Di penghujung tahun 1970. Bram dalam perjalanan dari Yogya ke Bandung. Naik bis malam Bandung Express. Nama lengkapnya Bramantyo. Raden Mas Bramantyo Kusumo. Suara bis terdengar mengerang melewati tanjakan bukit Plelen, sesudah lewat Weleri. Belum tua benar sebenarnya bis itu. Tetapi selalu saja mengerang setiap mendaki tanjakan. Seolah keletihan. Seperti dirinya. Letih menatap karier yang tak juga nampak ujungnya. Sebentar lagi dia lulus. Jurusan Hubungan Internasional di kampus Pagelaran. Kampus Univeritas Gadjah Mada yang numpang di pendopo keraton Yogyakarta. Dia sudah selesai tahun ke empat. Belum punya arah mau ke mana. Kegiatan mahasiswa diluar kampus yang begitu hiruk pikuk tak juga memberi arah jelas baginya. Kadang2 merasa takut, mau kemana masa depannya.
Sudah lama dia tak mengunjungi pakdhenya di Bandung. Beliau sekeluarga tinggal di Bandung setelah pension. Pensiunan duta besar RI di Hongaria, pakde Dewanto. Ingin petuah dari pakdenya yang kaya pengalaman. Dia selalu takjub mendengar petuah petuah pakdenya sejak kecil. "Datanglah ke Budapest anak muda. Kamu bisa banyak belajar di sana". Ayah dan ibunya selalu berharap dia akan menjadi pejabat tinggi pemerintahan. Ayahnya adalah petinggi di kantor pemerintahan Kepatihan. Bram putra semata wayang. Ibunya begitu sayang dan lembut padanya. Seperti halnya wanita2 ningrat Jawa, anggun dan berwibawa. Bram sering membayangkan punya pasangan hidup yang sabar dan anggun seperti ibunya. Ibunya juga wanita ningrat, keluarga berdarah biru. Kakek moyangnya adalah salah satu tokoh dalam perang Diponegoro seabad yang silam.
Menjelang masuk Pekalongan bis berhenti di rumah makan. Penumpang sebelahnya, seorang wanita muda, menggeliat berdiri. Mungkin kecapaian duduk. "Enak bisa turun sebentar", katanya ramah. Terkesima Bram menerima sapaan mendadak itu. Sejak berangkat dari Yogya dia diam seribu bahasa. Tak ambil pusing siapa yang duduk di sebelahnya. Pikirannya melayang kemana mana. "Saya Bram. Bramantyo", Bram cepat memperkenalkan diri. "Namaku Rosa. Pipit Rosalina". Turun dari bis, mereka berdua duduk semeja menikmati makan malam. Bram pesan makanan kesukaannya, nasi rawon. Dulu tak banyak nasi rawon di Jawa Tengah. Ini masakan asli Jawa Timur atau Madura yang telah masuk kasanah makanan nasional.
Rosa teman bicara yang mengasyikkan. Suaranya segar dan merdu. Cerita banyak tentang dirinya. Tentang usahanya. Tak banyak tentang keluarganya. "Saya juga kuliah dulu. Fakultas Ekonomi sampai tahun kedua. Putus dua tahun lalu". Rosa tinggal di Bandung. Di daerah Sangkuriang. Dia pengusaha pakaian. Sering bolak balik ke Yogya karena usahanya. Selesai makan, bis berangkat kembali. Jam telah menunjukkan lewat jam sepuluh malam. Angin malam dingin mulai terasa menusuk. "Bagaimana saya harus memanggil? Tante Rosa? Kak Rosa" Bram agak kikuk memanggil nama Rosa secara langsung. "Panggil saya Rosa. Lebih enak dan akrab khan".
Mereka sempat meneruskan obrolan sepanjang perjalanan. Bram memang tak banyak bisa cerita. Pembawaannya pendiam dan serius. Dia tak bisa berbasa basi, walau konon jadi tokoh mahasiswa di kampusnya. Ah tokoh kan hanya selama perploncoan saja. Tokoh dari mana? Banyak orang kadang suka menokohkan diri sendiri. Kadang lingkunganlah yang memitoskan seseorang. Bram tak suka itu. Dia merasa bukan tokoh bukan apa. Persetan dengan segala mitos tokoh mahasiswa itu. Berhadapan dengan Rosa, dia merasa hangat, ingin cerita banyak. Tentang Yogya. Tentang universitas. Tentang keraton. Tak berani tentang impian impiannya. Rosa banyak bercerita tentang Bandung yang indah. Tentang anak anak Bandung yang suka dansa. Tentang bunga bunga. Seolah mereka sudah lama berteman. Baru dua jam berlalu semenjak berhenti makan di rumah makan tadi.
Kadang angin malam masuk lewat lubang di jendela. Rambut panjang Rosa melambai terterpa angin menyentuh muka Bram. Bau harum melati kadang menyapu ringan. Dia mulai berpikir. Rosa berpenampilan menarik, tingggi semampai, berkulit bersih. Giginya putih berseri, tersusun rapi diantara bibir yang seksi. Mulut indah itu selalu menyungging senyum ramah. Senyum yang menawan. "Bram. Gila kamu. Baru kenal dua jam lalu, pikiranmu jangan kemana mana ". Dia coba mengingatkan dirinya. Ini pikiran gila. Godaan setan. Wajah teman wanitanya, Reni di Yogya kadang datang sekilas. Belum pacaran, hanya kadang suka ngobrol semata. Reni juga cantik dan menarik.Dia calon dokter. Ibu Bram selalu memuji Reni luar biasa.
Tetapi Rosa ini lain rasanya. Ada semangat, ada kekuatan luar biasa dibalik rona cantik dan ramah itu. Dia tadi begitu berapi api cerita tentang usahanya. Tentang kesukaaannya. Tentang bunga bunganya. Dia sekarang tertidur tenang di sebelahnya. Tenang dan damai. Sementara bau melati kadang menyentuh ringan. Tak sadar kepala Rosa bersandar di pundak Bram. Aaah rasanya pengin Bram memeluknya, menjaganya agar tak terantuk. Biarpun bis berkelok ke sana kemari mengikuti jalan yang tak pernah lurus. Bram bertanya dalam hati mengapa para arsitek jalan raya selalu merancang jalan berkelok kelok. Mengapa tak dibuat lurus saja. Semuanya jadi gampang langsung ke tujuan?
Bis masih saja mengerang setiap mendaki tanjakan. Menjelang fajar bis memasuki dataran tinggi Bandung. Rosa terbangun. "Anda tak tidur?" tanyanya. "Saya tak biasa tidur dalam perjalanan". Bram memang tak bisa tidur setiap naik bis malam atau kereta. Pikirannya selalu melayang ke luar jendela, merayapi kegelapan malam. Dia selalu menikmati lamunannya. Tak sadar Rosa masih saja bersandar di pundak Bram. Dia sudah terjaga. Bram menawarkan permen lembut kesukaannya. Mereka kadang meneruskan omongan omongan ringan. Rosa menggeliat ringan ketika tangan Bram membetulkan posisi agar tubuhnya tak terjatuh. Tangan kanan Bram telah melingkari leher Rosa. Aman, tak perlu takut terantuk, walau bis oleng ke kiri atau ke kanan. Napas napas mereka terdengar teratur berirama diantara bau melati. Tak sadar jari jemari mereka telah saling menggenggam. Saling membelai dan meremas. Jari jemari mereka bermain lembut di antara desiran angin malam dan rintihan mesin itu. Tak ada yang bicara. Tak ada yang tertawa. Hanya kadang napas mendesah ringan. Dunia milik mereka berdua. Bis Bandung Express seolah menjadi tumpangan mereka mengarungi malam.
Lamunan lamunan Bram yang menerawang jauh di kegelapan malam, telah kembali ke bumi. Ke wanita cantik bernama Rosa yang bersandar disampingnya. Tangannya memeluk teguh seolah tak akan melepas Rosa darinya. Seolah ingin wanita ini aman dalam pelukannya. Sementara jari jemari mereka menari nari bersama irama napas yang kadang berdesah berkepanjangan. Saling meremas dan bergerak bersama ke daerah rahasia yang memberikan sensasi luar biasa. Jantung berdesir indah. Tak berdetak tanpa aturan. Hanya berdesir bersama lamunan. Jari jemari Bram terus menari menyusur daerah rahasia di paha Rosa yang indah itu. Paha yang begitu lembut dan halus seperti pualam. Kadang Rosa menggeliat dengan desah napas ringan. Sementara kayalan dan impian membubung tinggi bersama tarian jari jemari Bram. Rasa damai melayang bersama desiran jantung yang membawa rasa bahagia yang dalam. Ketika rasa itu semakin membubung, terasa kejang dan nikmat luar biasa. Kedamaian dan kebahagiaan yang dalam. Aaaaah, tarikan napas eskprirasi Rosa terdengar memanjang, dan dia mendarat ke bumi kembali. Ke pelukan Bram teman baru yang dikenal beberapa jam lalu. Rosa seolah menemukan kedamaian dan kebahagiaan disana.
Tangan Bram tetap saja melingkari tubuh Rosa. Seolah berkata " Anda dalam pelukan saya. Dalam lindungan saya. Istirahatlah sayang". Rosa tertidur kembali. Bram terlelap sebentar menjelang masuk Bandung. Bis telah sampai di pemberhentian. Mereka terbangun ketika suara penumpang mulai ramai. " Maafkan apa yang terjadi" kata Bram merasa bersalah. " Tak perlu maaf. Kita lakukan bersama sesadarnya". Bram mencoba menukas kembali "Kita lupakan semuanya ya. Maaf sekali lagi". Rosa tak menghiraukan. Dia memberikan kartu namanya. "Datanglah ke rumah sebelum pulang ke Yogya". Semua penumpang turun, diantar ke alamat masing masing. Adik Rosa telah menunggu dan menjemputnya pergi. Rosa menghilang dalam keheningan kabut pagi. Bramantyo tertegun seperti habis mimpi. Dia baca berkali kali kartu nama indah itu. "Pipit Rosalina" . Nama yang indah. Penuh gairah dan pesona.
Pembaca yang budiman. Sepotong kisah dalam bis malam ini sudah puluhan tahun berlalu. Saya tak sampai hati memberi judul naskah ini "Sex di bis malam". Bukan sex sesaat. Bukan one nite stand. Bukan impian semusim. Sepotong kisah ini adalah awal cerita cinta yang berlangsung puluhan tahun. Saya akan coba bercerita. Tentang Bram dan Rosa. Tentang banyak tokoh. Banyak peristiwa terukir dalam cerita ini. Cerita tentang cinta antara dua anak manusia. Bukan hanya dalam impian dan lamunan. Hidup memang bukan semata impian sesaat. Bukan nikmat sesaat. Untuk orang yang bercinta , hidup adalah perjalanan bersama. Mengarungi dunia mendaki impian.
Salam cinta dan selamat bercinta anak muda.
Showing posts with label Renungan peristiwa. Show all posts
Showing posts with label Renungan peristiwa. Show all posts
Friday, October 31, 2008
Saturday, October 25, 2008
Pelukan dua hati
Pertengahan tahun 1974. Saya masih tugas di rumah sakit bersalin Mangkubumen. Rumah sakit kecil dengan kira2 30 tempat tidur, di sebelah kompleks Mangkubumen. Bersih dan tenang. Jam dua siang selesai tugas pagi. Kami berdua tugas jaga, dengan Santo. Kamar ko ass di ruang belakang yang sunyi. Hari itu suasana tenang. Tak ada operasi. Tak ada gawat darurat. Tiba tiba saja pengin ketemu MUR. Kebetulan Toni mau mengganti saya tugas jaga sore itu. Hanya sampai jam 700 petang. Dia ada janji sama calon bini. Saya janjikan dia untuk menterjemahkan artikel yang ditugaskan kepadanya.
Dengan ringan saya bergegas naik becak ke Benteng Kulon. Hanya beberapa ratus meter dari Mangkubumen. Mencegat bis jurusan Magelang di jalan Wahid Hasyim. MUR beberapa minggu ini tinggal bersama kakaknya di Magelang. Di kampung Boton. Hubungan sudah serius. Pacar tetap. Surat menyurat mengalir lancar. Dengan alamat penerima yang sama, MUR. Sekali dua kadang kadang ada surat ke penerima yang berbeda. Tetapi itu hanya surat biasa, tanpa ikatan emosi. Tak apa, toh belum terikat resmi dengannya. Kesepakatan hati semata mata, belum ada ikatan legal. Bis Mustika jurusan Semarang Yogya lancar melaju. Kadang2 balapan menaikkan penumpang sepanjang jalan. Masuk kota Magelang dengan rasa riang. Pemandangan agak terganggu di pintu masuk kota. Setiap kali masuk Magelang, terlihat banyak orang mandi di saluran air di kiri jalan waktu itu. Sekarang sudah jarang. Jam empat kurang sedikit saya telah mengetok pintu di Boton.
MUR terkejut senang melihat saya di muka pintu. "Ada tugas di Magelang?". Dia tersenyum ceria dan memeluk mesra. Ciumannya datang bertubi. "Bukan tugas. Pengin ketemu saja". Berpelukan nggak begitu penting saya rasa. Ciuman, bolehlah. Boleh tahan. Laki laki harus selalu tahan diri. Jangan bertampang murahan. Apalagi minta ini minta itu. Diberi matur nuwun. Nggak diberi ya terima saja. Laki laki yang suka minta minta wajahnya nampak lucu. Jangan memaksa. Pantangan seumur hidup. Ketemu dia dan lihat senyumnya yang berseri sudah lebih dari cukup. Saya bilang kalau hanya ada waktu sejam, sedang jaga."Saya baru mau mandi tadi". Kami duduk di ruang tamu berdua. Bergegas dia membawa dua cangkir teh hangat. Dia sendirian di rumah. Kakaknya berdua baru ke luar kota, mungkin pulang sampai malam. Tak tenang perasaan saya. Waktu sangat sempit. Tetapi lega bisa menjumpainya. Walau waktu sangat terbatas. Kami bicara bicara singkat. Nggak ingat apa yang kami bicarakan. Tak ada agenda penting yang perlu dibahas khusus. Saya ingat bawa pakaian ganti dalam tas saya. Badan terasa lekat. Pengin mandi air yang segar. Air mandi di Magelang dan Ambarawa selalu terasa dingin dan segar.
Saya minta ijin ke kamar mandi sebentar. Ada handuk bersih dan pakaian MUR di sana. Memang dia sedang mau mandi ketika saya datang. Ada pakaiannya di kamar mandi. Dan pikiran saya melayang kemana mana. Ingat legenda cinta Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan. Nawangwulan adalah bidadari kayangan yang sering turun mandi ke telaga di dekat kediaman Jaka Tarub, setiap malam Anggoro Kasih ( Selasa Kliwon). Satu saat Jaka Tarub ngintip dan mencuri pakaian Nawang Wulan, sehingga dia tak mampu terbang kembali ke kayangan. Jaka Tarub kemudian pura pura datang menolong bidadari yang sedang kebingungan itu dan memberikan pakaian yang lain. Secara singkat Dewi Nawang Wulan akhirnya mau jadi isterinya. Ceritanya panjang. Di lain kesempatan akan saya ceritakan. Saya langsung saja mandi. Terasa segar dan dingin. Tak terpikir mau mencuri pakaian MUR. Apa untungnya ? Dia toh sudah mau jadi pacar tetap. Tak perlu curi mencuri pakaian dalam. Ini sih realita. Bukan legenda. Bukan ketoprak.
Tiba tiba pintu terbuka. "Saya ikut mandi". Kaget luar biasa. Tak sempat mengiyakan dan menolaknya. Langsung saja dia buka pakaian dan ikut mandi. Pikiran saya was was jika ada orang yang datang. Apalagi kalau HANSIP. Saya pernah melihat pasangan mahasiswa digelandang ke kantor RK di Suronatan Yogya karena duduk berdempetan di ruang pondokan. Duduk berdempetan asal tangan nggak kemana mana sih masih legal hukumnya. Nggak tahulah. Semua toh bisa berubah cepat.
Selesai mandi cepat cepat ambil handuk mengeringkan badan. MUR nampaknya juga cepat selesai. Dia mendekat pelan dan memeluk saya. Berpelukan erat. Pelukan sangat mesra. Hati saya mendesir. Perasaan terbang melayang.. Tak ada napas memburu. Tak ada napas tersengal karena birahi. Hanya rasa sayang dan damai yang dalam. Kesejukan yang menenangkan. Sekilas teringat kisah Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Saya rasakan kebahagiaan Jaka Tarub menerima Nawang Wulan dalam pelukannya. Boo, bukan bidadari yang bersandar di pelukan saya. Bukan Dewi Nawang Wulan. Dia MUR mahasiswi asal Pekalongan itu. Pacar tetap. Tak apalah. Tak harus mencuri pakaiannya. Pakaian2 itu masih utuh bergantung di pintu. Tak harus menipu dan merayu, apalagi memaksa. Saya berdoa waktu itu semoga pelukan itu berlangsung sepanjang waktu. Bukan impian sesaat. Pelukan dua hati. Dua insan dalam cinta.
Ah peristiwa sesaat itu tak pernah terlupakan selamanya. Sampai dia menjadi NYI dia tetap setia memeluk saya. Setiap habis mandi. Setiap mau pergi. Setiap datang. Walau prahara kadang datang dan pergi, pelukan itu tetap saja datang kembali. Pelukan antara dua hati. Pelukan sehidup semati sampai akhir perjalanan waktu.
Salam untuk anak anak muda yang bercinta. Peluklah kekasihmu dengan cinta, dengan damai. Bukan semata karena birahi asmara. Dan jangan suka ngintip dia mandi.
Ki Ageng Similikithi
Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 25 Oktober 2008
http://community.kompas.com/read/artikel/1403
Dengan ringan saya bergegas naik becak ke Benteng Kulon. Hanya beberapa ratus meter dari Mangkubumen. Mencegat bis jurusan Magelang di jalan Wahid Hasyim. MUR beberapa minggu ini tinggal bersama kakaknya di Magelang. Di kampung Boton. Hubungan sudah serius. Pacar tetap. Surat menyurat mengalir lancar. Dengan alamat penerima yang sama, MUR. Sekali dua kadang kadang ada surat ke penerima yang berbeda. Tetapi itu hanya surat biasa, tanpa ikatan emosi. Tak apa, toh belum terikat resmi dengannya. Kesepakatan hati semata mata, belum ada ikatan legal. Bis Mustika jurusan Semarang Yogya lancar melaju. Kadang2 balapan menaikkan penumpang sepanjang jalan. Masuk kota Magelang dengan rasa riang. Pemandangan agak terganggu di pintu masuk kota. Setiap kali masuk Magelang, terlihat banyak orang mandi di saluran air di kiri jalan waktu itu. Sekarang sudah jarang. Jam empat kurang sedikit saya telah mengetok pintu di Boton.
MUR terkejut senang melihat saya di muka pintu. "Ada tugas di Magelang?". Dia tersenyum ceria dan memeluk mesra. Ciumannya datang bertubi. "Bukan tugas. Pengin ketemu saja". Berpelukan nggak begitu penting saya rasa. Ciuman, bolehlah. Boleh tahan. Laki laki harus selalu tahan diri. Jangan bertampang murahan. Apalagi minta ini minta itu. Diberi matur nuwun. Nggak diberi ya terima saja. Laki laki yang suka minta minta wajahnya nampak lucu. Jangan memaksa. Pantangan seumur hidup. Ketemu dia dan lihat senyumnya yang berseri sudah lebih dari cukup. Saya bilang kalau hanya ada waktu sejam, sedang jaga."Saya baru mau mandi tadi". Kami duduk di ruang tamu berdua. Bergegas dia membawa dua cangkir teh hangat. Dia sendirian di rumah. Kakaknya berdua baru ke luar kota, mungkin pulang sampai malam. Tak tenang perasaan saya. Waktu sangat sempit. Tetapi lega bisa menjumpainya. Walau waktu sangat terbatas. Kami bicara bicara singkat. Nggak ingat apa yang kami bicarakan. Tak ada agenda penting yang perlu dibahas khusus. Saya ingat bawa pakaian ganti dalam tas saya. Badan terasa lekat. Pengin mandi air yang segar. Air mandi di Magelang dan Ambarawa selalu terasa dingin dan segar.
Saya minta ijin ke kamar mandi sebentar. Ada handuk bersih dan pakaian MUR di sana. Memang dia sedang mau mandi ketika saya datang. Ada pakaiannya di kamar mandi. Dan pikiran saya melayang kemana mana. Ingat legenda cinta Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan. Nawangwulan adalah bidadari kayangan yang sering turun mandi ke telaga di dekat kediaman Jaka Tarub, setiap malam Anggoro Kasih ( Selasa Kliwon). Satu saat Jaka Tarub ngintip dan mencuri pakaian Nawang Wulan, sehingga dia tak mampu terbang kembali ke kayangan. Jaka Tarub kemudian pura pura datang menolong bidadari yang sedang kebingungan itu dan memberikan pakaian yang lain. Secara singkat Dewi Nawang Wulan akhirnya mau jadi isterinya. Ceritanya panjang. Di lain kesempatan akan saya ceritakan. Saya langsung saja mandi. Terasa segar dan dingin. Tak terpikir mau mencuri pakaian MUR. Apa untungnya ? Dia toh sudah mau jadi pacar tetap. Tak perlu curi mencuri pakaian dalam. Ini sih realita. Bukan legenda. Bukan ketoprak.
Tiba tiba pintu terbuka. "Saya ikut mandi". Kaget luar biasa. Tak sempat mengiyakan dan menolaknya. Langsung saja dia buka pakaian dan ikut mandi. Pikiran saya was was jika ada orang yang datang. Apalagi kalau HANSIP. Saya pernah melihat pasangan mahasiswa digelandang ke kantor RK di Suronatan Yogya karena duduk berdempetan di ruang pondokan. Duduk berdempetan asal tangan nggak kemana mana sih masih legal hukumnya. Nggak tahulah. Semua toh bisa berubah cepat.
Selesai mandi cepat cepat ambil handuk mengeringkan badan. MUR nampaknya juga cepat selesai. Dia mendekat pelan dan memeluk saya. Berpelukan erat. Pelukan sangat mesra. Hati saya mendesir. Perasaan terbang melayang.. Tak ada napas memburu. Tak ada napas tersengal karena birahi. Hanya rasa sayang dan damai yang dalam. Kesejukan yang menenangkan. Sekilas teringat kisah Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Saya rasakan kebahagiaan Jaka Tarub menerima Nawang Wulan dalam pelukannya. Boo, bukan bidadari yang bersandar di pelukan saya. Bukan Dewi Nawang Wulan. Dia MUR mahasiswi asal Pekalongan itu. Pacar tetap. Tak apalah. Tak harus mencuri pakaiannya. Pakaian2 itu masih utuh bergantung di pintu. Tak harus menipu dan merayu, apalagi memaksa. Saya berdoa waktu itu semoga pelukan itu berlangsung sepanjang waktu. Bukan impian sesaat. Pelukan dua hati. Dua insan dalam cinta.
Ah peristiwa sesaat itu tak pernah terlupakan selamanya. Sampai dia menjadi NYI dia tetap setia memeluk saya. Setiap habis mandi. Setiap mau pergi. Setiap datang. Walau prahara kadang datang dan pergi, pelukan itu tetap saja datang kembali. Pelukan antara dua hati. Pelukan sehidup semati sampai akhir perjalanan waktu.
Salam untuk anak anak muda yang bercinta. Peluklah kekasihmu dengan cinta, dengan damai. Bukan semata karena birahi asmara. Dan jangan suka ngintip dia mandi.
Ki Ageng Similikithi
Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 25 Oktober 2008
http://community.kompas.com/read/artikel/1403
Monday, October 13, 2008
Di ambang nikmat surgawi
Irama musik waltz mengalun lembut. Nada tanpa syair lagu I Love You Because. Malam indah bertabur bintang. Lupa kapan persisnya, kira kira di semester kedua tahun 1969. Baru seminggu sebelumnya selesai ujian.. Ulang tahun ENY, gadis sekelas yang pernah saya ceritakan Di Bawah Keremangan Pohon Jambu. Malam itu beberapa bulan sesudah peristiwa di bawah pohon jambu itu. Kami berenam merayakan ulang tahun ENY di rumahnya. Kebetulan esok hari libur. Saya berdansa ringan dengan ENY di ruang tamu. Dua sejoli yang lain asyik masing masing di ruang sebelah. Suara bisikan dan tawa ringan kadang terdengar samar samar. Aroma romantis bergema di antara bisik bisik mesra mereka. Tak ada sorak sorai. Orang bermesraan jarang bersorak sorai. Hanya kucing yang menjerit jerit saat bermain cinta.
Ketika musik berganti ke irama blues, tangan ENY semakin erat bergantung. Bergerak ringan sekitar ruang. Kepalanya bersandar di dada kiri saya. Lingkaran erat lengan saya coba mempertahankan keseimbangan. Ketat dan mesra. Tak sadar seolah ingin menjaganya. Jangan sampai jatuh terhempas. Bergerak ringan. Melayang di antara alunan musik lembut menghanyutkan. Suatu saat dia berbisik mesra. "Ki, kamu seneng punya isteri dokter ?". Pertanyaan formalitas. Nggak perlu dijawab. Tak ada jawaban ya dan tidak. " Ah tak usah dipikir, perjalanan masih jauh" Baru tingkat satu habis ujian semester saja belum tentu masuk semua kok mikir macam macam. Dia juga nggak perlu jawaban. Omongannya ringan "Kalau nggak jadi dokter, ya lumayan jadi isteri dokter". Sesaat kemudian dia teriak " Hai pada ngapain ya?" Dua pasangan lain memang sudah resmi pacaran. Mungkin pas panas panasnya. Mungkin demikian juga dengan kami. Semua serba indah. Penuh rayuan indah. Semua pernah mengalami. Kadang rayuan berlebih, bertabur dan berserakan seperti gombal. Menjelang tengah malam kami pulang. "Besok pagi datang ya Ki. I will miss you. Jangan lewat jam 10 "
Esok paginya saya datang lagi. Menjelang pukul sepuluh. Naik becak dari Ngasem. Nggak enak pakai sepeda. Selalu ketahuan anak anak dan pemuda tetangga. Mereka lantas ramai kumpul di depan rumah. Tak menghiraukan hak azasi pasangan yang asyik pacaran. Tak ada perhimpunan muda mudi pacaran, yang bisa memperjuangkan hak hak azasi mereka. Terutama melawan pemuda kampung, anak anak tetangga atau bahkan HANSIP. Kebetulan rumah sepi. Semua bepergian. Sepupunya pergi keluar kota. Kakeknya tugas di keraton. Enggak tahu apa pangkatnya. Tahu saya ya abdi dalem. Nenek dan budenya ke pasar. ENY tinggak bersama kakek dan nenek dan sepupunya.
"Ki saya bangun kesiangan. Barusan mandi". Wajahnya segar berseri. Tertutup make up ringan. Tak menyolok. Roknya warna lila. Sedikit longgar, tetapi tak dapat menutup bentuk tubuhnya yang indah dan seksi. Bahasa popnya sintal. Dalam cinta semua ungkapan bahasa diperindah. Gemuk jadi montok seksi. Kurus jadi langsing gemulai. Kami bicara ringan di ruang belakang. Sambil baca majalah. Sementara dia duduk bersandar manja di bahu saya, di kursi panjang. Kursi itu bersih, tak ada penghuni liar bangsat (Jawa: tinggi), seperti di kebanyakan rumah pondokan, yang selalu ada tingginya. Mungkin sengaja dipelihara sama yang punya kost. Supaya yang bertamu nggak betah. "Saya punya musik baru Ki. Duke Ellington". Hadiah ulang tahun dari papa dan mama" Mama dan papa ENY berdomisili di luar Jawa. Papanya seorang perwira tinggi. Nggak berani main main. Pacaran harus tertib. Harus berperangai disiplin, sapta setia pemuda.
Kemudian beranjak ke kamar belajar ENY, ruangan bersih tertata rapi. Ada bunga gladiola di mejanya. Di seberang meja, tempat tidurnya tertata apik dengan taburan bunga melati. Kami menikmati musik sambil bicara pelan. Kadang berkembang ke bisikan bisikan mesra. Bersama alunan musik. Melayang di awang awang dengan jantung berdesir indah. Belaian tangannya lembut membuai. Terasa kedamaian dan kemesraan yang dalam. Seolah menari bersama bersama irama terompet indah itu. Di antara desah napas yang semakin memburu. Tangannya erat bergantung di leher saya. Bersandar mesra di bahu. Dia selalu bilang senang bahu dan leher beruang. Tetapi saya bukan beruang. Saya hanya binatang jalang yang terbuang. Saya peluk erat seolah tak akan berpisah lagi. Belum sehidup semati. Mana ada orang pacaran mikir mau mati. Sementara bibir indahnya menari nari bersama desah napas memburu teratur, di wajah dan leher saya. Berciuman diantara pelukan dan belaian mesra. Kadang harus berhenti sejenak mengatur napas.
Bergeser kami duduk di tepi ranjang. Matanya terpejam. Bibirnya merekah indah. Dia bersandar di pangkuan saya. Belaian belaian mesra semakin menggelora. Berseling dengan rintihan rintihan lirih. Diluar terdengar hujan renyai. Hawa sejuk menyelinap lewat jendela dengan gordyn warna hijau muda. Kadang angin angin kecil masuk lewat jendela itu. Seolah mengingatkan kami yang sedang terbuai dalam asmara. Tak sadar apa yang terjadi, dia sudah telentang di ranjang yang berbau wangi. Tanpa selembar benangpun menutupi tubuh yang indah itu. Saya terdiam terpana. Saya takjub melihatnya. Birahi asmara bertransformasi mendadak. Terpesona akan keindahan tubuh tiada tara. Rasa kagum luar biasa. Lekuk liku tubuhnya demikian indah. Mahkota wanitanya nampak anggun memukau. Seolah berucap selamat datang. Rasa sayang menyelinap kalbu yang dalam. Tak sampai hati merusak dan menodai tubuh indah itu. "Ki ……" Bisik lirihnya terdengar menghentak kesunyian. Bersama tarikan tangan mesra. Mengajak menyelesaikan ritual asmara yang belum tuntas. Saya kecup bibir indahnya. Saya kecup wajahnya. Saya peluk tubuhnya. Saya bisikkan kata kata mesra. "Perjalanan masih jauh. Mungkin belum saatnya. Saya tak sampai hati melakukannya"
Sejenak kemudian kami berbenah. Kembali ke ruang tengah. Buah jambu air menemani percakapan ringan kami. "Gila Ki". Saya menukas sekenanya. " Bukan gila. Kita mencoba berenang di laut asmara" Sial baru tersadar kalau tarikan tangannya telah melepas beberapa benik baju saya. Untung pakai kaos dalam. Sejak lulus SMA saya jarang pakai baju dalam. Jam setengah dua, neneknya datang. "Terima kasih ENY ditemani". Saya pulang sesaat kemudian. "Jangan nyesal ya Ki". Tak ada yang perlu disesalkan. Homo sapiens bertindak atas instink dan akal sehat. Sampai di rumah pondokan, mak Yem pembantu bertanya heran. "Gus kok benik baju copot semua?". "Sial kesrempet becak di Ngasem". Tak saya hiraukan komentarnya. Nggak juga tahu maksudnya. "Becak jaman sekarang, nyrempet juga pilih pilih". Saya masuk kamar menikmati tidur siang yang damai. Penuh kenangan indah. Biarlah komentar komentar itu. Emangnya saya pikirin?
Hari berganti hari. Bulan beranti bulan. Hubungan saya dengan ENY stabil. Kadang ada sedikit penyesalan. Kok tak bereaksi dengan tarikan tangan itu. Kesempatan itu memang tak pernah datang lagi. Kesempatan itu tak datang dua kali. Tetapi saya tak pernah menyesali. Saya mengingat ENY dengan penuh penghargaan pribadi. Walau hubungan kami tak berlanjut, kami tetap berteman platonis. Saling menghargai di jalan masing masing.
Belasan tahun kemudian saya sudah beranak isteri. NYI tahu hubungan saya dengan ENY. Tak sedetail yang terungkap di sini. Beberapa kali bertemu dengan ENY karena dia bertugas sebagai dokter di Puskesmas di dekat kediaman kami. NYI sering membawa anak anak ke sana. Suatu saat dia cerita. "Saya melihat wajah ENY dari dekat sekali. Wajahnya lembut. Bibir dan lehernya begitu indah. Wah edaaan Ki". Saya pura pura tak mendengar, walau hati berdesir ingat peristiwa peristiwa itu. Aaah masa lalu. Biarlah masa berlalu dengan damai. Demi kebahagiaaan masing masing. Moga moga ENY tak baca tulisan ini. Suaminya dokter THT, biasa operasi orang tercekik. Tetapi mungkin juga ahli mencekik. Anaknya dokter bedah ortopedi. Biasa operasi motong kaki. Jika dia membaca, mohon maaf ENY. Sesudah tiga puluh tahun, file rahasia bisa dibuka. Ini kesepakatan internasional.
Salam indah untuk anak anak muda. Homo sapiens tak hanya mengandalkan instink.
Ki Ageng Similikithi
Ketika musik berganti ke irama blues, tangan ENY semakin erat bergantung. Bergerak ringan sekitar ruang. Kepalanya bersandar di dada kiri saya. Lingkaran erat lengan saya coba mempertahankan keseimbangan. Ketat dan mesra. Tak sadar seolah ingin menjaganya. Jangan sampai jatuh terhempas. Bergerak ringan. Melayang di antara alunan musik lembut menghanyutkan. Suatu saat dia berbisik mesra. "Ki, kamu seneng punya isteri dokter ?". Pertanyaan formalitas. Nggak perlu dijawab. Tak ada jawaban ya dan tidak. " Ah tak usah dipikir, perjalanan masih jauh" Baru tingkat satu habis ujian semester saja belum tentu masuk semua kok mikir macam macam. Dia juga nggak perlu jawaban. Omongannya ringan "Kalau nggak jadi dokter, ya lumayan jadi isteri dokter". Sesaat kemudian dia teriak " Hai pada ngapain ya?" Dua pasangan lain memang sudah resmi pacaran. Mungkin pas panas panasnya. Mungkin demikian juga dengan kami. Semua serba indah. Penuh rayuan indah. Semua pernah mengalami. Kadang rayuan berlebih, bertabur dan berserakan seperti gombal. Menjelang tengah malam kami pulang. "Besok pagi datang ya Ki. I will miss you. Jangan lewat jam 10 "
Esok paginya saya datang lagi. Menjelang pukul sepuluh. Naik becak dari Ngasem. Nggak enak pakai sepeda. Selalu ketahuan anak anak dan pemuda tetangga. Mereka lantas ramai kumpul di depan rumah. Tak menghiraukan hak azasi pasangan yang asyik pacaran. Tak ada perhimpunan muda mudi pacaran, yang bisa memperjuangkan hak hak azasi mereka. Terutama melawan pemuda kampung, anak anak tetangga atau bahkan HANSIP. Kebetulan rumah sepi. Semua bepergian. Sepupunya pergi keluar kota. Kakeknya tugas di keraton. Enggak tahu apa pangkatnya. Tahu saya ya abdi dalem. Nenek dan budenya ke pasar. ENY tinggak bersama kakek dan nenek dan sepupunya.
"Ki saya bangun kesiangan. Barusan mandi". Wajahnya segar berseri. Tertutup make up ringan. Tak menyolok. Roknya warna lila. Sedikit longgar, tetapi tak dapat menutup bentuk tubuhnya yang indah dan seksi. Bahasa popnya sintal. Dalam cinta semua ungkapan bahasa diperindah. Gemuk jadi montok seksi. Kurus jadi langsing gemulai. Kami bicara ringan di ruang belakang. Sambil baca majalah. Sementara dia duduk bersandar manja di bahu saya, di kursi panjang. Kursi itu bersih, tak ada penghuni liar bangsat (Jawa: tinggi), seperti di kebanyakan rumah pondokan, yang selalu ada tingginya. Mungkin sengaja dipelihara sama yang punya kost. Supaya yang bertamu nggak betah. "Saya punya musik baru Ki. Duke Ellington". Hadiah ulang tahun dari papa dan mama" Mama dan papa ENY berdomisili di luar Jawa. Papanya seorang perwira tinggi. Nggak berani main main. Pacaran harus tertib. Harus berperangai disiplin, sapta setia pemuda.
Kemudian beranjak ke kamar belajar ENY, ruangan bersih tertata rapi. Ada bunga gladiola di mejanya. Di seberang meja, tempat tidurnya tertata apik dengan taburan bunga melati. Kami menikmati musik sambil bicara pelan. Kadang berkembang ke bisikan bisikan mesra. Bersama alunan musik. Melayang di awang awang dengan jantung berdesir indah. Belaian tangannya lembut membuai. Terasa kedamaian dan kemesraan yang dalam. Seolah menari bersama bersama irama terompet indah itu. Di antara desah napas yang semakin memburu. Tangannya erat bergantung di leher saya. Bersandar mesra di bahu. Dia selalu bilang senang bahu dan leher beruang. Tetapi saya bukan beruang. Saya hanya binatang jalang yang terbuang. Saya peluk erat seolah tak akan berpisah lagi. Belum sehidup semati. Mana ada orang pacaran mikir mau mati. Sementara bibir indahnya menari nari bersama desah napas memburu teratur, di wajah dan leher saya. Berciuman diantara pelukan dan belaian mesra. Kadang harus berhenti sejenak mengatur napas.
Bergeser kami duduk di tepi ranjang. Matanya terpejam. Bibirnya merekah indah. Dia bersandar di pangkuan saya. Belaian belaian mesra semakin menggelora. Berseling dengan rintihan rintihan lirih. Diluar terdengar hujan renyai. Hawa sejuk menyelinap lewat jendela dengan gordyn warna hijau muda. Kadang angin angin kecil masuk lewat jendela itu. Seolah mengingatkan kami yang sedang terbuai dalam asmara. Tak sadar apa yang terjadi, dia sudah telentang di ranjang yang berbau wangi. Tanpa selembar benangpun menutupi tubuh yang indah itu. Saya terdiam terpana. Saya takjub melihatnya. Birahi asmara bertransformasi mendadak. Terpesona akan keindahan tubuh tiada tara. Rasa kagum luar biasa. Lekuk liku tubuhnya demikian indah. Mahkota wanitanya nampak anggun memukau. Seolah berucap selamat datang. Rasa sayang menyelinap kalbu yang dalam. Tak sampai hati merusak dan menodai tubuh indah itu. "Ki ……" Bisik lirihnya terdengar menghentak kesunyian. Bersama tarikan tangan mesra. Mengajak menyelesaikan ritual asmara yang belum tuntas. Saya kecup bibir indahnya. Saya kecup wajahnya. Saya peluk tubuhnya. Saya bisikkan kata kata mesra. "Perjalanan masih jauh. Mungkin belum saatnya. Saya tak sampai hati melakukannya"
Sejenak kemudian kami berbenah. Kembali ke ruang tengah. Buah jambu air menemani percakapan ringan kami. "Gila Ki". Saya menukas sekenanya. " Bukan gila. Kita mencoba berenang di laut asmara" Sial baru tersadar kalau tarikan tangannya telah melepas beberapa benik baju saya. Untung pakai kaos dalam. Sejak lulus SMA saya jarang pakai baju dalam. Jam setengah dua, neneknya datang. "Terima kasih ENY ditemani". Saya pulang sesaat kemudian. "Jangan nyesal ya Ki". Tak ada yang perlu disesalkan. Homo sapiens bertindak atas instink dan akal sehat. Sampai di rumah pondokan, mak Yem pembantu bertanya heran. "Gus kok benik baju copot semua?". "Sial kesrempet becak di Ngasem". Tak saya hiraukan komentarnya. Nggak juga tahu maksudnya. "Becak jaman sekarang, nyrempet juga pilih pilih". Saya masuk kamar menikmati tidur siang yang damai. Penuh kenangan indah. Biarlah komentar komentar itu. Emangnya saya pikirin?
Hari berganti hari. Bulan beranti bulan. Hubungan saya dengan ENY stabil. Kadang ada sedikit penyesalan. Kok tak bereaksi dengan tarikan tangan itu. Kesempatan itu memang tak pernah datang lagi. Kesempatan itu tak datang dua kali. Tetapi saya tak pernah menyesali. Saya mengingat ENY dengan penuh penghargaan pribadi. Walau hubungan kami tak berlanjut, kami tetap berteman platonis. Saling menghargai di jalan masing masing.
Belasan tahun kemudian saya sudah beranak isteri. NYI tahu hubungan saya dengan ENY. Tak sedetail yang terungkap di sini. Beberapa kali bertemu dengan ENY karena dia bertugas sebagai dokter di Puskesmas di dekat kediaman kami. NYI sering membawa anak anak ke sana. Suatu saat dia cerita. "Saya melihat wajah ENY dari dekat sekali. Wajahnya lembut. Bibir dan lehernya begitu indah. Wah edaaan Ki". Saya pura pura tak mendengar, walau hati berdesir ingat peristiwa peristiwa itu. Aaah masa lalu. Biarlah masa berlalu dengan damai. Demi kebahagiaaan masing masing. Moga moga ENY tak baca tulisan ini. Suaminya dokter THT, biasa operasi orang tercekik. Tetapi mungkin juga ahli mencekik. Anaknya dokter bedah ortopedi. Biasa operasi motong kaki. Jika dia membaca, mohon maaf ENY. Sesudah tiga puluh tahun, file rahasia bisa dibuka. Ini kesepakatan internasional.
Salam indah untuk anak anak muda. Homo sapiens tak hanya mengandalkan instink.
Ki Ageng Similikithi
Wednesday, September 24, 2008
Ungkapan cinta dari masa ke masa
Menjelang akhir tahun 1975. Kami seangkatan hampir lulus dokter. Beberapa teman sudah mengikat resmi pasangan masing masing. Ada yang sekedar bertunangan. Ada yang langsung kawin. Semua sadar jika lulus nanti akan tugas INPRES. Umumnya di daerah terpencil. Mungkin susah cari pasangan hidup. Pilihan lebih terbatas. Paling tidak di Yogya, bursa pasangan hidup lebih marak. Bursa lewat pilihan pendengar RRI atau radio swasta. Juga dari pada kawin paksa oleh HANSIP, lebih baik cepat cepat resmi. Ada berita simpang siur, seorang dokter baru beberapa angkatan di atas saya, dipaksa kawin karena sering kemalaman apel di daerah pulau terpencil. Tetapi untung dia memang cinta kepayang sama si gadis. Anak kepala suku lagi. Jauh lebih cantik dari target idaman semasa mahasiswa. Di Yogya selalu kalah bersaing dengan para karbol, yang kalau apel gadis idaman pasti lebih gagah, pakai seragam resmi. Teman tadi mau ngajak gadis manis, putrinya penjual bakmi di Mangkubumen, nonton Sekaten pun nggak pernah kesampaian. Nggak pernah kesampaian mau jadi menantunya priyayi Yogya.
Status hubungan saya dan NYI sudah dalam tahap serius. Pacar tetap. Belum sampai ke orang tua secara resmi. Masih sabar. Gunung lari tak perlu dikejar. Petang hari saya sering kumpul di tempat pondokan teman teman. Hanya ngobrol. Toh nanti tak akan sempat lagi, jika sudah lulus. Berpencar masing masing ke segala penjuru tanah air. Saya sedang bertamu ke salah satu pondokan teman, Tono, di Mangkubumen. Dia cerita kalau salah satu teman kami, Toro, baru patah hati. Toro asli Yogya, rumahnya di ujung jalan di Mangkubumen. Tono asal Boyolali ke Timur Laut 20 km.. Orangnya pendiam, tapi kalau ngomong ceplas ceplos, seenaknya. Seperti hari hari sebelumnya, jam 0730 Toro datang. Kami ngobrol ramai. Dia nampak agak diam nggak seperti biasanya. Tono sama Toro terlibat pembicaraan asyik. Sementara saya mendengar dagelan Mataram dari RRI sambil tiduran.
"Piye Ro, sida patah hati?" .
"Bukan masalah patah hati Bung. Ini masalah kehormatan. Sudah saya kenalkan orang tua, tahunya malah mau tunangan sama orang lain".
" Siapa lakinya. Bicara saja empat mata. Sama sama jantan ?"
" Anak teknik, sudah hampir lulus"
"Saingan sama insinyur kok ngacir sampeyan Ro. Ceritanya gimana sih? Sudah ada janji sehidup semati belum sama sampeyan ? Sudah resmi mengatakan cinta ?'
"Ngomong resmi sih belum. Tapi kami selalu saling meremas jari tangan dengan mesra jika duduk berdua".
"Saling remas jari tangan bukan pernyataan cinta Bung. Copet di Malioboro juga latihan meremas jari tangan 3 bulan penuh. Sudah kamu sosor (cium)?
" Ciuman enggak berani sebelum resmi tunangan. Ya kadang kadang kalau berdampingan, napas memburu, deg degan. Hanya hembusan napas menerpa wajah wajah kami".
" Wuah cilaka. Hanya kambing bandot kalau berahi, ngambus ambus ( hembus hembusan). Itupun biasanya hanya di pantat. Homo sapiens tak begitu".
Dalam hati saya tertawa dengar komentar Tono. Orangnya angin anginan, senaknya. Suka berteori kalau di kelas, sampai dikenal sebagai teorator. Sudah punya pacar tetap mahasiswi IKIP. Bangga sekali dia cerita bagaimana menaklukkan pacarnya. Walaupun awalnya diacuhin, dia nggak peduli. Tempel terus asal muka sedikit tebal katanya. Wanita pasti mengalah akhirnya. Sebaliknya Toro, asli Yogya, keturunan ningrat. Selalu disiplin dengan tata cara. Tidak grusa grusu. Semua juga terencana. Termasuk acara ngapelin gadis dan berciuman.
Ungkapan cinta memang sangat beragam dari orang ke orang. Dari generasi ke generasi. Dari waktu ke waktu. Juga berbeda dalam berbagai kultur. Setiap orang punya cara berbeda untuk mengungkap rasa cintanya. Di masa sekarang media komunikasi sudah sangat beragam. Orang bisa mengungkapkan rasa cinta lewat pesan singkat, lewat tilpon atau cara cara lain lewat dunia maya. Di masa lalu di mana alternatif media komunikasi masih terbatas, mungkin pilihannya hanya dua, secara langsung tatap muka dengan ungkapan kata cinta, atau secara tak langsung lewat surat.
Di masa lalu, keindahan untaian kata dalam surat dipakai sebagai cara mengungkapkan gelora asmara seseorang. Ingat kan surat surat cinta Bung Karno ? Juga surat surat dalam cerita roman Siti Nurbaya. Kadang orang bahkan sedikit bercanda mengatakan cara cinta jaman Siti Nurbaya, jika mengomentari orang bercinta dengan cara klasik. Di tahun enam puluhan, entah karena imbas dari gerakan kebebasan anak2 muda di Barat, nampak dengan munculnya generasi hippie dan musik rock , banyak terjadi perubahan besar dalam tata cara mengungkapkan rasa cinta. Tak lagi bertele dengan berbagai ungkapan ritual dan formalitas. Semua serba gampang. Katakan apa adanya kalau anda cinta. Pelukan dan ciuman cinta tak lagi dianggap tabu. Kalau perlu dimuka umum. Jika tabu di muka umum, sembunyi di kebun tebu. Dimana saja kapan saja. Asal sama sama cinta, sama sama suka, sama sama mau. Salah satu tetangga saya sukanya pacaran di kebun tebu. Kebetulan ayahnya seorang sinder tebu. Aman nggak ada yang berani ngintip, apalagi nggropyok.
Di tahun tujuh puluhan tata cara cinta atau pacaran relatif gampang. Tak banyak bicara bertele tele. Langsung to the point. Kalau sudah sama sama suka langsung cium. Istilah popnya waktu itu langsung 'cepok' atau 'sosor". Ungkapan kata baik langsung atau lewat surat diurus belakangan. Kadang kadang berbulan bulan pacaran pun belum tentu keluar proklamasi cinta. Kata kata cinta akan muncul kemudian dengan sendirinya. Dengan EN, yang pernah saya ceritakan di bawah keremangan pohon jambu, belum pernah bertukar kata kata cinta.. Walaupun hubungan dalam intensitas tinggi, dalam keremangan lampu listrik 110 volt.. Dengan EMS intensitas psikologis asmara juga sangat tinggi. Penuh dengan puisi puisi cinta yang begitu romantis. Tetapi belum pernah berpikir atau bicara akan sehidup semati. Terlalu bertele dan masih jauh. Nggak perlu bicara sehidup semati. Bisa memperpendek umur. Jalan masih panjang. Yang penting action dari pada janji dan kata kata. Namun toh ketika kesempatan datang, ketika pintu terbuka lebar di antara desah suara napas yang memburu, saya tak berani berbuat lebih lanjut. Mungkin dipikir pengecut. Tetapi ya memang saya merasa belum mantap. Belum mantap terikat sehidup semati. Hanya kemudian sering teringat, kok kesempatan nggak datang kedua kali. Kok tarikan tangan yang mesra memburu itu tak datang lagi ya?
Sampai beberapa bulan sebelum nikah, saya belum pernah memberitahu orang tua mengenai hubungan saya dengan pacar terakhir NYI. Ibu saya selalu bertanya, apakah saya sudah punya calon ? Mengapa nggak pernah dikenalkan orang tua dan diajak ke Ambarawa? Hubungan saya dengan NYI sudah dalam tahap sangat mantap, dan dalam hati saya berjanji akan mendampinginya seumur hidup. Tetapi untuk menyampaikan ke orang tua kok enggan. Bukan apa apa, bukan karena saya enggak mantap sama dia. Tetapi belum punya pegangan hidup kok sudah memproklamirkan ke orang tua. Ibu saya ketemu dengan NYI secara tak sengaja di rumah sakit sewaktu NYI menengok adik saya di rawat di RS Pugeran. Ibu saya langsung bilang ke saya " Apakah ada hubungan istimewa antara kamu sama gadis itu?. Pandangannya nggak biasa. Jika jadi isterimu,dia pasti sangat menyayangimu". Saya masih belum memastikan, sampai adik saya bilang kalau kami memang sudah lama pacaran. " Ajaklah ke Ambarawa, kenalkan sama bapak ibumu". Gimana mau ngajak pulang, saya sendiri belum memperkenalkan diri secara resmi ke orang tuanya ?
Ungkapan cinta secara verbal lebih sering kami lakukan setelah kawin. Setelah anak anak lahir . Juga setelah anak anak dewasa sampai sekarang. Ketika anak anak kami mulai pacaran, baru beberapa bulan kenal sama pacarnya ( sekarang isterinya), saya terheran heran kok mereka antusias memberi tahu ibunya (NYI) dan mau memperkenalkannya ke kami cepat cepat. "Baru berapa bulan kenal, ngapain dikenalkan orang tua? Apa sudah pasti dan mantap ?". NYI yang kemudian membelan " Jaman sudah berubah. Jangan kayak kita, main belakang bertahun tahun". Kadang saya berpikir, mungkin juga benar dia. Dulu bapak ibu saya almarhum mungkin selalu bertanya tanya, dengan siapa saya berhubungan, walau nggak pernah diungkapkan terang terangan. Bagi saya, hanya jika benar benar mantap, baru diperkenalkan ke orang tua.
Anak muda. Jika anda sudah mantap mengapa ragu ragu bertindak ? Tak usah menunggu kata kata indah tentang cinta. Tak semua mampu mengungkapkan. Bahasa cinta tak sekedar dari kata kata. Bulan pakai payung
Salam damai. Salam untuk Kokiers yang sedang dirundung cinta.
Ki Ageng Similikithi
(Dimuat dalam Kolom Kita KOmpas Cyber Community 22 September 2008)
http://community.kompas.com/read/artikel/1270
Status hubungan saya dan NYI sudah dalam tahap serius. Pacar tetap. Belum sampai ke orang tua secara resmi. Masih sabar. Gunung lari tak perlu dikejar. Petang hari saya sering kumpul di tempat pondokan teman teman. Hanya ngobrol. Toh nanti tak akan sempat lagi, jika sudah lulus. Berpencar masing masing ke segala penjuru tanah air. Saya sedang bertamu ke salah satu pondokan teman, Tono, di Mangkubumen. Dia cerita kalau salah satu teman kami, Toro, baru patah hati. Toro asli Yogya, rumahnya di ujung jalan di Mangkubumen. Tono asal Boyolali ke Timur Laut 20 km.. Orangnya pendiam, tapi kalau ngomong ceplas ceplos, seenaknya. Seperti hari hari sebelumnya, jam 0730 Toro datang. Kami ngobrol ramai. Dia nampak agak diam nggak seperti biasanya. Tono sama Toro terlibat pembicaraan asyik. Sementara saya mendengar dagelan Mataram dari RRI sambil tiduran.
"Piye Ro, sida patah hati?" .
"Bukan masalah patah hati Bung. Ini masalah kehormatan. Sudah saya kenalkan orang tua, tahunya malah mau tunangan sama orang lain".
" Siapa lakinya. Bicara saja empat mata. Sama sama jantan ?"
" Anak teknik, sudah hampir lulus"
"Saingan sama insinyur kok ngacir sampeyan Ro. Ceritanya gimana sih? Sudah ada janji sehidup semati belum sama sampeyan ? Sudah resmi mengatakan cinta ?'
"Ngomong resmi sih belum. Tapi kami selalu saling meremas jari tangan dengan mesra jika duduk berdua".
"Saling remas jari tangan bukan pernyataan cinta Bung. Copet di Malioboro juga latihan meremas jari tangan 3 bulan penuh. Sudah kamu sosor (cium)?
" Ciuman enggak berani sebelum resmi tunangan. Ya kadang kadang kalau berdampingan, napas memburu, deg degan. Hanya hembusan napas menerpa wajah wajah kami".
" Wuah cilaka. Hanya kambing bandot kalau berahi, ngambus ambus ( hembus hembusan). Itupun biasanya hanya di pantat. Homo sapiens tak begitu".
Dalam hati saya tertawa dengar komentar Tono. Orangnya angin anginan, senaknya. Suka berteori kalau di kelas, sampai dikenal sebagai teorator. Sudah punya pacar tetap mahasiswi IKIP. Bangga sekali dia cerita bagaimana menaklukkan pacarnya. Walaupun awalnya diacuhin, dia nggak peduli. Tempel terus asal muka sedikit tebal katanya. Wanita pasti mengalah akhirnya. Sebaliknya Toro, asli Yogya, keturunan ningrat. Selalu disiplin dengan tata cara. Tidak grusa grusu. Semua juga terencana. Termasuk acara ngapelin gadis dan berciuman.
Ungkapan cinta memang sangat beragam dari orang ke orang. Dari generasi ke generasi. Dari waktu ke waktu. Juga berbeda dalam berbagai kultur. Setiap orang punya cara berbeda untuk mengungkap rasa cintanya. Di masa sekarang media komunikasi sudah sangat beragam. Orang bisa mengungkapkan rasa cinta lewat pesan singkat, lewat tilpon atau cara cara lain lewat dunia maya. Di masa lalu di mana alternatif media komunikasi masih terbatas, mungkin pilihannya hanya dua, secara langsung tatap muka dengan ungkapan kata cinta, atau secara tak langsung lewat surat.
Di masa lalu, keindahan untaian kata dalam surat dipakai sebagai cara mengungkapkan gelora asmara seseorang. Ingat kan surat surat cinta Bung Karno ? Juga surat surat dalam cerita roman Siti Nurbaya. Kadang orang bahkan sedikit bercanda mengatakan cara cinta jaman Siti Nurbaya, jika mengomentari orang bercinta dengan cara klasik. Di tahun enam puluhan, entah karena imbas dari gerakan kebebasan anak2 muda di Barat, nampak dengan munculnya generasi hippie dan musik rock , banyak terjadi perubahan besar dalam tata cara mengungkapkan rasa cinta. Tak lagi bertele dengan berbagai ungkapan ritual dan formalitas. Semua serba gampang. Katakan apa adanya kalau anda cinta. Pelukan dan ciuman cinta tak lagi dianggap tabu. Kalau perlu dimuka umum. Jika tabu di muka umum, sembunyi di kebun tebu. Dimana saja kapan saja. Asal sama sama cinta, sama sama suka, sama sama mau. Salah satu tetangga saya sukanya pacaran di kebun tebu. Kebetulan ayahnya seorang sinder tebu. Aman nggak ada yang berani ngintip, apalagi nggropyok.
Di tahun tujuh puluhan tata cara cinta atau pacaran relatif gampang. Tak banyak bicara bertele tele. Langsung to the point. Kalau sudah sama sama suka langsung cium. Istilah popnya waktu itu langsung 'cepok' atau 'sosor". Ungkapan kata baik langsung atau lewat surat diurus belakangan. Kadang kadang berbulan bulan pacaran pun belum tentu keluar proklamasi cinta. Kata kata cinta akan muncul kemudian dengan sendirinya. Dengan EN, yang pernah saya ceritakan di bawah keremangan pohon jambu, belum pernah bertukar kata kata cinta.. Walaupun hubungan dalam intensitas tinggi, dalam keremangan lampu listrik 110 volt.. Dengan EMS intensitas psikologis asmara juga sangat tinggi. Penuh dengan puisi puisi cinta yang begitu romantis. Tetapi belum pernah berpikir atau bicara akan sehidup semati. Terlalu bertele dan masih jauh. Nggak perlu bicara sehidup semati. Bisa memperpendek umur. Jalan masih panjang. Yang penting action dari pada janji dan kata kata. Namun toh ketika kesempatan datang, ketika pintu terbuka lebar di antara desah suara napas yang memburu, saya tak berani berbuat lebih lanjut. Mungkin dipikir pengecut. Tetapi ya memang saya merasa belum mantap. Belum mantap terikat sehidup semati. Hanya kemudian sering teringat, kok kesempatan nggak datang kedua kali. Kok tarikan tangan yang mesra memburu itu tak datang lagi ya?
Sampai beberapa bulan sebelum nikah, saya belum pernah memberitahu orang tua mengenai hubungan saya dengan pacar terakhir NYI. Ibu saya selalu bertanya, apakah saya sudah punya calon ? Mengapa nggak pernah dikenalkan orang tua dan diajak ke Ambarawa? Hubungan saya dengan NYI sudah dalam tahap sangat mantap, dan dalam hati saya berjanji akan mendampinginya seumur hidup. Tetapi untuk menyampaikan ke orang tua kok enggan. Bukan apa apa, bukan karena saya enggak mantap sama dia. Tetapi belum punya pegangan hidup kok sudah memproklamirkan ke orang tua. Ibu saya ketemu dengan NYI secara tak sengaja di rumah sakit sewaktu NYI menengok adik saya di rawat di RS Pugeran. Ibu saya langsung bilang ke saya " Apakah ada hubungan istimewa antara kamu sama gadis itu?. Pandangannya nggak biasa. Jika jadi isterimu,dia pasti sangat menyayangimu". Saya masih belum memastikan, sampai adik saya bilang kalau kami memang sudah lama pacaran. " Ajaklah ke Ambarawa, kenalkan sama bapak ibumu". Gimana mau ngajak pulang, saya sendiri belum memperkenalkan diri secara resmi ke orang tuanya ?
Ungkapan cinta secara verbal lebih sering kami lakukan setelah kawin. Setelah anak anak lahir . Juga setelah anak anak dewasa sampai sekarang. Ketika anak anak kami mulai pacaran, baru beberapa bulan kenal sama pacarnya ( sekarang isterinya), saya terheran heran kok mereka antusias memberi tahu ibunya (NYI) dan mau memperkenalkannya ke kami cepat cepat. "Baru berapa bulan kenal, ngapain dikenalkan orang tua? Apa sudah pasti dan mantap ?". NYI yang kemudian membelan " Jaman sudah berubah. Jangan kayak kita, main belakang bertahun tahun". Kadang saya berpikir, mungkin juga benar dia. Dulu bapak ibu saya almarhum mungkin selalu bertanya tanya, dengan siapa saya berhubungan, walau nggak pernah diungkapkan terang terangan. Bagi saya, hanya jika benar benar mantap, baru diperkenalkan ke orang tua.
Anak muda. Jika anda sudah mantap mengapa ragu ragu bertindak ? Tak usah menunggu kata kata indah tentang cinta. Tak semua mampu mengungkapkan. Bahasa cinta tak sekedar dari kata kata. Bulan pakai payung
Salam damai. Salam untuk Kokiers yang sedang dirundung cinta.
Ki Ageng Similikithi
(Dimuat dalam Kolom Kita KOmpas Cyber Community 22 September 2008)
http://community.kompas.com/read/artikel/1270
Wednesday, September 10, 2008
Mas Joko & Jeng Nunik
Desah napas putus asa. Terkulai lemah mas Joko di antara lutut sang isteri tercinta Nunik. Mereka baru saja menikah beberapa hari lalu. Saat saat yang diimpikan dan dipersiapkan secara cermat sejak lama buyar belaka. Keperkasaan mas Joko hancur dalam hitungan detik di dalam buaian kemesraan cinta yang menggelora. Tak mampu dia membawa isterinya ke langit ketujuh. Terkulai lemah sebelum sempat mengajak Nunik dalam tarian cinta erotis yang mereka impikan. Malu dan terhina. Ini bertentangan dengan prinsip kepemimpinan dan keperkasaan maskulin yang selama ini menjadi prinsip hidupnya. Sebaliknya Nunik menerimanya dengan iklas. "Nggak perlu tergesa Mas. Masih banyak kesempatan. Saya nggak kecewa kok".
Acara pernikahan mereka meriah dan membahagiakan. Mas Joko telah merancang jauh jauh acara malam pertama. Tak perlu tergesa gesa. Harus dilakukan secara taktis dan terencana. Tidak asal tembak seperti gaya hidup kotemporer masa kini. Bukan tembak dulu urusan belakang. Tak bisa itu. Tak bertanggung jawab. Tak ada dalam kamus. "Saya ini generasi muda masa kini. Bertanggung jawab. Bukan sopir truk jarak jauh". Pacaran juga cuma sekali sama Nunik, yang berakhir sampai ke pelaminan. Pacaran nggak macam macam. Ciuman hanya sebatas pipi sama dahi. Membelai tangan sama kaki (paha) Nunik, benar2 dia batasi. Sengaja selalu menandai demarkasi daerah yang tak boleh dibelai setiap malam Minggu dengan spidol merah. Sedikit di atas lutut dan siku. Nunik pun bahagia. Bagaimana enggak, mas Joko orangnya ngganteng, lurus, jujur, puritan, nggak mata keranjang. Pokoknya Joko thing thing.
Malam pertama terencana. Hari pertama sesudah nikah istilahnya Siaga Tiga tahap persiapan fisik. Hari kedua Siaga Dua, tahap persiapan mental. Hari ketiga Siaga Satu, siap tempur. Berbagai jamu dan latihan olahraga telah dilakukan secara cermat sejak dua bulan sebelumnya. Termasuk senam seksual pria. Bahkan latihan dengan bandul untuk meningkatkan keampuhan tempur perangkat keperkasaan lelakinya. Daya ungkitnya luar biasa dalam latihan. Bandul seberat setengah kilo dengan gampang diangkat berputar ke segala penjuru angin. Rencana siaga satu sampai tiga dibahas rinci dengan Nunik. Sejak kecil mas Joko sudah digembleng dengan disiplin tinggi. Waktu kecil sering nyanyi "Saya seorang kapitein. Mempunyai bedil panjang. Kalau berjalan prok prok prok. Saya seorang kapitain".
Benar benar terpukul mas Joko dengan kegagalan malam pertama. Tak pernah dia bayangkan tragedi yang begitu menghantam harga diri dan martabat kelelakiannya. "Tugas lelaki membawa isteri dalam perjalanan ke sorga asmara. Akan saya buat Nunik takluk melayang di awang awang". Tak akan ada lagi tanda spidol merah untuk demarkasi petting malam Minggu. Selamat tinggal spidol merah. Nunik memang penurut. Khas wanita Jawa, menjalani dan menuruti kehendak suami, sampai di tempat tidur. Malam berikutnya, dengan segala persiapan fisik dan mental, kedua pasangan itu mencoba kembali memadu cintanya. Mas Joko khusuk berkosentrasi. "Saya akan buat Nunik melayang terkulai dalam kenikmatan laut asmara".
Semua teori buku yang dibacanya kental mengendap dalam ingatan. Dia memang belum pernah sekalipun melakukan hubungan fisik pria wanita. Kali ini sedikit membaik. Namun dia tetap saja keburu jatuh ke bumi. Jatih ke kasur sebenarnya. Terkulai dalam pelukan mesra Nunik. Khayalan terbang melayang bersama Nunik tak juga kesampaian. Sementara Nunik hanya mendesah ringan. Tak sempat melayang. Tak sempat menari di awang awang. Perjalanan masih jauh. Dia menerima. Malam malam berikutnya tak banyak berbeda. Selalu kandas di kasur sebelum terbang melayang. Hanya sedikit lebih baik. Pada awal awalnya, mas Joko terkulai di antara lutut , sampai Nunik harus membimbingnya untuk berbaring di sampingnya. Malam malam berikut dia sedikit membaik, terkulai lemah disamping pelukan sang isteri.
Dengan sayang Nunik selalu memeluk dan membelainya. Memberi semangat, tak perlu kecil hati, walau dalam hati keinginan Nunik juga begitu membara. Semua akal sudah diterapkan Semua buku dan ajaran sudah diendapkan dalam benaknya. Bahkan senjata ampuhnya selama kini selama berhadapan dengan lawan bicara juga dicobanya. Mas Joko selalu batuk kecil (bhs Jawa dehem) sebelum bicara. "Eeeeeeem eeeeeeeem" . Lawan bicara selalu akan terpesona dan mengiyakan apa yang dikatakan. Meskipun kadang hanya bualan semata. Batuk batuk kecilnyapun sudah dicoba sebelum memulai bermain asmara dengan Nunik. Tetapi nampaknya tak mempan juga.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Akhirnya Nunik menyarankan agar periksa ke dokter. Atau memakai Viagra yang sering diiklankan lewat internet. Mas Joko hanya mengangguk. Batinnya memberontak. "Persetan dengan dokter. Persetan dengan Viagra. Nunik, tak perlu sedu sedan itu. Saya ini pria tangguh masa kini. Jika sampai waktuku, kubawa kau terbang di awang awang". Akhirnya mas Joko baca berbagai iklan di surat kabar. Begitu vulgar dan memikat. Ini dia, banyak iklan tentang lemah syahwat. Menawarkan berbagai cara meningkatkan keperkasaan lelaki. Mas Joko tertarik satu iklan kecil. "Melayani konsultasi langsung. Ahli totok jalan darah untuk lemah syahwat". Dalam dunia kangouw (silat) selama ini tak ada cerita totok jalan darah untuk meningkatkan syahwat. Kontraindikasi totok jalan darah daerah sekitar burung. Angker.
Singkat cerita mas Joko membuat perjanjian untuk konsultasi dengan ahli lemah syahwat, mBak Riri. Tokoh satu ini hampir tiap minggu namanya terpancang di koran, menawarkan pengobatan mujarab lemah syahwat. Dia buka praktek di berbagai kota. Lewat jam sembilan malam, dengan berdebar debar mas Joko datang ke tempat praktek mbak Riri di sudut kota. Kamar prakteknya tertata rapi, bersih, penuh aroma. Hanya ada beberapa pasien yang menunggu. Kesemuanya lelaki setengah baya ke atas. Mungkin semuanya menjelang atau sudah pension. Rata rata pria genit usia lanjut. Mas Joko termuda di antara mereka.
"Dimas, saya tahu masalahmu sejak awal. Jangan khawatir. Semua bisa diatasi". Mas Joko terhenyak mendengar sapaan lembut mBak Riri. Perlu terapi khusus. "Aliran darah panjenengan nggak lancar Dimas. Perlu sedikit totokan". Walau hatinya setengah nggak percaya dia toh manut saja. Dia dibawa masuk ke kamar periksa khusus. Tenang dan sejuk. Suara mBak Riri begitu lembut membaca mantera mantera, seperti menyanyi pelan pelan. Dia terbawa alunan suara yang begitu indah. Tak menyangka tokoh spiritual lemah syahwat ini masih begitu muda. Hanya beberapa tahun di atas mas Joko. Tak tahu dia apa yang dilakukan Mbak Riri. Perasaannya melayang jauh. Pelan pelan tapi pasti perangkat kelelakiannya berangkat tegak kembali. Seperti dalam latihan latihan fisik sebelumnya. Tegak lurus, disiplin seperti dalam posisi baris sempurna. Sementara suara lembut mBak Riri semakin membuai. Tangannya halus membelai daerah daerah sensitifnya, yang seharusnya jadi demarkasi. Tetapi tak sempat lagi dia berpikir tentang spidol merah. Manut saja, ketika bisikan mesra itu mampir ke telinganya. Terbersit harapan lebih dari sekedar bisikan mesra itu. Telentang larut dalam lamunan mesra. Aaah begitu membuai. Sadar sesadar sadarnya, mBak Riri telah duduk di atasnya menari nari pelan dan lembut. Dia ikut menari dengan irama erotis yang menghanyutkan. Dia melayang di awang awang dalam bimbingan Mbak Riri. Perasaan yang diimpikan selama ini. Selesai tarian sorga dia kembali ke bumi bersama desah napas serentak berkepanjangan. Inilah klimaks dari semuanya.
Mas Joko terpana dalam kepuasan fisik dan emosi yang dalam. Hatinya gagap. Rasa penyesalan menyelinap. Ini pengkhiatan. Akhrinya dia menukas sendiri. Bukan pengkhiatan. Bukan perselingkuhan. Ini pengorbanan. Untuk kebahagian bersama Nunik tercinta. Malam malam berikut, tak ada lagi ambisi menaklukan Nunik. Membimbing dan membawa Nunik melayang ke awang awang. Yang ada dia selalu ikut menari, ketika Nunik duduk diatasnya. Menari bersama. Melayang bersama. Menikmati bersama. Dia sadar sesadar sadarnya, kepuasan dan kenikmatan adalah kebersamaan bersama Nunik yang dicitainya. Bukan menaklukan, bukan membimbing. Bukan tentang keperkasaan. Bukan tentang siapa yang pegang komando. Tetapi tentang dia dan Nunik, sang isteri yang sangat dicintai. Tentang cinta dan kebersamaan.
Salam damai untuk para penganten baru
Ki Ageng Similikithi
Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 10 September 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/1135)
Acara pernikahan mereka meriah dan membahagiakan. Mas Joko telah merancang jauh jauh acara malam pertama. Tak perlu tergesa gesa. Harus dilakukan secara taktis dan terencana. Tidak asal tembak seperti gaya hidup kotemporer masa kini. Bukan tembak dulu urusan belakang. Tak bisa itu. Tak bertanggung jawab. Tak ada dalam kamus. "Saya ini generasi muda masa kini. Bertanggung jawab. Bukan sopir truk jarak jauh". Pacaran juga cuma sekali sama Nunik, yang berakhir sampai ke pelaminan. Pacaran nggak macam macam. Ciuman hanya sebatas pipi sama dahi. Membelai tangan sama kaki (paha) Nunik, benar2 dia batasi. Sengaja selalu menandai demarkasi daerah yang tak boleh dibelai setiap malam Minggu dengan spidol merah. Sedikit di atas lutut dan siku. Nunik pun bahagia. Bagaimana enggak, mas Joko orangnya ngganteng, lurus, jujur, puritan, nggak mata keranjang. Pokoknya Joko thing thing.
Malam pertama terencana. Hari pertama sesudah nikah istilahnya Siaga Tiga tahap persiapan fisik. Hari kedua Siaga Dua, tahap persiapan mental. Hari ketiga Siaga Satu, siap tempur. Berbagai jamu dan latihan olahraga telah dilakukan secara cermat sejak dua bulan sebelumnya. Termasuk senam seksual pria. Bahkan latihan dengan bandul untuk meningkatkan keampuhan tempur perangkat keperkasaan lelakinya. Daya ungkitnya luar biasa dalam latihan. Bandul seberat setengah kilo dengan gampang diangkat berputar ke segala penjuru angin. Rencana siaga satu sampai tiga dibahas rinci dengan Nunik. Sejak kecil mas Joko sudah digembleng dengan disiplin tinggi. Waktu kecil sering nyanyi "Saya seorang kapitein. Mempunyai bedil panjang. Kalau berjalan prok prok prok. Saya seorang kapitain".
Benar benar terpukul mas Joko dengan kegagalan malam pertama. Tak pernah dia bayangkan tragedi yang begitu menghantam harga diri dan martabat kelelakiannya. "Tugas lelaki membawa isteri dalam perjalanan ke sorga asmara. Akan saya buat Nunik takluk melayang di awang awang". Tak akan ada lagi tanda spidol merah untuk demarkasi petting malam Minggu. Selamat tinggal spidol merah. Nunik memang penurut. Khas wanita Jawa, menjalani dan menuruti kehendak suami, sampai di tempat tidur. Malam berikutnya, dengan segala persiapan fisik dan mental, kedua pasangan itu mencoba kembali memadu cintanya. Mas Joko khusuk berkosentrasi. "Saya akan buat Nunik melayang terkulai dalam kenikmatan laut asmara".
Semua teori buku yang dibacanya kental mengendap dalam ingatan. Dia memang belum pernah sekalipun melakukan hubungan fisik pria wanita. Kali ini sedikit membaik. Namun dia tetap saja keburu jatuh ke bumi. Jatih ke kasur sebenarnya. Terkulai dalam pelukan mesra Nunik. Khayalan terbang melayang bersama Nunik tak juga kesampaian. Sementara Nunik hanya mendesah ringan. Tak sempat melayang. Tak sempat menari di awang awang. Perjalanan masih jauh. Dia menerima. Malam malam berikutnya tak banyak berbeda. Selalu kandas di kasur sebelum terbang melayang. Hanya sedikit lebih baik. Pada awal awalnya, mas Joko terkulai di antara lutut , sampai Nunik harus membimbingnya untuk berbaring di sampingnya. Malam malam berikut dia sedikit membaik, terkulai lemah disamping pelukan sang isteri.
Dengan sayang Nunik selalu memeluk dan membelainya. Memberi semangat, tak perlu kecil hati, walau dalam hati keinginan Nunik juga begitu membara. Semua akal sudah diterapkan Semua buku dan ajaran sudah diendapkan dalam benaknya. Bahkan senjata ampuhnya selama kini selama berhadapan dengan lawan bicara juga dicobanya. Mas Joko selalu batuk kecil (bhs Jawa dehem) sebelum bicara. "Eeeeeeem eeeeeeeem" . Lawan bicara selalu akan terpesona dan mengiyakan apa yang dikatakan. Meskipun kadang hanya bualan semata. Batuk batuk kecilnyapun sudah dicoba sebelum memulai bermain asmara dengan Nunik. Tetapi nampaknya tak mempan juga.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Akhirnya Nunik menyarankan agar periksa ke dokter. Atau memakai Viagra yang sering diiklankan lewat internet. Mas Joko hanya mengangguk. Batinnya memberontak. "Persetan dengan dokter. Persetan dengan Viagra. Nunik, tak perlu sedu sedan itu. Saya ini pria tangguh masa kini. Jika sampai waktuku, kubawa kau terbang di awang awang". Akhirnya mas Joko baca berbagai iklan di surat kabar. Begitu vulgar dan memikat. Ini dia, banyak iklan tentang lemah syahwat. Menawarkan berbagai cara meningkatkan keperkasaan lelaki. Mas Joko tertarik satu iklan kecil. "Melayani konsultasi langsung. Ahli totok jalan darah untuk lemah syahwat". Dalam dunia kangouw (silat) selama ini tak ada cerita totok jalan darah untuk meningkatkan syahwat. Kontraindikasi totok jalan darah daerah sekitar burung. Angker.
Singkat cerita mas Joko membuat perjanjian untuk konsultasi dengan ahli lemah syahwat, mBak Riri. Tokoh satu ini hampir tiap minggu namanya terpancang di koran, menawarkan pengobatan mujarab lemah syahwat. Dia buka praktek di berbagai kota. Lewat jam sembilan malam, dengan berdebar debar mas Joko datang ke tempat praktek mbak Riri di sudut kota. Kamar prakteknya tertata rapi, bersih, penuh aroma. Hanya ada beberapa pasien yang menunggu. Kesemuanya lelaki setengah baya ke atas. Mungkin semuanya menjelang atau sudah pension. Rata rata pria genit usia lanjut. Mas Joko termuda di antara mereka.
"Dimas, saya tahu masalahmu sejak awal. Jangan khawatir. Semua bisa diatasi". Mas Joko terhenyak mendengar sapaan lembut mBak Riri. Perlu terapi khusus. "Aliran darah panjenengan nggak lancar Dimas. Perlu sedikit totokan". Walau hatinya setengah nggak percaya dia toh manut saja. Dia dibawa masuk ke kamar periksa khusus. Tenang dan sejuk. Suara mBak Riri begitu lembut membaca mantera mantera, seperti menyanyi pelan pelan. Dia terbawa alunan suara yang begitu indah. Tak menyangka tokoh spiritual lemah syahwat ini masih begitu muda. Hanya beberapa tahun di atas mas Joko. Tak tahu dia apa yang dilakukan Mbak Riri. Perasaannya melayang jauh. Pelan pelan tapi pasti perangkat kelelakiannya berangkat tegak kembali. Seperti dalam latihan latihan fisik sebelumnya. Tegak lurus, disiplin seperti dalam posisi baris sempurna. Sementara suara lembut mBak Riri semakin membuai. Tangannya halus membelai daerah daerah sensitifnya, yang seharusnya jadi demarkasi. Tetapi tak sempat lagi dia berpikir tentang spidol merah. Manut saja, ketika bisikan mesra itu mampir ke telinganya. Terbersit harapan lebih dari sekedar bisikan mesra itu. Telentang larut dalam lamunan mesra. Aaah begitu membuai. Sadar sesadar sadarnya, mBak Riri telah duduk di atasnya menari nari pelan dan lembut. Dia ikut menari dengan irama erotis yang menghanyutkan. Dia melayang di awang awang dalam bimbingan Mbak Riri. Perasaan yang diimpikan selama ini. Selesai tarian sorga dia kembali ke bumi bersama desah napas serentak berkepanjangan. Inilah klimaks dari semuanya.
Mas Joko terpana dalam kepuasan fisik dan emosi yang dalam. Hatinya gagap. Rasa penyesalan menyelinap. Ini pengkhiatan. Akhrinya dia menukas sendiri. Bukan pengkhiatan. Bukan perselingkuhan. Ini pengorbanan. Untuk kebahagian bersama Nunik tercinta. Malam malam berikut, tak ada lagi ambisi menaklukan Nunik. Membimbing dan membawa Nunik melayang ke awang awang. Yang ada dia selalu ikut menari, ketika Nunik duduk diatasnya. Menari bersama. Melayang bersama. Menikmati bersama. Dia sadar sesadar sadarnya, kepuasan dan kenikmatan adalah kebersamaan bersama Nunik yang dicitainya. Bukan menaklukan, bukan membimbing. Bukan tentang keperkasaan. Bukan tentang siapa yang pegang komando. Tetapi tentang dia dan Nunik, sang isteri yang sangat dicintai. Tentang cinta dan kebersamaan.
Salam damai untuk para penganten baru
Ki Ageng Similikithi
Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 10 September 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/1135)
Friday, August 29, 2008
Jalan ke Barat
Januari 1980. Dalam perjalanan ke bandara Halim Perdana Kusuma. Diantar NYI sama anak anak Aryo sama Nunu. Juga kakak sekeluarga bersama ponakan ponakan. Tiga hari terakhir nginap di tempat kakak sulung di Jakarta, bersama NYI dan anak anak. NYI hamil tua anak ke tiga. Dia nampak diam menahan perasaan. Demikian juga saya. Pikiran saya galau akan pisah dengan istri dan anak anak.. Aryo sudah tahu kalau saya mau pergi jauh. Sejak semalam dia sudah diam saja. Umurnya belum genap 4 tahun. Nunu belum tahu apa apa, umurnya baru dua tahun kurang. Selalu sibuk main main. Saya nggak tahu berapa lama akan pisah. Saya akan mengambil program doktor di University Newcastle upon Tyne (UK). Mestinya berangkat bulan Oktober, tiga bulan lalu. Tetapi saya minta diundur oleh karena masih harus menyelesaikan banyak penelitian, juga laporan dari pertemuan Asia Pasifik yang baru saja terselenggara bulan Juni '79.
Keberangkatan ini sebenarnya sudah saya nantikan lama, namun tak menyangka betapa berat pisah dengan isteri dan anak anak. Kebetulan mereka pas sedang aktif aktifnya dan lengket sekali sama saya. Tak begitu lancar awalnya menembus ijin atasan oleh karena ada kebijakan tak resmi harus urut jika mau ke luar negeri. Untung akhirnya Dekan menyetujui. Rockefeller Foundation setuju memberikan beasiswa. Juga ada persetujuan penerimaan dari University of Newcastle Upon Tyne, yang mau menampung topik penelitian saya tentang pengaruh genetik dan gizi dalam kemampuan metabolisme obat.
Sejak dua tahun sebelumnya saya memang giat melakukan konsultasi dan menawarkan topik penelitian saya ke berbagai lembaga di Eropa Barat dan Amerika. Ada beberapa pilihan. Di Karolinska Institutet Swedia, gelar doktor bisa dicapai dengan melakukan penelitian penuh waktu dan publikasi minimal 5 karya penelitian. Biasanya dapat diselesaikan antara 4 – 5 tahun. Di salah satu universitas terkemuka di US, program PhD terdiri atas course work selama dua tahun lalu disambung dengan penelitian selama dua tahun. Minimal empat tahun. Sewaktu menjadi sekretaris penyelenggara pertemuan Asia Pasifik di Yogya, saya konsultasi dengan beberapa tokoh dari Australia dan dianjurkan untuk menulis ke Newcastle UK. Beberapa bulan konsultasi dan kemudian melengkapi syarat2 pendaftaran, akhirnya Wolfson Unit menerima saya untuk program doktor. Bisa diselesaikan dalam waktu tiga tahun, jika penelitian berjalan lancar.
Dalam perjalan ke bandara, lamunan saya melayang ke belakang, ke masa masa kecil saya. Sejak SMP saya selalu memimpikan untuk dapat kesempatan belajar di Eropa Barat. Saya selalu mengikuti membaca majalah majalah dari Uni Soviet waktu itu. Namun ada keraguan untuk mengambil program paska sarjana di sana. Saya nggak tahu sebabnya. Teman bapak saya pernah menjadi duta besar di Hongaria di awal tahun enam puluhan. Beliau pernah berkata " Anak muda, datanglah ke Budapest. Di sanalah banyak yang bisa dipelajari". Saya selalu membayangkan lembaga lembaga pendidikan di Eropa yang mapan dan maju. Saya mengagumi tokoh2 politik dari Uni Soviet, seperti Nikita Kruschev dan Andrei Gromyko, yang begitu lantang bersuara dalam debat diplomatic dengan negara Barat. Namun keinginan untuk belajar dari negara Eropa Timur tak kunjung muncul.
Tahun 1963 kakak sulung saya berangkat program paska sarjana ke Amerika, di Purdue University. Selalu mengirim foto berwarna mengenai Amerika. Belum ada foto berwarna waktu itu di Indonesia. Beberapa foto yang dikirim menunjukkan gambarnya dengan beberapa burung betet hinggap di pundak dan lengannya. Nggak tahu diambil dari mana. Kami lihat foto itu ramai ramai di kelas. Saya masih kelas satu SMP. Teman teman berkomentar macam macam. "Edan di Amerika, burung bisa lengket sama manusia".
"Di Indonesia orang juga lengket sama burungnya sendiri".
Sampai di bandara menjelang petang. Duduk sebentar di ruang tunggu. Nunu asyik main bola di lantai. Tak tahu apa apa. Aryo mulai merengek dan lengket sama saya terus. Tahu jika saya akan pergi jauh. Kemudian menyelesaikan check in sebentar. Nggak ada masalah. Pesawat Garuda masih bisa menghubungkan jalur Jakarta London dengan berhenti di beberapa bandara di Asia dan Timur Tengah. Selesai check in kembali menemui NYI sama anak anak dan saudara2. Aryo nampak girang kembali dikira saya nggak jadi berangkat. Hati saya semakin bergetar. NYI matanya memerah. Kok ya nggak gampang ya pergi jauh pisah sama anak isteri ? Tak pernah terpikir sebelumnya.
Sewaktu kelas tiga Sekolah Rakyat kami pernah membaca cerita berjudul "Dateng Negari Walandi". Mencerikan kisah perjalanan seorang anak muda dari Solo yang mau benagkat belajar ke negeri Belanda. Naik kapal laut dari pelabuhan Semarang. Perjalanan akan berlangsung selama lebih tiga minggu. Dia membawa dua kopor dari logam. Diantar bapak ibu dan saudara saudaranya. Ceritanya sebenarnya mungkin terjadi di jaman penjajahan sebelum perang, lupa nama sang tokoh cerita. Tetapi dia digambarkan begitu gembira di saat keberangkatan. Bayangan saya waktu itu keberangkatan ke luar negeri pasti sangat membahagiakan. Saya harus angon sapi tiap sore pulang sekolah. Belajar ke negeri Belanda, nggak ada kamus angon sapi pulang sekolah.
Aryo menangis berat ketika saya pamit berangkat. Nunu minta dibelikan bola. NYI memeluk saya sambil menangis. Matahari hampir tenggelam, langit memerah di ufuk barat, ketika saya berjalan di tarmac menuju pesawat. Ke arah mata hari tenggelam di ufuk Barat. Keberangkatan ini adalah impian sejak kecil, impian impian saat angon sapi, berangkat belajar ke Eropa. Seperti halnya anak muda dari Solo dalam kisah 'Dateng Negari Walandi".
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 29 Agustus 2008
Keberangkatan ini sebenarnya sudah saya nantikan lama, namun tak menyangka betapa berat pisah dengan isteri dan anak anak. Kebetulan mereka pas sedang aktif aktifnya dan lengket sekali sama saya. Tak begitu lancar awalnya menembus ijin atasan oleh karena ada kebijakan tak resmi harus urut jika mau ke luar negeri. Untung akhirnya Dekan menyetujui. Rockefeller Foundation setuju memberikan beasiswa. Juga ada persetujuan penerimaan dari University of Newcastle Upon Tyne, yang mau menampung topik penelitian saya tentang pengaruh genetik dan gizi dalam kemampuan metabolisme obat.
Sejak dua tahun sebelumnya saya memang giat melakukan konsultasi dan menawarkan topik penelitian saya ke berbagai lembaga di Eropa Barat dan Amerika. Ada beberapa pilihan. Di Karolinska Institutet Swedia, gelar doktor bisa dicapai dengan melakukan penelitian penuh waktu dan publikasi minimal 5 karya penelitian. Biasanya dapat diselesaikan antara 4 – 5 tahun. Di salah satu universitas terkemuka di US, program PhD terdiri atas course work selama dua tahun lalu disambung dengan penelitian selama dua tahun. Minimal empat tahun. Sewaktu menjadi sekretaris penyelenggara pertemuan Asia Pasifik di Yogya, saya konsultasi dengan beberapa tokoh dari Australia dan dianjurkan untuk menulis ke Newcastle UK. Beberapa bulan konsultasi dan kemudian melengkapi syarat2 pendaftaran, akhirnya Wolfson Unit menerima saya untuk program doktor. Bisa diselesaikan dalam waktu tiga tahun, jika penelitian berjalan lancar.
Dalam perjalan ke bandara, lamunan saya melayang ke belakang, ke masa masa kecil saya. Sejak SMP saya selalu memimpikan untuk dapat kesempatan belajar di Eropa Barat. Saya selalu mengikuti membaca majalah majalah dari Uni Soviet waktu itu. Namun ada keraguan untuk mengambil program paska sarjana di sana. Saya nggak tahu sebabnya. Teman bapak saya pernah menjadi duta besar di Hongaria di awal tahun enam puluhan. Beliau pernah berkata " Anak muda, datanglah ke Budapest. Di sanalah banyak yang bisa dipelajari". Saya selalu membayangkan lembaga lembaga pendidikan di Eropa yang mapan dan maju. Saya mengagumi tokoh2 politik dari Uni Soviet, seperti Nikita Kruschev dan Andrei Gromyko, yang begitu lantang bersuara dalam debat diplomatic dengan negara Barat. Namun keinginan untuk belajar dari negara Eropa Timur tak kunjung muncul.
Tahun 1963 kakak sulung saya berangkat program paska sarjana ke Amerika, di Purdue University. Selalu mengirim foto berwarna mengenai Amerika. Belum ada foto berwarna waktu itu di Indonesia. Beberapa foto yang dikirim menunjukkan gambarnya dengan beberapa burung betet hinggap di pundak dan lengannya. Nggak tahu diambil dari mana. Kami lihat foto itu ramai ramai di kelas. Saya masih kelas satu SMP. Teman teman berkomentar macam macam. "Edan di Amerika, burung bisa lengket sama manusia".
"Di Indonesia orang juga lengket sama burungnya sendiri".
Sampai di bandara menjelang petang. Duduk sebentar di ruang tunggu. Nunu asyik main bola di lantai. Tak tahu apa apa. Aryo mulai merengek dan lengket sama saya terus. Tahu jika saya akan pergi jauh. Kemudian menyelesaikan check in sebentar. Nggak ada masalah. Pesawat Garuda masih bisa menghubungkan jalur Jakarta London dengan berhenti di beberapa bandara di Asia dan Timur Tengah. Selesai check in kembali menemui NYI sama anak anak dan saudara2. Aryo nampak girang kembali dikira saya nggak jadi berangkat. Hati saya semakin bergetar. NYI matanya memerah. Kok ya nggak gampang ya pergi jauh pisah sama anak isteri ? Tak pernah terpikir sebelumnya.
Sewaktu kelas tiga Sekolah Rakyat kami pernah membaca cerita berjudul "Dateng Negari Walandi". Mencerikan kisah perjalanan seorang anak muda dari Solo yang mau benagkat belajar ke negeri Belanda. Naik kapal laut dari pelabuhan Semarang. Perjalanan akan berlangsung selama lebih tiga minggu. Dia membawa dua kopor dari logam. Diantar bapak ibu dan saudara saudaranya. Ceritanya sebenarnya mungkin terjadi di jaman penjajahan sebelum perang, lupa nama sang tokoh cerita. Tetapi dia digambarkan begitu gembira di saat keberangkatan. Bayangan saya waktu itu keberangkatan ke luar negeri pasti sangat membahagiakan. Saya harus angon sapi tiap sore pulang sekolah. Belajar ke negeri Belanda, nggak ada kamus angon sapi pulang sekolah.
Aryo menangis berat ketika saya pamit berangkat. Nunu minta dibelikan bola. NYI memeluk saya sambil menangis. Matahari hampir tenggelam, langit memerah di ufuk barat, ketika saya berjalan di tarmac menuju pesawat. Ke arah mata hari tenggelam di ufuk Barat. Keberangkatan ini adalah impian sejak kecil, impian impian saat angon sapi, berangkat belajar ke Eropa. Seperti halnya anak muda dari Solo dalam kisah 'Dateng Negari Walandi".
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 29 Agustus 2008
Tuesday, August 19, 2008
Aaaaaaaah Sang Dukun
Napasnya berdesah. Dada terasa sesak. Jantung berdebar keras. Pikirannya galau. Sumi tak mampu berpikir jernih. Seumur hidup baru kali ini berdua dengan pria selain Herman suaminya. Berdua sendirian di kamar hotel. Dengan dukun yang sangat dipercayainya. Hatinya di persimpangan jalan. Sementara tatapan mata sang dukun begitu tajam menatapnya. Menembus sanubari, menawarkan keindahan dan kemesraan yang telah lama hilang dari dunianya. Dunia bersama suaminya Herman. " Tak perlu takut Jeng. Pertama kali biasanya merasa takut. Tak apa apa. Ini demi kebahagiaan dan masa depanmu". Sang dukun memegang lembut jari jari tangannya. "Ya demi kebahagiaan saya. Demi keutuhan rumah tangga. Bukan petualangan. Bukan perselingkuhan.". Sumi mencoba mencari kebenaran. Bayangan Herman yang dia cintai mampir sesaat. "Tak akan saya lepaskan dia. Saya mencintainya. Biar perempuan itu merana karenanya. Demi dia saya lakukan ini semua". Namun tak sanggup dia keluar dari impian baur. Antara rasa dosa, takut dan kenikmatan yang memikat.
Sumi dan Herman telah tujuh tahun mengarungi perkawinan. Penuh kebahagiaan mulanya, apa lagi mereka telah dikaruniai dua putrid mungil, Mira 6 tahun dan Tita 4 tahun. Mereka berkenalan di kampus semasa kuliah. Umur mereka hanya terpaut dua tahun. Beda jurusan walau masih satu kampus. Begitu Sumi lulus, mereka langsung mengikat tali perkawinan. Sangat membahagiakan. Herman bekerja di salah satu perusahaan besar di bagian pemasaran. Sedang Sumi memilih karier impiannya sejak muda, menjadi guru. Perjalanan karier mereka lancar, ekonomi stabil untuk ukuran keluarga muda. Sayang perjalanan hidup tak seperti yang selalu yang di inginkan. Seiring dengan meningkatnya karier dan kesejahteraan, prahara rumah tangga perlahan datang tanpa disadari. Herman begitu sibuk dengan kegiatan perusahaan yang berkembang pesat. Sementara Sumi juga sering sibuk sebagai seorang guru yang sedang menanjak bintangnya. Entah yang namanya lokakarya, semiloka, penataran, pelatihan, lomba guru teladan, sebutlah apa saja nggak ada yang ketinggalan. Tak ada masalah, karena ada pembantu yang mengurus Mira sama Tita. Jika Sumi dan Herman sering harus menginap di luar kota, sendiri sendiri tentunya, maka anak anak bisa ke rumah neneknya yang tinggal dekat dengan mereka.
Tak terasa kesibukan masing masing telah menjauhkan jarak di antara mereka. Hanya kecintaan dan kedekatan mereka dengan kedua anaknya yang masih membimbimg mereka untuk tetap hidup bersama. Kadang Sumi terpikir dan merindukan masa masa indah yang pernah dia nikmati bersama dulu. Tetapi gengsi dan malu untuk mengutarakannya. Hanya kebisuan yang meyeret mereka terpisah dalam dunia masing masing. Bulan bulan terakhir Herman mulai jarang pulang ke rumah. Sumi juga tak peduli. "Toh saya bisa berdiri sendiri". Akhirnya seorang teman akrabnya semasa kuliah, Tini, mengingatkannya. " Ada wanita idaman lain. Apakah akan kaubiarkan suamimu terbuai dalam pelukan perempuan lain? Pertahankan dia, jika kau mencintainya. Dia milikmu". Sumi tersadar dari kebisuan. Dia berketetatpan akan mendapatkan kembali kemesraan miliknya. Bukan untuk wanita jalang itu.
Lewat Tini dia berkenalan dengan tokoh spiritual ternama itu. Para selebritis dan anggota DPR konon banyak tergarap oleh tangan dingin dan sesaji sang tokoh. Mana yang keserimpet penyalahgunaan dana APBN, entah yang pengin naik pangkat, entah yang ditinggal pergi kekasih, entah yang mempertahankan jatidiri sebagai pria metropolitan masa kini dan lain sebagainya. Sudah beberapa kali dia konsultasi dengan sang dukun. Namanya terkenal Ki Demang Genthalogedhi. Nama aslinya dulu Satimin. Biasanya ketemu di tempat praktek di Jakarta Selatan. Sumi sangat percaya kemampuan spiritual Ki Demang. Tatapan matanya begitu sejuk dan dalam. Seolah membelah apa yang ada dalam sanubari. Semua nasehat ki Demang sudah dijalani. Puasa mutih tujuh hari tujuh malam. Menyembelih sepasang ayam putih. Telanjang dan kungkum air dingin tengah malam. Hanya satu yang belum terjalani. Berbicara langsung dengan Sang Danyang yang menguasai hal ihwal cinta antar manusia. Harus dilakukan tengah malam di atas bukit yang tinggi. Agar dekat dengan kayangan para Danyang. Ki Demang akan menjadi penghubung spiritualnya. Dalam bahasa Jawa, prewangan. Bahasa kotemporernya mediator spiritual.
Malam Selasa Kiwon itu mereka berencana lelaku di puncak gunung. Selasa Kliwon atau Anggoro Kasih, malam yang tepat untuk menyepi atau mereguk cinta. Berdua naik mobil dengan Ki Demang menelusuri jalan jalan kecil di lereng bukit. Baru setengah perjalanan tiba hujan deras bercampur petir. "Jeng ini alamat tidak baik untuk lelaku. Kita cari saja tempat aman. Nggak perlu dibawah langit terbuka". Sumi diam saja, tak menolak, tak mengiyakan. Apapun kata Ki Demang, itulah yang paling bijak. Apalagi kalau bicara didahului dengan batuk batuk kecil. Eeeeeem. Mereka akhirnya menginap di salah satu hotel melati di sekitar tempat peristirahatan. Kebetulan juga sedang sepi. Tempat peristirahatan tidak menjadi halangan untuk lelaku atau nyepi. Ini jaman modern, lelaku atau nyepi nggak harus ditempat sepi. Di keramaian pun, bahkan di karaoke, bisa saja nyepi. Yang penting niatnya. Mau nyepi sambil karaoke.
Tengah malam Ki Demang member isyarat untuk datang ke kamarnya. Ada sedikit uopacara yang harus dilakukan sebelum wawancara dengan Sang Danyang lewat mediasi Ki Demang. Bau kemeyan menebar suasana mistis dan sedikit membuat Sumi agak pusing. Dia mantap melihat Ki Demang mulai membaca mantera mantera tentang cinta. Napas mereka berdua terdengar teratur berdesah. Sesuai dengan nasehat Ki Demang, Sumi hanya memakai kain sebatas dada (kembenan).
Tiba tiba saja Ki Demang bicara dengan suara beda. "Cucuku anakmas Timin, tanpa pertanda apa apa, kenapa sampeyan datang disaat prahara begini?".
"Nama saya bukan Timin eyang. Saya ini Ki Demang Genthalogedhi". Ki Demang menyahut dengan suara asli. " Saya mengantar Jeng Sumi. Mohon berkah Eyang. Masalah rumah tangga".
" Cucuku dulu sampeyan kan hanya si gembala sapi. Karena lelaku tapabrata kau dapat wahyu. Wahyu untuk membahagiakan banyak orang. Terutama wanita. Bawa kemari Sumi".
" Cucuku cah ayu. Mari dekat ke sini". Saya tahu apa masalahmu. Jangan kecil hati. Semua akan teratasi". Ki Demang bersuara aneh, agak celat.
Walau berdebar takut, Sumi mantap mencermati nasehat Sang Danyang. Kebekuan terasa hangat mengalir. Hatinya berdesir desir seolah melayang di awang awing.
"Turuti semua nasehat dan petunjukku cah ayu. Tidak apa apa. Bukan dosa, bukan apa apa. Ini adalah pengorbanan demi kebahagiaan dan masa depanmu". Tangan Ki Demang yang sedang kerasukan Sang Danyang, dengan halus terus meremas jari jari dan meraba raba bagian bagian tubuhnya. Sumi pasrah. Bercampur rasa berkorban, pasrah dan kenikmatan. Sementara Ki Demang Genthalogedhi, begitu lembut menari nari di dalam kawah wanitanya. Menuntunnya melayang di awang awang. Gerak gerak lembut yang tak pernah dirasakannya. Menghantarnya ke kepuasan tak terhingga.
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Sumi tetap rajin konsultasi spiritual dengan Ki Demang. Herman juga tetap sibuk dengan dunianya. Hanya bedanya Sumi merasakan kehangatan tak terhingga. Kegiatannya dengan Ki Demang, tak hanya untuk lelaku atau nyepi. Tak perlu lagi lewat mediasi. Sang Danyang. Mereka sudah sama sama tahu. Tak perlu mediasi danyang siapapun. Asyiik booo. Toh Ki Demang juga manusia biasa. Jamane jaman edan.
Salam kasih dan damai. Jangan percaya mulut manis, magis, mistis semata mata.
Ki Ageng Similikithi
Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community. 19 Agustus 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/978)
Sumi dan Herman telah tujuh tahun mengarungi perkawinan. Penuh kebahagiaan mulanya, apa lagi mereka telah dikaruniai dua putrid mungil, Mira 6 tahun dan Tita 4 tahun. Mereka berkenalan di kampus semasa kuliah. Umur mereka hanya terpaut dua tahun. Beda jurusan walau masih satu kampus. Begitu Sumi lulus, mereka langsung mengikat tali perkawinan. Sangat membahagiakan. Herman bekerja di salah satu perusahaan besar di bagian pemasaran. Sedang Sumi memilih karier impiannya sejak muda, menjadi guru. Perjalanan karier mereka lancar, ekonomi stabil untuk ukuran keluarga muda. Sayang perjalanan hidup tak seperti yang selalu yang di inginkan. Seiring dengan meningkatnya karier dan kesejahteraan, prahara rumah tangga perlahan datang tanpa disadari. Herman begitu sibuk dengan kegiatan perusahaan yang berkembang pesat. Sementara Sumi juga sering sibuk sebagai seorang guru yang sedang menanjak bintangnya. Entah yang namanya lokakarya, semiloka, penataran, pelatihan, lomba guru teladan, sebutlah apa saja nggak ada yang ketinggalan. Tak ada masalah, karena ada pembantu yang mengurus Mira sama Tita. Jika Sumi dan Herman sering harus menginap di luar kota, sendiri sendiri tentunya, maka anak anak bisa ke rumah neneknya yang tinggal dekat dengan mereka.
Tak terasa kesibukan masing masing telah menjauhkan jarak di antara mereka. Hanya kecintaan dan kedekatan mereka dengan kedua anaknya yang masih membimbimg mereka untuk tetap hidup bersama. Kadang Sumi terpikir dan merindukan masa masa indah yang pernah dia nikmati bersama dulu. Tetapi gengsi dan malu untuk mengutarakannya. Hanya kebisuan yang meyeret mereka terpisah dalam dunia masing masing. Bulan bulan terakhir Herman mulai jarang pulang ke rumah. Sumi juga tak peduli. "Toh saya bisa berdiri sendiri". Akhirnya seorang teman akrabnya semasa kuliah, Tini, mengingatkannya. " Ada wanita idaman lain. Apakah akan kaubiarkan suamimu terbuai dalam pelukan perempuan lain? Pertahankan dia, jika kau mencintainya. Dia milikmu". Sumi tersadar dari kebisuan. Dia berketetatpan akan mendapatkan kembali kemesraan miliknya. Bukan untuk wanita jalang itu.
Lewat Tini dia berkenalan dengan tokoh spiritual ternama itu. Para selebritis dan anggota DPR konon banyak tergarap oleh tangan dingin dan sesaji sang tokoh. Mana yang keserimpet penyalahgunaan dana APBN, entah yang pengin naik pangkat, entah yang ditinggal pergi kekasih, entah yang mempertahankan jatidiri sebagai pria metropolitan masa kini dan lain sebagainya. Sudah beberapa kali dia konsultasi dengan sang dukun. Namanya terkenal Ki Demang Genthalogedhi. Nama aslinya dulu Satimin. Biasanya ketemu di tempat praktek di Jakarta Selatan. Sumi sangat percaya kemampuan spiritual Ki Demang. Tatapan matanya begitu sejuk dan dalam. Seolah membelah apa yang ada dalam sanubari. Semua nasehat ki Demang sudah dijalani. Puasa mutih tujuh hari tujuh malam. Menyembelih sepasang ayam putih. Telanjang dan kungkum air dingin tengah malam. Hanya satu yang belum terjalani. Berbicara langsung dengan Sang Danyang yang menguasai hal ihwal cinta antar manusia. Harus dilakukan tengah malam di atas bukit yang tinggi. Agar dekat dengan kayangan para Danyang. Ki Demang akan menjadi penghubung spiritualnya. Dalam bahasa Jawa, prewangan. Bahasa kotemporernya mediator spiritual.
Malam Selasa Kiwon itu mereka berencana lelaku di puncak gunung. Selasa Kliwon atau Anggoro Kasih, malam yang tepat untuk menyepi atau mereguk cinta. Berdua naik mobil dengan Ki Demang menelusuri jalan jalan kecil di lereng bukit. Baru setengah perjalanan tiba hujan deras bercampur petir. "Jeng ini alamat tidak baik untuk lelaku. Kita cari saja tempat aman. Nggak perlu dibawah langit terbuka". Sumi diam saja, tak menolak, tak mengiyakan. Apapun kata Ki Demang, itulah yang paling bijak. Apalagi kalau bicara didahului dengan batuk batuk kecil. Eeeeeem. Mereka akhirnya menginap di salah satu hotel melati di sekitar tempat peristirahatan. Kebetulan juga sedang sepi. Tempat peristirahatan tidak menjadi halangan untuk lelaku atau nyepi. Ini jaman modern, lelaku atau nyepi nggak harus ditempat sepi. Di keramaian pun, bahkan di karaoke, bisa saja nyepi. Yang penting niatnya. Mau nyepi sambil karaoke.
Tengah malam Ki Demang member isyarat untuk datang ke kamarnya. Ada sedikit uopacara yang harus dilakukan sebelum wawancara dengan Sang Danyang lewat mediasi Ki Demang. Bau kemeyan menebar suasana mistis dan sedikit membuat Sumi agak pusing. Dia mantap melihat Ki Demang mulai membaca mantera mantera tentang cinta. Napas mereka berdua terdengar teratur berdesah. Sesuai dengan nasehat Ki Demang, Sumi hanya memakai kain sebatas dada (kembenan).
Tiba tiba saja Ki Demang bicara dengan suara beda. "Cucuku anakmas Timin, tanpa pertanda apa apa, kenapa sampeyan datang disaat prahara begini?".
"Nama saya bukan Timin eyang. Saya ini Ki Demang Genthalogedhi". Ki Demang menyahut dengan suara asli. " Saya mengantar Jeng Sumi. Mohon berkah Eyang. Masalah rumah tangga".
" Cucuku dulu sampeyan kan hanya si gembala sapi. Karena lelaku tapabrata kau dapat wahyu. Wahyu untuk membahagiakan banyak orang. Terutama wanita. Bawa kemari Sumi".
" Cucuku cah ayu. Mari dekat ke sini". Saya tahu apa masalahmu. Jangan kecil hati. Semua akan teratasi". Ki Demang bersuara aneh, agak celat.
Walau berdebar takut, Sumi mantap mencermati nasehat Sang Danyang. Kebekuan terasa hangat mengalir. Hatinya berdesir desir seolah melayang di awang awing.
"Turuti semua nasehat dan petunjukku cah ayu. Tidak apa apa. Bukan dosa, bukan apa apa. Ini adalah pengorbanan demi kebahagiaan dan masa depanmu". Tangan Ki Demang yang sedang kerasukan Sang Danyang, dengan halus terus meremas jari jari dan meraba raba bagian bagian tubuhnya. Sumi pasrah. Bercampur rasa berkorban, pasrah dan kenikmatan. Sementara Ki Demang Genthalogedhi, begitu lembut menari nari di dalam kawah wanitanya. Menuntunnya melayang di awang awang. Gerak gerak lembut yang tak pernah dirasakannya. Menghantarnya ke kepuasan tak terhingga.
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Sumi tetap rajin konsultasi spiritual dengan Ki Demang. Herman juga tetap sibuk dengan dunianya. Hanya bedanya Sumi merasakan kehangatan tak terhingga. Kegiatannya dengan Ki Demang, tak hanya untuk lelaku atau nyepi. Tak perlu lagi lewat mediasi. Sang Danyang. Mereka sudah sama sama tahu. Tak perlu mediasi danyang siapapun. Asyiik booo. Toh Ki Demang juga manusia biasa. Jamane jaman edan.
Salam kasih dan damai. Jangan percaya mulut manis, magis, mistis semata mata.
Ki Ageng Similikithi
Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community. 19 Agustus 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/978)
Friday, July 25, 2008
Belum tahu saya ya ?
Musim kemarau 1972. Saya makan siang di warung dekat kost di Patangpuluhan Yogyakarta. Warung Ngapak. Yang punya asal Purwokerto, nggak bisa bilang "opo", bilangnya "ngapak". Makanan sederhana, nasi sama sayur tempe pedas. Tambah kerupuk. Saya biasa makan sama krupuk, seperti orang Jawa pada umumnya. Nggak tahu benar apa manfaatnya. Mungkin sekedar untuk membuat suara mulut riuh saat mengunyah kerupuk. Siang itu panas benar. Pulang kuliah jalan kaki dari Mangkubumen.. Di bangku di hadapan saya duduk seorang pemuda sebaya. Wajahnya tampan, acuh dan tenang sekali menikmati makan siangnya tanpa kerupuk. Perawakannya langsing tak sampai kurus. Rambutnya terurai sampai pundak. Beberapa kali saya lihat dia makan di warung ini.
" Rumahnya di mana mas "? Tanya saya basa basi memecah kebekuan. " Wah sampeyan belum tahu saya ya? Saya kan kost di gang sebelah. Saya anggota bengkel teater" Jawabnya lugas dan seolah agak terkejut menyadari bahwa saya nggak tahu siapa dia. Saya juga terhenyak mendengar jawabannya yang di luar dugaan. Saya pikir akan nada basa basi perkenalan pertama. Mungkin saya yang keliru. Mengharap percakapan yang santun penuh basa basi seperti di ketoprak.
" Bagaimana kabar sampeyan ?Saya sering lihat anda di warung ini.". Pertanyaannya menyusul balik. Saya ganti gaya bicara. Ini bicara dengan seniman. Nggak bisa formal formalan. "Kabar saya selalu ramai. Ramai ramai potong padi". Saya nggak ingat Ramai Ramai Potong Padi adalah judul lagu. Sengaja saya bicara sekenanya dan angin anginan. Dia malah serius menangggapi. "Sampeyan anak petani? Dari desa?". Sewaktu dia tahu saya dari Ambarawa, ayah saya guru dan kami punya lahan pertanian dan peternakan, dia makin antusias dan kami terlibat dalam pembicaraan akrab. Ringkas cerita, dia anak seorang jendral di Jakarta. Bergabung bersama kelompok teater terkenal di Yogya. " Saya bosan dengan kehidupan borjuis di Jakarta. Saya tidak suka kemapanan. Saya ingin terlibat dalam kehidupan rakyat sehari hari. Melalui teater saya bebas menyuarakan suara hati saya".
Saya mengagumi rasa percaya dirinya yang besar. Bilang tanpa ragu siapa dia. "Saya orang bebas. Saya seniman. Langit di luar adalah atap rumah saya". Saya selalu menukas angina anginan " Saya ini hanya si gembala sapi Bung". Waktu waktu berikutnya sering ketemu di warung yang sama. Atau di warung saingan Ngapak di seberang jalan. Lupa siapa namanya, yang punya asal Gunung Kidul, katanya bekas komandan gerilya. Tiap hari selalu mengeluh tak ada balas jasa dari pemerintah. Dan Hans akan selalu menukas. "Pahlawan tak pernah mengharap balas jasa Bung. Sampeyan tak berjiwa pahlawan". Saya hanya sering tertawa mendengar debat mereka "Saya seorang kapitain. Tanpa pedang panjang. Makan sayur tempe sama kerupuk". Bah, Hans selalu menganggap saya sebagai bagian dari kemapanan dan borjuisme, karena saya sekolah di kedokteran. Batin saya mengumpat " Pakanane jangan tempe warung Ngapak, kok borjuis. Gamblis".
Suatu hari saya melihat latihan teater kelompoknya Hans. Saya terpukau kagum melihat betapa dia menghayati watak yang harus diperankan. Lupa judulnya. Dia memerankan tokoh pahlawan yang dikianati teman dan dijebak dalam intrik kotor pembunuhan. Dia nyaring berteriak. "Saya Simusasava. Saya tidak takut mati. Tidak akan mati. Saya akan gugur demi kehormatan anak anak negeri ". Saya tertegun, berdesir hati saya.Nampak benar betapa dia menjiwai dan mencintai perannya.
Saya selalu mengagumi rasa percaya dirinya. Walau tidak bersahabat dekat. Beberapa tahun kemudian saya sering membaca namanya tertulis di berbagai surat kabar karena permainan teaternya. Sayang tak berkepanjangan dan tak sampai menjadi idola masa. Tetapi saya tetap ingat wajahnya yang tenang dan acuh penuh percaya diri itu. Rasa percaya diri adalah modal besar untuk berhasil. Banyak kegagalan karena kekurangan kepercayaan akan kemampuan diri sendiri. Tetapi kadang kala juga ada rasa percaya diri yang kelebihan dosis.
Dalam tahun tahun akhir ini, saya sering terlibat dalam wawancara seleksi tenaga profesional yang akan menduduki jabatan jabatan strategis di organisasi. Biasanya dari ratusan pelamar hanya 3 – 5 orang yang masuk short list untuk wawancara. Dari berbagai latar belakang etnis dan geografis. Banyak calon dengan keahlian teknis prima dan pengalaman panjang, kadang gagal seleksi karena kurang percaya diri sewaktu wawancara. Calon calon ini tak bisa memaparkan kemampuan dan pengalaman dirinya. Apa yang bisa anda sumbangkan dengan keahlian dan pengalaman anda, jika anda diterima ? Apa prestasi ada selama ini ? Calon calon dari Asia Tenggara dan Timur begitu mengendalikan diri ketika harus menceritakan prestasinya, keahlian dan pengalamannya. Mungkin juga bukan semata mata karena kurang percaya diri. Ada kebiasaan kultural yang membiasakan mereka tak ingin memamerkan kemampuannya.
Aaah saya ingat kenalan saya Hans. Teriakannya terngiang kembali "Saya ini anti borjuisme. Anti kemapanan. Saya tidak takut mati. Saya tidak akan mati. Saya akan gugur demi kehormatan anak anak negeri" Penuh percaya diri walau kami hanya makan dengan sayur tempe di warung Ngapak.
Hai anak muda, jangan ragu ungkapkan kemampuanmu dan impianmu.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 22 Juli 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/767)
" Rumahnya di mana mas "? Tanya saya basa basi memecah kebekuan. " Wah sampeyan belum tahu saya ya? Saya kan kost di gang sebelah. Saya anggota bengkel teater" Jawabnya lugas dan seolah agak terkejut menyadari bahwa saya nggak tahu siapa dia. Saya juga terhenyak mendengar jawabannya yang di luar dugaan. Saya pikir akan nada basa basi perkenalan pertama. Mungkin saya yang keliru. Mengharap percakapan yang santun penuh basa basi seperti di ketoprak.
" Bagaimana kabar sampeyan ?Saya sering lihat anda di warung ini.". Pertanyaannya menyusul balik. Saya ganti gaya bicara. Ini bicara dengan seniman. Nggak bisa formal formalan. "Kabar saya selalu ramai. Ramai ramai potong padi". Saya nggak ingat Ramai Ramai Potong Padi adalah judul lagu. Sengaja saya bicara sekenanya dan angin anginan. Dia malah serius menangggapi. "Sampeyan anak petani? Dari desa?". Sewaktu dia tahu saya dari Ambarawa, ayah saya guru dan kami punya lahan pertanian dan peternakan, dia makin antusias dan kami terlibat dalam pembicaraan akrab. Ringkas cerita, dia anak seorang jendral di Jakarta. Bergabung bersama kelompok teater terkenal di Yogya. " Saya bosan dengan kehidupan borjuis di Jakarta. Saya tidak suka kemapanan. Saya ingin terlibat dalam kehidupan rakyat sehari hari. Melalui teater saya bebas menyuarakan suara hati saya".
Saya mengagumi rasa percaya dirinya yang besar. Bilang tanpa ragu siapa dia. "Saya orang bebas. Saya seniman. Langit di luar adalah atap rumah saya". Saya selalu menukas angina anginan " Saya ini hanya si gembala sapi Bung". Waktu waktu berikutnya sering ketemu di warung yang sama. Atau di warung saingan Ngapak di seberang jalan. Lupa siapa namanya, yang punya asal Gunung Kidul, katanya bekas komandan gerilya. Tiap hari selalu mengeluh tak ada balas jasa dari pemerintah. Dan Hans akan selalu menukas. "Pahlawan tak pernah mengharap balas jasa Bung. Sampeyan tak berjiwa pahlawan". Saya hanya sering tertawa mendengar debat mereka "Saya seorang kapitain. Tanpa pedang panjang. Makan sayur tempe sama kerupuk". Bah, Hans selalu menganggap saya sebagai bagian dari kemapanan dan borjuisme, karena saya sekolah di kedokteran. Batin saya mengumpat " Pakanane jangan tempe warung Ngapak, kok borjuis. Gamblis".
Suatu hari saya melihat latihan teater kelompoknya Hans. Saya terpukau kagum melihat betapa dia menghayati watak yang harus diperankan. Lupa judulnya. Dia memerankan tokoh pahlawan yang dikianati teman dan dijebak dalam intrik kotor pembunuhan. Dia nyaring berteriak. "Saya Simusasava. Saya tidak takut mati. Tidak akan mati. Saya akan gugur demi kehormatan anak anak negeri ". Saya tertegun, berdesir hati saya.Nampak benar betapa dia menjiwai dan mencintai perannya.
Saya selalu mengagumi rasa percaya dirinya. Walau tidak bersahabat dekat. Beberapa tahun kemudian saya sering membaca namanya tertulis di berbagai surat kabar karena permainan teaternya. Sayang tak berkepanjangan dan tak sampai menjadi idola masa. Tetapi saya tetap ingat wajahnya yang tenang dan acuh penuh percaya diri itu. Rasa percaya diri adalah modal besar untuk berhasil. Banyak kegagalan karena kekurangan kepercayaan akan kemampuan diri sendiri. Tetapi kadang kala juga ada rasa percaya diri yang kelebihan dosis.
Dalam tahun tahun akhir ini, saya sering terlibat dalam wawancara seleksi tenaga profesional yang akan menduduki jabatan jabatan strategis di organisasi. Biasanya dari ratusan pelamar hanya 3 – 5 orang yang masuk short list untuk wawancara. Dari berbagai latar belakang etnis dan geografis. Banyak calon dengan keahlian teknis prima dan pengalaman panjang, kadang gagal seleksi karena kurang percaya diri sewaktu wawancara. Calon calon ini tak bisa memaparkan kemampuan dan pengalaman dirinya. Apa yang bisa anda sumbangkan dengan keahlian dan pengalaman anda, jika anda diterima ? Apa prestasi ada selama ini ? Calon calon dari Asia Tenggara dan Timur begitu mengendalikan diri ketika harus menceritakan prestasinya, keahlian dan pengalamannya. Mungkin juga bukan semata mata karena kurang percaya diri. Ada kebiasaan kultural yang membiasakan mereka tak ingin memamerkan kemampuannya.
Aaah saya ingat kenalan saya Hans. Teriakannya terngiang kembali "Saya ini anti borjuisme. Anti kemapanan. Saya tidak takut mati. Saya tidak akan mati. Saya akan gugur demi kehormatan anak anak negeri" Penuh percaya diri walau kami hanya makan dengan sayur tempe di warung Ngapak.
Hai anak muda, jangan ragu ungkapkan kemampuanmu dan impianmu.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 22 Juli 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/767)
Sunday, June 22, 2008
Kesetiaan terhadap Sang Guru - antara Palgunadi dan Yono
Saya tertegun membaca keindahan tulisan teman maya Paromosuko yang menggambarkan kesetiaan dan penghormatan Palgunadi terhadap Begawan Durna (http://selagibisa.blogspot.com/2008/06/sang-guru.html). Begitu cinta dan hormat terhadap Guru yang diimpikan, Palgunadi mengorbankan miliknya yang tak ternilai yakni jimat Mustika Ampal Kumbang Ali ali yang menentukan hidup mati. Begitu iklas pengorbanan ksatria Palgunadi terhadap Guru. Inilah petikan kata kata Palgunadi di akhir cerita
Kulolos cincinku dari ibu jari tangan kananku. Kuserahkan ke genggaman guruku yang mulia, yang tangannya baru dapat kusentuh pada saat akhir ini. Harum. Aku terkulai, jatuh tersimpuh. Lemas tepat di hadapan kaki Guruku berdiri. Lalu kulihat pelangi membusur dari arah rubuhku, membubung tinggi ke langit tujuh lapis. Akupun pergi ke arah cahaya-cahaya yang mempesona. Kulihat, di kejauhan sana, Anggrahini menyusulku dengan segenap kejelitaan dan kesetiaannya. Aku teramat bahagia.
Silahkan baca keseluruhan di blognya. Pasti dapat berkah dari Begawan Paromosuko. Cerita Mahabarata penuh dengan filsafat kearifan. Saya selalu mengenang guru saya dengan segala penghargaan. Apapun yang mereka lakukan. Tanpa jasa mereka saya tak akan bisa berjalan ke masa depan mengarungi waktu. Tetapi sulit untuk berkorban seperti Palgunadi di dunia nyata.
Peristiwa lima puluh tahun lalu kembali datang dalam ingatan saya. Antara teman saya Yono dan pak guru NAS di Sekolah Rakyat Masehi Ngampin. Hampir tengah hari. Rasa lapar dan dahaga tak tertahankan. Hawa panas mendera. Sesudah istirahat ke dua, kami di kelas empat duduk terhening. Acara terakhir harus latihan nyanyi bersama sampai waktu pulang jam satu nanti. Rasanya berat dan malas. :Lapar dan dahaga kok harus teriak teriak mengikuti lagu lagu itu. Saya selalu dapat tugas untuk menyanyikan suara 2 melengking tinggi. Kami harus latihan bersama dengan kelas kelas lain. Campur jadi satu. Semakin gerah dan panas.
Saya duduk di bangku ke dua. Pak NAS guru kelas lima yang memimpin latihan nyanyi. Beberapa lagu sudah kami lewati dengan lancar. Tetapi tak membuat pak guru NAS puas. Selalu ada suara satu melengking berkepanjangan diakhir bait. Tak ada dalam acara. Lengkingan itu datang dari bangku seberang. Adik kelas saya Yono duduk bersama teman temannya di sana, Saya nggak tahu siapa yang mengeluarkan bunyi lengkingan itu. "Siapa yang meringkik itu ya ? Awas tak sabet nanti". Pak NAS coba mengingatkan. Lengkingan sedikit berkurang di akhir bait.Tetapi tak hilang juga.
Tiba tiba saya lihat Yono menyandarkan kepalanya di meja. Tertidur dia. Mungkin juga dia yang melengking itu. Saya kenal baik dengan Yono. Bapaknya Pak Kastawi, sering bekerja di kebun saya. Ibunya Mak Pithi sering membantu ibu saya di dapur. Masakannya enak sekali, masakan gunung. Terutama nasi jagung dan urab daun kates. Mak Pithi juga suka cerita dan sabar sekali orangnya.
Pak NAS mendadak berhenti melihat Yono tertidur. Nampaknya dia marah sekali. Dia ambil keset dan serentak dilemparkan ke Yono. Suaranya menghardik lantang. " Anaknya Kastawi tak tahu aturan kamu. Bapakmu suruh sini, tak injek injek. Sudah lama saya nggak bunuh orang Lonjong". Yono memang rumahnya di dukuh Lonjong di atas pekarangan kami. Kasihan Yono. Dia begitu terkejut. Lari pontang panting sambil teriak " Tulung tuluuuuung. Mati aku mak-e".
Kami terus saja bernyanyi. Saya duduk disamping Jumadi sama Slamet. Kami makin mantap menyanyikan suara dua. Lancar nggak ada lengkingan di akir bait lagi. Jam satu lewat sedikit kami pulang. Insiden Yono lewat begitu saja. Peristiwa biasa. Yang kami rasa nggak biasa waktu itu, cuma di lempar keset saja kok teriak teriak mau mati. Pantangan untuk anak laki laki.
Sorenya saya ketemu Pak Kastawi di kebun. Saya beritahu kalau mau di injak injak pak NAS. Jawabnya ringan "Mau nginjak injak, mau nglempar. Silahkan. Saya bisa apa orang kecil". Dia sama sekali tak bergeming. Tak masuk dalam agendanya urusan injak menginjak atau lempar melempar. Paginya Yono nggak masuk sekolah. Mungkin saja masih takut sama pak NAS. Tetapi guru kelasnya bukan pak NAS. Ibu PUR yang sangat sabar. Sorenya saya sama Jumadi pergi ke rumahnya di Lonjong. Di lereng bukit. Kami bertiga duduk duduk dibelakang rumahnya sambil makan singkong bakar. Pemandangan lembah dan sawah terhampar di bawah sana. Gunung Telomoyo berdiri kokoh jauh di depan. "Kenapa nggak sekolah kamu Yono? Takut sama pak NAS ? Jawabnya ringan "Sebenarnya tidak takut. Hanya kaget luar biasa dilempar keset. Rasanya aneh gitu".
Kami memang terbiasa menerima slentikan cubitan guru. Agak terasa aneh cuma dilempar keset kok tulung tulung mau mati. Yono bergumam "Lebih baik di gampar dari pada dilempar keset. Semoga pak guru disamber bledhek"
.Saya sama Jumadi tertawa. Murid kok nyepatani guru, mana bisa ? Nggak majas. Dihadapan malaekat guru pasti lebih benar. Esok harinya Yono ke sekolah lagi. Diantar emaknya, Mak Pithi, yang minta maaf sama pak Guru, kalau anaknya nakal. Dia kembali seperti biasa. Mungkin sudah lupa insiden keset dan sumpahnya mengundang bledhek (halilintar).
Yono seperti kami hanyalah anak biasa. Masih ingin bermain. Bukan seperti ksatria Palgunadi yang mengorbankan nyawa demi sang Guru. Tetapi kami toh mengenang dan menghormati guru guru kami. Nyatanya tak ada bledhek yang mau turun nyambar pak Guru sampai sekarang. Pak Guru Nas juga nggak pernah nginjek injek atau membunuh orang, apalagi orang Lonjong. Istrinya asli dri Lonjong.
Salam damai dan salam untuk Begawan Paromosuko
Ki Ageng Similikithi
Kulolos cincinku dari ibu jari tangan kananku. Kuserahkan ke genggaman guruku yang mulia, yang tangannya baru dapat kusentuh pada saat akhir ini. Harum. Aku terkulai, jatuh tersimpuh. Lemas tepat di hadapan kaki Guruku berdiri. Lalu kulihat pelangi membusur dari arah rubuhku, membubung tinggi ke langit tujuh lapis. Akupun pergi ke arah cahaya-cahaya yang mempesona. Kulihat, di kejauhan sana, Anggrahini menyusulku dengan segenap kejelitaan dan kesetiaannya. Aku teramat bahagia.
Silahkan baca keseluruhan di blognya. Pasti dapat berkah dari Begawan Paromosuko. Cerita Mahabarata penuh dengan filsafat kearifan. Saya selalu mengenang guru saya dengan segala penghargaan. Apapun yang mereka lakukan. Tanpa jasa mereka saya tak akan bisa berjalan ke masa depan mengarungi waktu. Tetapi sulit untuk berkorban seperti Palgunadi di dunia nyata.
Peristiwa lima puluh tahun lalu kembali datang dalam ingatan saya. Antara teman saya Yono dan pak guru NAS di Sekolah Rakyat Masehi Ngampin. Hampir tengah hari. Rasa lapar dan dahaga tak tertahankan. Hawa panas mendera. Sesudah istirahat ke dua, kami di kelas empat duduk terhening. Acara terakhir harus latihan nyanyi bersama sampai waktu pulang jam satu nanti. Rasanya berat dan malas. :Lapar dan dahaga kok harus teriak teriak mengikuti lagu lagu itu. Saya selalu dapat tugas untuk menyanyikan suara 2 melengking tinggi. Kami harus latihan bersama dengan kelas kelas lain. Campur jadi satu. Semakin gerah dan panas.
Saya duduk di bangku ke dua. Pak NAS guru kelas lima yang memimpin latihan nyanyi. Beberapa lagu sudah kami lewati dengan lancar. Tetapi tak membuat pak guru NAS puas. Selalu ada suara satu melengking berkepanjangan diakhir bait. Tak ada dalam acara. Lengkingan itu datang dari bangku seberang. Adik kelas saya Yono duduk bersama teman temannya di sana, Saya nggak tahu siapa yang mengeluarkan bunyi lengkingan itu. "Siapa yang meringkik itu ya ? Awas tak sabet nanti". Pak NAS coba mengingatkan. Lengkingan sedikit berkurang di akhir bait.Tetapi tak hilang juga.
Tiba tiba saya lihat Yono menyandarkan kepalanya di meja. Tertidur dia. Mungkin juga dia yang melengking itu. Saya kenal baik dengan Yono. Bapaknya Pak Kastawi, sering bekerja di kebun saya. Ibunya Mak Pithi sering membantu ibu saya di dapur. Masakannya enak sekali, masakan gunung. Terutama nasi jagung dan urab daun kates. Mak Pithi juga suka cerita dan sabar sekali orangnya.
Pak NAS mendadak berhenti melihat Yono tertidur. Nampaknya dia marah sekali. Dia ambil keset dan serentak dilemparkan ke Yono. Suaranya menghardik lantang. " Anaknya Kastawi tak tahu aturan kamu. Bapakmu suruh sini, tak injek injek. Sudah lama saya nggak bunuh orang Lonjong". Yono memang rumahnya di dukuh Lonjong di atas pekarangan kami. Kasihan Yono. Dia begitu terkejut. Lari pontang panting sambil teriak " Tulung tuluuuuung. Mati aku mak-e".
Kami terus saja bernyanyi. Saya duduk disamping Jumadi sama Slamet. Kami makin mantap menyanyikan suara dua. Lancar nggak ada lengkingan di akir bait lagi. Jam satu lewat sedikit kami pulang. Insiden Yono lewat begitu saja. Peristiwa biasa. Yang kami rasa nggak biasa waktu itu, cuma di lempar keset saja kok teriak teriak mau mati. Pantangan untuk anak laki laki.
Sorenya saya ketemu Pak Kastawi di kebun. Saya beritahu kalau mau di injak injak pak NAS. Jawabnya ringan "Mau nginjak injak, mau nglempar. Silahkan. Saya bisa apa orang kecil". Dia sama sekali tak bergeming. Tak masuk dalam agendanya urusan injak menginjak atau lempar melempar. Paginya Yono nggak masuk sekolah. Mungkin saja masih takut sama pak NAS. Tetapi guru kelasnya bukan pak NAS. Ibu PUR yang sangat sabar. Sorenya saya sama Jumadi pergi ke rumahnya di Lonjong. Di lereng bukit. Kami bertiga duduk duduk dibelakang rumahnya sambil makan singkong bakar. Pemandangan lembah dan sawah terhampar di bawah sana. Gunung Telomoyo berdiri kokoh jauh di depan. "Kenapa nggak sekolah kamu Yono? Takut sama pak NAS ? Jawabnya ringan "Sebenarnya tidak takut. Hanya kaget luar biasa dilempar keset. Rasanya aneh gitu".
Kami memang terbiasa menerima slentikan cubitan guru. Agak terasa aneh cuma dilempar keset kok tulung tulung mau mati. Yono bergumam "Lebih baik di gampar dari pada dilempar keset. Semoga pak guru disamber bledhek"
.Saya sama Jumadi tertawa. Murid kok nyepatani guru, mana bisa ? Nggak majas. Dihadapan malaekat guru pasti lebih benar. Esok harinya Yono ke sekolah lagi. Diantar emaknya, Mak Pithi, yang minta maaf sama pak Guru, kalau anaknya nakal. Dia kembali seperti biasa. Mungkin sudah lupa insiden keset dan sumpahnya mengundang bledhek (halilintar).
Yono seperti kami hanyalah anak biasa. Masih ingin bermain. Bukan seperti ksatria Palgunadi yang mengorbankan nyawa demi sang Guru. Tetapi kami toh mengenang dan menghormati guru guru kami. Nyatanya tak ada bledhek yang mau turun nyambar pak Guru sampai sekarang. Pak Guru Nas juga nggak pernah nginjek injek atau membunuh orang, apalagi orang Lonjong. Istrinya asli dri Lonjong.
Salam damai dan salam untuk Begawan Paromosuko
Ki Ageng Similikithi
Sunday, June 15, 2008
Duska vs Centhul

Dalam perjalanan Manila – Amsterdam menuju Geneva dengan pesawat KLM bersama Nyi ketika saya menyaksikan film Duska. Karya sutradara Jos Sterling. Telah memperoleh penghargaan Golden Calf Award dalam festival film Netherland bulan Oktober 2007 untuk aktris pendukung terbaik, Sylviia Hoeks. Film dengan irama lambat dan sunyi ini menceritakan kisah Bob (Gene Bervoets), seorang wartawan film, yang tinggal sendirian menjalani kehidupan yang sunyi di seberang sebuah gedung bioskop. Di apartemen yang semrawut, kehidupan rutinnya berkisar sekitar melihat film, menulis di computer, minum, dan makan sambil bermalas malasan. Dia sangat merindukan dan mengagumi gadis cantik (Sylvia Hoeks), si penjaga loket di gedung bioskop itu. Sampai satu saat, kesempatan langka itu datang. Dalam satu percakapan akhirnya si gadis bersedia datang ke apartemen dan menikmati malam bersama. Acara malam yang tentunya akan sangat romantis. Yang sangat diimpikan Bob selama ini.
Namun sebelum acara berkembang lebih romantis, tiba tiba datang teman Bob, seorang Rusia yang bernama Duska (Sergei Matkovestky), mengetuk pintu. Bob sudah kenal Duska lama. Dia lahir dalam bis yang dikemudikan Bob dahulu. Kedatangan Duska menggagalkan segala impian romantis yang telah diperjuangkan Bob selama ini untuk menggaet gadis cantik itu. Duska yang bloon memang sering menjengkelkan.. Namun Bob tak pernah bisa mengindarkan diri dan menyingkirkan dari kehidupannya walaupun sudah berusaha keras. Setiap kali Duska yang dungu itu pergi, Bob selalu berusaha mencarinya kembali.
Ini bukanlah kritik film. Saya bukan ahlinya. Tetapi saya yakin bahwa kita semua pernah bergaul atau bertemu dengan seseorang yang sebenarnya kita benci karena kekonyolannya. Tetapi kita tak pernah bisa melepaskan darinya. Melihat film ini membawa ingatan saya melayang ke peristiwa lebih empat puluh empat tahun lalu. Saya masih kelas tiga SMP. Umur empat belas tahun. Di satu hari Minggu di tahun 1964, saya kedatangan dua orang teman putri. Dari sekolah yang sama cuma kelas yang berbeda. Santi sama sepupunya mbak Narni. Kami sama sama kelas tiga SMP. Hal biasa, murid murid sering datang di akhir pekan ke rumah. Mereka bertamu ke ayah saya. Ayah adalah guru ilmu pasti di SMP Taman Siswa Ambarawa. Datang hanya sekedar bertamu, bukan untuk kursus atau yang lain.
Kedatangan Santi dan Narni, bukan hal biasa. Mereka tahu kalau ayah saya akhir pekan itu tak ada di rumah. Sedang ke luar kota ada acara di Purworejo.. Saya sama Santi sering bertukar surat romantis sejak beberapa bulan lalu. Hanya lewat surat. Tak pernah berani lebih dari itu. Mungkin cinta monyet. Surat surat kami selalu bertukar hampir setiap minggu. Kami tak pernah bertukar kata langsung secara intens. Hanya lewat surat. Santi juga tak pernah datang ke rumah sebelumnya. Tetapi hari itu dia punya alasan pamit orang tuanya bertamu mengunjungi ayah saya. Walaupun ayah saya nggak di rumah.
Rumah sepi walau tak senyap sekali. Suara lenguhan kambing atau sapi kadang terdengar satu dua. Juga dendang para pekerja kadang mengusik kesunyian. Rumah saya di tengah kebun kopi. Banyak hewan piaraan, lembu atau kambing. Kami bertiga semula duduk duduk di pendopo, di ruang depan. Adik saya bertiga tadinya di ruang belakang, tetapi kemudian nggak tahu pada pergi kemana. Hanya para pekerja yang lalu lalang membawa rumput untuk makanan sapi sama kambing. Kami tak banyak bicara. Tak terbiasa. Hanya lewat surat. Mbak Narni yang banyak cerita. Menjelang tengah hari, para pekerja sibuk membersihkan dan memberi makan sapi. Di kandang samping, kira kira lima puluh meter dari pendopo. Mbak Narni tiba tiba saja bangkit " Eh lihat lihat sapi dan kebun saja". Ternyata ketiga adik saya juga sudah berada di kandang. Mereka nampak bicara ramah. Mereka berjalan jalan di kebun. Tinggal saya bersama Santi di ruang itu. Ruang terbuka. Gunung Telomoyo nampak jauh di depan sana.
Saya tak bisa tenang sendirian bersama Santi. Jantung saya berdetak keras. Hati berdebar tak karuan. Bicara juga nggak tenang. Coba bicara tentang pelajaran, nggak bisa asyik. Serba salah. Kami duduk berseberangan di kursi rotan itu. Saya pindah mendekat. Namun tak bisa berdampingan. Kursi kursi itu tertata dalam posisi segi empat. Bicara lebih banyak basa basi semata. Habis ujian nanti rencana kemana? Saya akan meneruskan ke SMA ke Solo." Kau pasti akan melupakan saya Ki. Saya akan meneruskan ke Salatiga atau Ungaran". Saya tak bisa membalas lugas. Pikir saya, bagaimana mungkin melupakannya. Kami lebih banyak diam. Hati saya berdetak semakin keras ketika bisa menggapai dan menggenggam jari jarinya yang lembut. Dia hanya berbisik lirih, 'San'. Seumur umur, hanya Santi yang memanggil nama saya San. Tak ada yang lain.
Wajah jelita itu nampak memerah. Sepasang mata yang indah meredup. Bibir seksi ..merekah indah seolah memberi isyarat siap untuk tahap lebih lanjut. Gemetar tangan saya menggenggam jari jarinya. . Di kejauhan suara sapi dan kambing terdengar ramai berebut makan. Tak ada nyali lebih dari itu. Saya sering menonton film tiga belas tahun. Sebagian film India dengan bintang tenar Raj Kapoor, atau film Indonesia dengan bintang Bambang Hermanto atau Bambang Irawan. . Dalam adegan berciuman umumnya selalu pakai kaca mata hitam. Saya pikir berciuman memang harus memakai kaca mata gelap. Saya hanya terhenti saling menggenggam tangan dan tenggelam dalam perasaan galau. Hanya bisikan bisikan lirih yang kadang keluar tak jelas. Aaah seandainya saja saya punya kaca mata hitam waktu itu. Pasti asyiiik habis.
Tiba tiba saja suara itu datang mengejutkan kami. Seperti suara lenguhan sapi yang akan kawin. Suara si Centhul. Ternyata dia telah duduk merokok di tepi pendopo. Centhul dan Pangat, kakak beradik telah bekerja bertahun tahun. Mencari rumput dan memelihara sapi sama kambing bersama pekerja yang lain. Centhul ini yang paling saya jengkel. Perawakannya kurus tinggi. Rambutnya panjang kotor tak terurus. Pakaiannya tak pernah beres, selalu nampak compang camping. Gerakannya sangat lambat. Bicaranya keras dan sering telmi, telat mikir. Makannya paling banyak di antara yang lain. Tetapi lamban dan dungu, paling susah diajak bicara. "Sudah selesai semua ? Kok nggak terus pulang ?". Jawabnya ringan menjengkelkan "Pengin ngisis dan leyeh leyeh dulu". Padahal biasanya dia sesudah makan siang, paling cepat lari pulang. Mau istirahat kok ya nekat di dekat kami. Saya tahu pasti, dia sengaja mau ngindhik, mencuri mata. Tetap saja dia duduk di pojok tepi pendopo sambil ura ura lagu "Jenang Gula". Bah menjengkelkan.
Saya hanya memendam rasa jengkel dan keki. Kalau punya uang, rasanya pengin menyuruh dia pergi beli gereh (ikan asin) ke pasar berlama lama. Kalau perlu sampai Semarang pulang malam.. Sewaktu SR dulu dia selalu mau mengerjakan pekerjaan prakarya saya, jika saya ambilkan sebatang rokok Tuton milik ayah saya. Sekali ini tak mungkin dia mau pergi.. Dibayar berapapun. Merasa di atas angin dia. Anjing anjing saya lebih dari sepuluh. Mereka biasanya selalu taat dibawah komando saya. Mengusir siapapun. Tetapi kali itupun nggak akan mau mereka mengusir Centhul. Centhul begitu akrab sama anjing anjing kami.
Sehabis makan siang. Mbak Narni sama Santi pamit pulang. Mereka boncengan naik sepeda. Saya mengantarkan sampai di tepi jalan raya. Tak sempat apa apa. Hanya sempat menyentuh kembali jari jarinya yang lentik sewaktu dia mau menaiki sepedanya. Wajahnya tersenyum lembut. Matanya menatap nanar. "Sudah ya San". "Santiiiii", bisik saya lirih.
Empat puluh empat tahun telah berlalu. Ingatan saya kembali ke episode singkat itu. Aaah seandainya saya punya kaca mata hitam waktu itu. Seandainya si Centhul tak datang mengganggu. Adegan asyik itu pasti terjadi. Berciuman pertama kali. Thuuuuuuul Centhul, kamu ternyata seperti Duska.
Ki Ageng Similikithi
Namun sebelum acara berkembang lebih romantis, tiba tiba datang teman Bob, seorang Rusia yang bernama Duska (Sergei Matkovestky), mengetuk pintu. Bob sudah kenal Duska lama. Dia lahir dalam bis yang dikemudikan Bob dahulu. Kedatangan Duska menggagalkan segala impian romantis yang telah diperjuangkan Bob selama ini untuk menggaet gadis cantik itu. Duska yang bloon memang sering menjengkelkan.. Namun Bob tak pernah bisa mengindarkan diri dan menyingkirkan dari kehidupannya walaupun sudah berusaha keras. Setiap kali Duska yang dungu itu pergi, Bob selalu berusaha mencarinya kembali.
Ini bukanlah kritik film. Saya bukan ahlinya. Tetapi saya yakin bahwa kita semua pernah bergaul atau bertemu dengan seseorang yang sebenarnya kita benci karena kekonyolannya. Tetapi kita tak pernah bisa melepaskan darinya. Melihat film ini membawa ingatan saya melayang ke peristiwa lebih empat puluh empat tahun lalu. Saya masih kelas tiga SMP. Umur empat belas tahun. Di satu hari Minggu di tahun 1964, saya kedatangan dua orang teman putri. Dari sekolah yang sama cuma kelas yang berbeda. Santi sama sepupunya mbak Narni. Kami sama sama kelas tiga SMP. Hal biasa, murid murid sering datang di akhir pekan ke rumah. Mereka bertamu ke ayah saya. Ayah adalah guru ilmu pasti di SMP Taman Siswa Ambarawa. Datang hanya sekedar bertamu, bukan untuk kursus atau yang lain.
Kedatangan Santi dan Narni, bukan hal biasa. Mereka tahu kalau ayah saya akhir pekan itu tak ada di rumah. Sedang ke luar kota ada acara di Purworejo.. Saya sama Santi sering bertukar surat romantis sejak beberapa bulan lalu. Hanya lewat surat. Tak pernah berani lebih dari itu. Mungkin cinta monyet. Surat surat kami selalu bertukar hampir setiap minggu. Kami tak pernah bertukar kata langsung secara intens. Hanya lewat surat. Santi juga tak pernah datang ke rumah sebelumnya. Tetapi hari itu dia punya alasan pamit orang tuanya bertamu mengunjungi ayah saya. Walaupun ayah saya nggak di rumah.
Rumah sepi walau tak senyap sekali. Suara lenguhan kambing atau sapi kadang terdengar satu dua. Juga dendang para pekerja kadang mengusik kesunyian. Rumah saya di tengah kebun kopi. Banyak hewan piaraan, lembu atau kambing. Kami bertiga semula duduk duduk di pendopo, di ruang depan. Adik saya bertiga tadinya di ruang belakang, tetapi kemudian nggak tahu pada pergi kemana. Hanya para pekerja yang lalu lalang membawa rumput untuk makanan sapi sama kambing. Kami tak banyak bicara. Tak terbiasa. Hanya lewat surat. Mbak Narni yang banyak cerita. Menjelang tengah hari, para pekerja sibuk membersihkan dan memberi makan sapi. Di kandang samping, kira kira lima puluh meter dari pendopo. Mbak Narni tiba tiba saja bangkit " Eh lihat lihat sapi dan kebun saja". Ternyata ketiga adik saya juga sudah berada di kandang. Mereka nampak bicara ramah. Mereka berjalan jalan di kebun. Tinggal saya bersama Santi di ruang itu. Ruang terbuka. Gunung Telomoyo nampak jauh di depan sana.
Saya tak bisa tenang sendirian bersama Santi. Jantung saya berdetak keras. Hati berdebar tak karuan. Bicara juga nggak tenang. Coba bicara tentang pelajaran, nggak bisa asyik. Serba salah. Kami duduk berseberangan di kursi rotan itu. Saya pindah mendekat. Namun tak bisa berdampingan. Kursi kursi itu tertata dalam posisi segi empat. Bicara lebih banyak basa basi semata. Habis ujian nanti rencana kemana? Saya akan meneruskan ke SMA ke Solo." Kau pasti akan melupakan saya Ki. Saya akan meneruskan ke Salatiga atau Ungaran". Saya tak bisa membalas lugas. Pikir saya, bagaimana mungkin melupakannya. Kami lebih banyak diam. Hati saya berdetak semakin keras ketika bisa menggapai dan menggenggam jari jarinya yang lembut. Dia hanya berbisik lirih, 'San'. Seumur umur, hanya Santi yang memanggil nama saya San. Tak ada yang lain.
Wajah jelita itu nampak memerah. Sepasang mata yang indah meredup. Bibir seksi ..merekah indah seolah memberi isyarat siap untuk tahap lebih lanjut. Gemetar tangan saya menggenggam jari jarinya. . Di kejauhan suara sapi dan kambing terdengar ramai berebut makan. Tak ada nyali lebih dari itu. Saya sering menonton film tiga belas tahun. Sebagian film India dengan bintang tenar Raj Kapoor, atau film Indonesia dengan bintang Bambang Hermanto atau Bambang Irawan. . Dalam adegan berciuman umumnya selalu pakai kaca mata hitam. Saya pikir berciuman memang harus memakai kaca mata gelap. Saya hanya terhenti saling menggenggam tangan dan tenggelam dalam perasaan galau. Hanya bisikan bisikan lirih yang kadang keluar tak jelas. Aaah seandainya saja saya punya kaca mata hitam waktu itu. Pasti asyiiik habis.
Tiba tiba saja suara itu datang mengejutkan kami. Seperti suara lenguhan sapi yang akan kawin. Suara si Centhul. Ternyata dia telah duduk merokok di tepi pendopo. Centhul dan Pangat, kakak beradik telah bekerja bertahun tahun. Mencari rumput dan memelihara sapi sama kambing bersama pekerja yang lain. Centhul ini yang paling saya jengkel. Perawakannya kurus tinggi. Rambutnya panjang kotor tak terurus. Pakaiannya tak pernah beres, selalu nampak compang camping. Gerakannya sangat lambat. Bicaranya keras dan sering telmi, telat mikir. Makannya paling banyak di antara yang lain. Tetapi lamban dan dungu, paling susah diajak bicara. "Sudah selesai semua ? Kok nggak terus pulang ?". Jawabnya ringan menjengkelkan "Pengin ngisis dan leyeh leyeh dulu". Padahal biasanya dia sesudah makan siang, paling cepat lari pulang. Mau istirahat kok ya nekat di dekat kami. Saya tahu pasti, dia sengaja mau ngindhik, mencuri mata. Tetap saja dia duduk di pojok tepi pendopo sambil ura ura lagu "Jenang Gula". Bah menjengkelkan.
Saya hanya memendam rasa jengkel dan keki. Kalau punya uang, rasanya pengin menyuruh dia pergi beli gereh (ikan asin) ke pasar berlama lama. Kalau perlu sampai Semarang pulang malam.. Sewaktu SR dulu dia selalu mau mengerjakan pekerjaan prakarya saya, jika saya ambilkan sebatang rokok Tuton milik ayah saya. Sekali ini tak mungkin dia mau pergi.. Dibayar berapapun. Merasa di atas angin dia. Anjing anjing saya lebih dari sepuluh. Mereka biasanya selalu taat dibawah komando saya. Mengusir siapapun. Tetapi kali itupun nggak akan mau mereka mengusir Centhul. Centhul begitu akrab sama anjing anjing kami.
Sehabis makan siang. Mbak Narni sama Santi pamit pulang. Mereka boncengan naik sepeda. Saya mengantarkan sampai di tepi jalan raya. Tak sempat apa apa. Hanya sempat menyentuh kembali jari jarinya yang lentik sewaktu dia mau menaiki sepedanya. Wajahnya tersenyum lembut. Matanya menatap nanar. "Sudah ya San". "Santiiiii", bisik saya lirih.

Ki Ageng Similikithi
Saturday, June 14, 2008
Pesan ulang tahunmu hanya lewat lamunan
Salam dari bandara Wattay, Phnom Penh.
Bumi masih basah. Hawa segar pagi hari sejuk menerpa. Semalam hujan deras mendera. Pagi ini saya dalam perjalanan pulang ke Manila. Terasa ada beban menghimpit. Duka jauh di dalam menutup kecerahan irama pagi hari. Angan saya melayang menyaput lamunan. Merayapi kenangan masa lalu. Tiga belas Juni. Seandainya masih ada, hari ini Moko almarhum, anak bungsu saya mestinya ulang tahun. Ulang tahun yang ke dua puluh delapan. Ingin memeluknya. Ingin menggapainya. Tak ada bisikan yang bisa kusampaikan. Tak ada pesan yang bisa kukatakan. Pesan pesan ulang tahun untuknya hanya terucap lirih dalam lamunan duka yang dalam. Dalam kerinduan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya semasa dia masih ada.
Moko, anak bungsu yang sangat kami sayangi memang telah tiada lebih sepuluh tahun lalu. Saworo Tino Triatmo. Lahir 13 Juni 1980. Saya masih berada di Inggris ketika dia lahir. Tak sempat menunggu dan menyambut kelahirannya. Saya melihat dia pertama kali, setelah berumur enam bulan. Menjelang kelahirannya selalu saya menunggu surat dari Yogya. Sebuah penantian penuh harapan dan teka teki. Akhirnya berita itu datang beberapa hari sesudah kelahirannya. NYI mengirim pesan tilgram singkat bahwa bayi yang kami nantikan telah lahir laki2. Saya memberi nama depan Saworo. Berita, harapan dan cita cita.
Kami hanya diberi waktu oleh Sang Khalik, tujuhbelas tahun untuk bersamanya dan mendampinginya. Waktu yang begitu indah dan membahagiakan. Saya sangat mencintainya. Demikian pula ibunya. Dia sangat dekat dengan ibunya. Pengemudi yang tak bertanggungb jawab itu telah mengakhiri segalanya. Merenggut masa depan dia dan kebahagian kami selamanya.
Di setiap ulang tahunnya saya hanya bisa mengenangnya dan masa masa bahagia bersamanya. Dia anak yang selalu ceria. Dia juga sangat menekuni buku buku pelajarannya. Di kamarnya di depan jendela itu, saya selalu merindukan dia duduk belajar tekun. Saya tak sampai hati melihat kamar itu selalu kosong sesudah kepergiannya. Semuanya memang telah berlalu.
Saya masih ingat ulang tahun terakhirnya kami sempat makan malam bersama. Dia berubah agak pendiam oleh karena sibuk belajar mempersiapkan ujian akhir SMA.. Saya tak pernah membayangkan jika itu adalah ulang tahunnya yang terakhir. Beberapa bulan sebelum meninggal memang dia lebih banyak diam di kamar, belajar dan tak begitu banyak bersuara seperti biasanya.
Di setiap hari ulang tahunnya saya ingin menyapanya walau hanya lewat lamunan. Saya ingin mengenang kembali kebahagiaan bersamanya. Saya ingin menyapanya lewat rembulan. Semoga langit dan bintang mau menyampaikan pesan bahwa kami sangat mencintainya. Saya ingin memeluknya seperti sewaktu dia masih kanak kanak. Tetapi setiap waktu itu datang. Hanya kedukaan yang datang. Tak kuasa saya menahan kerinduan yang begitu menekan.Kenangan indah itu ternyata tak juga mau datang. Hanya duka dan kerinduan yang menekan.
Beberapa hari sebelum kecelakaan itu merenggut jiwanya, saya sempat bicara lewat telepon dri Nepal. Dia minta dibelikan sepatu dan minta diantar potong rambut. Saya katakan kalau 3 hari kemudian saya akan sampai di Yogya. Sewaktu saya datang dia telah terbujur dan pergi selamanya. Tak pernah sempat menemaninya, tak pernah sempat memenuhi permintaannya.
Kami selalu merindukan dan mencintainya. Di ulang tahunnya ini kami hanya ingin mengenangnya kembali, mengenang masa masa indah itu. Tetapi itupun ternyata tak mampu kami gapai. Hanya kerinduan yang dalam yang kami dapatkan. Kerinduan yang hampa. Semoga kerinduan dan kedukaan seperti ini bisa dihindari oleh keluarga keluarga yang berbahagia. Kehilangan anak yang kita cintai meninggalkan kesedihan yang tak akan ada habisnya. Sampai akhir perjalanan kita.

Ah seandaninya saya bisa selalu menjumpaimu dan menyampaikan pesan di setiap ulang tahunmu.
Dari Bapak yang sangat menyayangimu
Ki Ageng Similikithi
Sunday, May 18, 2008
Mama Mia Mama Loreta
Mama Mia – Mama Loreta
Sabtu pagi yang cerah. Kami berempat main di Philipinne Navy Golf Club. Berjalan tenang menikmati irama permainan masing masing. Angin pagi meniup lembut. Dalam keheningan kami masing masing tenggelam dalam permainan yang mengasyikkan. Tak ada ketawa berkoar ketika bola masuk hole. Hanya desah ringan ketika bola putih itu tak menuju arah yang diharapkan. Dalam suasana hening itu saya bermain tanpa beban. Di hole 15, par 5, pukulan ketiga masuk hole. Eagle ! Ini eagle ketiga dalam perjalanan golf saya selama hampir 20 tahun."Hei whats wrong with you man?", boss saya berteriak. "I am becoming a wise old man now. Nothing about physical skills but emotional maturity ", saya menjawab sekenanya. "That’s not fair", satu teman juga menggumam sekenanya. Mulai ramai berdebat dan berkomentar. Seperti hari hari main biasanya.
Sejenak konsentrasi terganggu. Telpon genggam bergetar. Pesan pendek masuk. Dari Maricel, pelatih/pasangan dansa di ITM. Isinya singkat."Can I give your number to Mom Loreta. I have her number?". Tak sempat berpikir. "OK. Who is she?". Beberapa saat kemudian jawaban masuk. "You met her last Friday at ITM ( In The Mood)". Saya ingat Jum'at kemarin mengantar tiga orang tamu, satu pria dan dua ibu ibu, dari Jakarta. Dansa di ITM, sehabis makan malam. Kami sedang tenggelam dalam tarian foxtraut, dengan lagu indah Rain Drops Keep Falling on My Head, ketika dikenalkan dengan seorang pendatang baru. Baru mulai belajar. "I am Loreta". Tak sempat ngobrol. Saya berucap singkat. "Beatiful name. Enjoy your dance".Seorang wanita pertengahan empat puluhan, kalem, anggun dan semampai. Kami menikmati dansa dengan kelompok masing masing. Tamu tamu dari Jakarta nampaknya begitu menikmati. Dari satu lagu ke lagu yang lain tanpa henti. Dua jam sudah capek. Jam 900 mereka sudah kembali ke hotel.
Seperti biasa, di hari Sabtu itu, selesai main, mandi lalu ramai ramai makan siang di kantin golf club. Ini yang selalu bikin kangen. Selalu bergurau, debat sambil menikmati makan siang. Grilled blue marline. Chopped chilly and soy sauce. Relaks dan bebas dari letih dan panas. Nikmat sekali rasanya. Orang biasanya ngobrol di sini ber jam jam. Jika isteri menjemput, mereka baru datang jam empat sore. Pesan singkat masuk. " Hi Ki. Happy week end. Loreta". Salah satu teman bertanya. "NYI is coming? Its too early". "No, somebody else. Sending happy week end". Jawaban saya ringan. "Come on man. You are too old for that kind of message". Mana mungkin. Lolo (simbah) pun perlu relaks di akhir pekan. Tiga di antara kami memang sudah mempunyai cucu. Jam setengah empat kami pulang. NYI bilang pengin ke spa malam itu. Tak ada acara ballroom. Hari Minggu ballroom tutup.
Hari hari berlalu normal. Saya masih teratur mengikuti acara ballroom. Seminggu sekali paling tidak. Sekalian olah raga. Berat badan saya sempat turun sampai 8 kg sesudah teratur ballroom. Hari Rabu malam, saya booking di Moon Ballroom Pan Pacific. Hanya beberapa puluh meter dri apartemen saya. NYI nggak ikut. Dia hanya kadang kadang saja ikut ball room. Saya lihat Loreta masih menunggu instrukturnya. Sempat ngobrol sebentar. Basa basi formalitas. Sudah berapa lama ikut ballroom ?. Senang enggak ? Dia tak banyak bicara. Kesan saya orangnya pendiam. Tak juga sempat banyak ngobrol. Suara musik nggak memungkinkan ngobrol enak. Saya terhanyut menikmati international tango. Dansa ritmis indah yang tidak saya kuasai dengan bagus. Masing masing instruktur kok punya gaya masing masing. Saya lihat Loreta asyik dengan acara latihannya. Instruktur begitu cermat dan perhatian. Tak pernah sempat ngobrol banyak. Hanya pesan singkat lewat tilpun seluler. Basa basi antar teman. Have a nice day. How are you today?. Seperti kebanyakan orang Filipina, yang sering datang malah lebih banyak pesan keagamaan. Kolega dekat saya, Truls dari Norwegia, sering berkelakar. "These people are thinking we are atheist. Every day I receive a message from my the secretaries. Please open your heart for God's messages".
Kadang bertemu Loreta di ballroom walau tak pernah secara khusus berpasangan dengannya. Dia sering datang dengan ke dua anaknya. Yang pertama gadis yang baru saja lulus dari college, Cornelia. Sering bersama pacarnnya. Pasangan anak muda yang serasi dan dinamis, penuh harapan masa depan. Yang kedua pria umur dua puluh tahun, Tony, masih kuliah mengambil sastra Cina. Ketemu mereka bertiga biasanya di akhir pekan. Hanya saling sapa selamat malam. Kadang cipika cipiki. Sempat ngobrol agak lama dengan Loreta, ketika instrukturnya nggak datang. Kami sempat mencoba Waltz dengan lagu indah Vision. Kemudian makan malam sejenak di rumah makan Jepang di muka ruang ball room. Saya baru tahu siapa Loreta. Dia seorang pengusaha. Single mother. Suaminya katanya kawin lagi sama young Filipina dan pindah ke propinsi. Dia harus bekerja keras untuk kedua anaknya. Hanya akhir akhir ini sempat menikmati social life sesudah menjelang anal anaknya lulus. Wajahnya nampak pendiam dan selalu terkesan sedih.
Kami hanya berteman lewat pesan singkat. Pesan pesan singkatnya selalu datang di akhir pekan. Happy week end. Have a nice week end. NYI pun tahu akan pesan pesan itu. Toh hanya pesan. Bukan dosa, bukan pengkianatan. Beberapa bulan tak pernah lagi ke ball room. Ada rasa malas setelah pulang kantor. Berat badan kembali naik lima kilogram. Pesannya terakhir datang kemarin pagi. "Happy week end. Long time no news. Are you still in Manila Ki ?". Jawaban saya singkat " Happy week end too. I am still in Manila. No more ball room. Always take care".
Mungkin banyak single parent, single mother di sekitar kita. Saya juga mempunyai banyak kenalan dan saudara yang single mother. Kadang masyarakat melihat mereka dengan sinis. Juga di Indonesia. Sebagian besar dari mereka menjadi single parent bukan karena pilihan. Mungkin bencana dalam perjalanan hidup yang tak terelakkan. Tetapi perjuangan mereka sangat berarti buat masa depan putra dan putrinya. Mama Loreta hanyalah salah satu contoh kisah single mother yang penuh perjuangan. Mama mia Mama Loreta dan single mother yang lain. Salam dan penghargaan untuk perjuangan mereka. Mungkin agak terlambat untuk Mother's Day.
Ki Ageng Similikithi
Manila, Filipina.
(Dimuat di Koki Kompas Cyber, 19 Mei 2008)
Sabtu pagi yang cerah. Kami berempat main di Philipinne Navy Golf Club. Berjalan tenang menikmati irama permainan masing masing. Angin pagi meniup lembut. Dalam keheningan kami masing masing tenggelam dalam permainan yang mengasyikkan. Tak ada ketawa berkoar ketika bola masuk hole. Hanya desah ringan ketika bola putih itu tak menuju arah yang diharapkan. Dalam suasana hening itu saya bermain tanpa beban. Di hole 15, par 5, pukulan ketiga masuk hole. Eagle ! Ini eagle ketiga dalam perjalanan golf saya selama hampir 20 tahun."Hei whats wrong with you man?", boss saya berteriak. "I am becoming a wise old man now. Nothing about physical skills but emotional maturity ", saya menjawab sekenanya. "That’s not fair", satu teman juga menggumam sekenanya. Mulai ramai berdebat dan berkomentar. Seperti hari hari main biasanya.
Sejenak konsentrasi terganggu. Telpon genggam bergetar. Pesan pendek masuk. Dari Maricel, pelatih/pasangan dansa di ITM. Isinya singkat."Can I give your number to Mom Loreta. I have her number?". Tak sempat berpikir. "OK. Who is she?". Beberapa saat kemudian jawaban masuk. "You met her last Friday at ITM ( In The Mood)". Saya ingat Jum'at kemarin mengantar tiga orang tamu, satu pria dan dua ibu ibu, dari Jakarta. Dansa di ITM, sehabis makan malam. Kami sedang tenggelam dalam tarian foxtraut, dengan lagu indah Rain Drops Keep Falling on My Head, ketika dikenalkan dengan seorang pendatang baru. Baru mulai belajar. "I am Loreta". Tak sempat ngobrol. Saya berucap singkat. "Beatiful name. Enjoy your dance".Seorang wanita pertengahan empat puluhan, kalem, anggun dan semampai. Kami menikmati dansa dengan kelompok masing masing. Tamu tamu dari Jakarta nampaknya begitu menikmati. Dari satu lagu ke lagu yang lain tanpa henti. Dua jam sudah capek. Jam 900 mereka sudah kembali ke hotel.
Seperti biasa, di hari Sabtu itu, selesai main, mandi lalu ramai ramai makan siang di kantin golf club. Ini yang selalu bikin kangen. Selalu bergurau, debat sambil menikmati makan siang. Grilled blue marline. Chopped chilly and soy sauce. Relaks dan bebas dari letih dan panas. Nikmat sekali rasanya. Orang biasanya ngobrol di sini ber jam jam. Jika isteri menjemput, mereka baru datang jam empat sore. Pesan singkat masuk. " Hi Ki. Happy week end. Loreta". Salah satu teman bertanya. "NYI is coming? Its too early". "No, somebody else. Sending happy week end". Jawaban saya ringan. "Come on man. You are too old for that kind of message". Mana mungkin. Lolo (simbah) pun perlu relaks di akhir pekan. Tiga di antara kami memang sudah mempunyai cucu. Jam setengah empat kami pulang. NYI bilang pengin ke spa malam itu. Tak ada acara ballroom. Hari Minggu ballroom tutup.
Hari hari berlalu normal. Saya masih teratur mengikuti acara ballroom. Seminggu sekali paling tidak. Sekalian olah raga. Berat badan saya sempat turun sampai 8 kg sesudah teratur ballroom. Hari Rabu malam, saya booking di Moon Ballroom Pan Pacific. Hanya beberapa puluh meter dri apartemen saya. NYI nggak ikut. Dia hanya kadang kadang saja ikut ball room. Saya lihat Loreta masih menunggu instrukturnya. Sempat ngobrol sebentar. Basa basi formalitas. Sudah berapa lama ikut ballroom ?. Senang enggak ? Dia tak banyak bicara. Kesan saya orangnya pendiam. Tak juga sempat banyak ngobrol. Suara musik nggak memungkinkan ngobrol enak. Saya terhanyut menikmati international tango. Dansa ritmis indah yang tidak saya kuasai dengan bagus. Masing masing instruktur kok punya gaya masing masing. Saya lihat Loreta asyik dengan acara latihannya. Instruktur begitu cermat dan perhatian. Tak pernah sempat ngobrol banyak. Hanya pesan singkat lewat tilpun seluler. Basa basi antar teman. Have a nice day. How are you today?. Seperti kebanyakan orang Filipina, yang sering datang malah lebih banyak pesan keagamaan. Kolega dekat saya, Truls dari Norwegia, sering berkelakar. "These people are thinking we are atheist. Every day I receive a message from my the secretaries. Please open your heart for God's messages".
Kadang bertemu Loreta di ballroom walau tak pernah secara khusus berpasangan dengannya. Dia sering datang dengan ke dua anaknya. Yang pertama gadis yang baru saja lulus dari college, Cornelia. Sering bersama pacarnnya. Pasangan anak muda yang serasi dan dinamis, penuh harapan masa depan. Yang kedua pria umur dua puluh tahun, Tony, masih kuliah mengambil sastra Cina. Ketemu mereka bertiga biasanya di akhir pekan. Hanya saling sapa selamat malam. Kadang cipika cipiki. Sempat ngobrol agak lama dengan Loreta, ketika instrukturnya nggak datang. Kami sempat mencoba Waltz dengan lagu indah Vision. Kemudian makan malam sejenak di rumah makan Jepang di muka ruang ball room. Saya baru tahu siapa Loreta. Dia seorang pengusaha. Single mother. Suaminya katanya kawin lagi sama young Filipina dan pindah ke propinsi. Dia harus bekerja keras untuk kedua anaknya. Hanya akhir akhir ini sempat menikmati social life sesudah menjelang anal anaknya lulus. Wajahnya nampak pendiam dan selalu terkesan sedih.
Kami hanya berteman lewat pesan singkat. Pesan pesan singkatnya selalu datang di akhir pekan. Happy week end. Have a nice week end. NYI pun tahu akan pesan pesan itu. Toh hanya pesan. Bukan dosa, bukan pengkianatan. Beberapa bulan tak pernah lagi ke ball room. Ada rasa malas setelah pulang kantor. Berat badan kembali naik lima kilogram. Pesannya terakhir datang kemarin pagi. "Happy week end. Long time no news. Are you still in Manila Ki ?". Jawaban saya singkat " Happy week end too. I am still in Manila. No more ball room. Always take care".
Mungkin banyak single parent, single mother di sekitar kita. Saya juga mempunyai banyak kenalan dan saudara yang single mother. Kadang masyarakat melihat mereka dengan sinis. Juga di Indonesia. Sebagian besar dari mereka menjadi single parent bukan karena pilihan. Mungkin bencana dalam perjalanan hidup yang tak terelakkan. Tetapi perjuangan mereka sangat berarti buat masa depan putra dan putrinya. Mama Loreta hanyalah salah satu contoh kisah single mother yang penuh perjuangan. Mama mia Mama Loreta dan single mother yang lain. Salam dan penghargaan untuk perjuangan mereka. Mungkin agak terlambat untuk Mother's Day.
Ki Ageng Similikithi
Manila, Filipina.
(Dimuat di Koki Kompas Cyber, 19 Mei 2008)
Saturday, April 19, 2008
Monolog celdam
Hikayat celdam selalu menyita perhatian khalayak dari masa ke masa. Tak ketinggalan juga di panggung sandiwara politik tanah air. Kini banyak cerita celdam menjadi bahasan utama berbagai media massa. Bahkan cerita celdam dan gembok sampai ke jaringan tv CNN dan Aljazeera. Celdam yang biasanya tersembunyi rapi dibawah busana, tiba tiba muncul ke permukaan dan mengguncang panggung politik nasional. Untung tidak tampil ke permukaan beserta isinya. Menjadi topik hot dalam pergunjingan politik papan atas di tingkat nasional atau kabupaten. Jika masalah politik dan administrasi publik mengalami desentralisasi karena dorongan badan badan keuangan internasional, maka bahasan tentang celdam, burung kondor dan arus bawah juga ikut terdesentralisasi sekalipun tanpa bantuan dana badan badan keuangan multilateral. Semata mata karena dorongan hati nurani rakyat banyak, baik di tingkat parlemen maupun eksekutif. Ini satu prestasi tersendiri. Menunjukkan kemandirian nasional, walaupun hanya tentang celdam dan harta karun dibaliknya. Suatu episode ada politisi Senayan yang sengaja membuang celdam dan bergambar ria dengan teman wanita yang aduhai. Di lain episode seorang penguasa kabupaten, seorang wanita penuh kharisma, berfoto ria tanpa celdam dengan sang wakil dengan nyanyian burung burung kondor yang gagah. Foto ini beredar di kalangan anak muda, ABG, yang gampang bergejolak. Namun bukan cuma ABG yang sebenarnya rentan, pasangan manula pun bisa kesengsem cari foto foto erotik tersebut. NYI melihat foto foto itu di arisan ibu ibu, sebagian ibu ibu pensiunan.
Memang pusing memikirkan mengapa fenomena celdam, burung kondor dan kawah impian dibawah celdam begitu menghangat. Sepanjang pengembaraan saya di dunia spiritual, ini fenomena aneh. Ini jelas bukan fenomena jaman edan. Tetapi merupakan tanda perubahan makrokosmos. Mungkin karena terkait pemanasan global. Orang tak perlu buru buru menyalahkan para pelaku dan aktor intelektualnya. Mungkin saja karena pengaruh perubahan iklim. Orang segan pakai celdam. Biar angin bisa lewat. Penuh tansparansi tanpa malu malu. Jaman keterbukaan, semua ingin berperan. Tak hanya di Indonesia. Imbas politik keterbukaan di Rusia juga menyebabkan salah satu menteri dalam kabinet Boris Yeltsin, berfoto ria dalam keadaan bugil. Untung presidennya sendiri suka mabuk dan sedang tidak dalam keadaan sehat. Jika beliau sangat sehat seperti presiden Clinton, mungkin bisa lain jadinya. Dampak memanasnya dunia bawah celdam, karena pemanasan global maupun lokal, juga berdampak terhadap supplai pangan dunia. Hiperaktifitas dunia dibawah celdam, baik sang burung kondor maupun sang kawah impian, akan meningkatkan fertilitas dan angka kelahiran. Supplai pangan dunia tak lagi cukup memenuhi kebutuhan manusia. Krisis iklim, krisis lingkungan, krisis celdam, dan krisis pangan. Gejala krisis pangan mulai nampak. Edan krisis celdam kok berpengaruh global juga. Apa nggak ngeri atau geli ?
Riuh rendah tentang celdam juga merambah dunia remang remang panti pijat. Banyak mbakayu celdam yang notabene bertugas mulia sering teraniaya karena tangan tangan jahil para pelanggan pria. Tak kurang akal, demi menjaga stabilitas nasional di bidang akhak, susila, dan dunia arus bawah, para petinggi yang berwenang dalam dunia remang remang, lantas mengambil langkah cemerlang dengan program gembokisasi celdam. Sang burung kondor, kangmas dan mbakayu celdam bisanya hanya ngudoroso. Pasrah, mau digembok, mau dikunci, apa sih bedanya. Mereka kan hanya obyek semata mata. Obyek pembangunan manusia seutuhnya. Walaupun tanpa celdam toh masih bisa dibilang utuh. Kalau burung kondor dikebiri, atau kawah impian dibuntu (disumpeli, Jw), baru ini bukan manusia seutuhnya. Kangmas dan mbakayu celdam juga resah tentang masa depan profesinya. Jika manusia tak mau lagi pakai celdam, mau kemana mereka? Mereka merasa tak dilibatkan. Merasa dibuang dan disisihkan. Hanya sekedar jadi obyek pembangunan manusia seutuhnya. Dengarlah keluh kesah mereka.
Kangmas Celdam (KMCD)
Diajeng, bagaimana kabarmu ? Aman aman saja kan ? Banyak berita tak enak sering muncul dalam media massa akhir akhir ini. Mana tentang foto bugil anggota parlemen, mana tentang gembokisasi, krisis pangan, krisis energi, pemanasan global, kok selalu dikaitkan denganmu.
Diajeng Celdam (DMCD).
Kangmas, saya pasrah. Situasi keamanan aman dan terkendali. Saya selalu setia menjalankan tugas turun temurun. Mengamankan taman tropika basah dan kawah impian. Iimpian kaum pria. Apapun kata orang, saya masih seperti yang dulu, menunggumu sampai akhir hidupku.
KCDM
Sokur diajeng bisa pasrah menerima kenyataan. Kita ini kan hanya aparat lapangan, menjalankan tugas dan perintah atasan, sesuai sumpah jabatan. Bumi makin panas, luar dalam atas bawah. Tugas saya hanyalah mengamankan burung kondor piaraan induk semang saya. Agar tidur enak, istirahat cukup, siap bertugas sesuai kodrat.
DCDM
Betul kangmas. Saya tidak ingin macam macam. Kawah impian induk semang memang akhir akhir ini menunjukkan gejala gejala aktif. Tak ada lahar panas, tak ada letusan . tetapi yang keluar kok malah awan hangat dan suara siulan siulan mesra. Aaaah mungkin iklim memang sudah berubah.
KCDM
Burung kondor induk semang saya juga agak hiperaktif akhir akhir ini. Selalu tidur gelisah mematuk matuk. Suka ngintip keluar, apa lagi kalau ke karakoke atau ke panti pijat. Padahal nggak mau ganti celdam tiap hari. Baunya sampe apeg. Bau apeg ini juga memperparah polusi lingkungan tentunya.
DCDM
Saya malah berpikir gimana kalau burung kondornya saja yang di ikat dan dikalungi bandul supaya nggak berdiri tegak dengan sikap sempurna. Sikap sempurna hanya kalau pas bertugas atau pas upacara di lapangan ramai ramai. Dietnya di jaga, banyak di beri sayur terong, biar gampang tidur. Masakan jangan sampai kebanyakan merica, telur, madu sama jahe. Ini berabe. Bisa terus bersikap sempurna terus.
KCDM
Ide cemerlang. Saya kadang kadang curiga. Kalau pas sidang parlemen itu apa dietnya kebanyakan jahe sama merica ya ? Kok burung kondornya begitu aktif. Perusahaan perusahaan catering Senayan perlu di advokasi agar memasak sebanyak mungkin sayur terong sama kangkung. Ada efek penenang burung kondor. Menyehatkan fisik dan pikiran.
DCDM
Sampeyan ini gimana sih kangmas? Kangkung sama terong memang menenangkan burung kondor. Tapi induk semang kan ikut ngantuk. Nggak pakai sayur kangkung sama terong saja tidurnya di dalam sidang seperti overdosis diazepam. Apa lagi digelontor terong.
KCDM
Nek tak pikir pikir, ide gembokisasi pemijat wanita ini juga brilian dan inovatif lho. Tapi yang perlu digembok atau dibanduli juga pelanggan prianya. Inisiatif orisinal ini juga harus dilihat sisi positipnya. Bisa memacu perkembangan profesi tukang gembok atau tukang kunci. Sokur kalau diberi sedikit insentip sedikit boleh ngintip taman dibalik celdam. Juga memacu sektor riel produksi gembok. Bisa bisa ide ini dipatenkan dan dibawa ke World Economic Forum.
DCDM
Kangmas, masalah celdam, burung kondor dan gembok kok mau dibawa ke sidang dunia to ya ? Risih rasanya. Kalau saya kok kembali saja ke cara tradisional, tak usah pakai celdam. Pria pakai celana komprang tanpa celdam. Wanita pakai kain jua tanpa celdam. Praktis. Kalau burung kondor bergeliat berdiri sempurna di muka umum, gampang di deteksi. Kalau wanita mau pipis. Gampang, tinggal berdiri di tepi jalan sambil menikmati air mancur. Pemandangan ini dulu masih lajim di desa desa di tahun tujuh puluhan. Lebih akrab dengan alam. Tak perlu gembok gembokan.
KCDM
Jeng, saya kurang setuju. Ini berlawanan dengan kemajuan pembangunan. Tak bisa dipungkiri, kita berbeda pendapat. Tak perlu debat berkepanjangan. Baiknya kita bawa saja debat celdam ini ke parlemen. Bisa masuk bahasan komisi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, atau komisi ketahanan nasional dan pembangunan manusia seutuhnya. Dari pada mikir masalah masalah ekonomi yang rumit dan bikin ngantuk. Debat celdam, burung kondor, kawah impian dan arus bawah lebih asyik.
DCDM
Aah aaah aaah. Sampai jumpa di Senayan atau di pantai pijat kangmas. Tidur di dalam sidang, di panti pijat, tak beda bermakna. Hanya masalah tempat. Angin gemuruh di luar, angin lembut di bawah celdam bersatu dalam damai di panti pijat. Asooooooooi.
Salam gembok salam celdam
Ki Ageng Similikithi
(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 18 April008)
Memang pusing memikirkan mengapa fenomena celdam, burung kondor dan kawah impian dibawah celdam begitu menghangat. Sepanjang pengembaraan saya di dunia spiritual, ini fenomena aneh. Ini jelas bukan fenomena jaman edan. Tetapi merupakan tanda perubahan makrokosmos. Mungkin karena terkait pemanasan global. Orang tak perlu buru buru menyalahkan para pelaku dan aktor intelektualnya. Mungkin saja karena pengaruh perubahan iklim. Orang segan pakai celdam. Biar angin bisa lewat. Penuh tansparansi tanpa malu malu. Jaman keterbukaan, semua ingin berperan. Tak hanya di Indonesia. Imbas politik keterbukaan di Rusia juga menyebabkan salah satu menteri dalam kabinet Boris Yeltsin, berfoto ria dalam keadaan bugil. Untung presidennya sendiri suka mabuk dan sedang tidak dalam keadaan sehat. Jika beliau sangat sehat seperti presiden Clinton, mungkin bisa lain jadinya. Dampak memanasnya dunia bawah celdam, karena pemanasan global maupun lokal, juga berdampak terhadap supplai pangan dunia. Hiperaktifitas dunia dibawah celdam, baik sang burung kondor maupun sang kawah impian, akan meningkatkan fertilitas dan angka kelahiran. Supplai pangan dunia tak lagi cukup memenuhi kebutuhan manusia. Krisis iklim, krisis lingkungan, krisis celdam, dan krisis pangan. Gejala krisis pangan mulai nampak. Edan krisis celdam kok berpengaruh global juga. Apa nggak ngeri atau geli ?
Riuh rendah tentang celdam juga merambah dunia remang remang panti pijat. Banyak mbakayu celdam yang notabene bertugas mulia sering teraniaya karena tangan tangan jahil para pelanggan pria. Tak kurang akal, demi menjaga stabilitas nasional di bidang akhak, susila, dan dunia arus bawah, para petinggi yang berwenang dalam dunia remang remang, lantas mengambil langkah cemerlang dengan program gembokisasi celdam. Sang burung kondor, kangmas dan mbakayu celdam bisanya hanya ngudoroso. Pasrah, mau digembok, mau dikunci, apa sih bedanya. Mereka kan hanya obyek semata mata. Obyek pembangunan manusia seutuhnya. Walaupun tanpa celdam toh masih bisa dibilang utuh. Kalau burung kondor dikebiri, atau kawah impian dibuntu (disumpeli, Jw), baru ini bukan manusia seutuhnya. Kangmas dan mbakayu celdam juga resah tentang masa depan profesinya. Jika manusia tak mau lagi pakai celdam, mau kemana mereka? Mereka merasa tak dilibatkan. Merasa dibuang dan disisihkan. Hanya sekedar jadi obyek pembangunan manusia seutuhnya. Dengarlah keluh kesah mereka.
Kangmas Celdam (KMCD)
Diajeng, bagaimana kabarmu ? Aman aman saja kan ? Banyak berita tak enak sering muncul dalam media massa akhir akhir ini. Mana tentang foto bugil anggota parlemen, mana tentang gembokisasi, krisis pangan, krisis energi, pemanasan global, kok selalu dikaitkan denganmu.
Diajeng Celdam (DMCD).
Kangmas, saya pasrah. Situasi keamanan aman dan terkendali. Saya selalu setia menjalankan tugas turun temurun. Mengamankan taman tropika basah dan kawah impian. Iimpian kaum pria. Apapun kata orang, saya masih seperti yang dulu, menunggumu sampai akhir hidupku.
KCDM
Sokur diajeng bisa pasrah menerima kenyataan. Kita ini kan hanya aparat lapangan, menjalankan tugas dan perintah atasan, sesuai sumpah jabatan. Bumi makin panas, luar dalam atas bawah. Tugas saya hanyalah mengamankan burung kondor piaraan induk semang saya. Agar tidur enak, istirahat cukup, siap bertugas sesuai kodrat.
DCDM
Betul kangmas. Saya tidak ingin macam macam. Kawah impian induk semang memang akhir akhir ini menunjukkan gejala gejala aktif. Tak ada lahar panas, tak ada letusan . tetapi yang keluar kok malah awan hangat dan suara siulan siulan mesra. Aaaah mungkin iklim memang sudah berubah.
KCDM
Burung kondor induk semang saya juga agak hiperaktif akhir akhir ini. Selalu tidur gelisah mematuk matuk. Suka ngintip keluar, apa lagi kalau ke karakoke atau ke panti pijat. Padahal nggak mau ganti celdam tiap hari. Baunya sampe apeg. Bau apeg ini juga memperparah polusi lingkungan tentunya.
DCDM
Saya malah berpikir gimana kalau burung kondornya saja yang di ikat dan dikalungi bandul supaya nggak berdiri tegak dengan sikap sempurna. Sikap sempurna hanya kalau pas bertugas atau pas upacara di lapangan ramai ramai. Dietnya di jaga, banyak di beri sayur terong, biar gampang tidur. Masakan jangan sampai kebanyakan merica, telur, madu sama jahe. Ini berabe. Bisa terus bersikap sempurna terus.
KCDM
Ide cemerlang. Saya kadang kadang curiga. Kalau pas sidang parlemen itu apa dietnya kebanyakan jahe sama merica ya ? Kok burung kondornya begitu aktif. Perusahaan perusahaan catering Senayan perlu di advokasi agar memasak sebanyak mungkin sayur terong sama kangkung. Ada efek penenang burung kondor. Menyehatkan fisik dan pikiran.
DCDM
Sampeyan ini gimana sih kangmas? Kangkung sama terong memang menenangkan burung kondor. Tapi induk semang kan ikut ngantuk. Nggak pakai sayur kangkung sama terong saja tidurnya di dalam sidang seperti overdosis diazepam. Apa lagi digelontor terong.
KCDM
Nek tak pikir pikir, ide gembokisasi pemijat wanita ini juga brilian dan inovatif lho. Tapi yang perlu digembok atau dibanduli juga pelanggan prianya. Inisiatif orisinal ini juga harus dilihat sisi positipnya. Bisa memacu perkembangan profesi tukang gembok atau tukang kunci. Sokur kalau diberi sedikit insentip sedikit boleh ngintip taman dibalik celdam. Juga memacu sektor riel produksi gembok. Bisa bisa ide ini dipatenkan dan dibawa ke World Economic Forum.
DCDM
Kangmas, masalah celdam, burung kondor dan gembok kok mau dibawa ke sidang dunia to ya ? Risih rasanya. Kalau saya kok kembali saja ke cara tradisional, tak usah pakai celdam. Pria pakai celana komprang tanpa celdam. Wanita pakai kain jua tanpa celdam. Praktis. Kalau burung kondor bergeliat berdiri sempurna di muka umum, gampang di deteksi. Kalau wanita mau pipis. Gampang, tinggal berdiri di tepi jalan sambil menikmati air mancur. Pemandangan ini dulu masih lajim di desa desa di tahun tujuh puluhan. Lebih akrab dengan alam. Tak perlu gembok gembokan.
KCDM
Jeng, saya kurang setuju. Ini berlawanan dengan kemajuan pembangunan. Tak bisa dipungkiri, kita berbeda pendapat. Tak perlu debat berkepanjangan. Baiknya kita bawa saja debat celdam ini ke parlemen. Bisa masuk bahasan komisi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, atau komisi ketahanan nasional dan pembangunan manusia seutuhnya. Dari pada mikir masalah masalah ekonomi yang rumit dan bikin ngantuk. Debat celdam, burung kondor, kawah impian dan arus bawah lebih asyik.
DCDM
Aah aaah aaah. Sampai jumpa di Senayan atau di pantai pijat kangmas. Tidur di dalam sidang, di panti pijat, tak beda bermakna. Hanya masalah tempat. Angin gemuruh di luar, angin lembut di bawah celdam bersatu dalam damai di panti pijat. Asooooooooi.
Salam gembok salam celdam
Ki Ageng Similikithi
(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 18 April008)
Friday, April 11, 2008
Penyidikan spiritual kasus penyuapan anggota DPR
Berita menarik koran Kompas hari hari ini. Seorang anggota DPR bernama AN, seorang SEKDA (sekretaris daerah) dan pejabat publik pemerintahan tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di hotel Ritz Carlton, Jakarta, sedanga melakukan transaksi penyuapan. Disebutkan ada seorang anak wanita belasan tahun yang ikut tertangkap. Dia diduga seorang PSK (pekerja seks komersial).
(http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/09/0929056/pertama.dalam.sejarah.kpk.tangkap.tangan.anggota.dpr.). Kasus korupsi anggota DPR dan pejabat, entah se eselon, atau di atas dan dibawah SEKDA, sedang hangat disorot masyarakat. Banyak komentar dan protes terlontar dari pembaca akan kasus penyuapan ini. Ini salah satunya,
benny tri @ Rabu, 9 April 2008 | 11:27 WIB
Dulunya kamu merayu rakyat untuk memilihmu, kamu mencumbunya dengan uang dan janji-janji tat kala rakyat terjebak dengan ulahmu, kamu meninggalkannya dan membuat hati rakyat menangis dan menjerit melihat tingkahmu, apakah tidak ada tersirat hukuman alam dari tingkahmu itu ? dunia itu sempit dan sementara, coba gapai media yang lebih luas dari dunia--semoga kau tidak tuli, dan buta.
Begitu membaca situasi dan melihat berbagai reaksi dari masyarakat, sebagai aparat intel dunia maya, sekaligus penasehat ahli spiritual imaginer, dengan sigap saya lakukan pengumpulan bukti apakah bukti primer, sekunder atau subsider. Saya lakukan analisis intelijen dan investigasi kriminal spiritual secara mendalam agar kasus ini tidak menjalar kemana mana menganggu stabilitas nasional.
Tujuannya, pertama agar masyarakat tidak emosi dan mengambil tindakan di luar hukum. Prinsip negara hukum harus tegak. Entah itu hukum rimba, hukum dagang atau dagang hukum, hukum adat atau setengah ngadat. Kedua, agar peristiwa memalukan tersebut tidak menular dan memberi inspirasi penyimpangan, penyuapan, korupsi, bagi para pejabat publik lain atau bagi para pemilik modal yang pengin beramal dengan menyogok anggota DPR. Ketiga, agar kasus penyuapan anggota DPR dengan melibatkan ABG (anak baru gede) sebagai PSK tersebut bisa ditempatkan dalam perspektif hukum yang pas, tidak menceng ke sana kemari. Penyuapan ya penyuapan, PSK ya PSK, DPR ya DPR, SEKDA ya SEKDA. Jangan dicampur aduk. Semua harus lurus dalam perspektif masing masing. Kalau toh suatu saat terjadi bersamaan, itu namanya nasib. Bencana dan kenikmatan kadang bisa terjadi bersamaan tak terduga.
Ehhhm. Inilah hasil analisis saya. Pertama mengenai alibi penyuapan. Mengapa harus ditangkap dan diributkan ? Mungkin saja ini merupakan bagian dari hak azasi anggota DPR atau SEKDA. Perlu di kaji secara lebih dalam semua peraturan dan perundangan tentang fungsi dan sumpah anggota DPR dan SEKDA. Jangan jangan memang soal suap menyuap dijamin oleh sumpah jabatan mereka. Apalagi jika pejabat pejabat ini selama masa kanak kanak jarang disuapi oleh ibunya. Mungkin tidak pernah. Jika pernahpun mungkin oleh pembantu. KPK harus hati hati, menindak penyuapan yang merupakan hak asasi bisa dituntut ke mahkamah internasional. Masyarakat juga harus ikhlas dan pasrah oleh karena kasus kasus seperti ini sudah lajim. Sudah menjadi konvensi dalam dunia perlemen. Kebiasaan yang sudah lajim.
Kedua mengenai keterlibatan ABG sebagai PSK. Perlu dikaji secara lebih rinci, oleh karena dalam memperjuangkan nasib rakyat banyak, baik SEKDA atau anggota DPR harus banyak bergaul dengan masyarakat bawah. Termasuk bergaul dan berdiskusi dengan PSK. Mendengar suara dari bawah. Mendalami dan menyalurkan arus bawah. Terutama di bawah pusar. Jangan hanya menyuarakan bagian atas. Jika bagian atas sudah mengendor toh bisa ditarik ke atas dengan operasi plastik (katanya La Rose). Tetap tegak seperti papaya. Dugaan bahwa kasus penyuapan itu disertai dengan penyediaan pelayanan seksual oleh ABG PSK, susah dibuktikan secara hukum. Pada waktu penangkapan terjadi sang burung piaraan anggota DPR tidak sedang berkicau. Kalau toh misalnya, si PSK sedang memilin milin sang burung piaraan anggota DPR, kalau dilakukan mau sama mau, tahu sama tahu, KPK mau apa? Bisa saja sang anggota DPR menggunakan prinsip terduga tanpa salah ''Burung burung saya sendiri kok sampeyan mau ikut ikut urusan. Mentang mentang jadi KPK. Emangnya anggota KPK tak suka pelihara burung?"
Ketiga mengenai tempat penyuapan, kok di hotel bintang lima ? Di Ritz Carlton Hotel. Masalah tempat memang sudah disepakati dan direncanakan, oleh penyuap, penerima suap, penyidik. Masak mau suap menyuap nggak boleh di hotel? Mana mau suap menyuap di kandang kerbau. Bau tahi kerbau sudah mengurangi animo untuk saling suap menyuap. Tidak ada hukum yang mengharuskan bahwa penyuapan harus dilakukan di kandang kerbau.
Keempat mengenai motif penyuapan. Diduga berkaitan dengan status hutan agar bisa diubah jadi hutan yang bisa dikelola dan dikomersialkan. Sah sah saja. Mau jadi hutan lindung, mau jadi hutan HPH ( hak penguasaan hutan), itu kan terserah saja sama selera pejabat berwenang. Mengapa pusing pusing. Pengelolaan hutan ya harus mentaati hukum rimba. Mau tebang pilih Indonesia (TPI) atau tebang habis itu hanyalah sekedar retorika.
Kelima mengenai keterlibatan ABG yang baru berumur belasan tahun. Secara logika mungkin ada saja dasarnya. Kalau mau kongkow kongkow antara penyuap dan tersuap, masak harus ngundang PSK yang sudah manula (manusia usia lanjut) ? Apa harus ke panti jompo ? Sori mek. Mau suap menyuap, mau sogok menyogok, dengan PSK kok nggak ngajak ajak. Kalau pengin aman ya ajak teman sebanyak mungkin. Belum tentu mereka tidak suka sogok menyogok, suap menyuap, apalagi kalau ada PSKnya. Prinsip pemerataan dan solidaritas.
Saya minta NYI untuk membaca analisis saya ini. Komentarnya singkat. Logika hukumnya terbalik balik nggak karuan. Ya, apa boleh buat. Mana sih ada logika yang masih pas dalam dunia hukum dan politik kita. Yang penting saran saya sederhana. Aja kagetan, aja gumunan. Jamane jaman edan. Nek ora ngedan ora keduman. (Jangan kaget, jangan heran. Jamanya jaman gila. Kalau nggak ikut gila nggak akan kebagian). Yang kita saksikan adalah sandiwara besar kehidupan politik dan hukum di Nusantara.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
(Kolom Kita Kompas Cyber, 11 April 2008
(http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/09/0929056/pertama.dalam.sejarah.kpk.tangkap.tangan.anggota.dpr.). Kasus korupsi anggota DPR dan pejabat, entah se eselon, atau di atas dan dibawah SEKDA, sedang hangat disorot masyarakat. Banyak komentar dan protes terlontar dari pembaca akan kasus penyuapan ini. Ini salah satunya,
benny tri @ Rabu, 9 April 2008 | 11:27 WIB
Dulunya kamu merayu rakyat untuk memilihmu, kamu mencumbunya dengan uang dan janji-janji tat kala rakyat terjebak dengan ulahmu, kamu meninggalkannya dan membuat hati rakyat menangis dan menjerit melihat tingkahmu, apakah tidak ada tersirat hukuman alam dari tingkahmu itu ? dunia itu sempit dan sementara, coba gapai media yang lebih luas dari dunia--semoga kau tidak tuli, dan buta.
Begitu membaca situasi dan melihat berbagai reaksi dari masyarakat, sebagai aparat intel dunia maya, sekaligus penasehat ahli spiritual imaginer, dengan sigap saya lakukan pengumpulan bukti apakah bukti primer, sekunder atau subsider. Saya lakukan analisis intelijen dan investigasi kriminal spiritual secara mendalam agar kasus ini tidak menjalar kemana mana menganggu stabilitas nasional.
Tujuannya, pertama agar masyarakat tidak emosi dan mengambil tindakan di luar hukum. Prinsip negara hukum harus tegak. Entah itu hukum rimba, hukum dagang atau dagang hukum, hukum adat atau setengah ngadat. Kedua, agar peristiwa memalukan tersebut tidak menular dan memberi inspirasi penyimpangan, penyuapan, korupsi, bagi para pejabat publik lain atau bagi para pemilik modal yang pengin beramal dengan menyogok anggota DPR. Ketiga, agar kasus penyuapan anggota DPR dengan melibatkan ABG (anak baru gede) sebagai PSK tersebut bisa ditempatkan dalam perspektif hukum yang pas, tidak menceng ke sana kemari. Penyuapan ya penyuapan, PSK ya PSK, DPR ya DPR, SEKDA ya SEKDA. Jangan dicampur aduk. Semua harus lurus dalam perspektif masing masing. Kalau toh suatu saat terjadi bersamaan, itu namanya nasib. Bencana dan kenikmatan kadang bisa terjadi bersamaan tak terduga.
Ehhhm. Inilah hasil analisis saya. Pertama mengenai alibi penyuapan. Mengapa harus ditangkap dan diributkan ? Mungkin saja ini merupakan bagian dari hak azasi anggota DPR atau SEKDA. Perlu di kaji secara lebih dalam semua peraturan dan perundangan tentang fungsi dan sumpah anggota DPR dan SEKDA. Jangan jangan memang soal suap menyuap dijamin oleh sumpah jabatan mereka. Apalagi jika pejabat pejabat ini selama masa kanak kanak jarang disuapi oleh ibunya. Mungkin tidak pernah. Jika pernahpun mungkin oleh pembantu. KPK harus hati hati, menindak penyuapan yang merupakan hak asasi bisa dituntut ke mahkamah internasional. Masyarakat juga harus ikhlas dan pasrah oleh karena kasus kasus seperti ini sudah lajim. Sudah menjadi konvensi dalam dunia perlemen. Kebiasaan yang sudah lajim.
Kedua mengenai keterlibatan ABG sebagai PSK. Perlu dikaji secara lebih rinci, oleh karena dalam memperjuangkan nasib rakyat banyak, baik SEKDA atau anggota DPR harus banyak bergaul dengan masyarakat bawah. Termasuk bergaul dan berdiskusi dengan PSK. Mendengar suara dari bawah. Mendalami dan menyalurkan arus bawah. Terutama di bawah pusar. Jangan hanya menyuarakan bagian atas. Jika bagian atas sudah mengendor toh bisa ditarik ke atas dengan operasi plastik (katanya La Rose). Tetap tegak seperti papaya. Dugaan bahwa kasus penyuapan itu disertai dengan penyediaan pelayanan seksual oleh ABG PSK, susah dibuktikan secara hukum. Pada waktu penangkapan terjadi sang burung piaraan anggota DPR tidak sedang berkicau. Kalau toh misalnya, si PSK sedang memilin milin sang burung piaraan anggota DPR, kalau dilakukan mau sama mau, tahu sama tahu, KPK mau apa? Bisa saja sang anggota DPR menggunakan prinsip terduga tanpa salah ''Burung burung saya sendiri kok sampeyan mau ikut ikut urusan. Mentang mentang jadi KPK. Emangnya anggota KPK tak suka pelihara burung?"
Ketiga mengenai tempat penyuapan, kok di hotel bintang lima ? Di Ritz Carlton Hotel. Masalah tempat memang sudah disepakati dan direncanakan, oleh penyuap, penerima suap, penyidik. Masak mau suap menyuap nggak boleh di hotel? Mana mau suap menyuap di kandang kerbau. Bau tahi kerbau sudah mengurangi animo untuk saling suap menyuap. Tidak ada hukum yang mengharuskan bahwa penyuapan harus dilakukan di kandang kerbau.
Keempat mengenai motif penyuapan. Diduga berkaitan dengan status hutan agar bisa diubah jadi hutan yang bisa dikelola dan dikomersialkan. Sah sah saja. Mau jadi hutan lindung, mau jadi hutan HPH ( hak penguasaan hutan), itu kan terserah saja sama selera pejabat berwenang. Mengapa pusing pusing. Pengelolaan hutan ya harus mentaati hukum rimba. Mau tebang pilih Indonesia (TPI) atau tebang habis itu hanyalah sekedar retorika.
Kelima mengenai keterlibatan ABG yang baru berumur belasan tahun. Secara logika mungkin ada saja dasarnya. Kalau mau kongkow kongkow antara penyuap dan tersuap, masak harus ngundang PSK yang sudah manula (manusia usia lanjut) ? Apa harus ke panti jompo ? Sori mek. Mau suap menyuap, mau sogok menyogok, dengan PSK kok nggak ngajak ajak. Kalau pengin aman ya ajak teman sebanyak mungkin. Belum tentu mereka tidak suka sogok menyogok, suap menyuap, apalagi kalau ada PSKnya. Prinsip pemerataan dan solidaritas.
Saya minta NYI untuk membaca analisis saya ini. Komentarnya singkat. Logika hukumnya terbalik balik nggak karuan. Ya, apa boleh buat. Mana sih ada logika yang masih pas dalam dunia hukum dan politik kita. Yang penting saran saya sederhana. Aja kagetan, aja gumunan. Jamane jaman edan. Nek ora ngedan ora keduman. (Jangan kaget, jangan heran. Jamanya jaman gila. Kalau nggak ikut gila nggak akan kebagian). Yang kita saksikan adalah sandiwara besar kehidupan politik dan hukum di Nusantara.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
(Kolom Kita Kompas Cyber, 11 April 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)