Saturday, July 14, 2007

Melesatlah sang burung prenjak

Sewaktu kecil saya selalu mengagumi burung burung yang bebas di sekitar kebun kami di desa Ngampin Ambarawa. Burung kacer yang suka datang ke kandang lembu di siang hari. Burung podang yang senang hinggap di pohon mangga. Burung kutilang yang sampai pomah (jinak) dan suka mencari kutu di badan anjing tua, Pleki. Burung srigunting yang kicaunya selalu membangunkan kami saat dini hari untuk mulai memerah susu.

Masih banyak lagi. Burung pelatuk yang suara patukannya seperti kenthongan berirama merdu. Nyanyian emprit peking yang selalu berirama sedih, seolah meratap mencari bapak dan ibunya. Konon menurut tetangga saya, Mbah Sem, emprit peking mungkin berasal dari sekitar Champa atau daratan Tiongkok selatan.

Satu yang saya sangat terkesan adalah burung prenjak. Burung ini begitu ramah. Jika ada tamu datang, pasangan prenjak itu menyanyi bersautan dari pohon nangka di halaman, seolah yang datang itu tamu mereka. Burung prenjak sangat ceria, selalu bernyanyi di pagi hari sewaktu mata hari mulai meninggi. Burung prenjak yang ramah dan perkasa menghadapi musim kering yang sulit sekalipun.

Di tahun delapan puluhan suara burung burung itu mulai menghilang. Nyanyian nyanyian ceria itu hilang bersama dengan menyurutnya habitat pepohonan dan merebaknya pemakaian pestisida. Saya kadang memimpikan nyanyian nyanyian burung itu dalam lamunan. Nyanyian burung, nyanyian alam, nyanyian kedamaian di alam bebas. Nyanyian indah yang hilang bersama menurunnya lingkungan alam sekitar.

Di bulan Maret tahun ini saya menerima beberapa pesan yang sangat menyentuh sesudah tulisan saya Rumah Di Atas Bukit tampil di Koki (7 Maret 2007). Salah satu pesan datang dari Tari. Gadis asal Yogya dan berugas di Cirebon. Dia menceritakan kisah sedih kehilangan ayah yang sangat dicintainya karena kecelakaan lalu lintas di Majenang pada bulan November 1994. Selang tiga tahun sebelum meninggalnya anak saya Moko, yang juga karena kecelakaan lalu lintas.

Ayahanda Tari mengajar di SMP 1, dalam perjalanan menuju Jakarta bersama rombongan guru guru yang akan menghadiri suatu acara di Jakarta, ketika kecelakaan itu terjadi. Nyi Ageng kenal ayahanda Tari oleh karena dulu pernah ikut menjadi pengurus BP3 di SMP1. Anak saya almarhum Moko, menempuh pendidikan menengah pertamanya juga di SMP 1.

Tari dan kami sering komunikasi lewat email, sama sama mengenang orang yang sangat kita cintai yang telah meninggalkan kita selamanya. Beberapa tulisan Tari pernah saya baca di Koki, diantaranya yang menggugat kurangnya komunikasi dokter dan pasien.

Minggu kemarin, sewaktu liburan di Yogya, Tari juga kebetulan berada di Yogya. Kami janjian ketemu hari Sabtu siang, setelah dia nyekar makam ayahandanya. “Ki, saya nanti pakai blus putih, celana jin dan rambut dikucir”. Janjian ketemu di muka asrama Syantikara, di sebelah Wisma MM di sebelah timur kampus UGM. Saya datang bersama Nyi Ageng . Sewaktu ada seorang pemuda kekar, dengan celana jin dan rambut dikucir, Nyi Ageng tanya, apa ini orangnya ? Dikiranya mungkin akan bertemu Kokier pria. Mungkin ketularan Bu Dewi dri Kuching yang nyangka Lembayung itu pria. Pesan saya bagi yang menggunakan nama samaran di Koki, mungkin ada baiknya menyebutkan jenis gendernya.

Tak lebih lima menit kemudian seorang gadis lembut semampai datang mendekat. Tersenyum lepas memberi salam. “ Kid an Nyi, saya Tari”. Setelah bersalaman hangat komentar saya pertama “Anda tidak seperti yang anda gambarkan dalam pesan pesan anda”. Dia pernah kirim pesan “Jangan kaget kalau ketemu dengan gadis ginuk ginuk”. Kami bertiga terlibat dalam pembicaraan yang akrab sambil cari tempat makan siang. Sudah jam 1300 lewat. Bertiga kami naik mobil menelusuri ringroad utara.

Sebenarnya anak anak dan cucu cucu saya pengin gabung. Tapi mereka sudah berada di salah satu rumah makan di Seyegan, dari Yogya ke arah barat. Terlalu bising untuk orang seumur saya. Akhirnya kami makan siang bertiga di rumah makan Pecel Wong Solo, di jalan AM Sangaji, sebelah selatan hotel Hyatt. Kami mengobrol akrab. Suaranya lantang dan selalu disertai derai ketawa renyah. Dia banyak cerita tentang pekerjaan, tentang keluarga, tentang alam.

Ingatan saya melayang ke puluhan tahun silam, tentang burung prenjak yang selalu bernyanyi riang dan ramah. Sewaktu dia cerita tentang peristiwa tragis yang menimpa ayahnya, dan perjuangan ibu dan saudara saudaranya sesudah kepergian ayah yang dicintainya, saya hampir tak kuasa mendengarnya. Saya lebih banyak diam mendengar Tari cerita sama Nyi Ageng. Tetapi saya mengagumi kegigihan dan keuletannya.

Dia seorang ahli hukum dan bekerja untuk salah satu BUMN milik negara saat ini. Di balik wajahnya yang ceria dan lembut, pekerjaannya menuntut sikap tegas dan kemampuan negosiasi tinggi. Saya bisa membayangkan tekanan pekerjaan yang sering dia hadapi, sebagai pakar hukum yang mewakili perusahaan publik dalam berhubungan dengan aparat pemerintah daerah dan masyarakat umum di lapangan yang kadang kadang reaksinya berlebihan. Tetapi dia selalu berusaha tenang menghadapi tantangan tersebut dan menyelesaikannya satu persatu.

Kami makan siang dan ngobrol sampai jam tiga siang. Kami antar Tari pulang ke rumahnya. Dia melambaikan tangan dengan ketawa renyahnya. Bagaikan burung prenjak kebanggaan saya, ceria, ramah, hangat tetapi perkasa. Aaah sang burung prenjak itu memang sedang melesat meniti karier yang panjang ke masa depan. Salam dan doa untuk Tari, sang burung prenjak dari Yogya, dari Ki dan Nyi Ageng. Semoga anda menggapai kebahagiaan dan cita cita anda.
Salam


(Dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 4 Juli 2007)

Thursday, July 12, 2007

Keberingasan di jalan umum

Beberapa minggu terakhir agak tegang karena tekanan pekerjaan. Pulang ke Yogya satu minggu nggak hilang juga. Masalah datang silih berganti, kadang berupa krisis akut yang harus diatasi segera. Ada perubahan sistem manajemen internal. Minggu kemarin terima email, dana yang seharusnya dialokasikan untuk program kami, hilang sampai sepertiganya. Untung teratasi, jika enggak banyak kegiatan harus dipangkas, termasuk dua orang staf andalan.

Paling enak menunggu akhir pekan, bisa lupa sementara. Pelarian yang paling dekat adalah baca berita mengenai tanah air lewat internet, Kompas atau Koki. Ada berita tentang sepak bola Asia dan tentang kampanye pemilihan gubernur DKI. Topiknya sangat berbeda, tetapi dampaknya terhadap ketenangan di jalan umum hampir sama.

Dua tahun lalu, saya mampir di Jakarta dengan dua orang staf putri dan Nyi Ageng. Dalam perjalanan dinas ke Yogya oleh karena ada pertemuan resmi di sana. Di bandara Cengkareng ada waktu 5 jam menunggu pesawat ke Yogya. Saya ajak kedua orang staf tadi keliling Jakarta dan mampir ke tempat anak saya. Kami menuju mall Pondok Indah ketika taksi yang kami tumpangi berbarengan dengan para pendukung salah satu kesebelasan sepak bola yang akan tanding sore itu.

Para pendukung yang attribute warna warni itu nampak begitu sangar dan beringas. Sebagian besar anak anak muda. Tidak lupa membawa penthungan, ada yang bawa batu dan golok segala, seperti berangkat tawuran. Jalanan macet dan suara gaduh bukan kepalang. Perilaku mereka nggak terkendali sama sekali. Mereka mulai memukul mukul mobil yang kami tumpangi, melihat lewat kaca jendela secara sangat demonstratif dan tak berbudaya.

Kebetulan memang salah satu staf putri yang bersama kami, berpenampilan menarik. Jas luarnya dia lepas ok sumuk. Dia berasal dri Asia Tengah. Satunya dari Manila. Anak anak muda itu begitu agresif, teriak teriak dan menggedor gedor jendela kaca mobil. Malu sekali rasanya. Kejadian ini belum pernah mereka alami sebelumnya dalam kunjungan ke negara negara lain. Ada polisi juga nggak bisa berbuat banyak. Di banyak tempat pendukung sepakbola selalu beringas dan kasar. Tetapi apa sih untungnya beringas jika kesebelasan nasional kita di tingkat ASEAN pun selalu kandas ? Masalah bonek bonek pendukung kesebelasan sepak bola perlu dikaji lebih mendalam dan diupayakan tindakan pengatasannya. Banyak perlu intervensi perilaku dan penerapan disiplin keras.

Perilaku beringas di jalan umum juga selalu kita dijumpai sewaktu kampanye pemilihan, entah pemilihan gubernur, DPR atau presiden. Kampanye pemilihan lurah biasanya lebih dingin dan tidak menggebu gebu. Pemilihan ketua RT biasanya senyap ok sebagian peserta dan calon sudah ngantuk, pemilihannya hampir selalu di malam hari. Tetapi mungkin jika jabatan ketua RT ini tunjangan dan fasilitasnya seperti anggota DPR, bisa bisa pemilihannya juga sangat riuh. Mungkin bisa berjalan semalam suntuk sampai pagi.



Pawai kampanye pemilu selalu riuh, panas dan sering beringas. Seluruh badan jalan di penuhi oleh peserta kampanye, sampai sampai pengguna jalan harus mengalah berhenti di pinggir jalan. Masih untung kalau tak ada insiden. Biasanya selalu saja ada yang memukul mukul mobil dengan tangan atau pentungan. Saya pernah mengalami berpapasan dengan segala macam kampanye dari partai apapun. Selalu mengganggu, seolah memang keharusan mengganggu dan membuat onar. Bahkan sering minta secara paksa.

Mereka tak menyadari bahwa yang dipakai adalah jalan umum. Bahwa perilaku beringas itu nggak menimbulkan sikap simpati untuk memilih partainya. Tetapi yang ada adalah keberingasan karena mereka merasa yang paling berkuasa saat itu. Secara kolektif menguasai jalan dan fasilitas umum. Mereka juga nggak pernah berpikir, jika partainya memang, apa mereka yang ikut teriak teriak di jalan itu akan menjadi pejabat, atau hidupnya akan lebih enak. Boro boro jadi pejabat. Kadang2 mereka malah jadi korban sia sia dalam kampanye. Entah karena kecelakaan entah karena bentrok fisik.

Seolah mereka berpikir, bukan hasil menang atau kalah yang penting, tetapi pokoknya berkuasa sementara di jalan umum dan pamer kekuasaan. Ini manifestasi sifat diktator, collective dictatorship, walau hanya sesaat. Peristiwa kampanye adalah sekedar kesempatan melampiaskan napsu untuk unjuk kekuatan dan kekuasaan. " Pokoknya beringas, pokoknya keras. Ini masalah prinsip".

Banyak partai dan organisasi masa yang secara tidak sadar mengedepankan keberingasan ini lewat gaya militerisma atau milisia. Hampir semua partai dan organisasi masa selalu punya anak organisasi kawula muda, yang gampang di pompa dengan pesan pesan indoktrinasi militan yang kadang jauh dari idealisme organisasi. Nama kelompok kelompok ini sih bisa keren keren. Kadang dengan nama nama retorika yang mencerminkan filsafat luhur bangsa atau organisasi, tetapi perilaku sih tetap berputar sekitar keberingasan, kekerasan, kekuasaan. Termasuk organisasi organisasi yang menggunakan simbol simbol agama. Seolah kalau sudah beringas itu akan masuk surga ketujuh.

Para pemimpin partai dan tokoh tokoh politik dan agama, mestinya bisa menghembuskan napas dan suara sejuk. Jangan malah menggunakannya untuk menggapai kekuasaan. Yang dihadapi bukan musuh bangsa. Hanya lawan atau pesaing dalam pemilihan, atau kalau dalam sepak bola, ya hanya lawan main saja. Kalau nggak ada lawan main toh nggak akan ada permainan sepak bola yang perlu ditonton.

Bahkan tak jarang para tokoh yang bertanding dalam pemilu itu begitu gemar saling bersuara keras menjelekkan, saling menghujat, seolah diri sendiri sudah begitu bersih dan bagus. Tetapi ya namanya saja kampanye, nggak mungkin kan mengatakan kalau dirinya jelek. Tetapi paling tidak jangan menghujat dan mengobarkan kebencian dan keberingasan lah. Buat orang yang netral sih sama saja. Orang Jawa bilang, "Padha wae rase karo kuwuk, sok nyolong pitik". Sama saja rase sama kuwuk, suka mencuri ayam.

Biar kaya apa beringasnya dan berkuasanya para pendukung sepakbola itu di jalan umum, saya masih ragu ragu kalau sepak bola kita bisa bicara di tingkat Asia, seperti masa jaya sepak bola Indonesia di tahun lima puluhan. Walau pendukung sepak bola waktu itu tak seberingas sekarang. Seberingas apa pun para peserta kampanye itu, adalah hil yang mustahal, bisa menemukan pemimpin yang mampu membawa bangsa ini dari krisis berkepanjangan. Yang diperlukan adalah kearifan,, kesejukan dan kesungguhan, bukan sekedar bicara besar dan lantang selama kampanye.

Salam sejuk
Ki Ageng

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber media 11 Juli 2007)

Kapan kereta itu akan kembali ?

Kira kira selang lima puluh tahun sampai empat puluh tahun silam, kami selalu menunggu jeritan kereta tua itu. Kereta itu dengan setia selalu lewat desa kami tepat kira kira jam empat lewat empat puluh menit sore hari. Dari stasiun Jambu menuju stasiun Ambarawa, lewat bagian selatan desa. Ungakapannya hampir selalu sama bagi mereka yang bekerja di sawah atau di ladang. “Sepure wis ngetan” (Kereta sudah lewat ke timur). Pertanda sudah saatnya pulang dari sawah atau dri tegalan.

Kereta itu akan lewat desa kami paling tidak dua kali di pagi hari dan dua kali di sore hari. Sore hari, menuju ke arah Barat, dari stasiun Ambarawa ke stasiun Jambu, yang berjarak kurang lebih lima atau enam kilometer, kira kira pukul setengah tiga siang. Saya nggak hapal benar jadual pagi hari ok pagi hari harus sekolah. Di hari hari besar seperti akhir tahun dan Lebaran, jadualnya lebih sering

Bagi yang pulang dari sawah kadang ada kegembiraan sendiri menunggu kereta itu lewat. Tangan mereka akan melambai ke para penumpang, yang sebagian mungkin sudah mereka kenal. Ya kereta itu memang menghubungkan antara Ambarawa dengan desa desa di sekitarnya. Jeritan kereta itu begitu akrab terdengar di telinga kami. Saya juga nggak tahu mengapa masinis itu selalu membunyikan sinyal setiap melewati desa kami. Seolah selalu menyapa akrab penduduk.

Jalur kereta ini dibangun di akhir abad sembilan belas dan di awal abad ke dua puluh oleh pemerintah Hindia Belanda. Jalur selatan menghubungkan Ambarawa, Jambu, Bedono, Secang sampai Magelang. Seterusnya dari Magelang nyambung sampai Yogyakarta, lewat Muntilan. Dari Secang juga ada jalur yang menghubungkan dengan Keparakan. Jalur Utara menghubungkan Ambarawa, Tuntang, Telogo, Nggogodalem, sampai stasiun Kedung Jati. Dari Kedung Jati, bercabang ke utara ke arah Semarang dan ke Selatan ke Solo lewat Gundih (http://www.internationalsteam.co.uk/ambarawa/museum.htm) .

Kereta api tua dengan jeritan melengking itu begitu akrab dengan kehidupan sehari hari. Kami selalu memanfaatkannya untuk jika perlu berkunjung ke tempat tempat ditepi jalur kereta itu. Saya masih ingat berulang kali bersama saudara, naik dari stasiun Jambu jika ada keperluan ke Bedono, sambil membawa sepeda. Sepeda ikut naik kereta dari Jambu. Alasannya dari Ambarawa ke Bedono, jalan terus menanjak, terlalu berat naik sepeda. Setelah urusan selesai dari Bedono sepeda dengan mudah melaju turun lewat jalan aspal.

Karena tanjakan ini pula, maka antara stasiun Jambu dan Bedono sengaja dipasang rel bergigi. Hanya ada dua di Indonesia, di jalur Jambu Bedono dan di Sumatra Barat. Jika kami sedang di ladang perbukitan belakang rumah, dengan jelas bisa melihat kereta itu naik tanjakan Jambu Bedono, melengking dengan napas berdesah tersengal sengal, seperti manusia usia lanjut. Ya memang kereta itu sudah tua karena dibuat di awal abad ke sembilan belas .

Di tahun enampuluh, kami melihat ada beberapa lokomotif baru, dengan kapasitas lebih besar. Suaranya nggak lagi melengking nyaring, tetapi besar dan berwibawa. Penduduk desa menamakan loko yang baru datang itu dengan sepur hong, oleh karena jeritannya hooooong.

Saya nggak tahu persis apa loko loko ini betul betul baru. Tetapi menurut catatan di museum kereta api Ambarawa, sebenarnya, loko ini nggak bisa dibilang lagi baru. Saya masih ingat beberapa hari setelah kereta ini beroperasi, bersama sama dengan beberapa teman SR, datang melihatnya ke stasiun Ambarawa. Memang kelihatan lebih gagah dan lebih berwibawa dibanding loko lama sebelumnya, yang sering dinamakan sepur kluthuk itu.

Jalur Utara membawa kenangan tersendiri bagi saya. Setiap kali libur, kami selalu naik kereta ini dari Ambarawa, menuju Beringin ke tempat kakek saya di desa Kali Jambe. Dari stasiun Beringin harus jalan kaki lewat kebun karet dan padang penggembalaan sejauh kurang lebih tujuh kilometer. Saya naik jalur kereta ini sejak sebelum sekolah di pertengahan tahun lima puluhan. Tetapi baru diijinkan oleh orang tua untuk pergi naik kereta api sendirian di kelas tiga SR. Pemandangan indah sekali sewaktu kereta itu melewati pinggir Rawa Pening dan kali Tuntang, di sebelah Timur Ambarawa (http://www.internationalsteam.co.uk/ambarawa/tuntang02.htm) . Nggak tahu sekarang.

Kenangan yang begitu indah datang ke rumah kakek. Nenek saya selalu membuat masakan kesukaan kami setiap hari. Main main di sekitar desa Kalijambe sangat mengasyikkan, banyak sumber air dan kebun karet atau kakao. Kakek saya selalu menggunakan bahasa Jawa sangat halus jika bicara dengan saya dan adik saya. Di rumah depan kakek saya ada dua kelas SR, sebagian lainnya di halaman kelurahan. Yang saya ingat di sekolah itu, nyanyiannya kok selalu pales. Nyanyi lagu Dari Barat Sampai Ke Timur, iramanya bisa meliuk liuk seperti suara loko Jambu Bedono. Kesan saya waktu itu.

Di awal awal tahun enampuluhan memang sudah kelihatan gejala gejala tidak sehatnya kereta itu. Perjalanan sering terlambat, kadang kadang berhenti tanpa alasan berjam jam di tengah sawah. Ayah saya bilang itu mungkin kesengajaan dari serikat buruh. Bahkan sering tetangga yang kenal dengan stoker (yang bertugas menjaga mesin dan memasukkan kayu ke mesin pembakar) dan masinis, pada pesan beli kayu yang seharusnya dipakai untuk pembakaran mesin uap kereta. Sesuai dengan pesanan masing masing, sang stoker akan melempar kayu kayu yang dijual di bawah tangan tersebut di sore hari waktu kereta lewat desa.

Pernah dicoba pembakaran dengan arang stengkul atau batubara. Namun juga tak bertahan lama ternyata. Jalur itu ditutup di pertengahan tahun enampuluhan. Suara loko itu entah seri C (sepur kluthuk ?) atau seri B (sepur hong ?), tak lagi terdengar. Pernah saya dengar pembicaraan ahli eknomi terkenal bahwa tranportasi kereta api memang sudah nggak jaman lagi, nggak ekonomis. Apa benar ? Di tahun delapan puluhan sewaktu saya di Newcastle (UK), saya masih melihat perjalanan kereta yang menghubungkan stasiun2 kecil di pedesaan.
Saya tetap masih merindukan kereta itu lewat desa kami kembali. Kabar burung katanya jalur kereta itu akan dihidupkan lagi, mungkin bukan hanya untuk turis. Bayangkan jika jalur kereta yang menghubungkan Ambarawa –Tuntang – Kedung Jati itu buka kembali. Ambarawa – Secang – Magelang- Yogya. Termasuk Secang Keparakan. Dan Yogya – Bantul – Palbapang. Alangkah indahnya. Mungkin bisa sedikit mengurangi angka kecelakaan di jalan raya, selain hitungan eknomis.
Salam Ki Ageng Similikithi

(Telah dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 10 Juli 2007)

Wednesday, July 11, 2007

Surat dari Yogya

Ada masa masa di mana saya selalu menunggu surat dari Yogya. Sewaktu saya berada di Newscastle Upon Tyne (UK) di tahun 1980. Waktu itu adalah tahun pertama menekuni program doktor dengan beaya Rockefeller Foundation. Masa masa menanti surat yang cerita tentang anak, tentang rumah (ngontrak), tentang saudara dan tetek bengek lain, dari minggu ke minggu. Baru pertama pengalaman pisah isteri sama anak. Karena masa masa itu saya kemudian seneng sekali novel Surat dari Beijing karangan Pearl S Buck. Pernah diterbitkan secara seri oleh harian Kompas. Juga pernah difilemkan. Roman percintaan klasik yang berakhir dengan perpisahan.

Saya meninggalkan Indonesia pertengahan Januari, setelah menunda keberangkatan selama 3 bulan. Sebenarnya harus berangkat bulan Oktober 1979. Tetapi karena masih harus menyelesaikan proyek proyek penelitian di Yogya, saya baru bisa berangkat bulan Januari 1980. Isteri dan kedua anak saya, Aryo dan Wisnu mengantar sampai Jakarta. Anak bungsu, Moko almarhum masih dalam kandungan ketika saya berangkat. Saya masih ingat benar di bandara Halim, Aryo merengek mau pisah dengan ayahnya, sedangkan Wisnu yang belum genap dua tahun masih belum paham apa yang terjadi.

Waktu itu kami nggak punya tilpon, belum ada email atau HP seperti sekarang. Dari minggu ke minggu surat itu pasti dating, biasanya hari Rabu atau Kamis.. Jarang jarang hari Jumat. Surat itu dikirim dri Yogya kalau nggak Jum’at ya Sabtu. Pengirimya Nyi Ageng tercinta, waktu itu panggilannya Imung. Demikian pula saya juga mengirim surat kalau nggak Jum’at ya Sabtu. Selama setahun lancar tak pernah ada masalah. Kadang saya juga heran mengapa banyak keluhan pengguna jasa pos sekarang.

Dengan aerogramme, atau warkatpos, surat itu selalu datang tepat waktu. Hanya pernah kejadian sewaktu saya menggunakan amplop, saya tulis alamat surat di kanan bawah sampul. Alamat pengirim di kiri atas. Petugas pos di Newcastle bingung, surat itu kembali ke alamat saya sampai dua kali. Akhirnya saya putuskan untuk menggunakan aerogramme saja.

Berita singkat jelas dan langsung ke permasalahan. Hanya tak cukup tempat untuk mengungkapkan kata2 mesra. Tak cukup halaman untuk mengungkapkan cinta. Setiap minggu. Kira kira tiga minggu sekali ungkapan ungkapan cinta ini perlu. Terutama jika tanggal sudah tua. Dibuat sedikit lebih puetis dari biasanya. Tak menggebu nggebu tetapi stabil dan sustainable.

Mungkin sedikit lain irama surat dengan waktu pacaran. Pas pacaran kan yang dibicarakan yang indah indah melulu. Membuat perasaan melayang, seolah hidup selalu indah dan manis. Setelah berkeluarga ternyata banyak masalah sehari hari yang harus masuk agenda surat menyurat. Mana yang anak sakit, mana perpanjangan kontrak rumah, masalah keseharian yang umum dihadapi oleh pasangan muda.

Walau tak semesra jaman pacaran isi surat surat tadi, tetap saja saya membutuhkannya. Saya selalu menunggu surat dengan berdebar. Sampai si tukang antar surat selalu bilang jika ketemu " See your pigeon hole". Tak ada yang berubah sama sekali. Dalam lamunan dan imaginasi saya selalu merindukan seolah olah kami masih pacaran. Apa lagi sudah ada anak, kadang kadang rasa rindu itu begitu mendera. Tak bisa tilpon, tak bisa sms atau email. Hanya suratlah satu satunya perantara. Nyi Ageng masih menyimpan surat surat tersebut, termasuk surat surat semasa pacaran. Dokumen sepanjang masa untuk kami.


Setiap saat seolah ada beban rasa rindu yang membayangi. Walau kita kita sering kumpul kumpul dengan banyak teman dari Indonesia, tetapi tetap saja kerinduan akan isteri dan anak tak bisa dihindari. Hanya lewat surat itu yang menjadi andalan komunikasi kami. Sewaktu di Indonesia saya mendengar sinyalemen bahwa orang Indonesia termasuk yang sangat sedikit menulis surat. Mungkin benar. Tetapi setelah mengalami pisah tersebut saya baru benar benar menyadari bahwa menulis dan menerima surat adalah kebutuhan mutlak.

Kadang setiap surat selalu saya baca berulang ulang, sampai hapal isi dan kalimatnya. Surat yang sangat istimewa saya rasakan sewaktu memberitahu kelahiran anak bungsu Moko (almarhum). Saya memberikan pilihan nama anak bungsu saya tersebut lewat surat. Dia lahir 13 Juni. Nyi Ageng selalu cerita perkembangannya dalam setiap suratnya. Saya melihatnya pertama kali sewaktu dia berumur enam bulan. Saya pulang ke Indonesia untuk melakukan penelitian.

Puluhan tahun telah berlalu, tetapi mengenang masa masa menunggu dan membaca surat dari Yogya, dari isteri tercinta, selalu mengingatkan jarak yang begitu dekat walaupun kami berjauhan ribuan kilometer.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media 7 Juli 2007)

Monday, July 9, 2007

Sumber air keramat

Banyak dijumpai kepercayaan di kalangan masyarakat tradisional yang mengkeramatkan sumber air. Memang lokasi sumber air umumya selalu teduh dengan pohon pohon besar seperti beringin atau gayam. Memberikan kesan magis dan angker. Namun ada alasan bijak dibalik kepercayaan tadi. Ini mungkin merupakan salah satu bentuk local wisdom (pemikiran bijak) dari masyarakat tradisional. Dengan mensakralkan sumber sumber air sebenarnya bertujuan agar sumber sumber air itu selalu dipelihara, jangan sampai rusak. Air mempunyai peran vital dalam kehidupan umat manusia. Sehingga sumber sumber air selalu harus dipelihara dan di hormati. Bagaimanapun caranya. Ini tidak hanya di kalangan masyarakat tradisional di Indonesia, tetapi juga terjadi di banyak masyarakat Asia.

Kisah ini berkaitan dengan pengkeramatan sumber air. Tetapi sedikit menyimpang dari pemikiran bijak lokal tadi. Tak apalah, kapanpun dan dimanapun, kadang terjadi penyimpangan dari pemikiran bijak turun temurun. Itulah kenakearagaman hidup, keanekaragaman manusia. Seperti yang saya ungkapkan dalam tulisan lain, di desa saya, Ngampin, dulu banyak dijumpai sumber air dan pemandian umum. Beberapa masih bertahan sampai kini. Satu yang telah tiada adalah pemandian umum Kali Gayam, di mana kadang saya juga ikut mandi di sana sewaktu masih kanak kanak. Pemandian ini terbagi menjadi dua, saling bersebelahan, satu untuk pria dan satu untuk wanita. Hanya terpisah oleh dinding yang tak begitu tinggi. Tanpa atap penutup sehingga kadang bisa saling melihat apa yang terjadi di balik dinding.

Ada satu tetua di desa kami, tokoh panutan di lingkungannya, dari dukuh Ngenthak. Namanya Sura Jaini. Orang sering memanggilnya dengan panggilan mBah Jaini atau Wa Jaini. Saya lebih akrab memanggilnya Wa Jaini, dari kata siwa atau pakde. Perawakannya kurus tinggi. Umur sudah lanjut, di atas tujuh puluh tahun. Giginya sudah ompong, tinggal beberapa di baris depan, sehingga selalu kesulitan menyedot rokok klobotnya. Namun nampak jelas sisa kegagahan dan ketampanannya di masa muda. Jalannya juga sudah agak terseok.

Dia selalu pakai celana kombor warna hitam sampai di bawah lutut, dengan sabuk kulit yang lebar. Bajunya juga berwarna hitam tanpa kerah. Khas seperti seragam para petani di pedalaman Asia. Saya pribadi punya hubungan dekat oleh karena dia juga bekerja untuk ayah saya membantu mengawasi pekerja yang memelihara hewan sapi, kambing dan kebun kopi. Wa Jaini tinggal sendirian, isterinya sudah meninggal beberapa tahun silam. Bicaranya masih jelas dan lantang. Dia suka banyak cerita dan suka menasehati anak anak, termasuk kami. Terutama mengenai cerita Bharatayuda. Idolanya adalah sang pendeta Durna, guru dari para ksatria Pandhawa. Bahkan secara tak sadar ia sering mempersonifikasi dirinya seperti sang pendeta.

Nasehatnya selalu kental dengan kata kata dari cerita Mahabharata. Ksatria itu harus teguh menghadapi godaan dan tantangan. Jangan menyerah menghadapi kesulitan. Tegakkan kepala dan pandangan ke depan jika berjalan. Jangan “klelat klelet” atau lamban malas malasan.
Suatu hari dia mengatakan akan mengirim sesaji di Kali Gayam. Ini salah satu tradisi agar mata air itu tetap mengeluarkan air yang cukup. Saya minta ijin untuk ikut. Mungkin harinya Kamis, sepulang sekolah kami bertiga ikut Wa Jaini ke Kali Gayam. Jumadi tetangga sebelah timur kebun kami, dan Yatno yang juga cucu dari Wa Jaini. Kami bertiga satu kelas. Waktu itu kalau tak salah ingat, kami duduk di kelas 3 SR Masehi Ngampin.

Pertama kami ikut meninjau mata air Kali Gayam di tepi desa di kaki lereng berbukit. Mata airnya sangat bagus. Air melimpah dalam kolam dibawah naungan pohon gayam dan pohon beringin. Banyak semak belukar sehingga nyamuknya juga sangat mengganggu. Juga banyak kodok (katak) di sekitar situ. Kodok bangkong yang ukurannya besar dan kulitnya kasar. Orang sering mengenalnya dengan nama kodok brontok. Orang hanya biasa makan katak hijau bukan jenis kodok brontok ini waktu itu.

Rupanya Wa Jaini nggak begitu antusias melakukan sesaji di dekat mata air itu. Terlalu banyak nyamuk dan semak semak. Kemudian dia mengajak pindah turun sekitar dua ratus meter dari mata air. Di dekat pemandiannya. Sewaktu kami bertanya, yang diberi sesaji mata airnya atau pemandiannya, dia menjawab singkat, sama saja. Pokoknya memberi sesaji, toh akhirnya akan diterima di sononya.

Kira kira jam dua siang, pemandian itu sepi. Para lelaki biasanya sudah kembali ke sawah atau ke ladang. Para wanita sibuk di rumah masing masing. Pemandiannya sendiri sangat alami. Ada kolam penampungan berukuran puluhan meter menampung air jernih yang mengalir dari mata air tadi. Empat pancuran mengalir deras dari kolam itu ke masing masing tempat mandi pria dan wanita. Tepian kolam terpelihara bersih, nggak banyak semak belukar, nyamuk ataupun binatang lain seperti kodok.

Wa Jaini mulai memberikan isyarat agar kami duduk tenang di belakang agak jauh dari tempatnya dia sesaji. Kami duduk di lokasi yang agak tinggi di tepi kolam. Pandangan kami bebas melihat ke kolam atau ke pemandian tanpa atap itu. Wa Jaini mulai upacara ritualnya, membakar kemenyan, menyusun bunga bunga mawar dan telasih, sambil menggumam membaca mantera mantera khusus yang kami juga tidak tahu maksudnya.

Pas asyik asyiknya meakukan upacara sesaji, tiba tiba ada seorang wanita mau mandi. Saya agak lupa namanya, mungkin Ginem, wanita muda yang ditinggal suaminya transmigrasi ke Lampung bertahun tahun. Dia tinggal di dekat pemandian itu. Nampaknya dia tak juga merasa terganggu dengan kehadiran Wa Jaini yang sedang sesaji di situ. Sekalian ngalap berkah, mungkin.

Sementara Wa Jaini yang lagi asyik sesaji, dia tahu dan bisa melihat jelas ada wanita mandi disitu. Namun demikian dia makin asyik membaca manteranya sambil kepalanya bergerak geleng2 kiri kanan, semakin cepat. Sekarang mungkin seperti gerakan orang dugem minum ekstasi. Pendeta yang mumpuni tak akan tergoda wanita mandi, walaupun berkulit putih bersih dan berbadan semok. Kami yang melihat dari belakang percaya sekali akan kehandalannya. Kami saja yang kadang tak bisa menghindar melihat wanita mandi itu, dan kadang kadang mendesah “ edaaan”.

Nampaknya wanita itu tak merasa risih sama sekali. Dengan bebas dia bergerak menggosok badannya dengan sabun dan bernyanyi kecil. Mungkin ada semacam sinyal listrik yang keluar dri Ginem yang sedang mandi yang kadang bergerak erotis, yang sampai ke sang pendeta. Oleh karena berkali kali Wa Jaini menoleh ke bawah ke arah Ginem yang sedang mandi.

Kira kira lima belas menit berlalu. Upacara sesaji telah usai. Ginem juga selesai mandi. Tak ada insiden, tak ada gangguan. Mission accomplished. Yang sesaji, upacara selesai dengan lancar. Yang mandi segar kembali. Tetapi Wa Jaini rupanya nggak beranjak berdiri. Dia tetap duduk terpekur di tempat itu. Seperti biasanya dia memakai celana kombor hitam. Tak biasa waktu itu memakai celdam untuk pria seumur dia dengan celana kombor itu. Karena itu maka dia perlu beberapa waktu untuk menenangkan diri, calming down. Kalau saja dia cepat cepat berdiri, bentuk celana kombor itu pasti tidak proporsional lagi karena satu dan lain hal yang tak bisa dikatakan di sini..

Setelah semuanya selesai. Dia berucap singkat. Lancar kan semuanya ? Jangan suka main main di dekat mata air atau di dekat pemandian umum ya, nasehatnya. Pesan normatif saja. Dan kami semua mengiyakannya tanpa pernah menanyakan bagaimana reaksinya sewaktu sesaji dan melihat wanita mandi itu. Dia pasti punya banyak alasan. Dari pada sesaji di dekat mata air, banyak nyamuk, lihat banyak kodok. Mengapa tidak didekat pemandian saja, lebih rapi, lebih bersih. Kalau ada gagguanpun, tubuh semok dan kulit kuning bersih, lebih mengasyikkkan. Wa Jaini memang tetua yang pragmatis.

Pesan dari tulisan ini singkat. Sumber air selalu harus dijaga dirawat dan dihormati seperti halnya pesan pemikiran bijak lokal turun temurun. Orang yang dituakan seperti W Jaini pun hanyalah manusia normal. Kalau toh sedikit melenceng dari petuah pemikiran bijak lokal tadi, jangan sampai meninggalkan misi utamanya, dalam hal ini sesaji.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 4 Juli 2007)

Thursday, July 5, 2007

Dari Yogya ke Solo

Menjelang tengah malam pengin nulis. Tentang sesuatu yang terkini. Petang tadi sama Nyi Ageng ke Solo. Ketemu Lembayung sambil makan nasi liwet Solo. Habis baca tulisan Awwal, tentang tempe dan sambal balado warna hijau, penasaran saya. Terus pengin merasakan nasi liwet Solo. Berbagai warna warni lombok rebus, tak hanya warna hijau selalu di sajikan bersama dengan nasi liwet itu. Siang tadi saya sms Lembayung, ada waktu nggak, dia bilang siap asal lewat jam setengah enam. Kantornya tutup jam setengah lima.

Saya dan Nyi Ageng sering sore sore seperti ini ke Solo mencari nasi liwet waktu masih muda dulu. Sekarang sudah begitu jarang. Waktu saya ajukan usulan untuk ke Solo, cari nasi liwet, dia masih ragu ragu. Saya tambahkan kalau mau ketemu sama penulis Koki dari Solo, the spirit of Java, Lembayung, dia mantep mau pergi. Sewaktu saya tambahi, sambil membine cinte mase tue, dia langsung pengin.

Berangkat pukul 0415, hujan rintik rintik sepanjang jalan. Mestinya romantis mengenang masa masa pacaran dulu. Nyi Ageng malah tertidur sepanjang jalan. Nggak tahu mimpi apa dia. Sekali dua kali saya bangunkan. Akhirnya saya diamkan, bisa bisa malah salah alamat nanti. Nggak kurang akal, toh saya bisa mbayangin tokoh tokoh imaginer masa lalu dalam lamunan saya. Bukan salah saya bo ! Apa boleh buat, tahi kambing bulat bulat.

Sampai di Solo hampir jam enam. Nyamperin Lembayung di Pajang, di bagian barat laut kota. Kami berempat dengan adik Lembayung, Ayu menuju Keprabon. Nasi liwet Bu Wongso Lemu. Jangan tanya rasanya ya. Makan nasi liwet sementara suara hujan di luar seperti bernyanyi lirih. Sambil ngobrol sama penulis koki yang beken ini, Lembayung. Gadis yang ceria.

Ceritanya mengalir lancar keluar seperti aliran sungai Bengawan Solo. Cerita macam macam, tentang Solo, tentang keluarga, tentang kerjaan, tentang bunga. Nggak tentang pacar. Seperti biasa saya nggak banyak bisa bercerita. Kemampuan saya bercerita agak terbatas. Tetapi saya dan Nyi Ageng sangat menikmati petang bersama Lembayung dan Ayu. Tiba tiba ada sms dari Bu Dewi di Kuching, tanyanya “Lembayung itu pria atau wanita sih?”. Saya jawab “Bu saya tak bekompeten menjawab, silahkan tanya sendiri”. Saya sambungkan langsung bu Dewi dan Lembayung, “Bu saya ini putri Solo asli lho”.

Kami makan sampai kira kira jam delapan, kemudian putar putar selatan kota Solo, lewat keraton dan alun alun selatan. Sewaktu lewat Mloyokusuman, saya cerita. Dulu saya pernah nyambangi putri Solo dari njeron beteng itu, namanya Dewi Sekartaji Galuh Tjandrakirana dan Dewi Saraswati. Tetapi setiap ketemu, saya selalu kalah wibawa. Tangan saya selalu tersilang di depan bila bicara dengan mereka. Sampai mereka pernah tanya “Ki sampeyan itu mau pengin nglamar jadi punakawan pa ?”. Tapi ya gimana, memangnya nyali nggak ada, ya mundur terhormatlah.

Sekilas ingatan saya melayang ke masa lalu. Saya selalu merasa kecil di kota ini. Selalu saya ungkapkan dalam cerita cerita yang lalu. Entah sekolah negeri, entah dhemit di rumah sakit pun kok nggak ada yang mau sedikit ramah sama saya. Saking kecilnya nyali saya waktu itu, si Ratri gadis cantik penari yang pernah saya ceritakan itu, sudah begitu dekat wajahnya di muka ku, saya tak berani bereaksi. Padahal saya masih jomblo waktu itu. Pikiran saya jangan jangan dia kuntilanak jadi jadian. Habis ngasih kode mau gituan kok di samping kuburan dan dia pakai parfum bau kenanga menyengat. Kecewa kemudian nggak ada gunanya. Masa lalu.

Juga sewaktu habis lulus dokter saya melamar ke UNS di Solo. Berjam jam menunggu petugas personalia untuk menyerahkan berkas lamaran, namun yang ditunggu nggak kunjung muncul. Sewaktu ada seseorang datang menemui saya, dengan antusias saya sambut dia, saya pikir petugas personalia. Eh tahunya dia cuma pengun pinjam korek api.

Beberapa tahun kemudian saya pernah diundang untuk menjadi pembicara dalam acara yang diselenggarakan UNS untuk sivitas akademika. Kabarnya pertemuan itu akan dibuka oleh Rektor sendiri. Pikir saya ini kesempatan saya untuk unjuk gigi di muka khalayak Solo. Sokur kalau pegawai yang minta api rokok itu datang, malah mau saya kasih rokok sekalian.

Saya datang datang bersama Dekan dri Yogya. Saking antusiasnya, saya ajak Dekan sama sama dengan mobil saya. Berangkat dengan mantap dan hati berbunga. Kesempatan untuk unjuk gigi bicara lantang di Solo. Dasar sial, begitu masuk kota, mobil yang barusan servis itu kok mogok di batas kota. Kami berdua yang pakai setelan jas lengkap terpaksa nyandra angkot yang lewat supaya diantar ke kampus. Nggak ada lagi nyali untuk unjuk gigi dan bicara lantang. Sewaktu Dekan cerita dalam awal ceramahnya mengenai insiden batas kota itu, semua hadirin tertawa. Saya hanya nyengir.

Tetapi kedatangan saya ke Solo kali ini sangatlah menyenangkan. Jelas karena Lembayung yang ceria dan mungkin juga karena nasi liwet itu. Salam sayang dan terima kasih dari Ki dan nyi Ageng untuk Lembayung dan Ayu. Salam damai untuk kokiers

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 30 Juni 2007)

Wednesday, July 4, 2007

Sumber air yang menyusut

Minggu ini saya cuti. Ada keponakan yang nikah di Ambarawa. Pesta pernikahan di kebun rumah tua peninggalan orang tua. Kami bersaudara sepakat agar pesta nikahnya dilangsungkan di tempat itu. Sekalian nostalgia, oleh karena kami bersaudara semua sudah meninggalkannya puluhan tahun lalu. Sepuluh tahun lalu ada teman yang meminjam menggunakan rumah tua itu untuk pesta nikah. Kelihatan khas, dekat dengan alam.

Selain menghadiri pesta nikah itu saya punya tiga agenda tambahan. Pertama, nyekar makam anak saya Moko. Kedua, melihat sumber sumber air di sekitar desa kami, Ngampin. Ketiga, merekam riwayat hidup dan kejadian gugurnya adik sepupu saya, Kresno di tahun 1945, dalam pertempuran melawan pasukan Sekutu di Bedono. Kalau mungkin mengunjungi makamnya. Seumur hidup saya belum pernah mengunjungi makamnya. Kisah tragisnya akan saya tulis untuk kenangan generasi muda dalam web keluarga besar kami (http://djojosastro.info/). Saya pun nggak pernah tahu peristiwa itu kejadiannya sebelum saya lahir.

Sewaktu saya masih kecil, saya ingat betul, banyak sumber air di sekitar desa kami. Sumber air Kali Guwo, Kali Gayam, Kali Soca, Penggung, sumber sumber di Seneng dan Glagahombo (http://djojosastro.info/_kisah.php?parameter=3&id=12). Ini belum termasuk sumber sumber air yang dimanfaatkan oleh beberapa kelompok keluarga. Hampir di setiap dusun ada beberapa sumber air alam dengan tempat pemandian umumnya.

Keluarga kami mengalirkan air dari Kali Guwo, kira kira satu kilometer dari bukit di belakang kebun kami. Namun tetap saja saya sering mengunjungi dan memanfaatkan pemandian umum tersebut, terutama Kali Gayam. Ada kenangan tersendiri menggunakan pemandian umum tersebut. Tempat pemandian umum kadang berfungsi sebagai tempat ngrumpi. Siapa yang berbadan bersih, siapa yang bertubuh bahenol. Banyak kisah menarik yang akan saya ceritakan di lain kesempatan sekitar pemandian umum.

Ciri khas situasi sumber air adalah adanya pohon besar dan rindang, entah pohon gayam atau pohon beringin. Mungkin karena akar pohon pohon ini mempunyai kemampuan untuk menahan air. Sehingga tempat tempat sumber air dan pemandian umum ini selalu menarik untuk kumpul terutama di sore hari.

Saya juga ingat betul rumah kakek saya di desa Kalijambe, Bringin, ada pemandian umum di mana sumber airnya dialirkan dari bukit dimuka rumah kakek. Setiap sore pasti ramai di sudut kebun kakek yang luas itu oleh karena para tetangga yang antre mandi. Karena sempitnya waktu, saat ini saya hanya sempat mengunjungi sumber air dan pemandian umum Kali Soca, Kali Gayam dan Kali Guwo.

Pohon pohon rindang di kali Soca sudah nggak terlihat. Katanya sudah lama mati dan nggak pernah ditanami lagi. Sumber air dan pemandian umumnya terawat bagus. Ada semacam usaha kolektif untuk memelihara sumber air dan pemandian ini. Debit air bagus. Saya tak tahu berapa pastinya, tetapi penduduk tak merasakan adanya penyusutan air dalam tahun tahun terakhir. Banyak kolam ikan di sekitar sumber air.Kurang lebih seratus lima puluh meter dari sumber air Kali Soca ada sumber air lain, lebih kecil, Kali Soca Lanang. Namun pohon pohon besar di sekitar Kali Soca sudah tergantikan oleh pemukiman penduduk.

Pemandian umum Kali Gayam di mana saya dulu sering mandi, sudah tidak ada lagi. Saya telusuri sumbernya kira kira dua ratus meter dari bekas pemandian itu. Masih terlihat dua pohon beringin dan pohon gayam. Tetapi sumber airnya sudah sangat menyusut. Airya tak melimpah ruah seperti dulu. Juga kerindangan pohon pohon itu sudah tak seperti dulu. Pohon besar yang dulu ada sudah tergantikan dengan pohon2 baru yang masih kecil. Menyedihkan. The drying water.

Di bawah sumber air ini dulu ada kolam alam yang dalam dan mengalirkan air ke bawah lewat sungai kecil di tepi desa. Kolam alam (blumbang) itu dulu nampak sangat angker. Walaupun kami kadang2 mandi berenang di bagian hulu sungai itu, tetapi tak ada yang berani mandi di kolam itu. Saya masih ingat ada dua kali, gadis bunuh diri terjun ke kolam angker itu. Kolam angker itu sekarang nampak sangat merana. Aliran airnya tak bergemuruh lagi, hanya gemericik lirih dalam kesunyian.

Demikian pula sumber air Kali Guwo nggak seperti dulu lagi. Hutan di sekitarnya sudah banyak tergunduli. Pohon pohon tua sudah tak kelihatan lagi, digantikan dengan jenis pohon produksi seperti albasia. Dasar sungai yang berupa batu hitam nampak jelas, hanya rembesan rembesan kecil air yang mengalir ke bawah. Aliran air bersih di sungai itu sangat deras waktu itu. Suara air yang gemuruh menuruni bukit itu tak terdengar lagi. Air menghilang. Di bagian lain, dasar sungai kering merana.

Sepupu saya mengatakan bahwa di desa kelahirannya, desa Candi di Ungaran, ada sumber air besar di bawah naungan pohon pohon beringin besar. Sumber air itu juga dimanfaatkan untuk sumber air leiding bagi penduduk kota di dekatnya. Sayangnya pemanfaatan dalam skala produksi ini tak dibarengi dengan konservasi memadai. Sesudah pemasangan saluran air minum modern dri sumber ini, pohon pohon beringin mati merana.

Kisah sedih menyusutnya air tawar juga nampak jelas di Rawa Pening. Saya bukan ahli hidrologi, tetapi dapat melihat menyusutnya air rawa ini dari waktu ke waktu. Rawa itu kini sebagian besar dipenuhi oleh eceng gondok. Ada manfaat eceng gondok bagi penduduk sekitar memang. Tetapi menyusutnya air rawa nampak jelas sekali. Di tahun enampuluhan, kedalaman air di pelabuhan perahu mungkin sampai beberapa meter.

Penjaganya dulu selalu menakut nakuti kami jangan main di daerah itu oleh karena kedalaman airnya sampai enam meter. Mungkin tak sedalam itu, tetapi yang jelas perahu masih bisa berlabuh di situ. Sekarang bangunan pelabuhan itu berjarak berpuluh atau beratus meter dari tepian air. Beberapa kilometer di seelah timur Rawa Pening, ada desa Telogo. Ibu saya pernah cerita, di tahun awal kemerdekaan dulu ada telaga indah disitu, di antara kebun karet. Telaga itu hanya tinggal bekasnya saja kini.

Menyusutnya sumber air di pulau Jawa sudah diketahui banyak pihak, walaupun Indonesia belum masuk negara yang mengalami krisis air tawar. Secara global diperkirakan 1.1 milyard penduduk dunia tidak mempunyai akses akan air minum yang aman (http://en.wikipedia.org/wiki/Water_crisis) .

Masalah ketidak cukupan suplai air tawar telah menjadi krisis global. Pengaruhnya sangat serius bagi kesehatan maupun bagi produksi makanan. Ini merupakan salah satu krisis lingkungan yang dihadapi oleh umat manusia. Kita semua bisa ikut menyumbang peran untuk ikut mengatasinya, dalam kapasitas masing masing. Penduduk sekitar sumber air, mungkin perlu diberdayakan bagaimana mempertahankan sumber sumber air itu. Kami pernah bekerjasama menanam pepohonan di lereng bukit di desa saya.

Mungkin ada Kokiers, seperti bung Haryadi, dapat menyumbang tulisan mengenai air, konservasi dan pengelolaan sumber air.

Salam dari Yogya. Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 2 Juli 2007)