Saturday, November 29, 2014

Berlari hingga hilang pedih peri



Pagi yang cerah, ceria  dan indah. Angin sejuk bertiup ringan.  Kami murid murid sekolah di Ambarawa kumpul di lapangan batalion 440 (sekarang batalion kavaleri 2). Tahun 1963, saya duduk di bangku kelas satu  Taman Dewasa ( SMP Taman Siswa) Ambarawa. Hari ini hari istimewa. Ada ujian ketangkasan badan yang digelar setahun sekali untuk menguji kemampuan atletik anak anak sekolah menengah seluruh kawedanan Ambarawa. Jam setengah tujuh tadi saya sudah sampai di sekolah, di bagian utara kota, lalu baris ramai ramai berangkat ke selatan kira kira 1.5 km. Saya lihat Irma, memakai kaos warna hijau daun. Pas sekali warnanya, biasanya dia akan tanya gimana Ki patut enggak ?  Tak sempat bicara pagi itu. Semua pikiran tertuju ke ujian ketangkasan badan.

Tidak ada beban sama sekali bagi saya. Saya telah menunggu saat ini sejak berbulan lalu. Tiap pagi selalu lari pagi. Sore hari latihan sprint di sekeliling rumah. Ada tempat khusus untuk lompat jauh dan lompat tinggi di dekat kandang sapi dan tempat latihan tolak peluru di kebun belakang rumah.  Tidak  semua memakai sepatu olah raga. Sepatu olah raga termasuk barang mewah waktu itu. Saya memakai celana pendek dril abu abu. Agak panjang sampai di atas lutut. Tidak ada ikat pinggang. Celana ini menggunakan serempang untuk menggantungnya di pundak.  Serempang itu sudah saya turunkan dan lilitkan di pinggang untuk mengganti sabuk. Benik celana yang longgar saya perkuat dengan peniti besar untuk mengikat kedua sisi celana di bagian depan.  Semua sudah disiapkan meski tidak ada sabuk. Saya memang belum pernah mempunyai atau memakai sabuk. Pagi itu saya benar benar merasa siap untuk unjuk gigi kemampuan atletik.

Teman teman nampak serius sekali, seperti menanggung beban. Hal yang tidak perlu sebenarnya. Lulus atau tidak, tidak akan mempengaruhi rapot. Budiyana, teman dari Bandungan, yang biasanya gaduhnya nggak karuan diam seribu bahasa. Untung teman sebelah bangku,  juga berdiam diri, tetapi sesekali saya lihat tangan dan kakinya bergerak secara otomatik seolah sudah turun di lomba.  Tidak semua harus mengikuti nampaknya oleh karena banyak teman yang sekedar menonton dan meramaikan. Prestasi atlet atlet papan atas selalu menjadi bahan perbincangan hangat di sekolah. Sebagian mengetahui dari koran Suara Merdeka, sebagian kecil dari radio oleh karena radio masih terbatas sekali waktu itu. Kami sangat paham nama nama seperti Emil Zatopek, pelari marathon legendaris Cekoslovakia, yang memenangkan beberapa medali olimpiade. Ni Che Chin, pelompat tinggi dari Cina dengan lompatan 212 cm. Sarengat pelari cepat Indonesia yang memenangkan medali emas Asian Games 1962 di Jakarta. Sarengat yang akhirnya menjadi dokter ini juga peloncat tinggi, loncatannya di Manila tahun 1963 adalah 193 cm. Gurnam Sigh asal Medan yang memenangkan beberapa medali emas dalam Asian Games 1962 untuk lari jarak jauh. 

Saya hanya merasa agak tegang  menunggu giliran turun di lomba mana dulu. Ada sprint 80 meter, lompat tinggi, lompat jauh, lempar lembing dan tolak peluru. Marathon diselenggarakan terpisah oleh karena makan waktu sehari sendiri. Juga lari beregu 4 kali 100 meter. Ternyata saya bersama Budiyana dan  Untung harus ikut lari sprint 80 meter dulu. Banyak anak bergerombol di sana, sebagian besar mungkin hanya menonton dan sorak sorai menyemangati teman masing masing. Untung dapat giliran duluan. Lancar tanpa halangan, dia lari lepas di antara garis lurus ke arah utara. Kami semua bertepuk ramai. Giliran kedua teman sekelas saya anak putri, Giek namanya. Mereka bertiga, enggak tahu dari sekolah mana yang lain. Giek berambut keriting. Dia berlari  tanpa sepatu, begitu lepas dan bebas, beda dengan penampilan keseharian yang gemulai dan pendiam. Rambutnya pun begitu tegar tidak terusik angin saat berlari. Sayang di tengah jalur dia menginjak garis sebelah kanan. Moga moga tidak di diskualifikasi. Dia mencapai finish pertama.

Saya bersama Budiyana dengan seorang siswa dari sekolah lain mendapat giliran ke tiga. Pak Beny, guru olah raga kami, menjadi peniup peluit start. Begitu peluit berbunyi, saya melesat lari seperti anak panah lepas dari busur. Budiyana dan siswa yang lain itu tertinggal beberapa langkah di belakang. Lewat setengah jarak tempuh saya masih lancar berlari di depan. Kira kira 30 meter sebelum finish, ada rasa aneh di pinggang, ternyata serempang yang saya pakai mengganti sabuk, terlepas. Dengan sigap saya pegang celana sambal tetap berlari. Tiba tiba saja Budiyana melewati saya di sebelah kiri, dan teman yang satu lagi di kanan, juga akan menyusulnya. Belum tahu dia, jangan coba coba nDhul, saya menggenjot lari saya sambal memegang celana. Ada rasa menusuk di perut bagian kiri. Tak terasa awalnya, tetapi semakin pedih, semakin menusuk. Nampaknya peniti itu lepas dan ujungnya menusuk perut saya. Ini gila benar. Kalau jaman sekarang pasti orang bilang  ‘konspirasi sistematik, terstruktur dan masip”. Agak panik saya hanya beberapa meter menjelang finish. Hanya berdoa. Ingat puisi Khairil Anwar yang minggu lalu dibahas guru bahasa Indonesia. Berlari berlari, hingga hilang pedih dan peri. Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya yang terbuang. Tak perlu sedu sedan itu. Asal sampai garis finish. Lama sekali rasanya, seolah garis finis itu berada di luar dunia. Akhirnya saya mencapai finish bersamaan dengan teman satu tadi. Budiyana sampai paling awal. Berapa catatan waktunya ? Budiyana 11.5 detik, saya 12.5 detik untuk 80 meter. Memalukan harusnya 80 meter sekitar 11 detik. Rekor dunia 100 meter sekitar 10 detik lebih sedikit. Lunglai rasanya, celana ini bikin sial benar.

Giliran kedua tolak peluru. Tidak begitu hiruk pikuk yang nonton. Waktu sampai di lapangan tanding, saya liat kakak kelas saya Susmono, dengan gaya elegan melempar peluru  dengan lontaran tangan dari belakang. Tidak mendorongnya seperti layaknya orang tolak peluru dengan gaya menyamping atau membelakangi target.  Dia bisa melewati garis yang ditentukan, lupa berapa jaraknya.  Saya mendapat giliran kemudian, saya genggam erat peluru seberat 5 kg itu, dengan gaya menyamping saya dorong lempar ke depan. Not that bad. Lemparan saya bisa melewati garis, tidak terlalu jelek. Semangat tumbuh kembali. Budiyana tidak ikut ambil bagian, nggak tahu kenapa, dia lebih seneng jajan minum cao dipinggir lapangan. 

Giliran ketiga lompat tinggi. Peserta harus mampu lompat paling tidak 110 cm di sini. Ringan pikir saya. Saya toh biasanya bisa lompat sampai 115 – 120 cm. Masing masing peserta diberi kesempatan tiga kali. Lompatan pertama dengan gaya telungkup seperti anjing kecing. Salah satu kaki (kanan) naik duluan secara miring. Dengan ringan saya sudah diatas palang. Tinggal kaki sebelah yang belum naik. Ketika badan dan kaki kanan mulai turun diikuti kaki kiri, lagi lagi serempang celana ini yang mengganggu. Lepas dan menarik palang kayu itu. Saya terpuruk di pasir sambil menyumpah. Ada yang teriak, ulangi lagi, kurang tipis sekali. Saya ulangi lagi dengan gaya telentang membelakangi palang. Saya tidak biasa dengan gaya ini. Harusnya punggung merentang lemas, tetapi punggung saya membungkuk kaku. Tak aneh jika menyentuh palang kayu. Gagal lagi. Mau coba loncatan ke tiga sudah ragu ragu. Ada yang tidak beres. Loncatan tertinggi oleh kakak kelas dengan tinggi 135 cm.

Datang ke arena loncat jauh. Lumayan ramai. Untung dan Tarso,  teman saya sudah menyelesaikan loncatannya. Lumayan bagus. Mereka teriak agar saya ambil giliran saya. Sebenarnya sudah malas. Tetapi liat teman putri, Giek, bisa loncat ringan dan enak sekali, pengin juga saya ambil giliran saya. Budiyana dengan celana biru acuh di pinggir lapangan. Tak kelihatan dia berminat. Lebih menikmati bersiul siul sendirian. Ketika giliran sampai, saya merasa siap. Lompat jauh bukan sesuatu yang susah. Asal bisa mengambil momen tepat dengan irama lari saat sampai di papan loncat. Saya lari dengan sigap  dan meloncat di papan loncat dengan ringan sekali. Tiba tiba keseimbangan terganggu. Tangan saya memegang pinggir celana. Harusnya saya mendarat dengan tungkai duluan, lalu tubuh mengikuti. Lha ini kok salah satu kaki mendarat duluan, tubuh ikut terdorong ke depan muka saya mencium pasir. Bahasa Jawanya kejlungub. Jarak tidak mengecewakan. Cuma diketawakan orang banyak karena jatuhnya kok muka bisa ikut mencium pasir. 

Ujian ketangkasan badan gagal total bagi saya. Tetapi saya tetap mencintai atletik sampai sekolah menengah atas, kecuali marathon. Tidak punya napas panjang untuk lari marathon. Adik adik saya bahkan pernah lomba sampai tingkat kabupaten untuk marathon. Lebih tiga tahun kemudian menjelang akhir SMA di Solo, saya ujian olah raga lagi. Sama sekali tidak mengecewakan, senam palang dan koprol saya termasuk yang bagus di kelas dan diberi nilai 8. Biasanya di raport olah raga hanya dapat nilai 6 atau 7. 

Apakah anak anak sekolah sekarang masih berkesempatan tanding atlletik ? Hanya sering berpikir, mengapa anak anak sekolah ini suka sekali tawur. Mengapa mereka tidak lagi bersaing  sehat seperti atletik ?  Apakah tanding atletik antar sekolah sudah tidak lagi lajim ?  Indonesia memang nggak masuk percaturan di Asia di bidang atletik sekarang. Atletik biasanya didominasi oleh mereka mereka dengan disiplin dan etos kerja yang tinggi. Anak anak muda berlombalah di atletik, ini cermin kedisiplinan kalian.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi

Sunday, October 26, 2014

Parit Yang Mengering



Tengah hari di musim kering tahun 56. Saya masih duduk di kelas satu Sekolah Rakyat, desa Ngampin Ambarawa. Ramai suasana di dapur, para pekerja yang jumlahnya puluhan itu sedang makan siang. Mereka bekerja untuk peternakan sapi atau kebun kopi. Nggak tahu apa yang mereka bicarakan. Ada yang bersuara keras, ada yang bisik bisik. Suara memberondong dengan irama khas, nada sedikit menghejan, menerocos tanpa henti. Suara modin dukuh Lonjong di belakang rumah. Kami biasa memanggilnya Wa Modin yang sering ikut bekerja di kebun kami.
 “ Ashar sore ini ada ingsinyir (insinyur) dari Semarang mau datang. Mau ninjau pekerjaan saluran parit di depan”. Tak ada yang bersuara, dia tetap saja bicara. Saya tanya sama ibu kemudian, apa itu ingsinyir. Jawabannya ‘Orang pintar. kau harus belajar biar jadi ingsinyir’. 

Habis makan saya buru buru ke luar. Ke rumah Jumadi, teman sekelas di sebelah timur gereja, dan Kamto tetangga Jumadi. “ Ada orang pintar, ingsinyir mau datang, ashar nanti. Meninjau pekerjaan parit di depan”. Kami bersepakat melihatnya. Jam dua kami bertiga bersama Jumadi dan Kamto,  telah duduk di jembatan bambu, atau kreteg, di tepi jalan raya kira kira 100 meter depan  rumah saya. Diseberang selatan jalan terlihat Ratman yang duduk terpekur melihat mobil lewat. Enggan diajak gabung menyeberang jalan. Kami memang jarang main sampai  sampai menyeberang jalan raya Ambarawa Magelang. 

Dibawah kreteg, ada parit kecil dengan aliran air jernih dari bukit di belakang desa. Kami sering mencari ikan di bawah sana, di blumbang blumbang kecil itu. Paling dapatnya  ikan kotes atau wader. Parit kecil itu rimbun ditumbuhi semak belukar, bambu dan pisang di tepinya yang agak terjal. Tidak terlalu dalam, tidak lebih dari 3 meter. Seperti biasanya, anjing anjing saya selalu ikut ketika saya duduk duduk di jembatan itu, tidak tahu mereka mau cari apa. Toh mereka juga tidak paham siapa itu ingsinyir. Ketika salah satu anjing itu dijerumuskan dibawah, dan basah kuyup, dia  naik lagi dan mengibas kan tubuhnya di dekat kami. Tahu cara membalas dendam.

Jam tiga, dua mobil tiba dan berhenti ditepi jalan di seberang sekolah kami. Kira kira 70 meter dari tempat kami duduk. Salah satu mobilnya adalah Suburban warna abu abu. Beberapa orang turun dari mobil dan langsung ke tepi parit, disambut mandor dan para pekerja. Kami bertiga mendekati tempat itu. Saya bisa menebak mana yang ingsinyir diantara rombongan. Orang yang ditengah, sedikit gemuk berwajah tampan, dan paling banyak bicara, perintah ini itu. Celana hitam dan kemeja putih. Dia berdiri di lereng parit yang agak terjal itu. Tangannya menunjuk nunjuk ke berbagai arah, tempat pengerasan tebing parit dan buk yang menghubungkan kedua sisi tebing. Ada yang aneh. Setiap kali dia menunjukkan tangan, kakinya ikut naik, kadang kaki kiri, kadang kanan, badan bergoyang goyang. Kami bertiga heran setengah mati. Kamto berbisik, “ Ingsinyir ki nek nuding kok nganggo tangan karo sikil ya?”.

Tak lama rombongan itu di sana. Jam setengah lima sudah lengang. Rombongan ingsinyir dri Semarang sudah pulang. Para pekerja dan mandor DPU, sudah pulang ke rumah masing masing. Kami mendekati daerah yang ditinjau tadi. Dibawah,  semak semak ditebangi, juga rumpun pisang dan rumpun bambu yang rimbun. Kamto berdiri persis di tepi parit yang agak terjal bekas tempat berdiri sang ingsinyir. Dia mulai menunjuk tempat tempat di dalam parit layaknya seorang ingsinyir. Anehnya, kakinya serentak ikut naik, kiri kanan kiri kanan, disertai goyangan tubuh yang gontai. Batin saya ‘ Aneh bukan ingsinyir kok berlagak nunjuk nunjuk pakai tangan dan kaki”. Tidak berlangsung lama, bukan hanya tubuhnya bergoyang goyang, tetapi tubuh Kamto kemudian terhempas jatuh ke bawah, ke tumpukan dedaunan itu. Jumadi yang mengikuti berdiri di tempat  itu, badannya bergoyang langsung jatuh ke bawah, sebelum kedua tangannya dan kakinya menunjuk nunjuk. Saya berpikir, pantas toh mereka bukan ingsinygir, sehinggak begitu mudah bergoyang dan jatuh ke bawah. Saya tidak minat untuk berdiri di dinding terjal itu. Gambaran tubuh insinyir yang bergoyang, serta kemudian  Kamto dan Jumadi yang terlempar ke dasar parit, sudah cukup memberikan sinyal, sesuatu tidak berjalan normal. Something is not right.

Kami pulang masing masing tanpa kesimpulan apa apa. Jatuh di parit adalah peristiwa biasa yang hampir terjadi tiap hari buat kami bertiga.  Tidak perlu dipikir lebih lanjut. Yang menjadi pikiran saya, ingsinyir itu menunjuk pakai tangan dan kakinya ganti ganti. Apakah karena berdiri ditempat terjal sehingga posisi badan tidak stabil, atau suatu tradisi turun temurun seorang ingsinyir?. Ah tah perlu dipikir.  Habis mandi sore, mau makan, ibu saya bertanya “Wis weruh ingsinyir le?” Dengan lugas saya menjawab. “Wis, ning aneh ingsinyir ki nek tuding tuding nganggo tangan karo sikil”. Ibu saya agak terhenyak, tetapi tidak bertanya apa apa kecuali pesan ‘sing sregep le sinau’. Ibu memang bercita cita anak anaknya jadi ingsinyir kemudian.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Poyek DPU itu sudah rampung. Parit nampak lebih rapi. Dinding arah jalan raya semua di tembok. Di bawah setiap beberapa puluh meter, terutama ditempat yang menurun, dibangun dam kecil, mungkin untuk mengendalikan arus air saat banjir. Tidak ada semak belukar lagi, tidak ada rumpun bamboo atau rumpun pisang lagi. Hanya tersisa rumpun bambu di lahan orang tua kami. Beberapa bulan kami bertiga tersadar, blumbang blumbang kecil itu, dimana kami sering mancing dan mencari ikan, juga ikut hilang bersama normalisasi aliran parit. Kadang terasa aneh, aliran parit alami diganti dengan aliran buatan manusia, kok disebut normalisasi. Alamkah yang abnormal ? Atau proyek proyek  normalisasi itu yang sebenarnya abnormal. Tahun tahun berlalu, aliran air di parit semakin kecil, semakin mengering di musim kering. The drying water. Sebaliknya sering banjir di saat musim hujan. Tak bisa menyalahkan proyek normalisasi yang abnormal itu. Mungkin juga karena ludesnya pepohonan di perbukitan belakang desa kami.

Enam puluh tahun lewat. Saya datang kembali di tepi parit itu suatu sore beberapa waktu lalu. Jembatan bambu sudah ganti dengan jembatan beton yang dibangun tahun 74. Sore itu saya ingin memeriksa bagian mana dari parit itu yang paling pas untuk membuat jembatan kedua. Untuk jalur supplai logistik ternak sapi yang dimulai beberapa tahun lalu. Saya berdiri ditepi parit bersama dengan salah satu pekerja. Tiba tiba saja saya ingin turun ke dasar parit. Di dinding  parit yang agak terjal itu, kaki saya terasa gontai, saya angkat kaki kiri saya untuk mempertahankan keseimbangan. Tetapi tak ayal lagi, saya terjerembab ke dasar parit. Serentak ingat sang manusia pintar insinyir yang mengangkat kaki sambil menunjuk nunjuk dengan tangannya enam puluh tahun lalu. Mungkin peristiwanya hampir sama, hanya dia tidak sampai terjerembab. Ah saya  memang bukan insinyir.
Keinginan ibu saya almarhum tercapai, lima dari sembilan bersaudara menjadi insinyir, dua bersuamikan insinyur, dan hanya saya yang nyebal  tidak jadi insinyir, meski ujian masuk perguruan tinggi di tahun 69, saya diterima di ITB dan IPB. Saya menjadi  dokter dan mencintai profesi ini sampai purna tugas dua tahun lalu.

Semalam dalam acara peringatan kepergian bapak, ibu, kakak,  kakak ipar dan anak saya Moko, saya bertemu Jumadi, Kamto dan Ratman kembali. Jumadi masih bekerja sebagai petani, anaknya meninggal tertabrak mobil di jalan raya itu saat masih taman kanak kanak di tahun delapan puluhan, seperti saya kehilangan anak saya Moko. Kamto masih aktif sebagai kusir andong. Ratman juga bertani, mungkin sambil meneruskan profesi ayahnya pak Dulmuji almarhum, sebagai tukang cukur. Pernah saya ceritakan perihal pak Dulmuji sebelumnya, tukang cukur yang suka berbual, katanya Joko Tingkir itu dulunya tukang cukur di Demak Bintoro, sebelum jadi ratu.  Pertemanan tak lekang oleh perjalanan waktu. Juga ingatan akan insinyir itu. 

Salam damai,

Wednesday, December 18, 2013

Kang



Suatu waktu, dalam satu acara pertemuan kedinasan di Salatiga. Samar samar ingatanku. Waktu istirahat, seseorang memanggilku “Kang,  gimana kabarnya? Lama banget nggak pernah ketemu”. Saya terhenyak. Hanya seorang yang pernah memanggilku demikian. Panggilan akrab.  Itupun hanya kadang kala dan sudah lewat 30 tahun yang lalu.  Atie. Wanita yang anggun dan lembut. Dia kemudian bercerita. Tentang perjalanannya  selama ini. Tentang pengaturan obat obatan, tentang anak anak yang mengalami deficit mental, tentang wanita dalam politik. Perjalanan penuh warna. Penuh dinamika.  Tak bisa saya mengikuti semuanya. Lebih banyak  mendengarkan. Kadang bingung karena pertemuan tak terduga itu.

Habis pertemuan sore harinya. Saya menuju parkir mobil. Nginap di Ambarawa. Ada acara keluarga besar di Ngampin, di rumah sebelah gereja tua. Tiba tiba Atie, menjinjing tas warna ungu, menyusul. “Kang, ikut ya. Saya ingin liat rumah di Ambarawa”.  Sebelum saya menjawabnya, dia dengan sigap duduk di samping saya. Kebetulan nyetir sendiri. “Kita lewat Banyubiru saja. Ingin lihat Rawa Pening”. Saya mengikuti saja permintaannya. Dia bercerita terus. Bahkan mengingatkan sewaktu ketemu di satu hotel kecil, di desa di tepian Kota Wiesbaden, tahun 1988. Saya sedang berkunjung di Jerman ke Wiesbaden dan Erlangen waktu itu. Kami bicara sore sore di kebun belakang sambil menikmati kopi dan diskusi tentang penelitiannya. Dia datang khusus dari Bonn waktu itu.

Dia memang sedang menyusun disertasi di salah satu institute farmakologi klinik terkemuka di Eropa, dibawah bimbingan professor Helmut Kewitz. Dalam suatu konperensi internasional di Yogya, di tahun 86, professor Kewits mendadak menderita serangan jantung. Kami panik semua. Belum ada Intensive Care Coronary Unit waktu itu. Untung selamat, meskipun di saat perjalanan pulang menderita serangan ulang di India dan harus  evakuasi emergency.

Suasana mendung. Tetapi rumah sudah ramai penuh kerabat pada kumpul. Nggak tahu acaranya apa. Saya mencari Nyi, kok nggak kelihatan. Katanya di kamar sedang sibuk mempersiapkan pakaian. Bapak saya, duduk tenang di kursi tua itu. Memakai surjan dan blangkon model Yogya. Saya keluar masuk salaman dengan para kerabat. Atie sempat bersalaman dan kenalan dengan kerabat saya dan ngobrol tenang di ruang tengah. Sesaat dia bersalaman dengan Nyi. “ Ki beruntung bisa dapat pendamping  kamu”. Ungkapnya singkat sewaktu ketemu Nyi. Kemudian saya lihat Atie berdiam diri. Di sudut  halaman melihat bunga Desember  yang mulai mekar. Nampak termenung. Mengenakan gaun kekuningan. Agak pucat dalam suasana sore yang redup.  Dia kemudian memetik  bunga  bouginvila warna kuning.

Saya belum sempat bicara dengan Nyi. Para kerabat masih lalu lalang mempersiapkan pertemuan nanti malam. Di luar saya melihat kakak ipar saya menanyi keroncong dengan para pemusik yang akan main nanti malam. Sebagian antre mau mandi sore. Dengan air panas yang disiapkan dari dapur di belakang.  Dua orang gadis kecil, cucu keponakan menjinjing ember bersama sama menuju kamar mandi. Saya mengingatkan “Cepat ya jangan main main di kamar mandi”.  Tiba tiba saya melihat Atie, sudah memakai kimono dan menyandang handuk warna putih. Dia menuju kamar mandi. Wajahnya begitu redup.  Saya menyapanya “Nanti biar diantar sopir ke Salatiga, selesai acara”. Dia terdiam seribu bahasa. Matanya jauh menerawang. Dia tetap berjalan menuju kamar mandi. Ada dua  rumpun bouginvila di kiri kanan kamar mandi.  Sebelum sampai di kamar mandi, disebelah rumpun bouginvila itu, dia menoleh lagi. Wajahnya  nampak pucat. Tetapi dia tersenyum . Sangat anggun.

Tiba tiba saja saya terbangun. Sudah jam 600 lewat. Saya berteriak memanggil Nyi.
“Saya kok mimpi aneh”. “Ah mimpi pagi hari tak ada maknanya” katanya. Dia sedang sarapan dengan cucu saya
. “ Iya saya kok mimpi bertemu dengan mereka yang sudah almarhum ya ?.  Dr. Atie Wagiarti. Juga Bapak “.
Nyi membalas tenang. “ Nanti siang tak buatkan bubur”. 

Dr. Atie Wagiarti Soekandar, seorang dokter, akademisi dan aktifis. Beliau berpulang beberapa tahun lalu. Kami bertemu pertama kali di tahun 79 dalam kongres di Bali. Kemudian di tahun 85 di Yogya, saat mengantar kunjungan almarhum Dr. Midian Sirait, Direktur Jendral Pengawasan Obat masa itu  ke laboratorium saya.  Masih ingat waktu itu saya antarkan dia mencari topeng kayu di Nagan, dan kemudian cerita kalau akan mengambil doktornya di Bonn.

Perjalanan hidupnya  penuh warna, penuh dinamika, banyak aktif di luar bidang akademiknya. Selain sebagai  peneliti dan dosen di Universitas Padjadjaran, dia juga pernah menjabat sebagai salah satu Direktur di badan Pengawasan Obat dan Makanan RI.  Juga aktif diberbagai kegiatan sosial. Aktif di Yayasan Pantara yang bergerak dalam kegiatan untuk menolong anak anak yang menderita gangguan khusus kecerdasan, dibawah ibu Karlina Wirahadikusumah. Juga pernah aktif di Indonesian Centre  for  Women on  Politics.

Kami semua dikejutkan dengan berita mendadak di tahun 2008, yang mengabarkan kepergiannya. Kami semua merasa kehilangan seorang teman, seorang akademisi yang penuh perhatian dengan masalah masalah masyarakat.  Memang lama sekali kami tidak bertemu. Terakhir mungkin di pertengahan tahun sembilan puluhan di Jakarta.  Pagi tadi bertemu dengannya, dia datang hanya dalam mimpi yang samar. Catatan kecil ini untuk mengenangnya  kembali. Seorang teman yang penuh dedikasi untuk bidang ilmu dan masyarakatnya.  Perjalanan panjang penuh warna, karya dan pengabdian.

Selamat jalan Atie, semoga engkau selalu damai di sana. Kami semua selalu mengingatmu dan menyayangimu. My dear Atie, rest in peace and eternity.
Ki Ageng Similikithi

1
https://www.facebook.com/notes/ki-ageng-similikithi/kang/10152051358223467

Saturday, December 14, 2013

Percakapan santun


Wajahnya begitu santun. Pandangannya menatap ke luar lewat jendela yang terbuka lebar. Angin sejuk berembus lembut.  Akhir pekan yang cerah.  Tahun  delapan puluhan awal. Saya mengantar  seorang kerabat bertamu ke Salatiga. Di rumah peristirahatannya. Bapak tersebut, sebut saja namanya bapak Karyo, adalah pejabat Kepala Biro Kepegawaian propinsi salah satu dinas pemerintahan.  Sehari sebelumnya sudah memberikan waktu di akhir pekan untuk  menemuinya.

“ Dimas, berpuluh tahun saya telah mengamati perjalanan karier banyak pejabat di propinsi ini, sejak awal mereka masuk, sampai ke puncak. Perjalanan panjang penuh warna”.

Ucapannya lembut , sambil menarik napas panjang, seolah menggumam terhadap diri sendiri. Saya duduk di kursi seberang. Sementara kerabat saya duduk di kursi di dekat pak Karyo. Kerabat saya terbata menjawab, seperti tidak siap.

“Injiiiiiih pak. Mila kula sowan Bapak, badhe nyuwun pangestu” . Iya pak, makanya saya menghadap mohon restu.
“Tanpa diminta pun saya selalu memberi restu. Saya adalah abdi negara.  Kuajiban saya adalah mengabdi untuk negara”.

Kerabat saya semakin tidak siap memberi response. Kedua tangannya terselip diantara ke dua lutut. Badannya ikut bergoyang saat menganggukkan kepala berulang kali. Dengan gagap dia berkata.

“ Kawula sampun wonten luar Jawa 13 tahun. Nderek nyuwun penempatan wonten mriki”.
Saya sudah bertugas di luar Jawa selama 13 tahun. Mohon penempatan di daerah sini.
Katanya lirih menghiba.  Bahasa tubuhnya semakin menunjukkan jika dia dibawah angin posisinya. Hanya mengangguk angguk. Tidak  Mengangguk Angguk Sambil Berseru tri lili lili lili, seperti dalam lagu anak anak itu. Kedua tangannya semakin tenggelam di antara ke dua lutut.
“Dimas, sudah sampai saatnya sampeyan balik ke sini, lenggah dadi manggalaning praja,  ngayahi tugas narendra gung binathara”.  Duduk sebagai pejabat publik, menjalankan tugas mulia.  Kerabat saya semakin kehabisan perbendaharaan untuk berkata. Hanya bilang “ injih mekaten”, sambil mengangguk angguk pelan.

Pak Karyo memperbaiki posisi duduknya. Bersandar di kursinya. Sambil terus bicara tentang kuajiban dan tugas pegawai negeri. Matanya tetap menatap langit di luar, seolah mencari petuah dari langit. Beberapa kalimatnya masih teringat saya, seperti yang sering diutarakan dalam penataran P4. Kalimat kalimat itu begitu magis, seolah datang dari dunia sakral. Saya ikut terbawa, kedua tangan saya menyilang di dada  dan ikut mengangguk angguk. Tidak sesering kerabat saya.

Hampir setengah jam ritual itu berjalan khidmat. Dalam bahasa yang sangat santun. Penuh ungkapan indah pengabdian abdi negara. Ketika pak Karyo berhenti, dan mempersilahkan kami minum teh, saya menginjak kaki kerabat saya untuk berpamitan.  Dia mempersiapkan sesuatu. Amplop dengan garis  garis merah di tepi, par avion.

Pak Karyo masih menatap langit di luar sana. Sesekali menarik napas.  Tiba tiba setting ritual berubah. Kerabat saya masih dalam posisi duduk. Mendekatkan diri sambil menunduk.  Kedua tangannya bebas dari jepitan lututnya. Tetapi diantara jari tangannya menjepit amplop Par Avion itu.  Pak Karyo  tetap tak mengubah posisinya. Tak membuka kacamatanya.  Tetap memandang langit. Tetap bersandar di kursi. Tetapi jari jari tangannya dengan sigap menjepit amplop dari kerabat saya tadi.

Saya terkesiap. Kejadian berlangsung begitu cepat. Pak Karyo berujar. “Ah mbok nggak usah repot Dimas”, tetapi amplop langsung pindah tangan. Amplop ini biasanya untuk pos udara. Paling tidak butuh waktu seminggu jika untuk kirim surat ke luar Jawa. Tetapi pagi itu perjalanan amplop itu hanya berlangsung dalam detik.

Gratifikasi kadang tidak bisa dipisahkan dari kesantunan Jawa. Mungkin hanya ungkapan terima kasih semata. Tetapi kalau gratifikasinya rumah, itu sudah lain masalahnya. Entahlah apapun namanya, entah itu gratifikasi, glondong pengareng areng, memang produk budaya yang bisa menuju jalan sesat.

Salam damai
Ki Ageng

Monday, November 25, 2013

Sang Komandan



Dalam satu konperensi pers  mengenai  di tahun 2004 di Manila, seorang wartawan kantor berita pemerintah negara adidaya  Asia mencecar kami dengan pertanyaan, apa yang bisa anda lakukan dengan para pelaku dan pengedar obat palsu itu,  berapa banyak sumberdaya anda melawan mereka?  Boss agak tersentak dengan pertanyaan menusuk itu. Dia menjawab dengan tenang dan melempar inti pertanyaan ke saya, ‘He is the responsible officer in charge”.  Saya menjelaskan strategi  dan Rapid Alert System yang sedang kami kembangkan, dan meenghimbau agar pemerintahnya bisa bekerja sama.  Dengan nada meninggi saya menutup penjelasan, “I promise we will hunt down those criminals”. Boss saya agak  kaget mendengar nya. Di luar ruangan dia bertanya, apa maksud kata kata  saya. “Let me work out and get back to you”. 

Selang beberapa minggu kemudian, kami menyelenggarakan pertemuan  membahas masalah yang sama  di Hanoi. Malam malam di hari pertama, kira kira jam 1 pagi, ada tilpon berdering. Suara nyaring diseberang sana menanyakan mengenai masalah peredaran obat palsu, terutama anti malaria di Asia. What your organization has done so far? Is your organization sleeping and keep quiete on this issue?  Setengah ngantuk saya menjawab, organisasi kami punya berbagai program dan amunisi melawan peredaran obat palsu.  But you are wright, I am sleeping now,  its pass mid nite .  Not a good time for an interview.  Anda menghubungi kami lewat tengah malam, bukan saat tepat untuk wawancara. 

Erik, seorang perwira polisi dari salah satu negara Skandinavia mewakili lembaga kepolisian internasional sengaja kami undang dalam pertemuan tersebut. Kami belum sempat berbicara secara pribadi dengan dia. Hanya tahu dalam perkenalan di awal sidang dan saat dia presentasi menjelaskan programnya saja. Kemudian dia minta bertemu informal sorenya sesudah sidang selesai. Saya menyanggupi dan mengajak wakil saya Truls bertemu dia di coffee shop hotel. Erik ternyata  pribadi yang hangat, ramah dan mudah diajak diskusi. Agak terkejut ketika dia membawa hadiah sebotol anggur putih dengan merek dari lembaganya, lembaga kepolisian internasional.  Truls menginjak kaki saya ketika saya akan menerima botol anggur itu. Erik melihat keraguan kami. “No worry friends. This is a legal product from my organization. Not confiscated from raids”. Kami tertawa semua  dan bergurau tentang pemalsuan anggur. Kemudian  bicara santai mengenai kemungkinan kerja sama  operasi bersama. 

Beberapa waktu berlalu, Erik kembali ke negaranya dari kantor lembaga kepolisian internasional. Dia mendapatkan promosi menjadi kepala kepolisian wilayah di sana. Mungkin sama dengan Kapolda kalau di Indonesia. Truls, wakil saya pindah ke Fiji, kedudukannya digantikan oleh seorang staf putri yang tadinya pejabat tinggi di Mongolia.  Seorang perwira SY dari Inggris menggantikan kedudukan Erik, namanya John. Dia seorang perwira yang sangat berpengalaman dalam operasi sandi melawan kejahatan antar negara.
Dalam pertemuan di Manila tahun 2006, kami mulai membuat rencana strategis kerjasama antara dua organisasi untuk melawan peredaran obat palsu terutama anti malaria di Delta Mekong. Organisasi kami diwakili oleh Eva dan saya , penanggung jawab program malaria dan program obat obatan. Kami menyelenggarakan berbagai pertemuan dengan laboratorium laboratorium forensik  terkemuka di dunia dari Kanada, USA, Australia dan New Zealland. Menjelang salah satu pertemuan di Manila, di tahun 2007, John bilang kalau masa tugas di lembaga kepolisian antar negara sudah selesai dan harus kembali ke negaranya. Dia akan mengajak staf penggantinya.  

Ketika pertemuan koordinasi  terjadi, benar John membawa  kolega yang akan menggantikannya, seorang perwira polisi dari Perancis. Saya tidak bisa menutupi kekagetan saya ketika dia diperkenalkan, seorang wanita muda yang gemulai dan bahasa halus dengan  aksen Perancis yang khas. Dia lebih pantas  menjadi peragawati  atau bintang layar lebar kayaknya. Salah seorang pejabat senior  yang hadir sempat bertanya apa ranking dia di kepolisian negaranya, mungkin juga karena rasa kaget saja pertanyaan nggak pas ini meluncur.   Aline manjawab dengan tenang bahwa dia berpangkat kapten, tetapi sudah berpengalaman dalam investigasi forensic  dan  operasi  di lapangan.  

Kesan kami berubah total ketika dia mulai menjelaskan hasil hasil pemeriksaan forensik terhadap sampel sampel yang dikumpulkan. Analisisnya begitu tajam. Dia bisa memperkirakan kira kira fasilitas pabrik seperti apa yang dipakai untuk memproduksi obat palsu tersebut. Termasuk menebak lokasi asalnya berdasarkan kandungan  serbuk benang sari tetumbuhan dan senyawa kapur  yang ada di dalam sampel.  Ada satu lokasi  di salah satu daerah pegunungan di Asia yang sangat mungkin menjadi  tempat produksi obat obat palsu tersebut. Bukti bukti ini lebih dari cukup untuk diberikan kepada kepolisian negara yang bersangkutan dan mengajak kerja sama operasi lapangan. 

Sejak itu secara resmi kendali operasi dipegang oleh Aline atas nama organisasinya. Kami hanya mendukung di belakang dan melakukan koordinasi dan penggalian sumberdayanya.  Beberapa rapat koordinasi yang rumit, terutama yang menyangkut kepekaan politik suatu negara, bisa dilalui dengan lancar. Di sebagian besar negara kegiatan ini mendapatkan perhatian khusus dari pemimpin politik, bahkan seorang wakil menteri dalam negeri suatu negara penting, ikut datang dan memberikan masukan akan harapan dari negaranya.

Operasi pertama berhasil gemilang.  Berjuta juta dolar obat palsu bisa diamankan secara serentak di negara negara yang ikut dalam operasi bersama ini. Organisasi di mana Aline bekerja, yang memimpin operasi, menyebarkan press release di media global. Organisasi dimana saya bekerja, sesuai dengan cara kerja yang telah dianut bertahun tahun, tidak membuat publikasi besar besaran.  Tetap low profile, walau sebagian besar beaya operasi datang dari program saya.  Tetapi tak ayal, radio ABC mewawancarai saya langsung, hanya diberi tahu setengah jam sebelumnya. Karena keberhasilan operasi pertama, maka kemudian disepakati untuk mengulang sekali lagi operasi bersama yang melibatkan tiga lembaga internasional, dan tiga lembaga  nasional dari  6 negara Asia tersebut.  Aline memegang kendali operasi berkoordinasi dengan lembaga regulasi dan penegak hukum di masing masing negara.  Operasi tahap ke dua juga berhasil gemilang, dan ditutup secara resmi dalam satu pertemuan di Yogyakarta.  

Tahun tahun berlalu, saya masih mengingat dengan jelas kegiatan operasi tersebut. Saya merasa beruntung bisa mendorong dan terlibat dalam operasi bersama yang melibatkan berbagai lembaga internasional dan lembaga lintas sektoral di berbagai negara.  Betapapun rancangan dan rencana yang telah dibuat dalam perencanaan, tetapi  faktor keberhasilan adalah komando operasi antar negara, yang dipegang Aline. Dia seorang komandan operasi yang sangat teliti dan berdedikasi. Pribadi yang hangat dan sabar dalam setiap tahap negosiasi.  Ketika angin politik menerpa bertubi tubi,  semua keputusan dikembalikan kepada para politisi untuk membuat keputusan, asalkan kegiatan kerja sama tetap berjalan untuk keamanan publik.  Ketika tiba waktunya saya meninggalkan organisasi saya karena pension, pengganti saya Klara mempelajari operasi ini dengan seksama dan memutuskan akan meneruskannya.