir waktu itu, hanya itu yang bisa dibawa untuk oleh oleh. Adalah kebanggaan anak anak desa jika membawa oleh oleh hasil kebun, saat menengok saudara yang tinggal di kota. Itu juga yang sering kami lakukan.
Diputuskan untuk segera membawa Wasito, yang masih dalam keadaan tidak sadar ke RSU di Ambarawa. Saya tidak ikut mengantar. Hanya kabarnya di RSU Ambarawa, mereka diminta terus saja ke rumah sakit CBZ (sekarang RS Karyadi) di Semarang. Sore itu kami mendengar kalau mas Wasito tidak tertolong jiwanya. Dia meninggal dalam usia sangat muda, mungkin enam belas tahun. Jatuh dari pohon kelapa di halaman sendiri. Hanya beberapa jam sebelum berangkat ke Solo untuk meneruskan sekolah.
Esok harinya saya ikut mengantar jasadnya ke pemakaman. Di bukit Penggung. Saya melihat Sunu begitu terpukul, menangis berkepanjangan. Ibundanya berkali kali pingsan. Saya merenung membayangkan wajahnya yang tampan dan sabar. Saya ingat lambaian tangannya yang hangat dua hari sebelumnya. Lambaian tangan yang tak akan pernah saya lupakan. Angin bertiup lembut mengantar kepergiannya. Dia di makamkan di dekat makam keluarga saya. Hanya berjarak puluhan meter. Selamat jalan mas Wasito, semoga cita citamu terbawa dalam perjalanan kekal di alam sana.
Bulan Desember 2009, saya mengunjungi makan anak saya tersayang Moko di bukit Penggung. Selalu saya sempatkan jika saya pulang ke Ambarawa. Saya berjanji untuk selalu menengoknya sampai perjalanan waktu berakhir. Setelah berdoa di makam Moko, makam ibu dan bapak saya, serta makam kakak saya mbak Ti (pernah saya ceritakan di KOKI), makam sanak saudara yang lain, tiba tiba timbul keinginan menjenguk makam Wasito. Dia berbaring tenang disamping makam ayah bundanya. Dalam keheningan di bawah pohon kamboja. Teringat jelas wajahnya yang ceria dan lambaian tangannya yang hangat menyapa saya hampir lima puluh tahun lalu. Saya membayangkan wajahnya yang lembut dan tampan dan pakaiannya dengan kombinasi warna yang pas. Saya meneteskan air mata. Moga moga dia selalu bahagia dan ceria di alam sana. Dengan wajahnya yang lembut dan tampan. Moga moga bisa bertemu anak saya tersayang Moko. Anak anak muda yang terenggut cita citaya karena Sang Kala yang datang menjemput terlalu awal.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
3 comments:
Hello!
You may probably be very curious to know how one can manage to receive high yields on investments.
There is no need to invest much at first.
You may begin earning with a sum that usually is spent
on daily food, that's 20-100 dollars.
I have been participating in one project for several years,
and I'll be glad to share my secrets at my blog.
Please visit my pages and send me private message to get the info.
P.S. I earn 1000-2000 per daily now.
http://theinvestblog.com [url=http://theinvestblog.com]Online Investment Blog[/url]
Kisah yang mengharukan, kenangan yang tak terlupakan. Begitulah Ki, kita tidak tahu kehendak Tuhan , mengapa orang yang begitu baik, santun, mendahului kita.Semua kekuasan ditanganNya.
Terima kasih pak Mawaradi. Banyak kejadian tiba2 datang tak terduga dalam perjalanan hidup ini
Post a Comment