Wednesday, July 11, 2007

Surat dari Yogya

Ada masa masa di mana saya selalu menunggu surat dari Yogya. Sewaktu saya berada di Newscastle Upon Tyne (UK) di tahun 1980. Waktu itu adalah tahun pertama menekuni program doktor dengan beaya Rockefeller Foundation. Masa masa menanti surat yang cerita tentang anak, tentang rumah (ngontrak), tentang saudara dan tetek bengek lain, dari minggu ke minggu. Baru pertama pengalaman pisah isteri sama anak. Karena masa masa itu saya kemudian seneng sekali novel Surat dari Beijing karangan Pearl S Buck. Pernah diterbitkan secara seri oleh harian Kompas. Juga pernah difilemkan. Roman percintaan klasik yang berakhir dengan perpisahan.

Saya meninggalkan Indonesia pertengahan Januari, setelah menunda keberangkatan selama 3 bulan. Sebenarnya harus berangkat bulan Oktober 1979. Tetapi karena masih harus menyelesaikan proyek proyek penelitian di Yogya, saya baru bisa berangkat bulan Januari 1980. Isteri dan kedua anak saya, Aryo dan Wisnu mengantar sampai Jakarta. Anak bungsu, Moko almarhum masih dalam kandungan ketika saya berangkat. Saya masih ingat benar di bandara Halim, Aryo merengek mau pisah dengan ayahnya, sedangkan Wisnu yang belum genap dua tahun masih belum paham apa yang terjadi.

Waktu itu kami nggak punya tilpon, belum ada email atau HP seperti sekarang. Dari minggu ke minggu surat itu pasti dating, biasanya hari Rabu atau Kamis.. Jarang jarang hari Jumat. Surat itu dikirim dri Yogya kalau nggak Jum’at ya Sabtu. Pengirimya Nyi Ageng tercinta, waktu itu panggilannya Imung. Demikian pula saya juga mengirim surat kalau nggak Jum’at ya Sabtu. Selama setahun lancar tak pernah ada masalah. Kadang saya juga heran mengapa banyak keluhan pengguna jasa pos sekarang.

Dengan aerogramme, atau warkatpos, surat itu selalu datang tepat waktu. Hanya pernah kejadian sewaktu saya menggunakan amplop, saya tulis alamat surat di kanan bawah sampul. Alamat pengirim di kiri atas. Petugas pos di Newcastle bingung, surat itu kembali ke alamat saya sampai dua kali. Akhirnya saya putuskan untuk menggunakan aerogramme saja.

Berita singkat jelas dan langsung ke permasalahan. Hanya tak cukup tempat untuk mengungkapkan kata2 mesra. Tak cukup halaman untuk mengungkapkan cinta. Setiap minggu. Kira kira tiga minggu sekali ungkapan ungkapan cinta ini perlu. Terutama jika tanggal sudah tua. Dibuat sedikit lebih puetis dari biasanya. Tak menggebu nggebu tetapi stabil dan sustainable.

Mungkin sedikit lain irama surat dengan waktu pacaran. Pas pacaran kan yang dibicarakan yang indah indah melulu. Membuat perasaan melayang, seolah hidup selalu indah dan manis. Setelah berkeluarga ternyata banyak masalah sehari hari yang harus masuk agenda surat menyurat. Mana yang anak sakit, mana perpanjangan kontrak rumah, masalah keseharian yang umum dihadapi oleh pasangan muda.

Walau tak semesra jaman pacaran isi surat surat tadi, tetap saja saya membutuhkannya. Saya selalu menunggu surat dengan berdebar. Sampai si tukang antar surat selalu bilang jika ketemu " See your pigeon hole". Tak ada yang berubah sama sekali. Dalam lamunan dan imaginasi saya selalu merindukan seolah olah kami masih pacaran. Apa lagi sudah ada anak, kadang kadang rasa rindu itu begitu mendera. Tak bisa tilpon, tak bisa sms atau email. Hanya suratlah satu satunya perantara. Nyi Ageng masih menyimpan surat surat tersebut, termasuk surat surat semasa pacaran. Dokumen sepanjang masa untuk kami.


Setiap saat seolah ada beban rasa rindu yang membayangi. Walau kita kita sering kumpul kumpul dengan banyak teman dari Indonesia, tetapi tetap saja kerinduan akan isteri dan anak tak bisa dihindari. Hanya lewat surat itu yang menjadi andalan komunikasi kami. Sewaktu di Indonesia saya mendengar sinyalemen bahwa orang Indonesia termasuk yang sangat sedikit menulis surat. Mungkin benar. Tetapi setelah mengalami pisah tersebut saya baru benar benar menyadari bahwa menulis dan menerima surat adalah kebutuhan mutlak.

Kadang setiap surat selalu saya baca berulang ulang, sampai hapal isi dan kalimatnya. Surat yang sangat istimewa saya rasakan sewaktu memberitahu kelahiran anak bungsu Moko (almarhum). Saya memberikan pilihan nama anak bungsu saya tersebut lewat surat. Dia lahir 13 Juni. Nyi Ageng selalu cerita perkembangannya dalam setiap suratnya. Saya melihatnya pertama kali sewaktu dia berumur enam bulan. Saya pulang ke Indonesia untuk melakukan penelitian.

Puluhan tahun telah berlalu, tetapi mengenang masa masa menunggu dan membaca surat dari Yogya, dari isteri tercinta, selalu mengingatkan jarak yang begitu dekat walaupun kami berjauhan ribuan kilometer.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media 7 Juli 2007)

Monday, July 9, 2007

Sumber air keramat

Banyak dijumpai kepercayaan di kalangan masyarakat tradisional yang mengkeramatkan sumber air. Memang lokasi sumber air umumya selalu teduh dengan pohon pohon besar seperti beringin atau gayam. Memberikan kesan magis dan angker. Namun ada alasan bijak dibalik kepercayaan tadi. Ini mungkin merupakan salah satu bentuk local wisdom (pemikiran bijak) dari masyarakat tradisional. Dengan mensakralkan sumber sumber air sebenarnya bertujuan agar sumber sumber air itu selalu dipelihara, jangan sampai rusak. Air mempunyai peran vital dalam kehidupan umat manusia. Sehingga sumber sumber air selalu harus dipelihara dan di hormati. Bagaimanapun caranya. Ini tidak hanya di kalangan masyarakat tradisional di Indonesia, tetapi juga terjadi di banyak masyarakat Asia.

Kisah ini berkaitan dengan pengkeramatan sumber air. Tetapi sedikit menyimpang dari pemikiran bijak lokal tadi. Tak apalah, kapanpun dan dimanapun, kadang terjadi penyimpangan dari pemikiran bijak turun temurun. Itulah kenakearagaman hidup, keanekaragaman manusia. Seperti yang saya ungkapkan dalam tulisan lain, di desa saya, Ngampin, dulu banyak dijumpai sumber air dan pemandian umum. Beberapa masih bertahan sampai kini. Satu yang telah tiada adalah pemandian umum Kali Gayam, di mana kadang saya juga ikut mandi di sana sewaktu masih kanak kanak. Pemandian ini terbagi menjadi dua, saling bersebelahan, satu untuk pria dan satu untuk wanita. Hanya terpisah oleh dinding yang tak begitu tinggi. Tanpa atap penutup sehingga kadang bisa saling melihat apa yang terjadi di balik dinding.

Ada satu tetua di desa kami, tokoh panutan di lingkungannya, dari dukuh Ngenthak. Namanya Sura Jaini. Orang sering memanggilnya dengan panggilan mBah Jaini atau Wa Jaini. Saya lebih akrab memanggilnya Wa Jaini, dari kata siwa atau pakde. Perawakannya kurus tinggi. Umur sudah lanjut, di atas tujuh puluh tahun. Giginya sudah ompong, tinggal beberapa di baris depan, sehingga selalu kesulitan menyedot rokok klobotnya. Namun nampak jelas sisa kegagahan dan ketampanannya di masa muda. Jalannya juga sudah agak terseok.

Dia selalu pakai celana kombor warna hitam sampai di bawah lutut, dengan sabuk kulit yang lebar. Bajunya juga berwarna hitam tanpa kerah. Khas seperti seragam para petani di pedalaman Asia. Saya pribadi punya hubungan dekat oleh karena dia juga bekerja untuk ayah saya membantu mengawasi pekerja yang memelihara hewan sapi, kambing dan kebun kopi. Wa Jaini tinggal sendirian, isterinya sudah meninggal beberapa tahun silam. Bicaranya masih jelas dan lantang. Dia suka banyak cerita dan suka menasehati anak anak, termasuk kami. Terutama mengenai cerita Bharatayuda. Idolanya adalah sang pendeta Durna, guru dari para ksatria Pandhawa. Bahkan secara tak sadar ia sering mempersonifikasi dirinya seperti sang pendeta.

Nasehatnya selalu kental dengan kata kata dari cerita Mahabharata. Ksatria itu harus teguh menghadapi godaan dan tantangan. Jangan menyerah menghadapi kesulitan. Tegakkan kepala dan pandangan ke depan jika berjalan. Jangan “klelat klelet” atau lamban malas malasan.
Suatu hari dia mengatakan akan mengirim sesaji di Kali Gayam. Ini salah satu tradisi agar mata air itu tetap mengeluarkan air yang cukup. Saya minta ijin untuk ikut. Mungkin harinya Kamis, sepulang sekolah kami bertiga ikut Wa Jaini ke Kali Gayam. Jumadi tetangga sebelah timur kebun kami, dan Yatno yang juga cucu dari Wa Jaini. Kami bertiga satu kelas. Waktu itu kalau tak salah ingat, kami duduk di kelas 3 SR Masehi Ngampin.

Pertama kami ikut meninjau mata air Kali Gayam di tepi desa di kaki lereng berbukit. Mata airnya sangat bagus. Air melimpah dalam kolam dibawah naungan pohon gayam dan pohon beringin. Banyak semak belukar sehingga nyamuknya juga sangat mengganggu. Juga banyak kodok (katak) di sekitar situ. Kodok bangkong yang ukurannya besar dan kulitnya kasar. Orang sering mengenalnya dengan nama kodok brontok. Orang hanya biasa makan katak hijau bukan jenis kodok brontok ini waktu itu.

Rupanya Wa Jaini nggak begitu antusias melakukan sesaji di dekat mata air itu. Terlalu banyak nyamuk dan semak semak. Kemudian dia mengajak pindah turun sekitar dua ratus meter dari mata air. Di dekat pemandiannya. Sewaktu kami bertanya, yang diberi sesaji mata airnya atau pemandiannya, dia menjawab singkat, sama saja. Pokoknya memberi sesaji, toh akhirnya akan diterima di sononya.

Kira kira jam dua siang, pemandian itu sepi. Para lelaki biasanya sudah kembali ke sawah atau ke ladang. Para wanita sibuk di rumah masing masing. Pemandiannya sendiri sangat alami. Ada kolam penampungan berukuran puluhan meter menampung air jernih yang mengalir dari mata air tadi. Empat pancuran mengalir deras dari kolam itu ke masing masing tempat mandi pria dan wanita. Tepian kolam terpelihara bersih, nggak banyak semak belukar, nyamuk ataupun binatang lain seperti kodok.

Wa Jaini mulai memberikan isyarat agar kami duduk tenang di belakang agak jauh dari tempatnya dia sesaji. Kami duduk di lokasi yang agak tinggi di tepi kolam. Pandangan kami bebas melihat ke kolam atau ke pemandian tanpa atap itu. Wa Jaini mulai upacara ritualnya, membakar kemenyan, menyusun bunga bunga mawar dan telasih, sambil menggumam membaca mantera mantera khusus yang kami juga tidak tahu maksudnya.

Pas asyik asyiknya meakukan upacara sesaji, tiba tiba ada seorang wanita mau mandi. Saya agak lupa namanya, mungkin Ginem, wanita muda yang ditinggal suaminya transmigrasi ke Lampung bertahun tahun. Dia tinggal di dekat pemandian itu. Nampaknya dia tak juga merasa terganggu dengan kehadiran Wa Jaini yang sedang sesaji di situ. Sekalian ngalap berkah, mungkin.

Sementara Wa Jaini yang lagi asyik sesaji, dia tahu dan bisa melihat jelas ada wanita mandi disitu. Namun demikian dia makin asyik membaca manteranya sambil kepalanya bergerak geleng2 kiri kanan, semakin cepat. Sekarang mungkin seperti gerakan orang dugem minum ekstasi. Pendeta yang mumpuni tak akan tergoda wanita mandi, walaupun berkulit putih bersih dan berbadan semok. Kami yang melihat dari belakang percaya sekali akan kehandalannya. Kami saja yang kadang tak bisa menghindar melihat wanita mandi itu, dan kadang kadang mendesah “ edaaan”.

Nampaknya wanita itu tak merasa risih sama sekali. Dengan bebas dia bergerak menggosok badannya dengan sabun dan bernyanyi kecil. Mungkin ada semacam sinyal listrik yang keluar dri Ginem yang sedang mandi yang kadang bergerak erotis, yang sampai ke sang pendeta. Oleh karena berkali kali Wa Jaini menoleh ke bawah ke arah Ginem yang sedang mandi.

Kira kira lima belas menit berlalu. Upacara sesaji telah usai. Ginem juga selesai mandi. Tak ada insiden, tak ada gangguan. Mission accomplished. Yang sesaji, upacara selesai dengan lancar. Yang mandi segar kembali. Tetapi Wa Jaini rupanya nggak beranjak berdiri. Dia tetap duduk terpekur di tempat itu. Seperti biasanya dia memakai celana kombor hitam. Tak biasa waktu itu memakai celdam untuk pria seumur dia dengan celana kombor itu. Karena itu maka dia perlu beberapa waktu untuk menenangkan diri, calming down. Kalau saja dia cepat cepat berdiri, bentuk celana kombor itu pasti tidak proporsional lagi karena satu dan lain hal yang tak bisa dikatakan di sini..

Setelah semuanya selesai. Dia berucap singkat. Lancar kan semuanya ? Jangan suka main main di dekat mata air atau di dekat pemandian umum ya, nasehatnya. Pesan normatif saja. Dan kami semua mengiyakannya tanpa pernah menanyakan bagaimana reaksinya sewaktu sesaji dan melihat wanita mandi itu. Dia pasti punya banyak alasan. Dari pada sesaji di dekat mata air, banyak nyamuk, lihat banyak kodok. Mengapa tidak didekat pemandian saja, lebih rapi, lebih bersih. Kalau ada gagguanpun, tubuh semok dan kulit kuning bersih, lebih mengasyikkkan. Wa Jaini memang tetua yang pragmatis.

Pesan dari tulisan ini singkat. Sumber air selalu harus dijaga dirawat dan dihormati seperti halnya pesan pemikiran bijak lokal turun temurun. Orang yang dituakan seperti W Jaini pun hanyalah manusia normal. Kalau toh sedikit melenceng dari petuah pemikiran bijak lokal tadi, jangan sampai meninggalkan misi utamanya, dalam hal ini sesaji.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 4 Juli 2007)

Thursday, July 5, 2007

Dari Yogya ke Solo

Menjelang tengah malam pengin nulis. Tentang sesuatu yang terkini. Petang tadi sama Nyi Ageng ke Solo. Ketemu Lembayung sambil makan nasi liwet Solo. Habis baca tulisan Awwal, tentang tempe dan sambal balado warna hijau, penasaran saya. Terus pengin merasakan nasi liwet Solo. Berbagai warna warni lombok rebus, tak hanya warna hijau selalu di sajikan bersama dengan nasi liwet itu. Siang tadi saya sms Lembayung, ada waktu nggak, dia bilang siap asal lewat jam setengah enam. Kantornya tutup jam setengah lima.

Saya dan Nyi Ageng sering sore sore seperti ini ke Solo mencari nasi liwet waktu masih muda dulu. Sekarang sudah begitu jarang. Waktu saya ajukan usulan untuk ke Solo, cari nasi liwet, dia masih ragu ragu. Saya tambahkan kalau mau ketemu sama penulis Koki dari Solo, the spirit of Java, Lembayung, dia mantep mau pergi. Sewaktu saya tambahi, sambil membine cinte mase tue, dia langsung pengin.

Berangkat pukul 0415, hujan rintik rintik sepanjang jalan. Mestinya romantis mengenang masa masa pacaran dulu. Nyi Ageng malah tertidur sepanjang jalan. Nggak tahu mimpi apa dia. Sekali dua kali saya bangunkan. Akhirnya saya diamkan, bisa bisa malah salah alamat nanti. Nggak kurang akal, toh saya bisa mbayangin tokoh tokoh imaginer masa lalu dalam lamunan saya. Bukan salah saya bo ! Apa boleh buat, tahi kambing bulat bulat.

Sampai di Solo hampir jam enam. Nyamperin Lembayung di Pajang, di bagian barat laut kota. Kami berempat dengan adik Lembayung, Ayu menuju Keprabon. Nasi liwet Bu Wongso Lemu. Jangan tanya rasanya ya. Makan nasi liwet sementara suara hujan di luar seperti bernyanyi lirih. Sambil ngobrol sama penulis koki yang beken ini, Lembayung. Gadis yang ceria.

Ceritanya mengalir lancar keluar seperti aliran sungai Bengawan Solo. Cerita macam macam, tentang Solo, tentang keluarga, tentang kerjaan, tentang bunga. Nggak tentang pacar. Seperti biasa saya nggak banyak bisa bercerita. Kemampuan saya bercerita agak terbatas. Tetapi saya dan Nyi Ageng sangat menikmati petang bersama Lembayung dan Ayu. Tiba tiba ada sms dari Bu Dewi di Kuching, tanyanya “Lembayung itu pria atau wanita sih?”. Saya jawab “Bu saya tak bekompeten menjawab, silahkan tanya sendiri”. Saya sambungkan langsung bu Dewi dan Lembayung, “Bu saya ini putri Solo asli lho”.

Kami makan sampai kira kira jam delapan, kemudian putar putar selatan kota Solo, lewat keraton dan alun alun selatan. Sewaktu lewat Mloyokusuman, saya cerita. Dulu saya pernah nyambangi putri Solo dari njeron beteng itu, namanya Dewi Sekartaji Galuh Tjandrakirana dan Dewi Saraswati. Tetapi setiap ketemu, saya selalu kalah wibawa. Tangan saya selalu tersilang di depan bila bicara dengan mereka. Sampai mereka pernah tanya “Ki sampeyan itu mau pengin nglamar jadi punakawan pa ?”. Tapi ya gimana, memangnya nyali nggak ada, ya mundur terhormatlah.

Sekilas ingatan saya melayang ke masa lalu. Saya selalu merasa kecil di kota ini. Selalu saya ungkapkan dalam cerita cerita yang lalu. Entah sekolah negeri, entah dhemit di rumah sakit pun kok nggak ada yang mau sedikit ramah sama saya. Saking kecilnya nyali saya waktu itu, si Ratri gadis cantik penari yang pernah saya ceritakan itu, sudah begitu dekat wajahnya di muka ku, saya tak berani bereaksi. Padahal saya masih jomblo waktu itu. Pikiran saya jangan jangan dia kuntilanak jadi jadian. Habis ngasih kode mau gituan kok di samping kuburan dan dia pakai parfum bau kenanga menyengat. Kecewa kemudian nggak ada gunanya. Masa lalu.

Juga sewaktu habis lulus dokter saya melamar ke UNS di Solo. Berjam jam menunggu petugas personalia untuk menyerahkan berkas lamaran, namun yang ditunggu nggak kunjung muncul. Sewaktu ada seseorang datang menemui saya, dengan antusias saya sambut dia, saya pikir petugas personalia. Eh tahunya dia cuma pengun pinjam korek api.

Beberapa tahun kemudian saya pernah diundang untuk menjadi pembicara dalam acara yang diselenggarakan UNS untuk sivitas akademika. Kabarnya pertemuan itu akan dibuka oleh Rektor sendiri. Pikir saya ini kesempatan saya untuk unjuk gigi di muka khalayak Solo. Sokur kalau pegawai yang minta api rokok itu datang, malah mau saya kasih rokok sekalian.

Saya datang datang bersama Dekan dri Yogya. Saking antusiasnya, saya ajak Dekan sama sama dengan mobil saya. Berangkat dengan mantap dan hati berbunga. Kesempatan untuk unjuk gigi bicara lantang di Solo. Dasar sial, begitu masuk kota, mobil yang barusan servis itu kok mogok di batas kota. Kami berdua yang pakai setelan jas lengkap terpaksa nyandra angkot yang lewat supaya diantar ke kampus. Nggak ada lagi nyali untuk unjuk gigi dan bicara lantang. Sewaktu Dekan cerita dalam awal ceramahnya mengenai insiden batas kota itu, semua hadirin tertawa. Saya hanya nyengir.

Tetapi kedatangan saya ke Solo kali ini sangatlah menyenangkan. Jelas karena Lembayung yang ceria dan mungkin juga karena nasi liwet itu. Salam sayang dan terima kasih dari Ki dan nyi Ageng untuk Lembayung dan Ayu. Salam damai untuk kokiers

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 30 Juni 2007)

Wednesday, July 4, 2007

Sumber air yang menyusut

Minggu ini saya cuti. Ada keponakan yang nikah di Ambarawa. Pesta pernikahan di kebun rumah tua peninggalan orang tua. Kami bersaudara sepakat agar pesta nikahnya dilangsungkan di tempat itu. Sekalian nostalgia, oleh karena kami bersaudara semua sudah meninggalkannya puluhan tahun lalu. Sepuluh tahun lalu ada teman yang meminjam menggunakan rumah tua itu untuk pesta nikah. Kelihatan khas, dekat dengan alam.

Selain menghadiri pesta nikah itu saya punya tiga agenda tambahan. Pertama, nyekar makam anak saya Moko. Kedua, melihat sumber sumber air di sekitar desa kami, Ngampin. Ketiga, merekam riwayat hidup dan kejadian gugurnya adik sepupu saya, Kresno di tahun 1945, dalam pertempuran melawan pasukan Sekutu di Bedono. Kalau mungkin mengunjungi makamnya. Seumur hidup saya belum pernah mengunjungi makamnya. Kisah tragisnya akan saya tulis untuk kenangan generasi muda dalam web keluarga besar kami (http://djojosastro.info/). Saya pun nggak pernah tahu peristiwa itu kejadiannya sebelum saya lahir.

Sewaktu saya masih kecil, saya ingat betul, banyak sumber air di sekitar desa kami. Sumber air Kali Guwo, Kali Gayam, Kali Soca, Penggung, sumber sumber di Seneng dan Glagahombo (http://djojosastro.info/_kisah.php?parameter=3&id=12). Ini belum termasuk sumber sumber air yang dimanfaatkan oleh beberapa kelompok keluarga. Hampir di setiap dusun ada beberapa sumber air alam dengan tempat pemandian umumnya.

Keluarga kami mengalirkan air dari Kali Guwo, kira kira satu kilometer dari bukit di belakang kebun kami. Namun tetap saja saya sering mengunjungi dan memanfaatkan pemandian umum tersebut, terutama Kali Gayam. Ada kenangan tersendiri menggunakan pemandian umum tersebut. Tempat pemandian umum kadang berfungsi sebagai tempat ngrumpi. Siapa yang berbadan bersih, siapa yang bertubuh bahenol. Banyak kisah menarik yang akan saya ceritakan di lain kesempatan sekitar pemandian umum.

Ciri khas situasi sumber air adalah adanya pohon besar dan rindang, entah pohon gayam atau pohon beringin. Mungkin karena akar pohon pohon ini mempunyai kemampuan untuk menahan air. Sehingga tempat tempat sumber air dan pemandian umum ini selalu menarik untuk kumpul terutama di sore hari.

Saya juga ingat betul rumah kakek saya di desa Kalijambe, Bringin, ada pemandian umum di mana sumber airnya dialirkan dari bukit dimuka rumah kakek. Setiap sore pasti ramai di sudut kebun kakek yang luas itu oleh karena para tetangga yang antre mandi. Karena sempitnya waktu, saat ini saya hanya sempat mengunjungi sumber air dan pemandian umum Kali Soca, Kali Gayam dan Kali Guwo.

Pohon pohon rindang di kali Soca sudah nggak terlihat. Katanya sudah lama mati dan nggak pernah ditanami lagi. Sumber air dan pemandian umumnya terawat bagus. Ada semacam usaha kolektif untuk memelihara sumber air dan pemandian ini. Debit air bagus. Saya tak tahu berapa pastinya, tetapi penduduk tak merasakan adanya penyusutan air dalam tahun tahun terakhir. Banyak kolam ikan di sekitar sumber air.Kurang lebih seratus lima puluh meter dari sumber air Kali Soca ada sumber air lain, lebih kecil, Kali Soca Lanang. Namun pohon pohon besar di sekitar Kali Soca sudah tergantikan oleh pemukiman penduduk.

Pemandian umum Kali Gayam di mana saya dulu sering mandi, sudah tidak ada lagi. Saya telusuri sumbernya kira kira dua ratus meter dari bekas pemandian itu. Masih terlihat dua pohon beringin dan pohon gayam. Tetapi sumber airnya sudah sangat menyusut. Airya tak melimpah ruah seperti dulu. Juga kerindangan pohon pohon itu sudah tak seperti dulu. Pohon besar yang dulu ada sudah tergantikan dengan pohon2 baru yang masih kecil. Menyedihkan. The drying water.

Di bawah sumber air ini dulu ada kolam alam yang dalam dan mengalirkan air ke bawah lewat sungai kecil di tepi desa. Kolam alam (blumbang) itu dulu nampak sangat angker. Walaupun kami kadang2 mandi berenang di bagian hulu sungai itu, tetapi tak ada yang berani mandi di kolam itu. Saya masih ingat ada dua kali, gadis bunuh diri terjun ke kolam angker itu. Kolam angker itu sekarang nampak sangat merana. Aliran airnya tak bergemuruh lagi, hanya gemericik lirih dalam kesunyian.

Demikian pula sumber air Kali Guwo nggak seperti dulu lagi. Hutan di sekitarnya sudah banyak tergunduli. Pohon pohon tua sudah tak kelihatan lagi, digantikan dengan jenis pohon produksi seperti albasia. Dasar sungai yang berupa batu hitam nampak jelas, hanya rembesan rembesan kecil air yang mengalir ke bawah. Aliran air bersih di sungai itu sangat deras waktu itu. Suara air yang gemuruh menuruni bukit itu tak terdengar lagi. Air menghilang. Di bagian lain, dasar sungai kering merana.

Sepupu saya mengatakan bahwa di desa kelahirannya, desa Candi di Ungaran, ada sumber air besar di bawah naungan pohon pohon beringin besar. Sumber air itu juga dimanfaatkan untuk sumber air leiding bagi penduduk kota di dekatnya. Sayangnya pemanfaatan dalam skala produksi ini tak dibarengi dengan konservasi memadai. Sesudah pemasangan saluran air minum modern dri sumber ini, pohon pohon beringin mati merana.

Kisah sedih menyusutnya air tawar juga nampak jelas di Rawa Pening. Saya bukan ahli hidrologi, tetapi dapat melihat menyusutnya air rawa ini dari waktu ke waktu. Rawa itu kini sebagian besar dipenuhi oleh eceng gondok. Ada manfaat eceng gondok bagi penduduk sekitar memang. Tetapi menyusutnya air rawa nampak jelas sekali. Di tahun enampuluhan, kedalaman air di pelabuhan perahu mungkin sampai beberapa meter.

Penjaganya dulu selalu menakut nakuti kami jangan main di daerah itu oleh karena kedalaman airnya sampai enam meter. Mungkin tak sedalam itu, tetapi yang jelas perahu masih bisa berlabuh di situ. Sekarang bangunan pelabuhan itu berjarak berpuluh atau beratus meter dari tepian air. Beberapa kilometer di seelah timur Rawa Pening, ada desa Telogo. Ibu saya pernah cerita, di tahun awal kemerdekaan dulu ada telaga indah disitu, di antara kebun karet. Telaga itu hanya tinggal bekasnya saja kini.

Menyusutnya sumber air di pulau Jawa sudah diketahui banyak pihak, walaupun Indonesia belum masuk negara yang mengalami krisis air tawar. Secara global diperkirakan 1.1 milyard penduduk dunia tidak mempunyai akses akan air minum yang aman (http://en.wikipedia.org/wiki/Water_crisis) .

Masalah ketidak cukupan suplai air tawar telah menjadi krisis global. Pengaruhnya sangat serius bagi kesehatan maupun bagi produksi makanan. Ini merupakan salah satu krisis lingkungan yang dihadapi oleh umat manusia. Kita semua bisa ikut menyumbang peran untuk ikut mengatasinya, dalam kapasitas masing masing. Penduduk sekitar sumber air, mungkin perlu diberdayakan bagaimana mempertahankan sumber sumber air itu. Kami pernah bekerjasama menanam pepohonan di lereng bukit di desa saya.

Mungkin ada Kokiers, seperti bung Haryadi, dapat menyumbang tulisan mengenai air, konservasi dan pengelolaan sumber air.

Salam dari Yogya. Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 2 Juli 2007)

Friday, June 29, 2007

Cerita tentang pondokan

Sewaktu kuliah di Yogya, saya selalu mondok atau indekost. Tahun pertama dan kedua di Gerjen. Tahun ke empat sampai selesai di Patangpuluhan. Tahun ke tiga saya tinggal di satu hotel melati di jalan Pajeksan, sekalian kerja ngurusi hotel itu. Tetapi hanya tahan setahun. Susah, ada saja urusan setiap harinya. Malam malam digedor polisi, ada tamu yang mabuk, ada pasangan tuis yang tengkar. Ada saja kejadian yang nggak enak. Nggak pernah tidur enak.

Di Gerjen, bapak kost mempunyai kelompok musik keroncong. Anggotanya sebagian besar sudah manula. Latihan seminggu sekali. Lagunya jarang ganti. Latihan satu lagu, berulangkali berminggu minggu. Sekarang latihan, seminggu kemudian lupa lagi. Kami yang kost kadang ikut menikmati, kadang menderita mendengar lagu yang sama terus menerus.

Bapak kost di Patangpuluhan adalah pensiunan pejabat PU di jaman Belanda. Ceritanya hanya berkisar pengalamannya membuat jalan paling miring di Dieng Wonosobo. Kami mendengar cerita yang sama sampai puluhan kali. Sering bicara bahasa Belanda dengan kami, walau mereka tahu kami nggak ada yang isa bicara Belanda.. Nggak dhong saya.

Ibu kostnya agak keras dan sedikit feodal.. Komentarnya kadang agak miring jika lihat teman kami yang bergaya agak kampung. Ada taktik mengatasi ini. Jika ditanya pekerjaan orang tua oleh ibu kost, informasinya di marked up. Teman dari Bojonegoro, bapaknya pensiunan pegawai kantor pos, bilang pensiunan wedana. Teman dari Nganjuk, Bapaknya guru SD, bilangnya dosen di salah satu universitas ternama di Jawa Timur. Ada yang bapaknya mempunyai usaha penjahit, di mark up jadi dokter bedah. Ada yang Bapaknya menjabat sebagai carik desa, di marked up jadi Sekda. Itu saja kadang komentar ibu kost masih sok sering nylekit. “”Kok nak Ki ini, gayanya nggak seperti dari keluarga priyayi ya ?”” Beliau memang dari kelas priyayi.


Di akhir pekan yang sepi kadang saya main ke tempat kost teman teman dri Solo, di Wirobrajan. Amad, teman kuliah yang pernah saya singgung sebelumnya, bersama 4 orang dari Solo kost bersama di Wirobrajan. Semua lajang belum punya pacar.

Suatu Sabtu malam, saya main ke tempat kostnya. Dia belum tahu kalau saya putus sama pacar, Eni waktu itu. "Kok malam Minggu ke sini ? Traktir Bung, saya baru krisis nggak ada uang". Saya jawab pelan kalau saya juga sedang krisis. 'Bajinguk, nek pas ora duwe duwit dolan nggonku, nek duwe duwit nang nggone wedokane"Saya hanya diam dan membaca buku di kamarnya. Dia kelihatan sedang kesal saat itu.

Ada dua orang yang tinggal di kamar seberang. Satu mahasiswa ekonomi dan satunya di Farmasi. Kami kenal dekat dengan mereka. Yang kuliah di ekonomi, bapaknya pensiunan di PJKA, mantan kondektur kereta api. Rupanya mereka sedang ketamuan seorang teman, juga dari Solo, yang kuliah di biologi. Bicaranya banyak, orangnya supel. Cerita kalau dia sudah punya pacar di Solo, kelas dua SMA. Sudah dikenalkan sama orang tua si pacar, seorang kepala sekolah. Tetapi dia diberi tahu kalau nggak boleh mesra mesraan dulu ok si gadis masih SMA.

Katanya, ibu si gadis begitu bangga waktu diperlihatkan kartu mahasiswanya. Amad nggrundel " Gemblung, duwe kartu mahasiswa nggo golek bojo" "Bilang sama ibunya, boleh nggak nyosor, tetapi mulut ditutupi pakai masker" ? "Punya pacar jarikan gitu aja berkoar kemana mana." Rupanya kami juga keki, ketika mereka manggil bakmi, kita nggak ditawari. 'Orang kok ngurusi wadhuk sendiri. Nggak punya solidaritas kost kost an'. Bau bakmi godog itu memang sedap dan merangsang benar.

Selesai melayani ketiga teman sebelah, tukang bakmi itu kembali memukul wajan menawarkan jualannya sambil teriak nyaring "Miiiiiiiii". Amad, nggak bisa menahan dongkol. Tukang bakmi itu persis di depan jendela kamar. Dia keluar dan teriak. "Ora klonthangan, bengak bengok nggurahi wong turu. Minggat sing adoh ". Tukang bakmi hanya menggerutu, bilang kalau di tidak main main, dia jualan. Tetapi dia keder ok Amad badannya memang besar, berat 95 kg, tinggi 185 cm. Ada sepeda tersandar di bawah jendela. "Ki ini sepedamu ?'' "Bukan, saya tadi jalan kaki". Amad menaruh sepeda itu di belakang dan menutup pintu agar nggak bising.

Saya ketiduran di kamar Amad. Rupanya dia juga tertidur di meja tulis. Tiba tiba bangun jam 1100 malam, ada suara gaduh di luar Seorang polisi dengan senter besar sedang bicara dengan teman teman tadi. Sepeda tamu itu hilang. Yang punya langsung lapor polisi. Amad menjelaskan kalau sepedanya di lempar di loteng, biar aman. Polisi itu marah marah. "Mahasiswa nggak tahu aturan. Main main kebablasen". Amad diam saja, Sesudah polisi itu pergi, dia ngomong sama teman teman itu. "Kamu sudah untung nggak hilang sungguhan. Saya lempar ke loteng kan aman, Harusnya anda terima kasih".

Bergaul dengan teman yang sedikit urakan ini banyak membantu di waktu kesepian. Kami memang bersahabat erat. Kadang kalau ke Solo sama sama mereka di akhir pekan. Saya hanya bayar tiket kereta diskon lewat salah satu teman tadi. Topi kondektur bapaknya selalu dibawa di dalam tas. Setiap naik kereta rupanya dengan modal topi itu dia nggak pernah beli tiket.

Begitu ada pemeriksaan karcis, topi kondektur itu dikeluarkan dari tas. Kemudian memberi beberapa lembaran uang untuk kondektur yang bertugas. Uang tiket yang dia kumpulkan biasanya dipakai beli tahu bacem sewaktu kereta berhenti di Klaten.

Ada beberapa kali saya ikut pulang ke Solo bersama mereka. Saya biasanya akan turun di stasiun Purwosari. Saya nginap di rumah kakak saya di Kota Barat. Di Solo biasanya sudah nggak sempat ketemu lagi. Acaranya lain lain, gengnya sudah lain. Saya bertemu teman teman semasa SMA. Umumnya mereka serius, nggak ada yang bergaya semau gue. Tahun tahun kuliah di Yogya, saya nggak lepas hubungan dengan kota Solo. Perjalanan Yogya Solo dengan kereta Kuda Putih menjadi kenangan tak terlupakan. Masa kost di Yogya memberikan kenangan tersendiri. Gaya hidup pas pasan, jauh dari gaya priyayi gedhongan, terutama menjelang akhir bulan.

Salam sejahtera untuk Kokiers dan mereka mereka yang pernah jadi anak kost.

Ki Ageng Similikith

Dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 26 Juni 2007)

Thursday, June 28, 2007

Rintihan pilu dari Trisakti dan Semanggi

Puisi ini saya untai untuk mengenang mereka yang gugur di Trisakti dan Semanggi. Mereka gugur untuk sebuah harapan bagi bangsa tercinta. Mereka bertanya dan menghadap kekuasaan yang tak bertepi. Kekuasaan tanpa nurani.

Saya terhenyak ketika ada pembaca Koki yang menanyakan apakah puisi saya Anak Anak Bangsa dari Plaza de Mayo, juga diperuntukkan korban Trisakti dan Semanggi ?

Ikut gugur di Semanggi adalah anak kawan saya di SR dan SMP, Arief Prijadi. Putraya adalah Wawan (Bernardino Realino Norma Irmawan). Ibu Wawan, Sumarsih, menjadi tokoh pejuang hak azasi manusia di Indonesia).


Rintihan pilu dari Trisakti dan Semanggi

Anak anak muda itu hanya ingin tahu
Sampai kapan kekuasaan itu akan berlalu
Yang tak berbatas langit dan tak berbatas mimpi
Yang terkemas dalam surat perintah rapi
Terbungkus palsu sejarah berwindu windu.

Anak anak muda itu hanya ingin bertanya
Mengapa kelaparan semakin mendera
Mengapa derita dan kekurangan merajalela
Di tengah maraknya segala tipu daya penguasa
Merengguk harta bumi nusantara.

Mengapa anak anak negeri masih juga menanggung lapar
Mengapa anak anak negeri masih juga mati di usia dini
Mengapa ibu ibu muda terpaksa pergi untuk selamanya
Anak anak negeri ini tak mampu lagi berdiri
Tak mampu berlari mengejar mimpi
Seonggok harapan menggapai masa depan selalu sirna
Bersama derita dan kemelaratan.

Tak ada kata kata bijak
Tak ada pesan pesan sejuk
Tak ada ungkapan menjawab sedu sedan itu
Hanya hiruk pikuk retorika
Teriakan lantang demi stabilitas kekuasaan.

Ledakan peluru yang menyambut anak anak muda itu
Terenggut hidup dari impian masa depan
Terenggut kasih dari bapak, ibu dan saudara
Terenggut persahabatan di akhir perjalanan
Ah hidup ternyata begitu singkat untuk mereka
Gugur dalam dekapan bumi pertiwi
Nama nama mereka terukir dalam sejarah
Rintihan kesunyian mereka akan terngiang sepanjang masa.
(Manila, 24 Juni 2007)

(Dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 25 Juni 2007)

Saturday, June 23, 2007

Nyanyian sunyi

Bangun pagi kesepian terasa mendera. Buka email, ada beberapa pesan singkat masuk. Sapaan ringan dan salam sejahtera dari teman maya yang belum pernah bertemu. Dan mungkin tidak akan pernah bertemu. Dalam kesenyapan seperti ini kadang merupakan kesempatan yang pas untuk mengenang kembali peristiwa masa lalu. Kesalahan, kesedihan dan kebahagian yang telah berlalu bersama waktu.

Saya menulis singkat kisah perjalanan bersama Endang EMSA tiga puluh tahun lalu. Episode antara 1972 - 1974. Saya kirimkan ke Koki Kompas Cyber. Nggak tahu akan muncul kapan. Nggak penting. Yang penting bisa menelusuri kembali kisah kisah itu dan menuangkannya dalam tulisan. Tak ada niat untuk selalu mengingatnya. Hanya dalam kesunyian kesunyian seperti inilah, kesempatan untuk merenung kembali masa lalu. Kesunyian adalah nyanyian kehidupan. Saya akan menikmatinya sepanjang perjalanan waktu yang tersisa. Nyanyi sunyi, nyanyian jiwa yang mengembara di dunia maya.

Minggu depan akan ke Yogya dan Ambarawa. Khusus akan melihat sumber sumber air di sekitar Ambarawa. Jika sumber sumber air itu menyusut, itulah pertanda susutnya dukungan lingkungan untuk manusia. Perjalanan waktu juga bersama menyurutnya lingkungan dan sumber air.