Saturday, December 25, 2010

Cerita perjalanan anak manusia – Novita

Ceritanya keluar pelahan. Dengan terbata dia menceritakan kisah perjalanan hidup yang getir. Suatu sore di penghujung tahun 2010, saya mewawancarai Novita. Umur dua puluh satu tahun. Asal dari desa Kaliangkrik Magelang. Anak sulung dari tiga bersaudara dari satu keluarga petani sederhana. Meski begitu, dia berhasil mencapai kelas dua SMA, di Salaman dan keluar tahun 2004 tanpa sebab yang jelas. Mungkin karena alasan ekonomi juga.

Seperti halnya anak muda pada umumnya di pedesaan, Novita meninggalkan desanya dan harus hijrah ke kota untuk menopang hidup. Juga untuk menghidupi anak lelakinya yang masih berumur delapan bulan, Rio. Rio ditinggalkan di desa dan diasuh oleh orang tua Novita. Pendidikan sampai kelas dua SMA ternyata tak banyak bisa membantu untuk mengangkat dirinya keluar dari cengkeraman sang nasib dan penderitaan. Konon masih banyak gadis desa terpencil, juga di wilayah Kaliangkrik, yang tak sampai meneruskan sekolah sesudah tamat sekolah dasar.

Menurut seorang teman yang banyak berkunjung ke wilayah Kaliangkrik, di salah satu desa terpencil di atas bukit, hanya lima anak dari dua puluh lima anak perempuan lulus sekolah dasar, yang meneruskan ke jenjang sekolah menengah pertama. Sebagian besar karena faktor ekonomi, tak ada uang untuk beaya pendidikan dan naik ojek ke sekolah yang berjarak beberapa kilometer dari desa. Juga karena mereka sebagian besar harus segera membantu orang tua masing masing mengerjakan pekerjaan rumah dan mengolah tanah. Anak anak ini kehilangan kesempatan pendidikan. Tak memungkinkan mereka keluar dari lingkaran kemiskinan. Pendidikan adalah salah satu pilihan untuk mengentaskan mereka keluar dari keterbelakangan dan kemiskinan. Sebagian besar kemudian akan terjebak dalam perkawinan dini dengan segala konsekuensinya.

Novita memasuki jenjang perkawinan empat tahun silam di tahun 2006 dalam usia tujuh belas tahun. Bermula dari perkenalan singkat dengan seorang pemuda bernama Boi. Boi berasal dari Purworejo, lulusan SMA dan bekerja di bengkel motor. Mereka kenal karena pesan singkat yang katanya salah alamat masuk ke tilpun seluler Novita. Setelah berganti pesan beberapa kali, Boi datang menemui Novita di rumahnya di desa Kaliangkrik. Singkat cerita kemudian mereka saling jatuh cinta dan berpacaran beberapa lama. Setelah dua bulan mereka memutuskan untuk naik ke jenjang perkawinan. Penuh impian indah masa depan. Orang tua Novita sebenarnya tak begitu menyetujui perkawinan mereka oleh karena Novita saat itu usianya masih tujuh belas tahun.

Setelah perkawinan lewat beberapa saat, iImpian impian indah mereka kandas satu persatu menghadapi kerasnya hidup. Sesudah kawin mereka menumpang tinggal bersama dengan orang tua Boi, yang mantan pensiunan tentara. Boi masih terus bekerja di bengkel motor. Namun tak urung mereka masih juga menggantungkan bantuan orang tua untuk menutup kebutuhan sehari hari. Tak bisa dipungkiri, berapa besar penghasilan seorang pegawai bengkel. Walau ada keinginan untuk berdiri sendiri tetapi kenyataan lapangan kerja tak banyak memberikan pilihan. Boi hanya mengantongi pendidikan SMA. Tak ada keterampilan dan keahlian khusus. Novita sempat mengambil kursus komputer untuk meningkatkan keterampilannya di Purworejo.

Pernah berdua hijrah ke Kalimantan, Boi bekerja sebagai nelayan di Ketapang. Mereka harus menjual kendaraan milik orang tua untuk sangu. Tetapi rupanya nasib tak berpihak kepada mereka. Setelah genap empat bulan, mereka kembali ke Purworejo, kehabisan modal. Boi kembali bekerja di bengkel. Untuk kehidupan sehari hari harus tetap bergantung bantuan orang tua.

Cerita klasik yang sering terjadi dalam perkawinan dini. Kesulitan hidup sehari hari ternyata membawa dampak negatif terhadap kesehatan reproduksi Novi. Berturut turut mengalami keguguran dua kali semenjak perkawinan. Anak pertama terlahir sehat di tahun 2010, ketika kehidupan suami isteri telah berubah total. Hubungan romantis yang mereka impikan telah berubah secara perlahan tanpa mereka sadari. Hubungan telah berubah tegang dari waktu ke waktu.

Ini penuturan Novi. Mungkin hanya sepihak tetapi menggambarkan apa yang dia alami. Perangai sang suami ternyata berubah seratus delapan puluh derajat semenjak perkawinan. Sering mabuk dan melakukan kekerasan fisik. Boi ternyata sangat ringan tangan dalam setiap menghadapi beda pendapat. Seolah tak mampu mengendalikan emosinya jika beradu pendapat. Banyak kali Novi menerima perlakuan kekerasan. Bahkan yang sangat membahayakan keselamatannya meskipun hanya kekeliruan atau perbedaan pendapat yang kecil saja. Suatu saat di Ketapang, pernah disiram bensin dan sudah diancam dengan korek api yang siap disulut. Juga banyak kali, pisau ditempelkan di lehernya. Bahkan suatu saat anak dalam gendongannya pernah terkena pukulan, untung tak cedera.

Kesulitan ekonomi dan pekerjaan sering berdampak dalam keharmonisan rumah tangga, dan mendorong terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Setiap kekerasan berlalu, Boi selalu minta maaf dan bersumpah tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Namun kekerasan itu berulang juga dari waktu ke waktu. Akhirnya di awal tahun 2010,dengan membawa anaknya yang masih berumur beberapa bulan, Novi kembali ke rumah orang tuanya di Kaliangkrik. Namun tak mungkin dia menggantungkan diri pada oorang tuanya. Mereka hanyalah petani sederhana, dan masih harus menanggung kedua adiknya.

Di penghujung tahun 2010 ini Novi memutuskan untuk mencari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di kota melalui agen tenaga kerja. Keinginannya hanya satu, membesarkan anaknya tersayang Rio. Beberapa kali Boi menghubungi mengajaknya rujuk kembali, tetapi dia masih merasa ketakutan untuk kembali hidup bersama. Dia ingin lepas dai ikatan perkawinan itu. Namun Boi berulang kali menyatakan, tidak ingin pisah, ingin kembali bersama dan berjanji menghentikan kebiasaan buruknya. Namun Novi merasa itu hanya janji semata seperti yang sudah sudah. Semua telah berlalu. Hanya ingin menatap masa depan demi anaknya. Inilah pesan sederhananya “ Jangan sia-siakan isteri, agar isteri selalu dihargai, jangan dianggap pembantu”.

Kadang nasib datang mendera anak manusia tanpa ampun. Hanya dia sendiri yang harus menentukan pilihan terbaik dalam hidup ini. Hidup adalah pilihan anak muda, bukan hanya nasib. Tentukan pilihan anda dan mantapkan langkah untuk menggapai pilihan itu.
Salam damai, selamat Natal dan Tahun Baru 2011.
Ki Ageng Similikithi

Tuesday, November 2, 2010

Pesan singkat

Entah berapa pesan singkat masuk ke tilpon genggam semalam. Baru sempat baca pagi pagi. Dari nomer yang sama. Tetapi tak tercatat dalam daftar kontak. Isinya pesan yang hampir sama. Pengin ketemu. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Ingin menjelaskan masalah yang sedang dihadapi. Dia akan pindah ke propinsi. Kembali bersama orang tuanya. Ungkapan kalimatnya tidak terlalu asing. Samar samar saya ingat beberapa rangkaian peristiwa sebelumnya. Saya kenal dia beberapa bulan lalu di Manila Doctor Hospital, saat periksa kesehatan. Namanya Jennifer, tak tahu nama belakangnya.

Waktu itu katanya sedang menunggu bapaknya yang menderita infeksi berat. Diagnosis dokter menderita sepsis, atau infeksi dalam sirkulasi darah. Bapaknya menderita sakit gula yang berat. Faktor resiko untuk sepsis. Pengobatan harus dengan antibiotika massif. Jennifer cerita jika tidak punya uang sama sekali untuk beli obat yang harganya mahal. Tak punya jaminan asuransi. Beaya perawatan dan obat obatan harus dibayar sendiri. Ciri pelayanan kesehatan di Asia Tenggara. Jaminan asuransi terbatas. Semua harus dibayar langsung oleh pasien. Ada studi yang pernah dilakukan di enam negara di Asia Tenggara yang menunjukkan bahwa beaya perawatan medis yang harus dibayar pasien kelompok ekonomi lemah sering membuat mereka terpuruk di bawah garis kemiskinan. Kelompok ekonomi lemah ini sering harus menjual harta atau modal kerja, seperti ternak dan tanah, untuk menutup beaya perawatan jika salah satu anggota keluarga jatuh sakit berat dan perlu perawatan rumah sakit. Tanpa jaminan asuransi publik, maka upaya mengatasi beaya kesehatan katastrofik ini bagi yang tidak mampu adalah dari sumbangan dan dana sukarela masyarakat. Sering kita lihat di media masa di Indonesia. Tidak ada jeleknya, hanya upaya ini tak akan bisa mengganti kebutuhan sistem jaminan kesehatan publik.

Kembali cerita tentang Jennifer. Beberapa teman kemudian ramai ramai memberikan bantuan uang Peso untuk beli antibiotika. Saya tak pernah megikutinya secara khusus. Hanya beberapa hari kemudian dia mengirim pesan jika bapaknya sudah boleh pulang. Kami tak pernah bertemu secara khusus. Kadangkala saja bertemu dirumah sakit tersebut secara tak sengaja. Dia cerita jika bapaknya tak mungkin bekerja lagi, seorang ahli ahli listrik freelance. Beberapa kali sejak saat itu bapaknya sering keluar masuk rumah sakit. Beberapa bulan kemudian saat bertemu di kafetaria di depan kantor saya, dia cerita jika bapak ibunya sudah pulang ke propinsi. Jennifer bekerja di salah satu call centre di Makati. Sebulan lalu ketemu di kafetaria rumah sakit lagi. Katanya dia harus operasi tumor kandungan. Sudah tertunda beberapa minggu karena masih menunggu bantuan dari PSCO, suatu lembaga yang menyalurkan bantuan sosial bagi orang2 yang membutuhkan. Beaya operasi 25000 Peso, bantuan yang turun 18 000. Saya dan beberapa teman urunan menutup kekurangannya.

Dua minggu lalu, tiba tiba saya terima teks agak aneh. Dari seseorang yang memperkenalkan diri bernama Mylene. Katanya teman Jennifer. Mylene dan pacarnya pagi itu mengunjungi Jennifer di apartemennya di Pasig dan mendapatkan dia tidak sadarkan diri, panas tinggi. Kemudian dibawa ke rumah sakit De Lapaz di Kamuning, Queson City. Menurut dokter dia menderita sepsis karena operasi yang dijalani beberapa minggu sebelumnya. Kondisinya kritis. Butuh transfusi dan obat obat mahal, tetapi tak ada uang sama sekali. Mereka sangat mengharapkan pertolongan oleh karena butuh uang untuk beli antibiotika. Semula tak begitu ambil pusing oleh karena pesan pesan seperti ini sering diterima oleh teman teman kantor juga. Tetapi berkali kali pesan singkat masuk, dengan pesan yang hampir sama. Minta bantuan untuk beli obat. Bahkan dia memberi nomer rekening. Saya masih makan malam dengan Ananda di rumah makan Jakarta. Dia kepala bagian personalia.

Ketika tiba tiba tilpon genggam saya berdering, seseorang bernama Mylene bicara dari seberang sana. Kali ini member tahu kalau Jennifer kritis dan butuh transfusi. Ananda menganjurkan agar saya dan dia bersedia menyumbang darah. Tetapi dari ujung sana, Mylene mengatakan kalau sudah ada donor, tetapi uangnya tinggal 700 peso. Dia tak lupa mengirim nomer rekening. Katanya rekening Jennifer. Saya beri tahu tak mungkin transfer oleh karena week end. Internet banking saya tidak aktif. Kenapa harus kami yang di kontak? Apakah dia tak punya saudara?.

Hari Sabtu pagi saya bangun siang. Bangun sudah hampir jam sebelas. Ada janji makan siang dengan seorang teman. Kami makan siang di hotel Pan Pacific, ada rumah makan Jepang. Sambil ngobrol ke sana kemari. Tak berlama lama oleh karena sore itu pengin nonton TV, hari terakhir Ryde’s Cup, pertandingan golf antar grup Eropa dan Amerika. Teman saya harus berangkat sore nanti ke Phnom Penh. Tiba tiba ada pesan singkat masuk jika Jennifer dalam keadaan kritis. Saudara saudaranya sudah kumpul datang dari propinsi. Pesannya saya forward ke Ananda. Pesan singkat ke dua mengatakan bahwa Jennifer dirawat di De La Paz hospital, Kamuning, Quezon city. Juga minta dengan iba agar saya transfer beberapa ribu Peso ke rekening tersebut. Ananda kemudiaan menyarankan untuk langsung saja ke rumah sakit. Tetapi saya tetap bertanya tanya, mengapa kami ? Kita tak punya hubungan apa apa. Ananda bersedia pergi bersama asal saya yang nyopir. Itu masalahnya. Saya tak hapal daerah itu. Satpam yang biasanya nyopir untuk saya sedang giliran jaga.

Kemudian kami naik taksi. Tak begitu penuh jalanan, namun butuh waktu sampai 1 jam ke Kamuning. Putar putar daerah itu. Tak ada yang namanya De La Paz hospital itu. Kami tanyakan kembali ke Mylene, dimana rumah sakitnya? Jawabannya aneh. Tak usah datang ok ada masalah. Kirim saja uangnya lewat rekening. Suaranya begitu parau dan iba. Ananda punya fasilitas internet banking. Dia menganjurkan agar kirim saja lewat ATM. Akhirnya kami putuskan untuk kirim Peso lewat dari rekening Ananda. Moga moga bisa menolong kalau benar benar diperlukan. Kemudian kami kembali naik taksi ke daerah Malate. Kami sama sama tinggal di kota lama Malate.

Dalam perjalanan pulang tiba tiba tilpon berdering. Dari nomer tak dikenal. Dari seberang dia mengingatkan dari Jennifer. Dia bilang tilpon genggamnya hilang dicuri orang sejak malam tadi. Apakah ada yang menghubungi anda dengan tilpon saya, tanyanya. Iya temanmu Mylene bilang kamu kritis dan minta transfer uang untuk beli obat. Kami telah transfer ke nomer rekeningmu. Dia sayup sayup bilang, bukan saya yang minta itu. Orang yang mencuri tilpon itu yang telah menghubungi kamu.
Kami tak bisa mengerti lugas. Siapa yang menipu minta uang ditransfer? Jennifer, Mylene dan pacarnya, atau yang mencuri tilpon genggam itu. Kami tak tahu. Mungkin memang bagian dari kelompok yang terorganisir rapi. Saya kirim pesan singkat. Tolong jangan hubungi saya lagi. Yang bikin saya jengkel bukan kehilkangan uang itu. Tetapi kehilangan waktu beberapa jam tak dapat menikmati hari terakhir Ryder’s Cup.

Pesan pesan singkat itu tetap saja datang. Ingin menjelaskan duduk perkaranya. Entah benar entah tidak, entah ada masalah entah tidak, saya tak butuh penjelasan. Siapa yang berpura pura, siapa yang menipu, saya juga tak peduli lagi. Saya ini bukan laki laki jalang dari kumpulannya yang terbuang. Hanya meradang kehilangan uang. Untuk golf Minggu paginya. Untung Minggu pagi ada typhoon. Hujan deras mendera. Tak mungkin main golf. Hanya istirahat di kamar.

Aja kagetan, aja gumunan, kabeh wis ana dalane.Eling lan waspada. Semua sudah ada jalannya. Mungkin hari itu memang saya harus ketipu.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi

Monday, September 6, 2010

Gereh teri

Sore itu saya pulang agak awal. Menjelang jam lima sudah memasuki halaman apartemen di Malate. Hiasan warna warni mulai nampak sepanjang jalan. Menjelang akhir bulan September. Kebiasaan di Filipina, orang mulai pesta Natal sejak bulan September. Saat saya mau belok, masuk ruang parkir, tiba tiba Mr. Jack, diplomat asal Panama, keluar dan menghentikan mobil saya. “Sorry guy, we are having party. Can not enter the parking”. Orangnya ramah, perawakan tinggi besar. Tetapi saya tak kenal dekat. Juga tak tahu nama lengkapnya. Hanya kenal kenal anjing, kalau ketemu saling menyapa “hi hi”. Anjing kalau ketemu teman di jalan hanya saling menggonggong singkat “hug hug”.

Rupanya ruangan parkir di lantai dasar akan dipakai pesta. Mr. Jack tinggal di lantai dasar persis di muka ruang parkir. Bersama seorang temannya yang juga diplomat asal Panama. Banyak wanita muda dengan pakaian pesta berkumpul di depan unitnya. Ada sekitar selusin. Saya nggak tahu berapa banyak orang yang diundang, kok sampai ruang parkir seluas hampir dua ratus meter persegi mesti ditutup. Kalau hanya selusin saja kan bisa kursi diatur di muka unit seperti biasanya. Kebiasaan Mr. Jack setiap Jumat petang selalu menerima banyak tamu. Gadis gadis belia. Ini kalau pas sang nyonya pulang ke Panama. Hidupnya nampak selalu penuh warna dan ceria, terutama di akhir pekan. Apa lagi jika sendirian tanpa nyonya, hidup seolah begitu bebas dan merdeka. Tanpa tekanan, tanpa pengawasan, kapan lagi.

Dari unit apartemen saya di lantai satu, saya bisa ikut mendengarkan musik musik Amerika Latin mengalun ringan. Kadang kadang kedengaran tawa ceria wanita wanita belia itu, lepas berderai tanpa beban. Pesta yang mengasyikkan rupanya. Irama tango, busanova, reggae, samba berganti ganti. Lumayan bisa ikut menikmati dari kamar. Sekali sekali terdengar selingan jeritan jeritan manja. Hanya ada beberapa gelintir pria di bawah sana. Saya bisa melihatnya jelas dari jendela di ruang dapur. Termasuk Mr. Jack yang selalu mengangguk anggukkan kepala. Dia memang masih muda, umurnya mungkin pertengahan empat puluhan. Anggukan kepalanya ritmis teratur mengikuti musik. Seperti tarian burung derkuku di sarang perawan. Beberapa wanita muda itu berganti ganti menyandarkan tubuh dan membelai belai badan Mr Jack yang kekar. Mungkin burungnya ikut mengangguk angguk ketika wanita wanita itu ada yang duduk di pangkuan. Mujur tak dapat ditolak, rejeki tak dapat diingkari. Nasib orang lain lain, tak bisa semuanya seperti Mr. Jack. Edaaaan ah.

Jam sepuluh malam irama musik yang mengalun lembut mulai berganti. Semakin mendera menghentak hentak dengan keras. Bumi semakin panas. Jeritan dan tawa riang saling berganti di antara suara musik yang menggelegar. Mulai agak mengganggu suara suara musik itu. Saya tak tahu bagaimana dengan penghuni apartemen yang lain. Sebagian tadi saya lihat keluar. Mungkin ada acara akhir pekan, atau menghindari kebisingan pesta itu. Jam setengah sebelas saya turun menemui satpam. Menyerahkan kunci mobil, minta tolong agar mobil bisa dimasukkan setelah pesta usai. Salah satu satpam, Hendri, yang usianya sudah menjelang enampuluh, nampak asyik duduk di ruang parkir sambil mengangguk angguk. Dia kecipratan minuman karena saya lihat pegang bir San Miguel di tangannya. Saya bilang ke satpam kalau saya mau tidur. Penghuni penghuni lain mungkin juga mau istirahat. Kalau bisa musiknya di rendahkan sedikit. Dia hanya mengangguk angguk mengikuti musik. Sementara sebagian wanita itu dengan sigapnya menari mengikuti irama musik yang menghentak panas. Pesta memanas bergairah.

Saya langsung tertidur karena capai. Jam setengah dua pagi saya terbangun karena suara musik yang masih keras membahana. Jeritan jeritan manja dan suara musik keras memekakkan telinga. Saya tilpon satpam agar suara musik bisa dikecilkan. Tak ada perubahan. Suara musik dan jeritan jeritan manja jalan terus. Rawe rawe rantas malang malang putung. Yeng penting hepi hepi terus. Jam dua saya merasa lapar. Buka kulkas ternyata hampir kosong. Tak ada apa apa, kecuali ikan kering kecil kecil dalam bungkus plastik. Biasanya saya pakai untuk masak sayur terong kesukaan saya. Saya selalu bilang sama Nyi untuk tidak menggoreng ikan kering di apartemen. Baunya menganggu tetangga.

Tiba tiba saja ide itu hadir. Tak ada keinginan lagi untuk makan malam. Tetapi memanfaatkan ikan kering (teri) itu untuk menetralisir suara suara musik yang mengganggu. Tanpa pikir panjang saya mulai menyiapkan strategi. Jendela kaca di dapur saya buka sedikit biar angin bisa keluar masuk. Kemudian saya ambil dua genggam teri dan saya goreng dengan api yang tidak terlalu panas. Biar bisa tahan lama dan mengeluarkan bau sedap. Mulanya tak ada reaksi apa apa, biasa saja. Tetapi sepuluh menit kemudian, suara musik mereda. Senyap sejenak. Mereka saling bicara dalam bahasa Tagalog dan Inggris. Mungkin mempertanyakan asal bau. Saya matikan kompor gas beberapa saat kemudian. Bau itu rupanya telah menyebar ke seluruh penjuru ruangan di lantai bawah. Jam setengah tiga saya tidur kembali. Suara musik telah mereda. Sebagian tamu pesta pulang meninggalkan arena. Mungkin karena tak tahan bau ikan kering itu. Tak peduli saya. Hanya kedengaran beberapa orang masih ngobrol di bawah. Tetapi tak ada lagi suara yang mengganggu itu.

Jam dua belas siang harinya saya turun. Mau berangkat golf. Ketemu Mr. Jack yang sedang membersihkan sisa sisa pesta di depan unitnya dibantu Hendri si satpam. Saya menyapa ringan. “Hi guy, enjoyed the party last nite?”. Dia hanya tersenyum kecut. Mungkin tahu saya yang menggoreng teri itu. Tak peduli, tak saya pikirkan. Peristiwa itu sudah berlalu beberapa tahun silam. Saya dan Nyi selalu menghindari menggoreng ikan asin di apartemen. Bisa diprotes penghuni lain, terutama orang Kaukasia yang tak kenal ikan asin.

Akhir pekan kemarin saya ingat peristiwa pesta itu karena insiden kecil berkaitan dengan ikan asin lagi. Malam Sabtu saya makan di rumah makan Jepang, dan makan yaki saba, ikan mackerel yang digoreng gurih sekali. Esoknya saya coba cari di supermarket. Pengin nyoba bikin sendiri di rumah. Ketemu ikan yang hampir sejenis. Hari Sabtu siang saya suruh Feli, pembantu untuk menggoreng ikan itu. Hanya sesudah itu dia juga menggoreng ikan kering, nggak tahu ikan apa. Yang jelas bukan teri. Baunya khas walau tak setajam bau ikan asin pada umumnya saat di goreng. Dia saya suruh membuka semua jendela agar bau cepat hilang. Saya masuk kamar dan tertidur sore itu.

Jam lima terbangun karena suara agak gaduh di koridor depan unit saya. Rupanya Cynthia tetangga saya sedang sibuk menyemprot koridor dengan refresher dan bicara dengan pembantunya dalam bahasa Tagalog. Feli, pembantu saya sudah pulang. Pengin keluar, say hallo dan sorry ke Cynthia, saya urungkan. Mau ngomong apa? Bau ikan asin digoreng memang kadang kadang saja muncul di apartemen itu. Entah dari unit yang mana. Seolah ada giliran berganti ganti masak ikan asin. Buat orang Asia Tenggara, mungkin susah melepaskan diri dari ikan asin. Ibarat krisis politik apapun yang melanda salah satu negeri di Asia Tenggara, asal orang masih bisa makan ikan asin, krisis itu tak akan berkepanjangan.

Mr. Jack diplomat Panama itu pasti tahu bagaimana orang Filipina dan Asia Tenggara mencintai ikan asin. Dia waktu itu sudah bertahun tahun dinas di Manila. Dia juga tak protes ketika saya sengaja menggoreng teri saat dia pesta. Tetapi mungkin tahu memang kalau saya menggoreng teri untuk memberi isyarat agar jangan gaduh menjelang fajar pagi. Saya sebenarnya tak tega melakukannya saat itu. Itulah pilihan diplomasi terakhir dari pada bolak balik protes lewat satpam. Habis pesta dengan suara bergemuruh kok sampai menjelang fajar pagi. Apa boleh buat. Mr. Jack kemudian pindah tugas di perwakilan Panama di US. Terbebas dari beban tekanan bau ikan asin.

Jika ingat peristiwa itu saya hanya bisa berandai andai minta maaf. Sori sori Jack. Hepi hepi kok tak pakai basa basi. Tak gorengke gereh teri.
Salam
Ki Ageng Similikithi

Sunday, August 22, 2010

Penghargaan

Hati berdesir ketika nama saya dipanggil. Tak tahu mengapa. Dengan tenang saya maju ke podium. Saya memakai setelan jas coklat dengan leher tertutup, seperti model jas para pemimpin Asia selatan. Acara penerimaan penghargaan pegawai di kantor saya di Manila bulan April 2010 lalu. Saya telah menyelesaikan masa kerja sepuluh tahun. Siang itu acara mulai jam dua siang. Walau hawa di luar panas menyengat,aula itu terasa sejuk. Banyak teman dan staf lain yang menerima penghargaansiang itu. Bahkan ada yang sudah menjalankan tugas selama tiga puluh lima tahun.

Bagi banyak orang mungkin hanya peristiwa biasa saja. Acara formalitas kantor. Tetapi bagi saya banyak yang terasa khusus. Ada alasan mengapa terasa khusus. Ketika pimpinan menyalami hangat, hati saya kembali berdesir. "Terima kasih apa yang telah anda lakukan selama sepuluh tahun terakhir. Sangat berarti bagi organisasi, bagi program yang anda pegang,dan bagi mereka yang membutuhkan uluran tangan kita". Saya tak bisa menjawab, suara saya hilang dalam lamunan masa lalu. Teringat masa silam ketika saya masih bekerja di lembaga pendidikaan tinggi di Indonesia. Bentuk penghargaannya memang hanya berupa pin dan vulpen dengan symbol organisasi. Tetapi kata kata lugas yang diucapkan pimpinan begitu berarti bagi saya. Dalam berbagai kesempatan sebelumnya, saat evaluasi program, dia sangat puas dan berterima kasih dengan perkembangan program yang saya pegang selama sepuluh tahun terakhir. Telah berkembang berlipat ganda dalam jangkauan kegiatan dan harga berbagai kegiatan proyek. Saya tak pernah mengharapkan pujian samasekali sejak awal. Tetapi pengakuan tulus itu membuat saya merasa jerih payah saya dihargai. Baik dalam melayani negara anggota atau menggalang dana dan kerja sama dengan organisasi2 lain.

Ingatan saya melayang sewaktu masih di tanah air. Begitu beda nuansa dan kenyataannya. Belum pernah sekalipun saya menerima penghargaan dan pengakuan seperti ini. Meski telah bekerja selama seperempat abad dan membawa pusat studi yang saya pegang tampil di dunia global. Yang lebih menyakitkan undangan dari kantor pemerintah daerah untuk menerima penghargaan pegawai, tidak pernah disampaikan ke saya. Sengaja dibekukan di kantor tempat saya mengajar. Saat upacara di kantor Gubernur, menurut teman dekat yang menghadiri upacara, nama saya dipanggil saat itu. Periistiwa itu berulang sampai dua kali, saat masa kerja lima belas tahun dan dua puluh tahun. Undangan itu sengaja tak disampaikan ke saya. Memang saya tak pernah mengharapkan penghargaan. Tetapi yang menyakitkan ada upaya merampas sesuatu yang layak saya terima. Sengaja undangan tidak disampaikan agar saya tidak hadir dalam upacara.

Kenaikan pangkat saya juga tidak pernah diproses selama enam belas tahun tanpa pemberitahuan apa apa. Walau saya mencoba menerima semuanya dengan sabar, akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan lembaga yang saya cintai. Setelah bekerja selama dua puluh lima tahun. Ah secara tak sadar saya juga butuh pengakuan dan penghargaan atas usaha dan jerih payah saya. Manusiawi . Saya juga menyadari kalau secara profesi, saya dibesarkan dalam lembaga tersebut.Tak perlu dan tak ada gunanya menghujat.

Di tahun 1979, masih ingat ketika akan naik pangkat dari 3 A ke 3B, jerih payah saya menyelenggarakan pertemuan profesi se Asia Pasifik secara sukses, tak bisa dimasukkan sebagai salah satu poin untuk kesetiaan pegawai untuk syarat kenaikan pangkat. Walau saya menyelenggarakannya untuk lembaga dimana saya bekerja. Sebagai ganti saya diminta ikut jadi panitia dies, seksi konsumsi,mengatur minuman dan makanan kecil saat upacara dies. Perasaan saya tertusuk waktu itu. Tetapi mau apa ? Orang berkuasa menelaah dan menerapkan peraturan. Menyelenggarakan pertemuan ilmiah internasional tingkat Asia Pasifik, tak diakui sebagai salah satu poin untuk naik pangkat. Tetapi jadi anggota seksi konsumsi acara dies yang sangat internal, justru diakui sebagai salah satu poin naik pangkat. Masih ingat saat itu saya harus ikut menata dan mengawasi minuman dan makanan kecil saat isitirahat acara dies.

Hati saya berontak. Tetapi tak bisa apa apa. Terima saja apa adanya. Aja kagetan,aja gumunan, dalane pancen lagi semono. Jangan kaget, jangan heran, jalannya memang baru segitu.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Sunday, July 25, 2010

It is boiling my friend - suara dari balik tirai besi

Hampir tengah malam ketika pesawat Biman Bangladesh Arline yang saya tumpangi mendarat di bandara Zia International Airport, Dhaka. Pertengahan delapan puluhan, lupa bulan dan tanggalnya. Jelas bukan musim panas. Hawa terasa sejuk merasuk badan meski saya memakai jaket kulit. Juga topi laken kesukaan saya. Topi laken selalu saya pakai saat bepergian. Hanya kesukaan semata mata. Saya baru sadar saat keluar dari imigrasi kalau lupa membawa scarf. Ini sebenarnya lebih penting. Padahal di Yogya saya selalu memakai scarf tipis warna biru atau kuning. Terutama saat memberi kuliah.

Sesudah lewat imigrasi dan pabean, saya bergegas keluar ke ruang penjemputan. Tak ada janji untuk dijemput. Pesan teleks yang saya terima di Yogya dari Jonathan, teman satu misi yang datang dari Washington, memberitahu agar saya langsung menghubungi counter hotel Sheraton. Ada pelayanan antar jemput. Tetapi agak terkejut ketika mengetahui tarip hotelnya, seratus tujuh puluh lima dolar semalam. Mahal untuk ukuran saat itu. Urung pesan hotel. Mau tukar dolar ke taka dulu. Beberapa counter tukar uang bersaing menawarkan jasanya. Saya menuju yang paling ujung. Diminta mengisi formulir dan tanda tangan. Kertasnya kumal seperti kertas buram. Saya hitung uang taka cepat cepat. Mau naik taksi ke kota cari hotel yang sedang taripnya.

Begitu keluar di ruang penjemputan, suasana terasa sesak dan hiruk pikuk. Banyak yang menawarkan taksi. Terkesan semrawut. Tiba tiba seseorang memanggil nama saya dari antara kerumunan orang. Terlihat Jonathan dengan kaos warna hijau melambaikan tangan. “Hi Ki”. Perawakannya yang tinggi dan wajah tampan seperti Pierce Brosnan, gampang sekali dikenali. Kami berpelukan akrab. Kami sudah kenal hampir sepuluh tahun, sering bersama dalam misi gabungan di banyak tempat, mulai dari Aceh, Padang, Kupang sampai Nepal. “Hi Jono, happy to meet you here”. Jono panggilan akrabnya, bilang kalau tinggal di Dhaka Midtown hotel. Saya sudah dipesankan kamar di sana. Kami menuju taksi, yang dibawa Jono dari hotel. Begitu mobil meninggalkan bandara, baru saya sadar kalau pulpen Parker saya, hadiah ulang tahun, ketinggalan saat tukar uang tadi. Tetapi malas mau turun lagi. Rasanya lega terbebas dari kerumunan orang.

Sampai di hotel sudah hampir jam satu pagi. Di daerah Gulshan. Kamarnya lumayan bagus. Saya bersebelahan dengan Jono di lantai 2. Tak sempat bicara banyak dengan dia. Terlalu capai. Dia datang pagi harinya. Katanya sudah ketemu James, anggota misi yang lain yang tinggal di Dhaka. James juga warga negara Amerika. Setahun terakhir tinggal di Dhaka, penanggung jawab proyek. Jono dan James bekerja untuk lembaga yang sama. Kami datang di Bangladesh untuk melakukan penilaian kesiapan menjadi anggota International Network for Rational Use of Drugs yang bersama sama kami bentuk. Masih ingat dulu kami bertiga membicarakan pertama kali usulannya saat makan malam di Korean Dragon Jakarta setahun sebelumnya. Jejaring internasional itu diresmikan setahun kemudian di Yogya, beranggotakan kelompok dari 4 negara di Asia dan 4 negara di Afrika.

Bangun pagi agak terperanjat saat membuka jendela. Burung gagak banya sekali di halaman dengan suara gaduh. Tak takut sama orang burung burung ini. Di Jawa sudah banyak punah karena pestisida. Kalau adapun jika berkicau dianggap pertanda akan ada orang meninggal. Jika kicauan gagak ini benar pertanda kematian, pasti sudah habis penduduk Dhaka ini, karena begitu banyak burung gagak yang berkicau gaduh sepanjang hari. Saya sama Jono makan pagi dikafe di lantai dasar. Banyak tamu, sebagian orang asing. Sempat kenalan dengan seorang tamu pria yang kamarnya satu lantai dengan kami. John, orang Inggris, seorang insinyur yang sedang menangani proyek jalan di tepi kota Dhaka. Mantan dosen politeknik.

Mulai bicara dengan Jono mengenai misi kami di Dhaka. Jono dan James sudah merencanakan siapa siapa yang akan ditemui dalam misi ini. Kami menyepakati lembaga lembaga mana dan siapa siapa yang akan ditemui, untuk membahas rencana pembentukan jejaring internasional tadi. Ada seorang tokoh senior Bangladesh, seorang national professor, yang namanya kondang dan sangat berpengaruh di Bangladesh dan di tingkat internasional saat itu. Profesor Nurul Islam. Kami sepakat akan menemuinya walau mungkin dia tak banyak punya waktu dengan inisiatif ini. Keterlibatannya akan sangat berpengaruh di kemudian hari. Kebetulan saya pernah bertemu dengan dia saat di NewCastle di tahun 1982.

Sesudah sarapan kami bertemu dengan James yang datang ke hotel. Rencana rinci misi selama di Dhaka semuanya pasti. Setelah misi di Dhaka, disepakati Jono terus ke Pakistan, saya dan James ke Nepal, diteruskan ke Indonesia. Jono nampaknya ingin menghindari menjalani misi bersama dengan James. Walau bekerja dalam organisasi yang sama, dua pribadi yang kontras. Jono pekerja ulet, berbahasa halus dan diplomatis. James agak angin anginan dan semau gue. Seorang pekerja lapangan yang handal. Kalimat kalimatnya selalu terbumbui dengan kata kata yang bisa menusuk lawan bicara.

Hari pertama seharian mengunjungi berbagai lembaga baik sendiri sendiri atau berkelompok. Ada pengalaman yang lucu ketika saya berkunjung ke salah satu lembaga penelitian di Universitas Dhaka. Guru besar yang saya temui, nampak gelisah saat bertemu saya. Katanya pada saat yang sama dia punya janji menerima misi dari Washington. Saya jelaskan bahwa saya mewakili misi itu. Ketika membaca kartu nama saya, dia balik terperanjat. “Are you Ki? I do not expect you are still this young” Beberapa kali kami saling komunikasi lewat surat dan tilpon. Belum ada email saat itu. Kami bedua satu profesi, farmakologi, dan sama sama mendapatkan gelar doktor dari UK. Saya berkesempatan melihat lihat fasilitas risetnya dan diskusi dengan beberapa peneliti yang sedang melakukan program doktor dibawah bimbingannya. Tahun tahun kemudian kami bersahabat dekat dengan professor Chaudhury. Beberapa tahun kemudian dia menjadi presiden universitas Dhaka.

Malamnya kami memutuskan makan malam di hotel saja. Saya Jono dan John, insinyur dari Inggris itu. Mau keluar malas. Hawa dingin. Hotel di daerah Gulshan, jauh dari pusat perbelanjaan. Sebagian besar yang makan malam juga rombongan ekspat yang sedang melakukan misi di Bangladesh. Tak sengaja berkenalan dengan tiga orang tamu, dua pria dan satu wanita. Mereka insinyur2 dari Moskow yang sedang mengerjakan proyek waduk. Nggak tahu waduk apa. Tak sempat cerita banyak. Bahasa Inggris mereka sangat terbatas. Satu orang bicara patah patah. Pria yang lain kelihatannya suka bicara, tetapi tak menguasai bahasa Inggris. Wanitanya nampak pendiam walau tatap matanya terkesan tajam. Tak bicara bahasa Inggris. Dia berambut blonde, kulit mukanya begitu putih hampir memucat. Begitu cantik tetapi agak pucat, saya bayangkan seperti Putri Salju. John orang Inggris itu nampak antusias mau ngobrol sama mereka. Jono yang selalu kalem tak begitu antusias. Tetapi saya melihat wanita cantik ini nampaknya selalu mencuri pandang wajah Jono, yang memang tampan seperti bintang film. Kami hanya ngobrol sebentar. Saya dan Jono akan bicara tentang hasil kunjungan hari itu.

Jam sepuluh selesai menyimpulkan hasil diskusi hari itu, saya masuk kamar. Di langit langit ada baling baling atau kitiran besar. Bunyinya tak keras tetapi konsisten seperti mesin. Saya merebahkan diri di atas tempat tidur beralaskan kain katun putih. Tidur tidur ayam. Tiba tiba secara tak sadar saya menjerit keras sekali. Mimpi buruk. Seolah ada helikopter mendarat dengan orang orang berwajah seram bersenjata lengkap mau membunuh saya. Rupanya suara kitiran angin itu yang membuat saya mimpi buruk. Pintu kemudian diketok keras dari luar. Ternyata penjaga hotel dan Jono berdiri dimuka pintu. “Are you OK?”. “Sorry I am having a nightmare”. Nampak tamu tamu dari Moskow juga kelihatan di luar. Mereka belum tidur, masih duduk duduk ngobrol di ruang duduk sebelah kamar saya.

Hampir jam sebelas saya masih membaca dokumen dokumen yang saya bawa ketika tiba tiba listrik mati. Gelap gulita. Hening sekali. Hanya terdengar suara dengkur dari kamar John, sang insinyur itu. Beberapa saat kemudian terdengar suara gaduh dalam bahasa Rusia. Nggak tahu Putri Salju itu berkata kata lantang, hampir berteriak. Mungkin memanggil petugas hotel. Saya keluar dengan lampu lilin. Petugas hotel belum juga nampak. Rupanya ada aliran listril yang nggak benar di hotel itu karena bangunan2 sebelah masih terang benderang. Petugas hotel datang beberapa saat kemudian. Mencoba mencari sekering di lantai itu. Ada di sudut ruang duduk. Suara ketukan keras mencoba membuka kotak sekering membangunkan John dan Jono. Mereka ikut datang ke kamar duduk. Saya dan petugas hotel mencoba membuka dan memperbaiki sekering yang anjlog itu. Tak lama kemudian lampu menyala kembali.

“Spasibo. Thanks”. Sang Puteri Salju nampak lega mengucapkan terima kasih. Mereka sejenak berbicara dalam bahasa Rusia. Kemudian salah satu pria mengungkapkannya dalam bahasa Inggris. Mereka ingin mengundang minum wodka malam itu. John insinyur dan mantan dosen politeknik itu dengan antusias mengiyakan. Dia kembali ke kamar ambil wiskhy. Saya menatap Jono, dia agak ragu. Sekedar sopan santun kami bergabung di ruang duduk itu. Jono mengenakan kaos panjang dengan kerah tinggi. Nampak atletis tubuhnya. Tidak seperti ke dua pria Rusia dan Inggris yang nampak gendut. Saya lupa nama mereka satu per satu. Jika tak salah ingat si wanita bernama Valentina. Mengingatkan nama astronot wanita pertama Uni Soviet Valentina Tereskhova di akhir tahun lima puluhan. Jelas astronot itu tak secantik Valentina si Puteri Salju ini.

Ketiga tamu dari Moskow itu dan John begitu antusias ngobrol sambil minum wodka. Dengan sopan saya bilang kalau tak biasa minum. Saya minum juice yang saya beli sore tadi. Juga buah jeruk yang saya beli di pasar saya keluarkan. Seperti pesta kecil kecilan. Mereka mengeluarkan caviar. Pembicaraan mereka terutama mengenai perubahan yang sedang terjadi di Uni Soviet. Tentang glasnost dan perestroika. Begitu berapi api salah satu pria itu bercerita dengan gerakan gerakan tubuh yang lucu. Perubahan besar akan terjadi sesaat lagi di Uni Soviet. Tak akan ada lagi Uni Soviet. “It is boiling my friend”. Berkali kali dia bilang, it is boiling, sambil kedua tangannya dibulatkan di depan dada dan tubuhnya berputar ke arah kiri. It is boiling. Kata kata itu yang saya ingat sampai sekarang. Kadang kadang terdengar seperti it is bowling. John nampak begitu terlarut dengan obrolan mereka. Di akhir kata it is boiling, selalu diikuti derai tawa mereka berempat. Nggak tahu apa yang diketawakan. Saya ikut tertawa karena seperti mendengar it is bowling.

Jono nampak tenang. Hanya minum sedikit. Saya tahu perilaku dia. Tak pernah mau bercanda urakan gaya bohemian. Juga tak sedikitpun memberikan reaksi walau Svetlana mencoba menarik perhatiannya berkali kali. Jono pria puritan. Istrinya Tina, jelita seperti bintang pemain film the Devil Wears Prada. Lewat tengah malam ketiga pria itu dan Svetlana sudah setengah mabuk. Jono nampak tidak tenang, pengin mundur. Ketika Svetllana duduk mepet ke arah Jono dan menawarkan wodka, Jono menghindar “ I am crashed”. Dia pamit masuk kamar. Svetlana beralih bersandar dan mendesak saya mencicipi wodka. Saya mencoba menolak halus. Tetapi akhirnya minum juga walau hanya seteguk. Setiap minum alkohol kepala saya rasanya berputar putar, tak dapat konsentrasi. Itu yang saya rasakan saat itu. Tak banyak bisa mengikuti pembicaraan dan gelak tawa mereka lagi. Masih terdengar juga. It is boiling. It is bowling. Sementara saya lihat John nampak asyik benar bicara dengan Svetlana, jarak bicara begitu dekat. Lewat jam satu malam, perut saya rasa nggak enak, mual. Ada alasan pamit. “My stomach is boiling”. Dari dalam kamar saya masih mendengar gelak dan tawa mereka. Obrolannya sudah tak karuan, kadang Inggris, kadang Rusia, sering campur.

Paginya saya dan Jono makan pagi di kafe. Dia bilang agar menghindari acara tak terencana dan obrolan tak karuan semalam. John bergabung kemudian. Saya berkelakar, awas agen agen Uni Soviet sering menjebak dengan wanita. Dengan enaknya si John yang usianya sudah lewat setengah abad itu menjawab. Itu yang saya tunggu, sampai jam dua pagi kok jebakan itu tak pernah dipasang. Saya dan Jono masih umur pertengahan tiga puluhan. Setiap kali pergi jauh yang kami ingat hanya anak sama isteri. Mana sempat mau mikir orang lain. Si John, ini orang sudah mau pension, malah menggebu cari perangkap. Edan, mungkin puber kedua. Saat ini kadang saya berpikir dengan sedikit kecewa, kok dulu nggak memanfaatkan kesempatan itu ya. Kapan lagi, kesempatan tak akan datang dua kali. Mungkin juga John berpikir begitu saat itu. Sudah lewat lebih dua puluh tahun. Tak guna disesali.

Esok malamnya kami bertiga, Jono, James dan saya ada acara makan malam di American club. Club ini bersebelahan dengan kedutaan Uni Soviet. Juga di daerah Gulshan atau Dalmonde. Kami bertemu ketiga tamu dari Moskow dan John di lantai bawah. Lebih baik pergi sendiri sendiri. Salah salah bisa dapat kesulitan nanti kalau kelihatan menyolok beramai ramai.

Peristiwa sudah lewat lebih dua puluh tahun. Yang paling saya ingat hanya ungkapan ‘It is boiling my friend”. Pesan singkat dari balik tirai besi.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi

Tuesday, July 6, 2010

Jarum jahit

Jarum jahit selalu berpasangan dengan benang. Tak bisa berfungsi sendirian. Bekerja kompak dalam tim menjalankan fungsi jahit menjahit. Benang jahit tanpa jarum, mungkin hanya bermanfaat untuk menerbangkan layang layang. Atau kadang kadang untuk membersihkan sela sela gigi. Saya selalu dekat dengan benang maupun jarum jahit sejak kecil. Paling tidak sewaktu menaikkan layang layang. Atau jika pakaian robek. Pakaian masih mahal saat itu. Jika ada yang sobek selalu dijahit sana sini. Perkenalan yang akrab dengan jarum jahit dan benang di masa kecil di Ambarawa. Mereka selalu tersedia di laci, menunggu dengan setia saat dibutuhkan kapan saja.

Empat puluh satu tahun lalu. Tepatnya Januari 1969. Malam malam saya gelisah mencari jarum dan benang jahit. Tak ada persediaan di laci, karena saya baru saja pindah ke Yogya dari Solo. Tinggal di pondokan di Gerjen. Hari hari itu sedang menjalani perploncoan di kompleks Ngasem, yang terkenal sadis. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Ibu kost sudah tidur sejak jam sembilan tadi. Tak pantas membangunkan orang hanya mau pinjam jarum dan benang. Dua kancing baju saya lepas. Baru ketahuan malam itu. Tak tahu bagaimana tadi tukang cuci mencucinya sampai kancing baju bercerai berai lepas semua. Pas diseterika mestinya dia tahu kalau ada kancing baju yang lepas. Mungkin tidak tahu. Tetapi hal yang mustahil. Pasti tahu tetapi pura pura tidak tahu. Didiamkan saja. Nyatanya, kancingnya ditaruh diatas baju yang terlipat rapi. Pembantu tua ini suka berpura pura bloon.

Saya putuskan untuk mencari jarum dan benang malam itu juga. Naik sepeda kearah selatan menelusuri jalan ke Taman Sari. Semua toko sudah tutup. Orang Yogya waktu itu memang suka tidur awal. Hanya ada tukang jual bakmi dan ronde di perempatan. Masih ada beberapa pembeli duduk duduk, makan bakmi atau minum ronde. Beberapa tukang becak masih asyik ngobrol sambil merokok di tepi perempatan.

“ Apakah ada jarum dan benang jahit?” saya bertanya datar dan sopan. Tak ada jawaban. Empat pria yang sedang minum ronde melihat saya sambil senyum, tetapi tak berucap sama sekali. Wanita muda, mungkin isteri penjual ronde itu, tertawa agak genit. Juga tak menyahut sepatah katapun. “Maaf, apakah punya jarum dan benang jahit ?’ Saya mengulangi pertanyaan sambil menunduk memberi salam. Kesan saya waktu itu orang Yogya kalau disapa tanpa memberi hormat, biasanya acuh dan tak akan mau menjawab. Ingat waktu menjemput teman plonco, Winarni, calon mahasiswi farmasi, dua hari sebelumnya. Saya bertanya ke ibu kost yang sudah sepuh, dan memanggilnya simbah. Dia malah mlengos dan acuh. Tetapi sewaktu saya sapa “ Nuwun sewu Eyang”, reaksinya berbeda sama sekali. Sangat hangat. “ We la, ana apa cah bagus?”. Hanya dengan sedikit mengubah kata kata, sudah dialem “cah bagus”. Edan ah. Tak ada ruginya mengganti kata kata. Di Ambarawa, yang namanya eyang itu ya simbah, titik. Sama saja. Biasanya usia lanjut dan giginya ompong.

Kali ini dengan menunduk memberi salam. Mengulangi pertanyaan dengan kata kata lebih halus, ‘Nuwun sewu, kagungan jarum kaliyan benang jahit?’. Saya harapkan penjual ronde, atau sang isteri pasti akan menjawab dengan enak. Diluar dugaan, wanita muda itu terkekeh genit. “Mahasiswa gek diplonco mau awan, kok bengi2 wis gluthukan golek jarum. Sing arep dijahit sapa ya ?” Mahasiswa batu diplonco tadi siang, sudah cari jarum. Mau menjahit siapa ya?. Seorang pengunjung nyelethuk. “Yu cah enom saiki senengane dha jahit jahitan. Jaman edan.”Anak muda sukanya jahit menjahit sekarang. Serentak mereka ketawa. Tak tahu apa yang diketawakan. Ada gurauan menjurus ke masalah seronok. Konotasi seksual.

Tak saya hiraukan. Saya ngeloyor pergi. Saya jengkel sekali. Kalau tak punya, tinggal menjawab tidak punya. Kok malah melempar gurauan seronok. Saya kayuh sepeda kembali kearah utara. Jam setengah dua belas, kembali ke pondokan. Tak dapat jarum maupun benang jahit. Tertidur pulas dan tak membayangkan apa lagi melakukan kegiatan jahit menjahit. Esok paginya saya berangkat plonco dengan baju sedikit terbuka. Tanpa dua kancing baju. Tak ada pengaruh apa apa.

Hari Minggu, 20 Juni 2010. Beberapa hari lalu. Saya bersama Nyi di Hanoi. Ada beberapa acara resmi yang saya harus ikut serta mewakili organisasi. Konperensi pertama, Lower Mekong Initiative Conference, hari Kamis dan Jumat minggu lalu, berjalan lancar. Diselenggarakan oleh departemen luar negeri Amerika dan pemerintah Viet Nam. Presentasi dan negosiasi berjalan lancar dengan delegasi negara2 Mekong dalam mengatasi penyebaran penyakit infeksi. Minggu esok masih ada berbagai agenda dan pertemuan antara organisasi saya dengan berbagai lembaga pemerintah Viet Nam. Tetapi semalam baru sadar kalau baju baju saya bersih tinggal yang kerahnya sesak. Susah untuk pakai dasi. Saya tak senang pakai dasi dengan kerah menganga karena kancing teratas nggak bisa dikancingkan. Baju2 ini saya beli sesudah tidak ada keharusan pakai dasi di kantor beberapa tahun lalu. Suhu ruang dipasang 26 derajat, tetapi tak harus pakai dasi. Untuk membantu mengurangi emisi hidrokarbon.

Tak ada persediaan jarum dan benang jahit di hotel seperti biasanya hotel berbintang. Saya juga lama nggak bawa persediaan saat bepergian. Jam sebelas siang saya pergi dengan Nyi ke Vincom Mall, mall terbesar di Hanoi. Lumayan walau tak sebesar mall mall di Manila. Bagus, bersih dan tertata rapi. Hampir semua barang bermerek tersedia di sana. Kami naik turun dari lantai satu sampai empat, sama sekali tak menemukan jarum dan benang. Juga tidak di supermarketnya. Malah beli beli barang yang tadinya tak terencana sama sekali. Bikin repot menjinjing tas belanja ke sana kemari.

Dalam ruang mall memang terasa sejuk karena AC. Tetapi hawa musim panas diluar begitu membakar. Sampai 40 derajad Celcius. Hari Sabtu kemarin kami jalan jalan berkunjung ke musoleum dan museum kediaman Ho Chi Min, hawa panas tak tertahankan. Nyi tak tahan, hampir saja kolaps. Isirahat beberapa lama dibawah naungan pepohonan di halaman. Tetapi panas begitu mendera. Keluar dari halaman museum langsung panggil taksi balik ke hotel. Waktu berangkat hanya bayar 25 000 dong. Pulangnya karena tahu Nyi tak sehat, dia minta 250 000 dong. Sama saja di mana mana, manusia selalu memanfaatkan kelemahan. Kami yang lemah dan butuh saat itu.

Sesudah makan siang kami keluar dari mall. Naik Hanoi taxi, yang katanya direkomendasi tak akan menipu, menuju Hanggai street dekat danau di tengah kota. Kompleks pertokoan dan tempat tujuan belanja. Berjalan keluar masuk toko cari jarum dan benang jahit. Hampir sejam kami berjalan dalam hawa yang begitu panas. Tanpa hasil. Terasa capai sekali, apalagi dengan bawaan belanjaan yang kami beli dari mall tadi. Kalau sudah begini baru berpikir ulang mengapa tak minta jarum sama petugas hotel saja. Mestinya mereka pasti punya persediaan di hotel. Setiap kali bertanya, selalu harus bersusah payah dengan bahasa isyarat menggambarkan jarum dan benang jahit. Hanya gelengan kepala acuh yang kami dapatkan. Orang Viet Nam memang jarang senyum. Tak seperti petugas penjaga toko di Manila.

Putus asa dalam kelelahan kami panggil taksi. Maunya kembali ke hotel. Sopir taksi pura pura tak tahu lokasi hotel. Putar putar di sekitar kompleks pertokoan Hanggai. Kami biarkan saja. Sambil lihat lihat kompleks pertokoan tradisional Hanoi. Tiba tiba saya melihat beberapa toko berderet dengan gulungan gulungan besar benang. Sopir saya minta berhenti. Dengan bahasa isyarat saya minta benang dan jarum jahit. Pemilik toko memberikan satu gulungan besar benang dan satu kotak jarum jahit, isinya mungkin ribuan. Tak akan habis seumur hidup. Saya minta gulungan kecil dan beberapa jarum. Agak lama menunggu. Seorang pria usia lanjut beranjak ke belakang dan kembali dengan gulungan kecil benang warna putih dan bungkusan kecil jarum jahit.

Akhirnya ketemu yang saya cari. Tertulis harga 10000 dong. Si penjual, pria muda itu minta 25 000. Tak ada gunanya tawar menawar. Masuk mobil kembali kami langsung ke hotel. Masuk ruang dingin. Lepas dari siksaan hawa panas dan keletihan. Masih untung ini naik taksi. Saya bayangkan kalau naik sepeda seperti empat puluh tahun lalu, mau jadi apa? Rum jarum. Sempat menyiksa pasangan usia lanjut seperti saya dan Nyi selama beberapa jam.
Salam hangat dari Hanoi
Ki Ageng Similikithi

Friday, June 11, 2010

Cekikikan di keremangan pagi

Masih remang remang ketika kami meninggalkan rumah pagi itu. Anak anak masih tidur lelap. Mereka masih duduk di sekolah dasar. Hari Minggu biasa bangun siang. Tahun 1983 waktu itu. Kami baru beberapa bulan pulang dari Inggris. Lupa bulan dan tanggalnya. Sesudah Nyi sembayang pagi, kami berdua jalan jalan. Hanya kebiasaan saja . Olah raga ringan pagi hari. Jalan jalan menyusuri jalan kampung di sekitar perumahan. Masih sepi waktu itu. Kebun tebu terhampar di sekitar kompleks perumahan Condongcatur Yogyakarta. Masih rimbun dan gelap. Sebentar lagi mungkin tiba musim tebang.

Agak malas sebenarnya pagi itu. Rasa kantuk belum hilang benar. Minggu lalu saat jalan pagi ada anak anak muda yang lepas begadang malam hari, meneriaki kami. “Sok berlagak kaya, jalan jalan pagi”. Panas hati mendengar ucapan kampungan itu. Mau jalan pagi mau enggak, mau berlagak mau enggak, bukan urusan mereka kan ? Jika anak anak itu mau mengurusi urusan mereka sendiri, saya yakin mereka tidak akan menganggur dan bergerombol semalam suntuk hampir tiap hari. Tak ada untungnya bereaksi. Tak perlu terpancing ucapan tak beradab itu. Apa lagi saya bersama Nyi saat itu. Rambut Nyi jadi agak kribo sepulang dari Inggris. Mungkin karena perubahan kelembaban. Masih nampak seksi. Anak anak muda itu kurang ajar bersuit suit.

Kami berjalan menelusuri jalan jalan kecil di antara kerimbunan pohon tebu. Awal musim hujan saat itu. Jalan tanah berpasir menjadi kering dan padat. Tak berdebu seperti di musim kering. Bagi yang tinggal di Yogya, musim hujan selalu lebih nyaman. Jalan tak berdebu. Kebun dan pepohonan nampak hijau subur. Jika pas tidak turun hujan, dan cuaca tidak terik, di tepian kota selalu terasa indah dan romantis. Aliran air di gorong gorong tepi jalan menimbulkan suara gemericik halus. Datanglah ke Yogya dan jalan jalan di pedesaan sekitar Yogya. Ada rasa damai menyelinap di sana. Pagi itu matahari belum muncul, hawa sejuk pagi hari, jalan jalan di sela sela kebun tebu, memang terasa damai dan romantis. Jika sendirian mungkin lamunan bisa melayang ke mana mana. Saya sama Nyi. Tak sempat melamun kemana mana. Hanya berjalan berdua. Kadang kadang berpegangan tangan. Sambil bicara pelan. Mana yang perlu saja. Kami jarang bicara intens. Kecuali jika membicarakan anak anak.

Di tikungan sebelah tenggara kebun tebu kami bermaksud belok masuk salah satu jalan kecil menembus kebun tebu menuju perkampungan. Tiba tiba ada suara berisik. Ada tawa kecil bernada manja. Selang seling antara suara sengal napas, bisikan lembut dan cekikikan manja. Saya pikir ada pejalan pagi datang dari arah berlawanan. Kira kira sepuluh meter di depan kami, saya lihat pasangan pria dan wanita sedang asyik berpangkuan di atas sepeda motor. Bermadu kasih secara intens. Berangkulan dan berciuman hangat. Saya mencoba tidak kaget dan tidak terperanjat. Aja kagetan lan aja gumunan. Di Inggris dulu, biasa lihat laki perempuan bermain cinta di muka umum. Yang saya heran, hari pagi gini, cium ciuman apa sudah sikatan sama cuci muka ? Orang yang sekedar ingin jalan pagi biasanya malas cuci muka. Nggak tahu mereka yang jalan jalan pagi sambil mau bermadu cinta.

Saya tahan Nyi untuk berhenti. Ingin belok ambil jalan lain. Tetapi dia rupanya ingin mengamati adegan erotik itu. Sudah mulai terang saat itu. Postur dan wajah mereka bisa terkenali tanpa teropong. “Itu tetangga satu kompleks kita. Suaminya bu Kinari”. Ujarnya penuh tanda tanya, seperti tak percaya akan pemandangan mengasyikkan itu. Saya tarik tangannya untuk menyingkir. Tetapi rupanya dia benar benar ingin memastikan siapa mereka. Kira kira tiga menit, pengamatan selesai. Hampir pasti itu suami ibu Kinari, tetangga di kompleks. Tetapi siapa wanita sintal naik motor warna hitam, dengan pakaian olah raga jambon itu ? Tak tahulah. Siapapun dia saya tak mau tahu. Bukan urusan dan bukan masalah saya.

Angin bertiup pelan. Matahari pagi mulai menyorot langit. Angin sepoi di luar, angin lembut di dalam bersatu dalam jiwa. Paling tidak saat itu. Di ujung jalan sepi itu. Sepasang pria dan wanita asyik bermadu kasih di antara kerimbunan pohon tebu. Dalam perjalanan pulang saya ingatkan Nyi untuk tetap tutup mulut. Kasihan ibu Kinari yang begitu pendiam. Kebetulan suami isteri bersifat pendiam. Paling tidak jika tidak bersama si pengendara motor hitam itu, pak Kinari selalu pendiam. Tetapi di jalan sepi apalagi diantara gemerisik daun tebu, sifat pendiamnya kok berubah total. Sergap sampai lumat. Edaaan.

Kami berjalan pulang ke rumah. Hanya berjarak 500 meter dari rumah kami. Nyi masih saja bertanya tanya. Saya ingatkan, jangan diungkit ungkit. Bisa kuwalat, ketularan. Kutukan. Ingat petuah Wo Sura Jaeni, sewaktu saya kecil dulu, saat bersama dia mengintip pasangan pria dan wanita yang bukan suami isteri, mandi bersama di sebelah barat kebun kami di Ambarawa. “Tutup mulut, jangan cerita sama siapapun. Bisa kuwalat, ketularan nanti”.

Yang saya heran sampai kini, berciuman hangat lumat sepagi itu sama pacar gelap, apa bekalnya?. Makan permen pagi hari, bisa sakit perut. Tanpa permen mungkin rasanya seperti saling sembur hawa mulut mematikan. Seperti semburan ular kobra. Bah ini bukan masalah sembur menyembur. Tak tahulah. Ini masalah berciuman dan bercinta denga pacar gelap di keremangan pagi hari.

Salam damai. Jangan suka mengintip orang bermadu kasih dengan pacar gelap. Bisa kuwalat.

Ki Ageng Similikithi