Wednesday, September 24, 2008

Ungkapan cinta dari masa ke masa

Menjelang akhir tahun 1975. Kami seangkatan hampir lulus dokter. Beberapa teman sudah mengikat resmi pasangan masing masing. Ada yang sekedar bertunangan. Ada yang langsung kawin. Semua sadar jika lulus nanti akan tugas INPRES. Umumnya di daerah terpencil. Mungkin susah cari pasangan hidup. Pilihan lebih terbatas. Paling tidak di Yogya, bursa pasangan hidup lebih marak. Bursa lewat pilihan pendengar RRI atau radio swasta. Juga dari pada kawin paksa oleh HANSIP, lebih baik cepat cepat resmi. Ada berita simpang siur, seorang dokter baru beberapa angkatan di atas saya, dipaksa kawin karena sering kemalaman apel di daerah pulau terpencil. Tetapi untung dia memang cinta kepayang sama si gadis. Anak kepala suku lagi. Jauh lebih cantik dari target idaman semasa mahasiswa. Di Yogya selalu kalah bersaing dengan para karbol, yang kalau apel gadis idaman pasti lebih gagah, pakai seragam resmi. Teman tadi mau ngajak gadis manis, putrinya penjual bakmi di Mangkubumen, nonton Sekaten pun nggak pernah kesampaian. Nggak pernah kesampaian mau jadi menantunya priyayi Yogya.

Status hubungan saya dan NYI sudah dalam tahap serius. Pacar tetap. Belum sampai ke orang tua secara resmi. Masih sabar. Gunung lari tak perlu dikejar. Petang hari saya sering kumpul di tempat pondokan teman teman. Hanya ngobrol. Toh nanti tak akan sempat lagi, jika sudah lulus. Berpencar masing masing ke segala penjuru tanah air. Saya sedang bertamu ke salah satu pondokan teman, Tono, di Mangkubumen. Dia cerita kalau salah satu teman kami, Toro, baru patah hati. Toro asli Yogya, rumahnya di ujung jalan di Mangkubumen. Tono asal Boyolali ke Timur Laut 20 km.. Orangnya pendiam, tapi kalau ngomong ceplas ceplos, seenaknya. Seperti hari hari sebelumnya, jam 0730 Toro datang. Kami ngobrol ramai. Dia nampak agak diam nggak seperti biasanya. Tono sama Toro terlibat pembicaraan asyik. Sementara saya mendengar dagelan Mataram dari RRI sambil tiduran.

"Piye Ro, sida patah hati?" .
"Bukan masalah patah hati Bung. Ini masalah kehormatan. Sudah saya kenalkan orang tua, tahunya malah mau tunangan sama orang lain".
" Siapa lakinya. Bicara saja empat mata. Sama sama jantan ?"
" Anak teknik, sudah hampir lulus"
"Saingan sama insinyur kok ngacir sampeyan Ro. Ceritanya gimana sih? Sudah ada janji sehidup semati belum sama sampeyan ? Sudah resmi mengatakan cinta ?'
"Ngomong resmi sih belum. Tapi kami selalu saling meremas jari tangan dengan mesra jika duduk berdua".
"Saling remas jari tangan bukan pernyataan cinta Bung. Copet di Malioboro juga latihan meremas jari tangan 3 bulan penuh. Sudah kamu sosor (cium)?
" Ciuman enggak berani sebelum resmi tunangan. Ya kadang kadang kalau berdampingan, napas memburu, deg degan. Hanya hembusan napas menerpa wajah wajah kami".
" Wuah cilaka. Hanya kambing bandot kalau berahi, ngambus ambus ( hembus hembusan). Itupun biasanya hanya di pantat. Homo sapiens tak begitu".

Dalam hati saya tertawa dengar komentar Tono. Orangnya angin anginan, senaknya. Suka berteori kalau di kelas, sampai dikenal sebagai teorator. Sudah punya pacar tetap mahasiswi IKIP. Bangga sekali dia cerita bagaimana menaklukkan pacarnya. Walaupun awalnya diacuhin, dia nggak peduli. Tempel terus asal muka sedikit tebal katanya. Wanita pasti mengalah akhirnya. Sebaliknya Toro, asli Yogya, keturunan ningrat. Selalu disiplin dengan tata cara. Tidak grusa grusu. Semua juga terencana. Termasuk acara ngapelin gadis dan berciuman.

Ungkapan cinta memang sangat beragam dari orang ke orang. Dari generasi ke generasi. Dari waktu ke waktu. Juga berbeda dalam berbagai kultur. Setiap orang punya cara berbeda untuk mengungkap rasa cintanya. Di masa sekarang media komunikasi sudah sangat beragam. Orang bisa mengungkapkan rasa cinta lewat pesan singkat, lewat tilpon atau cara cara lain lewat dunia maya. Di masa lalu di mana alternatif media komunikasi masih terbatas, mungkin pilihannya hanya dua, secara langsung tatap muka dengan ungkapan kata cinta, atau secara tak langsung lewat surat.

Di masa lalu, keindahan untaian kata dalam surat dipakai sebagai cara mengungkapkan gelora asmara seseorang. Ingat kan surat surat cinta Bung Karno ? Juga surat surat dalam cerita roman Siti Nurbaya. Kadang orang bahkan sedikit bercanda mengatakan cara cinta jaman Siti Nurbaya, jika mengomentari orang bercinta dengan cara klasik. Di tahun enam puluhan, entah karena imbas dari gerakan kebebasan anak2 muda di Barat, nampak dengan munculnya generasi hippie dan musik rock , banyak terjadi perubahan besar dalam tata cara mengungkapkan rasa cinta. Tak lagi bertele dengan berbagai ungkapan ritual dan formalitas. Semua serba gampang. Katakan apa adanya kalau anda cinta. Pelukan dan ciuman cinta tak lagi dianggap tabu. Kalau perlu dimuka umum. Jika tabu di muka umum, sembunyi di kebun tebu. Dimana saja kapan saja. Asal sama sama cinta, sama sama suka, sama sama mau. Salah satu tetangga saya sukanya pacaran di kebun tebu. Kebetulan ayahnya seorang sinder tebu. Aman nggak ada yang berani ngintip, apalagi nggropyok.

Di tahun tujuh puluhan tata cara cinta atau pacaran relatif gampang. Tak banyak bicara bertele tele. Langsung to the point. Kalau sudah sama sama suka langsung cium. Istilah popnya waktu itu langsung 'cepok' atau 'sosor". Ungkapan kata baik langsung atau lewat surat diurus belakangan. Kadang kadang berbulan bulan pacaran pun belum tentu keluar proklamasi cinta. Kata kata cinta akan muncul kemudian dengan sendirinya. Dengan EN, yang pernah saya ceritakan di bawah keremangan pohon jambu, belum pernah bertukar kata kata cinta.. Walaupun hubungan dalam intensitas tinggi, dalam keremangan lampu listrik 110 volt.. Dengan EMS intensitas psikologis asmara juga sangat tinggi. Penuh dengan puisi puisi cinta yang begitu romantis. Tetapi belum pernah berpikir atau bicara akan sehidup semati. Terlalu bertele dan masih jauh. Nggak perlu bicara sehidup semati. Bisa memperpendek umur. Jalan masih panjang. Yang penting action dari pada janji dan kata kata. Namun toh ketika kesempatan datang, ketika pintu terbuka lebar di antara desah suara napas yang memburu, saya tak berani berbuat lebih lanjut. Mungkin dipikir pengecut. Tetapi ya memang saya merasa belum mantap. Belum mantap terikat sehidup semati. Hanya kemudian sering teringat, kok kesempatan nggak datang kedua kali. Kok tarikan tangan yang mesra memburu itu tak datang lagi ya?

Sampai beberapa bulan sebelum nikah, saya belum pernah memberitahu orang tua mengenai hubungan saya dengan pacar terakhir NYI. Ibu saya selalu bertanya, apakah saya sudah punya calon ? Mengapa nggak pernah dikenalkan orang tua dan diajak ke Ambarawa? Hubungan saya dengan NYI sudah dalam tahap sangat mantap, dan dalam hati saya berjanji akan mendampinginya seumur hidup. Tetapi untuk menyampaikan ke orang tua kok enggan. Bukan apa apa, bukan karena saya enggak mantap sama dia. Tetapi belum punya pegangan hidup kok sudah memproklamirkan ke orang tua. Ibu saya ketemu dengan NYI secara tak sengaja di rumah sakit sewaktu NYI menengok adik saya di rawat di RS Pugeran. Ibu saya langsung bilang ke saya " Apakah ada hubungan istimewa antara kamu sama gadis itu?. Pandangannya nggak biasa. Jika jadi isterimu,dia pasti sangat menyayangimu". Saya masih belum memastikan, sampai adik saya bilang kalau kami memang sudah lama pacaran. " Ajaklah ke Ambarawa, kenalkan sama bapak ibumu". Gimana mau ngajak pulang, saya sendiri belum memperkenalkan diri secara resmi ke orang tuanya ?

Ungkapan cinta secara verbal lebih sering kami lakukan setelah kawin. Setelah anak anak lahir . Juga setelah anak anak dewasa sampai sekarang. Ketika anak anak kami mulai pacaran, baru beberapa bulan kenal sama pacarnya ( sekarang isterinya), saya terheran heran kok mereka antusias memberi tahu ibunya (NYI) dan mau memperkenalkannya ke kami cepat cepat. "Baru berapa bulan kenal, ngapain dikenalkan orang tua? Apa sudah pasti dan mantap ?". NYI yang kemudian membelan " Jaman sudah berubah. Jangan kayak kita, main belakang bertahun tahun". Kadang saya berpikir, mungkin juga benar dia. Dulu bapak ibu saya almarhum mungkin selalu bertanya tanya, dengan siapa saya berhubungan, walau nggak pernah diungkapkan terang terangan. Bagi saya, hanya jika benar benar mantap, baru diperkenalkan ke orang tua. 

Anak muda. Jika anda sudah mantap mengapa ragu ragu bertindak ? Tak usah menunggu kata kata indah tentang cinta. Tak semua mampu mengungkapkan. Bahasa cinta tak sekedar dari kata kata. Bulan pakai payung

Salam damai. Salam untuk Kokiers yang sedang dirundung cinta.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat dalam Kolom Kita KOmpas Cyber Community 22 September 2008)

http://community.kompas.com/read/artikel/1270

Sunday, September 21, 2008

Bulan pakai payung

Siang itu terasa gerah dan panas. Baru saja selesai tugas di poliklinik. Akhir musim hujan di tahun 1974. Saya sedang tugas di rumah sakit Tegalyoso Klaten waktu itu. Perasaan selalu gelisah semenjak kematian pasien emboli paru beberapa hari lalu. Ceritanya pernah saya ungkapkan di Koki (27 September 2007). Mengingatkan saya akan tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Tertinggi di antara negara2 tetangga dan termasuk urutan tinggi di Asia. Sebagian karena penyakit kehamilan dan gangguan melahirkan. Tragis menyedihkan.

Ingatan saya melayang ke gadis MUR yang saya kenal beberapa waktu lalu. Perkenalannya begitu tak terduga. Tiba tiba saja dia muncul dari balik pintu ketika saya mengantar kakaknya ke rumah pondokan. Saya begitu terpana dan selalu mengenangnya. Pernah saya ceritakan di kolom ini juga. Sejak itu saya rajin menulis surat dan menemuinya. Belum ada ikatan apa apa. Baru tahap pendekatan (PDKT) atau lebihnya ya pacar belum tetap. Baru sampai tahap pegang pegang jari tangan. Namun hati sudah selalu bergetar. Kontak fisik belum merambah ke atas maupun ke bawah. Demarkasi jelas. Hanya hati yang berdesir dengan perasaan melayang layang.

Sejak kematian pasien karena emboli paru beberapa hari lalu, ingatan saya tak pernah lepas dari gadis itu. Ingin menemuinya. Seolah takut sesuatu terjadi padanya. Seolah takut kehilangan dia. Ingin rasanya menepis pikiran saya. GR toh belum ada hubungan apa apa. Belum terucap kata kata cinta. Status hubungan belum tetap. Seperti pegawai negeri, selalu harus mulai dengan status tidak tetap atau honorer. Kalau perlu ber tahun tahun, dengan keharusan kesetiaan melebihi pegawai yang sudah tetap. Getaran getaran hati ini layaknya ungkapan kesetiaan. Tetapi lain dengan kesetiaan pegawai tidak tetap. Pacaran belum resmi, jalan ke sana masih remang remang. Baru pegangan jari. Pegang pegang jari dan tangan bukan jaminan pacaran.

Tak ada tugas lagi sesudah poliklinik tutup. Ada ko as lain yang tugas jaga. Singkat kata kemudian saya sudah sudah berada dalam bis menuju Yogyakarta. Lupa nama bisnya. Tetapi masih ingat karcisnya jurusan Yogya, Solo, Karangpandan. Waktu menunjukkan jam satu siang hari. Hawa panas tak terasa lagi. Tertutup hati yang berdesir membara. Rasa melayang akan ketemu dia. Gadis manis dari balik pintu. Ingin menatap wajahnya yang redup. Senyumnya yang lepas menghanyutkan. Seandainya bisa menggapainya. Membelainya. Memeluknya. Aaaaah lamunan melayang kemana mana. "Bausasran mas. Bausasran. Turun cepat" Tiba tiba si kenek berteriak parau. Nggak tahu mengapa dia harus berteriak menghabiskan suaranya. Mengeringkan pita suaranya. Tak perlu sebenarnya. Kenek malang itu mungkin juga nggak tahu kenapa harus berteriak. Bagian dari kebiasaan saja. "Pimpinan partai boleh teriak. Pejabat bisa pidato lantang. Mengapa saya nggak boleh teriak. Saya ini penguasa nomor dua dalam bis tua ini". Mungkin saja kenek itu berpikir demikian, melihat saya nggak senang dengan teriakannya.

Saya bergegas turun dari bis tua yang suaranya mengaum karena mesin yang memanas.. Waktu menunjukkan jam dua kurang. Panas sedikit berkurang. Naik becak ke jalan Tanjung, dua puluh lima rupiah. Tak ada tawar menawar. Mau jumpa gadis idaman, pantang tawar menawar dengan pak becak. Saya ini mahasiswa. Tas berisi beberapa catatan dan pakaian dalam saya gantungkan di pundak. Pohon jambu di rumah pondokan MUR nampak hijau rimbun. Teringat beberapa minggu lalu, kami selalu duduk di bawah pohon itu berdua setiap akhir pekan. Hanya berbisik dan bercerita ringan.

"Wah nak, MUR belum pulang sejak pagi. Katanya kuliah sampai sore. Ngebut mau ujian" . Ibu kost yang sabar dan baik hati menyambutku ramah. "Ditunggu di dalam saja Nak". "Terima kasih Bu, saya tunggu di luar saja". Kecewa sekali rasanya. Bukan salah dia, bukan salah saya. Keadaanlah yang menyebabkan. Tak bisa kontak tilpun sebelumnya. Saya menunggu di kerindangan pohon itu. Di bangku kayu di mana kami berdua selalu duduk berdampingan di akhir pekan dalam bulan bulan terakhir.. Pikiran saya melayang membayangkannya. Jika dia datang akan kubelai tangannya. Jika dia tersenyum, akan saya sentuh pipinya. Duduk sendirian di bawah pohon jambu. Angin semilir ringan. Rasa katuk kadang datang menyelinap.

Sesaat nampak di kejauhan. Seorang gadis muncul dari persimpangan jalan. Berjalan pelan memakai payung warna merah merona. Matahari condong ke Barat. Angin bertiup pelan. Rambutnya berderai terterpa angin. Rok panjangnya ikut melambai berirama. Dengan langkah langkah ringan. Debu pasir ikut terbang menari bersama angin. Yogya memang berdebu di musim kering. Debu berpasir dari Gunung Merapi. Wajah ayu dibawah payung merah itu. Mungkin dia sudah melihat kalau saya menunggunya. Senyumnya lepas memukau. Saya berdiri memandangnya terpana dari balik pagar. Di bawah pohon jambu.

Kusambut tas kuliahnya, saya letakkan di bangku. Sejenak tak sempat berucap apa apa. "Hai". "Sudah lama KI ? Maaf ya saya kuliah sampai siang. Pulang sama Mica tadi". Tak mampu berkata, saya tertegun memandang wajahnya. Cantik mempesona. Pipinya memerah tertimpa panas. Indah bagai rembulan purnama. Beberapa saat saya hanya memandangnya. Tak sanggup membelai tangannya. Tak mampu menyentuh pipinya. Wajahnya begitu bersih penuh pesona. Bagai rembulan. Rembulan di siang hari. Dalam panas mata hari. Bulan pakai payung. Betapa bahagianya jika saya diberi kesempatan menemani dalam perjalanan perjalanan di panas siang hari. Dalam kesejukan kesejukan malam yang indah. Dalam taburan bulan purnama.

Ah lamunan sekilas tiga puluh lima tahun lalu selalu saja datang. Menyampaikan salam. Mengantarkan senyuman. Senyum yang abadi dalam kenangan. Bulan pakai payung.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community 10 Sept 2008)
http://community.kompas.com/read/artikel/1195

Wednesday, September 10, 2008

Mas Joko & Jeng Nunik

Desah napas putus asa. Terkulai lemah mas Joko di antara lutut sang isteri tercinta Nunik. Mereka baru saja menikah beberapa hari lalu. Saat saat yang diimpikan dan dipersiapkan secara cermat sejak lama buyar belaka. Keperkasaan mas Joko hancur dalam hitungan detik di dalam buaian kemesraan cinta yang menggelora. Tak mampu dia membawa isterinya ke langit ketujuh. Terkulai lemah sebelum sempat mengajak Nunik dalam tarian cinta erotis yang mereka impikan. Malu dan terhina. Ini bertentangan dengan prinsip kepemimpinan dan keperkasaan maskulin yang selama ini menjadi prinsip hidupnya. Sebaliknya Nunik menerimanya dengan iklas. "Nggak perlu tergesa Mas. Masih banyak kesempatan. Saya nggak kecewa kok".

Acara pernikahan mereka meriah dan membahagiakan. Mas Joko telah merancang jauh jauh acara malam pertama. Tak perlu tergesa gesa. Harus dilakukan secara taktis dan terencana. Tidak asal tembak seperti gaya hidup kotemporer masa kini. Bukan tembak dulu urusan belakang. Tak bisa itu. Tak bertanggung jawab. Tak ada dalam kamus. "Saya ini generasi muda masa kini. Bertanggung jawab. Bukan sopir truk jarak jauh". Pacaran juga cuma sekali sama Nunik, yang berakhir sampai ke pelaminan. Pacaran nggak macam macam. Ciuman hanya sebatas pipi sama dahi. Membelai tangan sama kaki (paha) Nunik, benar2 dia batasi. Sengaja selalu menandai demarkasi daerah yang tak boleh dibelai setiap malam Minggu dengan spidol merah. Sedikit di atas lutut dan siku. Nunik pun bahagia. Bagaimana enggak, mas Joko orangnya ngganteng, lurus, jujur, puritan, nggak mata keranjang. Pokoknya Joko thing thing.

Malam pertama terencana. Hari pertama sesudah nikah istilahnya Siaga Tiga tahap persiapan fisik. Hari kedua Siaga Dua, tahap persiapan mental. Hari ketiga Siaga Satu, siap tempur. Berbagai jamu dan latihan olahraga telah dilakukan secara cermat sejak dua bulan sebelumnya. Termasuk senam seksual pria. Bahkan latihan dengan bandul untuk meningkatkan keampuhan tempur perangkat keperkasaan lelakinya. Daya ungkitnya luar biasa dalam latihan. Bandul seberat setengah kilo dengan gampang diangkat berputar ke segala penjuru angin. Rencana siaga satu sampai tiga dibahas rinci dengan Nunik. Sejak kecil mas Joko sudah digembleng dengan disiplin tinggi. Waktu kecil sering nyanyi "Saya seorang kapitein. Mempunyai bedil panjang. Kalau berjalan prok prok prok. Saya seorang kapitain".

Benar benar terpukul mas Joko dengan kegagalan malam pertama. Tak pernah dia bayangkan tragedi yang begitu menghantam harga diri dan martabat kelelakiannya. "Tugas lelaki membawa isteri dalam perjalanan ke sorga asmara. Akan saya buat Nunik takluk melayang di awang awang". Tak akan ada lagi tanda spidol merah untuk demarkasi petting malam Minggu. Selamat tinggal spidol merah. Nunik memang penurut. Khas wanita Jawa, menjalani dan menuruti kehendak suami, sampai di tempat tidur. Malam berikutnya, dengan segala persiapan fisik dan mental, kedua pasangan itu mencoba kembali memadu cintanya. Mas Joko khusuk berkosentrasi. "Saya akan buat Nunik melayang terkulai dalam kenikmatan laut asmara".

Semua teori buku yang dibacanya kental mengendap dalam ingatan. Dia memang belum pernah sekalipun melakukan hubungan fisik pria wanita. Kali ini sedikit membaik. Namun dia tetap saja keburu jatuh ke bumi. Jatih ke kasur sebenarnya. Terkulai dalam pelukan mesra Nunik. Khayalan terbang melayang bersama Nunik tak juga kesampaian. Sementara Nunik hanya mendesah ringan. Tak sempat melayang. Tak sempat menari di awang awang. Perjalanan masih jauh. Dia menerima. Malam malam berikutnya tak banyak berbeda. Selalu kandas di kasur sebelum terbang melayang. Hanya sedikit lebih baik. Pada awal awalnya, mas Joko terkulai di antara lutut , sampai Nunik harus membimbingnya untuk berbaring di sampingnya. Malam malam berikut dia sedikit membaik, terkulai lemah disamping pelukan sang isteri.

Dengan sayang Nunik selalu memeluk dan membelainya. Memberi semangat, tak perlu kecil hati, walau dalam hati keinginan Nunik juga begitu membara. Semua akal sudah diterapkan Semua buku dan ajaran sudah diendapkan dalam benaknya. Bahkan senjata ampuhnya selama kini selama berhadapan dengan lawan bicara juga dicobanya. Mas Joko selalu batuk kecil (bhs Jawa dehem) sebelum bicara. "Eeeeeeem eeeeeeeem" . Lawan bicara selalu akan terpesona dan mengiyakan apa yang dikatakan. Meskipun kadang hanya bualan semata. Batuk batuk kecilnyapun sudah dicoba sebelum memulai bermain asmara dengan Nunik. Tetapi nampaknya tak mempan juga.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Akhirnya Nunik menyarankan agar periksa ke dokter. Atau memakai Viagra yang sering diiklankan lewat internet. Mas Joko hanya mengangguk. Batinnya memberontak. "Persetan dengan dokter. Persetan dengan Viagra. Nunik, tak perlu sedu sedan itu. Saya ini pria tangguh masa kini. Jika sampai waktuku, kubawa kau terbang di awang awang". Akhirnya mas Joko baca berbagai iklan di surat kabar. Begitu vulgar dan memikat. Ini dia, banyak iklan tentang lemah syahwat. Menawarkan berbagai cara meningkatkan keperkasaan lelaki. Mas Joko tertarik satu iklan kecil. "Melayani konsultasi langsung. Ahli totok jalan darah untuk lemah syahwat". Dalam dunia kangouw (silat) selama ini tak ada cerita totok jalan darah untuk meningkatkan syahwat. Kontraindikasi totok jalan darah daerah sekitar burung. Angker.

Singkat cerita mas Joko membuat perjanjian untuk konsultasi dengan ahli lemah syahwat, mBak Riri. Tokoh satu ini hampir tiap minggu namanya terpancang di koran, menawarkan pengobatan mujarab lemah syahwat. Dia buka praktek di berbagai kota. Lewat jam sembilan malam, dengan berdebar debar mas Joko datang ke tempat praktek mbak Riri di sudut kota. Kamar prakteknya tertata rapi, bersih, penuh aroma. Hanya ada beberapa pasien yang menunggu. Kesemuanya lelaki setengah baya ke atas. Mungkin semuanya menjelang atau sudah pension. Rata rata pria genit usia lanjut. Mas Joko termuda di antara mereka.

"Dimas, saya tahu masalahmu sejak awal. Jangan khawatir. Semua bisa diatasi". Mas Joko terhenyak mendengar sapaan lembut mBak Riri. Perlu terapi khusus. "Aliran darah panjenengan nggak lancar Dimas. Perlu sedikit totokan". Walau hatinya setengah nggak percaya dia toh manut saja. Dia dibawa masuk ke kamar periksa khusus. Tenang dan sejuk. Suara mBak Riri begitu lembut membaca mantera mantera, seperti menyanyi pelan pelan. Dia terbawa alunan suara yang begitu indah. Tak menyangka tokoh spiritual lemah syahwat ini masih begitu muda. Hanya beberapa tahun di atas mas Joko. Tak tahu dia apa yang dilakukan Mbak Riri. Perasaannya melayang jauh. Pelan pelan tapi pasti perangkat kelelakiannya berangkat tegak kembali. Seperti dalam latihan latihan fisik sebelumnya. Tegak lurus, disiplin seperti dalam posisi baris sempurna. Sementara suara lembut mBak Riri semakin membuai. Tangannya halus membelai daerah daerah sensitifnya, yang seharusnya jadi demarkasi. Tetapi tak sempat lagi dia berpikir tentang spidol merah. Manut saja, ketika bisikan mesra itu mampir ke telinganya. Terbersit harapan lebih dari sekedar bisikan mesra itu. Telentang larut dalam lamunan mesra. Aaah begitu membuai. Sadar sesadar sadarnya, mBak Riri telah duduk di atasnya menari nari pelan dan lembut. Dia ikut menari dengan irama erotis yang menghanyutkan. Dia melayang di awang awang dalam bimbingan Mbak Riri. Perasaan yang diimpikan selama ini. Selesai tarian sorga dia kembali ke bumi bersama desah napas serentak berkepanjangan. Inilah klimaks dari semuanya.

Mas Joko terpana dalam kepuasan fisik dan emosi yang dalam. Hatinya gagap. Rasa penyesalan menyelinap. Ini pengkhiatan. Akhrinya dia menukas sendiri. Bukan pengkhiatan. Bukan perselingkuhan. Ini pengorbanan. Untuk kebahagian bersama Nunik tercinta. Malam malam berikut, tak ada lagi ambisi menaklukan Nunik. Membimbing dan membawa Nunik melayang ke awang awang. Yang ada dia selalu ikut menari, ketika Nunik duduk diatasnya. Menari bersama. Melayang bersama. Menikmati bersama. Dia sadar sesadar sadarnya, kepuasan dan kenikmatan adalah kebersamaan bersama Nunik yang dicitainya. Bukan menaklukan, bukan membimbing. Bukan tentang keperkasaan. Bukan tentang siapa yang pegang komando. Tetapi tentang dia dan Nunik, sang isteri yang sangat dicintai. Tentang cinta dan kebersamaan.

Salam damai untuk para penganten baru

Ki Ageng Similikithi


Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 10 September 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/1135)

Friday, August 29, 2008

Jalan ke Barat

Januari 1980. Dalam perjalanan ke bandara Halim Perdana Kusuma. Diantar NYI sama anak anak Aryo sama Nunu. Juga kakak sekeluarga bersama ponakan ponakan. Tiga hari terakhir nginap di tempat kakak sulung di Jakarta, bersama NYI dan anak anak. NYI hamil tua anak ke tiga. Dia nampak diam menahan perasaan. Demikian juga saya. Pikiran saya galau akan pisah dengan istri dan anak anak.. Aryo sudah tahu kalau saya mau pergi jauh. Sejak semalam dia sudah diam saja. Umurnya belum genap 4 tahun. Nunu belum tahu apa apa, umurnya baru dua tahun kurang. Selalu sibuk main main. Saya nggak tahu berapa lama akan pisah. Saya akan mengambil program doktor di University Newcastle upon Tyne (UK). Mestinya berangkat bulan Oktober, tiga bulan lalu. Tetapi saya minta diundur oleh karena masih harus menyelesaikan banyak penelitian, juga laporan dari pertemuan Asia Pasifik yang baru saja terselenggara bulan Juni '79.

Keberangkatan ini sebenarnya sudah saya nantikan lama, namun tak menyangka betapa berat pisah dengan isteri dan anak anak. Kebetulan mereka pas sedang aktif aktifnya dan lengket sekali sama saya. Tak begitu lancar awalnya menembus ijin atasan oleh karena ada kebijakan tak resmi harus urut jika mau ke luar negeri. Untung akhirnya Dekan menyetujui. Rockefeller Foundation setuju memberikan beasiswa. Juga ada persetujuan penerimaan dari University of Newcastle Upon Tyne, yang mau menampung topik penelitian saya tentang pengaruh genetik dan gizi dalam kemampuan metabolisme obat.

Sejak dua tahun sebelumnya saya memang giat melakukan konsultasi dan menawarkan topik penelitian saya ke berbagai lembaga di Eropa Barat dan Amerika. Ada beberapa pilihan. Di Karolinska Institutet Swedia, gelar doktor bisa dicapai dengan melakukan penelitian penuh waktu dan publikasi minimal 5 karya penelitian. Biasanya dapat diselesaikan antara 4 – 5 tahun. Di salah satu universitas terkemuka di US, program PhD terdiri atas course work selama dua tahun lalu disambung dengan penelitian selama dua tahun. Minimal empat tahun. Sewaktu menjadi sekretaris penyelenggara pertemuan Asia Pasifik di Yogya, saya konsultasi dengan beberapa tokoh dari Australia dan dianjurkan untuk menulis ke Newcastle UK. Beberapa bulan konsultasi dan kemudian melengkapi syarat2 pendaftaran, akhirnya Wolfson Unit menerima saya untuk program doktor. Bisa diselesaikan dalam waktu tiga tahun, jika penelitian berjalan lancar.

Dalam perjalan ke bandara, lamunan saya melayang ke belakang, ke masa masa kecil saya. Sejak SMP saya selalu memimpikan untuk dapat kesempatan belajar di Eropa Barat. Saya selalu mengikuti membaca majalah majalah dari Uni Soviet waktu itu. Namun ada keraguan untuk mengambil program paska sarjana di sana. Saya nggak tahu sebabnya. Teman bapak saya pernah menjadi duta besar di Hongaria di awal tahun enam puluhan. Beliau pernah berkata " Anak muda, datanglah ke Budapest. Di sanalah banyak yang bisa dipelajari". Saya selalu membayangkan lembaga lembaga pendidikan di Eropa yang mapan dan maju. Saya mengagumi tokoh2 politik dari Uni Soviet, seperti Nikita Kruschev dan Andrei Gromyko, yang begitu lantang bersuara dalam debat diplomatic dengan negara Barat. Namun keinginan untuk belajar dari negara Eropa Timur tak kunjung muncul.

Tahun 1963 kakak sulung saya berangkat program paska sarjana ke Amerika, di Purdue University. Selalu mengirim foto berwarna mengenai Amerika. Belum ada foto berwarna waktu itu di Indonesia. Beberapa foto yang dikirim menunjukkan gambarnya dengan beberapa burung betet hinggap di pundak dan lengannya. Nggak tahu diambil dari mana. Kami lihat foto itu ramai ramai di kelas. Saya masih kelas satu SMP. Teman teman berkomentar macam macam. "Edan di Amerika, burung bisa lengket sama manusia".
"Di Indonesia orang juga lengket sama burungnya sendiri".

Sampai di bandara menjelang petang. Duduk sebentar di ruang tunggu. Nunu asyik main bola di lantai. Tak tahu apa apa. Aryo mulai merengek dan lengket sama saya terus. Tahu jika saya akan pergi jauh. Kemudian menyelesaikan check in sebentar. Nggak ada masalah. Pesawat Garuda masih bisa menghubungkan jalur Jakarta London dengan berhenti di beberapa bandara di Asia dan Timur Tengah. Selesai check in kembali menemui NYI sama anak anak dan saudara2. Aryo nampak girang kembali dikira saya nggak jadi berangkat. Hati saya semakin bergetar. NYI matanya memerah. Kok ya nggak gampang ya pergi jauh pisah sama anak isteri ? Tak pernah terpikir sebelumnya.

Sewaktu kelas tiga Sekolah Rakyat kami pernah membaca cerita berjudul "Dateng Negari Walandi". Mencerikan kisah perjalanan seorang anak muda dari Solo yang mau benagkat belajar ke negeri Belanda. Naik kapal laut dari pelabuhan Semarang. Perjalanan akan berlangsung selama lebih tiga minggu. Dia membawa dua kopor dari logam. Diantar bapak ibu dan saudara saudaranya. Ceritanya sebenarnya mungkin terjadi di jaman penjajahan sebelum perang, lupa nama sang tokoh cerita. Tetapi dia digambarkan begitu gembira di saat keberangkatan. Bayangan saya waktu itu keberangkatan ke luar negeri pasti sangat membahagiakan. Saya harus angon sapi tiap sore pulang sekolah. Belajar ke negeri Belanda, nggak ada kamus angon sapi pulang sekolah.

Aryo menangis berat ketika saya pamit berangkat. Nunu minta dibelikan bola. NYI memeluk saya sambil menangis. Matahari hampir tenggelam, langit memerah di ufuk barat, ketika saya berjalan di tarmac menuju pesawat. Ke arah mata hari tenggelam di ufuk Barat. Keberangkatan ini adalah impian sejak kecil, impian impian saat angon sapi, berangkat belajar ke Eropa. Seperti halnya anak muda dari Solo dalam kisah 'Dateng Negari Walandi".

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 29 Agustus 2008

Tuesday, August 19, 2008

Aaaaaaaah Sang Dukun

Napasnya berdesah. Dada terasa sesak. Jantung berdebar keras. Pikirannya galau. Sumi tak mampu berpikir jernih. Seumur hidup baru kali ini berdua dengan pria selain Herman suaminya. Berdua sendirian di kamar hotel. Dengan dukun yang sangat dipercayainya. Hatinya di persimpangan jalan. Sementara tatapan mata sang dukun begitu tajam menatapnya. Menembus sanubari, menawarkan keindahan dan kemesraan yang telah lama hilang dari dunianya. Dunia bersama suaminya Herman. " Tak perlu takut Jeng. Pertama kali biasanya merasa takut. Tak apa apa. Ini demi kebahagiaan dan masa depanmu". Sang dukun memegang lembut jari jari tangannya. "Ya demi kebahagiaan saya. Demi keutuhan rumah tangga. Bukan petualangan. Bukan perselingkuhan.". Sumi mencoba mencari kebenaran. Bayangan Herman yang dia cintai mampir sesaat. "Tak akan saya lepaskan dia. Saya mencintainya. Biar perempuan itu merana karenanya. Demi dia saya lakukan ini semua". Namun tak sanggup dia keluar dari impian baur. Antara rasa dosa, takut dan kenikmatan yang memikat.

Sumi dan Herman telah tujuh tahun mengarungi perkawinan. Penuh kebahagiaan mulanya, apa lagi mereka telah dikaruniai dua putrid mungil, Mira 6 tahun dan Tita 4 tahun. Mereka berkenalan di kampus semasa kuliah. Umur mereka hanya terpaut dua tahun. Beda jurusan walau masih satu kampus. Begitu Sumi lulus, mereka langsung mengikat tali perkawinan. Sangat membahagiakan. Herman bekerja di salah satu perusahaan besar di bagian pemasaran. Sedang Sumi memilih karier impiannya sejak muda, menjadi guru. Perjalanan karier mereka lancar, ekonomi stabil untuk ukuran keluarga muda. Sayang perjalanan hidup tak seperti yang selalu yang di inginkan. Seiring dengan meningkatnya karier dan kesejahteraan, prahara rumah tangga perlahan datang tanpa disadari. Herman begitu sibuk dengan kegiatan perusahaan yang berkembang pesat. Sementara Sumi juga sering sibuk sebagai seorang guru yang sedang menanjak bintangnya. Entah yang namanya lokakarya, semiloka, penataran, pelatihan, lomba guru teladan, sebutlah apa saja nggak ada yang ketinggalan. Tak ada masalah, karena ada pembantu yang mengurus Mira sama Tita. Jika Sumi dan Herman sering harus menginap di luar kota, sendiri sendiri tentunya, maka anak anak bisa ke rumah neneknya yang tinggal dekat dengan mereka.

Tak terasa kesibukan masing masing telah menjauhkan jarak di antara mereka. Hanya kecintaan dan kedekatan mereka dengan kedua anaknya yang masih membimbimg mereka untuk tetap hidup bersama. Kadang Sumi terpikir dan merindukan masa masa indah yang pernah dia nikmati bersama dulu. Tetapi gengsi dan malu untuk mengutarakannya. Hanya kebisuan yang meyeret mereka terpisah dalam dunia masing masing. Bulan bulan terakhir Herman mulai jarang pulang ke rumah. Sumi juga tak peduli. "Toh saya bisa berdiri sendiri". Akhirnya seorang teman akrabnya semasa kuliah, Tini, mengingatkannya. " Ada wanita idaman lain. Apakah akan kaubiarkan suamimu terbuai dalam pelukan perempuan lain? Pertahankan dia, jika kau mencintainya. Dia milikmu". Sumi tersadar dari kebisuan. Dia berketetatpan akan mendapatkan kembali kemesraan miliknya. Bukan untuk wanita jalang itu.

Lewat Tini dia berkenalan dengan tokoh spiritual ternama itu. Para selebritis dan anggota DPR konon banyak tergarap oleh tangan dingin dan sesaji sang tokoh. Mana yang keserimpet penyalahgunaan dana APBN, entah yang pengin naik pangkat, entah yang ditinggal pergi kekasih, entah yang mempertahankan jatidiri sebagai pria metropolitan masa kini dan lain sebagainya. Sudah beberapa kali dia konsultasi dengan sang dukun. Namanya terkenal Ki Demang Genthalogedhi. Nama aslinya dulu Satimin. Biasanya ketemu di tempat praktek di Jakarta Selatan. Sumi sangat percaya kemampuan spiritual Ki Demang. Tatapan matanya begitu sejuk dan dalam. Seolah membelah apa yang ada dalam sanubari. Semua nasehat ki Demang sudah dijalani. Puasa mutih tujuh hari tujuh malam. Menyembelih sepasang ayam putih. Telanjang dan kungkum air dingin tengah malam. Hanya satu yang belum terjalani. Berbicara langsung dengan Sang Danyang yang menguasai hal ihwal cinta antar manusia. Harus dilakukan tengah malam di atas bukit yang tinggi. Agar dekat dengan kayangan para Danyang. Ki Demang akan menjadi penghubung spiritualnya. Dalam bahasa Jawa, prewangan. Bahasa kotemporernya mediator spiritual.

Malam Selasa Kiwon itu mereka berencana lelaku di puncak gunung. Selasa Kliwon atau Anggoro Kasih, malam yang tepat untuk menyepi atau mereguk cinta. Berdua naik mobil dengan Ki Demang menelusuri jalan jalan kecil di lereng bukit. Baru setengah perjalanan tiba hujan deras bercampur petir. "Jeng ini alamat tidak baik untuk lelaku. Kita cari saja tempat aman. Nggak perlu dibawah langit terbuka". Sumi diam saja, tak menolak, tak mengiyakan. Apapun kata Ki Demang, itulah yang paling bijak. Apalagi kalau bicara didahului dengan batuk batuk kecil. Eeeeeem. Mereka akhirnya menginap di salah satu hotel melati di sekitar tempat peristirahatan. Kebetulan juga sedang sepi. Tempat peristirahatan tidak menjadi halangan untuk lelaku atau nyepi. Ini jaman modern, lelaku atau nyepi nggak harus ditempat sepi. Di keramaian pun, bahkan di karaoke, bisa saja nyepi. Yang penting niatnya. Mau nyepi sambil karaoke.

Tengah malam Ki Demang member isyarat untuk datang ke kamarnya. Ada sedikit uopacara yang harus dilakukan sebelum wawancara dengan Sang Danyang lewat mediasi Ki Demang. Bau kemeyan menebar suasana mistis dan sedikit membuat Sumi agak pusing. Dia mantap melihat Ki Demang mulai membaca mantera mantera tentang cinta. Napas mereka berdua terdengar teratur berdesah. Sesuai dengan nasehat Ki Demang, Sumi hanya memakai kain sebatas dada (kembenan).

Tiba tiba saja Ki Demang bicara dengan suara beda. "Cucuku anakmas Timin, tanpa pertanda apa apa, kenapa sampeyan datang disaat prahara begini?".
"Nama saya bukan Timin eyang. Saya ini Ki Demang Genthalogedhi". Ki Demang menyahut dengan suara asli. " Saya mengantar Jeng Sumi. Mohon berkah Eyang. Masalah rumah tangga".
" Cucuku dulu sampeyan kan hanya si gembala sapi. Karena lelaku tapabrata kau dapat wahyu. Wahyu untuk membahagiakan banyak orang. Terutama wanita. Bawa kemari Sumi".
" Cucuku cah ayu. Mari dekat ke sini". Saya tahu apa masalahmu. Jangan kecil hati. Semua akan teratasi". Ki Demang bersuara aneh, agak celat.
Walau berdebar takut, Sumi mantap mencermati nasehat Sang Danyang. Kebekuan terasa hangat mengalir. Hatinya berdesir desir seolah melayang di awang awing.
"Turuti semua nasehat dan petunjukku cah ayu. Tidak apa apa. Bukan dosa, bukan apa apa. Ini adalah pengorbanan demi kebahagiaan dan masa depanmu". Tangan Ki Demang yang sedang kerasukan Sang Danyang, dengan halus terus meremas jari jari dan meraba raba bagian bagian tubuhnya. Sumi pasrah. Bercampur rasa berkorban, pasrah dan kenikmatan. Sementara Ki Demang Genthalogedhi, begitu lembut menari nari di dalam kawah wanitanya. Menuntunnya melayang di awang awang. Gerak gerak lembut yang tak pernah dirasakannya. Menghantarnya ke kepuasan tak terhingga.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Sumi tetap rajin konsultasi spiritual dengan Ki Demang. Herman juga tetap sibuk dengan dunianya. Hanya bedanya Sumi merasakan kehangatan tak terhingga. Kegiatannya dengan Ki Demang, tak hanya untuk lelaku atau nyepi. Tak perlu lagi lewat mediasi. Sang Danyang. Mereka sudah sama sama tahu. Tak perlu mediasi danyang siapapun. Asyiik booo. Toh Ki Demang juga manusia biasa. Jamane jaman edan.

Salam kasih dan damai. Jangan percaya mulut manis, magis, mistis semata mata.

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community. 19 Agustus 2008

(http://community.kompas.com/read/artikel/978)

Friday, July 25, 2008

Belum tahu saya ya ?

Musim kemarau 1972. Saya makan siang di warung dekat kost di Patangpuluhan Yogyakarta. Warung Ngapak. Yang punya asal Purwokerto, nggak bisa bilang "opo", bilangnya "ngapak". Makanan sederhana, nasi sama sayur tempe pedas. Tambah kerupuk. Saya biasa makan sama krupuk, seperti orang Jawa pada umumnya. Nggak tahu benar apa manfaatnya. Mungkin sekedar untuk membuat suara mulut riuh saat mengunyah kerupuk. Siang itu panas benar. Pulang kuliah jalan kaki dari Mangkubumen.. Di bangku di hadapan saya duduk seorang pemuda sebaya. Wajahnya tampan, acuh dan tenang sekali menikmati makan siangnya tanpa kerupuk. Perawakannya langsing tak sampai kurus. Rambutnya terurai sampai pundak. Beberapa kali saya lihat dia makan di warung ini.

" Rumahnya di mana mas "? Tanya saya basa basi memecah kebekuan. " Wah sampeyan belum tahu saya ya? Saya kan kost di gang sebelah. Saya anggota bengkel teater" Jawabnya lugas dan seolah agak terkejut menyadari bahwa saya nggak tahu siapa dia. Saya juga terhenyak mendengar jawabannya yang di luar dugaan. Saya pikir akan nada basa basi perkenalan pertama. Mungkin saya yang keliru. Mengharap percakapan yang santun penuh basa basi seperti di ketoprak.

" Bagaimana kabar sampeyan ?Saya sering lihat anda di warung ini.". Pertanyaannya menyusul balik. Saya ganti gaya bicara. Ini bicara dengan seniman. Nggak bisa formal formalan. "Kabar saya selalu ramai. Ramai ramai potong padi". Saya nggak ingat Ramai Ramai Potong Padi adalah judul lagu. Sengaja saya bicara sekenanya dan angin anginan. Dia malah serius menangggapi. "Sampeyan anak petani? Dari desa?". Sewaktu dia tahu saya dari Ambarawa, ayah saya guru dan kami punya lahan pertanian dan peternakan, dia makin antusias dan kami terlibat dalam pembicaraan akrab. Ringkas cerita, dia anak seorang jendral di Jakarta. Bergabung bersama kelompok teater terkenal di Yogya. " Saya bosan dengan kehidupan borjuis di Jakarta. Saya tidak suka kemapanan. Saya ingin terlibat dalam kehidupan rakyat sehari hari. Melalui teater saya bebas menyuarakan suara hati saya".

Saya mengagumi rasa percaya dirinya yang besar. Bilang tanpa ragu siapa dia. "Saya orang bebas. Saya seniman. Langit di luar adalah atap rumah saya". Saya selalu menukas angina anginan " Saya ini hanya si gembala sapi Bung". Waktu waktu berikutnya sering ketemu di warung yang sama. Atau di warung saingan Ngapak di seberang jalan. Lupa siapa namanya, yang punya asal Gunung Kidul, katanya bekas komandan gerilya. Tiap hari selalu mengeluh tak ada balas jasa dari pemerintah. Dan Hans akan selalu menukas. "Pahlawan tak pernah mengharap balas jasa Bung. Sampeyan tak berjiwa pahlawan". Saya hanya sering tertawa mendengar debat mereka "Saya seorang kapitain. Tanpa pedang panjang. Makan sayur tempe sama kerupuk". Bah, Hans selalu menganggap saya sebagai bagian dari kemapanan dan borjuisme, karena saya sekolah di kedokteran. Batin saya mengumpat " Pakanane jangan tempe warung Ngapak, kok borjuis. Gamblis".

Suatu hari saya melihat latihan teater kelompoknya Hans. Saya terpukau kagum melihat betapa dia menghayati watak yang harus diperankan. Lupa judulnya. Dia memerankan tokoh pahlawan yang dikianati teman dan dijebak dalam intrik kotor pembunuhan. Dia nyaring berteriak. "Saya Simusasava. Saya tidak takut mati. Tidak akan mati. Saya akan gugur demi kehormatan anak anak negeri ". Saya tertegun, berdesir hati saya.Nampak benar betapa dia menjiwai dan mencintai perannya.

Saya selalu mengagumi rasa percaya dirinya. Walau tidak bersahabat dekat. Beberapa tahun kemudian saya sering membaca namanya tertulis di berbagai surat kabar karena permainan teaternya. Sayang tak berkepanjangan dan tak sampai menjadi idola masa. Tetapi saya tetap ingat wajahnya yang tenang dan acuh penuh percaya diri itu. Rasa percaya diri adalah modal besar untuk berhasil. Banyak kegagalan karena kekurangan kepercayaan akan kemampuan diri sendiri. Tetapi kadang kala juga ada rasa percaya diri yang kelebihan dosis.

Dalam tahun tahun akhir ini, saya sering terlibat dalam wawancara seleksi tenaga profesional yang akan menduduki jabatan jabatan strategis di organisasi. Biasanya dari ratusan pelamar hanya 3 – 5 orang yang masuk short list untuk wawancara. Dari berbagai latar belakang etnis dan geografis. Banyak calon dengan keahlian teknis prima dan pengalaman panjang, kadang gagal seleksi karena kurang percaya diri sewaktu wawancara. Calon calon ini tak bisa memaparkan kemampuan dan pengalaman dirinya. Apa yang bisa anda sumbangkan dengan keahlian dan pengalaman anda, jika anda diterima ? Apa prestasi ada selama ini ? Calon calon dari Asia Tenggara dan Timur begitu mengendalikan diri ketika harus menceritakan prestasinya, keahlian dan pengalamannya. Mungkin juga bukan semata mata karena kurang percaya diri. Ada kebiasaan kultural yang membiasakan mereka tak ingin memamerkan kemampuannya.

Aaah saya ingat kenalan saya Hans. Teriakannya terngiang kembali "Saya ini anti borjuisme. Anti kemapanan. Saya tidak takut mati. Saya tidak akan mati. Saya akan gugur demi kehormatan anak anak negeri" Penuh percaya diri walau kami hanya makan dengan sayur tempe di warung Ngapak.

Hai anak muda, jangan ragu ungkapkan kemampuanmu dan impianmu.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 22 Juli 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/767)

Wednesday, July 16, 2008

Ngintip aaah

enghujung tahun 1971. Saya tinggal di salah satu losmen di jalan Pajeksan Yogyakarta.. . Masih duduk di tingkat tiga, nyambi kerja untuk menutup ongkos kuliah.. Lumayan dapat honor sekalian dapat fasilitas satu kamar tidur. Lebih baik dari kamar pondokan saya sebelumnya. Hampir setahun saya tinggal di losmen itu. Banyak ragam permasalahan saya hadapi. Masalah manusia sehari hari. Suatu malam lewat jam sebelas, saya sudah siap siap tidur, ketika ada suara gaduh. . "Kur Zikur nyebut Kur. Kepriye dhonge raaa? Disebul wae . Disebul wae." Saya bergegas ke ruang belakang Ada dua puluh kamar di sisi kanan kiri lorong utama. Sinar listrik 110 volt menerangi samar samar. Seorang penghuni pria nampak di papah teman temannya. Setengah sadar sambil sambil mengeluarkan suara khas mau muntah. Saya lakukan pemeriksaan kilat, dan ukur tekanan darahnya. Sangat tinggi dan riskan. . Lebih 200 mm Hg sistolis.Umur relatip masih muda. Baru menjelang kepala empat. Cepat cepat pasien dilarikan ke RS Pugeran, naik becak

Zikur adalah penghuni langganan. Dia pedagang batik dari Pekalongan. Ada dua kamar di belakang yang selalu disewa ramai ramai oleh kelompok pedagang batik dari Pekalongan. Rupanya malam itu Zikur dan beberapa temannya sedang asyik ngintip dua orang turis penghuni kamar depan, pasangan asal Perancis. Mereka berdua sudah beberapa hari tinggal di sana. Suka menyulut obat nyamuk jika tidur. Karena tak tahan bau obat nyamuk, jendela dibiarkan terbuka. Sorenya si turis putrid tanya saya apakah aman kalau jendela di biarkan terbuka malam hari. Saya jamin aman karena ada empat penjaga malam. Tak berpikir kalau akan diintip orang. Juga nggak terpikir kalau orang kulit putih selalu telanjang kalau tidur. Desah napas memburu dan bunyi tempat tidur menderit derit berirama, mengundang para pria dari Pekalongan itu ngintip. Ya mereka memang sudah beberapa minggu pisah isteri. Tetapi rupanya Zikir tak sadar kalau ngintip itu berresiko.tinggi. Bukan timbilen, tetapi krisis hipertensi. Untung dia esok paginya sudah boleh pulang dari rumah sakit. Obat jalan sekaligus nasehat. Jangan suka ngintip raaaa. Saya tidak punya kesan negatip terhadap orang Pekalongan karena insiden itu. NYI juga asal Pekalongan.

Banyak orang punya kebiasaan ngintip. Pengertian ngintip adalah melihat atau mengamati orang lain lewat lubang kecil atau dari tempat tersembunyi, sehingga orang yang diintip tidak tahu apa lagi menyetujui kalau dia sedang diamati orang lain. Sasaran perbuatan ngintip bisa orang yang sedang mandi, orang ganti pakaian, orang bermain asmara dan lain sebagainya. Jarang orang ngintip orang yang sedang buang air besar. Manusia yang sedang buang air besar bisa mengeluarkan aroma khas untuk mengusir para pengintip seperti cerpelai mengusir binatang musuhnya. Wanita mungkin lebih banyak menjadi sasaran pengintipan. Sejak kecil saya dididik keras tidak boleh ngintip. Hukumannya berat disabet pakai rotan oleh ayah saya. Belum lagi katanya dosanya dibawa ke akhirat. Oleh karena ngintip pada dasarnya ingin mengetahui dan melihat perilaku orang lain yang sebenarnya tak boleh dilihat atau diketahui.

Guru budi pekerti saya juga memasukkan perbuatan ngintip sebagai perbuatan tercela. Tidak dianjurkan untuk anak muda harapan bangsa. Pengalaman ngintip saya hanya sekali sewaktu kelas satu SMP di Ambarawa. Teman satu kelas namanya Wandi rumahnya di belakang gedung bioskop. Ada dua gedung bioskop di Ambarawa, gedung Garuda atau Madjoe. Selalu penuh terutama di akhir pekan. Banyak orang dari kawasan sekitar yang jturun ke kota lihat bioskop. Saya selalu ramai2 bawa obor kalau lihat bioskop. Belum ada listrik masuk desa. Suatu hari Wandi bilang, kalau mau nonton bioskop gratis lewat dia, bisa diatur. Asal bawa makanan, kacang kek atau rempeyek. Lumayan dari pada bayar karcis. Petang itu saya sudah siap di rumah Wandi. Orang sudah mulai sorak ramai di dalam gedung, tetapi dia kok masih tenang2 saja. Begitu sorak sudah reda, kami bertiga menyelinap di samping gedung. Ternyata dia tidak membawa kami ke dalam, tetapi memanjat dinding bioskop dan mengintip lewat lubang yang telah disiapkan. Halaman samping itu dekat WC, baunya pesing nggak ketulungan. Mana tahan mau makan kacang atau rempeyek. Saya duduk dibawah dalam kegelapan sambil menunggu. Eeh tahunya banyak penonton yang juga buang air kecil semaunya sekitar dinding tua itu. Belum ada setengah jam saya pamit. "Saya nggak biasa ngintip Ndi, mau pulang saja". Sial bo. Saya nggak berani cerita di rumah. Judul filmya Sungai Ular. Besoknya saya pamit kembali nonton dengan adik saya. Saya bilang pengin nonton sekali lagi.

Di kelas satu SMA di Solo awalnya saya mondok di Sambeng. Di tempat Bu Basuki. Ada beberapa anak laki2 yang mondok disitu, sebagian besar dari Madiun atau Ponorogo. Di depan rumah ada dua pohon jambu yang rimbun dan lebat. Saya suka tiduran di bangku di bawah pohon jambu yang rindang itu. Ada kost putri di sebelah rumah kami. Suatu sore ketika ibu kost sedang tidur, beberapa anak putri rumah sebelah datang mendekati saya yang sedang tiduran di bangku. " Dik nggak usah bilang bilang ya. Kami mau ambil jambu". Mau mengiyakan saya nggak ada hak, mau memanjatkan juga merasa nggak berwenang. Saya biarkan mereka manjat sendiri.. "Jangan ngintip ya dhik". Saya hanya diam saja.. Terserahlah. Hanya ingat pidato Bung Karno, "Pandanglah ke atas. Bintang bintang bertabur di langit. Raihlah cita citamu setinggi langit". Saya lihat ke atas nggak ada bintang. Hanya ada celana dalam warna warni. Ini bukanlah mengintip menurut definisi di atas. Tidak mencuri pandang lewat lubang kecil, tetapi melihat lewat langit yang maha luas. Sasaran juga sepenuhnya tahu. Saya pada dasarnya rendah hati, nggak bisa lihat bawah. Menyepelekan orang yang dilihat. Selalu melihat ke atas demi cita cita. Apalagi jika ada celana warna warni di atas sana, di antara ranting jambu, di antara tungkai yang indah dan sehat seperti tungkai Miss Universe. Tak ada bekas koreng. Bukan ngintip bo.

Di tahun kedua di Solo saya tinggak bersama kakak sekeluarga di Badran, Kota Barat. Kami bertetangga dengan tante Lin, seorang ibu muda umurnya pertengahan tiga puluhan, Putranya empat suka main ke rumah. Tante Lin jelita seperti Tintin Sumani. Suaminya bekerja di Jakarta kabarnya. Hubungan kami sekeluarga dengan keluarga Tante Lin biasa biasa saja. Ibu Tante Lin sangat galak, sering dibilang kayak Calon Arang. Tante Lin punya kebiasaan aneh. Setiap petang menjelang malam Jum'at, selalu mandi dengan kembang setaman di halaman depan rumahnya. Tidak di dalam kamar mandi. Tetapi di luar di dekat sumur. Tak banyak tetangga oleh karena rumahnya di ujung gang. Tetapi kami bisa melihat dengan jelas dari ruang depan, hanya dua puluh meter jaraknya. Dia nggak merasa risih walaupun kami sedang duduk duduk di ruang depan dengan jendela terbuka. Pemandangan yang mengasyikkan. Beberapa tetangga termasuk almarhum mas Tarno yang sudah berputra lima, sering2 bertandang ke rumah saya dan iingintip dari lubang kecil di kamar saya. Mereka tak mau duduk di ruang depan, memandang dari jendela terbuka. Saya tak juga berminat ikut mengintip lewat luang kecil itu. Ini masalah prinsip. Toh bisa melihat dengan jelas dari ruang depan. Tante Lin pun nggak pernah marah. Malah kadang2 melambaikan tanggannya. Beberapa waktu berlalu, pemandangan itu seolah biasa, bagian dari potret alam dunia. Tak ada minat mengintip. Buat apa ?

Pengalaman kasus ngintip di Yogya lain lagi. Di tahun awal tujuh puluhan, ada seorang tokoh senior di kampus yang suka ngintip dan buka buka celana di muka asrama putri di Mangkubumen. Biasanya menjelang petang dan para penghuni asrama yang sudah hapal, akan bersuara gaduh melihat pemandangan aneh itu. Mungkin tokoh ini menderita kelainan psikologis. Teman baik saya Baedi yang kenal dekat dengan sang tokoh tadi suatu saat mencoba mengingatkan. Dia orangnya sangat alim dan religius. Tidak baik kebiasaan itu. Apa kata sang tokoh ? " Ini burung burung burung saya sendiri, sampeyan mau apa ? Mentang mentang sampeyan orang Hadramaut, burungnya besar mau nyombong ya ? " Baedi yang memang kebetulan berdarah Arab bercerita sambil mengeluh ke saya " Pak Anu itu keterlaluan, saya ingatkan baik baik kok malah marah. Berbau apartheid lagi". Saya tertawa, urusan penyakit ngintip dan masalah burung, apa hubungannya dengan apartheid? Apartheid dulu ada di Afrika Selatan, dan tak ada hubungannya dengan intip mengintip dan buka buka celana di muka asrama putri, apalagi dengan masalah ukuran burung..

Jangan suka ngintip. Jamannya jaman keterbukaan. Glasnots dan perestroika. Mau ngintip ? Nyeeet.

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community 16 Juli 2008

(http://community.kompas.com/read/artikel/694)