Tak bermaksud menghujat atau melecehkan siapapun. Hanya satu ungkapan episode singkat perjalanan cinta yang telah lewat di makan waktu. Kisah masa muda. Bukan pula cinta pertama. Kisah cinta monyet itu pernah saya ceritakan sebelumnya. Terjadi semasa SMP. Ini kisah singkat pengalaman pacaran yang pertama kali.
Masa masa SMA di Solo, tak ada pertemanan dengan wanita. SMA St Josef yang muridnya semua laki laki. Jika berbaris rapi, semua pakai tongkat. Tak ada cerita romantis. Tak ada dalam kamus waktu itu pertemanan dengan wanita. Baru sesudah masuk perguruan tinggi, masa pancaroba langsung mulai. Mula mula pada waktu perplocoan, tak ada yang menarik. Semuanya kusam dan kuyu. Yang laki gundul seperti tuyul. Yang wanita tanpa tanpa gincu, wajah sayu. Rambutnya diikat tanpa aturan.
Hanya pas pesta penutupan baru mata bisa memandang. Wajah wajah ceria lepas dari dera perploncoan yang tak manusiawi. Ternyata banyak yang cantik dan menarik. Dunia tak selamanya kusam dan kuyu. Boleh tahan istilah di negeri jiran. Orang Jakarta bilang 'siip deh lu'. Tetapi orang Yogya biasanya malah berdoa kalau lihat orang cantik 'amit amit wolo wolo kuwato" (semoga kuatlah hati ini). Kelompok kami yang dari Solo selalu tenang. Masih asing di Yogya. "Aja kagetan, aja gumunan" (Jangan kaget, jangan gumun). Walaupun baru pertama bertemu wanita. Harus tahan harga dan tahan banting. Tetapi hidup mulai terasa bergairah sesudaj depresi karena perploncoan Mamakonga (Masyarakat Mahasiswa Kompleks Ngasem).
Ada kejutan kultural awalnya. Di Solo kalau bicara dengan kenalan wanita, memakai bahasa Jawa halus, kedua tangan di depan. Sangat formal dan sopan. Apalagi dengan gadis njeron mbeteng di lingkungan kraton. Ada dua gadis yang sangat anggun dan berwibawa, Sekartaji dan Saraswati. Memandangpun saya selalu kalah wibawa, walau hati berdesir. Di Yogya, masuk UGM kumpul mahasiswa dari berbagai pelosok tanah air. Sangat langsung dan terbuka. Masih ingat pagi pagi, kami berdua dengan seorang teman dari Solo, Amad, cari tempat duduk paling depan untuk kuliah kimia. Gurubesarnya kalau ngomong hanya bisik bisik.
Kami harus berangkat subuh untuk menaruh buku di kursi barisan depan. Nanti jam 6 kembali ke kost untuk mandi dulu. Kuliah baru mulai jam 700. Ada teman putri yang lihat kami belum mandi. "Bung, tampangmu semrawut bangun pagi. Bujang lapuk" Gadis Solo nggak akan ngomong gitu. Tapi ini Yogya, lain kota lain kata. Teman saya hanya bicara pelan. "Belum tahu siapa kita. Dia akan datang minta tolong" Kami sangat percaya diri. Ujian akhir SMA rangking satu dan dua dari seluruh SMA di SOLO jurusan Pengetahuan Alam. Jika tak istimewa betul gadis secantik apapun nggak masuk kamus.
Sewaktu mata pelajaran semakin sulit, terutama fisika, praktis mahasiswa harus saling belajar kelompok. Saya selalu taat bersama teman2 dari Solo sampai satu saat seorang teman wanita bernama Nana ngajak kami main sekaligus belajar bersama. Rumah kostnya di Bintaran. Saya di Gerjen. Dia bersama kelompoknya, salah satu yang mengatakan kami bujang lapuk itu. Ini seolah pucuk dicinta ulam tiba, bagi saya. "Bung Nana sama kelompoknya pengin ngajak kita belajar bersama". Apa kata Amad, teman dri Solo ?. "Ki, kita ini bukan laki laki murahan. Tahan harga." Dia pengagum fanatik putri Solo. Nyanyian nyanyian kecilnya hanya sekitar lagu Putri Solo, Bengawan Solo dan Tirtonadi. Gemar nonton wayang kulit semalam suntuk, terutama jika sinden dan dalangnya dari Solo. Kadang kadang saya dengar pelan melantun Hei Jude, dari the Beattle. Lagu Indonesia Raya dia tak hapal benar, kena setrap waktu plonco.
Guru Inggris semasa SMA, seorang pastur, selalu mengingatkan "Jangan sekali sekali menolak uluran seorang wanita. Akan kecewa seumur hidup". Nasehat ini lebih menarik dari pada masalah tahan harga. Setelah berbagai manuver akhirnya sepakat, ada tiga laki laki termasuk saya. Satu dari Palembang Achdy dan satunya dari Riau, Rusli. Keduanya belum paham mana putri Solo mana bukan. Dan tiga rekan wanita, Nana, Ria dan Eni. Tiga tiganya dari luar Yogya. Sepakat belajar bersama.
Bahasa mereka lugas dan lepas. Kami cepat akrab. Selalu ramai ramai bersama, praktikum, belajar, kuliah. Gadis gadis manis, ceria. Kuliahpun suka cekikikan. Amad dan kawan kawan dari Solo sewaktu lihat kami sering bersama mereka, komentarnya langsung 'Ki kok anda punya kelompok Tiga Dara Sitombut". Memang secara fisik ketiganya agak sedikit subur untuk ukuran Solo. Mereka ini selalu bilang mbodi (amba tur gedhi; lebar dan besar). Tak perlu saya jelaskan, malah dikira melecehkan ukuran tubuh. Mau setumbut mau silinder, mau amba mau gedhi, bukan urusan saya.
Lagu Putri Solo menggambarkan gadis Solo yang gemulai, berjalan seperti harimau lapar, lambaian tangannya seperti lambaian daun kelapa terterpa angin. Suaranya mengalun berbisik lembut. Bahkan dulu guru saya di SR bilang, "Anak anak, yang namanya putri Solo itu, kalau nginjak tahu ayam pun nggak akan penyet". Begitu halus, mungkin kayak Lembayung. Lagu putri Solo di tahun enampuluhan sampai memberi kan kesan begitu dalam terhadap penggemarnya, walau mungkin nggak selamanya benar. Nyatanya teman saya dri Solo yang sekarang jadi anggota cabinet itu, galaknya bukan main, tukang becak seluruh Mangkubumen takut sama dia.
Mulanya biasa saja. Berjalan normal platonis. Belajar kadang bergurau. Tak tahunya, lama lama kok makin asyik. Sering saling meledek, memasang masangkan (macokke, Jawa). Mulai berubah suasana. Achdy, merasa nggak enak, lalu jarang ikut. Sementara Nana sama Rusli semakin asyik. Saya sama Eni, rasanya kok berdesir setiap ketemu (ambil istilah dari La Rose). Nggak ada capeknya ketemu. Kadang saya berpikir, jangan jangan ini katuh cinta. Something was not normal. Tetapi saya terus diam.
Sampai satu saat Nana bilang. 'Ki kok kamu pasif amat. Proaktif dhong. Kasihan Eni". Proaktif gimana, pikir saya. "Datanglah ke rumah Eni Sabtu malam, dia pasti senang". Kalau dipikir pikir, nggak ada jeleknya juga. Belum pernah main ke teman wanita, Sabtu malam. Persiapan berminggu minggu. Akhirnya suatu Sabtu sore, saya beranikan datang. Dia tinggal bersama embahnya. Saya masih ingat berpakaian baju putih warna kesayangan waktu itu. Tak lupa bawa sangu permen atau pastiles, seperti pesan Nana. Katanya ini modal apel hari Sabtu. Taruh di meja, sebagai kode, kalau dia ambil, pasti mau itu. Dan jangan grusa grusu, harus tenang. Ini nasehat Nana. Nana sama Rusli sudah jelas dalam tahap berpacaran, walau belum tetap.
Seperti malam malam Minggu sebelumnya, Eni selalu ditemani neneknya. Malam itu juga, kami ngobrol bersama beliau. Kelihatan sayang sekali sama Eni. 'Sokur sampeyan main ke sini, bisa nemani Eni, nggak sepi". Kami asyik ngobrol kesana kemari. Kata katanya selalu teratur, tenang tak meluap luap. Wajahnya semakin sendu merayu. Matanya selalu redup menerawang romantis. Semakin malam semakin tambah kelihatan cantik. Sewaktu lihat kotak permen itu saya taruh di meja, dia diam tak bereaksi. Malah neneknya yang berulang kali ambil sambil cerita. Saya mulai keder. Saya nggak konsentrasi lagi ngobrol. Dengan permen ini jangan jangan salah umpan.
Lewat jam sembilan saya pamit. Hati lunglai. Dia nggak bereaksi dengan permen itu. Ini pengalaman pertama tertolak walau saya nggak bicara apa apa tentang cinta. Lebih baik action dari pada omong cinta. Sepeda tua saya saya taruh dibelakang. Dibawah pohon jambu. Di tempat gelap, biar aman. Nggak ada kunci, nggak ada lampu. Sepeda tua itu teman setia di Yogya. Nggak punya brompiet atau udhug, kayak Josh Chen. Modal sepeda tambah permen.
Eni mengantar saya ke belakang. 'Kok cepet amat, masih sore ?". Hati saya masih penuh teka teki, rancu. Saya ambil sepeda di bawah pohon jambu itu, dalam kegelapan. Tiba tiba Eni, memegang tangan saya erat sekali, menyebut nama saya lirih Ki. Dia memeluk saya mesra. Saya tak bisa bereaksi normal, tangan saya pegang sepeda. Tetapi hati saya melayang ke awing awing. Ciuman pertama saya rasakan dalam hidup saya. Hanya beberapa menit. Saya terpana. Gemetar dan sewaktu tangan saya ingin menggapainya, suara keras 'gubraaaak', sepeda lepas dari pegangan ambruk menimpa pot bunga. Tak siap benar, jika tahu ada kejutan, pasti sepeda itu saya taruh dulu. Sang nenek teriak dari dalam. 'Eni, ada apa?". Saya bergegas pergi. Hati bernyanyi, naik sepeda seperti naik permadani terbang.
Saya masih ingat sampai di rumah ada cap merah di baju saya. Cemaran cat kimia, tapi tak apa dari gincu Eni. Nggak mikir merknya apa. Apapun merknya saya bahagia. Sekarang ibu ibu yang suka pakai gincu bermutu tidak baik, biasanya selalu ngecap di bibir cangkir atau gelas. Baju saya lipat dan taruh di atas meja belajar. Maksudnya sih mau disimpan dulu, ada capnya untuk kenangan. Tahunya sewaktu saya pergi kuliah, dicuci sama pembantu. Kecewa tapi nggak bisa apa apa. "Gus bajunga kelunturan warna merah. Sudah saya cuci". Saya hanya diam. Cap ini susah dicari lagi.
Hari hari kemudian hanya terasa indah. Bersemangat. Beberapa minggu kemudian ada perayaan sekaten. Pengin keluar sama Eni, ternyata nggak diijinkan sang nenek. Mungkin kawatir mungkin curiga. Nggak tahu. Teman saya yang lain dari Solo, Ben yang kemudian minta ijin ke neneknya. Diijinkan, dan kami bertiga jalan jalan. Menyusuri jalan sekitar alun alun utara, kantor pos dan Malioboro. Makan satai di utara alun alun.
Pulang naik becak bertiga. Hujan rintik rintik hingga becak harus ditutup. Bolak balik Ben manggil saya "Ki are you OK". Mungkin dia curiga. Sial, lewat kampung Langenastran, becak terbalik masuk parit. Saya di bawah, ketindih becak bersama Eni nggak bisa bergerak. Ben bisa loncat duluan. Eni tanya"Are you OK dear, sambil mencium cepat cepatan. Tukang becak bloon itu payah betul. Kaki saya yang ditarik, bukan becaknya yang dibalik. Pulang Ben menggerutu, kamu sama Eni bikin tukang becak itu nggak konsentrasi.
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Awalnya serba indah. Di tahun kedua hubungan merenggang. Akhirnya terasa meynyesakkan. Di akhir pekan dia banyak dikunjungi karbol (taruna Akabri). Mereka memang gagah. Pakaian lengkap, sepatu bersih dan kinclong. Ayahnya memang pejabat tinggi militer. Saya pikir, ya sudahlah enaknya nggak seberapa, malah stress nggak tenang. Rusli dan Nana sudah nggak lagi pacaran. Nana pacaran sama karbol, Rusli dapat mahasiswa KG, sampai ke pelaminan.
Ah hanya cerita masa lalu. Di keremangan pohon jambu. Amad kawin dengan gadis Solo sampai sekarang. Kesenangan lagunya sudah banyak berkembang. Katanya seneng musik klasik. Ahli jantung terpandang, tak cuma di Indonesia. Eni bahagia dengan suami tercinta. Nana terakhir kirim email setelah puluhan tahun tak kontak. Dia diundang sebagai seorang ahli dari Indonesia dalam konsultasi antar negara di badan dunia di Geneva. Suaminya ternyata dari sipil. Nyi Ageng tahu cerita ini, walau tak detil. Yang berat kalau menantu saya, bisa cerita ke cucu saya, Rio yang pasti akan tanya. Tetapi jamannya memang jaman keterbukaan dan transparansi. Masa telah berlalu bersama perjalanan waktu.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 21 Juni 2007
Saturday, June 23, 2007
Wednesday, June 13, 2007
A lost birthday
Today, thirteenth of June, is the birthday of my son, Moko, who passed away almost ten years ago. He tragically died due to unexpected traffic accident in 13th December 1997.
It was Friday, and he was on his way home from school that afternoon. A recklessly driven car hit him in the street close to our house. That was the last journey in his life. A journey that never reach its destination. The last journey that terminated his everything. His dream, his imagination for a happy and bright future.
He would have been twenty seven years of age by now. If that accident did not happen. If that reckless driver had cautious mind for the safety of other people in the street. The accident suddenly changed everything, nothing is left, only memory. It will be forever and nothing will come back.
Moko or Saworo Tino Triatmo, was a happy young boy. He loved his friends and family. He had many dreams to pursue. He had many imagination for his future. We love him so much. All of a sudden everything changed, everything ended. Just because somebody drove recklessly, having no concern of others safety.
He was very close to me. I remember the last birthday ten years ago. We had dinner with him. Just a simple dinner. He was a little bit quite as he was concentrating for his final year exam. He wanted to go to medical school if he passed the exam. This never comes true.
He was born in 1980 when I was in Newcastle (UK). I was waiting for the news from home those days. The news about the baby. It came to me a few days after he was born. It was a boy and I gave him a name Saworo, meaning news. We rarely celebrated his birthdays those years. He was always happy with all his friends.
Every time his birthday comes, just like today, I try to remember the happy and cheerful time we had with him. But finding only sorrow and deep feeling of missing. The loss and sadness will never end. It will be forever. I hope he is happy out there. I want to fly, my thoughts flying through the sky, just want to say hello and to hug him. His birthday is always a lost birthday forever. I keep waiting and waiting until the time comes when I can see him somewhere out there.
Manila, 13 June 2007
It was Friday, and he was on his way home from school that afternoon. A recklessly driven car hit him in the street close to our house. That was the last journey in his life. A journey that never reach its destination. The last journey that terminated his everything. His dream, his imagination for a happy and bright future.
He would have been twenty seven years of age by now. If that accident did not happen. If that reckless driver had cautious mind for the safety of other people in the street. The accident suddenly changed everything, nothing is left, only memory. It will be forever and nothing will come back.
Moko or Saworo Tino Triatmo, was a happy young boy. He loved his friends and family. He had many dreams to pursue. He had many imagination for his future. We love him so much. All of a sudden everything changed, everything ended. Just because somebody drove recklessly, having no concern of others safety.
He was very close to me. I remember the last birthday ten years ago. We had dinner with him. Just a simple dinner. He was a little bit quite as he was concentrating for his final year exam. He wanted to go to medical school if he passed the exam. This never comes true.
He was born in 1980 when I was in Newcastle (UK). I was waiting for the news from home those days. The news about the baby. It came to me a few days after he was born. It was a boy and I gave him a name Saworo, meaning news. We rarely celebrated his birthdays those years. He was always happy with all his friends.
Every time his birthday comes, just like today, I try to remember the happy and cheerful time we had with him. But finding only sorrow and deep feeling of missing. The loss and sadness will never end. It will be forever. I hope he is happy out there. I want to fly, my thoughts flying through the sky, just want to say hello and to hug him. His birthday is always a lost birthday forever. I keep waiting and waiting until the time comes when I can see him somewhere out there.
Manila, 13 June 2007
Saturday, June 2, 2007
Hukuman mati
Berita mengejutkan itu sampai ke saya pagi ini. Saya datang ke kantor pukul 800. Agak terlambat ok semalam tidak bisa tidur, jam 300 masih di komputer. Salah seorang staff memberikan print out berita BBC, 29 Mei 2007, tentang hukuman mati yang dijatuhkan kepada mantan Komisioner, State Food and Drug Administration (SFDA) RRC (http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6699441.stm) . Berita mengenai proses penahanan sudah tersebar di media masa Barat sejak beberapa bulan lalu.
Siang hari sewaktu saya pulang makan siang sekalian ambil cell phone yang ketinggalan, sempat memperhatikan tayangan berita AlJazeera. Dengan jelas ditayangkan saat vonis dijatuhkan terhadap Mr. Zheng Xiaoyu. Wajahnya sangat pucat dan sayu. Dia terduduk lemas. Saya tertegun dan sedih. Saya kenal secara pribadi walaupun tidak dekat.
Beberapa kali bertemu dalam pertemuan resmi. Beberapa kali saya diundang makan malam atau makan siang secara resmi. Dia pribadi yang tenang dan sabar. Wajahnya masih tampan dan menarik. Perawakannya tinggi dan langsing seperti halnya penduduk Cina Timur Laut. Saya pernah menyanyi Burung Kakak Tua setelah dia menyanyikan lagu dari daerah asalnya di HongKong di tahun 2002.
Di dituduh menerima suap 6.5 juta yuan selama menjabat sebagai Komisioner untuk memberikan ijin produksi dan peredaran obat. Hampir sebanyak 170 000 ijin yang dikeluarkan selama dia menjabat diragukan mutu dan keabsahannya. Saya tak akan berkomentar tentang segi hukum atau benar tidaknya tuduhan itu.
Masalah yang dihadapi negara tirai bambu ini dalam produksi dan peredaran obat sangatlah kompleks. Di satu pihak setelah reformasi dan kebijakan pasar bebas, telah terjadi peningkatan pesat kapasitas produksi obat obatan. Beberapa tahun lalu terdapat lebih lima ribu pabrik. Kemampuan untuk produksi obat yang baik masih tidak merata di semua pabrik. Kemampuan dan efisiensi pengawasan terhadap mutu dan keamanan melalui sistem registrasi dan inspeksi juga relatif terbatas.
Sebagian pabrik ini milik pemerintah dan produksinya harus diserap pasar. Dalam kondisi berlimpahnya produksi inilah banyak terjadi persaingan tidak sehat. Kadang2 obat yang tak memenuhi syarat mutu masuk ke pasar bahkan sering merembes ke pasar di negara2 lain.
Banyak keluhan dari negara2 lain. Terutama yang tidak mampu mencegah masuknya obat secara tidak legal, karena tidak berfungsinya pengawasan pasar secara optimal seperti negara2 delta Mekong. Selain obat obat yang mutunya sering dibawah standard, ada kecurigaan bahwa Cina sumber utama obat palsu. Sebagian benar.
Kebijakan pengawasan obat termasuk hal yang strategis di banyak negara. Banyak kejadian pejabat berwenang di bidang kebijakan pengawasan produksi dan peredaran obat diseret ke pengadilan. Mungkin karena memang murni penyelewengan dan korupsi, mungkin juga karena ketidak-efisienan sistem pendaftaran dan pengawasan.
Saya yakin sekali bahwa peredaran obat dibawah standard dan obat palsu ini sama sekali tidak melibatkan para pemegang kebijakan di Cina. Mereka juga telah bekerja keras untuk memeranginya di dalam negeri, walaupun mereka menolak ikut dalam sistem peringatan dini yang dikembangkan di tingkat regional. Banyak produsen obat palsu dan illegal juga telah di tangkap di Cina. Perkara menerima uang suap, saya nggak berkompeten untuk berkomentar.
Saya hanya berdoa agar vonis ini bisa diubah lebih ringan. Memang tidak mudah untuk melakukan pengawasan secara efektif jika system pengawasan belum berkembang penuh dan jumlah produsen yang harus diawasi demikian banyak. Jangan sampai hukuman dijauhkan hanya untuk menunjukkan ke dunia luar bahwa pemerintah mereka mengambil langkah serius dalam memerangi korupsi dan peredaran obat dibawah standard dan obat palsu.
Negara negara Eropa, Pasifik termasuk Australia dan New Zealand telah menghapuskan hukuman mati. Negara negara seperti USA, Jepang, India, Singapura, Malaysia, Indonesia, Korea Selatan, Taiwan masih memperlakukan hukuman mati untuk kejahatan berat seperti pembunuhan. Menurut Wikipedia, di tahun 2006, negara negara ini paling banyak melakukan hukuman mati. Cina (1010 kasus), Iran (177), Pakistan(82), Irak (65), Sudan (65), dan USA (53).
Banyak pro dan kontra akan hukuman mati. Saya tak berkompeten memberikan komentar. Moga moga ada penggemar Koki yang lebih berkompeten untuk menulis di kolom ini. Saya hanya berdoa agar Zheng Xiaouyu lepas dri hukuman tembak. Istri dan anaknya juga ikut ditangkap.
Ki Ageng Similikithi
(Telah dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 2 June 2007)
Siang hari sewaktu saya pulang makan siang sekalian ambil cell phone yang ketinggalan, sempat memperhatikan tayangan berita AlJazeera. Dengan jelas ditayangkan saat vonis dijatuhkan terhadap Mr. Zheng Xiaoyu. Wajahnya sangat pucat dan sayu. Dia terduduk lemas. Saya tertegun dan sedih. Saya kenal secara pribadi walaupun tidak dekat.
Beberapa kali bertemu dalam pertemuan resmi. Beberapa kali saya diundang makan malam atau makan siang secara resmi. Dia pribadi yang tenang dan sabar. Wajahnya masih tampan dan menarik. Perawakannya tinggi dan langsing seperti halnya penduduk Cina Timur Laut. Saya pernah menyanyi Burung Kakak Tua setelah dia menyanyikan lagu dari daerah asalnya di HongKong di tahun 2002.
Di dituduh menerima suap 6.5 juta yuan selama menjabat sebagai Komisioner untuk memberikan ijin produksi dan peredaran obat. Hampir sebanyak 170 000 ijin yang dikeluarkan selama dia menjabat diragukan mutu dan keabsahannya. Saya tak akan berkomentar tentang segi hukum atau benar tidaknya tuduhan itu.
Masalah yang dihadapi negara tirai bambu ini dalam produksi dan peredaran obat sangatlah kompleks. Di satu pihak setelah reformasi dan kebijakan pasar bebas, telah terjadi peningkatan pesat kapasitas produksi obat obatan. Beberapa tahun lalu terdapat lebih lima ribu pabrik. Kemampuan untuk produksi obat yang baik masih tidak merata di semua pabrik. Kemampuan dan efisiensi pengawasan terhadap mutu dan keamanan melalui sistem registrasi dan inspeksi juga relatif terbatas.
Sebagian pabrik ini milik pemerintah dan produksinya harus diserap pasar. Dalam kondisi berlimpahnya produksi inilah banyak terjadi persaingan tidak sehat. Kadang2 obat yang tak memenuhi syarat mutu masuk ke pasar bahkan sering merembes ke pasar di negara2 lain.
Banyak keluhan dari negara2 lain. Terutama yang tidak mampu mencegah masuknya obat secara tidak legal, karena tidak berfungsinya pengawasan pasar secara optimal seperti negara2 delta Mekong. Selain obat obat yang mutunya sering dibawah standard, ada kecurigaan bahwa Cina sumber utama obat palsu. Sebagian benar.
Kebijakan pengawasan obat termasuk hal yang strategis di banyak negara. Banyak kejadian pejabat berwenang di bidang kebijakan pengawasan produksi dan peredaran obat diseret ke pengadilan. Mungkin karena memang murni penyelewengan dan korupsi, mungkin juga karena ketidak-efisienan sistem pendaftaran dan pengawasan.
Saya yakin sekali bahwa peredaran obat dibawah standard dan obat palsu ini sama sekali tidak melibatkan para pemegang kebijakan di Cina. Mereka juga telah bekerja keras untuk memeranginya di dalam negeri, walaupun mereka menolak ikut dalam sistem peringatan dini yang dikembangkan di tingkat regional. Banyak produsen obat palsu dan illegal juga telah di tangkap di Cina. Perkara menerima uang suap, saya nggak berkompeten untuk berkomentar.
Saya hanya berdoa agar vonis ini bisa diubah lebih ringan. Memang tidak mudah untuk melakukan pengawasan secara efektif jika system pengawasan belum berkembang penuh dan jumlah produsen yang harus diawasi demikian banyak. Jangan sampai hukuman dijauhkan hanya untuk menunjukkan ke dunia luar bahwa pemerintah mereka mengambil langkah serius dalam memerangi korupsi dan peredaran obat dibawah standard dan obat palsu.
Negara negara Eropa, Pasifik termasuk Australia dan New Zealand telah menghapuskan hukuman mati. Negara negara seperti USA, Jepang, India, Singapura, Malaysia, Indonesia, Korea Selatan, Taiwan masih memperlakukan hukuman mati untuk kejahatan berat seperti pembunuhan. Menurut Wikipedia, di tahun 2006, negara negara ini paling banyak melakukan hukuman mati. Cina (1010 kasus), Iran (177), Pakistan(82), Irak (65), Sudan (65), dan USA (53).
Banyak pro dan kontra akan hukuman mati. Saya tak berkompeten memberikan komentar. Moga moga ada penggemar Koki yang lebih berkompeten untuk menulis di kolom ini. Saya hanya berdoa agar Zheng Xiaouyu lepas dri hukuman tembak. Istri dan anaknya juga ikut ditangkap.
Ki Ageng Similikithi
(Telah dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 2 June 2007)
Friday, May 11, 2007
Anak anak bangsa dari Plaza de Mayo
Saya mengunjungi Buenos Aires, Argentina, di bulan Agustus 1996, dalam rangka mengikuti the World Conference on Clinical Pharmacology and Therapeutics. Diundang untuk memberikan ceramah tamu sekaligus rapat Executive Committee dari Division of Clinical Pharmacology, the International Union of Pharmacology. Kebetulan saya menjadi ketua subkomisi dari Clinical Pharmacology for Developing Countries, sejak konggres sebelumnya di Yokohama di tahun 1992.
Berangkat lewat Kuala Lumpur Malaysia dengan menggunakan Malaysian Airline System (MAS). Tertunda semalam di KL karena listrik padam di seluruh semenanjung, bandara Subang praktis lumpuh. Di beri penginapan hotel di tengah kota yang praktis gelap gulita. Berangkat kesesokan harinya melalui route Johanesburg terus ke Buenos Aires. Tiba pukul 0300, Senin dini hari bersama dengan Edmund Lee dari Singapura. Saya tinggal di Buenos Aires Grand Hotel.
Seharusnya tiba hari Minggu sore jika pesawat tak terlambat. Tak sempat menghadiri upacara pembukaan. Kira kira ada dua ribu peserta konggres kali ini. Di Eropa biasanya pesertanya bisa mencapai hampir empat ribu orang. Mulai ketemu teman2 saat sarapan pagi. Cyrus Kumana, guru besar di University of Hongkong, komentar the hotel is not as grand as its name. Hotelnya memang sederhana walaupun katanya berbintang.
Saya memberikan ceramah tamu sesudah makan siang. Ada beberapa parallel sessions. Lumayan ada beberapa ratus peserta yang menghadiri kuliah saya “ Problems of drug utilization and the role of clinical pharmacology in developing countries”. Saya menggunakan transparan biasa yang dibuat dengan power point. Waktu itu saya lebih merasa yakin dengan transparan dibanding dengan slide. Saya bisa bicara bebas dan berjalan di muka audience dari lembar ke lembar transparan. Kuliah tamu berlangsung sukses.
Diakhiri dengan tepukan meriah. Tony Smith, guru besar dari Newcastle, Australia, dan banyak peserta ingin melanjutkan dengan diskusi, tetapi Ketua sidang tidak memberi kesempatan walau waktu masih tersisa kira15 menit. Saya lupa jika dalam forum kuliah tamu memang tidak ada acara tanya jawab dan diskusi.
Saya menemui ketua penyelenggara, Noberto Terragno, guru besar kepala di University of Buenos Aires. Saya menyampaikan duka sedalam dalamnya atas musibah yang menimpanya. Dia kehilangan anak lelakinya beberapa bulan sebelumnya dalam satu kecelakaan mobil. Saya membawa kenang kenangan ukiran perak. Tidak lupa memberi selamat dan terima kasih atas penyelenggaraan konggres. Dia mengundang saya ke acara sosial melihat tari Tango di hari ke tiga. Jika tak salah acara jamuan makan malam resmi di hari kedua. Kebiasaan seperti di Spanyol, makan malam baru mulai jam 22 30.
Konggres kali ini banyak dihadiri oleh peserta dari bidang ilmu lain, bukan hanya farmakolog. Saya berkenalan dengan seorang dokter dari La Platta yang kemudian cerita banyak mengenai tragedi kemanusiaan yang pernah mengkoyak negeri ini. Banyak anak muda atau mereka yang dicurigai golongan kiri hilang dibunuh militer. Dokter ini kehilangan adiknya yang baru berumur belasan tahun, diambil militer di satu dini hari dan tidak pernah ketahuan lagi dimana dia. Kepedihan yang sangat untuk keluarganya.
Ibu ibu yang kehilangan anaknya d tahun delapan puluhan tergabung dalam Ibu Ibu dari Plaza de Mayo. Mereka selalu berkumpul setiap Rabu siang kalau tidak salah di Plaza itu memperingati dan protes kehilangan putra putri mereka. Puluhan ribu anak2 muda telah hilang. Indonesia juga pernah mengalaminya di pertengahan tahun enam puluhan. Orang2 yang dicurigai komunis atau kiri di masukkan penjara atau di bunuh. Skala angka jauh lebih besar di Indonesia yang mencapai ratusan ribu.
Buenos Aires kota yang cantik dan megah. Plaza de le Republica, taman Recolleta, Plaza de Mayo dan lain lainnya, begitu menakjubkan. Namun juga menyisakan kesedihan tragedi kemanusiaan. Puisi ini saya untai sewaktu saya di sana.
ANAK-ANAK BANGSA DARI PLAZA DE MAYO
Anak-anak bangsa dari Plaza de Mayo
Semangat mereka menggelora menderu bagai prahara
Menggelegar membelah bumi, menembus langit menghentak dunia
Nyanyian-nyanyian kebebasan, nyanyian-nyanyian kebencian
Menatap peluru, menentang kekuasan
Anak-anak muda dari Plaza de Mayo
Teriak mereka bergema menggugah bukit-bukit sepi Patagonia
Membangunkan burung-burung kondor
Mengusik rusa dan llama di padang tundra
Menghimbau peradaban, menggugah keadilan
Bersenandung lagu-lagu cinta tanah tumpah darah
Suara pekak mereka adalah jerit kesedihan anak-anak bangsa.
Di depan mereka,
Hati yang mati, nurani yang membeku, tertutup nafsu terbuai kekuasaan
Mendengar adalah kekalahan, membunuh adalah kemenangan
Gelora kematian adalah irama tango yang mengasyikan
Jerit kesakitan, darah yang memerah adalah pertanda kegagahan
Rintihan pilu menyayat anak-anak muda yang tak berdosa
Angin dan hujan menangis tanpa bisa berbuat apa
Burung-burung flamingo terisak lirih
Bumi pedih terbasah darah dan air mata
Bisikan maut, pesta kematian menggema dari La Platta.
Tulang mereka berserakan
Hening, membisu beku jasad-jasad tak berdosa
Dalam haribaan bumi dan bukti-bukit batu
Bercampur pasir, berkalang tanah pertiwi
Tak ada yang tahu di mana mereka
Tiera del Fuego, La Pampa, Catamarca atau di mana
Dalam keheningan Plaza De Mayo
Ibu-ibu dengan selendang warna kelabu
Berbaris menangis memeluk gambar-gambar tanpa suara
Mencari jawaban kata-kata yang tak pernah ada
Menunggu setia anak-anak tercinta
Letih tanpa ujung, derita tanpa akhir
Penantian sia-sia
Anak-anak bangsa dari Plaza De Mayo
Tidak pernah mati sia-sia
Mereka gugur demi keadilan dan kebebasan
Anak-anak jaman, pahlawan kemanusiaan, pahlawan peradaban
Aku menunduk mengenang mereka.
(Budiono Santoso, Buenos Aires, 8 Agustus 1996)
Berangkat lewat Kuala Lumpur Malaysia dengan menggunakan Malaysian Airline System (MAS). Tertunda semalam di KL karena listrik padam di seluruh semenanjung, bandara Subang praktis lumpuh. Di beri penginapan hotel di tengah kota yang praktis gelap gulita. Berangkat kesesokan harinya melalui route Johanesburg terus ke Buenos Aires. Tiba pukul 0300, Senin dini hari bersama dengan Edmund Lee dari Singapura. Saya tinggal di Buenos Aires Grand Hotel.
Seharusnya tiba hari Minggu sore jika pesawat tak terlambat. Tak sempat menghadiri upacara pembukaan. Kira kira ada dua ribu peserta konggres kali ini. Di Eropa biasanya pesertanya bisa mencapai hampir empat ribu orang. Mulai ketemu teman2 saat sarapan pagi. Cyrus Kumana, guru besar di University of Hongkong, komentar the hotel is not as grand as its name. Hotelnya memang sederhana walaupun katanya berbintang.
Saya memberikan ceramah tamu sesudah makan siang. Ada beberapa parallel sessions. Lumayan ada beberapa ratus peserta yang menghadiri kuliah saya “ Problems of drug utilization and the role of clinical pharmacology in developing countries”. Saya menggunakan transparan biasa yang dibuat dengan power point. Waktu itu saya lebih merasa yakin dengan transparan dibanding dengan slide. Saya bisa bicara bebas dan berjalan di muka audience dari lembar ke lembar transparan. Kuliah tamu berlangsung sukses.
Diakhiri dengan tepukan meriah. Tony Smith, guru besar dari Newcastle, Australia, dan banyak peserta ingin melanjutkan dengan diskusi, tetapi Ketua sidang tidak memberi kesempatan walau waktu masih tersisa kira15 menit. Saya lupa jika dalam forum kuliah tamu memang tidak ada acara tanya jawab dan diskusi.
Saya menemui ketua penyelenggara, Noberto Terragno, guru besar kepala di University of Buenos Aires. Saya menyampaikan duka sedalam dalamnya atas musibah yang menimpanya. Dia kehilangan anak lelakinya beberapa bulan sebelumnya dalam satu kecelakaan mobil. Saya membawa kenang kenangan ukiran perak. Tidak lupa memberi selamat dan terima kasih atas penyelenggaraan konggres. Dia mengundang saya ke acara sosial melihat tari Tango di hari ke tiga. Jika tak salah acara jamuan makan malam resmi di hari kedua. Kebiasaan seperti di Spanyol, makan malam baru mulai jam 22 30.
Konggres kali ini banyak dihadiri oleh peserta dari bidang ilmu lain, bukan hanya farmakolog. Saya berkenalan dengan seorang dokter dari La Platta yang kemudian cerita banyak mengenai tragedi kemanusiaan yang pernah mengkoyak negeri ini. Banyak anak muda atau mereka yang dicurigai golongan kiri hilang dibunuh militer. Dokter ini kehilangan adiknya yang baru berumur belasan tahun, diambil militer di satu dini hari dan tidak pernah ketahuan lagi dimana dia. Kepedihan yang sangat untuk keluarganya.
Ibu ibu yang kehilangan anaknya d tahun delapan puluhan tergabung dalam Ibu Ibu dari Plaza de Mayo. Mereka selalu berkumpul setiap Rabu siang kalau tidak salah di Plaza itu memperingati dan protes kehilangan putra putri mereka. Puluhan ribu anak2 muda telah hilang. Indonesia juga pernah mengalaminya di pertengahan tahun enam puluhan. Orang2 yang dicurigai komunis atau kiri di masukkan penjara atau di bunuh. Skala angka jauh lebih besar di Indonesia yang mencapai ratusan ribu.
Buenos Aires kota yang cantik dan megah. Plaza de le Republica, taman Recolleta, Plaza de Mayo dan lain lainnya, begitu menakjubkan. Namun juga menyisakan kesedihan tragedi kemanusiaan. Puisi ini saya untai sewaktu saya di sana.
ANAK-ANAK BANGSA DARI PLAZA DE MAYO
Anak-anak bangsa dari Plaza de Mayo
Semangat mereka menggelora menderu bagai prahara
Menggelegar membelah bumi, menembus langit menghentak dunia
Nyanyian-nyanyian kebebasan, nyanyian-nyanyian kebencian
Menatap peluru, menentang kekuasan
Anak-anak muda dari Plaza de Mayo
Teriak mereka bergema menggugah bukit-bukit sepi Patagonia
Membangunkan burung-burung kondor
Mengusik rusa dan llama di padang tundra
Menghimbau peradaban, menggugah keadilan
Bersenandung lagu-lagu cinta tanah tumpah darah
Suara pekak mereka adalah jerit kesedihan anak-anak bangsa.
Di depan mereka,
Hati yang mati, nurani yang membeku, tertutup nafsu terbuai kekuasaan
Mendengar adalah kekalahan, membunuh adalah kemenangan
Gelora kematian adalah irama tango yang mengasyikan
Jerit kesakitan, darah yang memerah adalah pertanda kegagahan
Rintihan pilu menyayat anak-anak muda yang tak berdosa
Angin dan hujan menangis tanpa bisa berbuat apa
Burung-burung flamingo terisak lirih
Bumi pedih terbasah darah dan air mata
Bisikan maut, pesta kematian menggema dari La Platta.
Tulang mereka berserakan
Hening, membisu beku jasad-jasad tak berdosa
Dalam haribaan bumi dan bukti-bukit batu
Bercampur pasir, berkalang tanah pertiwi
Tak ada yang tahu di mana mereka
Tiera del Fuego, La Pampa, Catamarca atau di mana
Dalam keheningan Plaza De Mayo
Ibu-ibu dengan selendang warna kelabu
Berbaris menangis memeluk gambar-gambar tanpa suara
Mencari jawaban kata-kata yang tak pernah ada
Menunggu setia anak-anak tercinta
Letih tanpa ujung, derita tanpa akhir
Penantian sia-sia
Anak-anak bangsa dari Plaza De Mayo
Tidak pernah mati sia-sia
Mereka gugur demi keadilan dan kebebasan
Anak-anak jaman, pahlawan kemanusiaan, pahlawan peradaban
Aku menunduk mengenang mereka.
(Budiono Santoso, Buenos Aires, 8 Agustus 1996)
Thursday, May 10, 2007
Budaya kekerasan itu ada di sekitar kita
Belum lama kita semua terhenyak oleh kisah kematian Clif Muntu di IPDN karena kekerasan. Kini kembali kita dihempas oleh berita kematian siswa kelas dua Sekolah Dasar Santa Maria Immaculata, Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur, bernama Edo Rinaldi (Kolom Potret, Kompas 5 Mei 2007).
Anak malang itu meninggal secara mengenaskan karena dikeroyok oleh empat siswa/siswi dari sekolah yang sama. Budaya kekerasan seolah telah di institusionalkan dan dilegitimasi dalam lembaga pendidikan.
Ada apa dengan lembaga lembaga pendidikan kita ? Mengapa lembaga pendidikan bisa menerima atau paling tidak membiarkan budaya kekerasan di sela sela kegiatan pendidikan. Moto asih asah dan asuh seolah telah digeser secara sadar atau tak sadar dengan pendekatan yang mengetengahkan penanaman disiplin secara keras bahkan dengan cara kekerasan. Di mana itu petunjuk ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tur wuri handayani ? Hanya tinggal retorika kah?
Lembaga lembaga pendidikan kini seolah tak lagi diasuh oleh para guru yang bijak, yang menanamkan rasa cinta kasih sesama. Tetapi di kuasai oleh para manusia jalang yang menyebarkan atau paling tidak membiarkan rasa kebencian di kalangan anak didik. Orang bisa bilang itu hanya oknum. Tetapi justru kejadian kejadian fatal itu jangan jangan hanya merupakan puncak gunung es yang tak nampak dari luar. Pendekatan kekerasan dengan segala manifestasi. Termasuk memperjual belikan bimbingan atau bahkan soal ujian.
Kita sebagai orang tua merasa terpukul dan mungkin kehilangan kepecayaan. Dimanakah tanggung jawab para guru, para pendidik ? Kekerasan ini berkembang di sekolah, di lembaga pendidikan, di depan mata para guru, para pendidik. Kita sudah bertahun tahun menyaksikan dengan sedih dan putus asa tawuran pelajar sekolah yang tak pernah berkesudahan.
Saya bukan ahli yang mempunyai legitimasi menganalisis masalah kekerasan ini. Bukankah di Indonesia, pertanyaan konyol normatif ini selalu diajukan untuk mengelak. Apakah anda ahli untuk bidang ini kok berani membahas kasus kekerasan tersebut ? Pertanyaan retorik ini sering muncul kalau kita mulai mempertanyakan masalah korupsi, penyimpangan pelayanan publik, ketidak transparanan sistem pelayanan di sektor publik. Bahkan mungkin juga jika kita membahas masalah cinta segitiga atau lebih yang melibatkan pejabat yang mendapat kepercayaan publik.
Sebagai orang tua yang mempunyai anak cucu yang memanfaatkan lembaga pendidikan sekolah dan sebagai warganegara saya mempunyai legitimasi untuk mempertanyakan masalah kekerasan kali ini. Mengapa itu terjadi dan berkembang di lembaga pendidikan ?
Yang membuat saya makin kawatir, jangan jangan kekerasan di lembaga lembaga pendidikan ini hanya merupakan cermin budaya kekerasan yang sedang berkembang subur dalam tata kehidupan masyarakat. Cermatilah pertemuan pertemuan akbar entah itu dalam rangka kampanye politik, acara keagamaan, protes massal dan lain lain, selalu sarat dengan pesan kebencian dan kekerasan. Kita juga tak jarang mendengar tawuran antar warga dalam skala kecil ataupun skala besar genoside dan pembersihan etnis.
Di mana itu filsafat Panca Sila ? Apakah hanya sekedar jadi alat politis untuk menyingkirkan kelompok lawan yang dicap sebagai anti Panca Sila ? Di mana kah ciri masyarakat agamis yang selalu kita banggakan ?
Kekhawatiran saya bukan tak beralasan sama sekali. Instrumen budaya kekerasan itu begitu dekat dengan kehidupan saya, mengintai setiap kesempatan jika kita lalai. Ini contoh yang nyata. Semalam saya menerima pesan email yang menawarkan jasa pembunuh bayaran. Bukan khayalan, bukan impian. Pesan email ini datang ke alamat email resmi di kantor saya. Inilah sebagian bunyinya,
- Kami menawarkan kepada anda sebuah jasa yang istimewa, yakni pembunuh bayaran.
- Mungkin bapak/ibu memiliki dendam terhadap seseorang atau pempunyai saingan bisnis yang ingin dilenyapkan secara singkat (kebanyakan klien kami adalah pengusaha). Maka kami siap untuk membantu bapak/ibu untuk melakukan pembunuhan ini. Kami melayani kota kota besar di Indonesia.
- Metoda pembunuhan terserah bapak/ibu. Bisa langsung ditembak (disamarkan dengan perampokan), kecelakaan lalu lintas (seperti sabotase rem) atau diracun dengan racun yang disamarkan (akan tampak seperti serangan jantung).
Masih banyak informasi yang diberikan dalam iklan ini yang tak bisa ditulis semua. Mungkin ada pembaca yang juga menerima email ini. Kenyataan ini menunjukkan bahwa memang suatu perubahan sedang terjadi dalam masyarakat kita. Seolah budaya kekerasan sampai membunuh seseorang dianggap sebagai usaha pelayanan.
Budaya kekerasan itu tak hanya ditemui di IPDN Jatinangor. Budaya kekerasan itu telah merembet dan berada dekat di sekitar kita. Bukan mengada ada, merebaknya budaya kekerasan juga berkaitan dengan ketidak mampuan sistem hukum kita menyelesaikan kasus kasus kekerasan. Contohnya, kasus pembunuhan Marsinah aktivis perburuhan, kasus penculikan tokoh2 kritis, kasus pembunuhan Udin, pembunuhan Munir dan sebagainya. Setankah yang melakukan ? Akhir kata, pembaca sekalian. Waspadalah dan hindarilah terlibat masalah kekerasan. Rantai alat pembunuh itu atau jasa pembunuhan itu telah berkembang dekat dalam lingkungan kita. Cermatilah anak anak kita sekalian. Jangan sampai menjadi korban sia sia.
Ki Ageng Similikithi
(dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 8 Mei 2007)
Anak malang itu meninggal secara mengenaskan karena dikeroyok oleh empat siswa/siswi dari sekolah yang sama. Budaya kekerasan seolah telah di institusionalkan dan dilegitimasi dalam lembaga pendidikan.
Ada apa dengan lembaga lembaga pendidikan kita ? Mengapa lembaga pendidikan bisa menerima atau paling tidak membiarkan budaya kekerasan di sela sela kegiatan pendidikan. Moto asih asah dan asuh seolah telah digeser secara sadar atau tak sadar dengan pendekatan yang mengetengahkan penanaman disiplin secara keras bahkan dengan cara kekerasan. Di mana itu petunjuk ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tur wuri handayani ? Hanya tinggal retorika kah?
Lembaga lembaga pendidikan kini seolah tak lagi diasuh oleh para guru yang bijak, yang menanamkan rasa cinta kasih sesama. Tetapi di kuasai oleh para manusia jalang yang menyebarkan atau paling tidak membiarkan rasa kebencian di kalangan anak didik. Orang bisa bilang itu hanya oknum. Tetapi justru kejadian kejadian fatal itu jangan jangan hanya merupakan puncak gunung es yang tak nampak dari luar. Pendekatan kekerasan dengan segala manifestasi. Termasuk memperjual belikan bimbingan atau bahkan soal ujian.
Kita sebagai orang tua merasa terpukul dan mungkin kehilangan kepecayaan. Dimanakah tanggung jawab para guru, para pendidik ? Kekerasan ini berkembang di sekolah, di lembaga pendidikan, di depan mata para guru, para pendidik. Kita sudah bertahun tahun menyaksikan dengan sedih dan putus asa tawuran pelajar sekolah yang tak pernah berkesudahan.
Saya bukan ahli yang mempunyai legitimasi menganalisis masalah kekerasan ini. Bukankah di Indonesia, pertanyaan konyol normatif ini selalu diajukan untuk mengelak. Apakah anda ahli untuk bidang ini kok berani membahas kasus kekerasan tersebut ? Pertanyaan retorik ini sering muncul kalau kita mulai mempertanyakan masalah korupsi, penyimpangan pelayanan publik, ketidak transparanan sistem pelayanan di sektor publik. Bahkan mungkin juga jika kita membahas masalah cinta segitiga atau lebih yang melibatkan pejabat yang mendapat kepercayaan publik.
Sebagai orang tua yang mempunyai anak cucu yang memanfaatkan lembaga pendidikan sekolah dan sebagai warganegara saya mempunyai legitimasi untuk mempertanyakan masalah kekerasan kali ini. Mengapa itu terjadi dan berkembang di lembaga pendidikan ?
Yang membuat saya makin kawatir, jangan jangan kekerasan di lembaga lembaga pendidikan ini hanya merupakan cermin budaya kekerasan yang sedang berkembang subur dalam tata kehidupan masyarakat. Cermatilah pertemuan pertemuan akbar entah itu dalam rangka kampanye politik, acara keagamaan, protes massal dan lain lain, selalu sarat dengan pesan kebencian dan kekerasan. Kita juga tak jarang mendengar tawuran antar warga dalam skala kecil ataupun skala besar genoside dan pembersihan etnis.
Di mana itu filsafat Panca Sila ? Apakah hanya sekedar jadi alat politis untuk menyingkirkan kelompok lawan yang dicap sebagai anti Panca Sila ? Di mana kah ciri masyarakat agamis yang selalu kita banggakan ?
Kekhawatiran saya bukan tak beralasan sama sekali. Instrumen budaya kekerasan itu begitu dekat dengan kehidupan saya, mengintai setiap kesempatan jika kita lalai. Ini contoh yang nyata. Semalam saya menerima pesan email yang menawarkan jasa pembunuh bayaran. Bukan khayalan, bukan impian. Pesan email ini datang ke alamat email resmi di kantor saya. Inilah sebagian bunyinya,
- Kami menawarkan kepada anda sebuah jasa yang istimewa, yakni pembunuh bayaran.
- Mungkin bapak/ibu memiliki dendam terhadap seseorang atau pempunyai saingan bisnis yang ingin dilenyapkan secara singkat (kebanyakan klien kami adalah pengusaha). Maka kami siap untuk membantu bapak/ibu untuk melakukan pembunuhan ini. Kami melayani kota kota besar di Indonesia.
- Metoda pembunuhan terserah bapak/ibu. Bisa langsung ditembak (disamarkan dengan perampokan), kecelakaan lalu lintas (seperti sabotase rem) atau diracun dengan racun yang disamarkan (akan tampak seperti serangan jantung).
Masih banyak informasi yang diberikan dalam iklan ini yang tak bisa ditulis semua. Mungkin ada pembaca yang juga menerima email ini. Kenyataan ini menunjukkan bahwa memang suatu perubahan sedang terjadi dalam masyarakat kita. Seolah budaya kekerasan sampai membunuh seseorang dianggap sebagai usaha pelayanan.
Budaya kekerasan itu tak hanya ditemui di IPDN Jatinangor. Budaya kekerasan itu telah merembet dan berada dekat di sekitar kita. Bukan mengada ada, merebaknya budaya kekerasan juga berkaitan dengan ketidak mampuan sistem hukum kita menyelesaikan kasus kasus kekerasan. Contohnya, kasus pembunuhan Marsinah aktivis perburuhan, kasus penculikan tokoh2 kritis, kasus pembunuhan Udin, pembunuhan Munir dan sebagainya. Setankah yang melakukan ? Akhir kata, pembaca sekalian. Waspadalah dan hindarilah terlibat masalah kekerasan. Rantai alat pembunuh itu atau jasa pembunuhan itu telah berkembang dekat dalam lingkungan kita. Cermatilah anak anak kita sekalian. Jangan sampai menjadi korban sia sia.
Ki Ageng Similikithi
(dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 8 Mei 2007)
Tuesday, May 8, 2007
Pesan untuk gadis kecil
Kedua puisi ini saya rangkai kira kira enam tahun lalu, di tahun 2001. Saya rangkai setelah melihat potret jasad seorang gadis kecil di internet, yang dipenggal kepalanya dalam kerusuhan etnis di Sampit. Gadis kecil itu kira kira baru berumur 5 tahun.
Peristiwa yang diabadikan oleh gambar itu benar benar telah menusuk rasa kemanusiaan, mengotori peradaban manusia modern Homo Sapiens. Tidak ada kata kata yang sanggup menggambarkan kekejian dan kebiadaban itu, di republik yang konon menerima azas kemanusiaan dalam filsafat dasarnya.
Tak ada akal sehat manusia Homo Sapiens yang mampu merangkai kata untuk membenarkan kebiadaban itu. Tetapi berbagai tokoh panutan etnis dengan bangganya mengarang berbagai dalih yang membenarkan kebiadaban itu. Bahasa politik yang dikemas dengan kebohongan dan kepicikan, telah dengan sengaja menusuk rasa kemanusiaan yang paling dalam dalam budaya manusia beradab.
Para tokoh etnis dan politik sengaja menyebarkan kebohongan dan mengobarkan kebencian. Membenarkan kebiadaban dan kekerasan terjadi seolah korban yang mereka bunuh, bukan lagi spesies manusia Homo Sapiens. Tetapi siapakah sebenarnya yang pantas untuk dikatakan bukan spesies Homo Sapiens itu ?
Ketika saya mengutarakan keresahan saya, orang justru mempertanyakan legalitas saya. Di manakah akal sehat itu ? Yang seharusnya dihujat adalah mereka yang menggerakkan dan melakukan kebiadaban itu. Bukan yang mengungkapkan keresahan. Para pemimpin politik dan aparat, tak mampu berbuat tegas untuk mencegahnya. Inilah awal dari berpudarnya sebuah peradaban yang namanya Indonesia. Nusantara akan tenggelam di ufuk Barat.
Kedua puisi ini juga telah di muat di Kompas Cyber Media, 19 Februari 2007.
PESAN UNTUK GADIS KECIL
Gadis kecil gadis mungil
Matamu terpejam kelam, wajahmu beku
Engkau terserak di antara darah dan debu
Engkau diam membisu.
Gadis kecil gadis mungil, tubuhmu hancur terkoyak
Tanganmu lunglai lepas dari bahumu
Kepalamu terlempar pisah dari tubuhmu
Darahmu kering bercampur debu
Engkau tetap diam membisu, dan akan tetap diam membisu.
Seandainya engkau bisa cerita, walau hanya lewat impian
Ketakutan yang kau alami, kengerian yang kau hadapi
Kesakitan yang kau derita,
Suara-suara lantang yang menghujatmu
Engkaupun tetap tidak akan mengerti mengapa semuanya terjadi.
Engkau memang tidak akan pernah bisa bicara
Tidak akan pernah bisa mengerti
Tidak akan pernah bisa menjelaskan,
Mengapa nasib menerpamu
Terhempas oleh kebiadaban
Yang memang tidak pernah bisa dimengerti
Tidak pernah bisa dijelaskan dalam budaya manusia beradab
Mungkin hanya satu jawaban yang bisa kauberikan
Karena kau adalah pendatang.
Berbahagialah gadis kecil
Tertawalah bermainlah bersama temanmu
Bersama saudara dan orang tuamu di sana
Karena kau tidak sempat lagi
Menikmatinya di dunia ini
Bawalah kebahagiaan dan kedamaianmu
Terimalah dia di sisi MU, ya Tuhanku.
(Manila 2 Maret 2001)
NUSANTARA DI UFUK BARAT
Jika,
jeritan ngeri anak-anak manusia menjadi nyanyian kemenangan
rintihan pilu menjadi tumpuan kegagahan
merah percikan darah menjadi warna keindahan
kepala manusia menjadi lambang kepahlawanan
dan kebiadaban menjadi lambang kebudayaan.
Jika,
manusia-manusia tak berdosa tak berdaya,
terenggut jiwanya secara paksa
anak-anak kehilangan saudara dan orang tua
kehilangan anggota badan
hanya karena mereka manusia pendatang.
Jika,
bumi Nusantara tidak mungkin lagi untuk berpijak
tidak layak lagi untuk berlindung
tidak kuasa lagi memberikan keadilan
keamanan dan kedamaian bagi anak-anak bangsa.
Jika,
para cendekia kehilangan kepekaan peradaban
kecendekiawanan membelenggu kemanusiaan
menjadi sekedar kebanggaan dan kepongahan
membawa mereka jauh dari dunia nyata.
Jika,
para pemimpin hanya bernyanyi tentang kebenaran diri
bersenandung retorika indah ibarat impian
tidak lagi mampu berdiri di depan
menuju kehidupan menurut norma-norma peradaban kemanusiaan.
Inilah akhir perjalanan suatu bangsa
Bencana yang tidak akan lagi tertunda
Ufuk barat menyaput cakrawala
Kita menyongsong kehancuran
Menyambut datangnya kekalahan
Karena yang namanya Indonesia mungkin memang tidak pernah ada
Dalam hati kita
Dalam hati anak-anak manusia di Nusantara
Berpisahlah kita anak-anak bangsa
Berpisah jalan menuju peradaban menggapai kemanusiaan.
(Manila, 28 Februari 2001)
Peristiwa yang diabadikan oleh gambar itu benar benar telah menusuk rasa kemanusiaan, mengotori peradaban manusia modern Homo Sapiens. Tidak ada kata kata yang sanggup menggambarkan kekejian dan kebiadaban itu, di republik yang konon menerima azas kemanusiaan dalam filsafat dasarnya.
Tak ada akal sehat manusia Homo Sapiens yang mampu merangkai kata untuk membenarkan kebiadaban itu. Tetapi berbagai tokoh panutan etnis dengan bangganya mengarang berbagai dalih yang membenarkan kebiadaban itu. Bahasa politik yang dikemas dengan kebohongan dan kepicikan, telah dengan sengaja menusuk rasa kemanusiaan yang paling dalam dalam budaya manusia beradab.
Para tokoh etnis dan politik sengaja menyebarkan kebohongan dan mengobarkan kebencian. Membenarkan kebiadaban dan kekerasan terjadi seolah korban yang mereka bunuh, bukan lagi spesies manusia Homo Sapiens. Tetapi siapakah sebenarnya yang pantas untuk dikatakan bukan spesies Homo Sapiens itu ?
Ketika saya mengutarakan keresahan saya, orang justru mempertanyakan legalitas saya. Di manakah akal sehat itu ? Yang seharusnya dihujat adalah mereka yang menggerakkan dan melakukan kebiadaban itu. Bukan yang mengungkapkan keresahan. Para pemimpin politik dan aparat, tak mampu berbuat tegas untuk mencegahnya. Inilah awal dari berpudarnya sebuah peradaban yang namanya Indonesia. Nusantara akan tenggelam di ufuk Barat.
Kedua puisi ini juga telah di muat di Kompas Cyber Media, 19 Februari 2007.
PESAN UNTUK GADIS KECIL
Gadis kecil gadis mungil
Matamu terpejam kelam, wajahmu beku
Engkau terserak di antara darah dan debu
Engkau diam membisu.
Gadis kecil gadis mungil, tubuhmu hancur terkoyak
Tanganmu lunglai lepas dari bahumu
Kepalamu terlempar pisah dari tubuhmu
Darahmu kering bercampur debu
Engkau tetap diam membisu, dan akan tetap diam membisu.
Seandainya engkau bisa cerita, walau hanya lewat impian
Ketakutan yang kau alami, kengerian yang kau hadapi
Kesakitan yang kau derita,
Suara-suara lantang yang menghujatmu
Engkaupun tetap tidak akan mengerti mengapa semuanya terjadi.
Engkau memang tidak akan pernah bisa bicara
Tidak akan pernah bisa mengerti
Tidak akan pernah bisa menjelaskan,
Mengapa nasib menerpamu
Terhempas oleh kebiadaban
Yang memang tidak pernah bisa dimengerti
Tidak pernah bisa dijelaskan dalam budaya manusia beradab
Mungkin hanya satu jawaban yang bisa kauberikan
Karena kau adalah pendatang.
Berbahagialah gadis kecil
Tertawalah bermainlah bersama temanmu
Bersama saudara dan orang tuamu di sana
Karena kau tidak sempat lagi
Menikmatinya di dunia ini
Bawalah kebahagiaan dan kedamaianmu
Terimalah dia di sisi MU, ya Tuhanku.
(Manila 2 Maret 2001)
NUSANTARA DI UFUK BARAT
Jika,
jeritan ngeri anak-anak manusia menjadi nyanyian kemenangan
rintihan pilu menjadi tumpuan kegagahan
merah percikan darah menjadi warna keindahan
kepala manusia menjadi lambang kepahlawanan
dan kebiadaban menjadi lambang kebudayaan.
Jika,
manusia-manusia tak berdosa tak berdaya,
terenggut jiwanya secara paksa
anak-anak kehilangan saudara dan orang tua
kehilangan anggota badan
hanya karena mereka manusia pendatang.
Jika,
bumi Nusantara tidak mungkin lagi untuk berpijak
tidak layak lagi untuk berlindung
tidak kuasa lagi memberikan keadilan
keamanan dan kedamaian bagi anak-anak bangsa.
Jika,
para cendekia kehilangan kepekaan peradaban
kecendekiawanan membelenggu kemanusiaan
menjadi sekedar kebanggaan dan kepongahan
membawa mereka jauh dari dunia nyata.
Jika,
para pemimpin hanya bernyanyi tentang kebenaran diri
bersenandung retorika indah ibarat impian
tidak lagi mampu berdiri di depan
menuju kehidupan menurut norma-norma peradaban kemanusiaan.
Inilah akhir perjalanan suatu bangsa
Bencana yang tidak akan lagi tertunda
Ufuk barat menyaput cakrawala
Kita menyongsong kehancuran
Menyambut datangnya kekalahan
Karena yang namanya Indonesia mungkin memang tidak pernah ada
Dalam hati kita
Dalam hati anak-anak manusia di Nusantara
Berpisahlah kita anak-anak bangsa
Berpisah jalan menuju peradaban menggapai kemanusiaan.
(Manila, 28 Februari 2001)
Wednesday, May 2, 2007
Berlari hingga hilang pedih dan peri
Beberapa tulisan tentang pendidikan, sekolah ujian nasional telah mengingatkan masa masa masa saya menempuh pendidikan sekolah, Setiap orang pernah mengalami, tak ada yang istimewa. Namun saya ingin mengungkapkan pengalaman2 emosional yang larut di dalamnya. Guru dan orang tua selalu menanamkan bahwa belajar adalah berjuang, berlari dan berpacu untuk masa depan. Pacuan yang tak kenal lelah. Berpacu dengan semangat, dengan gairah, dengan kecerahan dan keindahan. A thing of beauty is a joy forever. Seburuk apapun fasilitas tempat untuk belajar itu.
Saya selalu ingat untaian kata dalam puisi Chairil Anwar, Aku. Tak hapal semuanya. Sebagian berbunyi seperti ini. “ Tak perlu sedu sedan itu. Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya yang terbuang. Biar peluru menembus kulitku. Aku tetap berlari. Berlari hingga hilang pedih peri.” Saya mengenal puisi ini di kelas dua SMP, di Taman Siswa Ambarawa, kota kecil yang saya cintai.
Binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang. Tak pernah paham maknanya. Di awal tahun enam puluhan itu, saya masih terbiasa memelihara dan menggembala binatang, entah sapi, entah biri biri, entah kuda. Yang paling tak jinakpun selalu setia pada saya. Tak ada satupun yang jalang. Tak ada yang terbuang. Binatang2 itu seperti teman setia di padang gembala yang senyap. Bagian dari lingkungan alam indah di sekitar saya. Yang memberikan semangat, kesejukan dan imaginasi impian masa depan.
Sulit untuk mengerti makna untaian kata dalam puisi itu. Saya telah berusaha keras, tetapi tetap samar samar pengertian saya. Hanya suatu ketika secara tak sengaja kesan datang, sewaktu mengikuti ujian ketangkasan badan. Waktu itu semua siswa dianjurkan ikut ujian ini, dengan berbagai tingkat kesulitan. Ujian dilakukan bersama dengan siswa sekolah lain di lapangan dekat stasiun kereta api. Sayang lapangan tersebut kini sudah banyak surut. Kami harus latihan beberapa minggu menghadapi uiian ini. Ujian berlangsung selama 3 hari. Hanya atletik saja yang diujikan.
Pada hari pertama saya harus ujian lompat tinggi, lompat jauh dan lari cepat 80 meter. Untuk lompat tinggi, loncatan harus 1.20 m untuk dapat lulus. Dalam latihan saya berhasil sekali dua kali. Atlet sungguhan biasanya sampai 1.80 m. Atlit RRC, Nee Che Chin, waktu itu mampu meloncat 2.25 m, di olimpiade Roma. Baru loncatan sampai 110 cm, saya gagal, walau mengulang sampai tiga kali. Bukan mencari alasan. Celana pendek saya begitu panjang (kombor). Celana drill itu begitu berat dan selalu menyangkut. Mangkel saya. Ayah saya selalu melarang saya pakai celana pendek yang agak ketat. Malu dan merasa kecil sekali saat itu, ingin rasanya saya lempar celana kombor itu.
Giliran lompat jauh. Saya nggak tahu berapa jauh loncatan saya. Tetapi di loncatan kedua benik celana lepas dan susahnya saya nggak pakai ikat pinggang. Ini lebih memalukan lagi. Teman saya meminjamkan peniti untuk mengikat kembali celana saya. Pada loncatan ketiga rasanya seperti jatuh tersuruk terjerembab di pasir. Harga diri saya terpuruk berat.
Pas lari cepat kami dipasang bertiga. Dengan semangat yang masih tersisa, saya ambil start dan berlari sprint secepat mungkin. Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih. Baru setengah jalan, peniti pejepit celana tadi lepas dan menusuk kulit perut saya. Rasanya sakit dan pedih sekali. Saya hanya berpikir ingin lari secepat mungkin menyelesaikan jarak yang tersisa. Batin saya berteriak “Berlari hingga hilang pedih dan peri. Aku bukan binatang jalang. Aku nggak mau terbuang”.
Rasanya jauh dan lama sekali. Saya mencapai finish terakhir. Waktu saya terjelek di antara kami bertiga. Jika tidak salah 12.5 detik. Sedangkan teman2 saya sebelas detik kurang. Saya merasa marah dan merasa kecil. Tetapi tak ada yang dapat saya lakukan. Hanya saya mengerti makna puisi tadi. Saya hanya bergumam, tak dapat sertifikat ketangkasan badan juga nggak apa. Saya genjot pelajaran lain, aljabar, ilmu ukur dan ilmu alam.
Di kemudian hari saya menyadari bahwa di sekolah ini saya mendapat bekal tak ternilai harganya. Saya dididik untuk percaya diri, untuk menghargai sesama, untuk menghargai perbedaan, untuk bangga mencintai profesi dan pekerjaan masing masing. Dan yang paling penting kami belajar mengenai nasionalisme. Ini yang memberikan bekal tak ternilai sewaktu saya berkarya di dunia global. Di salah satu acara reuni lima belas tahun lalu, kami sempat bertemu banyak teman. Ada yang insinyur, dokter, guru, pejabat, pedagang sapi dan lain lain. Hati saya bergetar ketika kami bersama menyanyi lagu perguruan Taman Siswa yang indah itu.
Di tahun ketiga saya lulus dengan rata rata nilai 8. Juga ujian nasional. Tak ada protes dan tak ada kontroversi berkepanjangan, walau semua tahu, salah satu soal ilmu ukur dalam ujian tersebut telah dibuat secara salah, sangat salah. Misi tercapai. Pacuan belum selesai. Perjalanan masih jauh.
Dengan bekal ijazah itu, saya pergi ke Solo. Datang dengan gairah, dengan semangat dan harapan anak muda. Saya belum pernah hidup di kota. Saya datang ke Solo dengan semangat tinggi. Veni, vidi, vici. Saya datang, melihat dan menang. Ini kata kata Romawi yang saya tahu dari pelajaran sejarah. Tetapi Solo yang cantik rupanya tak mau ramah sama saya. Tak ada satu sekolah negri pun yang mau menerima saya dengan berbagai alasan. Ijazah sayapun nggak pernah dilihat sewaktu mendaftar. Saya terpukul berat. Namun tak ada waktu untuk meratap.
Saya diterima di SMA St Josef, salah satu sekolah unggulan di Solo. Gedungnya baru dan megah sekali waktu itu. Angkatan saya adalah yang pertama memasuki sekolah itu. Saya merasa bangga sekali dalam upacara penerimaan. Selamat datang anak muda. Di sinilah kamu berpacu, disinilah kamu berjuang dan belajar. Kepala Sekolah, Bruder Bonifacio selalu menanamkan disiplin dengan ketat. Kadang kami harus berdiri di tengah lapangan, seorang diri atau satu kelas sekaligus jika melanggar disiplin itu.
Di sekolah ini saya mendapat bekal tak ternilai di samping mata pelajaran. Terutama disiplin dan rasa toleransi, entah agama entah etnis. Saya memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Alam. . Kami diajar oleh guru guru terbaik yang pernah saya jumpai. Terutama mata pelajaran kimia, pak Sutarso dan mata pelajaran fisika, pak Mudjono. Kami bersahabat erat tetapi kami bersaing ketat dalam belajar.
Di tahun 1968, saya lulus dengan gemilang. Mission accomplished. Nilai ujian saya rata rata 8.8, urutan kedua di antara sekolah sekolah di Solo. Uurutan pertama diraih oleh siswa Muhamad Munawar dri SMA Margoyudan. Ketiga oleh Hwie Swan (Susi Widjayanti) dari SMAWarga. Saat pengumuman ujian, tak ada hiruk pikuk naik motor keliling kota. Tak ada corat coret warna warni.
Saya bersama teman sekelas, Sunoko, makan bakmie di warung yang sangat sederhana di sebelah STM di Manahan. Nikmat sekali. Kami boncengan sepeda sehari suntuk mengelilingi kota Solo. Ingin mengucapkan selamat tinggal untuk kota yang cantik itu. Tak banyak waktu untuk hura hura. Pacuan belum selesai. Masih harus menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Kami mendaftar di empat universitas, UGM, ITB, UNDIP dan IPB. Setelah ujian ujian yang melelahkan, kami diterima di empat2nya. Kami berdua masuk di FK UGM, demikian juga Muhamad Munawar yang kemudian saya kenal dan berteman akrab di UGM.
Kini pacuan itu sudah lama berlalu. Sudah berlalu puluhan tahun lalu. Saya mempersiapkan masa masa pensiun saya, menikmati sisa perjalanan waktu. Dokter Sunoko berdomisili di Yogya, dia ahli bedah pembuluh darah yang tekun. Dr Muhamad Munawar di Jakarta, ahli jantung. Saya tak bisa mengatakan satu per satu teman di SMA dulu, beberapa teman akrab masih sering mendengar kabar beritanya. Daniel Budi Nursentono, teman belajar bersama di SMA memimpin salah satu perusahaan multinasional di Jakarta. Budi Andrianto, dokter, tetapi menjadi pengusaha yang berhasil, juga di Jakarta.
Akhirnya pembaca sekalian. Pesankanlah agar anak anak muda itu belajar dan berpacu dengan semangat dan gairah persahabatan. Berpacu berlari hingga hilang pedih peri, tanpa harus menjadi binatang jalang. Apalagi menjadi manusia jalang seperti koruptor yang pasti kelak akan terbuang. Dan yang penting lagi jangan keliru pilih masuk sekolah jalang seperti di Jatinangor itu. Katanya mencoba menanamkan disiplin dengan cara layaknya binatang jalang, siapa yang kuat siapa yang menang dan kalau perlu pakai uang.
Ki Ageng Similikithi (bs2751950@yahoo.com)
Dimuat di Kompas Cyber Community, 30 April 2007
Saya selalu ingat untaian kata dalam puisi Chairil Anwar, Aku. Tak hapal semuanya. Sebagian berbunyi seperti ini. “ Tak perlu sedu sedan itu. Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya yang terbuang. Biar peluru menembus kulitku. Aku tetap berlari. Berlari hingga hilang pedih peri.” Saya mengenal puisi ini di kelas dua SMP, di Taman Siswa Ambarawa, kota kecil yang saya cintai.
Binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang. Tak pernah paham maknanya. Di awal tahun enam puluhan itu, saya masih terbiasa memelihara dan menggembala binatang, entah sapi, entah biri biri, entah kuda. Yang paling tak jinakpun selalu setia pada saya. Tak ada satupun yang jalang. Tak ada yang terbuang. Binatang2 itu seperti teman setia di padang gembala yang senyap. Bagian dari lingkungan alam indah di sekitar saya. Yang memberikan semangat, kesejukan dan imaginasi impian masa depan.
Sulit untuk mengerti makna untaian kata dalam puisi itu. Saya telah berusaha keras, tetapi tetap samar samar pengertian saya. Hanya suatu ketika secara tak sengaja kesan datang, sewaktu mengikuti ujian ketangkasan badan. Waktu itu semua siswa dianjurkan ikut ujian ini, dengan berbagai tingkat kesulitan. Ujian dilakukan bersama dengan siswa sekolah lain di lapangan dekat stasiun kereta api. Sayang lapangan tersebut kini sudah banyak surut. Kami harus latihan beberapa minggu menghadapi uiian ini. Ujian berlangsung selama 3 hari. Hanya atletik saja yang diujikan.
Pada hari pertama saya harus ujian lompat tinggi, lompat jauh dan lari cepat 80 meter. Untuk lompat tinggi, loncatan harus 1.20 m untuk dapat lulus. Dalam latihan saya berhasil sekali dua kali. Atlet sungguhan biasanya sampai 1.80 m. Atlit RRC, Nee Che Chin, waktu itu mampu meloncat 2.25 m, di olimpiade Roma. Baru loncatan sampai 110 cm, saya gagal, walau mengulang sampai tiga kali. Bukan mencari alasan. Celana pendek saya begitu panjang (kombor). Celana drill itu begitu berat dan selalu menyangkut. Mangkel saya. Ayah saya selalu melarang saya pakai celana pendek yang agak ketat. Malu dan merasa kecil sekali saat itu, ingin rasanya saya lempar celana kombor itu.
Giliran lompat jauh. Saya nggak tahu berapa jauh loncatan saya. Tetapi di loncatan kedua benik celana lepas dan susahnya saya nggak pakai ikat pinggang. Ini lebih memalukan lagi. Teman saya meminjamkan peniti untuk mengikat kembali celana saya. Pada loncatan ketiga rasanya seperti jatuh tersuruk terjerembab di pasir. Harga diri saya terpuruk berat.
Pas lari cepat kami dipasang bertiga. Dengan semangat yang masih tersisa, saya ambil start dan berlari sprint secepat mungkin. Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih. Baru setengah jalan, peniti pejepit celana tadi lepas dan menusuk kulit perut saya. Rasanya sakit dan pedih sekali. Saya hanya berpikir ingin lari secepat mungkin menyelesaikan jarak yang tersisa. Batin saya berteriak “Berlari hingga hilang pedih dan peri. Aku bukan binatang jalang. Aku nggak mau terbuang”.
Rasanya jauh dan lama sekali. Saya mencapai finish terakhir. Waktu saya terjelek di antara kami bertiga. Jika tidak salah 12.5 detik. Sedangkan teman2 saya sebelas detik kurang. Saya merasa marah dan merasa kecil. Tetapi tak ada yang dapat saya lakukan. Hanya saya mengerti makna puisi tadi. Saya hanya bergumam, tak dapat sertifikat ketangkasan badan juga nggak apa. Saya genjot pelajaran lain, aljabar, ilmu ukur dan ilmu alam.
Di kemudian hari saya menyadari bahwa di sekolah ini saya mendapat bekal tak ternilai harganya. Saya dididik untuk percaya diri, untuk menghargai sesama, untuk menghargai perbedaan, untuk bangga mencintai profesi dan pekerjaan masing masing. Dan yang paling penting kami belajar mengenai nasionalisme. Ini yang memberikan bekal tak ternilai sewaktu saya berkarya di dunia global. Di salah satu acara reuni lima belas tahun lalu, kami sempat bertemu banyak teman. Ada yang insinyur, dokter, guru, pejabat, pedagang sapi dan lain lain. Hati saya bergetar ketika kami bersama menyanyi lagu perguruan Taman Siswa yang indah itu.
Di tahun ketiga saya lulus dengan rata rata nilai 8. Juga ujian nasional. Tak ada protes dan tak ada kontroversi berkepanjangan, walau semua tahu, salah satu soal ilmu ukur dalam ujian tersebut telah dibuat secara salah, sangat salah. Misi tercapai. Pacuan belum selesai. Perjalanan masih jauh.
Dengan bekal ijazah itu, saya pergi ke Solo. Datang dengan gairah, dengan semangat dan harapan anak muda. Saya belum pernah hidup di kota. Saya datang ke Solo dengan semangat tinggi. Veni, vidi, vici. Saya datang, melihat dan menang. Ini kata kata Romawi yang saya tahu dari pelajaran sejarah. Tetapi Solo yang cantik rupanya tak mau ramah sama saya. Tak ada satu sekolah negri pun yang mau menerima saya dengan berbagai alasan. Ijazah sayapun nggak pernah dilihat sewaktu mendaftar. Saya terpukul berat. Namun tak ada waktu untuk meratap.
Saya diterima di SMA St Josef, salah satu sekolah unggulan di Solo. Gedungnya baru dan megah sekali waktu itu. Angkatan saya adalah yang pertama memasuki sekolah itu. Saya merasa bangga sekali dalam upacara penerimaan. Selamat datang anak muda. Di sinilah kamu berpacu, disinilah kamu berjuang dan belajar. Kepala Sekolah, Bruder Bonifacio selalu menanamkan disiplin dengan ketat. Kadang kami harus berdiri di tengah lapangan, seorang diri atau satu kelas sekaligus jika melanggar disiplin itu.
Di sekolah ini saya mendapat bekal tak ternilai di samping mata pelajaran. Terutama disiplin dan rasa toleransi, entah agama entah etnis. Saya memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Alam. . Kami diajar oleh guru guru terbaik yang pernah saya jumpai. Terutama mata pelajaran kimia, pak Sutarso dan mata pelajaran fisika, pak Mudjono. Kami bersahabat erat tetapi kami bersaing ketat dalam belajar.
Di tahun 1968, saya lulus dengan gemilang. Mission accomplished. Nilai ujian saya rata rata 8.8, urutan kedua di antara sekolah sekolah di Solo. Uurutan pertama diraih oleh siswa Muhamad Munawar dri SMA Margoyudan. Ketiga oleh Hwie Swan (Susi Widjayanti) dari SMAWarga. Saat pengumuman ujian, tak ada hiruk pikuk naik motor keliling kota. Tak ada corat coret warna warni.
Saya bersama teman sekelas, Sunoko, makan bakmie di warung yang sangat sederhana di sebelah STM di Manahan. Nikmat sekali. Kami boncengan sepeda sehari suntuk mengelilingi kota Solo. Ingin mengucapkan selamat tinggal untuk kota yang cantik itu. Tak banyak waktu untuk hura hura. Pacuan belum selesai. Masih harus menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Kami mendaftar di empat universitas, UGM, ITB, UNDIP dan IPB. Setelah ujian ujian yang melelahkan, kami diterima di empat2nya. Kami berdua masuk di FK UGM, demikian juga Muhamad Munawar yang kemudian saya kenal dan berteman akrab di UGM.
Kini pacuan itu sudah lama berlalu. Sudah berlalu puluhan tahun lalu. Saya mempersiapkan masa masa pensiun saya, menikmati sisa perjalanan waktu. Dokter Sunoko berdomisili di Yogya, dia ahli bedah pembuluh darah yang tekun. Dr Muhamad Munawar di Jakarta, ahli jantung. Saya tak bisa mengatakan satu per satu teman di SMA dulu, beberapa teman akrab masih sering mendengar kabar beritanya. Daniel Budi Nursentono, teman belajar bersama di SMA memimpin salah satu perusahaan multinasional di Jakarta. Budi Andrianto, dokter, tetapi menjadi pengusaha yang berhasil, juga di Jakarta.
Akhirnya pembaca sekalian. Pesankanlah agar anak anak muda itu belajar dan berpacu dengan semangat dan gairah persahabatan. Berpacu berlari hingga hilang pedih peri, tanpa harus menjadi binatang jalang. Apalagi menjadi manusia jalang seperti koruptor yang pasti kelak akan terbuang. Dan yang penting lagi jangan keliru pilih masuk sekolah jalang seperti di Jatinangor itu. Katanya mencoba menanamkan disiplin dengan cara layaknya binatang jalang, siapa yang kuat siapa yang menang dan kalau perlu pakai uang.
Ki Ageng Similikithi (bs2751950@yahoo.com)
Dimuat di Kompas Cyber Community, 30 April 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)