Sunday, November 25, 2007

Garin Nugroho - Sang Pendekar

Lama saya mengenal namanya. Mengagumi pikiran pikirannya. Karyanya kondang tak hanya di Nusantara. Karya karya filmnya menembus batas negara, membawa pesan ke dunia luar. Potret kehidupan, pemikiran dan budaya anak anak manusia Nusantara. Tak terencana saya bertemu langsung dan bertukar pikiran dengan sutradara kondang Indonesia, Garin Nugoho. Bertemu secara kebetulan dalam perjalanan Singapura ke Jakarta. Dia dalam perjalanan pulang dari Australia

Saya seolah mengenal wajahnya, ketika pria setengah baya itu duduk di kursi di samping saya di bandara Changi. “Apakah anda Garin Nugroho?”” . “”Ya benar, saya Garin Nugroho” jawabnya ramah. Kami kemudian terlibat pembicaraan akrab selama kira kira sejam. Bicara mengenai berbagai hal, karya film, politik, kebijakan publik, keluarga dan anak anak. Beda usia kami lebih sepuluh tahun, namun tak menghalangi pembicaraan yang akrab.

Ternyata dia SMAnya dulu Loyola Semarang, dan saya di St. Josef Solo. Setiap kali bertemu dengan mantan murid SMA de Brito di Yogya, St. Josef di Solo atau Loyola di Semarang, saya selalu terlibat pembicaraan yang mengasyikkan akan masa masa SMA dulu. Dengan Garin saya tak bicara mengenai kehidupan SMA. Banyak hal lain yang menarik dibicarakan dengan dia.

Saya mengagumi karya karya filmya yang menggambarkan potret kehidupan nyata dan budaya di Indonesia. Filmya terakhir Opera Jawa tengah diputar di London. Film ini menceritakan kehidupan yang terwarnai konflik. Mulai dari permasalahan cinta, hingga masalah sosial, politik, dan perekonomian dimana rakyat kecil selalu menjadi korban (http://id.wikipedia.org/wiki/Opera_Jawa). Karya film ini telah mendapat penghargaan dalam Singapore International Film Festival 2007.

Karya filmya selalu penuh pesan. Saya sangat menyukai alur cerita film “Aku Ingin Menciummu Sekali Saja”, produksi tahun 2002. Film ini antara lain menceritakan tentang seorang remaja Papua, Arnold (15 Tahun), yang bertemu dengan seorang wanita di sebuah pelabuhan dan terobsesi untuk mencium wanita tersebut. Membaca cerita ini membawa saya teringat akan fantasi saya akan Bu Guru Noenoek, lebih lima puluh tahun lalu (http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=25303§ion=92).

Saya lega ketika sempat mengemukakan uneg uneg saya, mengapa film film Indonesia sering memberikan peran tokoh dengan karakter jelek dari Indonesia, sedangkan sang pembela kebenaran atau tokoh dengan karakter bagus selalu dari pihak asing atau tokoh asing ? Lihatlah cerita film Laki Laki dan Mesiu. Tokoh asing digambarkan sebagai pahlawan pemberantas narkoba, sedangkan jaringannya terdiri dari tokoh2 yang digambarkan dari Indonesia. Ini tak baik untuk memupuk rasa percaya diri anak anak muda. Di Amerika pun mereka membuat karya2 imaginatif film action seperti Rambo, hanya seledar untuk memupuk rasa percaya diri anak anak muda sesudah mereka kalah perang di Viet Nam.

Garin membalas lugas kalau dirinya tak pernah memproduksi karya karya film seperti itu. Jika anda anda sering mengeluhkan alur cerita cerita sinetron kita, tontonlah film Garin. Pasti akan merasakan nuansa yang lain. Nuansa angina kehidupan Nusantara. Lihatlah karya karyanya yang lain, Bulan Tertusuk Ilalang, Daun Di Atas Bantal, dan masih banyak yang lain. Karya karyanya penuh pesan dan menggambarkan kehidupan. Karya karya Garin memang menggambarkan realita budaya dan kehidupan anak anak manusia di Nusantara. Karya karya filmya telah banyak mendapatkan penghargaan internasional. Sayang kita di Indonesia sering mengecilkan karya karya orang sendiri.

Dalam kehidupan politik, Garin juga banyak berperan dalam menghembuskan kesejukan dalam kampanye pemilihan di Indonesia lewat pesan pesan massa yang dibuat dan disebarluaskannya. Dia dekat dengan tokoh elit politik papan atas dan punya banyak kesempatan menyampaikan keprihatinan akan hiruk pikuk dunia politik di Indonesia.

Saya merasa sehaluan dengannya ketika bicara mengenai kebijakan sektor publik. Banyak kecenderungan semua kebijakan hanya dilihat untung rugi ekonomi secara langsung tanpa memperhitungkan keuntungan jangka panjangnya. Entah itu di bidang penyiaran dan informasi publik, pendidikan, ruang ruang publik yang selalu dikomersialkan. Keprihatinannya akan kehidupan politik dan sosial di Indonesia, adalah keprihatinan murni anak bangsa. Tak terkontaminasi ambisi kekuasaan dan uang.

Garin cerita kalau putri pertamanya kuliah di Australia, putra kedua di Jerman, ketiga di Indonesia. Dan dia masih punya anak kecil umur empat tahun kalau nggak salah. Tak banyak sempat cerita tentang keluarga.

Banyak tokoh di Indonesia terkenal karena mitos dan popularitas. Tetapi Garin Nugroho kondang karena karya karyanya. Karya karya yang menggambarkan dan membisikkan kehidupan nyata sekitar kita. Tak berlebihan jika dia adalah pendekar Nusantara.
Selamat berkarya Bung Garin.

Ki Ageng Similikithi

Wednesday, November 21, 2007

Gelar

Saya menulis tulisan ini dalam perjalanan Manila – Jakarta, dengan Singapore Airlines. Transit tiga jam di Singapura. Ada pertemuan di Jakarta sejak dua hari lalu. Tak mungkin mengikuti sejak awal karena masih banyak pekerjaan di kantor. Sebelum berangkat tadi saya mengisi formulir pendaftaran suatu konperensi ilmiah di tahun 2008. Setelah nama, ada isian untuk mencantumkan gelar, professor, Dr atau Mr. Isian biasa untuk forum forum ilmiah di manapun.

Ingatan saya kemudian melayang ke penggunaan gelar. Apapun gelar itu, apakah akademis maupun non akademis, di kalangan masyarakat umum, banyak orang beranggapan bahwa pencantuman gelar akan memberikan nilai lebih bagi yang menyandang. Entah itu tingkat kepercayaan masyarakat, popularitas, rasa percaya diri dan lain sebagainya. Sah sah saja orang punya harapan dan persepsi masing masing asalkan tidak merugikan atau menipu orang lain.

Saya ingat lebih tiga puluh tahun lalu, seorang teman sekelas saya, begitu lulus dokter muda dan berhak menyandang gelar Drs. Med, dia langsung mencetak kartu nama. Setiap berkenalan dengan orang tua gadis yang diapeli, tak lupa dia memberikan kartu namanya. Saat dia ngapeli seorang gadis di Solo, ibu si gadis itu katanya sangat gembira melihat kartu namanya. Calon menantu bergelar doktorandus medicinae. Teman saya tadi orangnya kalem, tak banyak bicara, tak suka sombong. Kartu nama itu bukanlah lambang kesombongan. Tetapi hanyalah refleksi jati diri agar tambah mantap cari pacar. Lebih dari itu,mungkin sekedar alat promosi cari pasangan hidup. Waktu itu saya berpikir, cari pacar kok pakai modal kartu nama. Seperti detailing obat saja.

Dalam majalah majalah umum sering kita lihat seorang tokoh para normal, peramal nasib, atau yang lain mencantumkan gelar Prof. Suatu saat saya sempat bertanya ke salah satu dari mereka mengenai gelar itu. Katanya gelar itu bukanlah gelar akademis Professor. Tetapi Professional, walaupun peramal atau para normal, toh itu juga profesi. Sah sah saja asalkan tak melanggar hukum dan merugikan orang banyak. Seorang professor akademik pun kadang kadang juga suka meramal nasib. Malah dalam beberapa kasus, susah membedakan antara professor ilmuwan dan tukang ramal. Apa salahnya ?

Sering orang tidak dipanggil namanya langsung. Tetapi didahului dengan profesi didepan namanya. Pak/Bu Guru. Di Malaysia jadi Cikgu (Encik Guru). Pak/Bu Dokter, Pak Camat, pak lurah, pak carik. Ki Dalang Mantingan, Ki Dalang Nartosabdo. Dalang memang profesi yang disegani dalam masyarakat Jawa, oleh karena tidak semua orang bisa jadi dalang. Profesinya mulia karena menghibur orang dengan cerita wayangnya. Hanya dalam jaman orde baru, istilah dalang dipakai dalam konotasi negatip. Sebagai pengganti actor intelektual. Yang mendalangi kerusuhan, keonaran atau gerakan subversi.

Yang menjadi masalah kalau pencantuman gelar itu dipakai untuk menipu atau merugikan orang lain. Di tahun tujuh puluhan, ada orang yang mencantumkan gelar PHD dalam iklan di surat kabar. Dia membuka universitas baru dan menerima pendaftaran mahasiswa. Ternyata universitas itu fiktif semata. Pada waktu di pengadilan dia merasa tidak memasang gelar palsu. PHD artinya Ponakan Haji Djamaludin katanya. Maaf saya tidak bermaksud melecehkan Bapak/Ibu Djamaludin. Ini berita dalam surat kabar. Seandainya dia mencantumkan gelar PHD, tetapi nggak menipu, nggak ada orang yang memusingkan. Mau ponakan haji Djamaludin mau tidak siapa mau urusan.

Di masa lalu gelar bangsawan selalu digandrungi banyak orang. Entah itu raden mas, raden rara, raden panji. Jika nggak salah raden mas (RM) atau raden rara (RR) sebenarnya hanya boleh dipakai untuk putra putri raja. Raden panji untuk cucu raja. Ingat cerita roman antara Panji Semirang dan Galuh Candrakirana dari Kediri dan Singosari. Jika turunan ningrat biasa hanya ditulis Raden, disingkat R. Saya masih ingat sewaktu SMP, ayah teman putri saya, namanya Raden Sudjiwo. Papan nama di depan rumahnya tertulis RS Djiwo. Sewaktu kami main ke rumahnya salah seorang teman saya yang lain, Ripno, membaca papan nama itu keras keras "rumah sakit jiwa". Pak Djiwo ternyata sedang membaca koran diberanda samping, dan pasti mendengar suara teman saya tadi. Kami nggak berani lagi datang ke rumahnya.

Di Malaysia, tokoh2 masyarakat yang dianggap berjasa sering diberi gelar kehormatan oleh Sultan. Seperti kebiasaan di Inggris. Gelar ini bisa Datuk, bisa Tan Sri. Saya nggak tahu bedanya. Kebiasaan ini juga sering kita lihat di keraton Yogya, Solo atau Mangkunegaran, yang memberikan gelar kepada tokoh masyarakat KRT (Kanjeng Raden Tumenggung).

Saya nggak tahu persis asal mula gelar Ki Ageng. Dalam sejarah Jawa, biasanya gelar Ki Ageng dipakai untuk pemimpin daerah otonom (perdikan) di bawah kerajaan. Dalam legenda Jawa yang terkenal adalah Ki Ageng Pemanahan yang menurunkan raja raja di Mataram. Konon Ki Ageng Pemanahan punya sahabat bernama Ki Penjawi. Suatu saat Ki Penjawi dalam mimpinya mendapat wangsit bahwa jika dia minum air kelapa muda dari pohon di dekat rumahnya, kelak anak cucunya akan menjadi raja raja di Jawa.

Dia kemudian mengambil kelapa tadi dan di taruh di meja. Oleh karena belum dahaga benar, dia pesan ke Nyi Penjawi kalau air kelapa muda itu akan diminum nanti siang, jangan sampai diminum. Dia pergi sebentar berjalan jalan supaya haus, agar bisa minum air kelapa muda itu sekaligus. Pas dia pergi Ki Ageng Pemanahan, sahabatnya datang bertamu. Ada kelapa muda di meja, siapa punya Nyi ? Nyi Penjawi lupa pesan suaminya. Air kelapa muda itu diminum habis oleh Ki Ageng Pemanahan.

Betapa kecewa Ki Penjawi sewaktu datang melihat air kelapa muda itu telah habis. Dia hanya berkata kepada sahabatnya " Ki anak cucumu akan menjadi raja raja di Jawa". Konon kemudian raja raja Mataram selalu memberi status tanah perdikan (daerah otonom) kepada anak cucu Ki Penjawi. Selang beberapa generasi kemudian, salah satu kepala daerah perdikan di selatan Yogya adalah Ki Ageng Mangir. Tak jelas apakah dia juga keturunan Ki Penjawi. Juga tak jelas apakah yang ini, sekedar legenda atau kisah nyata di abad ke enam belas. Kisah tragis yang mungkin tak pernah terungkap.

Ki Ageng Mangir dipercaya mempunyai kesaktian lebih oleh karena mempunyai tombak keramat. Dia dicap sebagai pembelot oleh karena tak pernah mau menghadap ke keraton. Suatu saat Sultan menyuruh salah satu putrinya yang cantik untuk menjadi penari keliling (ledhek) ke daerah Mangir. Ki Ageng Mangir melihat ledhek canyik itu akhirnya jatuh cinta dan mengawininya. Ki Ageng Mangir begitu mencintai dan menyayangi istrinya yang sebenarnya adalah putri keraton Mataram. Sewaktu putri hamil muda, baru mengaku kalau sesungguhnya dia adalah putri dari Mataram. Begitu cintanya kepada istrinya, Ki Ageng Mangir akhirnya luluh dan ingin menghadap dan mohon maaf ke keraton. Suatu hari Ki Ageng Mangir dan istrinya menghadap ke keraton. Pada saat dia bersujud mencium kaki raja Mataram, kepalanya dibenturkan ke kursi singgasana oleh Sultan dan meninggal seketika. Saya selalu mengagumi Ki Ageng Mangir, demi cintanya ke istri dia mengorbankan jiwanya. Dia mengorbankan ambisi pribadi membelot dari Mataram. Kisah cinta dan pengkhiatan yang berakhir tragis. Kerajaan kerajaan di Jawa selalu diwarnai kisah pengkhianatan dan perselisihan keluarga semenjak jaman Kediri dan Singasari. Terbawa sampai masa kini, pada saat pergantian kekuasaan. Hanya penyelesaiannya sekarang lebih halus.

Sewaktu saya masih kecil, mungkin kelas dua SR, kakek saya selalu bercerita tentang Ki Ageng Singayuda. Beliau adalah moyangnya entah berapa generasi sebelumnya. Saya pernah mengunjungi makamnya. Dia mengasingkan ke daerah pelosok karena perpecahan dan perselisihan di Surakarta. Konon dia adalah salah satu pengikut Raden Mas Said melawan Belanda, dan yang kemudian bergelar Mangkunegoro I.

Ki Ageng yang saya pakai tak berarti apa apa. Hanya kebetulan. Tak ada pengakuan, tak ada akreditasi. Tak ada otonomi. Mau nulis ke KOKI cerita pribadi, ya masih harus ada ijin dari Nyi. Apalagi mau ballroom. Sewaktu masih muda, jika menghadapi masalah saya selalu berpikir 'everything is under control'. Sesudah tua ini, saya mengatakan 'everything is under control. But not by me". Tetapi jelek jelek gelar Ki Ageng menambah PD, walau gelar karbitan. Sering terima email, bahkan minta nasehat seolah saya tokoh spiritual beken.

Gelar saya yang resmi Doctor medicinae (Dr) di tahun 1975, Doctor Philosophiae (PhD) di tahun 1983 dari UK. Tetapi saya jarang menulis gelar2 tersebut, kecuali gelar Dr di kertas resep sewaktu masih praktek dulu di akhir tahun tujuh puluhan. Saya sekarang banyak bergerak diluar bidang dari gelar gelar tersebut. Nggak enak mau selalu mencantumkannya.
Salam

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di kolom kita Kompas Cyber Media, 22 November 2007

Saturday, November 17, 2007

Pemilu yang sejuk dan damai

Salam dari Geneva yang dingin.

Genderang pemilihan, entah itu PEMILU (pemilihan umum) atau PILKADA (pemilihan kepala daerah), sudah berdentang di tanah air.. Bukan genderang perang. Pemilu atau Pilkada itu sama sekali bukan perang, walaupun kadang gelora kampanyenya seperti seolah olah mau perang. Sentimen (mood) pemilihan ada di mana mana. Genderang pemilihan membahana bahkan di tingkat propinsi dan kabupaten. Suasana agak sedikit memanas. Ada yang bilang ini pesta pora demokrasi. Bagi saya sama sekali bukan pesta pora. Rasa ketar ketir setiap kali ketemu rombongan kampanye di jalan raya.

Para tokoh dan politisi yang berambisi terpilih nampak siap berlaga. Masyarakat seolah disibukkan atau terpaksa larut secara emosional dalam kegiatan kampanye, baik yang secara aktif menikmati hiruk pikut itu, atau bahkan yang ketar ketir terkena imbas di jalan raya. Semua terlibat baik secara aktif atau pasif dalam hiruk pikuk kampanye. Katakanlah itu pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, DPR, bahkan lurah. Hanya pemilihan ketua RT yang sepi dan senyap, tak ada gelora kampanye. Orang jadi ketua RT karena semangat sukarela dan pengorbanan. Tak ada kekuasaan tak ada otoritas yang bisa dibelokkan untuk kepentingan pribadi. Jarang ketua RT terlibat dalam penggelapan harta negara.

Banyak terjadi perubahan perlaku para tokoh dan pimpinan politik. Perilaku untuk memikat pemilih. Yang tadinya suka dugem, untuk jaim (jaga image) mulai banyak ikut pengajian, diskusi kelompok di masyarakat, atau bahkan tirakat. Jika memungkinkan semua diskusi kelompon dan seminar diikuti, mulai dari perdamaian dunia, terorisme, pelecehan seksual, hak azasi manusia, good governance. Sebagian ada yang kemudian mendekatkan diri dengan tokoh tokoh para normal untuk sekedar minta doa restu, berkah sampai ke dukungan supranatural. Mantan Gubernur Jakarta nampak sangat akrab berfoto dengan Mbah Maridjan, untuk meluruskan jalan ke RI 1. Mbah Maridjan urusannya sebenarnya hanya mengamati gunung Merapi, menandingi para pakar gunung api dari Lembaga Geologi di tingkat propinsi dan nasional. Tetapi karena ada demand spiritual dari dunia politik dan selebritis, ya mau sekedar turun gunung memenuhi demand budaya pop politik masa kini. Saling menguntungkan.

Lokasi lokasi untuk nyepi tidak lagi sepi. Banyak tokoh yang tiba tiba senang nyepi. Bisa ke Parangtritis untuk ngalap berkah Nyai Loro Kidul. Nyai Loro Kidul juga senang disambangi tokoh2 ini. Betapa sepinya hidup di bawah laut sendirian. Kalau ada calon yang datang menyambangi apa salahnya. Peri pun juga perlu hiburan. Dunia memang berubah. Nyai Loro Kidul juga kadang kala suka dugem, apa lagi sama calon Gubernur atau Bupati. Gunung yang kesohor untuk nyepi juga makin banyak dikunjungi, Gunung Kawi, Gunung Kendalisodo, Gunung Srandil dan lain lain. Namun jangan lupa, gunung2 ini khasiatnya beda beda untuk nyepi. Kalau mau kaya nyepilah ke gunung Kawi. Kalau mau cari WIL atau PIL, nyepilah ke gurung Srandil. Kalau mau naik pangkat nyepilah ke Gunung Kendalisodo. Kalau mau menang pemilihan, datanglah ke pantai Parangtritis.
Jangan sampai nyepi di tempat yang salah. Penginnya cari sebanyak mungkin pendukung, salah salah bisa dapat WIL (wanita idaman lain) atau PIL (pria idaman lain). Di Indonesia punya WIL atau PIL adalah kontra indikasi untuk terpilih. Hanya presiden Clinton yang bisa menang PEMILU sekaligus dapat WIL Monica Lewinski. Jangan sampai ketahuan kalau punya WIL atau PIL, kalau mau menang.

Buat orang awam seperti saya, datangnya masa kampanye Pemilu kadang terasa seperti datangnya bencana yang terencana. Jalanan macet, kadang harus menunggu berjam jam sampai barisan kampanye lewat. Masih untung kalau mobil tak digores gores. Tetapi jelas mobil akan di gebrak gebrak jika ada barisan kampanye lewat.

Pemilihan di tingkat manapun selalu menebarkan suasana hingar bingar, tak nyaman dan tak aman untuk kalangan awan. Kapankan para pimpinan partai politik dan organisasi massa ini mampu menciptakan suasana sejuk dan damai dalam pemilihan ? Tidak kah mereka punya kamus kata kata sejuk, kata kata damai dengan toleransi ? Membakar massa untuk berperilaku keras dan sok heroik bisa dilakukan siapa saja. Jika kemampuannya hanya mampu membakar massa, tetapi tak mampu meciptakan kesejukan dan tak mampu menyejahterakan masyarakat, bukanlah karakter pemimpin yang bijak.

Sebagai orang awam saya tak banyak bisa menyumbang bagaimana menciptakan suasana pemilu yang damai dan sejuk. Tetapi karena saya ada minat perdukunan dan perintelan, saya mencoba menyumbangkan sesuatu. Saya berusaha menggelar satu operasi sandi melincinkan pemilihan. Saya namakan dengan kode sandi operasi PILKADA. Operasi khusus pemilihan damai dan sejuk. Kombinasi operasi dukun dan intel ini akan melibatkan berbagai unit intelijen dari badan badan terkait di tingkat nasional, KopKamtibus, Kasipidus, Balibangopsus, Baopsusintel, Polkamsus. Saya juga nggak dhong arti singkatan singkatan ini. Yang saya tahu hanyasingkatan TONANGKIMA (Peleton Angkutan Kompi Lima) di dekat kraton Yogya , DANCUKPELI (komandan pucuk peluru kendali) di Surabaya. Tetapi badan badan tersebut belum saatnya masuk dalam koordinasi intelijen operasi ini.

Saya akan menggelar operasi sandi untuk membersihkan mimpi yang tak rasional, mimpi pengin jadi presiden, atau jadi gubernur. Kalau mau mimpi, mimpilah jadi ketua RT. Banyak anak kecil suka diberi pesan agar bermimpi jadi presiden atau gubernur. Ini bisa merusak stabilitas nasional. Maka target operasi saya akan saya persempit ke guru guru TK. Sebagian besar dari mereka adalah figur2 lembut, cantik dan menarik. Saya selalu mengagumi guru TK sejak masa kanak kanak. Memandangpun orang bisa terbawa hanyut. Tetapi karena saya berjiwa INTEL, rasa pribadi ini saya redam. Ini prinsip, titik. Tetapi jika ibu ibu guru ini ngajari anak anak TK jadi presiden atau gubernur, ini bisa membahayakan stabilitas nasional. Sebagai abdi negara (bukan abdi dalem), saya harus bertindak decisive.

Ada dua strategi dalam operasi sandhi ini. Pertama dengan memonitor mimpi anggota masyarakat. Para tokoh spiritual atau dukun yang kampiun akan saya kumpulkan untuk mengembangkan alat khusus yang bisa memonitor mimpi seseorang di masyarakat. Karena tingkat kesulitan spiritualnya tinggi, mungkin para dukun ini akan minta kenduri dengan menyembelih kambing dan sapi sampai empat puluh ekor. Ini terlalu mahal dan boros. Kalau syarat motong ayam 7 ekor sih boleh. Kalau kambing atau sapi sampai empat puluh, payah. Kalau mereka sekedar pengin sate atau gulai kambing, bisa saya traktir.

Strategi kedua adalah memonitor materi yang diajarkan oleh ibu ibu guru TK ini. Jangan jangan disisipkan pesan tersamar agar bercita cita jadi presiden atau gubernur. JIka ada murid TK yang diberitahu ibunya agar kelak jadi presiden atau gubernur, ibu ini akan saya litsus. Litsus itu kepanjangannya adalah penelitian khusus di jaman Orba. Rencana operasi sandi ini siap digelar dan dikoordinasi lintas sektoral.

Namun sebelum digelar saya merenung, tidakkah para pemimpin partai dan kelompok kelompok politik ini punya strategi alternatif untuk menciptakan suasana pemilu yang sejuk dan damai. Mungkin dengan melihat rencana operasi sandhi ini bisa mendorong mereka untuk mencari alternatif alternatif yang lebih rasional. Ketakutan saya kalau mereka malah melaksanakan strategi konyol yang saya uraikan di sini. Jamane jaman edan.

Salam damai Ki Ageng Similikithi

Saturday, November 10, 2007

Khayalan dan cita cita masa kecil

Saya menulis cerita ini dalam perjalanan Manila Amsterdam. Dengan maskapai KLM. Pesawat tak begitu penuh. Langit cerah membiru di luar. Terbang melintas di atas awan. Kota Manila mendung pagi tadi. Tetapi begitu pesawat menembus awan, langit begitu cerah di atas. Badan masih terasa letih ok kurang tidur semalam. Di bandara Aquino sempat tertidur sejenak waktu massage di lounge. Lingkungan cepat berganti, seminggu yang lalu sore2 begini masih bisa menikmati keindahan sungai Tonle Sap di Phnom Penh.

Pukul 300 sore waktu Manila. Tak bisa tidur di pesawat. Hamparan awan putih sebatas cakrawala. Ingatan saya melayang lebih lima puluh tahun lalu. Sebelum masuk sekolah dasar di tahun lima puluhan. Belum punya banyak teman ok pergaulan masih terbatas. Hanya dengan teman tetangga di sebelah timur kebun kami. Tak pernah bermain melewati jalan raya. Itulah demarkasi tak tertulis dunia pergaulan saya waktu itu. Awal pengembaraan dunia. Ada dua teman seumur, Jumadi dan Kamto. Rumahnya di sebelah timur gereja. Masih ada kelompok di bawah umur kami. Jumari adiknya Jumadi. Warno adiknya Kamto dan Gondo adik saya. Mereka tak selalu ikut dengan kami bertiga . Mereka belum punya kematangan emosional mengeksplorasi dunia mikro sekitar kami.

Waktu itu saya selalu membayangkan bisa terbang di atas awan. Membelai awan putih yang lembut. Beristirahat dan tiduran di balik awan yang berarak arakan itu. Melanglang dunia. Tak hanya terkungkung demarkasi jalan raya di muka kebun kami. Kadang kami tiduran di halaman gereja dan mengawati awan yang begitu anggun di langit. Sambil memejamkan mata bermain membayangkan seolah kami berlari lari, bersembunyi di antara awan yang indah. Hanya angan angan anak kecil semata. Kebiasaan berangan angan ini terbawa sampai tua. Saya dengan anak anak saya sering bermain sambil tiduran dan membayangkan seolah terbang melintasi awan awan itu. Dunia anak anak. Hanya membayangkan dan memimpikan yang indah indah saja.

Kadang kami mengamati burung burung terbang dan bernyanyi riang di kebun. Ada kepodang, pelatuk, kutilang, kacer, derkuku, manyar, prenjak, emprit peking, srigunting, gagak dan masih banyak yang lain. Kami selalu membayangkan ingin terbang seperti burung burung itu. Selalu beradu pendapat seolah kami adalah burung burung itu. Jika dewasa kami ingin seperti kepodang yang menyanyi anggun, kutilang yang ceria. Saya selalu membayangkan ingin seperti burung sikatan yang begitu gesit dan trengginas. Tak banyak bernyanyi. Tak banyak bersuara. Tetapi kecepatan terbang dan manuvernya luar biasa. Setiap habis mengamati burung burung itu selalu adu pendapat, burung mana yang menjadi idola. Saya tak begitu menyukai burung kacer, walaupun kicauannya indah, suka makan singgat kotoran sapi.

Suatu malam ibu saya bertanya, kalau saya besar ingin jadi apa? Saya jawab, ingin jadi burung sikatan yang gesit. Ibu saya tak senang mendengar jawaban saya. Orang tak bisa jadi burung sampai kapanpun. Tak masuk akal. Paginya saya menyampaikan pesan singkat ke Jumadi. Mulai saat itu saya tak akan membayangkan ingin jadi burung. Tak mungkin. Kami tak banyak mempersoalkan impian jadi burung lagi. Tetapi tetap memuja dan menyukai berbagai jenis burung yang kami kenal. Beberapa tahun kemudian, Gondo berhasil menangkap beberapa burung kutilang dengan jerat. Entah bagaimana kemudian, dia mampu memelihara dan menjadikan burung2 itu pomah (domestic). Nggak di taruh dalam sangkar tetapi bebas di rumah kami. Kadang2 bermain dengan anjing dan mencari kutu di badan anjing tua Pleki.

Suatu pagi kami mendapat cerita tentang Antareja, satria dari cerita Mahabarata, yang mampu hidup di bawah tanah dan air. Dia hanya muncul ke permukaan kalau kangen sama kakaknya Gatotkaca yang bisa terbang. Saya lupa siapa yang cerita, mungkin
Rahmat, tetangga seberang jalan raya yang sudah sekolah. Pagi itu kami duduk duduk di tepi kolam kecil di belakang rumah mBah Kastubi, tetangga sebelah timur kebun saya. (Cucu mBah Kastubi, Purwitono adalah pembaca Koki, saat ini tinggal di Pekan Baru). Mungkin karena imbas cerita tentang Antareja, si Jumari yang kira kira baru berumur empat tahun, berteriak keras dan terjun masuk kolam. Kami tak ada yang berani terjun menolongnya. Saya berteriak sekeras kerasnya. Ada seseorang datang berlari dan menolongnya. Selamat tak ada korban. Hanya Jumari menangis berkepanjangan. Mendengar teriakan saya, saya sama Gondo, dipanggil pulang. Ibu saya memberi peringatan, tidak boleh cerita macam macam, bisa bikin nasib apes atau sial. Hanya dampak khayalan anak anak.

Kami saat itu memang belum mampu membedakan, mana khayalan, mana angan angan, mana impian, mana cita cita. Campur aduk jadi satu. Mixed up. Mulai mengarah ke jalan impian atau cita cita, beberapa tahun kemudian, sewaktu di sekolah rakyat. Guru saya bertanya, Ki kalau dewasa pengin jadi apa ? Karena sering mendengar mitos putri Solo, saya jawab lugas 'Pengin dapat isteri putri Solo". Guru saya terhenyak, Itu bukan cita cita Ndhul. Impianmu ora nggenah. Sewaktu Jumadi ditanya, dia serentak menjawab " Ingin jadi Samson". Guru saya bilang, nggak mungkin cerita Samson sudah lama berlalu ribuan tahun lalu. Tetapi dia juga yang menceritakannya ke kami. Ternyata cita cita itu masih kabur. Istilah manajemennya mungkin, 'not well defined, not tangible, not measurable and not achievable".

Ada seorang blantik (pedagang hewan sapi atau kambing) yang sering datang ke rumah waktu itu. Di mata saya dia sangat gagah.Selalu memegang pecut pendek, celana hitam sampai dibawah lutut, dan sarung melilit pinggang. Topi hitam lebar, lebih banyak dipegang di tangan dari pada dipakai di kepala. Jika menilai sapi dia tak pernah menatap langsung sapi dengan kedua matanya, tetapi hanya melirik sebelah mata. Seolah dialah penguasa dunia binatang itu. Baru kemudian saya tahu kalau dia memang juling. Suatu saat saya bilang ke ibu saya, kalau dewasa saya ingin jadi blantik sapi saja. Apa, belantik kathok kombor itu ? Tak mungkin ! Bapakmu guru, kalau mau niru jadi guru, jadilah insinyur atau dokter dulu. Saya akan berjuang dan berdoa untukmu. Mulai saat itu, cita cita mulai muncul di cakrawala. Walau belum membayangkan jelas, kayak apa itu insinyur. Dokter yang saya tahu hanya, dokter Djajus di Ambarawa. Gagah dan isterinya cantik luar biasa. Belum ada insinyur di Ambarawa waktu itu.

Jumadi kemudian pernah berucap ingin jadi guru. Bahkan dia sudah mengarang nama belakang, kalau dia nanti jadi guru. Sedangkan Kamto pengin memelihara kuda. Hanya orang yang punya ketrampilan khusus yang mampu menguasai kuda. Kami omong omong di bawah rumpun bambu waktu itu. Menyedihkan, beberapa tahun kemudian Jumadi tak meneruskan sekolahnya. Beban beaya terlalu berat waktu itu. Kamto memang punya andong dan kuda di waktu tua. Saya pernah naik andhongnya dengan anak anak sewaktu pulang dari Inggris di tahun 1983.

Cita cita memang campur aduk dengan khayalan, angan angan dan impian. Hanya perkembangan waktu yang akan mematangkan cita cita anak anak. Keputusan terpenting dalam hidup saya sewaktu lulus SMA, mau masuk ITB untuk belajar teknik atau Gadjah Mada belajar kedokteran. Saya ambil pilihan kedua oleh karena lebih dekat dengan kemanusiaan.

Mungkin hanya orang yang agak konyol yang tak bisa membedakan mana angan angan, impian dan cita cita. Di tahun tujuh puluhan, ada seorang tokoh yang mimpi jadi presiden RI. Katanya ketiban wahyu. Kemudian dia mengumpulkan teman temannya dan membuat surat pernyataan untuk ditanda tangani presiden RI waktu itu. Isinya presiden RI menyerahkan kekuasaan sepenuhnya pada sang pemimpi ini. Semua rencana sudah matang, tetapi baru mau minta waktu ke Cendana, sudah ditangkap Kopkamtib, dituduh makar. Masuk penjara 7 tahun.

Untung impian impian alamiah masa kecil saya waktu itu hanya untuk diri sendiri dan terbatas dalam kelompok kami saja. Dan belum ada Kopkamtib waktu itu, yang mampu mendeteksi mimpi. Terutama mimpi yang bisa mengganggu stabilitas nasional. Ada radar khusus untuk ini, dipesan dari seorang dukun yang berkaliber internasional. Banyak anak berkhayal ingin jadi presiden. Kalau Kopkamtib masih ada anak anak ini bisa di litsus atau opsus. Paling tidak bapak ibunya diberi pengarahan politik stabilitas nasional.

Saya tak dapat isteri putri Solo. Juga tak pernah pacaran sama orang Solo. Selalu kalah wibawa berhadapan dengan gadis Solo di tahun tujuh puluhan. Tetapi Nyi Ageng kalau tanggal muda juga ceria kayak putri Solo. Walaupun tak berjalan seperti macan luwe (macan lapar).

Ah angan angan saya kok kapan kapan pengin ngumpulkan teman teman masa kecil dulu. Mengevaluasi kayalan kayalan dan impian masa kecil dulu. Mumpung masih ada waktu.

Di luar sana matahari masih bersinar terang. Pramugari lewat menawari minuman. Saya ambil champagne.

Salam dari balik awan.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 7November 2007)

Wednesday, November 7, 2007

Jaket musim dingin

Salam dari Geneva. Cuaca sudah terasa dingin walau belum menggigit sekali. Baru menembus kulit, belum sampai tulang. Mungkin sekitar lima derajat. Tetapi sudah harus memakai pakaian hangat. Jaket hangat musim dingin. Buat yang tinggal di negeri tropis seperti saya, kadang ingatan tak otomatis datang, untuk siap dengan pakaian hangat. Ada sesuatu yang tak biasa dilakukan yang terpaksa harus dilakukan, jika datang waktu musim dingin ke negara empat musim. Kadang terasa agak repot, tak praktis. Ini yang sedkit saya rasakan sekarang.

Beberapa tahun lalu saya berkunjung ke Mongolia, di bulan Mei. Mestinya sudah mulai musim semi dan cuaca tak terlalu dingin. Ternyata suhu masih sekitar 3 dejajat, dan nggak bawa jaket dan pakaian hangat. Untung hanya tiga hari. Jatuh sakit dan cepat cepat kembali ke Manila. Jika mungkin maunya menghindari perjalanan di musim dingin ke negara negara seperti Mongolia dan China.

Perjalanan kali ini juga tak mungkin dihindari. Mau tak mau harus pakai jaket dan pakaian hangat walau terasa agak risih dan berat. Kalau pas pakai coat kok badan seperti melembung kayak kalkun. Tambahan lagi saya nggak terbiasa lagi pakai kaos dalam sejak tiga puluh tahun terakhir. Pakai kaos hanya kalau pakai pakaian Jawa, itupun paling lama hanya tiga jam, kalau ada acara mantenan.

Dua hari lalu sewaktu naik bis dari stasiun Cornavin ke Appia Avenue, ke kantor pusat, dua orang penumpang yang duduk berseberangan menatap aneh jaket saya. Jaket warna krem dengan model lumayan trendi saya beli beberapa tahun lalu di Manila. Nggak nampak ndesit (ndeso) sama sekali dengan jaket itu. Ternyata ada noda merah di lengan kiri. Saya tidak cek di Manila sewaktu ambil dari penatu. Noda tak begitu menyolok, bisa ditutupi dengan menggulung sedikit lengan jaket. Tetapi perasaan agak terganggu, nggak PD. Ketemu seorang kawan lama di koridor, Detta. Cipika cipiki,dia menyapa akrab. "What happen to you ? Having accident or killing somebody ? Ternyata dia melihat noda merah di lengan kiri jaket saya. Asyem, pikir saya makin terganggu !

Hanya sekedar penghangat badan. Tetapi seperti halnya topi, cincin, dan syaal saya selalu punya rasa dan kenangan khusus dengan atribut2 tersebut. Perkenalan dengan jaket hangat pertama kali bulan Januari 1980. Pertama kali ke Inggris waktu itu untuk menjalani pendidikan paska sarjana. Saya dapat pinjaman dari adik ipar, jaket panjang atau coat terbuat dari bahan kordore. Modelnya juga sangat pas waktu itu, panjang sampai sedikit di bawah lutut. Model intel tetapi warnanya coklat lembut. Belum kuat beli sendiri. Gaji pegawai negeri pertama kali belum penuh waktu itu, hanya empat puluh lima dollar per bulan.

Di Newcastle, di tahun 1982, Nyi mendesak agar saya beli jaket dengan model yang lebih sport dan casual. Akhirnya dapat di Marks Spencer, jaket sedang sampai di atas lutut. Warna krem ringan bahan polyester. Serbaguna oleh karena waterproof, tetapi tidak rainproof. Harganya relatif murah. Hanya 24.99 sterling waktu itu. Dua saku besar di depan dan di samping kiri dan kanan, sangat mengenakkan. Bisa sebagai tempat penyimpangan logistik sementara. Kotak makan, pisang raja dan buah apel bisa tertampung tanpa nampak melembung. Jaket ini berumur sampai beberapa tahun. Saya lupa nasib jaket itu waktu kembali ke Yogya. Kalau nggak salah saya berikan ke tenaga yang membantu menata rumah di Condongcatur di tahun 1985 .

Kami kembali ke Indonesia tahun 1983. Di pertengahan delapan puluhan mulai terlibat konsultasi ke banyak tempat. Saya masih ingat benar waktu itu kesukaan saya adalah jaket kulit. Satu warna coklat tak merata, saya beli New Delhi. Satu warna krem beli di Nepal. Dan satu warna hijau muda pemberian adik saya buatan Salatiga. Modelnya lumayan bagus. Sayang ketiganya bernasib malang Di kerokoti tikus sewaktu digantung di dinding. Mungkin baunya masih peka untuk tikus. Oh ya saya masih ingat ada satu lagi jaket kulit warna hitam beli di Madras. Beberapa tahun dipakai kok lantas jadi kaku sekali, bisa disandarkan di dinding. Saya tak pernah lagi berniat punya jaket kulit. Namun tiga tahun kemarin anak saya kedua menghadiahkan satu jaket kulit dan satu jaket kasual untuk dipakai sehari hari. Bukan untuk musim dingin. Jarang saya memakai jaket kulit sekarang, sudah umur rasanya nggak pas saja. Setiap kali pakai jaket kulit, malah ditanya 'sedang sakit?'

Di akhir delapan puluhan, setahun dua kali harus ke Washington ok kebetulan jadi penasehat salah satu lembaga standarisasi obat di sana (US Pharmacopeia). Sudah lama sekali tak ingat tempat tempatnya secara tepat. Kantor tempat rapat di Rokville Pike di Bethesda kalau ngak salah. Suatu sore jalan jalan mau beli kacamata, ada saudara minta di belikan Ray Ben. Nggak dapat kaca matanya. Tetapi malah tertarik ada coat (jas panjang) dari kain drill halus warna abu abu. Model seperti seragam musim dingin tentara Rusia. Ada ikat pinggang dengan timang keemasan, ada lipatan di kedua pundak seperti untuk menempatkan tanda pangkat. Ada topi yang bisa dilepas. Saya sudah beberapa waktu ingin jas model itu tetapi harganya di Eropa mahal betul. Overcoat itu buatan Meksiko, harga cuma 99 dollar.

Senang sekali memakai jas panjang, sampai di bawah lutut. Sedikit terasa agak berat dan susah dipakai kasual. Terlalu resmi dan nggak ramping. Sampai sekarang masih sering saya pakai kalau pas pergi musim dingin. Mungkin akan tambah pas kalau dipakai dengan sepatu lars tinggi. Saya punya beberapa model topi dan syaal yang pas dengan jas panjang ini. Dua tahun lalu ketinggalan sewaktu makan di restaurant di Geneva. Saya minta di kirim kehotel pakai taksi, bayar 25 franc. Jas itu nilainya nggak sampai segitu sekarang tetapi tak apa saya masih senang. Terkesan kalem dan nggak bisa berkelebat ke sana kemari oleh karena memang agak berat.

Beberapa tahun lalu sesudah pindah ke Manila, saya menemukan jaket hangat seperti yang dulu saya beli di Newcastle itu. Tak sengaja waktu jalan jalan di Shoemart Harison Plaza. Warna krem persis jaket hangat saya dua puluh tahun sebelumnya. Terasa ringan dan ramping, panjang di atas lutut. Cocok dipakai jika hawa tak sangat dingin. Terlalu tipis jika musim dingin telah tiba di bulan Januari atau Desember. Entah berapa kali jaket ini ketinggalan, di tempat rapat, di rumah makan, tetapi masih selalu saya temukan kembali. Empat minggu lalu sekembali dari Geneva, saya kirim ke laundry kok tahu tahu sekarang ada noda merah. Apalagi dengan kantong dua besar besar. Bisa untuk menyembunyikan tangan dari hawa dingin.

Siang tadi saya memakai jaket itu berjalan jalan menyusuri tepi danau Geneva. Rencana pengin ke Jardine botanical garden. Tetapi kok terasa dingin dan capai oleh karena semalam beberapa kali terbangun. Tetangga kamar berkali kali bicara keras dengan temannya di koridor. Hanya berjalan jalan melihat orang lalu lalang. Tak sengaja melihat beberapa model jaket di satu toko di rue Chantepoulet. Hanya melihat sebentar, ada dua model yang menarik. Satu warna abu2 agak gelap dan satunya coklat kemerahan. Jaket pendek di atas lutut. Menelusuri tepian danau. Sangat indah dan bersih.

Setelah lepas jalan di sekitar danau, saya kembali ke toko itu dan mulai saya mencoba-coba. Kelihatan pas dan ringan. Penjaga toko dua orang muda mudi, mungkin kakak beradik, sekitar umur dua puluh tahunan. Tak banyak pengunjung. Hanya ada dua orang pengunjung di samping saya. Musik reggae menggema dalam ruang toko ukuran sedang dan tertata sangat artistik. Saya tanya ke kedua orang tadi. Anda suka dansa dengan irama lagu itu ? Mereka hanya menggeleng, bahasa Inggrisnya tak lancar sama sekali. Si gadis memanggil ibunya, nggak tahu omong apa. Anda suka ballroom, Tanya si mama? Yes of course. Kami sempat dansa reggae di dalam toko sekitar 2 menit. Pengunjung satunya agak terperanjat. I will reduce the price 20 france for the dance. Asem nggak dikorting 20 france pun pasti saya ambil jaket itu. Coklat kemerahan buatan Jerman. Lumayan murah harga salenya hampir separohnya.

Waktu di hotel saya tilpun Nyi. Dia pengin dibelikan sekalian. Coat yang Nyi miliki beli di pasar Hong Kong dua tahun lalu. Sangat sederhana dan ukuran kekecilan. Buru buru kembali ke toko itu dengan memakai jaket yang coklat kemerahan itu. You are lucky to have that jacket, katanya. Tak banyak pilihan untuk wanita. Hanya ada satu model dan relatif konvensional sekali. Saya keseberang jalan, ada toko khusus busana wanita. Sepi tak ada pengunjung. Ada dua penjaga wanita, relatif usia lanjut. Tak lancar bahasa Inggris tetapi mencoba menjelaskan berbagai model yang mereka punya. Beberapa jaket dengan harga diskon. Ada satu warna lumut yang modelnya kelihatan cocok untuk Nyi. Saya tilpun NYI menyesuaikan ukurannya. Saya putuskan ambil jaket itu. Sambil nunggu saya bilang ke penjaga toko itu, "Please write the original price, not the discounted price". Dia tertawa, '' You are terrible", katanya. I am trying to be a good husband. Whatever !

Saya berjalan lembali ke hotel. Hanya tentang jaket hangat musim dingin. Membawa kembali ingatan riwayat jaket jaket saya sebelumnya. Saya memakainya dengan rasa senang dan sayang, with great affection. Cintailah dan sayangilah apa pun yang anda miliki. Hidup terasa indah dan damai.

Ki Ageng Similikithi


(Dimuat di Kolom Kita KOmpas Cyber 5 November 2007)

Thursday, October 25, 2007

Topi tak selalu bundar

Salam dari bandara Svarnabhumi, Bangkok. Dalam perjalanan dari Phnom Penh ke Manila. Pagi tadi keluar dari hotel agak pagi, jam 0700, walaupun pesawat berangkat baru jam 10 lewat. Sebelum ke bandara lewat jalan raya 199, mau singgah ke tempat yang saya kunjungi semalam. Topi saya ketinggalan. Topi itu harganya nggak seberapa. Tetapi ada beberapa kisah menarik berkaitan dengannya. Saya beli di warung makan bandara Solo beberapa tahun lalu. Saya beli tiga topi, yang satu dengan merek bandara Adisumarmo, yang satu TNI AU dengan merk Sukhoi dan yang satu tanpa merk. Bentuknya sama seperti topi yang dikenakan para pilot.

Semalam ditilpun teman kalau ada yang punya batu safir Ratanakiri. Kami kemudian ke tempat yang punya batu. Tak banyak koleksinya oleh karena kalau asli memang jarang dan harganya selangit. Di Central Market kelihatan banyak sekali pilihan. Tetapi sebenarnya yang ada di sana sebagian besar adalah batu yang diproses atau tiruan. Ada dua safir Ratanakiri yang saya pilih. Saya belum punya jenis ini. Saya memang suka koleksi batu mulia. Topi yang saya cari ternyata sudah diantar ke hotel pagi tadi. Berselisih jalan . Untung salah seorang teman yang juga akan ke Manila, membawakannya ke bandara. Kali ini cerita saya bukan tentang batu tetapi tentang topi. Ada banyak cerita tentang topi yang mungkin menarik untuk direnungkan. Tentang batu lain kali saja ok akan lebih nges kalau di sertai foto. Sampai saat ini belum berhasil kirim foto ke Koki.

Bagi banyak orang topi mungkin sekedar merupakan asesori supaya penampilan lebih menarik. Tetapi di balik itu tentu ada fungs, entah melindungi kepala ( misalnya topi baja) atau sebagai lambang kebudayaan (misalnya blangkon). Masing masing jenis punya peran dan fungsi masing masing. Bisa dibayangkan betapa konyol jika dalam peralatan pesta perkawinan Jawa, topi blangkon diganti dengan topi baja. Atau dalam parade militer di hari Angkatan Bersenjata, topi baja diganti dengan blangkon.

Setiap jenis topi punya makna dan filosofi. Blangkon sebagai salah satu perangkat pakaian adat Jawa, juga berbeda antara Yogya dan Solo. Blangkon Solo tanpa tambahan hiasan telor (mondolan) di belakang. Tetapi blangkon Yogya, pasti ada mondolannya. Mungkin beberapa ratus tahun lalu, raja raja Solo kalau leyeh leyeh atau tiduran telentang selalu pakai blangkon. Sedangkan raja raja Yogya, kalau mau leyeh leyeh harus copot blangkon ok mondolan itu akan mengganjal. Nggak usah leyeh leyeh, pakai blangkon Yogya untuk nyopir pun selalu terganggu karena mondolan di belakang itu rasanya selalu mengganjal dengan sandaran kursi di belakang kepala.

Liburan lebaran kemarin saya bawa oleh oleh topi untuk cucu cucu saya, Rio (4 th), Laras (2 th) dan Karin (1.5 th). Masing masing 3 jenis topi anak anak yang masih ngetop modelnya. Rio sama Laras senang sekali pakai topi topi itu, apa lagi yang dengan bentuk kepala kelinci atau beruang. Tetapi Karin sama sekali nggak mau pakai, kalau di coba malah dibuang. Anak anak itu mungkin mempunyai persepsi yang berbeda akan topi. Orang dewasa juga punya persepsi dan kesukaan lain lain tentang topi. Tak semua orang suka topi.

Sewaktu kecil saya selalu memimpikan pakai topi. Perasaan saya seolah ada nilai lebih dengan topi di kepala. Sayang saya tak pernah dibelikan topi oleh orang tua saya. Sampai kelas 3 SR justru selalu plonthos alias gundul. Sehingga sering diledhek teman teman dengan lagu Gundul Pacul. Di kelas empat SR saya mencoba membuat topi sendiri, dari kulit batang pisang. Design bisa macam macam, bisa seperti bangkon, atau topi model kini. Sayang saya tak diijinkan memakai topi itu ke sekolah. Pengalaman memakai topi waktu kecil hanya kalau ke sawah, harus memakai caping untuk melindungi kepala dari panas mata hari. Jarang orang ke sawah tanpa caping. Panasnya sangat menusuk.

Pengalaman dengan topi yang agak membekas adalah sewaktu mahasiswa. Salah seorang teman saya dari Ponorogo, ayahnya pensiunan masinis. Topi peninggalan ayahnya, topi masinis, warna merah bundar, disimpan baik baik. Ternyata banyak gunanya. Saya pernah naik kereta api bersama dia ke Solo. Dia tak beli karcis. Ketika kondektur melakukan pemeriksaan karcis, teman saya ini pura pura tidur. Tetapi topi masinis almarhum ayahnya, didekap di dadanya. Ternyata ada pengaruhnya. Kondektur jadi ragu ragu untuk membangunkannya, dia berlalu saja meskipun nampak heran dengan topi itu.

Saya mulai suka mengkoleksi dan memakai topi sesudah lulus dan bertugas sebagai dosen. Jika bepergian selalu memakai topi, terutama topi warna gelap dengan model topi detektif. Mengapa suka pakai topi ? Ya hanya suka saja. Kakak saya juga selalu pakai topi. Jelas salah tujuannya untuk meningkatkan penampilan. Biar nampak beken mungkin.

Di awal tahun sembilan puluhan saya sering bolak balik ke Jakarta, sebagai konsultan proyek untuk Dep Kes. Biasanya nginap di Wisma Karya di depan rumah sakit Cikini di jalan Raden Saleh. Suatu sore saya pengin beli tahu goreng di depan RS. Saya pakai topi kesayangan saya, dan kebetulan pakai celana pendek. Si penjual ternyata nggak di tempat, baru ngantar pesanan ke dalam. Saya menunggu dengan sabar. Tiba tiba ada ibu ibu yang juga ingin beli tahu langsung bilang ke saya " Bang, tahunya dua puluh potong. Cepet ya, saya terburu buru". Asem, saya malah dikira penjual tahu. Dia baru sadar kalau keliru sewaktu si penual aslinya datang, "Maaf saya keliru", katanya. Tetapi waktu pergi, saya lihat dia menahan ketawa dengan temannya.

Tiga topi yang saya beli di Solo punya kisah menarik. Modelnya kayak topi pilot AU, sehingga dengan topi itu setiap kali saya masuk Navy Golf, mobil nggak pernah di geledah, malah penjaga selalu memberi hormat militer. Lumayan ngurangi waktu buka buka begasi. Yang payah kalau ada yang ngajak ngobrol tentang dunia militer, dikiranya saya pejabat militer dari Indonesia. Jika begini pelan pelan saya buka jati diri.

Yang aneh sewaktu kami akan ikut turnamen golf di salah satu klub private. Kami bertiga dengan teman orang Amerika. Salah satunya adalah boss di kantor saya. Dia yang membawa mobil ok mobil saya AC nya baru rusak. Di sebelahnya adalah teman sekantor , orang Haiti yang tinggi besar. Saya duduk di belakang dengan celana dan baju lengan panjang warna krem dan topi pilot bertuliskan Sukhoi.

Topi Sukhoi sebenarya hanya untuk psywar kalau mereka ngajak totohan main golf. Mereka berdua pakai seragam casual, celana pendek dan kaos pendek. Di pintu masuk klub, antrean mobil melambat ok ada pemeriksaan keamanan. Teman saya yang bawa mobil tanpa bilang a atau b, langsung bilang ke penjaga "We have His Excellency Ambasador and his bodyguard". Ternyata manjur, penjaga memberi hormat dan menyilahkan mobil kami masuk tanpa menunggu antrean. Begitu turun di pintu depan, penjaga membukakan pintu mobil dan memberi hormat militer. Saya sih manut manut saja, membalas dengan hormat militer. Teman saya berdua menggerutu habis habisan. Saya hanya bisa bilang ' It is not my fault, its your idea". Saya hanya manusia biasa, kadang juga seneng Petruk jadi Ratu. Kemarin malam di Phnom Penh, kami diajak ke ball room. Saya pakai topi itu, di pintu masuk penjaga keamanan memberi hormat militer. Tanpa sadar saya kok membalas juga dengan hormat militer. Anyway !

Kadang saya merenung. Topi ternyata bisa mengubah persepsi orang. Mengubah penampilan kita di mata orang lain. Kadang persepsi atau penampilan sok penting. Kadang persepsi dan penampilan budaya pop anak muda. Terserah anda pilih yang mana. Tetapi yang paling bijak adalah penampilan apa adanya. Apapun topi yang anda pakai. Topi memang tak selamanya bundar. Orang bisa mempunyai persepsi lain lain tergantung dari kesan masing masing.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi

(Kolom Kita Kompas Cyber Media, 26 Oktober 2007)

Tuesday, October 23, 2007

Arsitektur kota, baliho, spanduk dan umbul umbul.

Salam dari Phnom Penh. Kebetulan menghadiri rapat di ibu kota Kampuchea. Entah ke berapa kali mengunjungi kota yang indah ini. Bulevard di jalan utamanya nampak tertata asri, terutama Russian Boulevard. Bangsa Kamboja di masa lalu telah melahirkan arsitek2 unggul.. Bayangkan karya karya arsitektur kolosal mereka, seperti Angkor Wat dan Angkor Tom. Tak pernah lekang oleh waktu dan bertahan sepanjang jaman, paling tidak selama seribu tahun.

Saya selalu mengagumi karya aristektur kolosal. Karya cipta manusia yang penuh imaginasi dan intelektualitas. Jika anda berdiri di salah satu halaman candi Angkor, saya lupa yang mana, anda akan merasa kecil. Bangunan bangunan klasik itu sangat anggun, megah dan berwibawa. Mesin mesin berat yang dipakai untuk membantu renovasi, nampak kecil dan tak banyak daya berdiri dibawah bangunan bangunan kolosal itu. Pesan saya ke anak anak muda. Kunjungilah Angkor, di sana anda akan melihat puncak kejayaan arsitektur klasik Asia di luar Cina.

Saya juga menyenangi arsitektur tata ruang luar (landscape architecture), bagaimana menata letak suatu bangunan agar harmonis dengan alam sekitar. Bangunan klasik Asia selalu diletakkan dalam lingkungan begitu pas seolah menyatu dengan alam. Di manapun itu. Jika anda sempat berdiri di keraton Boko di sebelah selatan Prambanan, dan melihat kea rah utara, nampak pas sekali penempatan candhi Prambanan, candhi Sewu di bawah gunung Merapi. Begitu indah dan mengagumkan.

Saya membayangkan sang arsitek waktu itu dalam merencanakan bangunan bangunan tersebut, pasti dengan imaginasi luar biasa. Juga jika anda memandang titik lokasi candhi Gedhong Songo, titik titik lokasi itu seolah merefleksikan sesuatu. Diam tak bergeming sepanjang masa. Mungkin sang arsitek dulunya membayangkan lokasi bintang di langit.

Monumen Yogya Kembali di Yogya. Bukan hanya kebanggaan warga Yogya. Tetapi juga kebanggaan nasional melambangkan kembalinya Yogya ke tangan Republik. Saya pribadi tak bisa menyalurkan kebanggaan rasa nasionalisme ini menjadi kebanggaan akan karya seni arsitektur. Monumen tersebut dirancang dengan bentuk gunungan melambangkan asal mula cerita kehidupan dalam mitologi Jawa. Tetapi karya arsitekturnya tak memberikan pesan imaginer ini. Tak menggambarkan kebesaran dan keindahan alam. Jika anda melihat lokasinya dari udara, bangunan itu terkesan seolah menjadi benda asing di lingkungan alam sekitarnya

Arsitektur tata kota di Jawa juga selalu khas dengan adanya alun alun, pohon beringin, bangunan pendopo dan gedung pemerintahan di belakangnya.. Banyak arsitektur tata kota yang indah di Jawa. Temanggung, Banjarnegara, Magelang, Purworejo, Wonosobo hanya beberapa contoh kota ciri tata kota yang khas. Jika anda memasuki satu kota di Jawa pasti akan di sambut dengan gapura masuk yang masing masing kota akan berbeda.

Dalam tahun tahun terakhir setiap kali mengamati simbol dan cirri masing masing kota di Asia, saya selalu terusik dengan budaya pop masa kini yang mengganggu keasrian tata kota. Ciri arsitektur tata kota tertutup oleh iklan luar atau outdoor advertising. Bayangkan yang namanya spanduk, baliho (billboard) maupun umbul umbul yang selalu menutup keaslian keindahan tata kota. Gapura selamat datang ke satu kota kadang ditutup oleh baliho besar atau spanduk, lambang budaya konsumerisme masa kini.

Banyak ragam pesan visual yang terpampang, entah itu iklan komersial, pesan politik dari salah satu partai, pesan pendidikan untuk masyarakat. Tak semua isi pesan itu negatip sebenarnya. Tetapi sosok dan ukurannya agar mudah dibaca oleh massa yang menjadi target, telah demikian mengganggu keaslian ciri kota yang bersangkutan.

Salah satu contoh, beberapa tahun lalu, spanduk besar bergambar BH dengan merek tertentu banyak menghiasi jalan utama kota kota di Indonesia. Seolah memberi ucapan selamat datang bagi para pengunjung yang masuk kota kota itu. Belum lagi pesan pesan visual yang menyolok di billboard di tepi jalan utama masuk kota. Seolah kota kota itu menjadi milik produk produk komersial yang diiklankan. Bayangan untuk menikmati cirri arsitektur kota yang bersangkutan telah terenggut secara semena mena oleh gambar iklan.

Kadang ironis. Dalam pergaulan internasional ada semacam konvensi untuk mengurangi kebiasaan merokok, kota kota dan media massa kita dipenuhi dengan iklan merokok. Indonesia memang satu satunya negara di ASEAN yang tidak menanda tangani konvensi untuk mengurangi rokok, FCTC (Framework Convention of Tobacco Control, http://www.who.int/tobacco/framework/en/)

Rasa gemas selalu mampir ketika tepian jalan utama masuk kota dipenuhi dengan umbul umbul. Yang paling sering adalah umbul umbul milik partai politik. Seolah kota kota itu menjadi milik salah satu partai politik. Beberapa tahun lalu di masa jaya Orde Baru bahkan batang pohon di tepi jalan pun kadang kadang dicat dengan warna tertentu yang menjadi lambang partai. Keaslian alam pepohonan diperkosa oleh ambisi partai. Pohon beringin yang menjadi ciri arsitektur kota kota di Jawa direnggut begitu saja oleh kekuasaan menjadi lambang politik..

Fenomena dominasi iklan luar ini tak hanya menjadi masalah bagi kota kota di Indonesia. Dewan kota Sao Paolo melarang outdoor advertising terutama lewat billboard ok dianggap sebagai polusi visual (The Economist, 13 Oktober 2007). Gabungan pengusaha iklan jelas protes dan menempuh upaya hukum melawan larangan ini. Apapun hasilnya pemerintah pemerintah kota selalu menghadapi masalah dilematis oleh karena iklan iklan ini menjadi salah satu sumber pemasukan.

Jika tak mungkin dihilangkan tidak-kah ada alternatif lain untuk menempatkan iklan luar ini di lokasi yang tak mengganggu ciri arsitek tata kota ? Tak mudah untuk mencari alternative kompromistis. Tetapi kota kota yang saya selalu kagumi di Jawa, kebanyakan kota kota yang relatif kecil sehingga dominasi baliho, spanduk dan umbul umbul ini belum begitu merusak keindahan kota.

Salam damai, Ki Ageng Similikithi (Dimuat di Kolom Kita Kompas, 22 Oktober 2007)