Friday, September 14, 2007
Puisi ibu Nana
Tergugu aku mendekap kalbu
Bagaikan seonggok debu
aku merangkak pilu keharibaanMu
Ya Robbi.......bahagia hati ini
menyambut Ramadhan tiba
mengisi detik demi detik waktu
sebelum ajal menjemputku
Ya Robbi, aku bahagia
Ijinkan kulalui Ramadhan ini
dengan keagunganMu
dengan kasih sayangMu
dengan berkah rahmatMu
dengan pengampunanMu
menyebut Asmamu, Allahu Akbar......
Nana, Indramayu 10-Sep-07,
Buat Emak
Jejak kaki tlah menapak
dalam deretan rumah-rumah kumuh yang bersahaja
Sesosok wanita tua renta duduk diberanda menatapku ramah,
Sebuah senyum tulus menyapaku,
Senyum itu membuatku terperangah,
Membuatku rindu untuk selalu melihatnya
Aku panggil dia Emak,
Seorang wanita tua renta yang hidup sebatang kara
Disebuah gubuk tua yang bersahaja
Dipinggir rumah-rumah gedong yang mentereng
Emak,
Setiap hari aku melintas didepan rumahmu
Setiap hari pula aku merasa kehilangan jika sosokmu tiada
Aku selalu rindu dengan senyummu
Ada pendar bahagia diwajahmu itu
Ada rasa sejuk diwajah tuamu
Emak,
Aku tak akan pernah melupakanmu
Thursday, June 28, 2007
Rintihan pilu dari Trisakti dan Semanggi
Saya terhenyak ketika ada pembaca Koki yang menanyakan apakah puisi saya Anak Anak Bangsa dari Plaza de Mayo, juga diperuntukkan korban Trisakti dan Semanggi ?
Ikut gugur di Semanggi adalah anak kawan saya di SR dan SMP, Arief Prijadi. Putraya adalah Wawan (Bernardino Realino Norma Irmawan). Ibu Wawan, Sumarsih, menjadi tokoh pejuang hak azasi manusia di Indonesia).
Rintihan pilu dari Trisakti dan Semanggi
Anak anak muda itu hanya ingin tahu
Sampai kapan kekuasaan itu akan berlalu
Yang tak berbatas langit dan tak berbatas mimpi
Yang terkemas dalam surat perintah rapi
Terbungkus palsu sejarah berwindu windu.
Anak anak muda itu hanya ingin bertanya
Mengapa kelaparan semakin mendera
Mengapa derita dan kekurangan merajalela
Di tengah maraknya segala tipu daya penguasa
Merengguk harta bumi nusantara.
Mengapa anak anak negeri masih juga menanggung lapar
Mengapa anak anak negeri masih juga mati di usia dini
Mengapa ibu ibu muda terpaksa pergi untuk selamanya
Anak anak negeri ini tak mampu lagi berdiri
Tak mampu berlari mengejar mimpi
Seonggok harapan menggapai masa depan selalu sirna
Bersama derita dan kemelaratan.
Tak ada kata kata bijak
Tak ada pesan pesan sejuk
Tak ada ungkapan menjawab sedu sedan itu
Hanya hiruk pikuk retorika
Teriakan lantang demi stabilitas kekuasaan.
Ledakan peluru yang menyambut anak anak muda itu
Terenggut hidup dari impian masa depan
Terenggut kasih dari bapak, ibu dan saudara
Terenggut persahabatan di akhir perjalanan
Ah hidup ternyata begitu singkat untuk mereka
Gugur dalam dekapan bumi pertiwi
Nama nama mereka terukir dalam sejarah
Rintihan kesunyian mereka akan terngiang sepanjang masa. (Manila, 24 Juni 2007)
(Dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 25 Juni 2007)
Tuesday, May 8, 2007
Pesan untuk gadis kecil
Peristiwa yang diabadikan oleh gambar itu benar benar telah menusuk rasa kemanusiaan, mengotori peradaban manusia modern Homo Sapiens. Tidak ada kata kata yang sanggup menggambarkan kekejian dan kebiadaban itu, di republik yang konon menerima azas kemanusiaan dalam filsafat dasarnya.
Tak ada akal sehat manusia Homo Sapiens yang mampu merangkai kata untuk membenarkan kebiadaban itu. Tetapi berbagai tokoh panutan etnis dengan bangganya mengarang berbagai dalih yang membenarkan kebiadaban itu. Bahasa politik yang dikemas dengan kebohongan dan kepicikan, telah dengan sengaja menusuk rasa kemanusiaan yang paling dalam dalam budaya manusia beradab.
Para tokoh etnis dan politik sengaja menyebarkan kebohongan dan mengobarkan kebencian. Membenarkan kebiadaban dan kekerasan terjadi seolah korban yang mereka bunuh, bukan lagi spesies manusia Homo Sapiens. Tetapi siapakah sebenarnya yang pantas untuk dikatakan bukan spesies Homo Sapiens itu ?
Ketika saya mengutarakan keresahan saya, orang justru mempertanyakan legalitas saya. Di manakah akal sehat itu ? Yang seharusnya dihujat adalah mereka yang menggerakkan dan melakukan kebiadaban itu. Bukan yang mengungkapkan keresahan. Para pemimpin politik dan aparat, tak mampu berbuat tegas untuk mencegahnya. Inilah awal dari berpudarnya sebuah peradaban yang namanya Indonesia. Nusantara akan tenggelam di ufuk Barat.
Kedua puisi ini juga telah di muat di Kompas Cyber Media, 19 Februari 2007.
PESAN UNTUK GADIS KECIL
Gadis kecil gadis mungil
Matamu terpejam kelam, wajahmu beku
Engkau terserak di antara darah dan debu
Engkau diam membisu.
Gadis kecil gadis mungil, tubuhmu hancur terkoyak
Tanganmu lunglai lepas dari bahumu
Kepalamu terlempar pisah dari tubuhmu
Darahmu kering bercampur debu
Engkau tetap diam membisu, dan akan tetap diam membisu.
Seandainya engkau bisa cerita, walau hanya lewat impian
Ketakutan yang kau alami, kengerian yang kau hadapi
Kesakitan yang kau derita,
Suara-suara lantang yang menghujatmu
Engkaupun tetap tidak akan mengerti mengapa semuanya terjadi.
Engkau memang tidak akan pernah bisa bicara
Tidak akan pernah bisa mengerti
Tidak akan pernah bisa menjelaskan,
Mengapa nasib menerpamu
Terhempas oleh kebiadaban
Yang memang tidak pernah bisa dimengerti
Tidak pernah bisa dijelaskan dalam budaya manusia beradab
Mungkin hanya satu jawaban yang bisa kauberikan
Karena kau adalah pendatang.
Berbahagialah gadis kecil
Tertawalah bermainlah bersama temanmu
Bersama saudara dan orang tuamu di sana
Karena kau tidak sempat lagi
Menikmatinya di dunia ini
Bawalah kebahagiaan dan kedamaianmu
Terimalah dia di sisi MU, ya Tuhanku.
(Manila 2 Maret 2001)
NUSANTARA DI UFUK BARAT
Jika,
jeritan ngeri anak-anak manusia menjadi nyanyian kemenangan
rintihan pilu menjadi tumpuan kegagahan
merah percikan darah menjadi warna keindahan
kepala manusia menjadi lambang kepahlawanan
dan kebiadaban menjadi lambang kebudayaan.
Jika,
manusia-manusia tak berdosa tak berdaya,
terenggut jiwanya secara paksa
anak-anak kehilangan saudara dan orang tua
kehilangan anggota badan
hanya karena mereka manusia pendatang.
Jika,
bumi Nusantara tidak mungkin lagi untuk berpijak
tidak layak lagi untuk berlindung
tidak kuasa lagi memberikan keadilan
keamanan dan kedamaian bagi anak-anak bangsa.
Jika,
para cendekia kehilangan kepekaan peradaban
kecendekiawanan membelenggu kemanusiaan
menjadi sekedar kebanggaan dan kepongahan
membawa mereka jauh dari dunia nyata.
Jika,
para pemimpin hanya bernyanyi tentang kebenaran diri
bersenandung retorika indah ibarat impian
tidak lagi mampu berdiri di depan
menuju kehidupan menurut norma-norma peradaban kemanusiaan.
Inilah akhir perjalanan suatu bangsa
Bencana yang tidak akan lagi tertunda
Ufuk barat menyaput cakrawala
Kita menyongsong kehancuran
Menyambut datangnya kekalahan
Karena yang namanya Indonesia mungkin memang tidak pernah ada
Dalam hati kita
Dalam hati anak-anak manusia di Nusantara
Berpisahlah kita anak-anak bangsa
Berpisah jalan menuju peradaban menggapai kemanusiaan.
(Manila, 28 Februari 2001)
Thursday, April 12, 2007
Kiriman puisi dri teman maya
NYANYIAN LIRIH
Aku rindu kamu, Rangga
Cinta ini membuatku tak berdaya
Hingga aku sadari
Suratan takdir ini menyakitkan hati
Seandainya aku tahu
Cinta ini tak semestinya terjadi
Tak ada luka dihati
Tak ada air mata dipipi
Aku rindu kamu, Rangga
Walau kini aku sadari
Kau tlah lama pergi
Seandainya rindu ini masih milikmu
Kutunggu kamu diberanda ini
Im, 6 April 2007
========================
SIAPA AKU
Aku ini hanya sebuah jasad
terbungkus jiwa yang mengembara
di alam maya
bertemu kamu, bertemu dia
tanpa harus nyata bertatap mata
saling menyapa, saling cerita
gundah hati menjadi bunga hati
siapa yang tahu sedalam apa batin disini
bertemu kamu didunia maya
serasa nyaman mengawang di awan
kamu yang disana, menatap sebingkai kaca
berandai-andai aku seindah nirwana
secantik purnama raya
Aku ini siapa?
aku bukan siapa-siapa
hanyalah selintas sunyi dipadang yang sepi
Im, 12 April 2007
Sunday, April 8, 2007
Pesan pesan di dunia maya
Perkembangan teknologi dunia maya telah membuka cakrawala baru hubungan antar manusia. Komunikasi tak lagi dibatasi oleh ruang dan jarak. Manusia bisa berkomunikasi secara bebas lewat dunia maya.
Manusia adalah makluk sosial yang tak bisa hidup menyendiri seperti makhluk soliter. Manusia butuh kontak dengan sesamanya. Kontak dengan lingkungannya. Dalam perkembangan modernisme, tata pergaulan masyarakat bergerak kearah individualisme. Kebebasan individu menjadi segalanya sehingga kadang orang sedikit kehilangan kontak sosialnya.
Perkembangan teknologi dunia maya memberikan pilihan alternatif. Pilihan kontak sosial dalam tata masyarakat yang individualistis. Dalam keheningan dunia maya manusia bisa berkomunikasi dengan bebas, saling bertukar perasaan dan pengalaman, saling memberi salam dan kesejukan.
Dalam kesendirian saya yang hening, saya tak pernah merasa kesepian. Pesan pesan sejuk dari dunia maya selalu datang. Pesan dari teman yang belum pernah bertemu dan bertatap muka. Mungkin tidak akan pernah bertemu. Terpisah oleh laut dan benua, tetapi dunia maya memberi kesempatan kepada anak anak manusia untuk saling bertegur sapa. Lihatlah betapa beragamnya pesan dari dunia maya yang saya terima dalam kurun waktu akhir akhir ini.
Tulisan tulisan saya mengenai anak saya almarhum, Moko, dimuat di Kompas Cybermedia, yakni yang berjudul Rumah Di Atas Bukit (7 Maret 2007) dan Ceritaku Lewat Rembulan (10 Maret 2007). ( http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.koki). Setelah itu saya banyak menerima pesan dari dunia maya. Ada yang menyatakan simpati dengan pesan yang menyejukkan, ada yang ingin mengungkapkan perasaan ok kehilangan seseorang yang dicintai seperti yang saya alami
Ini adalah petikan pesan Fanny, tinggal di US, yang kehilangan abangnya karena kecelakaan mobil di Jayapura di tahun 1997, bersamaan tahun dengan kepergian Moko.
Saya begitu merindukan abang saya.
rindu seandainya dia ada, bisa melihat keponakan-keponakannya;
rindu seandainya dia ada, bisa melihat upacara pernikahan saya;
rindu seandainya dia ada, bisa melihat saya saat diwisuda;
rindu seandainya dia ada.....
Persis seperti puisi bapak, setiap saat saya melihat rembulan selalu membawa angan saya padanya. Saya baru saja menyelesaikan cerita pendek yang sebenarnya adalah cerita kejadian itu.
Sedangkan Ana, tinggal di Jakarta yang kehilangan suami tercinta pada bulan Desember 2006, menulis sebagai berikut
Saya Ana di Jakarta. Saya sangat tersentuh dengan puisi “Rindu Yang Abadi” di edisi community Kompas kemarin. Sangat menyentuh bagi saya yang baru kehilangan suami Desember kemarin karena kecelakaan. Kami pasangan muda yang esok hari sebelum dia meninggal akan memperingati hari ukang tahun kedua perkawinan. Entahlah sampai sekarang saya belum bisa menerima dan percaya dia sudah tidak ada.
Saya masih termenung dan menangis setiap hari. Rasanya dunia berhenti, apalagi saya hrs memulai kerja lagi di Jakarta. Sebelumnya kami tinggal di KL.. Bagaimana Bapak melalui masa2 sulit kehilangan anak tercinta? Saya sangat paham sekali hal terberat adalah bagi yang ditinggal orang2 yang dicintainya. Rasanya saya putus asa dengan hidup saya sendiri. Bagaimana ya Pak untuk melalui hari hari yang terasa berhenti ini?
Ini adalah cerita dari Hastari di Cirebon
Saya Hastari yang mengikuti kisah kisah dan tulisan bapak. Bapak mengatakan bahwa ada teman yang bertanya kenapa kisah sedih harus ditulis, Saya sebagai seorang pembaca, yang saya rasakan saat membaca bahwa saya tidak membaca sebuah kisah sedih, namun saya "mendengarkan" suara hati dan kasih seorang bapak kepada anaknya...
Saya dapat menangkap suatu kasih, cinta yang begitu besar dan mendalam dari seorang ayah terhadap anaknya. Bagi saya itu hal yg sangat indah pak, di tengah tengah banyak anak-anak yang tidak mengenal kasih seorang bapak sehingga kehilangan figur dan gambaran akan seorang ayah. Saya temukan figur seorang "ayah" dalam diri bapak.
Saya dapat memahami dan turut merasakan apa yang bapak rasakan, namun kisah saya berbeda...Saya harus berpisah untuk sementara dengan bapak saya yang dipanggil Tuhan tahun 1997 saat saya sma kelas satu, enam hari menjelang saya ulang tahun, tepatnya tanggal 19 Nov 97.
Bapak dipanggil Tuhan saat dalam perjalanan menuju Jakarta bersama rombongan guru smp. Bis yang dinaiki bapak saya masuk jurang di daerah Majenang. Bapak tidak meninggal di lokasi. Saat bis masuk jurang bapak masih sadar bahkan bapak saya naik turun jurang dan mengendong rekan rekannya yang ibu ibu naik ke atas. Bapak saya ikut rombongan terakhir menuju rumah sakit. Saat di rumah sakit bapak tidak diperiksa karena bapak hanya lecet lecet, namun dinihari bapak saya jatuh koma kemudian dipanggil Tuhan. Ternyata bapak saya menderita pendarahan dalam dan tidak terdeteksi....
Masih banyak pesan serupa yang saya terima dari berbagai pelosok dunia. Tak dapat saya ungkapkan satu persatu. Namun semuanya mengungkapkan solidaritas dan kesetiakawanan menghadapi kesedihan dan kehilangan. Bukankah manusia suatu saat akan kehilangan seseorang yang dicintai jika waktu itu telah datang. Saya sangat menghargai dan berterima kasih akan ungkapan dan pesan pesan tersebut. Kepada siapa saja dan dimana saja mereka berada.
Tidak semuanya mengenai kesedihan. Banyak pesan tersurat yang menggambarkan harapan, kegembiraan dan kebahagiaan. Inilah keanekaragaman manusia. Keragaman yang juga terungkap di dunia maya.
Ada pesan indah dari Diana yang tinggal di Jawa Barat, mengomentari cerita saya yang berjudul “Jambalaya, Cintaku di Kampus Biru dan Pesan Perdamaian”. Dimuat tanggal 30 Maret 2007 (http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.koki).
Baru kali ini punya teman maya. Bayangkan aku seperti gadis cantik berbaju merah dan bercelana putih sedang bernyanyi Jambalaya di kampus biru Bulaksumur 35 tahun yang lalu.
Saya ini bukan siapa2. Jangan berlebihan memuji karena sebuah puisi. terus terang sudah bertahun-tahun saya tidak lagi membuat puisi. Tapi dorongan kuat yang tiba2 ada menjadikan saya berani menuangkan lagi dalam sebuah puisi.
Kebahagiaan itu ada didalam diri kita sendiri, bukan karena yang lainnya. Saya jadi merasa mungkin inilah saat dimana saya merasa bahagia karena saya bisa mengekspresikan diri sesuai dorongan hati.
Diana mengirim beberapa puisi indah. Kami sepakat tak akan bertemu. Tetapi sepakat bekerja sama untuk menerbitkan buku kumpulan puisi. Ini hanya mungkin karena kemajuan teknologi maya. Inilah puisi yang dia tulis itu
TENTANG BINTANG
Ada warna indah dibalik temaram
Aku tunggu kamu pulang
Ribuan mil terhalang jauh
Dalam jeda waktu terhalang
Tuk menunggu kamu datang
Agar cerita tentang bintang
Kamu dengarkan dengan tenang
Aku tunggu kamu pulang
Tuk cerita tentang bintang
Walau hanya sebatas angan
Terbatas dalam ruang dan waktu
========================
AKU INGIN,
Aku ingin kamu menjadi apa saja yang kumau,
Dalam angan, dalam mimpi2ku
Perhatian tulus yang membuat bunga hatiku
Aku ingin kamu menjadi apa saja yang kumau,
Karna aku merasa tak terbelenggu
Dalam anganku yang berandai-andai
Aku ingin kamu menjadi apa saja yang kumau,
Karna aku ingin dihargai, ingin dimengerti
Sebagai wanita sejati
Aku ingin kamu menjadi apa saja yang kumau,
Tuk dengarkan ceritaku tentang bintang itu
Kala senja hadir, tataplah langit temaran
Dalam pijarnya bintang
Serasa aku ada disana, menatapmu
Karna kamu tahu, akulah Bintang itu!’
Pesan pesan dari dunia maya senantiasa akan datang seiring berkembangnya teknologi, dan mengiringi, keinginan dan harapan manusia dalam perjalanan masing masing. Di akhir tulisan ini saya hanya ingin mengatakan bahwa manfaatkanlah kemajuan teknologi ini memperluas hubungan persahabatan antar manusia. Kita hidup di satu bumi.
Saturday, April 7, 2007
Menunggu waktu
Di kala senja membayang
Matahari menyaput hilang
Burung derkuku berdendang pulang ke sarang
Dan azan maghribpun berkumandang
Engkau selalu pulang
Nyanyianmu terngiang
Bisikanmu menabur kedamaian.
Di kala malam meremang
Langit berhias bulan dan bintang
Engkau akan pulang
Dengan tawa riang
Dengan gurauan
Dan wajahmu penuh keyakinan
Aku menyambutmu sayang.
Ah seandainya engkau benar pulang
Datang dengan senyuman
Dengan harapan dan keinginan
Hidupku damai
Kini hanya khayal yang menerawang
Hanya mimpi yang abadi.
Aku menunggu tanpa tahu
Aku menunggu tanpa tentu
Tanpa batas waktu
Kedatanganmu hanya masa lalu
Hatiku menangis pilu
Perasaanku teriris sembilu.
Aku tetap akan menunggu
Menunggu untuk menggapai dan mencumbumu
Walau tanpa batas waktu
Ya Allah aku pasrah menunggu waktuku
Waktu untuk kembali bersama anakku.
(Untuk Saworo Tino Triatmo
Dari Bapak yang selalu menunggumu)