Saturday, December 27, 2008

Mencari menantu



Di pertengahan tahun sembilan puluhan saya ketemu dengan seorang teman dan kerabat dekat. Dia guru besar di salah satu lembaga pendidikan tinggi ternama di Indonesia. Juga seorang akademisi ulung. Hampir tiap bulan ke luar negeri, memberikan kuliah atau ceramah ilmiah. Saya bertemu waktu itu di i Los Angeles, dalam perjalanan pulang ke Indonesia dengan pesawat Garuda. Tak ada yang aneh. Semua biasa saja. Kami ngobrol akrab seperti biasanya. Perhatian saya tertuju ke barang bawaannya. Dia membeli tongkat pemukul baseball. Bagus sekali. Tak habis pikir saya. Dia tak suka olah raga. Sewaktu kecil kalau main kasti di sekolah, kalau dikejar lawan yang membawa bola, dia malah nggak mau lari. Hanya menutup muka dan kepalanya takut kalau di kayang dengan bola kasti itu. Dia menghindar menjawab ketika saya tanya " kok beli tongkat baseball?"

Guru besar tadi punya dua anak gadis yang menginjak remaja. Yang nomer satu sangat cerdas, sudah duduk di universitas. Index prestasing selalu dapat A sejak semester satu. Waktu itu dia sudah duduk di semester empat. Adiknya masih duduk di SMA waktu itu. Juga termasuk pelajar pandai dan aktif. Keduanya mempunyai tingkat intelektualitas tinggi seperti bapaknya. Apalagi selalu digembleng oleh sang ayah agar selalu rajin menekuni mata pelajaran.. Anak yang pertama kuliah di ekonomi. Begitu ketatnya sang ayah mendisiplinkan, jika akhir pekan kedua gadis itu akan keluar selalu diantar oleh ayah ibunya. Tak pernah dilepas sendirian. Apalagi sama cowok, meskipun itu teman sekuliah. Bapaknya begitu disiplin dan posesif sama kedua putrinya. Kadang dalam gurauan, dia sering berujar soal disiplin ini. " Iya kalau ketemu kawan yang baik dan disiplin. Kalau temannya seperti KI ini kan gawat. Bablas nanti" Gila orang ini, dikiranya apa saya ini. Nggak pernah melarikan anak orang saya jaman muda dulu. Tabu.

Kadang2 beberapa teman cowok ada yang ingin bertandang ke rumah mereka di akhir pekan karena sang gadis memang belum pacaran. Tetapi semuanya padha ngacir dan mundur teratur. Sang Bapak selalu disiplin mengawasi. Mulai jam enam sore sudah siap pakai sarung, duduk di ruang depan, minum teh sambil baca koran. Itu semua masih normal normal saja. Yang nggak normal, tongkat baseballnya selalu diletakkan di samping meja. Keponakan saya yang kebetulan memberanikan diri mau menyambangi sang gadis di akhir pekan ikut mundur teratur. "Ngeri oom. Bapaknya selalu siap dengan tongkat baseballnya di kamar tamu. Belum tentu dapat nggaet, resiko kepala pecah"

Ya walaupun si gadis begitu cantik dan menarik untuk diapeli, siapa berani datang? Lebih baik cari anak pondokan, mungkin standard nggak kualitas prima, tetapi nggak ada yang ngawasi. Kalau jadi pacar tetap, dipermak sedikit dengan make up juga bisa cantik. Jarang anak pondokan nampak anggun, kecuali kalau sudah punya pacar tetap. Tak perlu kecil hati. Kemajuan kosmetikologi sangat pesat. Wanita itu cantiknya wantek (nggak gampang luntur) kalau tetap nampak cantik saat bangun tidur. Atau tetap nampak anggun walau ngrokoti jagung bakar yang besar besar, dan harus buka mulut lebar lebar. Kalau cantiknya hanya pas pesta, sorry meck, belum tentu sustainable.

Saat pulang akhir tahun ini, saya ketemu lagi sama teman kerabay saya tadi di bandara Sukarno Hatta. Kembali kami terlibat dalam pembicaraan yang akrab. "Ki rambutmu memutih semua, sudah punya cucu berapa?" Sapanya selalu sambil berkelakar.
"Saya sudah punya cucu empat. Aryo anaknya dua, Wisnu juga dua. Rambut putih, punya cucu itu sudah jadi wise old man Bung. Berapa cucumu?" Tanpa tendensi apa apa, saya menanyakan apakah dia sudah punya cucu. Saya merasa kecewa mengajukan pertanyaan tersebut setelah mendengar jawabannya.
"Saya belum mantu. Pengin sih pengin momong cucu. Tapi anak anak kok masih tenang tenang saja. Nggak bisa mendesak desak saya".

Dia cerita jika kedua anak gadisnya sudah bekerja. Kariernya menanjak lancar. Dua duanya eksekutif muda masa kini. Tetapi yang membuat was was orang tuanya kok belum ada gejala serius membina hubungan asmara dengan pria. "Saya sudah mau pension, pengin punya cucu juga. Ada calon enggak Ki. Ponakanmu ada yang masih nganggur? Saya menjawab sambil bergurau "Ponakan ponakan saya begitu lulus langsung padha kawin. Selalu disuruh minum jamu sama ibunya. Susu madu telor sama jahe, biar agak agresip. Beberapa teman anak saya sih masih ada yang prei walau sudah mapan".

Salah seorang teman anak saya sering datang ke rumah, sejak masih mahasiswa. Sekarang usaha swasta di bidang teknologi informasi. Kliennya tersebar di seluruh Indonesia. Businesnya nampak berkembang pesat di era desentralisasi. Dia mengembangkan software computer untuk instansi2 pemerintah kabupaten. Hobinya koleksi mobil antik. Suka keliling Indonesia, demi pekerjaan dan hobi. "Punya hobi mahal gitu, apa enak dinikmati sendiri Mas" tanya saya bergurau. "Wah susah Oom, belum dapat juga sudah cari di mana mana. Carikan dhong Oom". Edan anak ini, punya hobi mahal gitu kok nggak bisa cari isteri. Jaman saya dulu cuma modal sepedha onthel saja masih berani bersaing. Ini anak, tampangnya gantheng, wajahnya tampan, kayak Tora Sudira. Cuma agak pemalu saja. Mana ada calon mertua nggak tergiur.

Malam itu saya tilpon teman saya sang professor tadi. " Hei Bung, saya ada pejantan ampuh. Nggantheng, sederhana, sangat mapan. Hobi koleksi mobil antik. Dari keluarga tradisional, well reputed" . Dia nggak komentar apa apa. Esok malamnya, tilpon ke saya. "Tolong dikirim fotonya lewat email". Wah dari pada ikut pusing, saya minta email sang gadis, saya berikan alamat email si pria. Biar padha kontak sendiri. Jaman sudah gampang. Kalau malu bicara dan ketemu langsung, kenapa nggak lewat email saja? Jauh lebih mudah dibanding jaman saya dulu. Kalau malu ketemu, harus tulis surat. Salah salah jatuh ke orang lain. Nggak mau terlibat langsung saya dalam negosiasi perkenalan. Malah bikin pengin, bisa diamuk NYI. Moga moga mereka saling cocok. Gitu aja kok repot ya?

Salam untuk anak anak muda. Mohon maaf tak ada maksud melecehkan siapapun. Gaya omongan dan gurauan saya dengan teman kerabat tadi sudah sejak muda dulu.
Ki Ageng Similikithi

Wednesday, December 24, 2008

Ah pura pura tidak kenal

Ini cerita dari pertengahan sembilan puluhan. Sore sore saya bersama NYI dan anak saya almarhum Moko, mau beli sesuatu di mall Malioboro. Kami naik lift dari ruang parkir. Ada beberapa pengunjung yang bersama dalam lift. Saya tak begitu memperhatikan. Tiba tiba saja saya menyadari kalau satu di antara yang berada di lift adalah teman sejawat, Mr. X, yang pernah duduk bersama bertahun tahun dalam salah satu komisi di kampus. Saya menyapanya dengan ramah dan hangat. Saya ajak dia bersalaman. Agak terkejut melihat reaksinya. Dingin seolah belum pernah kenal. Saya tak memikirkannya. It is not a big deal.

Baru kemudian NYI cerita setelah keluar dari lift, kalau Mr. X sudah melihat saya sejak kami masuk lift. Dia tak menyapa, hanya menatap sepintas, walau kami telah kenal baik bertahun tahun. Beberapa hari kemudian, dalam perjalanan ke Jakarta, kami bertemu tak sengaja di bandara. Dia menjawab sapaan saya dengan dingin seolah belum kenal. Dan kemudian menghindar menemui temannya yang lain. Mr.X memang sudah beberapa tahun berdomisili di Jakarta. Pejabat tinggi di pemerintahan, dekat dengan RI 1. Tak mungkin dia tak mengenal saya oleh karena kami bekerja bersama selama bertahun tahun. Tetapi nggak tahulah, mungkin jabatan barunya di Jakarta membuatnya lupa koleganya. Atau dipikirnya saya akan meminta fasilitas ini itu. Tak ada dalam kamus saya boo. Tak pernah terpikir memanfaatkan teman dan persahabatan.

Di akhir tahun delapan puluhan. Di stasiun Ambarawa, saya bersama anak anak di hari Minggu melihat lokomotif pensiunan. Saya melihat seorang kolega muda, asisten ahli di rumah sakit pendidikan, Mr Y. Kebetulan beberapa minggu sebelumnya datang ke kantor saya, konsultasi penelitian. Saya sediakan waktu khusus ok kebetulan saya juga memberikan mata kuliah itu. Saya sapa dengan ramah ok saya pikir dia baru saja konsultasi sama saya. Anehnya dia seolah nggak kenal sama sekali. "Anda siapa ya? Kenal saya di mana?" jawabannya mengejutkan. Agak tersipu saya ok pertemuan di muka umum. Anak anak saya pada bilang " Bapak sok akrab sih". Beberapa hari kemudian, sekretaris saya memberitahu kalau Mr. Y yang dulu konsultasi barusan lulus pendidikan spesialisnya. Cepat benar berubah, hanya beberapa minggu ganti predikat sudah seolah "lupa". Begitu berbeda sewaktu dia datang minta konsultasi.

Kelupaan memang kadang datang menghinggapi tanpa kita sadari. Tak selamanya kita akan ingat siapa siapa yang pernah kita jumpai sebelumnya. Ini alamiah belaka. Saya juga sering kelupaan. Terutama mereka yang sudah lama nggak ketemu. Biasanya sikap kita menjadi agak kikuk jika tak bisa mengingat siapa yang menyapa kita. Rasanya malu karena kita kehilangan daya ingat. Juga ada rasa bersalah seolah kita menganggap remeh orang yang sebenarnya kenal sama kita. Kadang untuk menutup rasa kikuk kita berusaha mengalihkan pokok bicara seolah kita kenal betul. Dua tahun lalu dalam sebuah negosiasi antar negara, salah seorang pimpinan delegasi dari Butan menyapa dengan ramah " Ki how are you. Long time no see". Saya agak terkejut, sama sekali lupa siapa dia dan saya belum tahu kalau dia ketua delegasi dari Butan. Mencoba menutupu rasa kikuk saya menjawab sekenanya " Yes the last time we met, a few years ago in Delhi". Lebih terkejut lagi sewaktu dia menjawab spontan " Ki, we are getting old. We met in Yogya, 15 years ago. I am Sonam from Bhutan".

Baru sadar saya dia adalah kenalan lama yang datang ke Yogya 15 tahun lalu. Jelas saya masih ingat benar. Saya selalu menyampaikan salam lewat kolega2 juniornya jika ketemu dalam forum internasional. Lima belas tahun berlalu, banyak perubahan baik fisik maupun profesi. Lima belas tahun lalu, dia masih muda, sangat tampan seperti aktor Bollywood. Sekarang dengan cambang lebat, muka berwibawa, dia menjadi menteri di pemerintahannya. "I must apologize for not recognizing you. You look great, my friend". Saya terang terangan minta maaf. Model cambangnya banyak merubah konstelasi roman mukanya. Cambangnya sangat bagus, seperti cambang Burisrawa gandrung dalam cerita wayang orang.

Selain kelupaan yang bersifat alamiah fisiologis, banyak kebiasaan kelupaan atau pura pura lupa karena faktor jabatan dan martabat. Kadang orang lupa karena jabatan baru yang dipegangnya, atau karena kekayaan yang diraihnya. Tidak otomatis sebagai syarat untuk kenaikan pangkat. Tak semua orang akan berperilaku demikian. Hanya yang saya pengin tahu secara kualitatif, bagaimana rasa dibalik pura pura lupa tidak kenal itu ya? Jika kita kebetulan lupa sama orang yang pernah kita kenal yang menyapa kita, rasanya kok kikuk dan merasa bersalah. Tetapi bagaimana rasanya mereka yang pura pura tidak kenal teman karena jabatan barunya. Nggak tahulah. Tak bisa saya menjelaskannya. Hanya pesan singkat "Aja kagetan. Aja gumunan. Aja dumeh".

Salam aja dumeh
Ki Ageng Similikithi

http://community.kompas.com/read/artikel/1926

Saturday, December 13, 2008

Nunggak semi


Mas Parto begitu gundah ketika isterinya memberi tahu bahwa anak lelaki satu satunya, Supardi kok ikut main band di sekolah. Nama lengkapnya Suparto, pekerjaannya sejak muda jadi sopir. Sopir bis jarak jauh, Wonogiri Lampung. Profesi ini sudah digeluti lebih dari dua puluh lima tahun. Sejak dia belum kawin. Dia meneruskan profesi orang tuanya almarhum yang juga sopir, supir truk gandeng. Bagi Mas Parto menjadi sopir bis bukan sekedar mata pencaharian. Tetapi profesi yang sangat dibanggakannya. Mendapat kepercayaan umum, mengantar orang yang bepergian ke tujuan dengan aman dan selamat. Juga ada kepercayaan diri yang besar, merasa menjadi raja di jalan. Bisnya besar keren, warna merah kuning sangat meriah. Lain dengan sopir truk, profesinya sering terkait dengan warung remang remang sepanjang jalan. Menjadi sopir bis sudah merupakan loncatan profesi antar generasi dibanding dengan ayahnya yang hanya sopir truk gandeng, yang kalau naik tanjakan sering mesinnya ngos ngosan setengah mati. Dia mencoba memendam rasa gundah. Memang pembawaannya agak pendiam. Sopir bis jarak jauh pantang cengengesan seperti sopir truk atau angkot. Namun dia tambah rusuh ketika mendengar Supardi mau mewakili sekolah dalam perlombaan band sekotamadya. Edan. Ini bukan main main lagi. Harus ada tindakan. Memang sejak dua tahun ini anaknya, Supardi selalu tekun belajar musik dan ikut main band. Dulu sih mulanya hanya sering membantu angkut angkut kalau orkes keroncong di kampungnya naik panggung.

Singkat cerita band sekolah Supardi dapat juara satu. Supardi jadi bintang karena dia pemain melodi. Kadang ikut nyanyi. Dalam acara final pak walikota ikut menyaksikan. Bahkan ikut foto dengan band sekolah Supardi ketika mereka menang. Begitu gembira Supardi cepat cepat pulang memberi tahu bapak ibunya. Ini peristiwa istimewa. Bayangannya dia akan bisa rekaman. Namanya nanti tenar masuk TV entah KISS, entah Kasak Kusuk, apalah. Yang ptning nggak masuk berita kriminal Waspadalah. Bahkan dia pikir nama Supardi nggak begitu afdol sebagai pemain band masa kini. Dia akan ganti dengan nama baru Sarminto Tahalele. Keren boo. Dengan riang dia lapor bapaknya kalau barusan menang perlombaan band. Berapi api dia ceritakan kalau dia akan menekuni musik supaya tenar bisa masuk TV. Juga minta ijin dan doa restu mengganti nama nantinya jadi Tahalele. Mas Parto geram mendengar cerita anaknya dan membentak keras. "Main band negklekmu bejat. Kita ini turun temurun profesinya sopir. Mbahmu sopir truk. Aku sopir bis. Tak bisa kau melanggar garis profesi keluarga. Junjunglah martabat keluarga. Nunggak semi. Apa lagi ganti nama, laknat itu. Bukan jamannya lagi". Supardi lemas dan kecewa berat. Tak menyangka jika ayahnya tak akan menyetujui pikirannya. Namun tak berani dia membantah. Tak mampu dia membayangkan jadi sopir ketika angan angannya terbang dirubung fans gadis gadis cantik, foto foto, diwawancarai TV. Oooh sopir paling paling bisanya cubit cubitan sama penumpang genit. Gengsi.

Cerita diatas sekedar ilustrasi betapa orang tua banyak yang mendambakan anaknya nunggak semi profesi orang tua. Kalau bapaknya jadi Gubernur, anaknya ya jadi gubernur. Bapaknya jadi anggota DPR, anaknya ya harus jadi anggota DPR. Bapaknya Presiden, anaknya minimal harus jadi Wapres. Bapaknya Kabag (Kepala Bagian), anaknya harus jadi Kabid ( Kepala Bidang). Banyak contoh. Bahkan kadang dengan segala cara. "Dengan segala cara" ini yang sering merugikan. Bukan cuma sang anak, tetapi juga masyarakat umum. Orang tua memang selalu harus mendorong anak punya masa depan gemilang, tetapi tak harus selalu dengan nunggak semi. Biarlah nunggak semi itu berjalan alamiah seperti pohon sonokeling yang rimbun. Nggak perlu dipaksakan, apa lagi dengan segala cara

Friday, December 5, 2008

Kampus pedesaan masuk urutan dunia


Sewaktu membaca publikasi survei "The Times Higher Education – World Universities Rankings", saya terkesima bangga. Untuk bidang biologi dan kedokteran, Universitas Gadjah Mada menduduki urutan ke 106 di dunia. Bahkan di tahun 2006, pernah menduduki peringkat ke 72. Untuk tahun 2008 yang masuk peringkat dibawah seratus dari Asia tidak banyak, hanya beberapa universitas ternama di China, Jepang, Korea, India, dan Singapura.

Dapat peringkat 106 dunia tetap merupakan urutan terhormat. Apalagi dalam suasana krisis berkepanjangan seperti saat ini, masyarakat global masih menganggap UGM sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bisa dipercaya, bidang kedoteran dan biologi. Apalagi jika diingat sejarah berdirinya pendidikan tinggi kedokteran & biologi di Universitas Gadjah Mada, kita bisa berbangga dengan pencapaian ini. Enam puluh tahun lebih sesudah dirintis dan didirikan oleh Prof. Dr. Sardjito. Mulai dengan Perguruan Tinggi Kedokteran Klaten. Sebearnya bukan di Klatennya. Tetapi di salah satu desa di selatan kota Klaten, dimana laboratorium Mikrobiologinya menyumbang produksi vaksin untuk Republik semasa di blockade Belanda. Karya karya penelitian bidang mikrobiologi Prof. Dr. Sardjito dikenal dalam dunia internasional waktu itu.

Mereka yang pernah mengalami pendidikan di tahun tahun awal perkembangan, tak bisa membayangkan kalau nantinya lembaga pendidikan tinggi kedokteran ini akan masuk dalam urutan dunia. Sarana pendidikan dan penelitian begitu sederhana. Di tahun tujuh puluhan tempatnya masih nebeng di kompleks Mangkubumen. Sedikit demi sedikit pindah ke Sekip, Bulaksumur di akhir tujuh puluhan. Saya hanya bisa terharu membayangkan bagaimana lembaga pendidikan dengan sarana yang begitu sederhana bisa berkembang masuk dalam urutan dunia. Saya masih ingat di akhir tahun tujuh puluhan, sewaktu mengirim salah satu naskah penelitian di majalah Tropical and Geographical Medicines di negeri Belanda, di dalam surat balasan redaksi ada tulisan tangan, sebagian dengan kata kata Indonesia campur Jawa, yang mengatakan senang sekali menerima naskah dari Gadjah Mada. Beliau adalah Prof. Dr. Kloke, alumnus UGM, disertasi doktor tahun 1950 (?) di Yogya dengan penelitian mengenai frambusia di Tjawas (Klaten?).

Hanya rasa haru dan bangga yang saya rasakan sesaat membaca publikasi Times tadi. Sepuluh tahun lalu ketika meninggalkan kampus, ada rasa kecewa dalam hati. Enam belas tahun tidak pernah naik pangkat. Namun kekecewaan itu hanya berlangsung sesaat. Rasanya apa yang saya lakukan semasa jadi tenaga pengajar di sana selama 23 tahun tak bisa dibandingkan dengan jasa dan kerja keras para perintis lembaga pendidikan kedokteran ini di masa lalu. Saya juga berbangga bisa ikut menyumbangkan Pusat Studi Farmakologi Klinik di sana jadi WHO Collaborating Centre dan masuk dunia global waktu itu.

Sewaktu ketemu di Yogya bulan lalu dengan dekan Fakultas Kedokteran, Prof Dr. Hardyanto, kami bicara2 singkat tentang kemajuan2 di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Salam dan selamat untu para pimpinan, pengajar, alumni dan mahasiswa.

Saturday, November 22, 2008

John Travolta (Grease, 1978)


John Travolta adalah lambang budaya kotemporer antara tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan. Kharismanya dalam dunia musik dan film menggema di kalangan anak muda di seantero jagad. Saya tak banyak mengikuti gegap gempita musik John Travolta waktu itu. Hanya suatu saat di tahun 1977, dalam acara TV, Bambang Gentholet dari grup Srimulat bergaya seperti John Travolta. Ditanya lawan mainnya waktu itu "Bagaimana kabar di luar negeri mas John Travolta?". Jawabannya kocak " Wah kabarnya rame. Rame rame potong padi". Sesudah itu tak banyak terpapar dengan musik atau film film John Travolta. Terlalu "agitating" buat saya yang menggemari musik musik lembut.
Dua minggu lalu ada kejutan tak terduga. Terkena undian mewakili Divisi kami untuk ikut dalam perlombaan video klip dengan tema musik tahun tujuh puluhan. Dalam rangka acara tutup tahun. Saya harus memperagakan, gaya dan tarian John Travolta dalam film Grease, bersama Olivia Newton Jone. Edan kalau suruh yang lain seperti Rock n Roll, masih lumayan paham. Boss saya dapat pilihan Saturday Night Fever. Dia menunjukkan kualitasnya generasi muda tahun tujuh puluhan. Saya terpaksa harus melihat videonya berulang kali.

Pasangan main kami memang ukuran besar pembom B29 and B25. Saya beratnya 90 kg, dia beratnya hampir 70 kg. Rambut putih saya harus di spray supaya bisa berdiri kaku. Pakai jaket kulit dengan kerah berdiri. Hanya berlangsung beberapa menit. Saya mulai dengan teriak "Sandy". Nggak hapal terusnya. Termasuk copot jaket, putar putar sebentar lalu dilempar ke udara. Kemudian bersama Olivia B25, memperagakan gerakan gerakan pasangan John Travolta dan Olivia Newton Jone asli.
Entah ini perlombaan yang ke berapa kalinya. Beberapa tahun lalu saya sempat ikut menari Asereje. Pertandingan antar delegasi dalam pertemuan antar Menteri Kesehatan di Asia Pasifik Barat. Gegap gempita. Lumayan menang. Setelah tak banyak ikut acara acara ginian, kecuali ball room pribadi. Sayang staf muda kebanyakan nggak berminat acara acara beginian. Orang2 yang menjelang pension seperti saya pun masih harus ikut berlomba. Sekedar ikut meramaikan. Tut Wuri Handayani bo.

Semalam sama NYI nonton pergelaran musik ABBA. Sebagian besar penonton umur setengah baya. Selama pertunjukan mereka semuanya terbawa asyik menari bersama musik ABBA. Termasuk NYI. Saya hanya diam terpukau dengan lagu2nya yang dinamis dan mengentak. The Dancing Queen, Fernando, Super Trouper, Mama Mia dll. Suasana begitu tertib, asyik dan enak dinikmati. Agak beda dengan suasana nonton bioskop di gedung bioskop Garuda atau Madjoe di Ambarawa tahun enampuluhan. Saya mesti sangu oncor dari batang bambu waktu itu. Selain untuk obor kalau pulang, juga untuk alat pertahanan diri jika rebutan kursi, walau karcisnya telah ada nomer kursi masing masing. Jika lampu mulai mati waktu itu (pertanda film akan mulai), riuh sorak sorai penonton, suit suit. Kadang ada yang nglempar sarung ke udara. Terutama penonton di kelas 3 yang selalu riuh. Makanya kelas ini sering dikatakan kelas kambing, karena sepanjang pertunjukan film selalu ramai bersuara.

Musik dan gerakan tari adalah irama jiwa. Sekedar ingin lepas dari beban masalah sehari hari. Irama jiwa mejelang perjalanan menuju ke ufuk Barat.
Ki Ageng Similikithi

Friday, October 31, 2008

Namaku Rosa

Di penghujung tahun 1970. Bram dalam perjalanan dari Yogya ke Bandung. Naik bis malam Bandung Express. Nama lengkapnya Bramantyo. Raden Mas Bramantyo Kusumo. Suara bis terdengar mengerang melewati tanjakan bukit Plelen, sesudah lewat Weleri. Belum tua benar sebenarnya bis itu. Tetapi selalu saja mengerang setiap mendaki tanjakan. Seolah keletihan. Seperti dirinya. Letih menatap karier yang tak juga nampak ujungnya. Sebentar lagi dia lulus. Jurusan Hubungan Internasional di kampus Pagelaran. Kampus Univeritas Gadjah Mada yang numpang di pendopo keraton Yogyakarta. Dia sudah selesai tahun ke empat. Belum punya arah mau ke mana. Kegiatan mahasiswa diluar kampus yang begitu hiruk pikuk tak juga memberi arah jelas baginya. Kadang2 merasa takut, mau kemana masa depannya.

Sudah lama dia tak mengunjungi pakdhenya di Bandung. Beliau sekeluarga tinggal di Bandung setelah pension. Pensiunan duta besar RI di Hongaria, pakde Dewanto. Ingin petuah dari pakdenya yang kaya pengalaman. Dia selalu takjub mendengar petuah petuah pakdenya sejak kecil. "Datanglah ke Budapest anak muda. Kamu bisa banyak belajar di sana". Ayah dan ibunya selalu berharap dia akan menjadi pejabat tinggi pemerintahan. Ayahnya adalah petinggi di kantor pemerintahan Kepatihan. Bram putra semata wayang. Ibunya begitu sayang dan lembut padanya. Seperti halnya wanita2 ningrat Jawa, anggun dan berwibawa. Bram sering membayangkan punya pasangan hidup yang sabar dan anggun seperti ibunya. Ibunya juga wanita ningrat, keluarga berdarah biru. Kakek moyangnya adalah salah satu tokoh dalam perang Diponegoro seabad yang silam.

Menjelang masuk Pekalongan bis berhenti di rumah makan. Penumpang sebelahnya, seorang wanita muda, menggeliat berdiri. Mungkin kecapaian duduk. "Enak bisa turun sebentar", katanya ramah. Terkesima Bram menerima sapaan mendadak itu. Sejak berangkat dari Yogya dia diam seribu bahasa. Tak ambil pusing siapa yang duduk di sebelahnya. Pikirannya melayang kemana mana. "Saya Bram. Bramantyo", Bram cepat memperkenalkan diri. "Namaku Rosa. Pipit Rosalina". Turun dari bis, mereka berdua duduk semeja menikmati makan malam. Bram pesan makanan kesukaannya, nasi rawon. Dulu tak banyak nasi rawon di Jawa Tengah. Ini masakan asli Jawa Timur atau Madura yang telah masuk kasanah makanan nasional.

Rosa teman bicara yang mengasyikkan. Suaranya segar dan merdu. Cerita banyak tentang dirinya. Tentang usahanya. Tak banyak tentang keluarganya. "Saya juga kuliah dulu. Fakultas Ekonomi sampai tahun kedua. Putus dua tahun lalu". Rosa tinggal di Bandung. Di daerah Sangkuriang. Dia pengusaha pakaian. Sering bolak balik ke Yogya karena usahanya. Selesai makan, bis berangkat kembali. Jam telah menunjukkan lewat jam sepuluh malam. Angin malam dingin mulai terasa menusuk. "Bagaimana saya harus memanggil? Tante Rosa? Kak Rosa" Bram agak kikuk memanggil nama Rosa secara langsung. "Panggil saya Rosa. Lebih enak dan akrab khan".

Mereka sempat meneruskan obrolan sepanjang perjalanan. Bram memang tak banyak bisa cerita. Pembawaannya pendiam dan serius. Dia tak bisa berbasa basi, walau konon jadi tokoh mahasiswa di kampusnya. Ah tokoh kan hanya selama perploncoan saja. Tokoh dari mana? Banyak orang kadang suka menokohkan diri sendiri. Kadang lingkunganlah yang memitoskan seseorang. Bram tak suka itu. Dia merasa bukan tokoh bukan apa. Persetan dengan segala mitos tokoh mahasiswa itu. Berhadapan dengan Rosa, dia merasa hangat, ingin cerita banyak. Tentang Yogya. Tentang universitas. Tentang keraton. Tak berani tentang impian impiannya. Rosa banyak bercerita tentang Bandung yang indah. Tentang anak anak Bandung yang suka dansa. Tentang bunga bunga. Seolah mereka sudah lama berteman. Baru dua jam berlalu semenjak berhenti makan di rumah makan tadi.

Kadang angin malam masuk lewat lubang di jendela. Rambut panjang Rosa melambai terterpa angin menyentuh muka Bram. Bau harum melati kadang menyapu ringan. Dia mulai berpikir. Rosa berpenampilan menarik, tingggi semampai, berkulit bersih. Giginya putih berseri, tersusun rapi diantara bibir yang seksi. Mulut indah itu selalu menyungging senyum ramah. Senyum yang menawan. "Bram. Gila kamu. Baru kenal dua jam lalu, pikiranmu jangan kemana mana ". Dia coba mengingatkan dirinya. Ini pikiran gila. Godaan setan. Wajah teman wanitanya, Reni di Yogya kadang datang sekilas. Belum pacaran, hanya kadang suka ngobrol semata. Reni juga cantik dan menarik.Dia calon dokter. Ibu Bram selalu memuji Reni luar biasa.

Tetapi Rosa ini lain rasanya. Ada semangat, ada kekuatan luar biasa dibalik rona cantik dan ramah itu. Dia tadi begitu berapi api cerita tentang usahanya. Tentang kesukaaannya. Tentang bunga bunganya. Dia sekarang tertidur tenang di sebelahnya. Tenang dan damai. Sementara bau melati kadang menyentuh ringan. Tak sadar kepala Rosa bersandar di pundak Bram. Aaah rasanya pengin Bram memeluknya, menjaganya agar tak terantuk. Biarpun bis berkelok ke sana kemari mengikuti jalan yang tak pernah lurus. Bram bertanya dalam hati mengapa para arsitek jalan raya selalu merancang jalan berkelok kelok. Mengapa tak dibuat lurus saja. Semuanya jadi gampang langsung ke tujuan?

Bis masih saja mengerang setiap mendaki tanjakan. Menjelang fajar bis memasuki dataran tinggi Bandung. Rosa terbangun. "Anda tak tidur?" tanyanya. "Saya tak biasa tidur dalam perjalanan". Bram memang tak bisa tidur setiap naik bis malam atau kereta. Pikirannya selalu melayang ke luar jendela, merayapi kegelapan malam. Dia selalu menikmati lamunannya. Tak sadar Rosa masih saja bersandar di pundak Bram. Dia sudah terjaga. Bram menawarkan permen lembut kesukaannya. Mereka kadang meneruskan omongan omongan ringan. Rosa menggeliat ringan ketika tangan Bram membetulkan posisi agar tubuhnya tak terjatuh. Tangan kanan Bram telah melingkari leher Rosa. Aman, tak perlu takut terantuk, walau bis oleng ke kiri atau ke kanan. Napas napas mereka terdengar teratur berirama diantara bau melati. Tak sadar jari jemari mereka telah saling menggenggam. Saling membelai dan meremas. Jari jemari mereka bermain lembut di antara desiran angin malam dan rintihan mesin itu. Tak ada yang bicara. Tak ada yang tertawa. Hanya kadang napas mendesah ringan. Dunia milik mereka berdua. Bis Bandung Express seolah menjadi tumpangan mereka mengarungi malam.

Lamunan lamunan Bram yang menerawang jauh di kegelapan malam, telah kembali ke bumi. Ke wanita cantik bernama Rosa yang bersandar disampingnya. Tangannya memeluk teguh seolah tak akan melepas Rosa darinya. Seolah ingin wanita ini aman dalam pelukannya. Sementara jari jemari mereka menari nari bersama irama napas yang kadang berdesah berkepanjangan. Saling meremas dan bergerak bersama ke daerah rahasia yang memberikan sensasi luar biasa. Jantung berdesir indah. Tak berdetak tanpa aturan. Hanya berdesir bersama lamunan. Jari jemari Bram terus menari menyusur daerah rahasia di paha Rosa yang indah itu. Paha yang begitu lembut dan halus seperti pualam. Kadang Rosa menggeliat dengan desah napas ringan. Sementara kayalan dan impian membubung tinggi bersama tarian jari jemari Bram. Rasa damai melayang bersama desiran jantung yang membawa rasa bahagia yang dalam. Ketika rasa itu semakin membubung, terasa kejang dan nikmat luar biasa. Kedamaian dan kebahagiaan yang dalam. Aaaaah, tarikan napas eskprirasi Rosa terdengar memanjang, dan dia mendarat ke bumi kembali. Ke pelukan Bram teman baru yang dikenal beberapa jam lalu. Rosa seolah menemukan kedamaian dan kebahagiaan disana.

Tangan Bram tetap saja melingkari tubuh Rosa. Seolah berkata " Anda dalam pelukan saya. Dalam lindungan saya. Istirahatlah sayang". Rosa tertidur kembali. Bram terlelap sebentar menjelang masuk Bandung. Bis telah sampai di pemberhentian. Mereka terbangun ketika suara penumpang mulai ramai. " Maafkan apa yang terjadi" kata Bram merasa bersalah. " Tak perlu maaf. Kita lakukan bersama sesadarnya". Bram mencoba menukas kembali "Kita lupakan semuanya ya. Maaf sekali lagi". Rosa tak menghiraukan. Dia memberikan kartu namanya. "Datanglah ke rumah sebelum pulang ke Yogya". Semua penumpang turun, diantar ke alamat masing masing. Adik Rosa telah menunggu dan menjemputnya pergi. Rosa menghilang dalam keheningan kabut pagi. Bramantyo tertegun seperti habis mimpi. Dia baca berkali kali kartu nama indah itu. "Pipit Rosalina" . Nama yang indah. Penuh gairah dan pesona.

Pembaca yang budiman. Sepotong kisah dalam bis malam ini sudah puluhan tahun berlalu. Saya tak sampai hati memberi judul naskah ini "Sex di bis malam". Bukan sex sesaat. Bukan one nite stand. Bukan impian semusim. Sepotong kisah ini adalah awal cerita cinta yang berlangsung puluhan tahun. Saya akan coba bercerita. Tentang Bram dan Rosa. Tentang banyak tokoh. Banyak peristiwa terukir dalam cerita ini. Cerita tentang cinta antara dua anak manusia. Bukan hanya dalam impian dan lamunan. Hidup memang bukan semata impian sesaat. Bukan nikmat sesaat. Untuk orang yang bercinta , hidup adalah perjalanan bersama. Mengarungi dunia mendaki impian.

Salam cinta dan selamat bercinta anak muda.

Sunday, October 26, 2008

Mbak NDHUNG



Tahun 1972. Sore hari, saya naik sepeda lewat jalan Ngabean Yogyakarta. Mau berangkat kursus bahasa Belanda di Karta Pustaka. Dekat daerah Kota Baru di Utara. Jalan sepi, bersih, tak berdebu. Pelan pelan saya mengayuh sepeda torpedo tua. Di muka kantor pemerintahan kota madya, tiba tiba saya menatap dua sejoli yang saya kenal benar. Mbak Ndhung sama pacarnya mas Pari naik becak dari arah berlawanan. Dia teman akrab Emsa, pacar saya (belum tetap) waktu itu. Mas Pari, saya tahu mahasiswa teknik. Mereka ke arah Barat. Ketika dekat, saya melambaikan tangan, memberi salam. Mbak Ndhung mengangkat tangannya. Saya pikir akan membalas lambaian tangan saya. Ternyata malah nyablek paha sang pacar. Kemudian menutup muka dengan kedua belah tangannya. Dia menangis nampaknya. Niat saya mengikuti mereka saya urungkan. Biasa orang kalau dirundung cinta pasti tengkar. Ujung ujungnya sang gadis akan menangis. Walaupun sebenarnya nggak ingin menangis. Seolah sudah menjadi bagian resmi ritual jatuh cinta. Kalau nggak pakai nangis rasanya nggak mendalam cintanya. Ungkapan "Gemes aku" layak jadi ungkapan cinta.

Esok paginya saya bilang ke Emsa, kalau saya ketemu mbak Ndhung. Dikasih salam kok malah menutup muka. Sedang menangis. Jawabnya juga enteng " Biasa panas panasnya pacaran. Sok pengin nangis. Gemes ". Kami tak berdiskusi lebih lanjut tentang peristiwa menutup muka itu. Waktu tersita untuk kuliah dan untuk acara kami berdua. Kami di tingkat empat waktu itu. Saya juga sibuk mengurusi majalah mahasiswa Hygieia. Hubungan saya dengan Emsa kandas di akhir tahun 1972. Kisah menyakitkan. Tak ada yang menangis. Apa lagi nyablek campur gemes. It is not in my vocabulary. Semua berlalu dengan tenang. Tak perlu sedu sedan itu. Tak perlu cablek menyablek itu. Saya ini orang pondokan yang terbuang. Emsa ternyata kawin sama mantan pacarnya.

Praktis sangat jarang ketemu mbak Ndhung. Sampai lulus dokter jarang bertemu dengannya. Kedekatan kami waktu itu karena dia teman akrab Emsa. Hubungan saya putus dengan Emsa. Nggak ada kesempatan ketemu mBak Ndhung. Waktu berjalan terus. Kadang saya membaca berita tentangnya. Pernah membaca dia mendapat penghargaan Asian Young Investigator Award penyakit jantung di tahun delapan puluhan karena penelitiannya tentang minyak ikan lemuru. Di pertengahan 90an pernah mengunjungi pusat studi yang saya pimpin di Yogya. Sekedar tukar pengalaman. Dia menjabat sebagai Kepala Lembaga Penelitian RS Harapan Kita, jabatan bergensi.

Tiga puluh enam tahun kemudian. Tahun 2008 kami bertemu secara tak sengaja di bandara Changi. Mbak Ndung alias Prof DR Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI yang terkenal energetik dan dinamis. Saya dalam perjalanan dari Yogya dengan NYI sehabis lebaran. NYI memberi isyarat, ada Menkes di ruang eksekutif itu. Berdua Dr Fadilah bersama dengan Dr Husniah, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI. Mereka dalam perjalanan pulang menghadiri pertemuan antar menteri kesehatan negara negara ASEAN. Kaget ketika saya sapa secara formal. Kami kemudian terlibat pembicaraan ramai. "Ki dulu setahun dibawah saya. Pacarnya teman akrab saya" ujarnya ke NYI. Nyi hanya bisa tersenyum. Dia sudah lama paham kisah saya dengan Emsa. Tak lama pertemuan tak sengaja itu. Mungkin tak ada setengah jam. Saya cerita baru saja menghadiri lokakarya yang kami sponsori di Yogya tentang Improving Medicines Supply in Decentralized Environment. Juga saya ungkapkan keberhasilan Sleman dalam desentralisasi kesehatan. Investasi dari anggaran belanja pemerintah untuk sektor kesehatan sampai 8 – 10 % (angka nasional tak mencapai 3 %, angka ideal internasional sebaiknya lebih dari 5 %) . Angka kematian anak dan ibu bisa ditekan rendah, angka harapan hidup meningkat sampai 76 tahun (wanita). Tak kalah dengan negara negara makmur di dunia. Dia cerita tentang tantangan desentralisasi di daerah2 lain. Keterikatan (commitment) pemerintah daerah untuk kesehatan masih harus digenjot. Namun angka kematian ibu telah ditekan turun selama tahun tahun terakhir. Pemerintah akan mengupayakan maksimal agar angka kematian ibu bisa ditekan lebih rendah lagi. Indonesia masih masuk tinggi di Asia untuk angka kematian ibu.

Pembicaraan beralih. Saya ingatkan peristiwa di jalan Ngabean itu. Dia masih ingat. "Saya kok nggak ingat ketemu kamu Ki. Tapi Emsa cerita sama saya". Gimana mau tahu wong sedang pacaran. "Mas Pari masih tetap langsing seperti dulu. Kamu kok gemuk sekali Ki". Saya berseloroh ringan " Jangan jangan beliau makan hati ya". "Wah opo iyo yo. Sing jelas kan luwih sehat ?" Berat badan saya memang lebih 90 kg kini. Dulu sewaktu masih lajang hanya 50 – 55 kg.

Petugas protokol mengingatkan kalau harus ke ruang keberangkatan. Pesawat boarding. Kami berpisah. Tiga puluh enam tahun semenjak saya ketemu dia menutup muka di dalam becak itu, saya belum sempat mengatakan kepadanya. Pertemuan tak sengaja. Hanya beberapa menit. Tetapi saya masih sempat mengingatkan peristiwa papasan saya dengan dia di jalan Ngabean itu. Kini dia menjabat Menteri Kesehatan. Energetik dan dinamis. Banyak mengkritik negara negara adidaya dalam menguasai sumberdaya kesehatan, terutama vaksin dan obat obatan. Juga mengkritik peran organisasi dimana saya bertugas. Bukunya banyak disitir dan diterjemahkan di dunia internasional (http://www.goodreads.com/author/show/1414329.DR_Dr_Siti_Fadilah_Supari_Sp_Jp_K_) . Suaranya lantang berapi api dalam forum forum resmi maupun di televisi. Kekhawatiran saya kalau dia sedang pas berapi api itu, akan nyablek lawan bicaranya. Boleh nyablek sih, asal sama pacar atau suami sendiri.

Pesan untuk anak anak muda yang bercinta. Boleh nyablek pacar. Boleh nangis. Boleh menutup muka. Boleh gemes. Tetapi jangan sekali sekali nylentik sang burung. Bisa kuwalat.

Salam damai untuk Mbak Ndhung. Untuk kokiers dan anak anak muda yang bercinta

Ki Ageng Similikithi