Friday, January 25, 2008

Nyanyian dari langit - mengingat mbak Tie

Lebih lima puluh tahun lalu. Kami bernyanyi riang. Bertepuk. Bersorak. Berlari. Bersembunyi. Di manapun angan angan terbang. Melayang tak bertepi. Tak terhalang bukit. Tak terbatas lautan. Hanya gembira dan bahagia. Langit dan awan, bukit, gunung dan lembah adalah padang pengembaraan angan yang tak ada batasnya. Tiba tiba saja dia muncul. Seolah datang dari langit, dari balik awan. Gadis kecil berpakaian warna lila. Dia menyanyikan lagu indah. Lagu tentang cinta, tentang kasih, kasih ibu.

" Salam sayang adik adikku. Aku kakakmu. Namaku Atie. Aku datang menengokmu. Ingin main bersamamu".

Rambutnya keriting halus. Wajahnya bersih lembut. Kugapai tangannya. Ingin kupeluk tubuh mungilnya. Dia menjauh, makin menjauh. Semakin samar, dia menghilang di balik awan. Menghilang di langit. Ke ketiadaan yang abadi. Aku terlolong menangis terbangun dari mimpi. Ibuku hanya berbisik, memeluk dan membujukku agar tenang. Saya minum air putih dan tidur kembali. Saya tak mempersoalkan kembali tentang mimpi itu. Hari hari berlalu wajar. Walau saya kadang teringat mimpi itu, dan nama gadis kecil itu, mbak Tie.

Suatu saat kemudian pagi pagi saya dan adik saya makan kueh moho warna warni merah putih. Kami belum bersekolah saat itu. Duduk duduk di dasar pintu menghadap ke timur. Ke arah tratag rambat yang menuju ke dapur. Ibu saya biasanya diam saja. Tiba tiba dia teriak dari dalam kamar.

"Nggak boleh duduk di pintu itu. Pindah ke ruang depan". Tak habis pikir saya oleh karena pintu itu jauh lebih strategis. Masih di dalam ruangan belakang ke arah dapur. Pintu depan langsung menghadap ke luar. Rasanya tidak aman untuk kami. Setiap kami duduk di pintu itu ibu saya selalu melarang tanpa saya ketahui sebabnya. Beberapa waktu kemudian saya coba bertanya mengapa kami tak boleh duduk di pintu itu. Dengan singkat dia mengatakan.

"Kakakmu Tie, dulu setiap pagi selalu duduk di pintu itu makan kueh. Melihatmu di pintu itu, selalu membuatku sangat merindukannya".

Ibu akhirnya bercerita bahwa kakak saya itu bernama Woro Hadiati. Dia anak kedua. Mungkin lahir sekitar tahun 1939. Dia meninggal dalam umur sedikit di atas dua tahun. Karena difteria. Ibuku tak pernah lagi bercerita tentang mBak Tie. Mungkin terlalu sibuk mengasuh kami semua. Kami bersembilan sesudah meninggalnya mBak Tie. Bapakku juga tidak pernah menyinggung atau menceritakan tentang kakak saya. Tak ada gambar, tak ada foto, tak ada cerita yang tersisa. Saya berjumpa dengannya dalam mimpi. Mimpi tentang langit. Hanya itu ingatan yang tersisa. Ketika dia datang dengan nyanyian dari langit. Bapak ibuku sibuk dengan irama hidup sehari hari. Juga kami menjalani kehidupan yang hangat sejak masa kanak kanak. Banyak terlupa sosok mBak Tie.

Kami selalu menikmati langit, menikmati gunung dan bukit, dan lembah yang indah. Ambarawa adalah lembah yang sangat indah bagiku. Dua gunung sejoli, Telomoyo dan Gajah Mungkur selalu teguh dihadapan pandangan kami seolah menjadi pelindung yang abadi. Kami bersaudara hanya tinggal di Ambarawa sampai tamat SMP. Sesudah itu harus berpencar untuk meneruskan sekolah masing masing. Dan sampai akhirnya memang harus hidup dengan keluarga masing masing. Kisah tentang kakak saya Woro Hadiati seolah tenggelam dalam perjalanan hidup masing masing.

Saya pernah mendengar Bapak menyinggung mbak Tie, sewaktu kami mengunjungi makamnya. Makam kecil sendirian di atas bukit. Dia mengeluh

"Singkat sekali umurmu nDuk. Belum sempat menimang dan mencumbumu. Sendirian engkau di sana, sepi sekali". Saya masih ingat sewaktu saya di SMP, ibuku juga pernah berucap. Ibuku duduk di muka rumah memandang ke dua gunung jauh di sana. Pandangannya menerawang ke langit lepas.

"Seandaninya kakakmu Tie masih ada, mestinya dia sudah berkeluarga ya. Saya sudah punya cucu".

Kebetulan waktu itu belum lahir satu orang cucupun. Di luar peristiwa peristiwa kecil itu, kami semua selalu hening terdiam tentang mbak Tie. Dia berada jauh di sana, di langit, di balik awan. Bapak dan ibu tidak pernah bercerita, tidak pernah mengucap apa apa tentangnya. Hanya kisah masa lalu yang telah tenggelam dalam perjalanan waktu.

Di awal tahun 1982, saya berangkat menyelesaikan tahap akhir program doktor di Newcastle (UK). Ibu menginap di rumah di Yogya beberapa hari menjelang kami berangkat sekeluarga. Pas saya pamit, dia memelukku erat erat dan berkata

" Hati hati ya. Saya pengin menunggumu kembali".

Saya tak bisa berbincang lama lama. Hening. Beberapa bulan kemudian pagi pagi sekali saya ditelpon kalau ibu dalam keadaan gawat di rumah sakit. Lemah jantung. Hati saya berdesir keras, mungkin kami tak akan bertemu lagi. Benar. Beberapa hari kemudian saya ditilpun kakak saya kalau ibu sudah pergi selamanya. Beberapa saat sebelum kepergiannya dia berpesan.

"Saya masih ingin menunggumu semua. Tetapi kakakmu Tie kasihan. Dia sendirian di sana berpuluh tahun. Tempatkan saya disisinya ya".

Sesuai permintaanya ibu dimakamkan disamping makamnya mBak Tie. Makam mungil di atas bukit. Moga moga dia tidak kesepian lagi. Selang kira kira dua belas tahun sesudah kepergian ibu, bapak juga meninggalkan kami dan cucu cucu selamanya. Meninggal dengan sangat tenang. Tiga hari sebelum kepergiannya, dia nampak sehat sekali dan datang ke rumah saya di Yogya diantar adik saya. Tak biasanya dia salaman dan memeluk saya. Sesudah pamitan dan menuju mobil, dia kembali dan memeluk dan menjabat tangan saya. Di Ambarawa beberapa hari terakhir dia selalu minta adik adiknya kumpul di ruma. Tepat pada tanggal 1 Syura. Siang hari setelah makan siang istirahat tidur. Ternyata pergi selamanya dalam tidur. Adik dan kakak saya tak percaya kalau dia sudah tak ada ketika menjenguk kamarnya sesaat kemudian. Yang saya ingat waktu itu, ketika di Yogya dia bilang

"Jika saya meninggal, makamkan saya disamping kakakmu Tie. Dia sendirian di sana menungguku puluhan tahun" .

Mereka bertiga istirahat berdampingan di bukit Penggung. Hening, sunyi dan damai. Anak saya Moko menyusul kemudian, dibaringkan sedikit dibawahnya. Jasad mereka beristirahat selamanya. Moga moga mereka selalu bersama dan berbahagia di sana. Mereka mungkin tak akan kesepian lagi. Bersama dalam damai dan kehidupan yang abadi.

Nyanyian dari langit. Ternyata kasih ibu dan bapak terhadap anak tak akan lekang oleh waktu. Tak akan hilang dalam perjalanan waktu. Walau tak pernah terucapkan lagi, kisah tentang mbak Tie, ibu dan bapak akhirnya minta beristirahat disampingnya di akhir perjalanan hidupnya.

Nyanyian tentang kasih untuk Mbak Tie dan Moko tersayang. Untuk Bapak dan Ibu. Nyanyian yang abadi. Nyanyian dari langit.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber, 25 January 2008)

Friday, January 18, 2008

Kutunggu kau di kaki bukit

Menjelang musim kering di tahun 1973. Hampir petang ketika mereka tiba di dusun itu. Matahari meredup. Sinar keemasan memantul dari permukaan bengawan. Dusun itu terletak di tepi bengawan. Senyap. Hanya suara hewan yang kadang terdengar. Suara lembu melenguh di kandang. Anak anak kambing mengembik mencari induknya. Bau kotoran sapi dan rumput yang dibakar menyebarkan aroma khas pedesaan. Angin bertiup lembut. Sepi dan damai.

Mereka datang bertiga. Bambang, Andi dan Maslan. Di dusun itu mereka harus menyelesaikan tugas lapangan. Tak bisa dihindari untuk syarat tugas akhir sebelum lulus. Mereka tiba di dusun itu naik ojek dari Sragen. Berangkat dari Yogya pagi harinya, naik bis. Tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Jalan berbatu di daerah perbukitan memang tak memberi suasana akrab kepada siapa saja yang datang. Juga dusun itu begitu senyap dan acuh. Seolah berkata jangan ganggu kami. Biarlah semuanya berlalu senyap seperti apa adanya. Tukang ojek mengantar mereka ke rumah tua di ujung desa.

“Mas sampeyan akan tinggal bersama di rumah Bu Manten ?”, tanya salah seorang tukang ojek.

Bambang mengangguk ringan. Tak ada obrolan lebih lanjut. Rumah tua itu berhalaman luas. Ada beberapa pohon nangka yang rindang di halaman. Salah satu tukang ojek, Kelik ternyata putra Bu Manten, si empunya rumah tua. Umur Kelik sekitar tujuh belas tahun. Masih sekolah di salah satu SMA swasta. Pagi sekolah, sore narik ojek. Nampak sangat pendiam. Terkesan sangat enggan bicara.

Mereka disambut Bu Manten. Dingin dan tak banyak bicara. Wajahnya pucat. Usianya kurang lebih separoh baya, belum nampak tua benar. Ada pendapa luas di depan rumah induk. Ada beberapa ruang di samping kiri rumah induk. Mereka tinggal di kamar di samping pendapa itu. Kamar sederhana khas rumah pedesaan. Tetapi terawat bersih. Selama tiga minggu harus tinggal di kamar itu. Sumur dan kamar mandi terletak di belakang, di bawah pohon beringin yang rindang.

Hari hari berikutnya mereka langsung terlibat kegiatan tugas lapangan. Ada berbagai proyek dan kegiatan yang harus dilakukan. Penyuluhan, kerja bakti, kunjungan rumah ke rumah, pertemuan warga, membantu warga menata jalan desa dan masih banyak lagi. Tak ada waktu yang terluang. Kesempatan duduk bersama hanya di sore hari. Di rumah pondokan rumah tua Bu Manten. Malam sering harus mengikuti pertemuan dan rapat warga.

Hari berganti hari, waktu berlalu cepat. Tak ada yang istimewa. Suatu malam Bambang mendengar Kelik mengigau dalam tidurnya. Dia tidur di kamar seberang di rumah induk. Semula biasa saja seperti orang mengigau. Menggumam pelan. Tetapi lama lama semakin jelas berkepanjangan. Selang seling dengan tangis dan jeritan memanggil seseorang. Berlangsung beberapa menit. Kemudian kembali senyap. Ternyata Kelik tak hanya sekali itu mengigau dalam tidurnya. Dia sering sekali mengigau berkepanjangan dalam tidurnya.

Bambang pernah menanyakan ke Kelik, tentang mimpinya. Tak memperoleh jawaban. Bu Manten hanya mengatakan, Kelik memang punya kebiasaan mimpi buruk sejak enam tahun lalu. Bambang, Adi dan Maslan mula mula merasa terganggu ketika malam malam Kelik mengigau berkepanjangan. Kadang begitu jelas seolah Kelik bicara dengan seseorang.

“Kakang, kau bilang kan, akan menungguku di gardu di kaki bukit itu. Mengapa kau pergi ? Mengapa tak mau menungguku ?”” Gumam Kelik bercampur rintihan tangis.

Suaranya sendiri menjawab. “ Dhi, kau menunggu ibu. Itu pesan bapak. Saya pergi menemani bapak”.

“ Ibu tak apa apa. Saya boleh menyusulmu Kang. Tetapi kau tak mau menungguku. Kau tak ada di gardu. Kau pergi tak menungguku. Juga bapak”

“ Dhi saya tak meninggalkanmu. Saya menemani bapak. Kasihan Bapak kan. Kita berbagi tugas ya”.

“ Sakit ya Kang ? Takut ya ? Mengapa sampai hati mereka menyakitimu ?

“ Tak ada yang sakit. Tak ada yang takut. Saya pergi bersama bapak. Jangan menangis Dhi. Laki laki tak layak menangis”.

Di akhir igauannya biasanya Kelik selalu menangis sesenggrukan. Mula mula mereka bertiga selalu berusaha membangunkan dan menenangkannya. Tetapi sia sia. Bu Manten hanya akan memberi segelas air ke Kelik.

“Lik, tidurlah anakku. Besok harus sekolah”.

Hari hari berikutnya mereka terbiasa dengan igauan Kelik. Mereka seolah tak terganggu lagi. Tak juga berusaha menenangkan Kelik. Toh paling paling lima menit akan tenang kembali. Tidur kembali. Suatu petang mereka bertiga menjumpai Kelik di gardu. Di kaki bukit itu. Dia menangis sesenggrukan tak sadar diri. Seperti jika dia sedang mengigau dalam mimpi mimpi yang lalu. Mereka membimbing Kelik pulang ke rumah. Kejadian itu juga berulang beberapa kali.

Bambang, mahasiswa kedokteran . Dia hanya menyimpulkan bahwa Kelik mempunyai gangguan tidur. Gangguan mimpi. Biasalah manusia memang sering banyak mimpi. Dikuasai mimpi. Pendapatnya berubah total ketika di malam terakhir Bu Manten bercerita. Cerita tentang peristiwa yang menakutkan itu. Kejadian tujuh tahun sebelumnya yang seolah tak pernah hilang dari ingatannya.

Waktu itu suasana begitu mencekam sesudah peristiwa 1965. Banyak tetangga yang hilang tak pernah kembali. Pak Manten adalah ketua barisan tani yang menjadi anak organisasi kiri di desa itu. Bu Manten dan pak Manten selalu ketakutan. Jangan jangan akan ada rombongan tak diundang datang. Telah beberapa kali ada serombongan pemuda yang datang ke rumah mereka. Pak Manten dan Bu Manten selalu menyambut mereka dengan hangat dan menjamu sebagai tamu. Hampir semua anggota rombongan itu mereka kenal baik semua. Biasanya mereka akan segara pamitan kembali. Rupanya tak sampai hati mengambil pak Manten, mantan Lurah yang mereka segani

Sampai suatu sore ada rombongan lain. Pemuda dari lain desa dengan sekelompok aparat. Mereka datang dengan truk. Diantar pak Lurah. Dengan sigap kepala rombongan itu mengatakan bahwa pak Manten dipanggil komandan. Diajak ke balai desa di dusun sebelah. Bu Manten terduduk lemas. Kelik menangis tak tertahankan.

“Bapak mau dibawa kemana ? Saya ikut Bapak”

Kakak Kelik, Sardon mencoba memenangkan adiknya.

“Dhi, tak usah menangis. Kau tinggal di rumah. Kau temani ibu. Saya pergi menemani Bapak ya?”

“Kang, tunggu aku ya di gardu itu. Di kaki bukit itu. Jangan pergi lebih jauh”

“ Akan kutunggu kau di sana. Jangan menangis Dhi. Tak ada yang akan memisahkan kita. Kita tak akan berpisah”.

Kelik masih berumur lebih sepuluh tahun waktu itu. Masih manja baik ke orang tuanya, maupun ke kakaknya, Sardon. Sardon berumur empat belas tahun. Hubungan kakak beradik itu sangat rukun dan akrab. Ketika ibunya tenang kembali. Kelik berlari menyusul kakaknya yang pergi bersama rombongan itu. Gardu itu ternyata kosong. Tak ada siapa siapa. Para tetangga hanya terdiam tak ada yang menoba memberitahunya. Kelik menangis berkepanjangan memanggil-manggil bapak dan kakaknya. Mereka telah dibawa pergi. Seorang tetangga memberi tahu Kelik untuk pulang saja. Bapak dan kakaknya, Sardon ternyata tak dibawa ke balai desa. Tetapi dibawa ke arah bengawan. Kelik hanya meraung menangis berkepanjangan pulang ke rumah. Menemui ibunya yang terduduk lemas menangis di ruang tengah.

” Ibu mereka membawa Kakang dan bapak ke bengawan. Mengapa mereka sampai hati membawa ke sana Bu?

Mereka tak sanggup membayangkan apa yang terjadi. Bapak dan kakak Kelik tak pernah kembali sejak sore itu. Banyak orang hilang secara paksa di tepi bengawan itu. Mereka kehilangan orang yang dicintai secara paksa. Sejak peristiwa itu Kelik selalu mengigau dalam tidur, selalu menangis. Kadang duduk terpekur di tepi bengawan. Menatap air bengawan yang telah terkotori. Bukan hanya oleh cemaran lingkungan. Tetapi oleh darah, oleh kebuasan dan keberingasan. Kelik tak mampu menghilangkan ingatan mengerikan itu dari alam bawah sadarnya.

Esoknya Bambang, Adi dan Maslan berpamitan meninggalkan dusun itu. Bambang hanya bisa berpesan ke Kelik supaya bertahan. Sekolah terus membahagiakan ibunya. Kelik hanya mengangguk lemah. Matanya basah. Kata katanya sesak keluar.

“Saya hanya akan menemani ibu, Itu saja ”.

Bambang berpesan, dia juga punya tugas lain. Meskipun tugas menemani ibu nantinya akan selesai.

“Jangan hanya berhenti disitu. Masih ada tugas lain. Tugas untuk hidup terus. Tugas sebagai manusia”

Ketika mereka berjalan meninggalkan desa, matahari sangat cerah. Angin kepagian menyapu sejuk. Bambang berpikir, semua keindahan dan kedamaian ini hanyalah menutupi riwayat keberingasan dan kesedihan keluarga yang kehilangan.

Saya menutup tulisan ini sesudah terhenti beberapa minggu. Sangat berat mengungkap kisah yang disampaikan teman satu kelompok di bangku kuliah, Bambang. Dia pernah mengajukan kasus Kelik dalam diskusi di ko-skap psikiatri. Bambang juga telah mendahului pergi selamanya beberapa tahun lalu. Namun kisah kesedihan di tepi bengawan itu tak akan terkubur begitu saja dari ingatan saya. Pasti juga dari ingatan Kelik dan para keluarga korban. Saya sendiri tak pernah bertemu Kelik. Hanya mendengar dalam diskusi kasus dari almarhum Bambang.

Namun bengawan itu selalu marah sepanjang masa karena ulah manusia, Meninggalkan kutukan dan penderitaan banjir setiap musim hujan. Tercemar erosi, kotoran, darah dan kesedihan. Meskipun kita senantiasa mencoba menyanyikan lagu indah tentangnya “Bengawan Solo”.

Salam damai dan selamat tinggal kesedihan.

Ki Ageng Similikithi (bs2751950@yahoo.com)

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber, 17 Januari 2008)

Sunday, January 6, 2008

Bunuh diri di Gunung Kidul dan mitos pulung gantung?

Sambil terisak, beberapa perempuan berkerudung yang sebagian besar berusia setengah baya itu memandikan jenazah EA (17) yang terbujur kaku, di dalam sebuah bilik khusus berdinding dari bentangan empat lembar kain batik. Puluhan pelayat yang datang sejak tengah hari, juga masih setia menunggu. Mereka duduk menyebar, ada yang di bawah tenda, pepohonan, dan kayu-kayu rangka bekas rumah yang rusak oleh gempa bumi 27 Mei 2006. Di salah satu sudut pekarangan yang lain, sebagian lelaki sibuk mempersiapkan segala peralatan untuk pemakaman. Suasana duka begitu terasa di rumah Karto tumiran (80-an), warga Dusun Pugeran, Patuk, Gunung Kidul, Provinsi DI Yogyakarta, Sabtu (30/6) sore.Lantunan ayat suci yang terdengar dari sebuah pemutar tape memecahkan kesunyian kawasan pegunungan yang berjarak sekitar 17 kilometer arah timur Kota Yogyakarta. Kabar meninggalnya EA, siswi kelas II sebuah SMK negeri di Kota Yogyakarta, cukup menggemparkan. Tubuh gadis itu ditemukan kakeknya, Karto Tumiran, sekitar pukul 10.00, dalam keadaan tergantung pada kerangka pintu rumahnya
(http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0707/02/utama/3646390.htm).

Tulisan di atas adalah cuplikan berita yang dimuat di harian Kompas di pertengahan tahun 2007. Sebagai berita mungkin sudah basi. Tetapi masalah bunuh diri di kabupaten Gunung Kidul tak akan pernah basi. Masalah terjadinya kasus bunuh diri yang sering terjadi berurutan di daerah Gunung Kidul, sudah di ketahui sejak beberapa puluh lalu. Menyisakan banyak misteri, banyak pertanyaan untuk kalangan profesi dan ilmiah, dan meninggalkan kesedihan untuk keluarga yang ditinggal. Angka kejadian bunuh diri di kabupaten Gunung Kidul sebesar 9 per 100 000 penduduk per tahun, jauh lebih tinggi dari kejadian di Jakarta yang hanya kurang dari 2 per 100 000 per tahun. Yang lebih menyedihkan, di tahun tahun terakhir peristiwa bunuh diri ini banyak mengenai anak anak sekolah, seperti gadis EA cucu dari mBah Karto Tumiran tadi. Wanita yang saya ceritakan dalam tulisan saya yang lalu, melakukan bunuh diri karena depresi sesudah persalinan dan kehilangan bayi yang baru dilahirkannya.

Apa sebenarnya yang terjadi ? Jelas bunuh diri merupakan fenomena yang sangat kompleks yang melibatkan banyak faktor penyebab, termasuk faktor psikologis, biologis, sosio kultural. Saya tak berpretensi sebagai ahli antropologi atau ahli psikologi/psikiatri yang mempunyai kompetensi menganalisis masalah ini secara tuntas. Saya hanya ingin mengingatkan kembali mengenai masalah bunuh diri, dan perlunya upaya pencegahan, terlebih di Gunung Kidul. Diperlukan analisis yang mendalam mengenai faktor faktor yang berperan dan diperlukan pengembangan program yang komprehensif untuk mencegah kejadian bunuh diri. Selama puluhan tahun masalah bunuh diri di Gunung Kidul ini telah menjadi bahan diskusi dan analisis. Seharusnya kejadian ini dapat ditekan serendah rendahnya.

Di masa lalu di kalangan masyarakat Gunung Kidul, terutama yang tinggal di pedesaan, ada mitos pulung gantung. Pulung artinya wahyu. Di waktu malam hari masyarakat sering melihat sinar merah yang bergerak di atas bukit yang kemudian akan turun di salah satu rumah penduduk. Banyak anggota masyarakat yang masih percaya bahwa penghuni rumah yang kejatuhan pulung gantung, dia ditakdirkan untuk meninggal dengan cara menggantung diri. Jika salah satu penghuni rumah tadi percaya akan mitos ini atau jiwanya dalam keadaan tidak stabil, maka dengan serta merta dia akan melakukan bunuh diri oleh karena percaya bahwa ini sudah menjadi takdirnya.

Jika warna sinar tadi kebiruan maka dipercaya bahwa yang kejatuhan akan mendapatkan wahyu, misalnya dapat lotere, kepilih PILKADA, dan sebagainya. Mitos ketiban wahyu (kejatuhan wahyu) yang ditandai dengan jatuhnya sinar dari angkasa di atap rumah memang dikenal dalam kepercayaan Jawa. Tetapi umumnya bersifat positip, tanpa membedakan warna sinarnya. Di Gunung Kidul, mitos ini agak lebih canggih, kalau warna biru kehijauan, wahyu positip. Kalau warna merah, suratan takdir untuk bunuh diri. Ya kalau mau percaya mitos sebenarnya nggak perlu yang canggih2. Terima saja apa adanya, apapun warna sinar yang jatuh, anggap itu wahyu.

Saya sendiri pernah melihat dengan mata kepala sendiri akan adanya sinar ini, sewaktu praktek ko asistensi kesehatan masyarakat di Mangunan, Gunung Kidul. Sinar warna kebiruan itu hanya berjarak kira kira dua tiga ratus meter dan nampak jelas di atas bukit. Cuma statis dan tak bergerak, besarnya tak sampai sebesar bola sepak. Kesan saya ini adalah fenomena alam biasa, suatu fenomena fisika atau biologis. Tak tahu pastinya. Mungkin kumpulan gas metana, mungkin binatang yang mengandung fosfor.

Di Ambarawa di tahun enam puluhan, saya pernah melihat ulat hidup sebesar ibu jari tangan, yang dari jarak seratus meter di malam hari nampak memancarkan sinar kebiruan yang amat tajam. Binatang itu pasti mengandung fosfor seperti halnya kunang kunang. Di malam hari kotoran sapi yang dibakar kadang menampakkan sinar kebiruan karena gas metana. Saya mengenal fenomena gas metana ini di Ambarawa dan di Beringin di tempat kakek saya. Bau kotoran sapi yang mengeluarkan metana kadang2 tercium dari jauh, sebelum kita memasuki desa. Baunya sangat khas dan agak harum adiktif.

Banyak kalangan yang juga menyangsikan fenomena pulung gantung ini sebagai penyebab bunuh diri. Dalam analisisnya seorang peneliti dari UGM menyimpulkan bahwa kasus kasus bunuh diri di Gunung Kidul lebih erat berkaitan dengan kemiskinan, kekeringan dan kesulitan hidup sehari hari. Kasus kasus bunuh diri lebih banyak terjadi di daerah daerah yang sangat kering, miskin dan sulit. Di tahun enam puluhan Gunung Kidul memang terkenal tandus dan rawan kelaparan. Tetapi perbaikan ekonomi selama beberapa tahun terakhir ternyata tak juga mampu mencegah kejadian bunuh diri. Masih banyak faktor psikologi dan psikiatrik yang tak membaik hanya semata mata dengan perbaikan ekonomi.

Apapun penyebabnya perlu dikembangkan program pencegahan. Sebagian besar pelaku bunuh diri juga menderita masalah psikiatrik depresi yang mudah dikenali oleh keluarga dan lingkungannya. Dan sebagian besar pelaku bunuh diri pernah menyatakan hasrat untuk bunuh diri atau menunjukkan gejala yang gampang dikenali sebelum melakukan bunuh diri. Orang orang seperti ini, juga termasuk yang percaya mitos pulung gantung tadi perlu mendapatkan pendampingan secara psikologis dari lingkungannya. Jika merasa kejatuhan pulung gantung, yang bersangkutan perlu diyakinkan bahwa itu adalah fenomena alam biasa dan tak menakdirkan yang bersangkutan untuk bunuh diri. Jika ada yang menderita mania luar biasa yang tak wajar, percaya akan dipilih jadi bupati setelah melihat sinar kebiruan di kandang sapi, katakan saja itu sinar dari metana tahi sapi bukan wahyu untuk jadi bupati. Jagi bupati tak cukup bermodalkan wahyu dari tahi sapi.

Pendidikan terhadap masyarakat akan kesehatan mental juga memegang peran penting, terutama untuk guru guru, jika target intervensinya adalah anak anak sekolah. Sering tindakan guru menyebabkan stress yang berlebihan pada anak didik. Banyak kebiasaan yang nggak pas sering dijumpai di kalangan masyarakat. Kalau ada anggota keluarga yang menderita depresi, sering cepat cepat dinikahkan supaya sembuh. Padahal dalam banyak hal, perkawinan kadang malah menambah depresi.

Sekali lagi tulisan saya hanyalah menggugah akan masalah bunuh diri, terutama di Gunung Kidul. Mungkin ada Kokiers yang ahli psikiatri yang mau nyumbang tulisan.

Salam sejahtera moga moga dapat wahyu di tahun baru.

Ki Ageng Similikithi

(dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 2 Januari 2008)

Wednesday, December 26, 2007

Bulan Tertutup Selendang

Salam dari Yogya. Sudah dua hari ini di rumah. Akhir minggu lalu tiba di Jakarta, isirahat di rumah anak tiga malam. Sempat lihat lihat kebun raya Bogor dan taman Safari. Seumur umur belum pernah mengunjungi ke dua tempat itu. Sengaja saya minta dijemput sopir di Jakarta. Pengin jalan darat Jakarta Yogya. Mampir di Pekalongan sebentar. Nostalgia masa lalu. Banyak yang telah berubah. Dalam perjalanan Pekalongan ke Yogya lewat jalur Sukorejo Parakan, waktu telah menunjukkan lewat jam sepuluh malam. Jalan sempit naik turun antara Weleri Sukorejo. Mendung dan gelap gulita di luar. Nyi asyik tidur. Berkali kali saya mengingatkan sopir untuk hati hati. Jalannya sering terlalu kencang untuk jalan sempit berkelok kelok seperti itu. Tak ada bintang terlihat di atas sana.

Ingatan saya melayang ke masa masa tiga puluh tahun lalu. Di pertengahan tahun tujuh puluhan. Jalan di kegelapan malam seperti ini sering saya lakukan sewaktu pulang praktek dokter. Waktu itu baru beberapa waktu lulus dokter. Ijin praktek belum keluar. Masih menggantikan dokter senior lain yang tidak bisa melakukan praktek pribadi karena menjalani pendidikan spesialis. Salah satu yang saya gantikan adalah dokter yang prakteknya di daerah Gunung Kidul. Di antara perbukitan yang sepi di malam hari. Prakteknya dua hari sekali di daerah itu. Antara jam setengah enam sore sampai kira kira jam sembilan malam. Jika ada panggilan ke rumah pasien mau tak mau harus disanggupi. Jarak dari rumah kontrakan saya ( di Suryodiningratan) kira kira makan waktu hampir sejam naik skuter. Jika tak ada panggilan pasien, biasanya jam sepuluh malam pasti sudah sampai rumah. Jika ada panggilan pasien, sampai rumah biasanya lewat tengah malam.

Di hari hari lain, saya juga buka praktek, tetapi lebih dekat, sedikit di luar kota Yogya. Biasanya siang sampai di rumah dari kantor jam tiga siang. Jam empat atau setengah lima harus sudah berangkat lagi ke tempat praktek. Anak saya baru satu waktu itu, masih umur setahun lebih. Siang hari antara jam satu sampai jam tiga, kerja di poliklinik pabrik di Sleman. Dua kali seminggu. Rutin selama empat tahun. Tak mungkin mengandalkan gaji untuk mencukupi kebutuhan sehari hari. Di awal tahun delapan puluh saya harus berangkat ke UK untuk ambil program doktor. Pulang ke Yogya tahun delapan puluh tiga, tak pernah lagi sempat buka praktek pribadi.

Banyak pengalaman yang menarik selama menjalani praktek dokter. Yang ingin saya ceritakan hanyalah sepenggal pengalaman yang tak mungkin terlupakan. Sehabis mengunjungi pasien di rumah mereka. Saya sendiri tak pernah tahu apa makna kisah itu.
Suatu malam, waktu hampir menunjukkan jam setengah sepuluh ketika pasien terakhir meninggalkan ruang praktek. Semua sudah terlayani dengan baik. Tak ada kasus aneh atau peristiwa istimewa. Saya sudah siap siap untuk pulang ketika perawat memberi tahu bahwa ada panggilan pasien. Dua orang pemuda mengatakan bahwa ayahnya sakit berat. Perut kesakitan luar biasa sejak siang hari. Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit atau ke klinik ? Nggak mungkin katanya karena nggak ada kendaraan. Untuk mbonceng sepeda, kondisinya nggak memungkinkan.

Rumahnya katanya nggak jauh, hanya menyeberangi tiga perbukitan. "Dekat kok, hanya dibalik bukit bukit itu". Tetapi perawat menjawab bahwa sudah kelewat malam. Perawat mengatakan, katanya desa itu berjarak kira kira sepuluh kilometer, naik turun bukit. "Kalau sempat ya besok saja di bawa ke sini. Kalau nggak di bawa ke rumah sakit". Namun melihat kekhawatiran di wajah ke dua pemuda itu, saya menyimpulkan kalau ayahnya benar benar memerlukan pertolongan malam itu juga. Akhirnya saya putuskan untuk mendatangi pasien itu. Perawat sengaja tak saya ajak oleh karena dia nampak sudah sangat kecapaian. Saya naik skuter mengikuti kedua pemuda naik sepeda. Tak bisa berjalan cepat. Sepeda harus dituntun jika menaiki bukit.

Cuaca cerah malam itu. Bulan bersinar temaram. Kami berjalan pelan di jalan sepi diantara perbukitan, tegalan dan semak belukar. Suara belalang malam menambah rasa sunyi yang mencekam. Akhirnya kami sampai di desa yang dituju. Hanya beberapa rumah, berjajar rapi di kaki sebuah bukit kecil. Tak ada listrik. Hanya lampu lampu minyak yang menerangi beranda rumah. Tak semua rumah memasang lampu penerangan. Listrik belum masuk desa waktu itu. Rumah pasien sangat sederhana di ujung jalan. Sewaktu saya masuk, beberapa orang duduk menunggu di ruang tengah, di amben (bhs Jawa, mungkin kata lainnya sofa) beralaskan tikar. Kepulan asap tembakau memenuhi ruangan, menambah sesak ruang berdinding bambu itu.

Saya mendapati pasien,seorang pria usia lanjut, yang sangat menderita, kesakitan hebat karena koliek. Saya lakukan wawancara dan pemeriksaan secara cermat. Kecurigaan saya adalah koliek usus, mungkin karena salah makan. Biasanya kasus seperti ini jika tidak ada riwayat syok anafilaksi saya berikan suntikan yang mengendorkan kontraksi dan mengurangi nyeri. Saya selalu menyiapkannya sebagai salah satu obat emergency. Pasien setuju diberi suntikan. Malah dia minta agar di suntik, oleh karena rasa mualnya sangat mengganggu jika harus minum obat. Saya berikan suntikan dosis penuh dan saya tunggu beberapa saat pengaruhnya. Tak ada lima belas menit kemudian, pesien sudah kentut dan merasa nyeri banyak berkurang. Saya minta untuk kontrol esok paginya ke rumah sakit dan saya berikan surat pengantar untuk pemeriksaan dan tindakan lebih lanjut. Paling tidak malam ini tak menderita nyeri dan bisa beristirahat.Tak banyak saya sempat bicara dengan keluarganya. Isterinya berjualan di pasar Piyungan. Kedua anak muda itu masih sekolah. Mereka mengantar sampai ke pinggir jalan sewaktu saya pulang. Tampak begitu lega dan berbahagia melihat suami dan ayahnya sudah membaik.

Waktu telah menunjukkan pukul sebelas lewat sewaktu saya meninggalkan rumah itu. Pelan pelan naik skuter ok jalan tak rata, permukaannya di tutup batu kali. Belum sempat mempercepat jalan skuter, di tikungan jalan ada seseorang menghentikan saya. "Dokter, sudah selesai ya ?" Saya memang pakai baju putih kalau praktek. Mungkin dia tahu kalau saya dokter. Saya berhenti tanpa mematikan mesin skuter. Seorang wanita muda, tak jelas roman mukanya. Nampak agak gugup dan gelisah.

"Dokter saya mohon pertolongannya ya dok. Anak saya satu satunya sudah tiga hari tidak mau makan. Kadang kadang kejang".

" Di mana rumahnya Bu ? Mengapa nggak dibawa ke Puskesmas ?
"Sudah ditangani sendiri sama mBah dukun di rumah. Belum ada perkembangan dok. Kejangnya semakin sering. Tolonglah anak saya ya dok"..

Hati saya tersentuh melihat kegetirannya. Tak ada alsan untuk menolak, walau malam telah larut. Saya hanya ingat Nyi sama anak saya di rumah. Saya merindukan mereka. Pasti sudah menunggu sejak tadi. Biarlah saya mengunjungi anak wanita tadi. Kalau toh terus pulang, sudah kelewat malam. Tak banyak beda dari sisi keterlambatan waktu. Tetapi banyak sekali artinya bagi pasien itu.

Wanita itu begitu bersemangat menaiki sepeda di depan, dan saya mengikutinya dari belakang. Kadang kadang dia bercerita tentang suaminya yang mengembara mencari nafkah di Jakarta. Saya tak banyak menghiraukan ceritanya. Kadang2 ceria, kadang2 nampak sedih dan khawatir.

"Gimana ya Dok, anak saya sembuh ya ?'
"Iya Bu, anak ibu semoga cepat membaik "

Selendangnya nampak melambai lambai tertiup angin malam. Bayangan wanita itu nampak tegar di atas sepeda, dalam cahanya bulan temaram. Bayangan saya seolah seperti wanita wanita perkasa diatas kuda dalam cerita. Tetapi dia hanyalah seorang ibu bersahaja yang sedang dirundung rasa khawatir karena anaknya yang sakit. Saya akan berusaha menolongnya. Hanya saya heran kok kuat sekali dia mengayuh sepeda naik turun bukit. Dua pemuda tadi selalu menuntun sepedanya di tanjakan. Ibu ini begitu tegar dan bersemangat. Seolah ingin cepat sampai membawa saya melihat anaknya. Saat menuruni bukit kedua, nampak di ujung jalan ada rumah. Hanya remang remang dalam bayangan sinar bulan. Ada lampu minyak di rumah itu. Beberapa puluh meter kea rah kiri dari rumah itu ada lampu petromaks menerangi sekelompok orang yang sedang main bola voli. Pikir saya hampir tengah malam mengapa mereka masih main voli ?

Kami hampir sampai di rumah itu. Wanita itu nampak menoleh kearah saya dan tersenyum lepas. "Terima kasih lho Dok mau datang ke rumah saya" Dia turun dari sepeda dan menyingkapkan selendangnya. Cepat cepat memasuki rumah. Tiba tiba seseorang datang mendekat. Nampaknya dia salah satu dari keompok yang main voli tadi. Saya terhenyak ketika dia mulai menyapa.

"Mengapa malam larut begini datang ke sini ?
"Saya dokter akan melihat pasien anak ibu yang naik sepeda tadi".
"Tak ada pasien di sini dok. Lebih baik kembali saja".
Beberapa temannya ikut mendatangi dan memberikan minuman air putih.

Pikiran saya agak jelas. Wanita itu tak nampak di antara mereka. Bayangan rumah itu ternyata sebuah komplek pemakaman kecil. Nampak senyap tak ada siapa siapa. Orang orang itu kembali lagi bermain voli. Saya terhenyak di depan pemakaman. Cepat cepat kembali naik skuter saya. Pikiran saya tak berhenti berpikir siapa wanita itu? Siapa yang main bola voli itu ? Di jalan beberapa kali saya bertanya ke orang yang sedang ronda arah jalan raya. Hampir sejam kemudian saya mencapai jalan besar. Saya melaju kea rah Yogya.

Sampai rumah sudah menjelang pagi. Nyi sudah tertidur. Makan malam sudah dingin. Tak ada napsu makan. Pikiran saya tertuju ke wanita tadi. Siapapun dia, dia pasti sangat sedih kehilangan anak bayinya. Kesedihan yang dibawa sampai mati. Di alam sana pun dia masih memikirkan anaknya yang sakit. Mengapa nasib begitu mendera tak kenal ampun.

Esok sorenya saya biasa datang ke praktek. Pasien koliek semalam ternyata datang duluan dan menjadi pasien pertama saya. Sudah sehat seperti sedia kala. Dia banyak cerita tentang penyakit2 di desanya. Katanya ada wanita muda yang bunuh diri menggantung dengan selendang beberapa waktu lalu. Dia baru saja melahirkan ditolong dukun. Beberapa hari sesudah lahir bayinya meninggal karena kejang kejang Pikiran saya ini pasti tetanus neonatorum, karena tali pusat di potong dukun dengan sembilu (bilahan bamboo yang tajam).

Wanita tadi begitu sedih dan murung selama berminggu minggu setelah kehilangan anaknya. Belum empat puluh hari kematian anaknya, dia bunuh diri di belakang rumahnya. Dengan selendang yang dipakai untuk menggendong bayinya sampai ke pemakaman. Mungkin dia menderita depresi paska kelahiran, yang sering tak terdiagnosa oleh pelayanan rutin. Tetapi bunuh diri kadang datang beruntun di daerah Gunung Kidul. Mungkin tertinggi di Indonesia Tak tahu sebab pastinya. Perlu banyak penelitian.

Apa pun sebabnya, saya selalu sedih mengingat wanita tadi. Mengingat wajahnya yang penuh gelisah dan rasa khawatir. Wajah yang penuh harap pertolongan dokter. Sayang semuanya terlambat. Kesedihan dan kedukaan kehilangan anak bayinya di bawa sampai ke alam sana. Ya Tuhan berikanlah dia kedamaian di alam sana bersama anak bayi yang sangat dicintainya.. Air mata saya menetes mengakhiri kisah yang sudah lama berlalu ini.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber, 26 Desember 2007)

Wednesday, December 19, 2007

Gadis di jendela

Lebih empat pukuh tahun lalu. Gang Mawar di Solo Barat. Saya tinggal di ujung jalan. Setiap kali kulewati gang kecil yang teduh dengan banyak tanaman di halaman rumah sepanjang jalan. Entah berapa ribu kali aku melewati jalan berkerikil itu selama tiga setengah tahun. Banyak kenangan banyak cerita sepanjang jalan itu. Catatan ini hanya sekelumit kilasan peristiwa yang saya ingat.

Rumah indah bercat kuning di pertengahan antara rumahku dan ujung jalan. Ada dua pohon jambu air di depan rumah. Dua jendela menghadap ke jalan di samping pintu. Ada garasi di samping kanan. Tak ada yang sangat istimewa bagiku. Rumah rumah ditepi jalan itu selalu saya lewati, selalu saya pandang sekilas, tanpa diskriminasi. Semuanya sama. Penghuni penghuni yang ramah khas penduduk Solo.

Sampai satu saat sepulang sekolah ada sesuatu yang istimewa. Di jendela itu nampak seorang gadis berwajah tenang, memandang langit menikmati dunia. Hanya kesan sekilas yang menggoda pikiran. Hanya sesaat itu saja. Namun hari hari kemudian perhatian saya selalu tertuju ke rumah itu. Apakah dia akan bersandar tangan di jendela itu. Pertanyaan mengharap selalu datang kala melewati jalan sepi itu. Ada kalanya dia menatap dari jendela, kadang duduk di kursi di beranda. Ternyata ada dua bersaudara, kakak beradik. Keduanya gadis gadis yang nampak bahagia, cantik, ceria dan menarik.

Tak tahu siapa mereka. Tak ada nyali untuk menyapa. Dari seragam sekolahnya, mungkin mereka dari salah satu SMA di barat kota Solo dekat dengan SMA ku. Seragam biru putih. Kami tak pernah saling menyapa. Saya hanya mengangguk sopan jika melihat mereka di depan rumah. Ternyata nyali tak cukup kuat untuk berkenalan. Apa lagi bercerita tentang sekolah. Kadang saya melihat teman teman putrinya kumpul ramai di rumah itu selepas sekolah. Saya tak pernah melihatnya naik sepeda ke sekolah. Walau hati saya selalu mengharap sama sama naik sepeda. Akan saya sapa dan berjalan berjajar ke sekolah. Namun mereka tak pernah saya jumpai naik sepeda. Mungkin di antar jemput pakai mobil.

Saya juga tidak tahu persis orang tua kedua gadis itu. Nampaknya seorang petinggi kantor pemerintahan. Jika tidak mana mungkin ada mobil. Saya tak banyak kenalan di sekitar lingkunganya. Baru setahun di Solo dan kebanyakan teman sekolah saya tinggal di bagian timur dan selatan kota Solo. Satu saat saya bilang ke teman saya Diono dan Martalin mengenai gadis cantik yang selalu berada di jendela menatap langit. Mereka berdua begitu percaya diri akan mendatangi mereka untuk berkenalan. Tetapi saya tak juga mempunyai keberanian cukup untuk melakukannya.

Hanya menatap dan memberikan anggukan sopan jika dia berada di jendela itu. Hari hari berlalu, bulan berganti. Perkembangan tak banyak. Dari anggukan kepala berkembang melempar senyum dan melambaikan tangan. Gadis gadis yang bahagia. Menatap masa depan. Memandang dunia menatap langit lewat jendela. Semua orang akan mengalami masa masa bahagia mengukir masa depan seperti mereka.

Beberapa bulan kemudian saya tak melihat gadis itu di jendela. Berhari hari dan berminggu minggu lewat jalan itu hanya melihat jendela dan pintu yang tertutup. Rumah itu tidak kosong. Penghuninya masih tinggal. Saya merasa sangat kehilangan tak melihatnya di jendela. Tidak ada yang menerima lambaian tangan saya. Tak ada senyum yang bisa saya lihat. Malam malam pikiran saya selalu menerawang membayangkan wajah wajah ceria itu.

Beberapa bulan kemudian saya lihat rumah itu sering kedatangan tamu. Ada mobil parkir di situ sore sore atau malam hari. Namun jendela itu masih saja selalu tertutup. Gadis itu tak pernah nampak lagi menatap ke luar lewat jendela. Ada rasa kehilangan yang tak terungkap.

Suatu saat giliran ronda ada tetangga yang bercerita. Ayah kedua gadis itu diambil pihak kemananan. Diamankan entah dimana. Istilahnya memang manusiawi diamankan. Tetapi arti nyatanya ya ditahan dan direnggut kebebasan pribadinya. Masa masa itu adalah masa tanpa kepastian buat mereka yang menjadi atau dicurigai anggota partai kiri.

Kedua gadis itu pasti kehilangan ayahnya. Keluarga itu pasti kehilangan penyangganya. Pikiran saya selalu bertanya siapa tamu yang bergantian datang dan parkir mobil di rumah itu. Kadang sore hari kadang malam hari. Selalu saja berganti setiap hari. Kedua gadis itu tak lagi sempat menatap langit melihat dunia lewat jendela itu. Saya kehilangan wajahnya yang ceria di jendela. Tetapi kedua gadis itu lebih parah. Mereka kehilangan kasih sayang orang tuanya, kehilangan kemerdekaannya. Menerima tamu yang datang silih berganti hanya untuk bertahan.

Masa masa sesudah peristiwa tahun 1965 menyisakan penderitaan untuk banyak keluarga. Banyak anak kehilangan cinta kasih orang tua. Banyak gadis kehilangan kemerdekaan dan cita cita masa depan. Saya tidak pernah tahu apakah ayah kedua gadis itu kembali lagi. Sampai saya meninggalkan Solo di tahun 1968, jendela rumah itu tetap saja tertutup. Lamunan saya semoga mereka sempat kembali mengarungi perjalanan hidup dengan damai. Mungkin saat ini mereka menikmati kehadiran cucu cucunya walaupun dulu tak sempat lagi menatap langit lewat jendela. Mungkin.

Biarlah masa masa suram itu berlalu. Tak kembali lagi ke bumi pertiwi dan mendera kebahagiaan banyak keluarga dan anak anak muda.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber, 14 Desember 2007)

Monday, December 10, 2007

Pelecehan seksual, perkosaan dan hukum proaktif

Pelecehan seksual, perkosaan dan hukum pro aktif

Salam sejahtera untuk semua. Beberapa hari tak sempat membuka Koki. Ada acara pertemuan yang begitu padat di Bangkok. Akhirnya akhir pekan ini kembali di Manila. Ada berita menarik yang disiarkan CNN, BBC atau Al Jazeera. Bukan berita besar, tetapi sempat menarik perhatian media dan kalangan internasional karena kontroversinya.

Berita tentang korban perkosaan di Arab Saudi yang malah mendapat hukuman tambahan dicambuk dua ratus kali. Tulisan ini tak bermaksud mendiskreditkan pihak manapun. Hanya ulasan awam semata. Saya bukan ahli hukum. Hanya berdasarkan atas rasa keadilan. Tak bisa dihindari di banyak negara penerapan hukum sering tak selaras dengan rasa keadilan. Terutama jika itu menimpa pihak yang tak berdaya di mata hukum.

Kembali ke berita kasus perkosaan di Saudi yang menggemparkan itu. (http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/7098480.stm). Wanita muda ini, tak disebutkan kewarganegaraannya, menjadi korban perkosaan oleh sekelompok pria yang menemukan dia bersama dengan kawan prianya dalam satu mobil. Keputusan pengadilan menghukum pelaku perkosaan. Tetapi si koban juga dijatuhi hukuman cambuk 90 kali, oleh karena melanggar hukum segregasi pria dan wanita, dan telah menimbulkan rangsangan syahwat terhadap pelaku sehingga perkosaan berlangsung. Berusaha naik banding, si korban malah mendapat tambahan hukuman menjadi 200 kali cambuk dan kurungan enam bulan. Alasannya karena membocorkan beritanya ke dunia luar. Penasehat hukumnya juga mengalami skorsing.

Di banyak negara berkembang hukum memang tak selalu akrab dan melindungi korban perkosaan dan pelecehan seksual. Sering korban pelecehan seksual dan perkosaan selalu dalam kesulitan berhadapan dengan prosedur hukum formal karena banyak hal. Dalam prosedur penyidikan dan pemeriksaan, tak jarang korban mengalami trauma karena proses yang sering harassing dan intrusive. Tetapi prosedur dan pertanyaan2 ini mungkin diperlukan untuk membuktikan bahwa memang terjadi peristiwa perkosaan dan bukan hubungan seksual atas kehendak bersama. Misalnya, apakah anda merasakan kenikmatan seksual sewaktu kejadian berlangsung ? Apakah vagina anda bereaksi berkontraksi sewaktu ada penetrasi ? Bagaimana pakaian anda waktu itu, apakah memakai pakaian yang merangsang ? Saya tak punya kompetensi untuk mempertanyakan penyidikan yang telah menjadi standard operating procedure.

Tetapi sulit menghindari kesan bahwa substansi hukum juga sering membedakan apakah korban berpenampilan, berpakaian, dan berperilaku yang bisa merangsang napsu pihak pelaku. Dengan kata lain, seolah korban perkosaan dipersalahkan jika dia sebelumnya telah berpenampilan, berperilaku atau berpakaian seronok dan meangsang napsu pelaku. Sebaiknya pelaku perkosaan atu pelecehan mendapat peluang keringanan atau excuse jika korban yang diperkosa atu dilecehkan, berperilaku, berpenampilan dan berpakaian seronok. Ini juga yang mungkin tidak membuat jera para pemerkosa atau pelaku pelecehan seksual.

Wanita yang berjalan sendirian di jalan, terutama di malam hari, tak jarang mengalami pelecehan dalam bentuk siulan siulan krang ajar, sampai colekan colekan yang merendahkan. Jika anda mengalami kejadian seperti ini, apakah anda berani lapor ke pihak keamanan ? Pasti ragu kan oleh karena bentuk pelecehan ini sudah dianggap hal yang biasa. Padahal dalam hukum pidana kita, orang bisa dihukum karena ‘’perbuatan yang tidak menyenangkan”.

Saya masih ingat di salah satu hotel di Almaty, Kazakhtan, dalam satu misi resmi salah satu anggota tim wanita dari Ukraina yang sangat jelita, ditawar oleh seseorang. How much I should spend if I want to sleep with you ? I have one hundred dollars. Teman wanita ini tak menanggapi, hanya menjawab acuh” That would be impossible”. Dia tak tergetar dengan pertanyaan yang melecehkan tersebut. Katanya kalau marah, malah tambah rumit. Hindari saja.

Kembali ke perangkat hukum yang cenderung menyalahkan dan memberatkan korban perkosaan dan pelecehan yang berpenampilan, berpakaian dan berperilaku seronok (kebanyakan wanita). Pikir pikir hukum formal juga harus memberi sanksi bagi mereka mereka (kebanyakan pria) yang mudah terangsang jika melihat lawan jenis berpenampilan, berpakaian atau berperilaku seronok. Ini akan lebih adil dan berimbang. Hukum berimbang dan proaktif.

Mereka mereka yang suka melakukan berbagai tingkat pelecehan, seperti siulan siulan kurang ajar, colak colek, langsung bisa dijerat dengan pasal ‘’pelecehan seksual’’ atau pasal ‘’melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan”. Demikian pula yang jelas jelas memaksakan kehendak dan perbuatan seksual, tanpa persetujuan kedua belah pihak, bisa dijerat dengan pasal ‘’perkosaan” atau pasal “memaksakan kehendak tanpa persetujuan kedua belah pihak”. Ingat dalam dunia politik tanah air, perbuatan ‘’memaksakan kehendak” juga dapat ditindak secara hukum.

Nah orang orang yang gampang terangsang seksual ditempat umum, mestinya bisa ditindak atau dijerat dengan pasal hukum. Ini secara proaktif untuk mencegah pelecehan dan perkosaan. Jika perlu penggunaan kaca mata hitam ditempat umum dilarang. Hanya menjadi sarana lirak lirik. Boleh pakai kaca mata gelap ditempat umum tetapi hanya malam hari.

Yang menjadi masalah adalah bagimana mendeteksi seseorang terangsang syahwat di tempat umum, jika yang bersangkutan tidak/belum melakukan tindakan pelecehan apa apa. Dalam mencegah penyebaran avian flue dan SARS di bandara2 dipasang detector yang bisa mendeteksi orang yang menderita demam. Mungkin detector yang bisa mendeteksi orang yang terangsang syahwat, juga bisa dikembangkan dan dipasang ditempat umum seperti di bandara, stasiun kereta, stanplaat bis, bis malam, cinema, coffee shop, mall dll. Tempat2 yang mempunyai resiko tinggi meningkatnya syahwat. Begitu ada orang yang syahwatnya naik melampaui batas, detector ini akan berbunyi ‘’theeeeeeng”, seperti bunyi dawai kecapi yang tegang. Ini untuk pria. Jika yang terekam adalah pihak wanita, detector akan berbunyi ‘’Pussss ngeooooong”, seperti suara kucing meringik lirih. Walaupun tak ditindak dengan hukum formal, orang2 yang bersyahwat luar biasa ini akan berpikir seribu kali untuk mengumbar syahwat di tempat umum.

Jika dengan perangkat detector ini para pesyahwat luar biasa ini belum jera juga, maka bisa dikembangkan semacam alat bandul magnetic. Bandul ini bisa di setel secara remote. Walaupun syahwat meninggi, karena ada bandul magnetic yang memberati, tak mungkin alat alat persyahwatan itu bisa berdiri tegak. Jika dengan bandul magnetic ini tetap saja pelaku melakukan kejahatan perkosaan, mungkin bisa dipertimbangkan tindakan pengebirian (kastrasi) secara hukum. Toh pengebirian hukum terjadi setiap hari oleh para aparat. Apa salahnya melakukan pengebirian secara hukum. Ini bisa dilakukan dengan suntikan hormonal, tak perlu tindakan fisik operasi pemotongan apa apa.

Ini hanyalah angan angan untuk mencegah pelecehan seksual dan perkosaan. Di bidang lain, kaidah hukum juga telah berlaku sangat proaktif. Misalnya di bidang politik, keamanan, dan pemberantasan terorisme. Axis of evil dipakai untuk mengisolasi negara yang tak disukai. Mengapa tidak diberlakukan proaktif mencegah pelecehan dan perkosaan ? Hanya axisnya sedikit diubah tempatnya, dari mata kea lat syahwat.

Nggak tahulah. Jamane jaman edan.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 10 Desember 2007)

Saturday, December 8, 2007

Tertipu luar dalam

Perkembangan bahasa verbal di tanah air sangat pesat terutama yang berkaitan dengan ungkapan idiomatik sehari hari. Kadang kadang menyulitkan pengguna bahasa, jika yang bersangkutan tak berada dalam konteks yang sesuai. Akhir akhir ini saya sering berdebat dengan Nyi, perkara istilah tertipu luar dalam. Saya tak paham apa maknanya. Dalam pemberitaan sering tersirat adanya wanita (tak berdaya )yang tertipu harta benda maupun tertipu dalam hubungan seksual. Tertipu harta benda bisa dimengerti oleh karena memang banyak penipu bergentayangan mencari rejeki. Korbannya terutama mereka yang lengah dan tak berdaya. TKW umpamanya sering menjadi korban penipuan luar kehilangan uang selepas tiba di bandara.

Tetapi tertipu bagian dalam ini susah di cerna. Jika hubungan seksual dilakukan tidak atas kemauan bersama, atau atas paksaan satu pihak (pria) jelas ini termasuk perkosaan. Tetapi jika hubungan tersebut dilakukan atas kemauan bersama, ini merupakan suatu informed mutual decision. Masalahnya menjadi rumit jika pihak wanita terlibat bujuk rayu pria untuk yang kemudian berlanjut sampai hubungan seksual. Apakah ini secara hukum menjadi apa yang dikenal "tertipu bagian dalam"? Kalau si pria sambil merayu dan menikmati hubungan seksualnya, kemudian juga mencuri harta entah uang, cell phone, jam tangan, perhiasan dan lain lain, ini namanya tertipu bagian luar.

Penipuan bagian luar mudah dibuktikan secara hukum oleh karena ada barang yang hilang. Tetapi penipuan bagian dalam susah dibuktikan secara hukum, oleh karena tidak tahu apakah sewaktu kegiatan seksual tersebut terjadi, didasari atas suka sama suka, mau sama mau, atau keterpaksaan. Saya bukanlah ahli delik tipu menipu bagian luar atau bagian dalam. Katanya menurut hukum di Indonesia, jika hubungan seksual itu terjadi karena si wanita di iming2i akan diajak kawin (lagi), diajak pesiar ke luar negeri, atau dijanjikan peran sinetron, dan iming2 itu tak sampai terlaksana, maka dapat menjadi delik penipuan bagian dalam. Sipelaku dapat ditindak secara hukum jika korban melaporkan ke aparat hukum oleh karena perbuatan tersebut adalah delik aduan. Jika delik aduan penipuan bagian dalam tak memenuhi, aparat bisa menggunakan pasal 'perbuatan tidak menyenangkan", walaupun sebenarnya sewaktu hubungan itu terjadi, mestinya ya sama sama senang dan sama sama mau.

Jika penipuan bagian dalam ini bersaman dengan kejadian penipuan luar, tak susahlah menyidik dan melakukan tindakan hukum. Misalnya si korban dipikat dengan minyak sinyongyong, diajak tidur bersama lalu dompet diambil dan dibawa lari. Peristiwa ini sering terjadi terhadap penumpang bis malam, atau terhadap wanita client dari dukun (palsu) yang mengaku sakti. Ceritanya hampir selalu sama. Mestinya hukuman bagi pelaku diperberat. Yang sering korban juga diintimidasi macam macam. Bahkan korban sering disalahkan. Di Saudi korban perkosaan bisa dihukum. Alasannya mungkin karena korban telah menimbulkan dan merangsang syahwat bagi pelaku perkosaan secara excessive. Nggak mudheng saya.

Pengalaman saya dalam penipuan luar dalam agak lain. Kira kira dua tahun lalu di Manila. Untung tidak sampai ke pengadilan. Bisa bisa tambah rumit. Bukan sexual harassment tetapi murni adalah kasus penipuan luar dalam.

Seperti biasa di akhir pekan, di hari Sabtu biasanya saya main golf. Hari Minggu jalan jalan bersama Nyi. Di Manila tak banyak pilihan jalan jalan. Paling paling ke mall. Hari itu kami ke mall di Alabang Town Centre. Sebenarnya lebih enak malas malasan di rumah, tetapi Nyi berkeras ke sana oleh karena ada sale. Kalau musim sale begini, biasanya dia mesti belanja keliling mencari oleh oleh untuk cucu.

Saya hanya mengikuti saja. Suara musik yang keras menambah suasana hiruk pikuk. Di Manila saya amati di manapun, entah itu di restoran atau rumah musik, mereka selalu memutar musik keras keras. Seolah olah pelanggan itu tuli semuanya. Di Indonesia saya pernah beberapa kali mengalami keracunan suara musik.. Di NTT musik disetel keras di dalam kendaraan angkot. Di kampung kalau ada tetangga hajatan supitan atau mantu, musik ndang ndhut disetel keras siang malam. Saya sebenarnya sangat senang musik ndang ndhut ini asal nggak terlalu keras. Akhir akhir ini musik campursari, yang sering lagu2nya agak sedikit porno, seperti lagu Cocak Rawa. Di Lubuk Alung Sumatra Barat pernah mblenger ndengerin lagu Pantai Balibis, yang disetel 3 malam berturut turut dengan pengeras suara di gantung di pohon kelapa. Saya baru mengikuti pelatihan. Lagunya bagus dan enak sebenarnya, tetapi tidak untuk 3 hari 3 malam tanpa henti.

Kembali ke kisah di mall Alabang. Konsentrasi mulai terganggu karena suara musik yang gemuruh. Saya menggandeng NYI jalan keluar masuk mall, walau konsentrasi saya terpecah karena suasana yang hingar bingar. Hanya berjalan mengikuti arus manusia. Tak tergesa gesa oleh karena tak ada yang dikejar. Rasanya agak ngantuk, Minggu siang biasanya tidur. Kebiasaan sejak masih muda dulu.

Ada yang terasa aneh yang tak saya sadari pada awalnya. Gandengan Nyi terasa agak berat. Biasanya gandengan hanya dengan saling berpegangan jari jari atau telapak tangan. Terasa ringan dan tidak saling mengikat irama langkah masing masing. Ini kok aneh, dia menggamit erat lengan kiri saya. Rasanya berat dan langkah kaki terganggu karenanya. Kami berjalan terus bergandengan. Beberapa waktu kemudian saya bertanya akan beli apa. Betapa kaget ketika saya menoleh, ternyata bukan NYI. Orang lain yang menggamit lengan kiri saya. Seorang nenek nenek yang memang kelihatannya agak kesulitan berjalan sendiri. Ketika dia melihat saya terkaget kaget, dia juga kaget dan bilang I am sorry. Dia memanggil manggil pengantarnya, mungkin anaknya, dua orang wanita muda yang nampaknya juga begitu sibuk memilih pakaian on the sales. Ketika mereka mengetahui kekeliruan tersebut, malah tertawa lepas sambil bilang "Sorry sir".

Tak ada alasan untuk mengeluh. Tetapi Nyi saya tak lihat di situ. Mungkin dia masuk toko yang lain dan keasyikan milih. Biasanya njlimet sekali dan saya tak pernah sabar menanti. Dari pada bosan menunggu saya mencoba memilih beberapa baju dan pakaian dalam. Ada hem yang dijual satu paket dengan kaos dalam. Saya nggak minat beli kaos ok sudah sejak pengantin baru, nggak pernah pakai kaos dalam. Tetapi model bajunya menarik, warna biru dengan kotak kotak kecil. Dijual separoh harga. Tak sempat mencobanya, saya ambil baju tersebut, ukuran 16 dengan kaos dalamnya. Pelayan toko nampak ramah dan berkali kali bilang kalau baju tersebut cocok untuk saya. Whatever !

Saya bisa menghubungi Nyi lewat ponsel dan kami ketemu di salah satu rumah makan sambil makan siang sekalian. Saya menggerutu keliru nggandeng orang lain. Tak minta maaf malah menertawakan, 'Makanya jangan jelalatan lirak lirik kesana kemari'. Kalau saya lirak lirik kesana kemari, malah nggak akan sampai keliru. Saya keliru nggandeng orang karena percaya yang saya gandheng itu Nyi. Perasaan mantap tanpa keraguan. Bukan karena lirik sana lirik sini. Kalau toh melirik, ini tempat umum, nggak mungkin berjalan menutup mata, atau pakai kaca mata kuda. Keluhan ini juga tak logis tak sesuai konteks.

Sampai di rumah agak sore. Terus tertidur pulas. Malam malam saya ingat baju yang saya beli. Saya buka dan saya coba. Ternyata ukurannya kekecilan. Baju maupun kaos. Saya mengeluh sendirian "Tertipu luar dalam'. Nyi yang sudah tertidur ternyata mendengar keluhan saya. Dia mengigau tak jelas " Saya tertipu luar dalam tiga puluh tahun". Mungkin ngelindur. Tetapi ngelindurnya juga di luar konteks. Tak ada niat mengembalikan baju dan kaos tersebut. Ini bukan delik aduan yang cukup untu melapor ke aparat. Baju dan kaos masih tersimpan rapi. Arsip otentik pengalaman tertipu luar dalam.

Salam luar dalam
Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita KompasCyber 30 Nov 2007)