Thursday, June 30, 2011

Vaginoplasty

“ Lampu” teriak Dr. Pram memecah kesunyian di kamar operasi. Pagi itu di awal tahun 1974, beliau sedang melakukan operasi vaginoplasty di rumah sakit Kandungan dan Kebidanan Mangkubumen, Yogya. Terhenyak saya mendengar teriakannya. Saya masih ko-asisten mendapat tugas mengarahkan lampu ke daerah operasi. Cepat cepat saya benarkan arah sinar lampu. Perhatian saya terganggu karena permintaan mas Pur, fotografer yang bertugas mengabadikan jalannya operasi. Kami tidak begitu terkejut akan teriakan Dr. Pram, kebiasaannya memang begitu. Mas Pur, fotografer itu kadang2 terlalu aktif di hadapan ko as, melebihi para dokter asisten ahli.

“ Siapa yang menyiapkan pasien ini?”. Ganti pertanyaan ditujukan ke asisten operasi. Almahum Dr. Suro, sedikit terkejut. “Kok kurang bersih gimana sih ?”. Dokter Suro coba menjelaskan. “Tadi saya cek, rambutnya sudah bersih dicukur Dok”. “Mas, saya tidak tanya cukur pubes. Tetapi itu organ yang mau digarap kok masih kotor dan bau”. Tim asisten operasi semua terdiam. Tak ada gunanya mencari dalih. Dr. Suro dengan sabar membersihkan vagina dan daerah sekitar vagina.


Dr. Pram kemudian mulai operasi trans vaginal. Hati hati sekali memotong dan menyambung jaringan jaringan yang telah kendor. Pasien mengalami prolapsus vagina. Organ vagina melorot oleh karena otot2 dan jaringan penyangga sudah kendor. Pasien berumur sekitar lima puluh tahun. Isteri seorang pejabat di propinsi. Alasan operasi memang pertimbangan medis semata mata. Sambil operasi, Dr. Pras cerita, jika pasien ini adalah kasus ketiga yang dioperasi dengan teknik ini. Temannya di Denpasar telah melakukan operasi sebanyak tujuh kali. Mereka janji akan mempresentasikan hasilnya di konggres nasional tahun depan. Ada semacam pacuan di antara kedua sahabat itu. Operasi berjalan lancar, selesai dalam waktu dua jam.

Vaginoplasty adalah operasi yang bertujuan untuk merekonstruksi kelainan di organ vagina, penunjang vagina dan jaringan mulut vagina karena berbagai sebab (http://en.wikipedia.org/wiki/Vaginoplasty ). Yang paling sering adalah kelainan karena mengendornya jaringan otot vagina dan penunjang vagina, sehingga kantung vagina melorot turun. Jelas ini membawa dampak terhadap fungsi seksual, terhadap bentuk estetika vagina dan juga menyebabkan keluhan tidak enak untuk pasien. Sebagian besar alasan vaginoplasty adalah karena pertimbangan medis dan kesehatan.

Namun dengan berjalannya waktu dan membanjirnya budaya komersial, disertai meningkatnya tuntutan dan selera kaum wanita, semakin banyak operasi vagionaplasty yang tujuannya bukan semata mata untuk rekonstruksi medis, tetapi untuk tujuan estetika semata mata. Untuk memperbaiki penampilan vagina dan alat alat sekitar vagina, misalnya bibir vagina, jaringan klitoris. Yah mungkin biar penampilannya lebih cantik menawan dan memikat pasangan. Bahkan juga untuk menutup kembali selaput dara yang telah robek karena perkawinan. Ini semata mata hanya indikasi social, bukan medis. Karena ada permintaan pasar, tak ayal lagi pelayanan vaginoplasty estetika semakin populer, semakin mahal dan jadi simbol gengsi.

Vaginoplasty estetika populer dikalangan kaum wanita kelas atas yang berduit dan kalangan selebriti. Mungkin demi gengsi, atau demi meningkatkan popularitas di kalangan penggemar. Walau sudah kawin, hymen atau selaput dara yang sudah robek atau hilang, bisa ditautkan kembali atau ditambal dengan jaringan lain. Perawan kembali walau hanya secara artifisial. Dalam konteks non rekonstruksi, vaginoplasty juga bisa untuk meremajakan kembali jaringan vagina, mengembalikan kekencangan otot otot dan meningkatkan penampilan estetika dan kepuasan sang pasangan.

Tak dimungkiri, kini vaginoplasty seolah menjadi bagian budaya popular kelas atas, kalangan orang berduit dan selebriti. Bukan lagi hanya sekedar untuk memperbaiki disfungsi vagina karena sebab sebab medis seperti yang digambarkan dalam operasi di atas. Orang bisa minta dioperasi agar Ms. V bisa tersenyum manis menarik sang pasangan. Bisa untuk memperbaiki penampilan bibir vagina. Ada bibir yang mungkin terlalu besar, bergelantungan tak beraturan, bisa diperbaiki supaya bisa mungil dan menawan. Mungkin juga beralasan. Jika penampilan Ms. V tidak menawan, serong ke kiri, serong kekanan, dengan bibir bergantungan tak beraturan, bisa bisa sang burung tidak mau berkokok, mampir, apalagi masuk. Manusiawi lah.

Yang menjadi berlebihan karena kemudian ini dipromosikan sebagai salah satu simbul budaya pop kelas atas. Budaya kekinian yang mahal. Bayangkan bagaimana bangganya sang selebriti kita DP sesudah menjalani vaginoplasty selaput dara (http://kayosakti.blogdetik.com/2011/06/04/dewi-persik-perawan-lagi-biarpun-janda/). Mungkin bagi yang bersangkutan ini sebagai aktualisasi diri sebagai artis papan atas. Bahkan tripnya digabung dengan umroh, biar semakin afdol. Bagi sang produser, meningkatnya popularitas bisa untuk menggaet penggemar, menggaet pasar. Bayangkan bila image sang selebriti tersebar luas, wah Ms. V nya sudah melorot, sudah kendor, sudah miring sembilan puluh derajad. Jelas para penggemar lari. Sori mek sori sori. Ini harus dicegah secara proaktif, vaginoplasty, walau harus bayar milyaran.

Ketika saya omong omong dengan beberapa teman ahli kandungan dan kebidanan, menghadapi komersialisasi dan penyebarluasan image vagionaplasty ini di kalangan orang berduit dan selebriti papan atas, ada ada saja inovasi yang mungkin bisa dilakukan. Perlu langkah langkah untuk menyelaraskan (alignment) dengan merebaknya budaya korupsi, penyimpangan, politik uang di tanah air. Saya sarankan dokter dokter tersebut membuat inovasi teknologi dan kemitraaan (alliance) dengan pengusaha melalui mekanisme pasar. Sokur kalau bisa dipasarkan untuk ekspor. Salah satu inovasinya, bagaimana kalau dokter dokter itu bekerja sama dengan produsen jenang atau wajik. Entah jenang Kudus atau dodol Bandung, untuk menyubal Ms. V saat vaginoplasty biar tambah lekat. Atau kemitraan dengan pedagang rujak cingur, biar aromanya semakin aduhai dan menggoda.

Wah wah wah edan kabeh. Maaf malah ngelantur. Terlalu vulgar mungkin.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Manila, 30 Juni 2011
(http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939#!/note.php?note_id=10150244848488467)

Ciuman bibir

Terhenyak saya membaca tulisan di Kompas yang mengatakan bahwa banyak wanita Indonesia yang tidak tahu dan tidak merasakan puncak kenikmatan hubungan seksual (orgasmus) dengan pasangannya (http://health.kompas.com/index.php/read/2011/06/26/22443255/Banyak.Perempuan.Tak.Tahu.Orgasme). Tulisan semacam ini memang sudah banyak di terbitkan di kepustakaan. Tetapi kali ini berdasarkan pengalaman yang diungkapkan oleh seseorang yang sangat banyak mengamati dan mendalami permasalahan hubungan pria dan wanita di dunia nyata, Liany Hendranata. Pandangannya bukan semata mencerminkan pandangan teori dunia akademis, tetapi mencerminkan apa yang banyak dialami wanita di dunia nyata.

Saya bukan ahli dalam seksologi. Juga bukan marital counselor. Tetapi sejak tulisan ringan tiga tahun lalu tentang ciuman pipi (http://www.facebook.com/notes/ki-ageng-similikithi/tulisan-lama-3-tahun-lalu-cipika-cipiki-di-kolom-kta-kompas/10150243731363467) banyak komentar dan masukan yang berkaitan dengan ciuman bibir dan masalah kepuasan puncak hubungan seksual. Karena saya bukan ahlinya, dan saya juga tidak mengkhususkan tulisan saya dalam hubungan seksual , maka komentar dan masukan tersebut tak menjadi bahan ulasan lebih lanjut. Tetapi membaca pendapat Liany Hendranata dalam rubrik kesehatan Kompas tadi, saya ingin ungkap beberapa kasus, mungkin bermanfaat sebagai masukan, renungan dan bahan diskusi. Terutama untuk kalangan wanita mengenai masalah ciuman bibir dan puncak kepuasan seksual.

Coba kita simak kasus kasus dibawah ini. Silahkan komentar dan bagi bagi pengalaman, analisis dan pandangan. Bukan dari sisi ahli, tetapi dari sisi pelaku yang mengalami sendiri. Kasus kasus ini datang lewat dunia maya mengomentari tulisan tulisan di atas.

Kasus pertama.
Seorang wanita karier, pendidikan tinggi dari kelompok menengah, umur sekitar empat puluh tahun. Berkeluarga dengan suami seprofesi, selisih umur kira kira sepuluh tahun. Suami pilihan sendiri dan ada masa pacaran beberapa tahun sebelum kawin. Putra tiga, yang nomer satu sudah hampir masuk universitas. Karier profesi berjalan bagus dengan jejaring luas. Mengatakan bahwa selama lebih lima belas tahun terakhir semenjak kelahiran putri pertama tidak pernah merasakan puncak kenikmatan dalam hubungan seksual. Juga tidak pernah lagi melakukan ciuman bibir bersama sang suami seperti saat pacaran dan saat awal perkawinan. Bahkan mengatakan sudah lupa cara dan rasa berciuman bibir. Hubungan seksual dilakukan hanya sekedar menjalani tugas sebagai isteri. Hubungan dengan suami dingin karena sebab yang tak diungkapkan. Tak pernah mengungkapkan masalah ciuman dan hubungan seksualnya dengan sang suami. Tak pernah melakukan hubungan dengan orang lain, meski punya kawan dan jejaring luas.

Kasus kedua
Seorang wanita muda dengan pendidikan tinggi, umur awal tiga puluhan, baru merangkak membina karier profesi. Juga mempunyai usaha swasta. Berputra tiga dan bersuamikan seorang pengusaha muda. Belum mapan benar. Suami sangat sibuk dalam berusaha sehingga nampaknya waktu dan perhatian untuk isteri dan keluarga tidak optimal. Dia mengatakan sudah 7 tahun lebih tidak pernah melakukan ciuman bibir. Masih berhubungan badan tetapi kurang optimal karena kesibukan suami. Paling banter sebulan sekali dua kali. Masih bisa menikmati puncak kenikmatan seksual, tetapi sudah menurun. Tidak seperti waktu awal perkawinan. Hubungan seksual hanya cepat cepatan asal puas. Asal cepat selesai. Ingin sekali merasakan kembali berciuman bibir, tetapi tak sampai hati mengatakan keinginanya ke sang suami. Walaupun berkomitmen sangat kuat untuk tetap mendampingi suami, dia merasa rasa cinta dan simpati ke suaminya mulai menyurut. Bertransformasi menjadi rasa kasihan. Berkeingian kuat untuk menikmati kenikmatan berciuman bibir, ingin menikmati kembali cumbu rayu, dan ingin lebih menikmati puncak kepuasan seksual.

Kasus ketiga
Seorang ibu rumah tangga, umur lewat pertengahan lima puluhan, pendidikan menengah. Suami selang umur 3 tahun lebih tua. Pernah punya usaha, ditinggalkan karena mengikuti kesibukan suami. Berkecukupan dengan status sosial bagus. Tak banyak kawan dan jejaring social. Putra 5 sudah berkeluarga semua. Suami dikenal sejak mahasiswa dan pacaran beberapa tahun sebelum kawin. Ciuman bibir masih dilakukan dengan hangat walaupun tak membara seperti di jaman pacaran dan waktu masih muda. Masih menikmati hubungan seksual dan puncak kenikmatan seksual, walau tidak sesering sewaktu masih muda. Puncak kenikmatan seksual dalam berhubungan dinikmati semenjak pacaran dengan sang suami. Sekarang hanya seminggu sekali atau lebih jarang. Sejak awal perkawinan selalu berhubungan badan dengan suami setiap hari, atau paling istirahat sehari dalam seminggu. Komunikasi dengan suami cukup tebuka mengenai masalah seksual walau tidak sampai vulgar.


Apakah yang bisa dipetik dari ketiga kasus di atas ?

Masalah kepuasan seksual dan status hubungan pasangan suami steri sangat kompleks dan multi dimensi. Tak bisa disangkal jika hubungan emosional dan keharmonisan hubungan antara masing masing anggota pasangan sangat menentukan. Ada hubungan dekat antara kebiasaan berciuman bibir, ber mesraan dan bercumbu rayu antara kedua anggota pasangan dengan kemampuan untuk mencapai puncak kenikmatan seksual. Ketidak mampuan melakukan ciuman bibir mungkin bisa menjadi tanda awal munculnya masalah hubungan seksual dan masalah keharmonis hubungan ke dua pasangan.

Juga ada hubungan dekat antara kegagalan berkomunikasi antara kedua anggota pasangan dengan meningkatnya masalah hubungan seksual yang mulai dengan masalah ciuman bibir. Saya merasa kaget di alam keterbukaan komunikasi saat ini, masih banyak pasangan yang tak mampu mengembangkan budaya keterbukaan dalam kebiasaan berciuman dan berhubungan badan.

Tak ada gunanya buka buka jika tidak disertai dengan cumbuan cumbuan mesra. Jangan membiasakan diri untuk buka buka, asal cepat terpuaskan. Rebat cekap nimas. Itu tak bertanggung jawab.

Sekali lagi, saya bukan ahlinya. Ini pandangan awam saja. Pandangan anda berdasarkan pengalaman masing masing akan sangat berharga demi pembaca yang lain. Masihkan anda berciuman bibir ? Masihkah anda menikmati puncak kenikmatan seksual ?

Bersatulah para wanita, untuk menikmati cumbu rayu, untuk menikmati ciuman bibir, untuk menikmati puncak kepuasan seksual, dengan orang yang anda cintai. Hidup adalah pilihan. Bukan takdir dan suratan tangan.



Salam sejahtera

Ki Ageng Similikithi

Manila, 29 Juni 2011.

Kisah perjalanan anak manusia - cerita dari seberang lautan

Sudah beberapa hari hujan angin mendera tanpa ampun. Hari Jumat kemarin transportasi Manila lumpuh karena banjir. Terpaksa akhir pekan hanya tinggal di rumah. Kadang menghabiskan waktu, melanglang jagad maya lewat internet. Jam sepuluh malam tadi ada titik merah di kotak chatting face book. “Selamat malam Ki. Happy week end”. Pesan dari Yulia yang tinggal di HongKong. Saya mengenalnya sejak beberapa minggu lalu. Dia bekerja di Hong Kong sudah enam tahun. Saya menjawab singkat “Terima kasih, tak ada happy week end. Typhoon dan banjir”. “Typhoon dari Filipina sudah sampai di HongKong siang tadi Ki. Hanya lewat sebentar. “

Kemudian kami terlibat dalam percakapan maya yang asyik.. Dunia maya memberi kesempatan banyak orang untuk saling menyapa dan memberi salam, di manapun mereka berada. Semua serba cepat. Kadang bisa lihat foto kawan diseberang. Edan, kemajuan teknologi tak terbayangkan. “Jika punya waktu banyak, saya ingin cerita agak panjang ya Ki. Tentang pengalaman hidup ” “Silahkan, terima kasih kepercayaanya. Saya menjadi pendengar setia”.

Paragraf demi paragraf pesannya datang mengalir. Kadang tergangggu hubungan internet. “Keluar masuk secara teratur Ki”. Ceritanya deras dan teratur. Saya menyimak kalimat demi kalimat. Tak menyela sedikitpun. Di akhir cerita, saya bertanya apakah kisahnya dapat dirangkum dan dinaikkan ke internet. Mungkin bisa jadi bahan pemikiran pembaca. Yulia sepakat. Nama dan tempat disamarkan. Kami sempat bertukar pikiraan. Konsultasi lah istilah gagahnya. Edaaan ah, jadi konsultan hubungan asmara dunia maya.

Pagi ini saya buka rekaman catatannya. Agak kesulitan merekonstruksi jalan cerita.. Biasanya dalam format wawancara, ada pertanyaan dan ada jawaban. Tetapi ini menampung cerita lewat pesan maya. Saya susun kembali dengan hati hati, inilah ceritanya.

Setelah lulus SMA, Yulia diajak paman ke Jakarta. Paman waktu itu lagi sukses sebagai penata artistik film hingga bisa meraih piala Citra. Jangan disela ya Ki, biar saya selesaikan dulu ceritanya. Sambil les komputer Yulia melamar pekerjaan dan diterima di satu perusahaan yang waktu itu lagi buka banyak restoran. Yulia bekerja di salah satu restoran milik perusahaan tersebut, di Jakarta. Saat kerja di sana Yulia bertemu dengan seorang pejabat yang menjadi salah satu wakil pimpinan instansi penting di bidang perhubungan. Namanya pak Rasid.

Pak Rasid sudah punya isteri dan lima anak sebenarnya. Tetapi singkat cerita Yulia nikah sama dia di tahun 1992. Pak Rasid cinta setengah mati sama Yulia. Dia seorang anggota militer yang waktu itu diperbantukan ke instansi sipil di mana dia bertugas. Keluarganya semua tahu, juga anak anaknya, kalau pak Rasid menikahi Yulia. Isteri pertamanya menderita sakit kanker leher rahim, sehingga tak bisa lagi melayani suami. Bisa dimaklumi.

Keberuntungan datang bertubi semenjak perkawinan kami. Sebulan setelah nikah dengan Yulia, pak Rasid di promosikan menjadi kepala kantor cabang di Jakarta. Jabatan barunya bisa dikatakan lebih basah saat itu. Baru setahun di sana, dipindah ke Kepala Bagian Perijinan di kantor propinsi. Promosi yang luar biasa. Semula Yulia tinggal bersama pak Rasid di Jakarta. Tetapi kemudian pindah ke Tangerang, dekat dengan rumah orang tua Yulia.. Orang tua Yulia punya toko di Tangerang. Kami tidak dikaruniai anak. Sesudah dua tahun perkawinan, ternyata baru saya tahu kalau suami gak bisa lagi punya anak karena sudah di vasektomi, setelah kelahiran anaknya yang ke lima. Isteri sama anak anaknya tinggal di Bandung waktu itu. Yulia menjalani rumah tangga dengan pak Rasid selama empat belas tahun. Pisah di tahun 2006. Banyak ceritanya. Ada pertanyaan Ki, kok diam saja ?

Pak Rasid datang dari keluarga terpandang di Bandung. Saudaranya banyak yang menjadi pejabat tinggi, termasuk di militer. Keluarganya juga banyak yang jadi pengusaha. Hubungan Yulia dengan keluarga pak Rasid baik baik saja. Keluarga besarnya menerima kehadiran Yulia. Selama jadi isterinya, Yulia yang selalu di ajak kemana mana. Isteri pertamanya sudah nggak mau diajak. Pak Rasid tinggal sama saya di Tangerang, kalau anak anaknya ada perlu, mereka akan tilpon, baru pak Rasid pulang ke Bandung. Anak anaknya semua sudah sukses.

Pak Rasid terbiasa hidup di dunia keras sebelum menduduki jabatannya saat itu. Sebelum nikah sama Yulia dia suka mabuk, judi dan main perempuan. Tenang Ki, saya masih cerita ini. Setelah nikah dia berobah total. Tentu dengan perjuangan dan pengorbanan berat yang mesti Yulia lalui. Pak Rasid sangat temperamental, bertahun tahun Yulia bersabar menerima pukulan, hajaran dan siksaan hanya karena masalah masalah yang sangat sepele. Bahkan terakhir dia mau bunuh Yulia dengan gunting yang sudah siap dia tancapkan ke perut Yulia. Saya mempertahankan nyawa saya walau sampai harus berdarah darah. Yulia sebenanrya sangat berharap dia dapat berubah dan tidak menyakitinya lagi.

Pak Rasid selalu bilang, kalau dia memanggil atau membutuhkan Yulia, nggak peduli apapun harus cepat datang dan melayani. Jika tidak dia akan cepat emosi dan turun tangan, Jika tilpon ke rumah yang angkat tilpon bukan Yulia, dia akan marah besar. Dan saya harus selalu siap menerima kemarahannya dan kekerasannya. Suatu saat Yulia diajak ayah untuk nyekar ke makam kakek, saat pak Rasid sedang ke Bandung. Kebetulan dia tilpon ke rumah, saya nggak ada, waktu pulang dia ngamuk dan marah besar. Semua barang dilemparkan ke saya. Saya dipukuli habis habisan. “Kamu melanggar aturan suami. Ijin nengok orang tua kok malah nglayap ke mana mana”. Saya tak pernah menceritakan kekasarannya ke orang tua saya.

Suatu malam setelah mengalami siksaan, ketika dia lengah saat shalat subuh Yulia kabur dari rumah lari ke rumah orang tua. Saya sujud sama orang tua dan menceritakan semua masalah yang Yulia alami selama empat belas tahun. Saya tidak pernah mengadu ke orang tua sebelumnya. Singkat cerita Yulia mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama. Gugat cerai dikabulkan pengadilan setelah satu tahun. Paman Yulia ada yang bekerja di KUA, beliau yang membimbing saya di pengadilan agama. Yulia kemudian lari jauh ke HongKong sampai sekarang karena mantan suami mengancam kalau ketemu dimanapun akan dibunuh.

Saya sudah sering bilang sama dia tolong jangan sering sakiti saya. Kalau habis kesabaran Yulia tak ada celah sedikitpun untuk dia. Selama ini Yulia selalu memaafkan dia. Terakhir saat Yulia memutuskan cerai, dia sujud di kaki dan menangis sejadi jadinya. Tetapi saya sudah tutup semua celah untuk dia keluar masuk.

Jika pas nggak marah dia cinta setengah mati sama saya. Semua permintaan selalu diberikan. Kami sering pelesiran, banyak kali ke Bali. Dia sangat menyayangi Yulia. Saya hanya minta jangan disakiti. Secara ekonomi, dia tidak ngerem, apa saja selalu diberikan untuk memanjakan Yulia. Jika lagi baik, apapun yang saya ucapkan akan segera dia turuti. Beli harta apapun pasti atas nama Yulia. Pada saat cerai di tahun 2006, dia meninggalkan dua rumah dan tanah untuk Yulia. Ki habis ceritaku. Ki saya lega bisa cerita tentang kisah saya. Masih membaca?


Itulah yang diceritakan Yulia suatu semalam lewat chatting. Semua jelas dan gamblang walau hanya dari satu sisi. Beberapa saat saya kemudian bertukar pesan dengannya. Tak ada pretensi untuk menggurui. Tidak sok bijak menasehati. Yulia telah menjalani kisahnya selama empat belas tahun. Banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik. Dia pasti bisa memutuskan yang terbaik untuk perjalanan ke depan.

Banyak wanita mempunyai kebahagiaan semu, berkeinginan memperbaiki tabiat dan kelakuan hitam sang pasangan melalui perkawinan. Berkeinginan berkorban dan menderita fisik ataupun emosi, demi kebahagiaan pasangan. Itu hanya masokisme. Hidup bukanlah hanya untuk berkorban, untuk menderita demi pasangan. Hidup adalah perjalanan bersama. Bahagia bersama. Berjuang dan berkorban bersama, demi masa depan bersama dengan orang yang dicintai dan mencintai.

Akhirnya Yulia cerita akan kembali ke Indonesia tahun depan. Ingin memulai lagi hidup baru, bersama pasangan yang dikenalnya di dunia maya. Dia baik sekali , pesan pesannya selalu lembut di dunia maya. Dunia maya sering mempertemukan pasangan dan kawan hidup.

Kebahagiaan adalah pilihan dalam perjalanan hidup yang panjang. Jika salah langkah suatu saat orang harus berani memutuskan kembali ke jalan semula. Dan meneruskan perjalanan selanjutnya. Hidup bukan sekedar berkorban sia sia, bukan sekedar menderita. Banyak dari kita yang tak berani mengambil keputusan untuk kembali ke jalan semula.



Salam damai, hidup adalah karunia yang harus di dinikmati dan dijalani bersama seseorang yang kita cintai.



Ki Ageng Similikithi

Manila 26 juni 2011.

Friday, March 25, 2011

Bulan Pakai Payung


Siang itu terasa gerah dan panas. Baru saja selesai tugas di poliklinik. Akhir musim hujan di tahun 1974. Saya sedang tugas di rumah sakit Tegalyoso Klaten waktu itu. Perasaan selalu gelisah semenjak kematian pasien emboli paru beberapa hari lalu. Ceritanya pernah saya ungkapkan di Koki (27 September 2007). Mengingatkan saya akan tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Tertinggi di antara negara2 tetangga dan termasuk urutan tinggi di Asia . Sebagian karena penyakit kehamilan dan gangguan melahirkan. Tragis menyedihkan.

Ingatan saya melayang ke gadis MUR yang saya kenal beberapa waktu lalu. Perkenalannya begitu tak terduga. Tiba tiba saja dia muncul dari balik pintu ketika saya mengantar kakaknya ke rumah pondokan. Saya begitu terpana dan selalu mengenangnya. Pernah saya ceritakan di kolom ini juga. Sejak itu saya rajin menulis surat dan menemuinya. Belum ada ikatan apa apa. Baru tahap pendekatan (PDKT) atau lebihnya ya pacar belum tetap. Baru sampai tahap pegang pegang jari tangan. Namun hati sudah selalu bergetar. Kontak fisik belum merambah ke atas maupun ke bawah. Demarkasi jelas. Hanya hati yang berdesir dengan perasaan melayang layang.

Sejak kematian pasien karena emboli paru beberapa hari lalu, ingatan saya tak pernah lepas dari gadis itu. Ingin menemuinya. Seolah takut sesuatu terjadi padanya. Seolah takut kehilangan dia. Ingin rasanya menepis pikiran saya. GR toh belum ada hubungan apa apa. Belum terucap kata kata cinta. Status hubungan belum tetap. Seperti pegawai negeri, selalu harus mulai dengan status tidak tetap atau honorer. Kalau perlu ber tahun tahun, dengan keharusan kesetiaan melebihi pegawai yang sudah tetap. Getaran getaran hati ini layaknya ungkapan kesetiaan. Tetapi lain dengan kesetiaan pegawai tidak tetap. Pacaran belum resmi, jalan ke sana masih remang remang. Baru pegangan jari. Pegang pegang jari dan tangan bukan jaminan pacaran.

Tak ada tugas lagi sesudah poliklinik tutup. Ada ko as lain yang tugas jaga. Singkat kata kemudian saya sudah sudah berada dalam bis menuju Yogyakarta . Lupa nama bisnya. Tetapi masih ingat karcisnya jurusan Yogya, Solo, Karangpandan. Waktu menunjukkan jam satu siang hari. Hawa panas tak terasa lagi. Tertutup hati yang berdesir membara. Rasa melayang akan ketemu dia. Gadis manis dari balik pintu. Ingin menatap wajahnya yang redup. Senyumnya yang lepas menghanyutkan. Seandainya bisa menggapainya. Membelainya. Memeluknya. Aaaaah lamunan melayang kemana mana. "Bausasran mas. Bausasran. Turun cepat" Tiba tiba si kenek berteriak parau. Nggak tahu mengapa dia harus berteriak menghabiskan suaranya. Mengeringkan pita suaranya. Tak perlu sebenarnya. Kenek malang itu mungkin juga nggak tahu kenapa harus berteriak. Bagian dari kebiasaan saja. "Pimpinan partai boleh teriak. Pejabat bisa pidato lantang. Mengapa saya nggak boleh teriak. Saya ini penguasa nomor dua dalam bis tua ini". Mungkin saja kenek itu berpikir demikian, melihat saya nggak senang dengan teriakannya.

Saya bergegas turun dari bis tua yang suaranya mengaum karena mesin yang memanas.. Waktu menunjukkan jam dua kurang. Panas sedikit berkurang. Naik becak ke jalan Tanjung, dua puluh lima rupiah. Tak ada tawar menawar. Mau jumpa gadis idaman, pantang tawar menawar dengan pak becak. Saya ini mahasiswa. Tas berisi beberapa catatan dan pakaian dalam saya gantungkan di pundak. Pohon jambu di rumah pondokan MUR nampak hijau rimbun. Teringat beberapa minggu lalu, kami selalu duduk di bawah pohon itu berdua setiap akhir pekan. Hanya berbisik dan bercerita ringan.

"Wah nak, MUR belum pulang sejak pagi. Katanya kuliah sampai sore. Ngebut mau ujian" . Ibu kost yang sabar dan baik hati menyambutku ramah. "Ditunggu di dalam saja Nak". "Terima kasih Bu, saya tunggu di luar saja". Kecewa sekali rasanya. Bukan salah dia, bukan salah saya. Keadaanlah yang menyebabkan. Tak bisa kontak tilpun sebelumnya. Saya menunggu di kerindangan pohon itu. Di bangku kayu di mana kami berdua selalu duduk berdampingan di akhir pekan dalam bulan bulan terakhir.. Pikiran saya melayang membayangkannya. Jika dia datang akan kubelai tangannya. Jika dia tersenyum, akan saya sentuh pipinya. Duduk sendirian di bawah pohon jambu. Angin semilir ringan. Rasa katuk kadang datang menyelinap.

Sesaat nampak di kejauhan. Seorang gadis muncul dari persimpangan jalan. Berjalan pelan memakai payung warna merah merona. Matahari condong ke Barat. Angin bertiup pelan. Rambutnya berderai terterpa angin. Rok panjangnya ikut melambai berirama. Dengan langkah langkah ringan. Debu pasir ikut terbang menari bersama angin. Yogya memang berdebu di musim kering. Debu berpasir dari Gunung Merapi. Wajah ayu dibawah payung merah itu. Mungkin dia sudah melihat kalau saya menunggunya. Senyumnya lepas memukau. Saya berdiri memandangnya terpana dari balik pagar. Di bawah pohon jambu.

Kusambut tas kuliahnya, saya letakkan di bangku. Sejenak tak sempat berucap apa apa. "Hai". "Sudah lama KI ? Maaf ya saya kuliah sampai siang. Pulang sama Mica tadi". Tak mampu berkata, saya tertegun memandang wajahnya. Cantik mempesona. Pipinya memerah tertimpa panas. Indah bagai rembulan purnama. Beberapa saat saya hanya memandangnya. Tak sanggup membelai tangannya. Tak mampu menyentuh pipinya. Wajahnya begitu bersih penuh pesona. Bagai rembulan. Rembulan di siang hari. Dalam panas mata hari. Bulan pakai payung. Betapa bahagianya jika saya diberi kesempatan menemani dalam perjalanan perjalanan di panas siang hari. Dalam kesejukan kesejukan malam yang indah. Dalam taburan bulan purnama.

Ah lamunan sekilas tiga puluh lima tahun lalu selalu saja datang. Menyampaikan salam. Mengantarkan senyuman. Senyum yang abadi dalam kenangan. Bulan pakai payung.

Ki Ageng Similikithi



(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community 10 Sept 2008)

Saturday, January 22, 2011

Sekda

“Nama saya Dawud, ndoro”. Jawabnya begitu lugu dan pasrah. Pak Dawud tak tahu persis siapa yang berdiri gagah didepannya. Tinggi besar dan berpakaian safari dengan topi warna biru. Pak lurah yang begitu dihormati di desa, kok sampai mencium tangan. Percakapan singkat ini terjadi di pasar Ngampin di pertengahan tahun enampuluhan. Pak Dawud adalah petugas kebersihan yang setiap pagi selalu disiplin membersihkan sampah di pasar. Pekerjaan yang diwariskan oleh bapaknya sejak awal kemerdekaan.

“ Saya ini Sekda pak Dawud. Sampeyan yang kebagian tugas membersihkan pasar ini ya? ”. Pak Dawud semakin keder, tak tahu apa dan siapa itu Sekda. Dia juga tak paham apa itu Sekretaris Daerah. Pasti lebih tinggi dari Bupati. Pas pak Bupati datang dulu, pak Lurah tidak sampai mencium tangan, ini kok begitu serius mencium tangan Sekda. Rasa kedernya pelahan berubah menjadi takut, dia tadi lihat pak Sekda menyepak keranjang warung mak Mak’i yang berjualan pecel semanggi. Geram sebenarnya dia, tadi pagi keranjang itu sudah dikosongkan. Tetapi tak bisa marah begitu saja dia. Pagi2 tadi dia sudah dapat sarapan pecel semanggi sama lonthong yang terbungkus daun bambu itu. Gratis.

“ Kulo ndoro, ndherek duka “. Diambilnya keranjang sampah yang disepak pak Sekda tadi. Tak berani dia menatap wajah pak Sekda. Ditegur lurah saja rasanya sudah terkencing kencing, apalagi ini narendro gung binathoro kabupaten. Pak Sekda rupanya belum mau melepasnya. Menanyakan apa isi keranjang yang dijinjing di tangan kiri. Pak Dawud menjelaskan, dia juga membawa jambu kluthuk merah, hasil dari halaman rumahnya di Lonjong. Pak Sekda merogoh saku dan memberikan beberapa lembar uang ke tangannya. “Saya bawa saja untuk oleh oleh pak Dawud”.

Pak Dawud mengucapkan terima kasih lirih, tak berani dia menghitung uang tadi. Pak Sekda kemudian minta diantar ke sumur yang menjadi kamar mandi umum di sebelah barat pasar. Buang air. Sumur tempatnya mbah Amat Bakri. Tak banyak yang dibicarakan kecuali petuah agar pak Dawud kerja dengan baik. “ Sing temen le nyambut gawe. Sing resikan pak Dawud”. Sampai dirumah siang harinya, pak Dawud begitu terkejut. Lembaran uang yang diberikan oleh pak Sekda tadi banyak sekali. Sepuluh rupiah. Biasanya untuk jambu sekeranjang kecil itu hanya bisa membawa pulang uang seringgit. Itupun kalau laku. Kunjungan Sekda membawa berkah hari itu buat pak Dawud dan keluarganya. Dia membayangkan Sekda pasti priyayi ngaluhur gung binathoro.

Kontak saya dengan pak Dawud sangat terbatas. Orangnya sangat lugu dan pendiam. Dia punya anak satu waktu, Trisno namanya. Adik kelas beberapa tahun di bawah saya di Sekolah Rakyat Ngampin. Umur pak Dawud waktu itu sudah mendekati enampuluh, sudah mulai renta. Istrinya kelihatannya masih jauh lebih muda, mungkin sekitar tiga puluhan. Cerita tentang pak Dawud lebih lanjut saya peroleh ketika dia sering bertandang dan ngobrol dengan tetangga sebelah kebun kami, mbah Sem. Mbah Sem berdua juga sudah renta. Mereka berdua dan pak Dawud adalah jemaah gereja yang taat. Anak anak Mbah Sem, semua bekerja di sektor formal, guru, pemerintah daerah, perawat dan sebagainya. Mbah Sem adalah tokoh panutan dalam membesarkan anak, bagi pak Dawud.

Suatu sore saat saya main di tempat mBah Sem, saya mendengar percakapan mereka. Pak Dawud memberi tahu jika istrinya hamil lagi. Mbah Sem komentarnya ‘Wah isih ampuh sampeyan”. Pak Dawud kemudian cerita panjang lebar jika anaknya kelak tidak akan kerja di pasar lagi. Dia ingin anak anaknya menjadi orang, nayoko projo. Jangan hanya jadi tukang sampah pasar. Ingatannya selalu melayang ke idolanya, bapak Sekda. Malam Jum’at sebelumnya, mbah Dawud tirakat di jaratan, kuburan tua Kyai Pojok di Ngampin. Dia mendapat wangsit jika anaknya kelak pasti laki laki dan akan diberi nama Sekda Dawud.

Dalam benaknya jika anaknya kelak diberi nama Sekda pasti akan diberi kekuatan mukjijat luar biasa. Jika bayi bayi umumnya hanya mampu menggerakkan kaki bergolek ke kiri dan ke kanan di tempat tidur, bayi Sekda pasti sudah mampu menyepak keranjang. Jika bayi bayi umumnya akan ngompol di tempat tidur, bayi Sekda pasti curah air kencingnya bisa menyemprot berpuluh meter. Bisa mengganggu tetangga jika tidak hati hati. Jika bayi umumnya malam malam menangis, bayi Sekda pasti bisa terbahak bahak. Bahkan jika bayi umumnya makan bubur halus, bayi Sekda, pasti sudah lahap memakan jambu kluthuk merah, seperti yang dibeli pak Sekda. Bayangannya tentang Sekda begitu membubung. Kebahagiaan luar biasa.

Saya mendengar nasehat mbah Sem. Terima saja apa adanya. Nggak usah dengar wangsit macam macam. Tetapi idola seorang Sekda tak pernah lepas dari impian pak Dawud. Narendro gung binathoro, manggalaning projo. Dia benar benar ingin anak anaknya keluar dari lingkaran kemiskinan. Impian alamiah banyak orang. Namun di jaman itu impian impian itu sering dihujat sebagai perjuangan kelas yang diharamkan di jaman Orde baru.

Tahun berganti tahun. Masa berganti masa. Saya tidak mengikuti perkembangan yang terjadi. Lima puluh tahun telah berlalu. Anak bungsu pak Dawud tidak diberi nama Sekda, tetapi Yunus. Hari ini ketika saya ingat kisah itu, saya mencari tahu di mana Yunus dan kakaknya Trisno. Saya tertegun ketika diberi tahu adik saya di Ambarawa, jika Yunus sudah meninggal bertahun lalu. Dia meninggal dalam usia muda di umur sekitar tiga puluhan. Yang lebih masygul, dia bekerja sebagai buruh mengangkat barang, mengangkat hasil bumi. Impian pak Dawud tak pernah tercapai sampai akhir hayat dan sampai anak yang diharapkan meninggal. Kami tidak tahu Trisno bekerja di mana. Moga moga bisa memenuhi keinginan bapaknya.

Dalam hiruk pikuk dunia politik masa kini, saya tertegun membaca berita korupsi yang banyak melibatkan aparat dan pimpinan pemerintahan. Di mata orang kecil seperti pak Dawud, para pejabat pemerintahan layaknya seperti dewa idola tanpa cacat. Percaya sepenuhnya tanpa reserve. Kisah tragis ini hanyalah catatan kecil agar beliau beliau tidak menyunat bantuan untuk orang miskin. Subsidi beras untuk orang miskin (raskin) kok ya ada yang tega menilep. Ingatlah orang orang seperti pak Dawud yang begitu membayangkan tugas mulia sang Sekda.

Salam sejahtera

Ki Ageng Similikithi

Demo wudo

Musim kering tahun enam puluh enam. Malam Jum’at yang cerah. Langit bertabur bintang. Kami bertiga, bersama Diono dan Raden Mas Martalin menghadap seorang tokoh spiritual di kampung Kemlayan, Solo. Kami masih duduk di kelas satu SMA. Santo Josef. Solo dalam kondisi tak aman waktu itu. Bentrok antar warga selalu terjadi di jalan jalan, dengan korban tidak sedikit. Kami tak ikut kelompok mana, tetapi pernah beberapa kali terjebak di antara dua kelompok yang bertikai. Di pasar Widuran, di muka kebon binatang Sriwedari, dan terakhir di alun alun Utara. Hanya sepele, karena kami tak dapat menjawab yel yel mereka, hampir saja dipukuli ramai ramai.

Banyak pemuda yang kemudian ambil jalan pintas. Mencari ilmu kebal. Gemblengan. Kami berempat, dengan Ho, minggu sebelumnya telah menghadap Eyang ini. Singkat kata mohon kekuatan luar dalam, menghadapi segala rintangan di jalan. Syaratnya gampang. Diberi mantera yang ditulis dalam secarik kertas, lalu puasa mutih selama tiga hari tiga malam. Artinya hanya makan nasi putih, sepiring kecil sehari sekali, tanpa lauk, tanpa garam. Juga hanya boleh minum air putih. Hari pertama mutih, Ho langsung keok. Pas pelajaran olah raga dia berhenti. Kami antar pulang ke rumah. Mami dan kakak kakaknya marah marah. Jangan ikut ikutan Ki pakai gemblengan. Padahal yang punya ide awal ya si Ho sama Martalin.

Malam itu kami mendengarkan petuah dari Eyang. Samar samar masih ingat petuahnya. Anakmas ini para satria muda, harus berpegang pada tuntunan jiwa yang teguh. Jangan seperti pemuda jalanan suka kelahi beramai ramai. Nggak begitu konsentrasi saya waktu itu. Hanya mendengarkan dengan sabar semua petuah saktinya. Umur Eyang mungkin pertengahan tujuh puluhan, masih jelas kata katanya. Hanya agak renta, kalau ke belakang harus di tuntun salah seorang pembantu yang berfungsi sebagai punakawan. Ada beberapa anak muda yang hadir bersama waktu itu. Kami bertiga mungkin yang paling muda. Saya mulai gelisah, takut pulang kemalaman. Janjinya sesudah selesai mutih tiga hari kami akan segera di beri wasiat kekebalan tubuh. Ini kok malah cerita tentang satria muda, satria piningit, wahyu ketiban ndaru segala. Satria dari mana ? Saya saja masih kesulitan menyesuaikan tinggal di kota sejak pindah dari desa di Ambarawa. Saya hanya terdiam mendengar petuah petuah beliau. Manut saja, satria sokur, enggak ya nggak apa apa, sing penting slamet.

Lewat jam sembilan belum juga selesai. Malah petuahnya agak melebar. Tengah malam nanti kami diajak tirakatan kungkum di Bengawan Solo. Tapa wuda. Jangan takut anakmas. Pasti sampeyan akan mendapat mukjizat. Minggu kemarin, saya tirakat wudo dan kungkum di bengawan ditemui seorang bidadari sangat cantik. Kami bergembira ria dalam taman yang indah sekali. Makanan begitu berlimpah ruah di sana. Saya lihat Martalin, begitu terpukau dan antusias. Wah sendika saya ikut Eyang nanti. Sementara Diono, kelihatan bimbang, menengok ke saya. Dengan lirih sekali, saya mohon maaf, saya harus pulang sebelum jam malam. Waktu itu jam malam mulai jam sepuluh. Jangan ragu anakmas, tak ada yang bisa melihat sampeyan. Saya mulai bergeming, syaratnya minggu lalu hanya mutih 3 hari, kok sekarang ditambah tirakatan kungkum wudo di bengawan.

Saya sangat ragu ceritanya tentang pertemuan dengan bidadari. Bidadari mana pilih lelaki yang nuwun sewu sudah renta, buang air kecil pun harus dibantu sang punakawan ? Jamane jaman edan, bidadari pun pasti akan pilih yang masih jos membara, sokur kalau punya kekuasaan, paling tidak Sekda, Bupati atau anggota DPR. Bidadari tak akan tertarik sama lurah atau carik. Mereka belum tingkatnya mendapat wahyu kahyangan. Bidadari kan dulunya juga dari manusia biasa.

Melihat keraguan saya, Eyang akhirnya mengijinkan saya undur diri duluan. Saya dan Diono diberi minum air putih yang telah diberi mantera. Tidak lupa diberi jimat yang harus selalu saya pakai. Martalin tinggal dan akan mengikuti tapa wudo di bengawan. Katanya singkat, sampeyan berdua belum dapat wahyu.

Lebih empat puluh tahun berlalu. Saya bertemu dengan teman teman kelas satu SMA, lebih setahun lalu. Raden Mas Martalin, masih aktif di dunia spiritual. Menjadi guru spiritual yang andal. Dia menawarkan kalau saya mau ikut tapa wudo kungkum di bengawan, dalam rangka hari lahir Gadjah Mada. Saya menolak sopan. Wah sampeyan sampai sekarang masih jauh wahyunya Ki. Saya ini di dunia spiritual sudah jadi guru besar. Kata katanya ditujukan pada teman yang juga sama sama sekelas di SMA dulu, yang sekarang jadi guru besar di universitas di Solo.

Dalam sejarah tapa wudo hanya dilakukan dalam kesedihan dan keputusasaan. Seperti kisah Ratu Kalinyamat yang saya ceritakan. Beliau bertapa telanjang meratapi kematian sang suami Pangeran Hadiri (nama mudanya Toyib, atau Win Tang) yang berasal dari Aceh dan berkelana ke daratan Cina, sebelum datang ke Demak. Pangeran Hadiri wafat dikeroyok anak buah Aryo Penangsang, bupati Jipang. Ratu Kalinyamat lantas tapa wudo di bukit Donorojo, di depan pulau Mondoliko, Jepara. Kisah ini terjadi kira kira di tahun 1549. Saya pernah menginap di desa Donorojo, ke pertapaan Ratu Kalinyamat, dan ke pulau Mondoliko saat kelas 5 sekolah rakyat dulu. Tak ada dalam legenda ulang tahun kok harus tapa wudo di bengawan. Ulang tahun itu peristiwa orang bersenang senang. Mau dapat apa kungkum telanjang di bengawan ?

Dalam kehidupan modern kita sering melihat masalah pertelanjangan sebagai masalah pornografi, tetapi juga kadang kala sebagai alat protes sosial, jika semua pilihan sudah mentok. Siapa tahu dengan telanjang para penguasa berwenang bisa tergugah hatinya lalu mengambil langkah langkah perbaikan. Beberapa kali kita lihat di TV orang berdemo telanjang.

Ini juga yang membuat saya dan teman lama, bung Nunung, mantar kiper PSIM tahun tujuh puluhan, puny aide jika pension nanti mungkin bisa mengorganisir demo telanjang para pria pensiunan. Kami bertemu dan main golf bersama bulan Desember kemarin. Sebagai ungkapan frustasi kok begitu gampang hukum dan aparat hukum, diperjual belikan. Tak ada kebanggaan profesi, tak ada kebanggaan sebagai narendro manggalaning projo, tak ada kebanggaan sebagai priyayi, bisa dibeli murah dengan uang. Jika perlu akan kami ajak para bidadari yang bahenol, biar meliuk liuk tanpa busana, di gedung DPR sana. Pasti para wakil rakyat itu, para aparat, dan para pemegang wewenang hukum itu, tergerak hatinya (mungkin juga burungnya) melihat demo wudo para bida dari kayangan.

Seperti yang pernah Eyang Kemlayan petuahkan, walau para pensiunan itu nampaknya hanya gondhal gandhul tanpa daya, tetapi jangan lupa mereka bisa mengajak para bidadari telanjang di Monas ataupun di Senayan. Jika perlu dikasih jamu susu madu telor jahe dulu (STMJ) atau pil Viagra, biar bisa berjalan tegak segagah tugu Monas. Saya yakin itu.

Ndul gondal gandhul, tunggu saja tanggal mainnya. Beberapa bidadari dan selebriti sudah menyatakan minatnya.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi
.

Tapa wudo

Sabtu siang menjelang jam dua. Habis mandi saya mengenakan kimono yang jarang sekali saya pakai. Kimono sutera dibeli di Hanoi beberapa tahun lalu. Tak ada alasan khusus memakainya. Badan nggak enak sejak beberapa hari ini, terasa gerah sekali. Rasanya pengin menanggalkan pakaian, tetapi tak bebas karena ada pembantu hari itu. TV Al Jazeera sedang menyiarkan perdagangan ginjal di Filipina, yang sedang hangat menjadi bahan perdebatan. Tetapi bukan itu yang menarik perhatian saya. Semalam ada tayangan yang memperlihatkan demo di salah satu negara Eropa Selatan yang sedang dilanda krisis keuangan. Lupa dimana. Kapoklah, negara negara ini yang selalu gembar gembor memojokkan Indonesia. Yang menarik, beberapa peserta demo laki dan wanita menanggalkan seluruh pakaiannya. Demo telanjang.

Beberapa hari lalu tersiar berita di Kompas, dua orang wanita di salah satu kota di Jawa Timur, saat eksekusi rumah tinggalnya, melakukan protes dengan menanggalkan pakaian, alias telanjang. Kasihan padahal mereka berdua sudah mempunyai cucu. Petugas polisi pamong praja tak bergeming. Eksekusi jalan terus. Tak peduli ada orang protes telanjang. Ini tugas. Masalah prinsip, rawe rawe rantas malang malang putung. Pikirnya mungkin, toh mereka nenek nenek. Tak pernah bergeming naluri lihat nenek nenek telanjang. Emangnya gua pikirin. Lain kalau yang telanjang itu wanita muda, sokur kalau bahenol, pasti lain jadinya. Orang bisa kehilangan kendali sampai berani melanggar norma kemudian bertelanjang di muka umum pasti karena rasa keputusasaan yang begitu dalam. Frustasi mau apa lagi. Semua pilihan telah ditempuh.

Dalam sejarah Jawa, dikenal luas kalau putri Retna Kencaca, putri Sultan Tranggana di Demak pernah bertapa telanjang di bukit Donorojo di tahun tahun 1549. Saya pernah melihat pertapaannya di tahun 1962, di lereng yang sangat lebat dan tak terawatt waktu itu. Beliau lebih dikenal luas dengan nama Ratu Kalinyamat. Kakaknya, Sunan Prawoto dibunuh oleh Aryo Penangsang, bupati Jipang atas restu Sunan Kudus. Konon keris yang dipakai juga milik sunan Kudus. Bersama sang suami, Pangeran Hadiri, beliau menemui dan protes ke Sunan Kudus. Tetapi sama sekali tak dihiraukan. Bahkan dalam perjalanan pulang ke Jepara, sang suami tercinta, Pangeran Hadiri gugur dalam penghadangan oleh anak buah Aryo Penangsang.

Ratu Kalinyamat bertapa telanjang dan bersumpah tidak akan mengenakan pakaian sebelum menginjakkan kaki di kepala Aryo Penangsang. Aryo Penangsang kemudian terbunuh oleh rekadaya Sultan Pajang Hadiwidojo ( nama mudanya Joko Tingkir). Dalam cerita saya dulu, konon menurut Dulmuji tetangga tukang cukur saya di Ngampin Ambarawa di tahun lima puluhan dulu, Joko Tingkir itu dulunya pemuda dari Wonogiri, yang menjadi tukang cukur di Demak, kemudian menjadi abdi dalem di keraton. Saking setianya kemudian diambil menantu oleh Sultan Trenggana. Bayangkan di abad ke enam belas seorang buruh migran, bisa jadi menantu raja Demak dan menjadi raja di Pajang. Moga moga ada TKI yang menjadi menantu Sultan di Malaysia, sokur bisa menggantikan jadi Sultan, siapa tahu.

Kembali ke cerita semula tentang putri Retna Kencana atau Ratu Kalinyamat. Aryo Penangsang kemudian tewas di tangan Sutawidjaja, putra Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Martani dan Sutawidjaja memang diminta oleh Sultan Hadiwijoyo untuk membunuh Aryo Penangsang. Sutawijaya ini yang kemudian menurunkan dinasti raja raja Mataram.

Dengan bertapa telanjang, apakah menunjukkan Ratu Kalinyamat seorang putri yang lemah ? Sama sekali tidak. Beliau menjadi penguasa di Jepara, dan dua kali mengirimkan bala tentara menyerang Portugis di Malaka di tahun 1550 dan 1565, walau tidak berhasil. Beliau dikenal dalam sejarah Portugis sebagai Ratu Jepara, wanita yang kaya, berkuasa dan pemberani. Silahkan baca kisah lebih lengkap di Wikipedia. Hanya karena rasa frustasi berlebihan yang membuat beliau sampai bertapa telanjang. Sunan Kudus yang dianggap tokoh panutan spiritual ternyata telah berbuat tidak adil dan berat sebelah memihak ke Aryo Penangsang. Kehilangan kepercayaan dan rasa hormat akan tokoh panutan dan aparat juga sering melanda mayarakat modern saat ini. Tak sulit menunjukkan contohnya, termasuk nenek nenek yang protes telanjang tadi.

Ingatan saya melayang ke percakapan dengan teman lama saya bung Nunung, kami sumpah dokter sama sama di tahun 75. Kami main golf bersama Desember kemarin. Dia baru saja kehilangan isteri yang sangat dicintainya beberapa hari sebelumnya. Kami terlibat percakapan ringan di padang golf Adisucipto. Tak tentu arahnya. Dia sama sama akan pension setahun lagi. Enaknya ngapa kalau pension ya? Gimana kalau bentuk kelompok nyanyi pensiunan ‘The Pensioners”? Ide yang bagus, cari teman pensiunan dokter yang suka nyanyi nggak sulit. Cari yang agak boyish, jangan yang moralis.

Sambil lalu kami bicara tentang sepak bola dan PSSI, kebetulan dia mantan kiper andalan PSIM di tahun tujuh puluhan. Lihat kemelut sepakbola Indonesia atau PSSI, kok nggak ada yang berani tampil protes telanjang di lapangan ya? Dari pada lempar lempar batu di jalan, aman protes telanjang saat ada pertandingan akbar. Tapi siapa yang mau gondhal gandhul telanjang di lapangan mengorbankan kehormatan pribadi ? Paling disemprit dan diberi kartu merah.

Melihat berbagai penyimpangan hukum dan kewenangan aparat di depan mata, seperti kasus penyimpangan pajak oleh Gayus, penyimpangan kewenangan aparat hukum, aparat eksekutif dan legislatif, membuat banyak orang frustasi. Apa yang bisa dilakukan untuk perbaikan negeri ini? Siapakah yang berwenang memperbaiki? Kami berkelakar, gimana kalau ramai ramai para tetua pensiunan ini protes telanjang saja. Protes damai, tak pakai batu atau parang, hanya telanjang saja duduk duduk di muka gedung DPR sana. Mungkin mereka yang berwenang bisa sedikit tergugah nuraninya. Ide yang bagus, perlu dipertimbangkan.

Habis mandi dan hanya memakai kimono ini, saya membayangkan jika harus demo telanjang di Senayan. Pasti dingin (isis) rasanya. Tak mungkin bisa menarik perhatian para penguasa dan aparat. Paling banter pada menggerutu, gondhal gandhul orang tua nggak tahu malu. Mungkin lain kalau yang protes telanjang itu, penyanyi (ndhang ndhut) yang molek, pasti semua anggota Dewan, anggota Komisi, pimpinan Mahkamah dan aparat berwenang semua, otomatis akan tergerak hatinya. Mungkin bukan cuma hatinya yang bergerak gerak. Kalau yang protes telanjang itu para pria pensiunan paling banter mereka berdendang. Walau seribu burung, gondhal gandhul menghimbauku, hatiku tetap sedingin salju. Mbah nggak usah repot, gondhal gandhul, momong cucumu saja. Urusan negara itu urusan kami, para wakil rakyat, aparat dan penguasa. Nggak usah macam macam.

Salam damai, Ki Ageng Similikithi