Showing posts with label Renungan waktu. Show all posts
Showing posts with label Renungan waktu. Show all posts

Wednesday, July 9, 2008

Rambut memutih



Bulan lalu, saya nginap tiga malam di tempat anak saya Wisnu di Jakarta. Ada acara pertemuan di sana. Sekalian menengok cucu, Laras sama Kinar. Laras umur tiga tahun, Kinar baru beberapa bulan. Saya bersama NYI. Jarang ada kesempatan nginap di tempat anak dan bercanda dengan cucu. Setiap saya pulang selesai acara sore hari, Laras selalu datang di kamar kami. Apa saja menjadi bahan pertanyaan. Topik pertanyaan yang paling hangat adalah warna rambut. "Mengapa rambut Ki putih ? Rambut Laras hitam, papah hitam, mamah juga hitam?" Pertanyaannya selalu dengan membelai rambut saya. "Kalau digosok terus bisa hitam kali" NYI berkata sambil lalu. Di hari kedua dia masih suka menggosok rambut saya. Hari ketiga dia bilang, " Digaruk juga nggak bakalan hitam. Katanya papah karena KI sudah tua". Perilaku Laras, persis sama dengan cucu pertama, Rio yang mulanya juga gemar bermain dengan rambut saya. Akhirnya dia bilang, "Kakek Oman, opanya teman saya rambutnya juga putih. Orang tua memang rambutnya suka menjadi putih". Habis itu dia tak pernah lagi bermain dan mempermasalahkan warna rambut saya.

Rambut memutih memang alami. Sebuah perjalanan yang harus dilewati. Sejak sepuluh tahun lalu rambut saya mulai memutih, semakin lama semakin merata. Di umur awal empat puluhan, saya sering mencabut rambut satu dua yang berganti warna. Tetapi semakin lama semakin merata, tak ada gunanya untuk dicabut. Toh masih lebat dan berombak. Tak ada minat untuk mengecatnya. Saya nggak tahu mengapa, tetapi rasanya kok aneh bagi saya untuk mengecat rambut. NYI selalu usul untuk mengecat rambut saya. Namun sampai kini belum pernah sekalipun saya mencobanya. Katanya sih biar kelihatan masih muda. Kalau kelihatan tambah muda, ya emangnya mau apa ? Saya takut kalau habis dicat nanti warna hitam luntur, dan warna malah menjadi kemerahan. Sering saya lihat para pria usia lanjut kok rambutnya suka memerah. Tak mungkin dicat seperti gaya anak muda. Paling ya bekas cat penghitam rambut.

Setiap orang mungkin mempunyai reaksi yang berbeda menghadapi proses perubahan warna rambut. Alamiah dan selalu sah sah saja. Bukan sekedar perubahan warna semata. Di balik itu sebenarnya adalah proses penuaan itu sendiri. Proses penuaan memang tak bisa dihentikan. Berjalan alamiah bersama dengan perjalanan sang Kala. Mungkin suatu saat kita merasa takut membayangkan bahwa di akhir perjalanan di sana, Sang Kala sedang menunggu. Jika dia datang menyalami, itulah akhir perjalanan kita. Tak pernah saya merasa risau akan Sang Kala yang menunggu di akhir perjalanan. Jika toh suatu saat dia muncul menyampaikan salam, saya akan menyapanya dengan akrab, dengan senyum bahagia.

Ee pembicaraan kok jadi melebar. Kembali ke masalah rambut memutih. Sejak masa muda saya selalu menyenangi rambut saya yang lebat dan hitam. Kecuali waktu masih kanak kanak, rambut saya selalu kaku berdiri. Guru saya selalu memperolok, katanya kalau dilempar batang pisang pasti saya nggak bisa berkutik lagi. Seperti kalau orang memburu landhak, selalu dilempar dengan batang pisang. Rambut saya selalu menjadi beban waktu itu. Sampai kelas tiga SR saya masih sering gundul plonthos, untuk menghindari mitos keliru tentang landhak.
Saya mulai mencintai rambut saya semasa duduk di bangku SMP. Rambut selalu saya sisir rapi, pakai minyak. Banyak jenis minyak rambut pernah saya pakai waktu itu. Mulai dari cem-ceman minyak kelapa, minyak wangi merk Orang Aring, minyak pomade merk Yaparco, dan merk Yardley. Terakhir sejak lulus dokter saya beralih ke cream merk Brylcream sampai sekarang. Tak juga tahu sebabnya. Tetapi kadang risih pakai pomade atau gel, kalau berkeringat minyaknya merembes membasahi dahi. Teman saya di fakultas dulu, setiap jam sebelas pagi dahinya berkilat (kinclong) karena pomadenya mulai meleleh. Suka diolok teman teman, dia tak pakai minyak rambut, tetapi minyak bathuk (dahi). Guru besar ilmu kimia selalu memanggilnya dengan Kinclong.

Sewaktu SMA, model rambut sangat khas di Solo. Jambul tinggi di depan, kiri kanan harus halus sampai mepet kepala. Kalau perlu di"cathuk". Saya nggak tahu tekniknya, tetapi di press dengan sisir logam yang dipanaskan, supaya bisa mepet sekali di kiri kanan kepala. Sayang foto kami bertiga dengan Martalin dan Diono, teman sewaktu kelas satu SMA, tak bisa saya temukan. Bertiga kami dengan model rambut berjambul di atas, dan kiri kanan di press mepet. Rasanya gimana gitu. Kalau kepala bergerak, menoleh ke kiri atau ke kanan, jambul rasanya ikut bergerak. Jika berjalan jalan di emper toko, kaca etalase rasanya selalu mengingatkan apakah jambul masih berdiri tegak atau sudah lunglai. Potong rambut cepak gaya militer juga tak populer waktu itu. Karena masalah keamanan. Saya pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ada seorang pemuda berambut cepak, pakai jaket biru usang kayak jaket militer, ditangkap PePeKuPer dan di suruh berdiri di muka markas tentara di jalan Slamet Riyadi semalam suntuk. Tak ingat apa itu Pepekuper, ada kata penguasa, perang, dst.,nggak tahu lagi saya. Pokoknya wajah garang pakai kumis. Hindari mereka kalau mau selamat.

Perjalanan waktu tak pernah berhenti. Masa masa dengan model rambut yang membanggakan telah lama lewat. Empat puluh tahun berlalu. Seperti lirik lagu indah Jamal Mirdad " Walau seribu tahun memutih rambutku. Hatiku tetap selembut salju". Tak hapal syair lagu indah itu. Tetapi pesannya begitu dalam. Saya juga tak akan risau akan rambut yang memutih itu. Tak risau akan penuaan yang datang memburu. Tak risau akan perjalanan waktu. Saya tetap akan menjelang dengan senyum bahagia jika masa itu tiba, Sang Kala akan menyapa. Rambut memutih apalah artinya. Silver in my head? Mungkin gold in my pocket. Sokur kalau ada stainless steel somewhere. Kalau nggak ya nggak apa apa. Kan hidup hanya berjalan menyusur waktu.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, Minggu 6 Juli 2008

(http://community.kompas.com/index.php/read/artikel/621)

Monday, June 16, 2008

Pecel semanggi Mak-i


Salam sejahtera. Agak terusik saya membaca ensiklopedia Wikipedia Indonesia tentang pecel semanggi yang konon khas dan asli Jawa Timur. Inilah kutipannya.

Pecel) Semanggi adalah sejenis makanan khas Jawa Timur, dibuat dari daun semanggi yang dikukus dan kemudian dinikmati dengan sambal pedas yang nikmat. Semanggi juga dapat dihidangkan dengan kecambah, kangkung, kerupuk uli yang terbuat dari beras serta bumbu yang terbuat dari ketela rambat. Ada bermacam-macam versi sambal untuk semanggi. Kalau di Banyuwangi sambal semanggi dibuat dari cabai, serai, belimbing dan sedikit gula jawa. Di tempat lain berbeda lagi, misalnya di Surabaya yang menggunakan sambal yang dibuat dari gula jawa (lebih banyak), terasi, cabai.
(
http://id.wikipedia.org/wiki/Semanggi_(makanan))

Uraian yang hampir sama diberikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Jawa Timur, seperti berikut

Pecel semanggi, dari namanya saja kita bisa menebak bahwa didalamnya terdapat rebusan daun semanggi. Daun ini direbus, atau dikukus dan disajikan bersama rebusan kecambah. Sausnya agak berbeda dengan saus pecel pada umumnya. Saus pecel semanggi bukan cuma terdiri dari kacang tanah plus bumbu-bumbunya, tetapi juga lumatan kacang singkong yang direbus. Hingga sausnya betul-betul kental. Dan sebagai bumbu penyedap, dibubuhi petis udang.
(
http://www.balitbangjatim.com/bul_d2.asp?id_subBab=47)

Pecel semanggi yang diuraikan di atas berbeda dengan pecel semanggi yang dulu banyak di konsumsi di Ngampin atau di Ambarawa. Bagi mereka yang pernah dibesarkan di Ngampin, dan ingat akan pecel semanggi model Ngampin di tahun tahun enam puluhan dan mungkin juga di tahun tujuh puluhan. Memang sama sama terbuat dari bahan semanggi. Pecel semanggi dari Ngampin waktu itu sangat sederhana. Dimakan dengan sambel pecel dari kacang tanah dengan rasa manis dan disajikan bersama dengan lonthong bentuk segitiga yang semula terbungkus dengan daun bambu. Tak ada campuran campuran lain. Tak ada kecambah, tak ada petis, tak ada singkong, tak ada kangkung. Mungkin pecel semanggi di atas memang khas Jawa Timur.

Di pasar Ngampin di tahun enampuluhan, , Mak-i seorang wanita dari desa Ngenthak dengan setia akan menjajakan ramuan pecel semanggi ini setiap pagi.Jam tujuh pagi atau kurang dia sudah siap di pasar Ngampin. Jam delapan biasanya jualannya sudah habis. . Dia wanita pekerja keras. Matanya cacat karena mungkin kekurangan vitamin A waktu kecil atau karena penyakit trachoma yang menggerogoti. Pulang dari pasar dia akan ke sawah mencari daun semanggi. Irama hidupnya secara rutin setiap hari.

Adiknya Mak-i ada dua, satu namanya Centhul dan satu Pangat. Mereka bekerja sebagai pekerja di tempat ayah saya, mencari rumput dan memelihara sapi dan kambing. Itu sebelum mereka pindah transmigrasi di akhir tahun enam puluhan. Bagi mereka yang dibesarkan di Ngampin dan pernah menikmati lezatnya pecel semanggi Mak-i, marilah kita kenang bersama dan berterima kasih sama Mak-i. Saya tak tahu mereka di mana sekarang. Dalam tulisan saya yang lain, saya menggambarkan Centhul layaknya tokoh Rusia dalam film Duska yang nampak bloon itu (http://saworo.blogspot.com/)

Sampai kini pecel semanggi masih juga populer di Ngampin dan Ambarawa. Tak hanya di Jawa Timur. Mungkin tak seperti dulu lagi dengan lonthong segitiga terbungkus daun bambu. Dalam web kuliner Ambarawa, nampaknya lonthong segitiga itu telah berubah bentuk (http://ambarawakuliner.multiply.com/photos/album/1/PECEL)

Para warga Ngampin dan Ambarawa. Marilah bersatu dan menikmati kembali pecel lonthong semanggi yang asli. Tak usah dicampur macam macam, mulai ketela rambat, singkong, daun sembukan apa lagi. Bersatu menikmati pecel semanggi yang asli Ngampin, asli Ambarawa.


Salam sejahtera

Ki Ageng Similikithi.

Monday, April 7, 2008

Catatan yang tersisa

Tulisan tentang Geng Sekolahan oleh Anonymous – Jakarta Selatan beberapa waktu lalu, (http://www.kompascommunity.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=62004§ion=92) mengingatkan saya akan bahasan serupa yang pernah ditulis anak saya almarhum Moko lebih sepuluh tahun lalu. Tulisan itu saya temukan di antara tumpukan buku buku di meja belajarnya. Mungkin bagian dari tugas sekolahan. Berjudul Remaja Harapan Bangsa. Walau sudah lewat sepuluh tahun, mungkin tulisan ini bisa sedikit menggambarkan kegelisahan anak remaja tentang dunianya. Ibunya juga menemukan tullisan pendek berisi doa doa di dalam sabuk yang dikenakan saat kecelakaan itu terjadi. Tulisan tulisan tersebut masih tersimpan. Untuk mengenang pesan terakhirnya.

***

Remaja harapan bangsa

Akhir akhir ini di ibu kota sedang diguncang dengan masalah tawuran remaja yang terjadi di sekolah sekolah lanjutan. Korban korban pun berjatuhan, bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Keadaan itu tentu saja sangat memprihatinkan bagi seluruh penduduk di ibu kota, bahkan seluruh bangsa Indonesia pun ikut merasakan. Remaja sekarang sudah berbeda dengan remaja zaman dulu. Remaja zaman dulu masih sadar akan kewajibannya sebagai pelajar, sedangkan remaja pada jaman sekarang terlalu banyak menuntut dan meminta tanpa menghasilkan prestasi yang berarti.

Tetapi bagaimanapun semua ini bukan hanya salah dari para remaja itu sendiri. Pengaruh keluarga dan lingkungan di sini juga sangat berperan, di samping pengaruh dari perkembangan teknologi dan kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia. Sebagai contoh adalah kebudayaan pemakaian ekstasi, dan obat obat terlarang lainnya di kalangan remaja yang akhir akhir ini semakin ramai dibicarakan. Penggunaan ekstasi ini sebenarnya datang dari luar negeri atau pengaruh dari kebudayaan asing, maka di sini moral dan hati nurani remaja itu sendiri yang harus menyaring apakah kebudayaan asing tersebut baik ataukah tidak bagi dirinya.

Sebenarnya para remaja tersebut belum mengerti benar kewajiban dan hakekatnya sebagai remaja. Jika mereka tahu kewajiban mereka adalah belajar dan menuntut ilmu dengan giat, sedangkan hakekat mereka adalah sebagai tumpuan harapan bangsa yang kelak akan menggantikan angkatan angkatan sebelumnya yang telah pension untuk membawa bangsa ini menuju kea rah yang lebih baik, maka seharusnya mereka menjaga dan mempersiapkan diri untuk mendapatkan "tongkat estafet" meneruskan pembangunan negeri ini.

Oleh karena itu sebagai tumpuan harapan bangsa, para remaja itu seharusnya kreatif mengembangkan kebudayaan mereka sendiri, jangan sampai kebudayaan mereka hilang, dan mereka dijajah oleh kebudayaan asing yang belum tentu baik bagi mereka. Dan sebagai tumpuan harapan bangsa mereka juga harus selalu bersatu dangan para temaja yang lain di dalam negeri ini, untuk bersama mengadakan kegiatan kegiatan remaja dalam rangka mengembangkan kreatifitas, menyiapkan fisik dan mental, untuk kelak membangun bangsa yang mereka cintai ini.

Jadi tumpuan harapan bangsa para remaja itu seharusnya menjaga diri dan mempersiapkan diri mereka untuk kelak akan meneruskan pembangunan di negeri ini. Merke tidak hanya siap dengan otak yang cerdas, tapi juga keluhuran budi, kecakapan sikap agar kelak nasib bangsa kita akan lebih baik di tangan mereka.


***

Tulisan tersebut kami masukkan dalam buku Perjalanan Terakhir yang kami terbitkan dan sebarkan dikalangan teman, sanak keluarga untuk mengenangnya. Mungkin tulisan itu tak terlalu istimewa isinya. Tetapi tetap merupakan kenangan dan cerminan isi hatinya yang mungkin kami memang jarang berkesempatan untuk saling berbagi. Hanya sesudah dia pergi saya bersama ibunya sering sering membaca tulisan dan doa doanya.. Hanya catatan yang tersisa.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber, 7 April 2008)

Friday, January 25, 2008

Nyanyian dari langit - mengingat mbak Tie

Lebih lima puluh tahun lalu. Kami bernyanyi riang. Bertepuk. Bersorak. Berlari. Bersembunyi. Di manapun angan angan terbang. Melayang tak bertepi. Tak terhalang bukit. Tak terbatas lautan. Hanya gembira dan bahagia. Langit dan awan, bukit, gunung dan lembah adalah padang pengembaraan angan yang tak ada batasnya. Tiba tiba saja dia muncul. Seolah datang dari langit, dari balik awan. Gadis kecil berpakaian warna lila. Dia menyanyikan lagu indah. Lagu tentang cinta, tentang kasih, kasih ibu.

" Salam sayang adik adikku. Aku kakakmu. Namaku Atie. Aku datang menengokmu. Ingin main bersamamu".

Rambutnya keriting halus. Wajahnya bersih lembut. Kugapai tangannya. Ingin kupeluk tubuh mungilnya. Dia menjauh, makin menjauh. Semakin samar, dia menghilang di balik awan. Menghilang di langit. Ke ketiadaan yang abadi. Aku terlolong menangis terbangun dari mimpi. Ibuku hanya berbisik, memeluk dan membujukku agar tenang. Saya minum air putih dan tidur kembali. Saya tak mempersoalkan kembali tentang mimpi itu. Hari hari berlalu wajar. Walau saya kadang teringat mimpi itu, dan nama gadis kecil itu, mbak Tie.

Suatu saat kemudian pagi pagi saya dan adik saya makan kueh moho warna warni merah putih. Kami belum bersekolah saat itu. Duduk duduk di dasar pintu menghadap ke timur. Ke arah tratag rambat yang menuju ke dapur. Ibu saya biasanya diam saja. Tiba tiba dia teriak dari dalam kamar.

"Nggak boleh duduk di pintu itu. Pindah ke ruang depan". Tak habis pikir saya oleh karena pintu itu jauh lebih strategis. Masih di dalam ruangan belakang ke arah dapur. Pintu depan langsung menghadap ke luar. Rasanya tidak aman untuk kami. Setiap kami duduk di pintu itu ibu saya selalu melarang tanpa saya ketahui sebabnya. Beberapa waktu kemudian saya coba bertanya mengapa kami tak boleh duduk di pintu itu. Dengan singkat dia mengatakan.

"Kakakmu Tie, dulu setiap pagi selalu duduk di pintu itu makan kueh. Melihatmu di pintu itu, selalu membuatku sangat merindukannya".

Ibu akhirnya bercerita bahwa kakak saya itu bernama Woro Hadiati. Dia anak kedua. Mungkin lahir sekitar tahun 1939. Dia meninggal dalam umur sedikit di atas dua tahun. Karena difteria. Ibuku tak pernah lagi bercerita tentang mBak Tie. Mungkin terlalu sibuk mengasuh kami semua. Kami bersembilan sesudah meninggalnya mBak Tie. Bapakku juga tidak pernah menyinggung atau menceritakan tentang kakak saya. Tak ada gambar, tak ada foto, tak ada cerita yang tersisa. Saya berjumpa dengannya dalam mimpi. Mimpi tentang langit. Hanya itu ingatan yang tersisa. Ketika dia datang dengan nyanyian dari langit. Bapak ibuku sibuk dengan irama hidup sehari hari. Juga kami menjalani kehidupan yang hangat sejak masa kanak kanak. Banyak terlupa sosok mBak Tie.

Kami selalu menikmati langit, menikmati gunung dan bukit, dan lembah yang indah. Ambarawa adalah lembah yang sangat indah bagiku. Dua gunung sejoli, Telomoyo dan Gajah Mungkur selalu teguh dihadapan pandangan kami seolah menjadi pelindung yang abadi. Kami bersaudara hanya tinggal di Ambarawa sampai tamat SMP. Sesudah itu harus berpencar untuk meneruskan sekolah masing masing. Dan sampai akhirnya memang harus hidup dengan keluarga masing masing. Kisah tentang kakak saya Woro Hadiati seolah tenggelam dalam perjalanan hidup masing masing.

Saya pernah mendengar Bapak menyinggung mbak Tie, sewaktu kami mengunjungi makamnya. Makam kecil sendirian di atas bukit. Dia mengeluh

"Singkat sekali umurmu nDuk. Belum sempat menimang dan mencumbumu. Sendirian engkau di sana, sepi sekali". Saya masih ingat sewaktu saya di SMP, ibuku juga pernah berucap. Ibuku duduk di muka rumah memandang ke dua gunung jauh di sana. Pandangannya menerawang ke langit lepas.

"Seandaninya kakakmu Tie masih ada, mestinya dia sudah berkeluarga ya. Saya sudah punya cucu".

Kebetulan waktu itu belum lahir satu orang cucupun. Di luar peristiwa peristiwa kecil itu, kami semua selalu hening terdiam tentang mbak Tie. Dia berada jauh di sana, di langit, di balik awan. Bapak dan ibu tidak pernah bercerita, tidak pernah mengucap apa apa tentangnya. Hanya kisah masa lalu yang telah tenggelam dalam perjalanan waktu.

Di awal tahun 1982, saya berangkat menyelesaikan tahap akhir program doktor di Newcastle (UK). Ibu menginap di rumah di Yogya beberapa hari menjelang kami berangkat sekeluarga. Pas saya pamit, dia memelukku erat erat dan berkata

" Hati hati ya. Saya pengin menunggumu kembali".

Saya tak bisa berbincang lama lama. Hening. Beberapa bulan kemudian pagi pagi sekali saya ditelpon kalau ibu dalam keadaan gawat di rumah sakit. Lemah jantung. Hati saya berdesir keras, mungkin kami tak akan bertemu lagi. Benar. Beberapa hari kemudian saya ditilpun kakak saya kalau ibu sudah pergi selamanya. Beberapa saat sebelum kepergiannya dia berpesan.

"Saya masih ingin menunggumu semua. Tetapi kakakmu Tie kasihan. Dia sendirian di sana berpuluh tahun. Tempatkan saya disisinya ya".

Sesuai permintaanya ibu dimakamkan disamping makamnya mBak Tie. Makam mungil di atas bukit. Moga moga dia tidak kesepian lagi. Selang kira kira dua belas tahun sesudah kepergian ibu, bapak juga meninggalkan kami dan cucu cucu selamanya. Meninggal dengan sangat tenang. Tiga hari sebelum kepergiannya, dia nampak sehat sekali dan datang ke rumah saya di Yogya diantar adik saya. Tak biasanya dia salaman dan memeluk saya. Sesudah pamitan dan menuju mobil, dia kembali dan memeluk dan menjabat tangan saya. Di Ambarawa beberapa hari terakhir dia selalu minta adik adiknya kumpul di ruma. Tepat pada tanggal 1 Syura. Siang hari setelah makan siang istirahat tidur. Ternyata pergi selamanya dalam tidur. Adik dan kakak saya tak percaya kalau dia sudah tak ada ketika menjenguk kamarnya sesaat kemudian. Yang saya ingat waktu itu, ketika di Yogya dia bilang

"Jika saya meninggal, makamkan saya disamping kakakmu Tie. Dia sendirian di sana menungguku puluhan tahun" .

Mereka bertiga istirahat berdampingan di bukit Penggung. Hening, sunyi dan damai. Anak saya Moko menyusul kemudian, dibaringkan sedikit dibawahnya. Jasad mereka beristirahat selamanya. Moga moga mereka selalu bersama dan berbahagia di sana. Mereka mungkin tak akan kesepian lagi. Bersama dalam damai dan kehidupan yang abadi.

Nyanyian dari langit. Ternyata kasih ibu dan bapak terhadap anak tak akan lekang oleh waktu. Tak akan hilang dalam perjalanan waktu. Walau tak pernah terucapkan lagi, kisah tentang mbak Tie, ibu dan bapak akhirnya minta beristirahat disampingnya di akhir perjalanan hidupnya.

Nyanyian tentang kasih untuk Mbak Tie dan Moko tersayang. Untuk Bapak dan Ibu. Nyanyian yang abadi. Nyanyian dari langit.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber, 25 January 2008)

Saturday, November 10, 2007

Khayalan dan cita cita masa kecil

Saya menulis cerita ini dalam perjalanan Manila Amsterdam. Dengan maskapai KLM. Pesawat tak begitu penuh. Langit cerah membiru di luar. Terbang melintas di atas awan. Kota Manila mendung pagi tadi. Tetapi begitu pesawat menembus awan, langit begitu cerah di atas. Badan masih terasa letih ok kurang tidur semalam. Di bandara Aquino sempat tertidur sejenak waktu massage di lounge. Lingkungan cepat berganti, seminggu yang lalu sore2 begini masih bisa menikmati keindahan sungai Tonle Sap di Phnom Penh.

Pukul 300 sore waktu Manila. Tak bisa tidur di pesawat. Hamparan awan putih sebatas cakrawala. Ingatan saya melayang lebih lima puluh tahun lalu. Sebelum masuk sekolah dasar di tahun lima puluhan. Belum punya banyak teman ok pergaulan masih terbatas. Hanya dengan teman tetangga di sebelah timur kebun kami. Tak pernah bermain melewati jalan raya. Itulah demarkasi tak tertulis dunia pergaulan saya waktu itu. Awal pengembaraan dunia. Ada dua teman seumur, Jumadi dan Kamto. Rumahnya di sebelah timur gereja. Masih ada kelompok di bawah umur kami. Jumari adiknya Jumadi. Warno adiknya Kamto dan Gondo adik saya. Mereka tak selalu ikut dengan kami bertiga . Mereka belum punya kematangan emosional mengeksplorasi dunia mikro sekitar kami.

Waktu itu saya selalu membayangkan bisa terbang di atas awan. Membelai awan putih yang lembut. Beristirahat dan tiduran di balik awan yang berarak arakan itu. Melanglang dunia. Tak hanya terkungkung demarkasi jalan raya di muka kebun kami. Kadang kami tiduran di halaman gereja dan mengawati awan yang begitu anggun di langit. Sambil memejamkan mata bermain membayangkan seolah kami berlari lari, bersembunyi di antara awan yang indah. Hanya angan angan anak kecil semata. Kebiasaan berangan angan ini terbawa sampai tua. Saya dengan anak anak saya sering bermain sambil tiduran dan membayangkan seolah terbang melintasi awan awan itu. Dunia anak anak. Hanya membayangkan dan memimpikan yang indah indah saja.

Kadang kami mengamati burung burung terbang dan bernyanyi riang di kebun. Ada kepodang, pelatuk, kutilang, kacer, derkuku, manyar, prenjak, emprit peking, srigunting, gagak dan masih banyak yang lain. Kami selalu membayangkan ingin terbang seperti burung burung itu. Selalu beradu pendapat seolah kami adalah burung burung itu. Jika dewasa kami ingin seperti kepodang yang menyanyi anggun, kutilang yang ceria. Saya selalu membayangkan ingin seperti burung sikatan yang begitu gesit dan trengginas. Tak banyak bernyanyi. Tak banyak bersuara. Tetapi kecepatan terbang dan manuvernya luar biasa. Setiap habis mengamati burung burung itu selalu adu pendapat, burung mana yang menjadi idola. Saya tak begitu menyukai burung kacer, walaupun kicauannya indah, suka makan singgat kotoran sapi.

Suatu malam ibu saya bertanya, kalau saya besar ingin jadi apa? Saya jawab, ingin jadi burung sikatan yang gesit. Ibu saya tak senang mendengar jawaban saya. Orang tak bisa jadi burung sampai kapanpun. Tak masuk akal. Paginya saya menyampaikan pesan singkat ke Jumadi. Mulai saat itu saya tak akan membayangkan ingin jadi burung. Tak mungkin. Kami tak banyak mempersoalkan impian jadi burung lagi. Tetapi tetap memuja dan menyukai berbagai jenis burung yang kami kenal. Beberapa tahun kemudian, Gondo berhasil menangkap beberapa burung kutilang dengan jerat. Entah bagaimana kemudian, dia mampu memelihara dan menjadikan burung2 itu pomah (domestic). Nggak di taruh dalam sangkar tetapi bebas di rumah kami. Kadang2 bermain dengan anjing dan mencari kutu di badan anjing tua Pleki.

Suatu pagi kami mendapat cerita tentang Antareja, satria dari cerita Mahabarata, yang mampu hidup di bawah tanah dan air. Dia hanya muncul ke permukaan kalau kangen sama kakaknya Gatotkaca yang bisa terbang. Saya lupa siapa yang cerita, mungkin
Rahmat, tetangga seberang jalan raya yang sudah sekolah. Pagi itu kami duduk duduk di tepi kolam kecil di belakang rumah mBah Kastubi, tetangga sebelah timur kebun saya. (Cucu mBah Kastubi, Purwitono adalah pembaca Koki, saat ini tinggal di Pekan Baru). Mungkin karena imbas cerita tentang Antareja, si Jumari yang kira kira baru berumur empat tahun, berteriak keras dan terjun masuk kolam. Kami tak ada yang berani terjun menolongnya. Saya berteriak sekeras kerasnya. Ada seseorang datang berlari dan menolongnya. Selamat tak ada korban. Hanya Jumari menangis berkepanjangan. Mendengar teriakan saya, saya sama Gondo, dipanggil pulang. Ibu saya memberi peringatan, tidak boleh cerita macam macam, bisa bikin nasib apes atau sial. Hanya dampak khayalan anak anak.

Kami saat itu memang belum mampu membedakan, mana khayalan, mana angan angan, mana impian, mana cita cita. Campur aduk jadi satu. Mixed up. Mulai mengarah ke jalan impian atau cita cita, beberapa tahun kemudian, sewaktu di sekolah rakyat. Guru saya bertanya, Ki kalau dewasa pengin jadi apa ? Karena sering mendengar mitos putri Solo, saya jawab lugas 'Pengin dapat isteri putri Solo". Guru saya terhenyak, Itu bukan cita cita Ndhul. Impianmu ora nggenah. Sewaktu Jumadi ditanya, dia serentak menjawab " Ingin jadi Samson". Guru saya bilang, nggak mungkin cerita Samson sudah lama berlalu ribuan tahun lalu. Tetapi dia juga yang menceritakannya ke kami. Ternyata cita cita itu masih kabur. Istilah manajemennya mungkin, 'not well defined, not tangible, not measurable and not achievable".

Ada seorang blantik (pedagang hewan sapi atau kambing) yang sering datang ke rumah waktu itu. Di mata saya dia sangat gagah.Selalu memegang pecut pendek, celana hitam sampai dibawah lutut, dan sarung melilit pinggang. Topi hitam lebar, lebih banyak dipegang di tangan dari pada dipakai di kepala. Jika menilai sapi dia tak pernah menatap langsung sapi dengan kedua matanya, tetapi hanya melirik sebelah mata. Seolah dialah penguasa dunia binatang itu. Baru kemudian saya tahu kalau dia memang juling. Suatu saat saya bilang ke ibu saya, kalau dewasa saya ingin jadi blantik sapi saja. Apa, belantik kathok kombor itu ? Tak mungkin ! Bapakmu guru, kalau mau niru jadi guru, jadilah insinyur atau dokter dulu. Saya akan berjuang dan berdoa untukmu. Mulai saat itu, cita cita mulai muncul di cakrawala. Walau belum membayangkan jelas, kayak apa itu insinyur. Dokter yang saya tahu hanya, dokter Djajus di Ambarawa. Gagah dan isterinya cantik luar biasa. Belum ada insinyur di Ambarawa waktu itu.

Jumadi kemudian pernah berucap ingin jadi guru. Bahkan dia sudah mengarang nama belakang, kalau dia nanti jadi guru. Sedangkan Kamto pengin memelihara kuda. Hanya orang yang punya ketrampilan khusus yang mampu menguasai kuda. Kami omong omong di bawah rumpun bambu waktu itu. Menyedihkan, beberapa tahun kemudian Jumadi tak meneruskan sekolahnya. Beban beaya terlalu berat waktu itu. Kamto memang punya andong dan kuda di waktu tua. Saya pernah naik andhongnya dengan anak anak sewaktu pulang dari Inggris di tahun 1983.

Cita cita memang campur aduk dengan khayalan, angan angan dan impian. Hanya perkembangan waktu yang akan mematangkan cita cita anak anak. Keputusan terpenting dalam hidup saya sewaktu lulus SMA, mau masuk ITB untuk belajar teknik atau Gadjah Mada belajar kedokteran. Saya ambil pilihan kedua oleh karena lebih dekat dengan kemanusiaan.

Mungkin hanya orang yang agak konyol yang tak bisa membedakan mana angan angan, impian dan cita cita. Di tahun tujuh puluhan, ada seorang tokoh yang mimpi jadi presiden RI. Katanya ketiban wahyu. Kemudian dia mengumpulkan teman temannya dan membuat surat pernyataan untuk ditanda tangani presiden RI waktu itu. Isinya presiden RI menyerahkan kekuasaan sepenuhnya pada sang pemimpi ini. Semua rencana sudah matang, tetapi baru mau minta waktu ke Cendana, sudah ditangkap Kopkamtib, dituduh makar. Masuk penjara 7 tahun.

Untung impian impian alamiah masa kecil saya waktu itu hanya untuk diri sendiri dan terbatas dalam kelompok kami saja. Dan belum ada Kopkamtib waktu itu, yang mampu mendeteksi mimpi. Terutama mimpi yang bisa mengganggu stabilitas nasional. Ada radar khusus untuk ini, dipesan dari seorang dukun yang berkaliber internasional. Banyak anak berkhayal ingin jadi presiden. Kalau Kopkamtib masih ada anak anak ini bisa di litsus atau opsus. Paling tidak bapak ibunya diberi pengarahan politik stabilitas nasional.

Saya tak dapat isteri putri Solo. Juga tak pernah pacaran sama orang Solo. Selalu kalah wibawa berhadapan dengan gadis Solo di tahun tujuh puluhan. Tetapi Nyi Ageng kalau tanggal muda juga ceria kayak putri Solo. Walaupun tak berjalan seperti macan luwe (macan lapar).

Ah angan angan saya kok kapan kapan pengin ngumpulkan teman teman masa kecil dulu. Mengevaluasi kayalan kayalan dan impian masa kecil dulu. Mumpung masih ada waktu.

Di luar sana matahari masih bersinar terang. Pramugari lewat menawari minuman. Saya ambil champagne.

Salam dari balik awan.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 7November 2007)

Wednesday, November 7, 2007

Jaket musim dingin

Salam dari Geneva. Cuaca sudah terasa dingin walau belum menggigit sekali. Baru menembus kulit, belum sampai tulang. Mungkin sekitar lima derajat. Tetapi sudah harus memakai pakaian hangat. Jaket hangat musim dingin. Buat yang tinggal di negeri tropis seperti saya, kadang ingatan tak otomatis datang, untuk siap dengan pakaian hangat. Ada sesuatu yang tak biasa dilakukan yang terpaksa harus dilakukan, jika datang waktu musim dingin ke negara empat musim. Kadang terasa agak repot, tak praktis. Ini yang sedkit saya rasakan sekarang.

Beberapa tahun lalu saya berkunjung ke Mongolia, di bulan Mei. Mestinya sudah mulai musim semi dan cuaca tak terlalu dingin. Ternyata suhu masih sekitar 3 dejajat, dan nggak bawa jaket dan pakaian hangat. Untung hanya tiga hari. Jatuh sakit dan cepat cepat kembali ke Manila. Jika mungkin maunya menghindari perjalanan di musim dingin ke negara negara seperti Mongolia dan China.

Perjalanan kali ini juga tak mungkin dihindari. Mau tak mau harus pakai jaket dan pakaian hangat walau terasa agak risih dan berat. Kalau pas pakai coat kok badan seperti melembung kayak kalkun. Tambahan lagi saya nggak terbiasa lagi pakai kaos dalam sejak tiga puluh tahun terakhir. Pakai kaos hanya kalau pakai pakaian Jawa, itupun paling lama hanya tiga jam, kalau ada acara mantenan.

Dua hari lalu sewaktu naik bis dari stasiun Cornavin ke Appia Avenue, ke kantor pusat, dua orang penumpang yang duduk berseberangan menatap aneh jaket saya. Jaket warna krem dengan model lumayan trendi saya beli beberapa tahun lalu di Manila. Nggak nampak ndesit (ndeso) sama sekali dengan jaket itu. Ternyata ada noda merah di lengan kiri. Saya tidak cek di Manila sewaktu ambil dari penatu. Noda tak begitu menyolok, bisa ditutupi dengan menggulung sedikit lengan jaket. Tetapi perasaan agak terganggu, nggak PD. Ketemu seorang kawan lama di koridor, Detta. Cipika cipiki,dia menyapa akrab. "What happen to you ? Having accident or killing somebody ? Ternyata dia melihat noda merah di lengan kiri jaket saya. Asyem, pikir saya makin terganggu !

Hanya sekedar penghangat badan. Tetapi seperti halnya topi, cincin, dan syaal saya selalu punya rasa dan kenangan khusus dengan atribut2 tersebut. Perkenalan dengan jaket hangat pertama kali bulan Januari 1980. Pertama kali ke Inggris waktu itu untuk menjalani pendidikan paska sarjana. Saya dapat pinjaman dari adik ipar, jaket panjang atau coat terbuat dari bahan kordore. Modelnya juga sangat pas waktu itu, panjang sampai sedikit di bawah lutut. Model intel tetapi warnanya coklat lembut. Belum kuat beli sendiri. Gaji pegawai negeri pertama kali belum penuh waktu itu, hanya empat puluh lima dollar per bulan.

Di Newcastle, di tahun 1982, Nyi mendesak agar saya beli jaket dengan model yang lebih sport dan casual. Akhirnya dapat di Marks Spencer, jaket sedang sampai di atas lutut. Warna krem ringan bahan polyester. Serbaguna oleh karena waterproof, tetapi tidak rainproof. Harganya relatif murah. Hanya 24.99 sterling waktu itu. Dua saku besar di depan dan di samping kiri dan kanan, sangat mengenakkan. Bisa sebagai tempat penyimpangan logistik sementara. Kotak makan, pisang raja dan buah apel bisa tertampung tanpa nampak melembung. Jaket ini berumur sampai beberapa tahun. Saya lupa nasib jaket itu waktu kembali ke Yogya. Kalau nggak salah saya berikan ke tenaga yang membantu menata rumah di Condongcatur di tahun 1985 .

Kami kembali ke Indonesia tahun 1983. Di pertengahan delapan puluhan mulai terlibat konsultasi ke banyak tempat. Saya masih ingat benar waktu itu kesukaan saya adalah jaket kulit. Satu warna coklat tak merata, saya beli New Delhi. Satu warna krem beli di Nepal. Dan satu warna hijau muda pemberian adik saya buatan Salatiga. Modelnya lumayan bagus. Sayang ketiganya bernasib malang Di kerokoti tikus sewaktu digantung di dinding. Mungkin baunya masih peka untuk tikus. Oh ya saya masih ingat ada satu lagi jaket kulit warna hitam beli di Madras. Beberapa tahun dipakai kok lantas jadi kaku sekali, bisa disandarkan di dinding. Saya tak pernah lagi berniat punya jaket kulit. Namun tiga tahun kemarin anak saya kedua menghadiahkan satu jaket kulit dan satu jaket kasual untuk dipakai sehari hari. Bukan untuk musim dingin. Jarang saya memakai jaket kulit sekarang, sudah umur rasanya nggak pas saja. Setiap kali pakai jaket kulit, malah ditanya 'sedang sakit?'

Di akhir delapan puluhan, setahun dua kali harus ke Washington ok kebetulan jadi penasehat salah satu lembaga standarisasi obat di sana (US Pharmacopeia). Sudah lama sekali tak ingat tempat tempatnya secara tepat. Kantor tempat rapat di Rokville Pike di Bethesda kalau ngak salah. Suatu sore jalan jalan mau beli kacamata, ada saudara minta di belikan Ray Ben. Nggak dapat kaca matanya. Tetapi malah tertarik ada coat (jas panjang) dari kain drill halus warna abu abu. Model seperti seragam musim dingin tentara Rusia. Ada ikat pinggang dengan timang keemasan, ada lipatan di kedua pundak seperti untuk menempatkan tanda pangkat. Ada topi yang bisa dilepas. Saya sudah beberapa waktu ingin jas model itu tetapi harganya di Eropa mahal betul. Overcoat itu buatan Meksiko, harga cuma 99 dollar.

Senang sekali memakai jas panjang, sampai di bawah lutut. Sedikit terasa agak berat dan susah dipakai kasual. Terlalu resmi dan nggak ramping. Sampai sekarang masih sering saya pakai kalau pas pergi musim dingin. Mungkin akan tambah pas kalau dipakai dengan sepatu lars tinggi. Saya punya beberapa model topi dan syaal yang pas dengan jas panjang ini. Dua tahun lalu ketinggalan sewaktu makan di restaurant di Geneva. Saya minta di kirim kehotel pakai taksi, bayar 25 franc. Jas itu nilainya nggak sampai segitu sekarang tetapi tak apa saya masih senang. Terkesan kalem dan nggak bisa berkelebat ke sana kemari oleh karena memang agak berat.

Beberapa tahun lalu sesudah pindah ke Manila, saya menemukan jaket hangat seperti yang dulu saya beli di Newcastle itu. Tak sengaja waktu jalan jalan di Shoemart Harison Plaza. Warna krem persis jaket hangat saya dua puluh tahun sebelumnya. Terasa ringan dan ramping, panjang di atas lutut. Cocok dipakai jika hawa tak sangat dingin. Terlalu tipis jika musim dingin telah tiba di bulan Januari atau Desember. Entah berapa kali jaket ini ketinggalan, di tempat rapat, di rumah makan, tetapi masih selalu saya temukan kembali. Empat minggu lalu sekembali dari Geneva, saya kirim ke laundry kok tahu tahu sekarang ada noda merah. Apalagi dengan kantong dua besar besar. Bisa untuk menyembunyikan tangan dari hawa dingin.

Siang tadi saya memakai jaket itu berjalan jalan menyusuri tepi danau Geneva. Rencana pengin ke Jardine botanical garden. Tetapi kok terasa dingin dan capai oleh karena semalam beberapa kali terbangun. Tetangga kamar berkali kali bicara keras dengan temannya di koridor. Hanya berjalan jalan melihat orang lalu lalang. Tak sengaja melihat beberapa model jaket di satu toko di rue Chantepoulet. Hanya melihat sebentar, ada dua model yang menarik. Satu warna abu2 agak gelap dan satunya coklat kemerahan. Jaket pendek di atas lutut. Menelusuri tepian danau. Sangat indah dan bersih.

Setelah lepas jalan di sekitar danau, saya kembali ke toko itu dan mulai saya mencoba-coba. Kelihatan pas dan ringan. Penjaga toko dua orang muda mudi, mungkin kakak beradik, sekitar umur dua puluh tahunan. Tak banyak pengunjung. Hanya ada dua orang pengunjung di samping saya. Musik reggae menggema dalam ruang toko ukuran sedang dan tertata sangat artistik. Saya tanya ke kedua orang tadi. Anda suka dansa dengan irama lagu itu ? Mereka hanya menggeleng, bahasa Inggrisnya tak lancar sama sekali. Si gadis memanggil ibunya, nggak tahu omong apa. Anda suka ballroom, Tanya si mama? Yes of course. Kami sempat dansa reggae di dalam toko sekitar 2 menit. Pengunjung satunya agak terperanjat. I will reduce the price 20 france for the dance. Asem nggak dikorting 20 france pun pasti saya ambil jaket itu. Coklat kemerahan buatan Jerman. Lumayan murah harga salenya hampir separohnya.

Waktu di hotel saya tilpun Nyi. Dia pengin dibelikan sekalian. Coat yang Nyi miliki beli di pasar Hong Kong dua tahun lalu. Sangat sederhana dan ukuran kekecilan. Buru buru kembali ke toko itu dengan memakai jaket yang coklat kemerahan itu. You are lucky to have that jacket, katanya. Tak banyak pilihan untuk wanita. Hanya ada satu model dan relatif konvensional sekali. Saya keseberang jalan, ada toko khusus busana wanita. Sepi tak ada pengunjung. Ada dua penjaga wanita, relatif usia lanjut. Tak lancar bahasa Inggris tetapi mencoba menjelaskan berbagai model yang mereka punya. Beberapa jaket dengan harga diskon. Ada satu warna lumut yang modelnya kelihatan cocok untuk Nyi. Saya tilpun NYI menyesuaikan ukurannya. Saya putuskan ambil jaket itu. Sambil nunggu saya bilang ke penjaga toko itu, "Please write the original price, not the discounted price". Dia tertawa, '' You are terrible", katanya. I am trying to be a good husband. Whatever !

Saya berjalan lembali ke hotel. Hanya tentang jaket hangat musim dingin. Membawa kembali ingatan riwayat jaket jaket saya sebelumnya. Saya memakainya dengan rasa senang dan sayang, with great affection. Cintailah dan sayangilah apa pun yang anda miliki. Hidup terasa indah dan damai.

Ki Ageng Similikithi


(Dimuat di Kolom Kita KOmpas Cyber 5 November 2007)

Tuesday, October 16, 2007

Mental priyayi dan kebanggaan profesi

Menjelang dini hari di bandara Cengkareng. Baru saja datang dari Manila dengan Cebu Air Pacific, tengah malam tadi. Menunggu pesawat ke Yogya nanti jam enam. Di salah satu kafe terminal keberangkatan saya menunggu sambil terkantuk kantuk. Sepi pengunjung. Hanya ada beberapa pembeli. Ada satu keluarga, bapak, ibu dan anak gadisnya yang tertidur di meja seberang. Dan beberapa petugas yang sedang istirahat minum di ruang sebelah sambil ngobrol.

Sambil menahan kantuk saya menulis cerita ini. Mulanya pengin cerita tentang perasaan saat pulang tiba di bandara. Pulang ke Yogya. Sudah ratusan kali saya alami sejak tahun delapan puluhan.

Namun tiba tiba pikiran berubah. Seorang petugas polisi menyapa dengan ramah, kemudian dia duduk bersama dengan teman temanya di meja sana. Tak ada yang istimewa sebenarnya. Tetapi agak aneh buat saya. Ada tulisan dilarang merokok jelas terpampang di kafe ini. Tetapi rombongan petugas polisi yang sedang istirahat itu merokok dengan tenang. Mestinya merekalah yang ikut menegakkan aturan dilarang merokok di bandara ini. Sesudah beberapa saat, saya pindah keluar. Saya berjalan menelusuri terminal keberangkatan. Banyak calon penumpang yang menunggu pesawat lanjutan sedang berstirahat. Terminal ini sebenarnya artistik dan asri.

Seorang calon penumpang asing nampak terbaring di salah satu bangku. Tiduran sambil merokok dan di sampingnya berserakan botol bekas minuman. Nampak tak peduli dengan larangan merokok. Tak bisa disalahkan. Jika petugaspun tak mampu mentaaati, mana orang akan mentaati aturan. Ternyata di dalam terminal juga sama saja. Banyak petugas baik yang sedang bertugas maupun beristirahat pada merokok. Walaupun jelas ada tulisan dilarang merokok di mana mana. Seolah hanya jadi bagian dari dekorasi yang meramaikan dinding2 terminal.

Keinginan menulis saya berubah. Sekedar ingin menulis tentang kebanggaan petugas terhadap profesi dan tugas yang diembannya. Tak ada maksud untuk mencerca dan menjelekkan sama sekali. Di masa lalu kita selalu mendengar kritikan keras terhadap pejabat atau petugas yang bermental priyayi. Tak jelas benar apa itu mentalitas priyayi. Bisa feodal, bisa minta selalu diladeni. Setelah jaman kemerdekaan apa yang berbau mentalitas priyayi di babat habis. Terutama yang berakar dari bekas bekas pegawai pemerintahan Hindia Belanda.

Betulkah hanya sifat feodalisme, sifat yang minta selalu diladeni itu saja yang ada dalam apa yang disebut mentalitas priyayi itu ? Benarkah hanya ada keburukan dari apa yang dikenal dengan mentalitas priyayi ? Saya menerima kesan yang berbeda tentang persepsi mentalitas priyayi dari mereka yang pernah menjadi priyayi, pegawai pemerintah jaman Hindia Belanda.

Ketika saya kecil saya mengenal pakdhe saya almarhum yang pernah menjadi pegawai PTT (lupa kepanjangannya mungkin poste, telegraf dan telefone). Jabatan terakhir sebagai Kepala Kantor Pos Ambarawa di tahun lima puluhan. Saya bertahun tahun selalu tidur di rumah beliau setiap malam. Dari beliau saya melihat disiplin yang begitu tinggi. Berangkat kantor, pulang kantor, makan pagi, makan siang, waktu selalu sama. Ada jam saku yang selalu beliau pakai. Selalu memakai jas, topi bundar (seperti topi safari) dan tongkat. Tak banyak bicara. Setiap perkataan selalu diperhitungkan. Seolah ada protokol ketat bagaimana saya harus bicara dengan beliau. Tak ada istilah telat atau terlambat.

Ketika mahasiswa saya mondok di Patangpuluhan, di tempat almarhum Bpk Slamet yang pensiunan DPU (Dinas Pekerjaan Umum) dan pernah bekerja sebagai engineer sipil di jaman Hindia Belanda. Beliau yang membangun jalan Wonosobo Dieng. Pernah saya ceritakan di Koki bagaimana bangganya menyelesaikan tugas. Puluhan kali saya mendengar beliau mendemonstrasikan suara ledakan dinamit "bleeeeeeng" sewaktu membangun jalan itu. "Ini jalan termiring di seluruh Indonesia".

Walau kami sering terpingkal mendengar ceritanya, tetapi jelas benar kebanggaan beliau akan profesinya sebagai penanggung jawab pembangunan jalan itu. Kebanggaan akan menyelesaikan tugas dengan baik. Yang bikin kami semua geli sewaktu beliau cerita, akan meledakkan satu batu besar. Penduduk berkeberatan karena batu itu angker. Jawabannya " Saya ini bertugas, kalau perlu dhemit dan setan pun saya lawan" "Bleeeeeeeng", dinamit itu meledak katanya setan dan dhemit pada lari. "Saya bukan kelas pekerja, saya seorang priyayi dan tak pelu gentar menghadapi setiap halangan dalam tugas".

Di tahun 1973, sewaktu kami masih ko- asisten, punya seorang tetangga pegawai kantor pos. Umurnya masih sekitar pertengahan tiga puluhan. Setiap pagi kami bertemu di warung makan pagi di Patangpuluhan Yogyakarta. Dia selalu datang jam 0620 di warung, pesan teh panas dan nasi dengan sayur tempe. Jam 0640, dia cepat cepat berangkat ke kantor. Orangnya pendiam, tak suka banyak bicara. Dalam satu kesempatan dia cerita mengenai pekerjaannya. Dia sudah bekerja selama sepuluh tahun. Mula mula sebagai pengantar surat, kemudian tiga tahun terakhir katanya sering ditugaskan mengawal kiriman pos ke Bandung lewat kereta api. "Belum pernah saya gagal mengawal kiriman. Tak pernah kehilangan ".Temannya banyak kali kehilangan barang yang dikawal. Dia tak pernah mau diajak kompromi kiri kanan. Tugas mengawal barang adalah nomer satu.

Dari ke tiga cerita tadi saya mendapat kesan kuat akan adanya kebanggaan akan profesi, kebanggaan dan kesunnguhan menjalankan tugas dengan baik, dan kebiasaan disiplin yang tinggi. Mentalitas priyayi selalu kita sorot sisi negatipnya semata mata. Tak pernah kita melihat secara kualitatif dibalik mentalitas itu. Mereka memang tak ingin disamakan dengan orang kebanyakan atau kelas pekerja yang tak punya etos kerja. Para petugas di bandara yang saya lihat kali ini, mungkin tak punya kebanggaan profesi, tak punya kebanggaan menjalankan tugasnya dengan baik, minimal untuk tidak merokok sesuai dengan aturan yang harus di jalankannya. Bagaimana mau memberantas korupsi di negeri ini jika para petugas pun tak mampu menegakkan aturan larangan merokok ?

Sektor publik kita banyak kehilangan kebanggaan profesi, kebanggaan menjalankan tugas dengan baik, sikap disiplin dalam menjalankan tugas. Kolusi dan korupsi terjadi di banyak lini dengan mempertaruhkan martabat profesi dan jabatan. Anggota DPR , bupati, kadang merangkap profesi, bahkan bermain film biru. Jamane jaman edan. Para pejabat bermental "priyayi " yang memiliki kebanggaan profesi, tugas dan disiplin harus terpinggirkan. Tergantikan oleh mereka yang bertutur kata indah, bermuka manis, tetapi bermental pengerat (dalam filsafat Jawa dikenal sebagai barisan para bacingah).

Salam damai dan Selamat Merayakan Hari Raya Idul Fitri.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 17 Oktober 2007)

Monday, October 1, 2007

Glastnost - keterbukaan

Salam dari Geneva. Siang hari sehabis makan siang. Baru saja selesai acara pertemuan. Masih ada janjian untuk ketemu seseorang nanti jam tiga. Penerbangan pulang nanti malam jam setengah tujuh. Sambil menunggu saya mulai menulis cerita ini. Kali ini agak berat, bicara tentang politik. Sejarah politik tentang keterbukaan dan kebebasan.

Keterbukaan selalu merupakan kata mutiara yang harus diamalkan di dunia nyata bagi para tokoh demokrasi. Demokrasi tak bisa dipisahkan dengan keterbukaan dan kebebasan. Kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan kebebasan untuk melihat sesuatu secara jernih. Dalam situasi keterbukaan manusia bisa melihat dengan jernih dan pikiran tenang. Saya selalu mencoba mengerti, menghayati dan kadang kadang melihat keterbukaan ini dengan kebebasan yang ada dalam rambu rambu hukum dan sosial.

Bagi yang berminat dalam sejarah politik, pasti akan ingat siapa yang melontarkan kata
Glasnost, yang hakekatnya bermakna keterbukaan. Adalah mantan presiden Uni Soviet, Mikhail Gorbachev. Glasnost yang dia pelopori telah meruntuhkan negara adi daya Uni Soviet dan negara negara Pakta Warsawa. Eksperimen sosial politik paham komunisme yang telah berjalan lebih dari lima puluh tahun luluh lantak dengan runtuhnya sistem komunisme di berbagai negara.

Saya bukan ahli politik dan selalu gagal mempelajari perkembangan wahana keterbukaan ini dari kaca mata politik. Selalu macet di tengah jalan. Inilah kisah konyol ketidak mampuan saya membaca artikel tentang Mikhail Gorbachev dan teori glasnost dan perestroika.

Beberapa bulan lalu saya bersama Nyi dalam perjalanan pulang ke Yogya, lewat Singapura. Menunggu sambungan penerbangan ke Jakarta selama dua jam di bandara Changi. Saya mencoba membaca artikel yang menceritakan tentang riwayat gerakan glasnost dan perestroika yang digalakkan oleh Presiden Mikhail Gorbachev. Mula mula memang sangat asyik membaca artikel tersebut. Tetapi lama lama kok jenuh, kemampuan mengikuti dan berkonsentrasi terhadap pokok masalah buyar. Rupanya lebih menarik melihat gaya bicara presiden Mikhail Gorbachev di televisi dari pada membaca pikiran pikirannya lewat artikel dari penulis politik. Kemampuan imaginasi saya begitu terbatas untuk mengendapkan pengertian glastnost dan perestroika.

Saya mencoba istirahat mau tiduran sebentar. Kaca mata gelap yang barusan dibeli saya pakai supaya bisa memejamkan mata sejenak. Nyi Ageng sudah jalan jalan sendiri lihat toko toko di bandara. Saya mulai mengantuk. Banyak orang bisa menikmati rasa kantuk, terutama kalau pas rapat atau mendengarkan pidato. Saat itu saya sempat menikmati rasa kantuk yang membelai.

Tak saya sadari seorang bapak bersama isteri dan dua anak gadisnya, duduk di muka saya. Dia kira kira pertengahan empat puluhan, nampak ganteng dan berwibawa. Saya tetap menikmati rasa kantuk saya. Mereka ngobrol sambil bergurau akrab. Kelihatan bahagia benar. Mereka ngobrol sambil bergurau ringan. Kedua anak gadisnya nampak manja sama sang bapak.

Tak lama kemudian ada dua wanita, ibu ibu dengan pakaian modis duduk di sebelah kiri saya. Keduanya memakai celana panjang jean. Juga ngobrol asyik sendiri sambil ketawa renyah. Kadang2 cekikikan. Boleh tahan lah. Si bapak yang tadinya ramai bergurau dengan isteri dan kedua anak gadisnya kemudian diam asyik membaca koran. Serius benar. Sambil lalu saya melihat wajahnya dibalik lembaran koran, tetapi pandangan matanya kok nggak fokus membaca koran. Mula mula saya nggak perhatian. Tetapi lama lama kok mulai bertanya Instink intel saya mengatakan, something is going wrong. Tiba tiba saja instink muncul, pengin tahu apa yang terjadi.

Saya menoleh ke arah kedua ibu ibu yang asyik ngobrol ketawa ketawa renyah tadi. Eee ladalah ternyata mereka berdua mengenakan celana panjang dan baju kaos seksi. Nampak jelas bagian perut mereka terbuka dan sangat mudah terlihat walau tanpa kijker. Batin saya, inilah penyebab bapak itu asyik sekali pura pura baca koran. Belum habis rasa kaget saya, ternyata baru saya sadar kalau isteri bapak tadi dan kedua anak gadisnya juga memakai pakaian dengan gaya modis yang sama, perut terbuka. Transparan dan demonstratif.. Saya hanya bisa menyebut ”Aja kagetan lan aja gumunan" Jamane jaman keterbukaan dan transparansi. Nggak ngimpi nggak ada firasat apa apa, kok wudel (pusar) bertaburan. Inilah refleksi dari teori glastnost yang sedang saya baca tadi.

Dalam beberapa tahun terakhir memang nampak benar berkembangnya mode pakaian dengan perut terbuka. Pusar terlihat jelas sebagai lambang keterbukaan dan kebebasan individu, sekaligus lambang kecantikan. Tak hanya di kalangan anak gadis belasan tahun, tetapi juga di kalangan ibu ibu. Sah sah saja dan saya tidak ada maksud menghujatnya sama sekali. Toh ini hak dan kesenangan masing masing orang. Nggak ada manfaatnya menghujat. Kalau senang ya dilihat atau diterapkan. Kalau nggak senang ya diamkan saja. Tetapi kalau ada mata yang melirik jangan gampang mengeluh pelecehan. Yang melihat kan juga punya kebebasan untuk melihat dengan jernih.

Ingatan saya mencoba kembali ke teori glasnost dan perestroika dari presiden Mikhail Gorbachev. Keterbukaan dan kebebasan. Ternyata jauh lebih mudah mencerna teori itu dari sisi mode pakaian masa kini. Tak perlu banyak konsentrasi dan imaginasi. Semua gampang dimengerti. Tak perlu teori muluk muluk tentang ilmu politik. Orang bisa saja menghujat, namanya Ki Ageng kok suka melirik wudel. Lha wong namanya negara adidaya Uni Soviet saja runtuh karena keterbukaan dan kebebasan, kok manusia biasa harus menutup mata pura pura nggak melihat. Kan ini juga bagian dari kebebasan melihat dengan jernih dan jelas. Hanya manusia biasa.

Jamannya ya memang jaman keterbukaan. Kebijakan dan administrasi publik harus transparan dan terbuka. Tak secepat yang dibayangkan. Korupsi dan penyelewengan kewenangan publik masih merajalela. Masih kalah cepat dengan perkembangan keterbukaan wudel sama perut bo.

Wis embuh lur, jamane jaman edan.

Salam damai dan keterbukaan.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom kita Kompas Cyber Media, 1 Oktober 2007)

Saturday, September 29, 2007

Gray''s Anatomy

Salam dari bandara Frankfurt. Jam tujuh pagi. Barusan tiba untuk transit ke Geneva. Ada waktu dua jam lebih menunggu. Semalam berangkat jam sembilan dari bandara Nino Aquino, Manila dengan pesawat Lufthansa. Lumayan bisa tidur lelap dan menikmati dua filem, Mr. Bean dan Gray's Anatomy. Filem kedua dibintangi oleh bintang2 tenar yang menggambarkan cerita ringan pengalaman para calon dokter sewaktu pertama kali kerja praktek di klinik. Cerita ini mengingatkan saat saat saya menjalani kepaniteraan klinik pertama kali di awal tahun tujuh puluhan. Kasus kasus serupa juga kami hadapi waktu itu hanya teknologi diagnostik dan terapi yang diperlihatkan dalam film ini benar2 mutakhir.

Hanya saja judulnya kok nggak pas benar . Gray's Anatomy adalah judul buku teks sekaligus atlas anatomi yang pasti setiap mahasiswa kedokteran di seluruh dunia selalu menekuninya sewaktu mereka mengambil mata kuliah anatomi di tahun pertama atau ke dua. Di Indonesia dan di Eropa mungkin banyak dipakai buku teks/atlas anatomi Spalteholz. Cuma yang terakhir ini harganya memang lebih mahal. Buku buku ini lebih banyak dipakai di tahun tahun awal kedokteran, dan nggak terlalu banyak dipakai waktu para calon dokter masuk praktek klinik.

Dikisahkan ketika para calon dokter ini menghadapi pasien dengan berbagai jenis penyakit pada siklus pertama kerja praktek di rumah sakit. Di Indonesia sering dikenal dengan istilah ko-skap atau kepaniteraan klinik. Beberapa kasus klinik yang ditampilkan adalah khas kasus kasus yang dihadapi dalam pelayanan darurat di rumah sakit. Ada kasus emboli paru yakni masuknya udara ke pembuluh darah paru sebagai komplikasi operasi, aneurisma (pelebaran) pembuluh darah di otak , operasi apendektomi dan lain lain. Pokoknya segala macam kasus sehari hari yang dihadapi dirumah sakit rujukan.

Ingatan saya melayang di tahun 1974. Kejadian yang saya ceritakan ini hanyalah sebagian kecil dari ragam kasus dan peristiwa yang terjadi semasa ke paniteraan klinik Kejadian pertama di rumah sakit umum Klaten, waktu itu namanya belum RS DR Soeradji. Saya menjalani kerja praktek di Bagian Kandungan dan Kebidanan bersama beberapa orang teman. Jika nggak salah kami bertiga atau berempat. Ada seorang dokter asisten ahli, yang sedang menjalani tahun terakhir pendidikan spesialisasi yang juga sedang dinas di rumah sakit tersebut. Dokter S yang menurut hemat kami sangat terampil dan intelligent. Kami semua tidur di rumah sakit. Harus siap 24 jam. Suatu siang ada kasus kehamilan mola. Suatu kelainan kehamilan yang berkembang menjadi tumor seperti buah anggur. Siang hari pasien telah menjalani operasi dengan lancar, tak ada keluhan apa apa. Operasi berjalan lancar. Saya menjadi asisten dua operasi.

Salah satu komplikasi paska operasi yang paling ditakuti adalah emboli pembuluh darah paru. Semua prosedur telah dilakukan dengan lancar termasuk pencegahan komplikasi paska operasi. Dokter S sesaat sesudah operasi mengatakan, semua tindakan yang diperlukan telah dijalankan. Bila komplikasi emboli paru terjadi, angka kematian masih sangat tinggi waktu itu. Sebagian besar kasus emboli paru biasanya gagal teratasi dan meninggal. Sore dan malam itu sangat tenang. Nggak banyak pasien darurat yang masuk. Semua pasien rawat inap terawasi dengan baik. Jam sembilan malam saya masih berkeliling bangsal mencek kondisi pasien terutama yang menjalani operasi atau tindakan di siang harinya.

Jam sebelas malam saya kembali ke kamar. Jam 0230 tiba tiba dibangunkan "Pasien X mendadak nyeri dada dan sesak napas".Saya begitu terkejut dan lari ke bangsal. Saya dapati pasien yang tadi siang menjalani operasi mengangkat kehamilan mola, dalam kesakitan hebat dan sesak napas. Dokter S berlari datang kurang dari lima menit kemudian. Saya sempat berteriak "Dok emboli paru". Hati saya sangat kecut. Terapi yang diperlukan kami berikan termasuk morfin untuk mengurangi nyeri dan pemasangan oksigen. Jam 0300 pasien membaik, tensi membaik, nyeri berkurang dan pasien bisa tertidur kembali. Pasien dalam pengawasan ketat. Kami diharuskan mengontrol setiap saat. Direncanakan untuk merujuk kasus ke rumah sakit yang lebih lengkap di Yogya. Jam delapan pagi sesak napas menghebat dan pasien tak tertolong meskipun semua penanganan yang ada telah diberikan. Semua tercekam kebekuan.

Tak seperti dalam film Gray's Anatomy, di mana para ko-asisten nampak begitu ceria walaupun juga ada kasus yang meninggal, kami bertiga begitu terdiam dan tegang menyiapkan laporan kematian. Ini kasus kematian pertama yang saya hadapi sejak masuk kepaniteraan klinik sejak beberapa bulan lalu. Dokter S nampak tetap tenang dan menyampaikan ucapan belasungkawa ke keluarga pasien. Kami sudah berusaha mengatasi semaksimal mungkin.

Kasus lain yang saya tak akan lupa adalah sewaktu menerima pasien rujukan dari Gunung Kidul di rumah sakit Mangkuyudan Yogyakarta. Suatu sore yang tenang, saya kebetulan jaga dan habis mandi sore hari. Tiba tiba datang kiriman pasien diangkut dengan mobil kolt. Seorang wanita umur antara tiga puluhan dalam proses persalinan. Sebelumnya telah ditangani dukun (laki2). Berdasarkan wawancara dengan suami pasien, rupanya karena persalinan nggak maju dukun mendiagnosa bahwa jalan lahir dihalangi oleh setan. Dukun mendorong perut pasien dengan kaki, dan kemudian terjadi perdarahan hebat. Pasien dalam keadaan syok, tekanan darah sangat rendah. Pemeriksaan memastikan kalau sudah terjadi ruptura kandungan atau dinding kandungan robek. Dokter senior secepat mungkin dilapori tindakan operasi disiapkan.

Saya bertugas menjelaskan ke suami pasien dan mendapatkan persetujuan untuk operasi darurat. Saya ikut sebagai asisten 2 operasi. Operasi bisa dimulai dalam waktu relatif singkat. Sewaktu dinding perut dibuka, nampak jelas kandungan sudah pecah dengan robekan di berbagai tempat. Janin sudah meninggal dan sebagian lengan janin nampak di luar kandungan. Jaringan kandungan sudah sangat rapuh. Nggak mungkin menyambung dengan menjahitnya. Satu satunya cara untuk menyelamatkan nyawa pasien adalah mengangkat kandungan. Tak mungkin memberitahu lagi keluarga pasien oleh karena balapan dengan waktu. Hati saya kecut dan pesimis kalau pasien akan teratasi dengan kondisi kandungan demikian parah. Dukun itu memang keparat. Operasi berjalan baik, kondisi pasien stabil. Pasien sembuh setelah lewat seminggu. Walaupun hanya ko asisten, kami merasa sangat bersyukur melihat pasien pulang dengan kondisi sehat.

Suasana kepaniteraan klinik (internship) memang menarik dalam film. Dalam kenyataannya tidaklah seceria yang dibayangkan. Dari hari ke hari tekanan datang silih berganti. Pasien gawat datang silih berganti. Kadang berhasil ditangani kadang kadang gagal. Sering dampak psikologis menyaksikan saat saat terakhir pasien menghembuskan napas, tidaklah mudah hilang dari ingatan.

Saya menyelesaikan tulisan ini di Geneva sambil mengikuti rapat. Baru sadar kalau kaca mata saya ketinggalan di bandara Frankfurt sewaktu kontrol keamanan sebelum masuk anjungan keberangkatan. Luftansa katanya mau ngirim kok belum ada berita.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Klom Kita Kompas Cybermeda, 29 September 2007)

Friday, September 7, 2007

Lamunan di antara lembah dan bukit

Salam hangat untuk semua. Cerita kali ini tentang lembah, gunung dan bukit. Tentang alam dan lingkungan alam. Saya dibesarkan di kaki perbukitan. Di tepian hamparan lembah yang indah. Saya selalu mempunyai kesan khusus tentang bukit, tentang gunung dan lembah. Di masa kecil lamunan selalu merayap menelusuri lembah itu, merayapi bukit bukit dan gunung di sekitarku, melanglang langit dan menembus cakrawala. Dalam lamunan, langit memang tak berbatas. Gunung dan bukit yang tinggi dapat dengan mudah kita lewati. Melanglang dunia, membayangkan keindahan alam. Walau hanya lewat lamunan.

Lembah atau dataran tinggi Ambarawa adalah yang paling dekat dengan emosi saya. Memasuki Ambarawa dari arah Magelang, dari ketinggian perbukitan di Bedono anda akan melihat hamparan lembah di bawah. Di bawah sana terlihat Rawa Pening. Sayang rawa itu semakin mengering kini. The drying water, the crying water. Mungkin tak seindah bayangan anda. Tetapi bagi saya yang dibesarkan di daerah ini, lembah Ambarawa adalah tujuan lamunan di waktu kesepian dulu. Terutama waktu waktu pertama tinggal di Solo di tahun enam puluhan. Solo yang ramai dengan gelak tawa manusia, begitu kontras dengan bukit bukit sepi di sekitar desa saya.

Ada sepasang gunung di Selatan lembah, Telomoyo dan Gadjah Mungkur. Gunung Telomoyo adalah bagian dari rangkaian gunung berapi Merapi, Merbabu, Telomoyo dan Ungaran ((http://www.langsing.net/gunung/telomoyo/telomoyo.html). Saya selalu menatapnya dari depan beranda rumah tua. Atau dari bukit dibelakang rumah saya. Dua gunung itu begitu tenang sepanjang jaman. Sejak jutaan tahun lalu, mungkin tak berubah. Kedua gunung itu begitu teguh, diam membisu. Tak pernah bergejolak, tak pernah meletus. Seumur umur saya belum pernah mendaki puncak kedua gunung itu, walau sering mengunjungi desa desa di lerengnya. Jika anda mengendarai mobil antara Magelang dan Salatiga lewat Kopeng, seolah anda melihat puncak puncak gunung itu di sebelah anda. Seperti perjalanan ke Nirwana.

Di sebelah utara arah ke barat di atas Ambarawa, anda bisa menuju Bandungan dan Sumowono. Di antara kedua kota kecamatan ini ada bangunan candi kuno yang sangat magis dan indah di bukit Gedong Songo. Ada sembilan candi indu di situ yang sudah berumur hampir 1500 tahun. Seperti nenek moyang bangsa2 Indian dan Asia lainnya, nenek moyang kita mungkin berpikir bahsa semakin tinggi semakin dekatlah manusia dengan Sang Pencipta. Saya selalu membawa teman2 dari luar Indonesia untuk berkunjung ke sini. Candi yang sering diselimuti kabut itu memberi kesan sakral dan magis) .

Di tahun 1998, seorang teman antropolog dari Belanda, yang kelahiran Balikpapan, begitu terpesona menatap candi yang berselimut kabut di antara hutan pinus. Ada rasa aneh, rasa magis yang merasuk. Nggak tahu, mungkin karena belerang atau yang lain. Persis seperti perasaan yang anda alami sewaktu melewati dataran tinggi Dieng, seolah masuk ke alam lain, alam Nirwana. Saya beberapa kali naik mobil lewat jalan jalan terjal perbukitan dari Sumowono ke Temanggung. Pemandangan menakjubkan.

Salah satu bukit yang selalu datang dalam impian saya adalah gunung Kendalisodo di sebelah timur laut Ambarawa. Gampang di capai lewat Ambarawa. Dari gunung kecil itu pandangan lepas ke bawah ke arah utara. Saya mengunjungi bukit ini pertama kali di tahun 1963. Masih penuh belukar waktu itu dengan pohon jambu mete di punggungnya. Mungkin tak indah sekali, tetapi tak tahulah, banyak kali saya bermimpi indah mengenai bukit ini.

Gunung Merapi dan Merbabu selalu nampak mesra sepanjang masa. Ada novel di tahun tujuh puluhan berjudul Semesra Merapi Merbabu. Pasangan gunung itu memang nampak mesra. Walaupun Merapi sering muntab, meletus, tetapi Merbabu tak pernah bergeming. Selalu diam dan sabar dan tak terpancing. Alangkah bahagianya seseorang yang mempunyai pasangan demikian sabar dan tenang. Cuek sepanjang jaman. Tetapi itu memang gunung, mau bisa apa. Lain gunung lain manusia. Gunung nggak pernah nggosip, nggak pernah punya TTM, nggak pernah kopdar. Jika sedang meradang pemandangan lava pijar yang mengalir dari puncak Merapi begitu jelas di lihat dari arah Yogya atau Magelang. Nampak mempesona dari jauh. Namuan tak terbayangkan daya rusaknya yang maha dahsyat. Itulah salah satu alasan mengapa kerajaan Mataram kuno pindah ke Jawa Timur seribu tahun lalu.

Di sebelah Timur Yogyakarta ada bukit Boko. Di puncak bukit ini terdapat bekas keraton Ratu Boko). Keraton Boko adalah kerajaan Hindu terakhir di Jawa. Dari halaman bekas keraton ini anda akan melihat betapa arsitek2 di jaman dulu begitu titis ( tepat) meletakkan lokasi pembangunan candhi Sewu dan Prambanan di antara lokasi gunung Merapi, sungai dan bukit2 di sekitarnya. Ada banyak bukit kapur kecil2 terserak di lembah yang luas. Saya nggak tahu mengapa begitu. Mungkinkah ledakan gunung Merapi jutaan tahun lalu menyisakan bukit2 kapur yang terserak di lembah di sekitar Yogyakarta ?

Pasangan gunung ang memukau adalah Sindoro dan Sumbing di Kedu. Jika anda dari Magelang ke Wonosobo, anda akan melihat pasangan gunung yang indah ini. Datanglah ke Magelang, ke Temanggung dan Wonosobo. Anda akan melihat keindahan alam di bawah naungan kedua gunung itu. Saya membayangkan nama Temanggung pertama kali sewakktu membaca novel karya Mas Rapingun terbit tahun tiga puluhan yang berjudul Ngulondoro (Mengembara). Dia menceritakan pengembaraanya ke Solo waktu itu. Saya hapal daerah ini sewaktu melakukan penelitian lapangan di Kali Angkrik, Magelang dan Karang Kobar di Banjarnegara, mengenai migrasi gena metabolisme asetilasi di Indonesia, di tahun delapan puluh satu.

Di Magelang ada bukit indah di tepi kota, Gunung Tidar. Orang Magelang percaya inilah pakunya tanah Jawa, yang menstabilkan Jawa. Sayangnya bukit ini tertutup untuk umum. Hutan pinusnya merupakan kisah sukses penghijauan. Di kaki bukit ini terletak Akademi Militer.

Saya yakin masih banyak bukit, masih banyak gunung dan lembah yang indah di sekitar anda. Nikmatilah keindahan itu, cintailah kedamaian di situ. Pesankan kepada anak anak muda untuk mencintai keindahan lembah, dan bukit. Pesankanlah agar mereka mencintai lingkungan alam sekitar mereka.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media 4 September 2007)

Saturday, June 23, 2007

Nyanyian sunyi

Bangun pagi kesepian terasa mendera. Buka email, ada beberapa pesan singkat masuk. Sapaan ringan dan salam sejahtera dari teman maya yang belum pernah bertemu. Dan mungkin tidak akan pernah bertemu. Dalam kesenyapan seperti ini kadang merupakan kesempatan yang pas untuk mengenang kembali peristiwa masa lalu. Kesalahan, kesedihan dan kebahagian yang telah berlalu bersama waktu.

Saya menulis singkat kisah perjalanan bersama Endang EMSA tiga puluh tahun lalu. Episode antara 1972 - 1974. Saya kirimkan ke Koki Kompas Cyber. Nggak tahu akan muncul kapan. Nggak penting. Yang penting bisa menelusuri kembali kisah kisah itu dan menuangkannya dalam tulisan. Tak ada niat untuk selalu mengingatnya. Hanya dalam kesunyian kesunyian seperti inilah, kesempatan untuk merenung kembali masa lalu. Kesunyian adalah nyanyian kehidupan. Saya akan menikmatinya sepanjang perjalanan waktu yang tersisa. Nyanyi sunyi, nyanyian jiwa yang mengembara di dunia maya.

Minggu depan akan ke Yogya dan Ambarawa. Khusus akan melihat sumber sumber air di sekitar Ambarawa. Jika sumber sumber air itu menyusut, itulah pertanda susutnya dukungan lingkungan untuk manusia. Perjalanan waktu juga bersama menyurutnya lingkungan dan sumber air.

Wednesday, June 13, 2007

A lost birthday

Today, thirteenth of June, is the birthday of my son, Moko, who passed away almost ten years ago. He tragically died due to unexpected traffic accident in 13th December 1997.

It was Friday, and he was on his way home from school that afternoon. A recklessly driven car hit him in the street close to our house. That was the last journey in his life. A journey that never reach its destination. The last journey that terminated his everything. His dream, his imagination for a happy and bright future.

He would have been twenty seven years of age by now. If that accident did not happen. If that reckless driver had cautious mind for the safety of other people in the street. The accident suddenly changed everything, nothing is left, only memory. It will be forever and nothing will come back.

Moko or Saworo Tino Triatmo, was a happy young boy. He loved his friends and family. He had many dreams to pursue. He had many imagination for his future. We love him so much. All of a sudden everything changed, everything ended. Just because somebody drove recklessly, having no concern of others safety.

He was very close to me. I remember the last birthday ten years ago. We had dinner with him. Just a simple dinner. He was a little bit quite as he was concentrating for his final year exam. He wanted to go to medical school if he passed the exam. This never comes true.

He was born in 1980 when I was in Newcastle (UK). I was waiting for the news from home those days. The news about the baby. It came to me a few days after he was born. It was a boy and I gave him a name Saworo, meaning news. We rarely celebrated his birthdays those years. He was always happy with all his friends.

Every time his birthday comes, just like today, I try to remember the happy and cheerful time we had with him. But finding only sorrow and deep feeling of missing. The loss and sadness will never end. It will be forever. I hope he is happy out there. I want to fly, my thoughts flying through the sky, just want to say hello and to hug him. His birthday is always a lost birthday forever. I keep waiting and waiting until the time comes when I can see him somewhere out there.

Manila, 13 June 2007

Saturday, April 7, 2007

Perjalanan waktu

Dalam hidup ini manusia menelusuri perjalanan panjang menurut waktu masing masing. Walau semua tahu kapan perjalanan itu dimulai, tetapi semua tidak akan tahu kapan perjalanan itu akan berakhir. Waktu berjalan terus untuk masing masing anak manusia.

Waktu tak pernah akan bisa berhenti atau berputar ulang. Di akhir perjalanan itu, penguasa waktu telah menunggu, Sang Kala atau Batara Kala. Dialah yang mempunyai catatan kapan perjalanan waktu harus berakhir bagi masing masing anak manusia.

Dalam perjalanan yang panjang ini kita bertemu banyak orang. Mungkin hanya sesaat, mungkin berjalan bersama untuk beberapa lama, atau bahkan berjalan bersama selamanya sampai ke akhir masa. Dalam perjalanan inilah kita saling bersapa, saling bertukar pikiran dan saling mengisi.

Dunia maya telah mengubah tata hubungan komunikasi antar manusia. Kita menelusuri dunia maya dan bertemu dengan teman baru. Bertegur sesaat dan berpisah kembali, terus berjalan sesuai dengan arah dan tujuan masing masing.

Saya memulai tulisan ini untuk menggambarkan perjalanan waktu saya. Tidak semuanya. Hanya yang sempat terekam dalam benak dan kenangan saya. Pengembaraan saya dalam dunia maya juga ingin mencari , ingin bercerita, seolah bercerita ke anak saya yang telah tiada, Saworo Tino Triatmo.

Dia memang telah tiada, 13 Desember 1997. Tetapi bagi saya dia mungkin masih ingin mendengar cerita cerita saya. Cerita tentang perjalanan, tentang manusia, tentang waktu dan seterusnya.

Saya ingin bercerita padanya tentang perjalanan perjalanan saya. Sambil menunggu waktu yang sebentar akan tiba, waktu di mana saya akan bertemu kembali dengannya.

Salam untuk semua.