Hampir tengah malam ketika pesawat Biman Bangladesh Arline yang saya tumpangi mendarat di bandara Zia International Airport, Dhaka. Pertengahan delapan puluhan, lupa bulan dan tanggalnya. Jelas bukan musim panas. Hawa terasa sejuk merasuk badan meski saya memakai jaket kulit. Juga topi laken kesukaan saya. Topi laken selalu saya pakai saat bepergian. Hanya kesukaan semata mata. Saya baru sadar saat keluar dari imigrasi kalau lupa membawa scarf. Ini sebenarnya lebih penting. Padahal di Yogya saya selalu memakai scarf tipis warna biru atau kuning. Terutama saat memberi kuliah.
Sesudah lewat imigrasi dan pabean, saya bergegas keluar ke ruang penjemputan. Tak ada janji untuk dijemput. Pesan teleks yang saya terima di Yogya dari Jonathan, teman satu misi yang datang dari Washington, memberitahu agar saya langsung menghubungi counter hotel Sheraton. Ada pelayanan antar jemput. Tetapi agak terkejut ketika mengetahui tarip hotelnya, seratus tujuh puluh lima dolar semalam. Mahal untuk ukuran saat itu. Urung pesan hotel. Mau tukar dolar ke taka dulu. Beberapa counter tukar uang bersaing menawarkan jasanya. Saya menuju yang paling ujung. Diminta mengisi formulir dan tanda tangan. Kertasnya kumal seperti kertas buram. Saya hitung uang taka cepat cepat. Mau naik taksi ke kota cari hotel yang sedang taripnya.
Begitu keluar di ruang penjemputan, suasana terasa sesak dan hiruk pikuk. Banyak yang menawarkan taksi. Terkesan semrawut. Tiba tiba seseorang memanggil nama saya dari antara kerumunan orang. Terlihat Jonathan dengan kaos warna hijau melambaikan tangan. “Hi Ki”. Perawakannya yang tinggi dan wajah tampan seperti Pierce Brosnan, gampang sekali dikenali. Kami berpelukan akrab. Kami sudah kenal hampir sepuluh tahun, sering bersama dalam misi gabungan di banyak tempat, mulai dari Aceh, Padang, Kupang sampai Nepal. “Hi Jono, happy to meet you here”. Jono panggilan akrabnya, bilang kalau tinggal di Dhaka Midtown hotel. Saya sudah dipesankan kamar di sana. Kami menuju taksi, yang dibawa Jono dari hotel. Begitu mobil meninggalkan bandara, baru saya sadar kalau pulpen Parker saya, hadiah ulang tahun, ketinggalan saat tukar uang tadi. Tetapi malas mau turun lagi. Rasanya lega terbebas dari kerumunan orang.
Sampai di hotel sudah hampir jam satu pagi. Di daerah Gulshan. Kamarnya lumayan bagus. Saya bersebelahan dengan Jono di lantai 2. Tak sempat bicara banyak dengan dia. Terlalu capai. Dia datang pagi harinya. Katanya sudah ketemu James, anggota misi yang lain yang tinggal di Dhaka. James juga warga negara Amerika. Setahun terakhir tinggal di Dhaka, penanggung jawab proyek. Jono dan James bekerja untuk lembaga yang sama. Kami datang di Bangladesh untuk melakukan penilaian kesiapan menjadi anggota International Network for Rational Use of Drugs yang bersama sama kami bentuk. Masih ingat dulu kami bertiga membicarakan pertama kali usulannya saat makan malam di Korean Dragon Jakarta setahun sebelumnya. Jejaring internasional itu diresmikan setahun kemudian di Yogya, beranggotakan kelompok dari 4 negara di Asia dan 4 negara di Afrika.
Bangun pagi agak terperanjat saat membuka jendela. Burung gagak banya sekali di halaman dengan suara gaduh. Tak takut sama orang burung burung ini. Di Jawa sudah banyak punah karena pestisida. Kalau adapun jika berkicau dianggap pertanda akan ada orang meninggal. Jika kicauan gagak ini benar pertanda kematian, pasti sudah habis penduduk Dhaka ini, karena begitu banyak burung gagak yang berkicau gaduh sepanjang hari. Saya sama Jono makan pagi dikafe di lantai dasar. Banyak tamu, sebagian orang asing. Sempat kenalan dengan seorang tamu pria yang kamarnya satu lantai dengan kami. John, orang Inggris, seorang insinyur yang sedang menangani proyek jalan di tepi kota Dhaka. Mantan dosen politeknik.
Mulai bicara dengan Jono mengenai misi kami di Dhaka. Jono dan James sudah merencanakan siapa siapa yang akan ditemui dalam misi ini. Kami menyepakati lembaga lembaga mana dan siapa siapa yang akan ditemui, untuk membahas rencana pembentukan jejaring internasional tadi. Ada seorang tokoh senior Bangladesh, seorang national professor, yang namanya kondang dan sangat berpengaruh di Bangladesh dan di tingkat internasional saat itu. Profesor Nurul Islam. Kami sepakat akan menemuinya walau mungkin dia tak banyak punya waktu dengan inisiatif ini. Keterlibatannya akan sangat berpengaruh di kemudian hari. Kebetulan saya pernah bertemu dengan dia saat di NewCastle di tahun 1982.
Sesudah sarapan kami bertemu dengan James yang datang ke hotel. Rencana rinci misi selama di Dhaka semuanya pasti. Setelah misi di Dhaka, disepakati Jono terus ke Pakistan, saya dan James ke Nepal, diteruskan ke Indonesia. Jono nampaknya ingin menghindari menjalani misi bersama dengan James. Walau bekerja dalam organisasi yang sama, dua pribadi yang kontras. Jono pekerja ulet, berbahasa halus dan diplomatis. James agak angin anginan dan semau gue. Seorang pekerja lapangan yang handal. Kalimat kalimatnya selalu terbumbui dengan kata kata yang bisa menusuk lawan bicara.
Hari pertama seharian mengunjungi berbagai lembaga baik sendiri sendiri atau berkelompok. Ada pengalaman yang lucu ketika saya berkunjung ke salah satu lembaga penelitian di Universitas Dhaka. Guru besar yang saya temui, nampak gelisah saat bertemu saya. Katanya pada saat yang sama dia punya janji menerima misi dari Washington. Saya jelaskan bahwa saya mewakili misi itu. Ketika membaca kartu nama saya, dia balik terperanjat. “Are you Ki? I do not expect you are still this young” Beberapa kali kami saling komunikasi lewat surat dan tilpon. Belum ada email saat itu. Kami bedua satu profesi, farmakologi, dan sama sama mendapatkan gelar doktor dari UK. Saya berkesempatan melihat lihat fasilitas risetnya dan diskusi dengan beberapa peneliti yang sedang melakukan program doktor dibawah bimbingannya. Tahun tahun kemudian kami bersahabat dekat dengan professor Chaudhury. Beberapa tahun kemudian dia menjadi presiden universitas Dhaka.
Malamnya kami memutuskan makan malam di hotel saja. Saya Jono dan John, insinyur dari Inggris itu. Mau keluar malas. Hawa dingin. Hotel di daerah Gulshan, jauh dari pusat perbelanjaan. Sebagian besar yang makan malam juga rombongan ekspat yang sedang melakukan misi di Bangladesh. Tak sengaja berkenalan dengan tiga orang tamu, dua pria dan satu wanita. Mereka insinyur2 dari Moskow yang sedang mengerjakan proyek waduk. Nggak tahu waduk apa. Tak sempat cerita banyak. Bahasa Inggris mereka sangat terbatas. Satu orang bicara patah patah. Pria yang lain kelihatannya suka bicara, tetapi tak menguasai bahasa Inggris. Wanitanya nampak pendiam walau tatap matanya terkesan tajam. Tak bicara bahasa Inggris. Dia berambut blonde, kulit mukanya begitu putih hampir memucat. Begitu cantik tetapi agak pucat, saya bayangkan seperti Putri Salju. John orang Inggris itu nampak antusias mau ngobrol sama mereka. Jono yang selalu kalem tak begitu antusias. Tetapi saya melihat wanita cantik ini nampaknya selalu mencuri pandang wajah Jono, yang memang tampan seperti bintang film. Kami hanya ngobrol sebentar. Saya dan Jono akan bicara tentang hasil kunjungan hari itu.
Jam sepuluh selesai menyimpulkan hasil diskusi hari itu, saya masuk kamar. Di langit langit ada baling baling atau kitiran besar. Bunyinya tak keras tetapi konsisten seperti mesin. Saya merebahkan diri di atas tempat tidur beralaskan kain katun putih. Tidur tidur ayam. Tiba tiba secara tak sadar saya menjerit keras sekali. Mimpi buruk. Seolah ada helikopter mendarat dengan orang orang berwajah seram bersenjata lengkap mau membunuh saya. Rupanya suara kitiran angin itu yang membuat saya mimpi buruk. Pintu kemudian diketok keras dari luar. Ternyata penjaga hotel dan Jono berdiri dimuka pintu. “Are you OK?”. “Sorry I am having a nightmare”. Nampak tamu tamu dari Moskow juga kelihatan di luar. Mereka belum tidur, masih duduk duduk ngobrol di ruang duduk sebelah kamar saya.
Hampir jam sebelas saya masih membaca dokumen dokumen yang saya bawa ketika tiba tiba listrik mati. Gelap gulita. Hening sekali. Hanya terdengar suara dengkur dari kamar John, sang insinyur itu. Beberapa saat kemudian terdengar suara gaduh dalam bahasa Rusia. Nggak tahu Putri Salju itu berkata kata lantang, hampir berteriak. Mungkin memanggil petugas hotel. Saya keluar dengan lampu lilin. Petugas hotel belum juga nampak. Rupanya ada aliran listril yang nggak benar di hotel itu karena bangunan2 sebelah masih terang benderang. Petugas hotel datang beberapa saat kemudian. Mencoba mencari sekering di lantai itu. Ada di sudut ruang duduk. Suara ketukan keras mencoba membuka kotak sekering membangunkan John dan Jono. Mereka ikut datang ke kamar duduk. Saya dan petugas hotel mencoba membuka dan memperbaiki sekering yang anjlog itu. Tak lama kemudian lampu menyala kembali.
“Spasibo. Thanks”. Sang Puteri Salju nampak lega mengucapkan terima kasih. Mereka sejenak berbicara dalam bahasa Rusia. Kemudian salah satu pria mengungkapkannya dalam bahasa Inggris. Mereka ingin mengundang minum wodka malam itu. John insinyur dan mantan dosen politeknik itu dengan antusias mengiyakan. Dia kembali ke kamar ambil wiskhy. Saya menatap Jono, dia agak ragu. Sekedar sopan santun kami bergabung di ruang duduk itu. Jono mengenakan kaos panjang dengan kerah tinggi. Nampak atletis tubuhnya. Tidak seperti ke dua pria Rusia dan Inggris yang nampak gendut. Saya lupa nama mereka satu per satu. Jika tak salah ingat si wanita bernama Valentina. Mengingatkan nama astronot wanita pertama Uni Soviet Valentina Tereskhova di akhir tahun lima puluhan. Jelas astronot itu tak secantik Valentina si Puteri Salju ini.
Ketiga tamu dari Moskow itu dan John begitu antusias ngobrol sambil minum wodka. Dengan sopan saya bilang kalau tak biasa minum. Saya minum juice yang saya beli sore tadi. Juga buah jeruk yang saya beli di pasar saya keluarkan. Seperti pesta kecil kecilan. Mereka mengeluarkan caviar. Pembicaraan mereka terutama mengenai perubahan yang sedang terjadi di Uni Soviet. Tentang glasnost dan perestroika. Begitu berapi api salah satu pria itu bercerita dengan gerakan gerakan tubuh yang lucu. Perubahan besar akan terjadi sesaat lagi di Uni Soviet. Tak akan ada lagi Uni Soviet. “It is boiling my friend”. Berkali kali dia bilang, it is boiling, sambil kedua tangannya dibulatkan di depan dada dan tubuhnya berputar ke arah kiri. It is boiling. Kata kata itu yang saya ingat sampai sekarang. Kadang kadang terdengar seperti it is bowling. John nampak begitu terlarut dengan obrolan mereka. Di akhir kata it is boiling, selalu diikuti derai tawa mereka berempat. Nggak tahu apa yang diketawakan. Saya ikut tertawa karena seperti mendengar it is bowling.
Jono nampak tenang. Hanya minum sedikit. Saya tahu perilaku dia. Tak pernah mau bercanda urakan gaya bohemian. Juga tak sedikitpun memberikan reaksi walau Svetlana mencoba menarik perhatiannya berkali kali. Jono pria puritan. Istrinya Tina, jelita seperti bintang pemain film the Devil Wears Prada. Lewat tengah malam ketiga pria itu dan Svetlana sudah setengah mabuk. Jono nampak tidak tenang, pengin mundur. Ketika Svetllana duduk mepet ke arah Jono dan menawarkan wodka, Jono menghindar “ I am crashed”. Dia pamit masuk kamar. Svetlana beralih bersandar dan mendesak saya mencicipi wodka. Saya mencoba menolak halus. Tetapi akhirnya minum juga walau hanya seteguk. Setiap minum alkohol kepala saya rasanya berputar putar, tak dapat konsentrasi. Itu yang saya rasakan saat itu. Tak banyak bisa mengikuti pembicaraan dan gelak tawa mereka lagi. Masih terdengar juga. It is boiling. It is bowling. Sementara saya lihat John nampak asyik benar bicara dengan Svetlana, jarak bicara begitu dekat. Lewat jam satu malam, perut saya rasa nggak enak, mual. Ada alasan pamit. “My stomach is boiling”. Dari dalam kamar saya masih mendengar gelak dan tawa mereka. Obrolannya sudah tak karuan, kadang Inggris, kadang Rusia, sering campur.
Paginya saya dan Jono makan pagi di kafe. Dia bilang agar menghindari acara tak terencana dan obrolan tak karuan semalam. John bergabung kemudian. Saya berkelakar, awas agen agen Uni Soviet sering menjebak dengan wanita. Dengan enaknya si John yang usianya sudah lewat setengah abad itu menjawab. Itu yang saya tunggu, sampai jam dua pagi kok jebakan itu tak pernah dipasang. Saya dan Jono masih umur pertengahan tiga puluhan. Setiap kali pergi jauh yang kami ingat hanya anak sama isteri. Mana sempat mau mikir orang lain. Si John, ini orang sudah mau pension, malah menggebu cari perangkap. Edan, mungkin puber kedua. Saat ini kadang saya berpikir dengan sedikit kecewa, kok dulu nggak memanfaatkan kesempatan itu ya. Kapan lagi, kesempatan tak akan datang dua kali. Mungkin juga John berpikir begitu saat itu. Sudah lewat lebih dua puluh tahun. Tak guna disesali.
Esok malamnya kami bertiga, Jono, James dan saya ada acara makan malam di American club. Club ini bersebelahan dengan kedutaan Uni Soviet. Juga di daerah Gulshan atau Dalmonde. Kami bertemu ketiga tamu dari Moskow dan John di lantai bawah. Lebih baik pergi sendiri sendiri. Salah salah bisa dapat kesulitan nanti kalau kelihatan menyolok beramai ramai.
Peristiwa sudah lewat lebih dua puluh tahun. Yang paling saya ingat hanya ungkapan ‘It is boiling my friend”. Pesan singkat dari balik tirai besi.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Sunday, July 25, 2010
Tuesday, July 6, 2010
Jarum jahit
Jarum jahit selalu berpasangan dengan benang. Tak bisa berfungsi sendirian. Bekerja kompak dalam tim menjalankan fungsi jahit menjahit. Benang jahit tanpa jarum, mungkin hanya bermanfaat untuk menerbangkan layang layang. Atau kadang kadang untuk membersihkan sela sela gigi. Saya selalu dekat dengan benang maupun jarum jahit sejak kecil. Paling tidak sewaktu menaikkan layang layang. Atau jika pakaian robek. Pakaian masih mahal saat itu. Jika ada yang sobek selalu dijahit sana sini. Perkenalan yang akrab dengan jarum jahit dan benang di masa kecil di Ambarawa. Mereka selalu tersedia di laci, menunggu dengan setia saat dibutuhkan kapan saja.
Empat puluh satu tahun lalu. Tepatnya Januari 1969. Malam malam saya gelisah mencari jarum dan benang jahit. Tak ada persediaan di laci, karena saya baru saja pindah ke Yogya dari Solo. Tinggal di pondokan di Gerjen. Hari hari itu sedang menjalani perploncoan di kompleks Ngasem, yang terkenal sadis. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Ibu kost sudah tidur sejak jam sembilan tadi. Tak pantas membangunkan orang hanya mau pinjam jarum dan benang. Dua kancing baju saya lepas. Baru ketahuan malam itu. Tak tahu bagaimana tadi tukang cuci mencucinya sampai kancing baju bercerai berai lepas semua. Pas diseterika mestinya dia tahu kalau ada kancing baju yang lepas. Mungkin tidak tahu. Tetapi hal yang mustahil. Pasti tahu tetapi pura pura tidak tahu. Didiamkan saja. Nyatanya, kancingnya ditaruh diatas baju yang terlipat rapi. Pembantu tua ini suka berpura pura bloon.
Saya putuskan untuk mencari jarum dan benang malam itu juga. Naik sepeda kearah selatan menelusuri jalan ke Taman Sari. Semua toko sudah tutup. Orang Yogya waktu itu memang suka tidur awal. Hanya ada tukang jual bakmi dan ronde di perempatan. Masih ada beberapa pembeli duduk duduk, makan bakmi atau minum ronde. Beberapa tukang becak masih asyik ngobrol sambil merokok di tepi perempatan.
“ Apakah ada jarum dan benang jahit?” saya bertanya datar dan sopan. Tak ada jawaban. Empat pria yang sedang minum ronde melihat saya sambil senyum, tetapi tak berucap sama sekali. Wanita muda, mungkin isteri penjual ronde itu, tertawa agak genit. Juga tak menyahut sepatah katapun. “Maaf, apakah punya jarum dan benang jahit ?’ Saya mengulangi pertanyaan sambil menunduk memberi salam. Kesan saya waktu itu orang Yogya kalau disapa tanpa memberi hormat, biasanya acuh dan tak akan mau menjawab. Ingat waktu menjemput teman plonco, Winarni, calon mahasiswi farmasi, dua hari sebelumnya. Saya bertanya ke ibu kost yang sudah sepuh, dan memanggilnya simbah. Dia malah mlengos dan acuh. Tetapi sewaktu saya sapa “ Nuwun sewu Eyang”, reaksinya berbeda sama sekali. Sangat hangat. “ We la, ana apa cah bagus?”. Hanya dengan sedikit mengubah kata kata, sudah dialem “cah bagus”. Edan ah. Tak ada ruginya mengganti kata kata. Di Ambarawa, yang namanya eyang itu ya simbah, titik. Sama saja. Biasanya usia lanjut dan giginya ompong.
Kali ini dengan menunduk memberi salam. Mengulangi pertanyaan dengan kata kata lebih halus, ‘Nuwun sewu, kagungan jarum kaliyan benang jahit?’. Saya harapkan penjual ronde, atau sang isteri pasti akan menjawab dengan enak. Diluar dugaan, wanita muda itu terkekeh genit. “Mahasiswa gek diplonco mau awan, kok bengi2 wis gluthukan golek jarum. Sing arep dijahit sapa ya ?” Mahasiswa batu diplonco tadi siang, sudah cari jarum. Mau menjahit siapa ya?. Seorang pengunjung nyelethuk. “Yu cah enom saiki senengane dha jahit jahitan. Jaman edan.”Anak muda sukanya jahit menjahit sekarang. Serentak mereka ketawa. Tak tahu apa yang diketawakan. Ada gurauan menjurus ke masalah seronok. Konotasi seksual.
Tak saya hiraukan. Saya ngeloyor pergi. Saya jengkel sekali. Kalau tak punya, tinggal menjawab tidak punya. Kok malah melempar gurauan seronok. Saya kayuh sepeda kembali kearah utara. Jam setengah dua belas, kembali ke pondokan. Tak dapat jarum maupun benang jahit. Tertidur pulas dan tak membayangkan apa lagi melakukan kegiatan jahit menjahit. Esok paginya saya berangkat plonco dengan baju sedikit terbuka. Tanpa dua kancing baju. Tak ada pengaruh apa apa.
Hari Minggu, 20 Juni 2010. Beberapa hari lalu. Saya bersama Nyi di Hanoi. Ada beberapa acara resmi yang saya harus ikut serta mewakili organisasi. Konperensi pertama, Lower Mekong Initiative Conference, hari Kamis dan Jumat minggu lalu, berjalan lancar. Diselenggarakan oleh departemen luar negeri Amerika dan pemerintah Viet Nam. Presentasi dan negosiasi berjalan lancar dengan delegasi negara2 Mekong dalam mengatasi penyebaran penyakit infeksi. Minggu esok masih ada berbagai agenda dan pertemuan antara organisasi saya dengan berbagai lembaga pemerintah Viet Nam. Tetapi semalam baru sadar kalau baju baju saya bersih tinggal yang kerahnya sesak. Susah untuk pakai dasi. Saya tak senang pakai dasi dengan kerah menganga karena kancing teratas nggak bisa dikancingkan. Baju2 ini saya beli sesudah tidak ada keharusan pakai dasi di kantor beberapa tahun lalu. Suhu ruang dipasang 26 derajat, tetapi tak harus pakai dasi. Untuk membantu mengurangi emisi hidrokarbon.
Tak ada persediaan jarum dan benang jahit di hotel seperti biasanya hotel berbintang. Saya juga lama nggak bawa persediaan saat bepergian. Jam sebelas siang saya pergi dengan Nyi ke Vincom Mall, mall terbesar di Hanoi. Lumayan walau tak sebesar mall mall di Manila. Bagus, bersih dan tertata rapi. Hampir semua barang bermerek tersedia di sana. Kami naik turun dari lantai satu sampai empat, sama sekali tak menemukan jarum dan benang. Juga tidak di supermarketnya. Malah beli beli barang yang tadinya tak terencana sama sekali. Bikin repot menjinjing tas belanja ke sana kemari.
Dalam ruang mall memang terasa sejuk karena AC. Tetapi hawa musim panas diluar begitu membakar. Sampai 40 derajad Celcius. Hari Sabtu kemarin kami jalan jalan berkunjung ke musoleum dan museum kediaman Ho Chi Min, hawa panas tak tertahankan. Nyi tak tahan, hampir saja kolaps. Isirahat beberapa lama dibawah naungan pepohonan di halaman. Tetapi panas begitu mendera. Keluar dari halaman museum langsung panggil taksi balik ke hotel. Waktu berangkat hanya bayar 25 000 dong. Pulangnya karena tahu Nyi tak sehat, dia minta 250 000 dong. Sama saja di mana mana, manusia selalu memanfaatkan kelemahan. Kami yang lemah dan butuh saat itu.
Sesudah makan siang kami keluar dari mall. Naik Hanoi taxi, yang katanya direkomendasi tak akan menipu, menuju Hanggai street dekat danau di tengah kota. Kompleks pertokoan dan tempat tujuan belanja. Berjalan keluar masuk toko cari jarum dan benang jahit. Hampir sejam kami berjalan dalam hawa yang begitu panas. Tanpa hasil. Terasa capai sekali, apalagi dengan bawaan belanjaan yang kami beli dari mall tadi. Kalau sudah begini baru berpikir ulang mengapa tak minta jarum sama petugas hotel saja. Mestinya mereka pasti punya persediaan di hotel. Setiap kali bertanya, selalu harus bersusah payah dengan bahasa isyarat menggambarkan jarum dan benang jahit. Hanya gelengan kepala acuh yang kami dapatkan. Orang Viet Nam memang jarang senyum. Tak seperti petugas penjaga toko di Manila.
Putus asa dalam kelelahan kami panggil taksi. Maunya kembali ke hotel. Sopir taksi pura pura tak tahu lokasi hotel. Putar putar di sekitar kompleks pertokoan Hanggai. Kami biarkan saja. Sambil lihat lihat kompleks pertokoan tradisional Hanoi. Tiba tiba saya melihat beberapa toko berderet dengan gulungan gulungan besar benang. Sopir saya minta berhenti. Dengan bahasa isyarat saya minta benang dan jarum jahit. Pemilik toko memberikan satu gulungan besar benang dan satu kotak jarum jahit, isinya mungkin ribuan. Tak akan habis seumur hidup. Saya minta gulungan kecil dan beberapa jarum. Agak lama menunggu. Seorang pria usia lanjut beranjak ke belakang dan kembali dengan gulungan kecil benang warna putih dan bungkusan kecil jarum jahit.
Akhirnya ketemu yang saya cari. Tertulis harga 10000 dong. Si penjual, pria muda itu minta 25 000. Tak ada gunanya tawar menawar. Masuk mobil kembali kami langsung ke hotel. Masuk ruang dingin. Lepas dari siksaan hawa panas dan keletihan. Masih untung ini naik taksi. Saya bayangkan kalau naik sepeda seperti empat puluh tahun lalu, mau jadi apa? Rum jarum. Sempat menyiksa pasangan usia lanjut seperti saya dan Nyi selama beberapa jam.
Salam hangat dari Hanoi
Ki Ageng Similikithi
Empat puluh satu tahun lalu. Tepatnya Januari 1969. Malam malam saya gelisah mencari jarum dan benang jahit. Tak ada persediaan di laci, karena saya baru saja pindah ke Yogya dari Solo. Tinggal di pondokan di Gerjen. Hari hari itu sedang menjalani perploncoan di kompleks Ngasem, yang terkenal sadis. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Ibu kost sudah tidur sejak jam sembilan tadi. Tak pantas membangunkan orang hanya mau pinjam jarum dan benang. Dua kancing baju saya lepas. Baru ketahuan malam itu. Tak tahu bagaimana tadi tukang cuci mencucinya sampai kancing baju bercerai berai lepas semua. Pas diseterika mestinya dia tahu kalau ada kancing baju yang lepas. Mungkin tidak tahu. Tetapi hal yang mustahil. Pasti tahu tetapi pura pura tidak tahu. Didiamkan saja. Nyatanya, kancingnya ditaruh diatas baju yang terlipat rapi. Pembantu tua ini suka berpura pura bloon.
Saya putuskan untuk mencari jarum dan benang malam itu juga. Naik sepeda kearah selatan menelusuri jalan ke Taman Sari. Semua toko sudah tutup. Orang Yogya waktu itu memang suka tidur awal. Hanya ada tukang jual bakmi dan ronde di perempatan. Masih ada beberapa pembeli duduk duduk, makan bakmi atau minum ronde. Beberapa tukang becak masih asyik ngobrol sambil merokok di tepi perempatan.
“ Apakah ada jarum dan benang jahit?” saya bertanya datar dan sopan. Tak ada jawaban. Empat pria yang sedang minum ronde melihat saya sambil senyum, tetapi tak berucap sama sekali. Wanita muda, mungkin isteri penjual ronde itu, tertawa agak genit. Juga tak menyahut sepatah katapun. “Maaf, apakah punya jarum dan benang jahit ?’ Saya mengulangi pertanyaan sambil menunduk memberi salam. Kesan saya waktu itu orang Yogya kalau disapa tanpa memberi hormat, biasanya acuh dan tak akan mau menjawab. Ingat waktu menjemput teman plonco, Winarni, calon mahasiswi farmasi, dua hari sebelumnya. Saya bertanya ke ibu kost yang sudah sepuh, dan memanggilnya simbah. Dia malah mlengos dan acuh. Tetapi sewaktu saya sapa “ Nuwun sewu Eyang”, reaksinya berbeda sama sekali. Sangat hangat. “ We la, ana apa cah bagus?”. Hanya dengan sedikit mengubah kata kata, sudah dialem “cah bagus”. Edan ah. Tak ada ruginya mengganti kata kata. Di Ambarawa, yang namanya eyang itu ya simbah, titik. Sama saja. Biasanya usia lanjut dan giginya ompong.
Kali ini dengan menunduk memberi salam. Mengulangi pertanyaan dengan kata kata lebih halus, ‘Nuwun sewu, kagungan jarum kaliyan benang jahit?’. Saya harapkan penjual ronde, atau sang isteri pasti akan menjawab dengan enak. Diluar dugaan, wanita muda itu terkekeh genit. “Mahasiswa gek diplonco mau awan, kok bengi2 wis gluthukan golek jarum. Sing arep dijahit sapa ya ?” Mahasiswa batu diplonco tadi siang, sudah cari jarum. Mau menjahit siapa ya?. Seorang pengunjung nyelethuk. “Yu cah enom saiki senengane dha jahit jahitan. Jaman edan.”Anak muda sukanya jahit menjahit sekarang. Serentak mereka ketawa. Tak tahu apa yang diketawakan. Ada gurauan menjurus ke masalah seronok. Konotasi seksual.
Tak saya hiraukan. Saya ngeloyor pergi. Saya jengkel sekali. Kalau tak punya, tinggal menjawab tidak punya. Kok malah melempar gurauan seronok. Saya kayuh sepeda kembali kearah utara. Jam setengah dua belas, kembali ke pondokan. Tak dapat jarum maupun benang jahit. Tertidur pulas dan tak membayangkan apa lagi melakukan kegiatan jahit menjahit. Esok paginya saya berangkat plonco dengan baju sedikit terbuka. Tanpa dua kancing baju. Tak ada pengaruh apa apa.
Hari Minggu, 20 Juni 2010. Beberapa hari lalu. Saya bersama Nyi di Hanoi. Ada beberapa acara resmi yang saya harus ikut serta mewakili organisasi. Konperensi pertama, Lower Mekong Initiative Conference, hari Kamis dan Jumat minggu lalu, berjalan lancar. Diselenggarakan oleh departemen luar negeri Amerika dan pemerintah Viet Nam. Presentasi dan negosiasi berjalan lancar dengan delegasi negara2 Mekong dalam mengatasi penyebaran penyakit infeksi. Minggu esok masih ada berbagai agenda dan pertemuan antara organisasi saya dengan berbagai lembaga pemerintah Viet Nam. Tetapi semalam baru sadar kalau baju baju saya bersih tinggal yang kerahnya sesak. Susah untuk pakai dasi. Saya tak senang pakai dasi dengan kerah menganga karena kancing teratas nggak bisa dikancingkan. Baju2 ini saya beli sesudah tidak ada keharusan pakai dasi di kantor beberapa tahun lalu. Suhu ruang dipasang 26 derajat, tetapi tak harus pakai dasi. Untuk membantu mengurangi emisi hidrokarbon.
Tak ada persediaan jarum dan benang jahit di hotel seperti biasanya hotel berbintang. Saya juga lama nggak bawa persediaan saat bepergian. Jam sebelas siang saya pergi dengan Nyi ke Vincom Mall, mall terbesar di Hanoi. Lumayan walau tak sebesar mall mall di Manila. Bagus, bersih dan tertata rapi. Hampir semua barang bermerek tersedia di sana. Kami naik turun dari lantai satu sampai empat, sama sekali tak menemukan jarum dan benang. Juga tidak di supermarketnya. Malah beli beli barang yang tadinya tak terencana sama sekali. Bikin repot menjinjing tas belanja ke sana kemari.
Dalam ruang mall memang terasa sejuk karena AC. Tetapi hawa musim panas diluar begitu membakar. Sampai 40 derajad Celcius. Hari Sabtu kemarin kami jalan jalan berkunjung ke musoleum dan museum kediaman Ho Chi Min, hawa panas tak tertahankan. Nyi tak tahan, hampir saja kolaps. Isirahat beberapa lama dibawah naungan pepohonan di halaman. Tetapi panas begitu mendera. Keluar dari halaman museum langsung panggil taksi balik ke hotel. Waktu berangkat hanya bayar 25 000 dong. Pulangnya karena tahu Nyi tak sehat, dia minta 250 000 dong. Sama saja di mana mana, manusia selalu memanfaatkan kelemahan. Kami yang lemah dan butuh saat itu.
Sesudah makan siang kami keluar dari mall. Naik Hanoi taxi, yang katanya direkomendasi tak akan menipu, menuju Hanggai street dekat danau di tengah kota. Kompleks pertokoan dan tempat tujuan belanja. Berjalan keluar masuk toko cari jarum dan benang jahit. Hampir sejam kami berjalan dalam hawa yang begitu panas. Tanpa hasil. Terasa capai sekali, apalagi dengan bawaan belanjaan yang kami beli dari mall tadi. Kalau sudah begini baru berpikir ulang mengapa tak minta jarum sama petugas hotel saja. Mestinya mereka pasti punya persediaan di hotel. Setiap kali bertanya, selalu harus bersusah payah dengan bahasa isyarat menggambarkan jarum dan benang jahit. Hanya gelengan kepala acuh yang kami dapatkan. Orang Viet Nam memang jarang senyum. Tak seperti petugas penjaga toko di Manila.
Putus asa dalam kelelahan kami panggil taksi. Maunya kembali ke hotel. Sopir taksi pura pura tak tahu lokasi hotel. Putar putar di sekitar kompleks pertokoan Hanggai. Kami biarkan saja. Sambil lihat lihat kompleks pertokoan tradisional Hanoi. Tiba tiba saya melihat beberapa toko berderet dengan gulungan gulungan besar benang. Sopir saya minta berhenti. Dengan bahasa isyarat saya minta benang dan jarum jahit. Pemilik toko memberikan satu gulungan besar benang dan satu kotak jarum jahit, isinya mungkin ribuan. Tak akan habis seumur hidup. Saya minta gulungan kecil dan beberapa jarum. Agak lama menunggu. Seorang pria usia lanjut beranjak ke belakang dan kembali dengan gulungan kecil benang warna putih dan bungkusan kecil jarum jahit.
Akhirnya ketemu yang saya cari. Tertulis harga 10000 dong. Si penjual, pria muda itu minta 25 000. Tak ada gunanya tawar menawar. Masuk mobil kembali kami langsung ke hotel. Masuk ruang dingin. Lepas dari siksaan hawa panas dan keletihan. Masih untung ini naik taksi. Saya bayangkan kalau naik sepeda seperti empat puluh tahun lalu, mau jadi apa? Rum jarum. Sempat menyiksa pasangan usia lanjut seperti saya dan Nyi selama beberapa jam.
Salam hangat dari Hanoi
Ki Ageng Similikithi
Friday, June 11, 2010
Cekikikan di keremangan pagi
Masih remang remang ketika kami meninggalkan rumah pagi itu. Anak anak masih tidur lelap. Mereka masih duduk di sekolah dasar. Hari Minggu biasa bangun siang. Tahun 1983 waktu itu. Kami baru beberapa bulan pulang dari Inggris. Lupa bulan dan tanggalnya. Sesudah Nyi sembayang pagi, kami berdua jalan jalan. Hanya kebiasaan saja . Olah raga ringan pagi hari. Jalan jalan menyusuri jalan kampung di sekitar perumahan. Masih sepi waktu itu. Kebun tebu terhampar di sekitar kompleks perumahan Condongcatur Yogyakarta. Masih rimbun dan gelap. Sebentar lagi mungkin tiba musim tebang.
Agak malas sebenarnya pagi itu. Rasa kantuk belum hilang benar. Minggu lalu saat jalan pagi ada anak anak muda yang lepas begadang malam hari, meneriaki kami. “Sok berlagak kaya, jalan jalan pagi”. Panas hati mendengar ucapan kampungan itu. Mau jalan pagi mau enggak, mau berlagak mau enggak, bukan urusan mereka kan ? Jika anak anak itu mau mengurusi urusan mereka sendiri, saya yakin mereka tidak akan menganggur dan bergerombol semalam suntuk hampir tiap hari. Tak ada untungnya bereaksi. Tak perlu terpancing ucapan tak beradab itu. Apa lagi saya bersama Nyi saat itu. Rambut Nyi jadi agak kribo sepulang dari Inggris. Mungkin karena perubahan kelembaban. Masih nampak seksi. Anak anak muda itu kurang ajar bersuit suit.
Kami berjalan menelusuri jalan jalan kecil di antara kerimbunan pohon tebu. Awal musim hujan saat itu. Jalan tanah berpasir menjadi kering dan padat. Tak berdebu seperti di musim kering. Bagi yang tinggal di Yogya, musim hujan selalu lebih nyaman. Jalan tak berdebu. Kebun dan pepohonan nampak hijau subur. Jika pas tidak turun hujan, dan cuaca tidak terik, di tepian kota selalu terasa indah dan romantis. Aliran air di gorong gorong tepi jalan menimbulkan suara gemericik halus. Datanglah ke Yogya dan jalan jalan di pedesaan sekitar Yogya. Ada rasa damai menyelinap di sana. Pagi itu matahari belum muncul, hawa sejuk pagi hari, jalan jalan di sela sela kebun tebu, memang terasa damai dan romantis. Jika sendirian mungkin lamunan bisa melayang ke mana mana. Saya sama Nyi. Tak sempat melamun kemana mana. Hanya berjalan berdua. Kadang kadang berpegangan tangan. Sambil bicara pelan. Mana yang perlu saja. Kami jarang bicara intens. Kecuali jika membicarakan anak anak.
Di tikungan sebelah tenggara kebun tebu kami bermaksud belok masuk salah satu jalan kecil menembus kebun tebu menuju perkampungan. Tiba tiba ada suara berisik. Ada tawa kecil bernada manja. Selang seling antara suara sengal napas, bisikan lembut dan cekikikan manja. Saya pikir ada pejalan pagi datang dari arah berlawanan. Kira kira sepuluh meter di depan kami, saya lihat pasangan pria dan wanita sedang asyik berpangkuan di atas sepeda motor. Bermadu kasih secara intens. Berangkulan dan berciuman hangat. Saya mencoba tidak kaget dan tidak terperanjat. Aja kagetan lan aja gumunan. Di Inggris dulu, biasa lihat laki perempuan bermain cinta di muka umum. Yang saya heran, hari pagi gini, cium ciuman apa sudah sikatan sama cuci muka ? Orang yang sekedar ingin jalan pagi biasanya malas cuci muka. Nggak tahu mereka yang jalan jalan pagi sambil mau bermadu cinta.
Saya tahan Nyi untuk berhenti. Ingin belok ambil jalan lain. Tetapi dia rupanya ingin mengamati adegan erotik itu. Sudah mulai terang saat itu. Postur dan wajah mereka bisa terkenali tanpa teropong. “Itu tetangga satu kompleks kita. Suaminya bu Kinari”. Ujarnya penuh tanda tanya, seperti tak percaya akan pemandangan mengasyikkan itu. Saya tarik tangannya untuk menyingkir. Tetapi rupanya dia benar benar ingin memastikan siapa mereka. Kira kira tiga menit, pengamatan selesai. Hampir pasti itu suami ibu Kinari, tetangga di kompleks. Tetapi siapa wanita sintal naik motor warna hitam, dengan pakaian olah raga jambon itu ? Tak tahulah. Siapapun dia saya tak mau tahu. Bukan urusan dan bukan masalah saya.
Angin bertiup pelan. Matahari pagi mulai menyorot langit. Angin sepoi di luar, angin lembut di dalam bersatu dalam jiwa. Paling tidak saat itu. Di ujung jalan sepi itu. Sepasang pria dan wanita asyik bermadu kasih di antara kerimbunan pohon tebu. Dalam perjalanan pulang saya ingatkan Nyi untuk tetap tutup mulut. Kasihan ibu Kinari yang begitu pendiam. Kebetulan suami isteri bersifat pendiam. Paling tidak jika tidak bersama si pengendara motor hitam itu, pak Kinari selalu pendiam. Tetapi di jalan sepi apalagi diantara gemerisik daun tebu, sifat pendiamnya kok berubah total. Sergap sampai lumat. Edaaan.
Kami berjalan pulang ke rumah. Hanya berjarak 500 meter dari rumah kami. Nyi masih saja bertanya tanya. Saya ingatkan, jangan diungkit ungkit. Bisa kuwalat, ketularan. Kutukan. Ingat petuah Wo Sura Jaeni, sewaktu saya kecil dulu, saat bersama dia mengintip pasangan pria dan wanita yang bukan suami isteri, mandi bersama di sebelah barat kebun kami di Ambarawa. “Tutup mulut, jangan cerita sama siapapun. Bisa kuwalat, ketularan nanti”.
Yang saya heran sampai kini, berciuman hangat lumat sepagi itu sama pacar gelap, apa bekalnya?. Makan permen pagi hari, bisa sakit perut. Tanpa permen mungkin rasanya seperti saling sembur hawa mulut mematikan. Seperti semburan ular kobra. Bah ini bukan masalah sembur menyembur. Tak tahulah. Ini masalah berciuman dan bercinta denga pacar gelap di keremangan pagi hari.
Salam damai. Jangan suka mengintip orang bermadu kasih dengan pacar gelap. Bisa kuwalat.
Ki Ageng Similikithi
Agak malas sebenarnya pagi itu. Rasa kantuk belum hilang benar. Minggu lalu saat jalan pagi ada anak anak muda yang lepas begadang malam hari, meneriaki kami. “Sok berlagak kaya, jalan jalan pagi”. Panas hati mendengar ucapan kampungan itu. Mau jalan pagi mau enggak, mau berlagak mau enggak, bukan urusan mereka kan ? Jika anak anak itu mau mengurusi urusan mereka sendiri, saya yakin mereka tidak akan menganggur dan bergerombol semalam suntuk hampir tiap hari. Tak ada untungnya bereaksi. Tak perlu terpancing ucapan tak beradab itu. Apa lagi saya bersama Nyi saat itu. Rambut Nyi jadi agak kribo sepulang dari Inggris. Mungkin karena perubahan kelembaban. Masih nampak seksi. Anak anak muda itu kurang ajar bersuit suit.
Kami berjalan menelusuri jalan jalan kecil di antara kerimbunan pohon tebu. Awal musim hujan saat itu. Jalan tanah berpasir menjadi kering dan padat. Tak berdebu seperti di musim kering. Bagi yang tinggal di Yogya, musim hujan selalu lebih nyaman. Jalan tak berdebu. Kebun dan pepohonan nampak hijau subur. Jika pas tidak turun hujan, dan cuaca tidak terik, di tepian kota selalu terasa indah dan romantis. Aliran air di gorong gorong tepi jalan menimbulkan suara gemericik halus. Datanglah ke Yogya dan jalan jalan di pedesaan sekitar Yogya. Ada rasa damai menyelinap di sana. Pagi itu matahari belum muncul, hawa sejuk pagi hari, jalan jalan di sela sela kebun tebu, memang terasa damai dan romantis. Jika sendirian mungkin lamunan bisa melayang ke mana mana. Saya sama Nyi. Tak sempat melamun kemana mana. Hanya berjalan berdua. Kadang kadang berpegangan tangan. Sambil bicara pelan. Mana yang perlu saja. Kami jarang bicara intens. Kecuali jika membicarakan anak anak.
Di tikungan sebelah tenggara kebun tebu kami bermaksud belok masuk salah satu jalan kecil menembus kebun tebu menuju perkampungan. Tiba tiba ada suara berisik. Ada tawa kecil bernada manja. Selang seling antara suara sengal napas, bisikan lembut dan cekikikan manja. Saya pikir ada pejalan pagi datang dari arah berlawanan. Kira kira sepuluh meter di depan kami, saya lihat pasangan pria dan wanita sedang asyik berpangkuan di atas sepeda motor. Bermadu kasih secara intens. Berangkulan dan berciuman hangat. Saya mencoba tidak kaget dan tidak terperanjat. Aja kagetan lan aja gumunan. Di Inggris dulu, biasa lihat laki perempuan bermain cinta di muka umum. Yang saya heran, hari pagi gini, cium ciuman apa sudah sikatan sama cuci muka ? Orang yang sekedar ingin jalan pagi biasanya malas cuci muka. Nggak tahu mereka yang jalan jalan pagi sambil mau bermadu cinta.
Saya tahan Nyi untuk berhenti. Ingin belok ambil jalan lain. Tetapi dia rupanya ingin mengamati adegan erotik itu. Sudah mulai terang saat itu. Postur dan wajah mereka bisa terkenali tanpa teropong. “Itu tetangga satu kompleks kita. Suaminya bu Kinari”. Ujarnya penuh tanda tanya, seperti tak percaya akan pemandangan mengasyikkan itu. Saya tarik tangannya untuk menyingkir. Tetapi rupanya dia benar benar ingin memastikan siapa mereka. Kira kira tiga menit, pengamatan selesai. Hampir pasti itu suami ibu Kinari, tetangga di kompleks. Tetapi siapa wanita sintal naik motor warna hitam, dengan pakaian olah raga jambon itu ? Tak tahulah. Siapapun dia saya tak mau tahu. Bukan urusan dan bukan masalah saya.
Angin bertiup pelan. Matahari pagi mulai menyorot langit. Angin sepoi di luar, angin lembut di dalam bersatu dalam jiwa. Paling tidak saat itu. Di ujung jalan sepi itu. Sepasang pria dan wanita asyik bermadu kasih di antara kerimbunan pohon tebu. Dalam perjalanan pulang saya ingatkan Nyi untuk tetap tutup mulut. Kasihan ibu Kinari yang begitu pendiam. Kebetulan suami isteri bersifat pendiam. Paling tidak jika tidak bersama si pengendara motor hitam itu, pak Kinari selalu pendiam. Tetapi di jalan sepi apalagi diantara gemerisik daun tebu, sifat pendiamnya kok berubah total. Sergap sampai lumat. Edaaan.
Kami berjalan pulang ke rumah. Hanya berjarak 500 meter dari rumah kami. Nyi masih saja bertanya tanya. Saya ingatkan, jangan diungkit ungkit. Bisa kuwalat, ketularan. Kutukan. Ingat petuah Wo Sura Jaeni, sewaktu saya kecil dulu, saat bersama dia mengintip pasangan pria dan wanita yang bukan suami isteri, mandi bersama di sebelah barat kebun kami di Ambarawa. “Tutup mulut, jangan cerita sama siapapun. Bisa kuwalat, ketularan nanti”.
Yang saya heran sampai kini, berciuman hangat lumat sepagi itu sama pacar gelap, apa bekalnya?. Makan permen pagi hari, bisa sakit perut. Tanpa permen mungkin rasanya seperti saling sembur hawa mulut mematikan. Seperti semburan ular kobra. Bah ini bukan masalah sembur menyembur. Tak tahulah. Ini masalah berciuman dan bercinta denga pacar gelap di keremangan pagi hari.
Salam damai. Jangan suka mengintip orang bermadu kasih dengan pacar gelap. Bisa kuwalat.
Ki Ageng Similikithi
Friday, June 4, 2010
Jangan berlagak pilon
Wajahnya tenang dan terkesan serius. Setiap langkah nampaknya dipertimbangkan dengan hati hati. Kata katanya keluar satu per satu dengan lancar dan jelas. Selesai membaca surat dari Rektor dia bertanya. “Anda baru saja lulus dokter dari Yogya? Mengapa tidak ingin ke Puskesmas ?. Pertanyaan ini ditujukan ke saya yang kebetulan duduk paling kanan. Kami bertiga, dengan Noko dan Faisal, sama sama menghadap Kepala Biro Personalia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Drs. Suparmanto MA. Tahun 1976, lupa bulan dan tanggalnya. Semalam naik kereta dari Yogya, pagi harinya sampai di Jakarta, langsung ketempat mertua Faisal dulu untuk mandi dan ganti pakaian.
Sedikit tergagap, saya menjawab “ Saya ingin menjadi peneliti dan dosen”. Mungkin jawabannya tidak terlalu pas. “Bukankah sesudah selesai wajib kerja di Puskesmas, juga bisa jadi peneliti dan dosen?”. Pertanyaannya membalik tajam. “Bukannya saya tak ingin tugas di Puskesmas, Bapak. Tetapi saya tak siap menjalani wajib kerja lewat INPRES. Saya tak pernah memperoleh beasiswa atau ikatan dinas pemerintah”. Saya utarakan lebih lanjut kalau begitu lulus, saya sudah langsung melamar sebagai dokter Puskesmas di Susukan, Suruh, kabupaten Semarang. Tetapi tak ada lowongan pegawai negeri di Pemerintah Daerah. Satu satunya cara untuk bekerja di Puskesmas hanya lewat program INPRES di Departemen Kesehatan.
Kemudian sejak lulus tahun 1975 itu, saya bertugas sebagaai asisten di UGM, di Fakultas Kedokteran, dan mulai melakukan penelitian. Belum diangkat sebagai pegawai negeri atau dosen tetap. Masih honorer. Ada tawaran dari yayasan Rockefeller untuk program doktor di luar negeri. Kebetulan waktu itu saya sudah mulai berkomunikasi dengan beberapa lembaga yang memberikan program doktor seperti Karolinska Institute di Swedia, dan Univ. Newcastle Upon Tyne di Inggris. Konsultasi untuk memilih topik penelitian.
Tujuan kami menemui Biro Personalia Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan berbekal surat Rektor, adalah untuk meminta rekomendasi ke Departemen Kesehatan agar diberikan surat ijin dokter (SID). SID hanya dikeluarkan kalau dokter baru sudah menjadi pegawai negeri atau bertugas di Puskesmas. Surat ini diperlukan untuk mengurus ijin praktek di daerah. Tanpa SID tak bisa praktek mandiri sebagai dokter. Surat pengangkatan sebagai pegawai negeri entah kapan akan turun. Berarti nggak bisa praktek dan nggak ada emasukan uang, padahal kami bertiga sudah berkeluarga.
Noko dan Faisal juga menghadapi pertanyaan serupa. Mereka punya alasan masing masing. Noko ingin bertugas mendalami kedokteran forensik, dan Faisal bertugas di bagian radiologi. Tak lebih lima belas menit kami diminta menunggu diluar. Surat yang akan dikirim ke Departemen Kesehatan langsung diproses. Ruangan tunggu nampak bersih dan lengang. Tak sampai satu jam semua sudah siap. Lancar tanpa birokrasi berbelit. Kepala biro bisa menerima alasan kami masing masing. “Keputusan ada di tangan Departemen Kesehatan, bukan di kami” jelasnya.
Terasa ringan langkah ini ketika kami menuju kantor Departemen Kesehatan di jalan Prapatan 10. Dengan surat resmi dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, ditanda tangani oleh kepala Biro Personalia, Drs. Suparmanto MA. Sesampai di Prapatan, kami langsung ke Biro Kepegawaian. Ruangan terletak di sebelah kanan pintu utama. Agak telihat suram dan sesak. Kami menunggu hampir satu jam untuk menghadap Kepala Biro Kepegawaian, Dr. Brahim. Jam dua belas lewat sedikit kami memasuki ruangannya.
Orangnya nampak serius. Rambutnya lebat agak memanjang ke samping kiri dan kanan, tak sampai gondrong. Kumisnya hitam lebat berbentuk persegi. Nampak berwibawa benar. Namun kami tak bergetar sama sekali. Sama sama dokter pasti sikapnya akan lebih ramah. Dokter harus dianggap saudara, menurut sumpah asli Hippocrates. Dia membaca file surat yang ditanda tangani oleh Drs. Suparmanto MA. Beberapa menit dia membaca surat surat itu. Terakhir dia angkat surat itu ke atas, menerawang jendela. Mungkin sekedar meyakinkan isi suratnya. Dahinya berkerut.
Tiba tiba suaranya keluar menggeram “Hmmmmmmm”. Sambil menghentakkan tapak tangannya ke atas meja. Suaranya lantang “ Drs. Suparmanto MA ! Berlagak pilon dia”. Saya lihat Noko dan Faisal terhenyak. Wajahnya berubah kecut. Sementara saya terheran heran. Saya nggak tahu artinya apa “Berlagak pilon”. Saya masih sempat bertanya “Maksudnya apa Dok?”. “ Sampeyan tahu apa? Baru minggu kemarin, saya sama Drs. Suparmanto MA itu, dipanggil DPR, ditanya tentang penempatan dokter baru. Dia bilang kalau P & K tidak membuat kebijaksanaan menahan dokter2 yang baru lulus di perguruan tinggi. Baru lewat beberapa hari, kok dia kirim surat rekomendasi seperti ini”. Dengan geram dia angkat surat itu tinggi tinggi. Ini pertanda jelek. Lebih baik mundur teratur dari pada runyam. Dalam strategi militer dibenarkan untuk mundur sementara sambil mengatur siasat untuk memukul balik. Tactically withdraw.
“ Maaf dok, saya tidak tahu itu. Juga tak tahu ada kesepakatan dua menteri tentang dokter baru”. “ Sampeyan tahu apa?. Bilang sama Drs. Suparmanto MA mu itu ya. Jangan berlagak pilon”. “ Terima kasih dok. Kami mohon pamit”. Saya tetap berkata dengan sopan walau agak terkejut dengan nada tingginya. Sementara Noko sama Faisal wajahnya nampak muram. Tak mau berpamitan sekalipun. “ Wis disratang kok matur nuwun. Ora patut” Noko menggumam. Sudah digonggong kok masih terima kasih. Tak patutlah.
Jam setengah satu kami masuk rumah makan di ujung jalan, di samping gedung Departemen Kesehatan. Faisal diam terpekur. Noko masih menggerutu berkepanjangan. “ Kok ora ana bledeg ya ?”. Kok nggak ada petir ya ?. Saya juga kecewa, sudah jauh jauh dari Yogya. Tak ada hasil. Yang menghunjam dalam pikiran saya waktu itu apa makna ‘berlagak pilon’?. Ini pasti bahasa prokem yang baru. Tak terbiasa dengan istilah itu. Juga tak terbiasa menggunakannya sampai sekarang. Mungkin bahasa Jakarte. Saya bayangkan pak Suparmanto yang tenang itu, saya yakin dia memutuskan menanda tangani surat itu dengan penuh perhitungan. Bukan asal tanda tangan.
Singkat cerita, kami pulang ke Yogya. Kembali bekerja sebagai asisten honorer sampai beslit pegawai negeri turun setahun kemudian di tahun 1977. Tahun 1978 dan 1979 saya masih sibuk riset di laboratorum. Tahun 1978 sebenarnya semua sudah siap tinggal berangkat program doktor. Saya minta mundur oleh karena masih harus menjadi sekretaris eksekutif konggres Asia dan Pasifik Barat di Yogya menjelang pertengahan 1979.
Lima belas tahun kemudian, di awal sembilan puluhan saya sempat bertemu Dr. Brahim kembali. Saya sudah menyelesaikan program doktor lama sebelum itu di tahun 1983. Kami bertiga dengan dokter Uton Rafei, Regional Director, pejabat tertinggi WHO wilayah Asia Tenggara, makan malam berempat bersama Nyi, di rumah makan Sintawang jalan Magelang, Yogya. Dr. Brahim minta pesan cakar ayam. Saya berbisik “Yang benar pak Brahim, dengan pejabat tinggi WHO, kok mau pesan cakar ayam”. Jawabnya juga diluar dugaan saya “ Mas, sampeyan jangan berlagak pilon. Yang kita cari di sini ya cakar ayam ini”. Sambil bergurau saya ingatkan peristiwa “Jangan berlagak pilon” di tahun 1976 itu. Dia sudah lupa rupanya. Kami tertawa lebar membicarakan peristiwa itu. “Saya hanya menjalankan keputusan bersama. Nothing is negotiable”. Dokter Uton menyahut ringan, mungkin menyindir “ Apa bahasa Inggrisnya berlagak pilon ya?”. “Tak penting terjemahan bahasa Inggris. Yang penting pesan tersampaikan”. Mungkin karena bahasa Inggris dokter Brahim agak kurang lancar.
Kini mereka berdua telah lama pension. Saya menghargai beliau berdua sebagai senior dan pejabat yang telah banyak berjasa. Tetapi saya tetap saja pilon sampai kini, tak biasa menggunakan kata kata “berlagak pilon”.
Salam damai. Jangan berlagak pilon Bung.
Ki Ageng Similikithi
Sedikit tergagap, saya menjawab “ Saya ingin menjadi peneliti dan dosen”. Mungkin jawabannya tidak terlalu pas. “Bukankah sesudah selesai wajib kerja di Puskesmas, juga bisa jadi peneliti dan dosen?”. Pertanyaannya membalik tajam. “Bukannya saya tak ingin tugas di Puskesmas, Bapak. Tetapi saya tak siap menjalani wajib kerja lewat INPRES. Saya tak pernah memperoleh beasiswa atau ikatan dinas pemerintah”. Saya utarakan lebih lanjut kalau begitu lulus, saya sudah langsung melamar sebagai dokter Puskesmas di Susukan, Suruh, kabupaten Semarang. Tetapi tak ada lowongan pegawai negeri di Pemerintah Daerah. Satu satunya cara untuk bekerja di Puskesmas hanya lewat program INPRES di Departemen Kesehatan.
Kemudian sejak lulus tahun 1975 itu, saya bertugas sebagaai asisten di UGM, di Fakultas Kedokteran, dan mulai melakukan penelitian. Belum diangkat sebagai pegawai negeri atau dosen tetap. Masih honorer. Ada tawaran dari yayasan Rockefeller untuk program doktor di luar negeri. Kebetulan waktu itu saya sudah mulai berkomunikasi dengan beberapa lembaga yang memberikan program doktor seperti Karolinska Institute di Swedia, dan Univ. Newcastle Upon Tyne di Inggris. Konsultasi untuk memilih topik penelitian.
Tujuan kami menemui Biro Personalia Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan berbekal surat Rektor, adalah untuk meminta rekomendasi ke Departemen Kesehatan agar diberikan surat ijin dokter (SID). SID hanya dikeluarkan kalau dokter baru sudah menjadi pegawai negeri atau bertugas di Puskesmas. Surat ini diperlukan untuk mengurus ijin praktek di daerah. Tanpa SID tak bisa praktek mandiri sebagai dokter. Surat pengangkatan sebagai pegawai negeri entah kapan akan turun. Berarti nggak bisa praktek dan nggak ada emasukan uang, padahal kami bertiga sudah berkeluarga.
Noko dan Faisal juga menghadapi pertanyaan serupa. Mereka punya alasan masing masing. Noko ingin bertugas mendalami kedokteran forensik, dan Faisal bertugas di bagian radiologi. Tak lebih lima belas menit kami diminta menunggu diluar. Surat yang akan dikirim ke Departemen Kesehatan langsung diproses. Ruangan tunggu nampak bersih dan lengang. Tak sampai satu jam semua sudah siap. Lancar tanpa birokrasi berbelit. Kepala biro bisa menerima alasan kami masing masing. “Keputusan ada di tangan Departemen Kesehatan, bukan di kami” jelasnya.
Terasa ringan langkah ini ketika kami menuju kantor Departemen Kesehatan di jalan Prapatan 10. Dengan surat resmi dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, ditanda tangani oleh kepala Biro Personalia, Drs. Suparmanto MA. Sesampai di Prapatan, kami langsung ke Biro Kepegawaian. Ruangan terletak di sebelah kanan pintu utama. Agak telihat suram dan sesak. Kami menunggu hampir satu jam untuk menghadap Kepala Biro Kepegawaian, Dr. Brahim. Jam dua belas lewat sedikit kami memasuki ruangannya.
Orangnya nampak serius. Rambutnya lebat agak memanjang ke samping kiri dan kanan, tak sampai gondrong. Kumisnya hitam lebat berbentuk persegi. Nampak berwibawa benar. Namun kami tak bergetar sama sekali. Sama sama dokter pasti sikapnya akan lebih ramah. Dokter harus dianggap saudara, menurut sumpah asli Hippocrates. Dia membaca file surat yang ditanda tangani oleh Drs. Suparmanto MA. Beberapa menit dia membaca surat surat itu. Terakhir dia angkat surat itu ke atas, menerawang jendela. Mungkin sekedar meyakinkan isi suratnya. Dahinya berkerut.
Tiba tiba suaranya keluar menggeram “Hmmmmmmm”. Sambil menghentakkan tapak tangannya ke atas meja. Suaranya lantang “ Drs. Suparmanto MA ! Berlagak pilon dia”. Saya lihat Noko dan Faisal terhenyak. Wajahnya berubah kecut. Sementara saya terheran heran. Saya nggak tahu artinya apa “Berlagak pilon”. Saya masih sempat bertanya “Maksudnya apa Dok?”. “ Sampeyan tahu apa? Baru minggu kemarin, saya sama Drs. Suparmanto MA itu, dipanggil DPR, ditanya tentang penempatan dokter baru. Dia bilang kalau P & K tidak membuat kebijaksanaan menahan dokter2 yang baru lulus di perguruan tinggi. Baru lewat beberapa hari, kok dia kirim surat rekomendasi seperti ini”. Dengan geram dia angkat surat itu tinggi tinggi. Ini pertanda jelek. Lebih baik mundur teratur dari pada runyam. Dalam strategi militer dibenarkan untuk mundur sementara sambil mengatur siasat untuk memukul balik. Tactically withdraw.
“ Maaf dok, saya tidak tahu itu. Juga tak tahu ada kesepakatan dua menteri tentang dokter baru”. “ Sampeyan tahu apa?. Bilang sama Drs. Suparmanto MA mu itu ya. Jangan berlagak pilon”. “ Terima kasih dok. Kami mohon pamit”. Saya tetap berkata dengan sopan walau agak terkejut dengan nada tingginya. Sementara Noko sama Faisal wajahnya nampak muram. Tak mau berpamitan sekalipun. “ Wis disratang kok matur nuwun. Ora patut” Noko menggumam. Sudah digonggong kok masih terima kasih. Tak patutlah.
Jam setengah satu kami masuk rumah makan di ujung jalan, di samping gedung Departemen Kesehatan. Faisal diam terpekur. Noko masih menggerutu berkepanjangan. “ Kok ora ana bledeg ya ?”. Kok nggak ada petir ya ?. Saya juga kecewa, sudah jauh jauh dari Yogya. Tak ada hasil. Yang menghunjam dalam pikiran saya waktu itu apa makna ‘berlagak pilon’?. Ini pasti bahasa prokem yang baru. Tak terbiasa dengan istilah itu. Juga tak terbiasa menggunakannya sampai sekarang. Mungkin bahasa Jakarte. Saya bayangkan pak Suparmanto yang tenang itu, saya yakin dia memutuskan menanda tangani surat itu dengan penuh perhitungan. Bukan asal tanda tangan.
Singkat cerita, kami pulang ke Yogya. Kembali bekerja sebagai asisten honorer sampai beslit pegawai negeri turun setahun kemudian di tahun 1977. Tahun 1978 dan 1979 saya masih sibuk riset di laboratorum. Tahun 1978 sebenarnya semua sudah siap tinggal berangkat program doktor. Saya minta mundur oleh karena masih harus menjadi sekretaris eksekutif konggres Asia dan Pasifik Barat di Yogya menjelang pertengahan 1979.
Lima belas tahun kemudian, di awal sembilan puluhan saya sempat bertemu Dr. Brahim kembali. Saya sudah menyelesaikan program doktor lama sebelum itu di tahun 1983. Kami bertiga dengan dokter Uton Rafei, Regional Director, pejabat tertinggi WHO wilayah Asia Tenggara, makan malam berempat bersama Nyi, di rumah makan Sintawang jalan Magelang, Yogya. Dr. Brahim minta pesan cakar ayam. Saya berbisik “Yang benar pak Brahim, dengan pejabat tinggi WHO, kok mau pesan cakar ayam”. Jawabnya juga diluar dugaan saya “ Mas, sampeyan jangan berlagak pilon. Yang kita cari di sini ya cakar ayam ini”. Sambil bergurau saya ingatkan peristiwa “Jangan berlagak pilon” di tahun 1976 itu. Dia sudah lupa rupanya. Kami tertawa lebar membicarakan peristiwa itu. “Saya hanya menjalankan keputusan bersama. Nothing is negotiable”. Dokter Uton menyahut ringan, mungkin menyindir “ Apa bahasa Inggrisnya berlagak pilon ya?”. “Tak penting terjemahan bahasa Inggris. Yang penting pesan tersampaikan”. Mungkin karena bahasa Inggris dokter Brahim agak kurang lancar.
Kini mereka berdua telah lama pension. Saya menghargai beliau berdua sebagai senior dan pejabat yang telah banyak berjasa. Tetapi saya tetap saja pilon sampai kini, tak biasa menggunakan kata kata “berlagak pilon”.
Salam damai. Jangan berlagak pilon Bung.
Ki Ageng Similikithi
Thursday, May 27, 2010
Mangkuyudan - cerita yang tersisa
Matahari condong ke Barat. Sore yang cerah. Angin bertiup lembut di antara dedaunan di halaman. Saya sedang jaga di rumah sakit Mangkuyudan Yogyakarta. Rumah sakit khusus kandungan dan kebidanan. Di pertengahan tahun 1974. Setelah mandi saya ke bangsal. Semua tenang. Tak ada pasien gawat. Juga bayi bayi yang baru lahir, nampak sehat semua. Mereka tidur di samping ibunda masing masing. Damai dan bahagia adanya. Kamar kamar pasien tertata rapi dan bersih. Dinding dan kordin jendela berwarna kuning muda. Seperti janur kuning, daun kelapa muda. Saya benar benar menikmati tugas ko asistensi di rumah sakit ini. Terasa sangat disiplin.
Hanya ada seorang pasien paska operasi yang menderita demam ringan. Tak serius. Terapi langsung bisa diberikan sesuai pedoman. Kebetulan Enny adalah ko asisten yang menangani pasien itu. Tetapi sejak jam empat tadi dia berada di ruang tamu depan. Tunangannya selalu datang menengok tiap sore. Mungkin langkah pengamanan. Dia tahu kalau saya dan Enny pernah punya hubungan istimewa lima tahun lalu saat di tingkat satu. Cerita masa silam. Telah berlalu. Tak bergetar lagi hati ini mengingatnya.
Seusai melihat pasien di bangsal, saya duduk duduk di ruang jaga. Ruangan besar dan bersih, dengan jendela kaca menghadap ke halaman belakang. Ada beberapa meja kerja di sana. Membaca buku teks wajib. Lupa judulnya. Waktu menunjukkan jam setengah enam, ketika Enny memasuki ruangan. “Pasien paska operasinya tadi demam ringan. Sudah diberi antipiretik, tertulis di status”. Tak menyahut sama sekali. Enny langsung ke bangsal. Mungkin melihat pasien yang saya maksudkan. Pikiran saya sedang terpaku di salah satu bab yang ditulis oleh seorang ahli Indonesia. Pofessor Hanifa Wignyosastro. Saya terkagum kagum. Seorang ahli Indonesia, menjadi author di buku teks internasional, yang menjadi bacaan wajib bagi para calon dokter dan calon spesialis di berbagai bagian dunia.
Tiba tiba Enny keluar dari bangsal. Berjalan cepat melewati meja jaga. Bidan dan siswi bidan yang dinas jaga juga duduk di situ. Sambil berlalu dia menggumam jelas sekali “ Pasien-e ora panas. Koas-e sing panas”. Pasien nggak panas. Koasnya yang panas. Terhenyak saya mendengarnya. Kedua siswi bidan berucap “Kok nylekit. Nyindir ya dok”. Saya tak hiraukan. Dikiranya saya panas hati lihat dia dijenguk tunangannya ? Ah nggak terpikir lagi. Saat itu saya juga sedang berbunga bunga dengan mahasiswi AKUB. Lewat jam enam, kembali ke kamar. Saya cerita ke Woto, teman jaga, tentang kata2 Enny. “Nggak usah dipikir”. Kami kemudian makan malam di kamar.
Menjelang jam tujuh aiphone berdering keras. Tersentak kami berdua. “Pasien gawat”. Suara bidan jaga nyaring terdengar di ujung sana. Woto dengan sandal jepit dan jas putih langsung beranjak dan berlari keluar lewat aula. Ruang periksa ada di sayap timur, di seberang aula. Saya tidak suka lewat aula itu di malam hari. Gelap. Ada saja cerita aneh. Suatu saat ada ko as menjerit di ruangan itu malam malam. Katanya lihat bayangan orang berdiri di pojok. Saya berlari lewat koridor luar. Ada lampu terang di sana. Tetapi harus lewat kamar bayi. Saya pernah cerita pengalaman menakutkan di ruang itu.
Di kamar periksa, kami dapati seorang wanita tergeletak lemah. Nampak menderita dan pucat sekali. Mungkin umur mendekati empat puluh. Dalam keadaan pre syok, setengah sadar. Saya langsung pasang infus. Pasien gawat kiriman dari Gunung Kidul. “Pasien rujukan. Ruptura uteri”. Kandungan robek. Bidan memberikan laporan. Dokter jaga, dokter Hasibuan, melakukan pemeriksaan lengkap. Menurut sang suami, pasien merasa mau melahirkan sejak siang tadi. Ditangani seorang dukun di rumah. Karena persalinan tak maju maju, sang dukun lelaki yang nota bene bukan dukun bersalin, mengira ada setan yang menghalangi jalan lahir. Dia dorong janin dengan injakan kaki. Bisa dibayangkan akibatnya. Kandungan pecah dengan perdarahan hebat. Tangan janin teraba di dinding perut. Tak ada tanda tanda kehidupan janin. “Siapkan operasi emergency”, perintah dokter Saribin Hasibuan. Prioritas adalah menyelamatkan si ibu.
Harus ada persetujuan tertulis dari keluarga. Ada tiga orang yang mengantar di luar. Suami, dan ayah ibu pasien. Saya menemui mereka dan menjelaskan. “Tak ada jalan lain. Harus operasi”. Sang suami hanya diam. Ayah si pasien menjawab “ Kita namung ndherek. Tulung anak kulo dok”. Kami hanya ikut. Tolong anak saya. Dia nampak panik. Dia yang cerita tentang apa yang dilakukan dukun itu. Si ibu diam menangis. “Kita berdoa. Kami berusaha semaksimal mungkin”. Hati saya bergetar ketika wanita lanjut usia, ibu pasien itu terisak memegang tangan saya. Kans mungkin hanya paroh paroh. Kondisinya demikian parah. Tak mungkin tanpa tranfusi. Untung dapat darah yang cocok dari PMI.
Jam delapan lebih sedikit persiapan operasi selesai. Operasi dipimpin dokter Hasibuan. Tenang dan teliti sekali dia memeriksa pasien dan memeriksa semua persiapan. “Keluarga sudah diberi tahu dan sudah memberikan persetujuan?”. Kembali dia bertanya sewaktu mencuci tangan. “Sudah ada persetujuan tertulis. Mereka sangat terpukul”. Dokter Hasibuan menggumam “Kita lakukan yang paling baik”. Tak mudah menutupi rasa tegang, walau berusaha tenang. Saya lihat dia berdoa singkat sebelum mulai operasi. Saya bertugas sebagai asisten dua. Operasi berjalan tenang walau menegangkan. Janin tak bisa diselamatkan. Dinding kandungan tidak cuma robek memanjang. Tetapi jaringannya rapuh dan bagian bawahnya rusak berat. Tak mungkin menghentikan perdarahan. Tak mungkin menjahit jaringan yang pinggirnya hancur itu. Diputuskan untuk mengangkat jaringan uterus. Untung pasien multi para, sudah punya anak lima. Tetapi bukan itu alasannya. Semata mata hanya untuk menyelamatkan ibu.
Jam sepuluh operasi selesai. Berjalan lancar. Tekanan darah pasien stabil selama operasi. Pasien mendapat transfusi untuk mengganti darah yang hilang. Pasien dipindah ke ruang perawatan paska operasi. Dalam keadaan stabil. Selesai cuci tangan dan ganti pakaian, kami menyiapkan laporan lengkap. Dokter Hasibuan mendikte dan menjelaskan semua hasil pemeriksaan dan prosedur yang dilakukan. Saya mencatatnya. Semua menurut prosedur. Hanya ada satu yang aneh. Tentang hasil pemeriksaan. Dokter Hasibuan bilang “Vaginanya tidak ada yang rusak”. Saya ragu menulis dan mencoba mengingatkan. “ Kalimatnya nggak benar ini dok”. Dia tak menghiraukannya. Kami kelelahan tetapi merasa lega, operasi berhasil, ibu terselamatkan. Mission accomplished. Sebelum kembali ke kamar saya cek sekali lagi pasien. Belum sadar, tetapi tanda tanda vital bagus.
Jam setengah tujuh keeesokan harinya saya kembali ke bangsal. Tak terasa tegang lagi karena jaga malam telah lewat. Cerita tentang operasi semalam sudah tersebar. Jadwalnya tertulis di papan di depan kamar operasi. Jam delapan ketua tim operasi harus melapor dalam konperensi klinik. Tak begitu menegangkan bagi para ko as. Toh kami hanya membantu (ko asisten). Para calon dokter spesialis itu yang merasa paling tegang. Dipimpin oleh dokter Prono, kepala rumah sakit, dan wakilnya, dokter Pras. Dokter Prono orangnya tinggi besar. Nampak sabar, tetapi nada suaranya besar menggema. Jika ada yang melakukan kesalahan, baru dengar suaranya sudah terkencing kencing. Dokter Pras, bicaranya selalu lantang dan tegas. Orangnya simpatik dan tampan. Tetapi jangan tanya jika ada yang membuat kesalahan. Teman saya Purwo (alm) pernah diusir dari kamar operasi karena rambutnya tak tertutup rapat saat operasi.
Seperti yang saya duga, laporan operasi semalam bermasalah. Ketika dokter Hasibuan, melaporkan hasil pemeriksaan “Vaginanya tidak ada yang rusak”, dokter Pras langsung berdiri dan bertanya lantang. “Vaginanya itu satu pasien ada berapa?”. Dokter Hasibuan saya lihat gemetar dan tegang. Jauh lebih tegang dibanding saat melakukan operasi semalam. “ Vagina ya hanya satu to dok”. Dokter Pras semakin berang. “La kok sampeyan bilang vaginanya tidak ada yang rusak ?. Sampeyan belajar bahasa Indonesia di mana? “. Jika sudah begini agar selamat lebih baik diam. Jika dia menjawab, belajar bahasa Indonesia di Tarutung, tempat kelahirannya, pasti habis dia. Ada saja alasan untuk mengejar. Saya tak kuasa menahan senyum. Tiba tiba dokter Pras melihat ke arah saya sambil menggebrak meja. “Ini bukan ketoprak. Tidak ada yang lucu. Nggak usah cengengesan”. Woto menginjak kaki saya. Pikir saya, siapa yang mau main ketoprak siang siang gini. Konperensi yang menegangkan itu selesai jam setengah sepuluh. Dokter Prono, dokter Pras dan dokter2 lain memberi ucapan selamat ke tim operasi dan terima kasih atas keberhasilan operasi. Terutama ke pimpinan operasi, dokter Hasibuan. Kami semua kembali ke tugas rutin. Saya pagi itu di poli klinik.
Tiga puluh enam tahun telah berlalu. Sore tadi saya mendatangi bekas rumah sakit Manguyudan bersama Nyi. Kedua anak kami lahir di rumah sakit ini, Wisnu dan si bungsu Moko almarhum. Bangunan itu tetap masih asri seperti dulu. Damai dan tenang. Kebetulan sore tadi habis hujan, langit mendung dan hujan rintik rintik. Terasa syahdu mengingat masa lalu. Bangunan utama sedikit berubah, tetapi tak terlalu beda. Hanya pohon kelengkeng di halaman depan sudah tidak ada. Tanah di halaman depan sudah tertutup conblock. “Saya pernah bertugas di rumah sakit ini di tahun 1974” saya memperkenalkan diri ke petugas Satpam. “Saya belum lahir pak. Bapak dokter ya?” Petugas itu ramah menyambut saya. Saya mengambil beberapa foto. Sekarang jadi kampus pendidikan D3 kebidanan.
Dokter Suprono, dokter Prastowo sudah tiada. Mereka tokoh senior pendidikan dokter, terutama bidang kandungan dan kebidanan. Dosen yang saya kagumi. Dibawah kepemimpinan mereka rumah sakit Mangkuyudan menjadi tempat rujukan untuk menurunkan angka kematian ibu, paling tidak untuk Yogyakarta waktu itu. Saya selalu menghormati beliau berdua. Bersama dokter Prastowo, saya kemudian ikut menjadi pengurus himpunan dokter perdamaian Indonesia. Dokter Hasibuan masih aktif sampai sekarang. Saya ketemu terakhir enam bulan lalu di bandara Adisucipto, kebetulan bersama dalam satu pesawat menuju Jakarta. Dia tak ingat insiden ‘Vaginanya tidak ada yang rusak” itu.
Saya merasa bangga bisa ikut dalam tim operasi menyelamatkan seorang ibu dari Gunung Kidul itu tiga puluh enam tahun lalu. Namun itu tak cukup. Perjalanan masih sangat jauh untuk menurunkan angka kematian ibu. Angka kematian ibu di Indonesia, masih termasuk tinggi di Asia. Dokter Fadilah, mantan menteri kesehatan, yang juga pernah bertugas sebagai ko asisten di rumah sakit Mangkuyudan pernah cerita waktu ketemu di bandara Changi dua tahun lalu. “Selama lima tahun terakhir, kami berhasil menurunkan dari 400 kematian ibu per 100 000 kelahiran, menjadi 250 per seratus ribu”. Tetapi itu masih terlalu tinggi. Masih banyak daerah kantong2 kematian ibu di Indonesia. Ada 6 orang isteri teman yang saya kenal yang meninggal saat melahirkan. Lima di antara mereka adalah isteri dokter dan dekat dengan pelayanan rujukan. Bukan tinggal di daerah pedalaman yang jauh dari pelayanan medis. Semua teknologi dan obat obatan tersedia dan terjangkau di masa kini. Kematian ibu harus diturunkan. At any price.
Salam damai dan sejahtera. Tulisan ini khusus saya persembahkan untuk Bung B. Haryo Prasetyo di Ottawal yang kebetulan juga lahir di Mangkuyudan, tanggal ini. Selamat ulang tahun, semoga selalu bahagia, dan menggapai cita cita masa depan. Maaf kalau ada kata yang keliru.
Ki Ageng Similikithi.
Yogyakarta, 27 Mei 2010.
Hanya ada seorang pasien paska operasi yang menderita demam ringan. Tak serius. Terapi langsung bisa diberikan sesuai pedoman. Kebetulan Enny adalah ko asisten yang menangani pasien itu. Tetapi sejak jam empat tadi dia berada di ruang tamu depan. Tunangannya selalu datang menengok tiap sore. Mungkin langkah pengamanan. Dia tahu kalau saya dan Enny pernah punya hubungan istimewa lima tahun lalu saat di tingkat satu. Cerita masa silam. Telah berlalu. Tak bergetar lagi hati ini mengingatnya.
Seusai melihat pasien di bangsal, saya duduk duduk di ruang jaga. Ruangan besar dan bersih, dengan jendela kaca menghadap ke halaman belakang. Ada beberapa meja kerja di sana. Membaca buku teks wajib. Lupa judulnya. Waktu menunjukkan jam setengah enam, ketika Enny memasuki ruangan. “Pasien paska operasinya tadi demam ringan. Sudah diberi antipiretik, tertulis di status”. Tak menyahut sama sekali. Enny langsung ke bangsal. Mungkin melihat pasien yang saya maksudkan. Pikiran saya sedang terpaku di salah satu bab yang ditulis oleh seorang ahli Indonesia. Pofessor Hanifa Wignyosastro. Saya terkagum kagum. Seorang ahli Indonesia, menjadi author di buku teks internasional, yang menjadi bacaan wajib bagi para calon dokter dan calon spesialis di berbagai bagian dunia.
Tiba tiba Enny keluar dari bangsal. Berjalan cepat melewati meja jaga. Bidan dan siswi bidan yang dinas jaga juga duduk di situ. Sambil berlalu dia menggumam jelas sekali “ Pasien-e ora panas. Koas-e sing panas”. Pasien nggak panas. Koasnya yang panas. Terhenyak saya mendengarnya. Kedua siswi bidan berucap “Kok nylekit. Nyindir ya dok”. Saya tak hiraukan. Dikiranya saya panas hati lihat dia dijenguk tunangannya ? Ah nggak terpikir lagi. Saat itu saya juga sedang berbunga bunga dengan mahasiswi AKUB. Lewat jam enam, kembali ke kamar. Saya cerita ke Woto, teman jaga, tentang kata2 Enny. “Nggak usah dipikir”. Kami kemudian makan malam di kamar.
Menjelang jam tujuh aiphone berdering keras. Tersentak kami berdua. “Pasien gawat”. Suara bidan jaga nyaring terdengar di ujung sana. Woto dengan sandal jepit dan jas putih langsung beranjak dan berlari keluar lewat aula. Ruang periksa ada di sayap timur, di seberang aula. Saya tidak suka lewat aula itu di malam hari. Gelap. Ada saja cerita aneh. Suatu saat ada ko as menjerit di ruangan itu malam malam. Katanya lihat bayangan orang berdiri di pojok. Saya berlari lewat koridor luar. Ada lampu terang di sana. Tetapi harus lewat kamar bayi. Saya pernah cerita pengalaman menakutkan di ruang itu.
Di kamar periksa, kami dapati seorang wanita tergeletak lemah. Nampak menderita dan pucat sekali. Mungkin umur mendekati empat puluh. Dalam keadaan pre syok, setengah sadar. Saya langsung pasang infus. Pasien gawat kiriman dari Gunung Kidul. “Pasien rujukan. Ruptura uteri”. Kandungan robek. Bidan memberikan laporan. Dokter jaga, dokter Hasibuan, melakukan pemeriksaan lengkap. Menurut sang suami, pasien merasa mau melahirkan sejak siang tadi. Ditangani seorang dukun di rumah. Karena persalinan tak maju maju, sang dukun lelaki yang nota bene bukan dukun bersalin, mengira ada setan yang menghalangi jalan lahir. Dia dorong janin dengan injakan kaki. Bisa dibayangkan akibatnya. Kandungan pecah dengan perdarahan hebat. Tangan janin teraba di dinding perut. Tak ada tanda tanda kehidupan janin. “Siapkan operasi emergency”, perintah dokter Saribin Hasibuan. Prioritas adalah menyelamatkan si ibu.
Harus ada persetujuan tertulis dari keluarga. Ada tiga orang yang mengantar di luar. Suami, dan ayah ibu pasien. Saya menemui mereka dan menjelaskan. “Tak ada jalan lain. Harus operasi”. Sang suami hanya diam. Ayah si pasien menjawab “ Kita namung ndherek. Tulung anak kulo dok”. Kami hanya ikut. Tolong anak saya. Dia nampak panik. Dia yang cerita tentang apa yang dilakukan dukun itu. Si ibu diam menangis. “Kita berdoa. Kami berusaha semaksimal mungkin”. Hati saya bergetar ketika wanita lanjut usia, ibu pasien itu terisak memegang tangan saya. Kans mungkin hanya paroh paroh. Kondisinya demikian parah. Tak mungkin tanpa tranfusi. Untung dapat darah yang cocok dari PMI.
Jam delapan lebih sedikit persiapan operasi selesai. Operasi dipimpin dokter Hasibuan. Tenang dan teliti sekali dia memeriksa pasien dan memeriksa semua persiapan. “Keluarga sudah diberi tahu dan sudah memberikan persetujuan?”. Kembali dia bertanya sewaktu mencuci tangan. “Sudah ada persetujuan tertulis. Mereka sangat terpukul”. Dokter Hasibuan menggumam “Kita lakukan yang paling baik”. Tak mudah menutupi rasa tegang, walau berusaha tenang. Saya lihat dia berdoa singkat sebelum mulai operasi. Saya bertugas sebagai asisten dua. Operasi berjalan tenang walau menegangkan. Janin tak bisa diselamatkan. Dinding kandungan tidak cuma robek memanjang. Tetapi jaringannya rapuh dan bagian bawahnya rusak berat. Tak mungkin menghentikan perdarahan. Tak mungkin menjahit jaringan yang pinggirnya hancur itu. Diputuskan untuk mengangkat jaringan uterus. Untung pasien multi para, sudah punya anak lima. Tetapi bukan itu alasannya. Semata mata hanya untuk menyelamatkan ibu.
Jam sepuluh operasi selesai. Berjalan lancar. Tekanan darah pasien stabil selama operasi. Pasien mendapat transfusi untuk mengganti darah yang hilang. Pasien dipindah ke ruang perawatan paska operasi. Dalam keadaan stabil. Selesai cuci tangan dan ganti pakaian, kami menyiapkan laporan lengkap. Dokter Hasibuan mendikte dan menjelaskan semua hasil pemeriksaan dan prosedur yang dilakukan. Saya mencatatnya. Semua menurut prosedur. Hanya ada satu yang aneh. Tentang hasil pemeriksaan. Dokter Hasibuan bilang “Vaginanya tidak ada yang rusak”. Saya ragu menulis dan mencoba mengingatkan. “ Kalimatnya nggak benar ini dok”. Dia tak menghiraukannya. Kami kelelahan tetapi merasa lega, operasi berhasil, ibu terselamatkan. Mission accomplished. Sebelum kembali ke kamar saya cek sekali lagi pasien. Belum sadar, tetapi tanda tanda vital bagus.
Jam setengah tujuh keeesokan harinya saya kembali ke bangsal. Tak terasa tegang lagi karena jaga malam telah lewat. Cerita tentang operasi semalam sudah tersebar. Jadwalnya tertulis di papan di depan kamar operasi. Jam delapan ketua tim operasi harus melapor dalam konperensi klinik. Tak begitu menegangkan bagi para ko as. Toh kami hanya membantu (ko asisten). Para calon dokter spesialis itu yang merasa paling tegang. Dipimpin oleh dokter Prono, kepala rumah sakit, dan wakilnya, dokter Pras. Dokter Prono orangnya tinggi besar. Nampak sabar, tetapi nada suaranya besar menggema. Jika ada yang melakukan kesalahan, baru dengar suaranya sudah terkencing kencing. Dokter Pras, bicaranya selalu lantang dan tegas. Orangnya simpatik dan tampan. Tetapi jangan tanya jika ada yang membuat kesalahan. Teman saya Purwo (alm) pernah diusir dari kamar operasi karena rambutnya tak tertutup rapat saat operasi.
Seperti yang saya duga, laporan operasi semalam bermasalah. Ketika dokter Hasibuan, melaporkan hasil pemeriksaan “Vaginanya tidak ada yang rusak”, dokter Pras langsung berdiri dan bertanya lantang. “Vaginanya itu satu pasien ada berapa?”. Dokter Hasibuan saya lihat gemetar dan tegang. Jauh lebih tegang dibanding saat melakukan operasi semalam. “ Vagina ya hanya satu to dok”. Dokter Pras semakin berang. “La kok sampeyan bilang vaginanya tidak ada yang rusak ?. Sampeyan belajar bahasa Indonesia di mana? “. Jika sudah begini agar selamat lebih baik diam. Jika dia menjawab, belajar bahasa Indonesia di Tarutung, tempat kelahirannya, pasti habis dia. Ada saja alasan untuk mengejar. Saya tak kuasa menahan senyum. Tiba tiba dokter Pras melihat ke arah saya sambil menggebrak meja. “Ini bukan ketoprak. Tidak ada yang lucu. Nggak usah cengengesan”. Woto menginjak kaki saya. Pikir saya, siapa yang mau main ketoprak siang siang gini. Konperensi yang menegangkan itu selesai jam setengah sepuluh. Dokter Prono, dokter Pras dan dokter2 lain memberi ucapan selamat ke tim operasi dan terima kasih atas keberhasilan operasi. Terutama ke pimpinan operasi, dokter Hasibuan. Kami semua kembali ke tugas rutin. Saya pagi itu di poli klinik.
Tiga puluh enam tahun telah berlalu. Sore tadi saya mendatangi bekas rumah sakit Manguyudan bersama Nyi. Kedua anak kami lahir di rumah sakit ini, Wisnu dan si bungsu Moko almarhum. Bangunan itu tetap masih asri seperti dulu. Damai dan tenang. Kebetulan sore tadi habis hujan, langit mendung dan hujan rintik rintik. Terasa syahdu mengingat masa lalu. Bangunan utama sedikit berubah, tetapi tak terlalu beda. Hanya pohon kelengkeng di halaman depan sudah tidak ada. Tanah di halaman depan sudah tertutup conblock. “Saya pernah bertugas di rumah sakit ini di tahun 1974” saya memperkenalkan diri ke petugas Satpam. “Saya belum lahir pak. Bapak dokter ya?” Petugas itu ramah menyambut saya. Saya mengambil beberapa foto. Sekarang jadi kampus pendidikan D3 kebidanan.
Dokter Suprono, dokter Prastowo sudah tiada. Mereka tokoh senior pendidikan dokter, terutama bidang kandungan dan kebidanan. Dosen yang saya kagumi. Dibawah kepemimpinan mereka rumah sakit Mangkuyudan menjadi tempat rujukan untuk menurunkan angka kematian ibu, paling tidak untuk Yogyakarta waktu itu. Saya selalu menghormati beliau berdua. Bersama dokter Prastowo, saya kemudian ikut menjadi pengurus himpunan dokter perdamaian Indonesia. Dokter Hasibuan masih aktif sampai sekarang. Saya ketemu terakhir enam bulan lalu di bandara Adisucipto, kebetulan bersama dalam satu pesawat menuju Jakarta. Dia tak ingat insiden ‘Vaginanya tidak ada yang rusak” itu.
Saya merasa bangga bisa ikut dalam tim operasi menyelamatkan seorang ibu dari Gunung Kidul itu tiga puluh enam tahun lalu. Namun itu tak cukup. Perjalanan masih sangat jauh untuk menurunkan angka kematian ibu. Angka kematian ibu di Indonesia, masih termasuk tinggi di Asia. Dokter Fadilah, mantan menteri kesehatan, yang juga pernah bertugas sebagai ko asisten di rumah sakit Mangkuyudan pernah cerita waktu ketemu di bandara Changi dua tahun lalu. “Selama lima tahun terakhir, kami berhasil menurunkan dari 400 kematian ibu per 100 000 kelahiran, menjadi 250 per seratus ribu”. Tetapi itu masih terlalu tinggi. Masih banyak daerah kantong2 kematian ibu di Indonesia. Ada 6 orang isteri teman yang saya kenal yang meninggal saat melahirkan. Lima di antara mereka adalah isteri dokter dan dekat dengan pelayanan rujukan. Bukan tinggal di daerah pedalaman yang jauh dari pelayanan medis. Semua teknologi dan obat obatan tersedia dan terjangkau di masa kini. Kematian ibu harus diturunkan. At any price.
Salam damai dan sejahtera. Tulisan ini khusus saya persembahkan untuk Bung B. Haryo Prasetyo di Ottawal yang kebetulan juga lahir di Mangkuyudan, tanggal ini. Selamat ulang tahun, semoga selalu bahagia, dan menggapai cita cita masa depan. Maaf kalau ada kata yang keliru.
Ki Ageng Similikithi.
Yogyakarta, 27 Mei 2010.
Monday, May 17, 2010
Jeng Srie, nuwun sewu, aku ora bali
Menjelang akhir tahun 1971. Minggu sore yang cerah. Habis hujan ringan siang harinya. Hawa sejuk menyegarkan. Saya menunggu bis di tepi jalan, di desa Ngampin, Ambarawa. Harus pulang ke Yogya. Angin bertiup ringan dengan aroma bau bunga kopi yang lembut. Rasanya malas, dalam suasana yang sejuk dan damai seperti ini, harus berangkat ke Yogya. Di kejauhan saya lihat Bapak saya duduk di halaman depan rumah, mengamati. Tiba tiba terdengar klakson mobil menyentak kesunyian. Bis Mustika mendekat dari arah Timur. Bis warna merah campur kuning menyolok. Jurusan Semarang Yogya. Si kernet berteriak lantang. Magelang ! Yogya !. Saya melambaikan tangan. Yogya ! Bis berhenti tepat di muka pintu kebun.
Saya berbalik melambaikan tangan ke arah Bapak di kejauhan, sebelum beranjak mendekati bis. “ Masih ada tempat duduk?”. Malas berdiri, meskipun hanya sampai Magelang. “Masih banyak tempat. Mari naik mas”. Si kernet membalas. Dengan sigap saya loncat, masuk lewat pintu belakang. Ada beberapa tempat duduk yang masih kosong. “Maaf ya mbak”, sekedar basa basi saya minta permisi untuk duduk berdampingan dengan seorang wanita muda di barisan kursi sebelah kiri. “ Silahkan, masih kosong”. Saya langsung duduk ketika gadis itu menyapa “ Lho sampeyan ya San ?”.
Saya terhenyak. Hanya teman SMP yang memanggil saya dengan panggilan itu. Saya tatap wajahnya. Lupa lupa ingat. Teman waktu sekolah di Taman Siswa Ambarawa lebih lima tahun lewat. “ Srie ya?” jawab saya tergagap. Belum hilang rasa kaget saya. Dia tahu saya terkejut. “Iya, Srie Lestari. Lupa ya?”. Saya mencoba menjelaskan dan menutupi rasa malu . “Lupa sih enggak. Hanya terkejut saja. Lama sekali kita tak pernah jumpa”. Dia mencoba menjelaskan “ Kita ketemu terakhir kali saat perpisahan sekolah. Pertengahan tahun 1965. Habis itu masing masing menghilang”.
Srie adalah teman satu sekolah di Taman Siswa Ambarawa. Sesudah lulus dia meneruskan ke SMA di Salatiga atau Semarang. Sedangkan saya ke Solo. Lulus SMA dia kuliah di Fakultas Sastra UGM , jurusan Sastra Nusantara. Saya meneruskan kuliah di kompleks Ngasem, Fakultas Kedokteran UGM. Kami asyik ngobrol dalam bis. Cerita tentang pengalaman masing masing selama enam tahun terakhir sesudah meninggalkan Ambarawa. Kami sama sama duduk di tahun ketiga di UGM. Kami cerita tentang teman teman semasa SMP dulu. Santi tak bisa melanjutkan sekolah sesudah tamat Taman Siswa. Peristiwa 1965 sangat menghantam keluarga Santi. Bapaknya ikut hilang. Srie tahu persis kalau saya sama Santi ada rasa istimewa dulunya. Cinta pertama, cinta monyet.
Srie tak banyak berubah sejak dari SMP dulu. Pembawaannya tenang dan kalem. Omongannya selalu teratur kalimat demi kalimat. Dalam bahasa Jawa yang halus. Sore itu dia memakai terusan warna kuning lembut dengan sweeter jambon. Kalem sekali. Cocok dengan warna kulitnya, kuning langsat. Kulitnya halus terawat. Rambutnya hitam lurus sampai ke pinggang. Ada jepitan rambut warna ungu terpasang menahan rambut yang melambai lambai tertiup angin. Dia tak terbiasa tertawa lepas berderai, tetapi senyumnya selalu menghias wajah lembut dalam setiap ungkapan kalimat demi kalimat. Saya menikmati ceritanya. Menikmati ucapannya di antara senyuman senyuman lembut. Ketika saya berkomentar tentang warna sweeternya yang lembut cocok dengan parasnya, dia tersipu. Balik berkomentar. “Baju anda warnanya pas sekali. Kalem”. Saya ingat memakai baju ungu muda. Tetapi ada sulaman benang warna keemasan menyolok di dada jika kena lampu malam hari. Ndesit. Minggu kemarin diolok olok teman teman pondokan, katanya baju penganten, pakai emas. Moga moga dia nggak lihat warna keemasan menyolok di dada kiri dan kanan ini.
Kami terus mengobrol sampai memasuki kota Yogya. “Saya turun di Gondolayu. Saya tinggal di Jalan Jendral Sudirman”. Dia memberikan catatan alamatnya. Saya juga baru ingat kalau saya tak lagi tinggal di Gerjen. Sudah beberapa minggu saya pindah ke jalan Pajeksan, di dekat Malioboro. Buru buru saya membalas “ Saya juga turun di Gondolayu. Saya tinggal di Pajeksan, Malioboro”. Menjelang maghrip saya antar Srie turun dari bis ke kompleks perumahan Bank Agung. Hanya mengantar sampai pintu masuk. Kami bersalaman erat di pintu itu. Terasa dingin ketika tangan kami bersalaman. Jabat tangan ringan. Sekedar ungkapan persahabatan. Kami janji akan bertemu hari Sabtu malam. “Jika anda ada waktu luang, kita bisa bertemu Sabtu malam besok”. Wah berarti belum ada yang ngapeli dia. Orang Jawa bilang “rindik asu digitik”. Lebih cepat dari lari anjing yang kena sabet. Cepat cepat saya menukasnya. “ Boleh Sabtu malam saya ke sini”. Pikir saya dari pada malam Minggu sendirian di kamar, berselimut sarung. Lebih baik mengunjungi teman lama. Senyumnya yang kalem di antara untaian kalimat kalimat halus berbahasa Jawa. Tak biasa saya jumpai di kalangan teman2 putri di kampus. Teman putri satu kampus datang dari seluruh penjuru tanah air. Kebanyakan bercakap dalam bahasa Indonesia. Pergaulan dan percakapan kami selalu lugas apa adanya.
Sabtu petang di akhir minggu saya mengunjunginya. Dia tinggal dengan bapaknya dan ke dua adiknya di kompleks perumahan. Ibunya di rumah Ambarawa. Memang mereka sekeluarga asli Ambarawa. Saya berkenalan dengan Bapaknya dan kedua adiknya. Mereka juga berbahasa halus sekali. Mungkin keluarga itu memang sudah terdidik dan terbiasa dengan pembawaan yang halus. Bercerita tentang masa lalu saat masih di Ambarawa, terutama saat bersama di Taman Siswa. Malam itu saya disiplin, pamit pulang jam sembilan malam. Srie mengantar saya sampai pintu depan. Saat bersalaman, dia bilang “ Jika ada waktu datanglah setiap akhir pekan Ki. Kita bisa ngobrol”. Saya mengiyakannya. “Pasti saya akan selalu datang”. Malam malam Minggu berikutnya saya selalu datang. Menikmati ceritanya. Gaya bicaranya yang halus teratur. Dalam bahasa Jawa dengan tata bahasa yang bersih. Di antara senyuman lembut yang indah. Seperti mendengarkan cerita roman karya Any Asmara, Kumandanging Katresnan, roman klasik berbahasa Jawa yang terbit di tahun lima puluhan.
Surat surat di antara kami saling terkirim. Juga dengan bahasa Jawa yang halus. Saya merasa dekat sekali dengannya. Merasa segan dan hormat akan kelembutan sikap dan kata katanya. Ingin selalu dekat dengannya. Mendengar kata katanya berbisik halus di antara senyuman lembut. Di satu malam yang indah. Habis hujan waktu itu. Langit terlihat kelam tanpa bintang. Kami duduk bedua di pavilion depan. Tak ada siapa siapa. Berdua berdampingan. Dia bercerita dengan tenang. Dengan senyuman indah di antara kalimat yang keluar teratur satu per satu. Saya menggenggam tangannya yang sejuk. Kami duduk berhimpitan di kursi panjang. Ada rasa kekaguman yang dalam. Rasa sayang dan hormat saya tak terkira. Pikiran dan perasaan saya mengembara ke langit sana. Tak ada keberanian, tak ada kemampuan, tak ada daya. Untuk membelai, untuk memeluk, apalagi mencium wajah lembut dan halus itu. Senyumnya tetap tersungging, meski dia nampak gelisah. Wajahnya semakin memerah cantik. Hanya rasa kagum yang platoonik membayang dalam pikiran saya. Ketika dia berujar “Kemana Ki kita menuju”. Dalam bahasa Jawa yang halus. Saya hanya mampu menjawabnya singkat “ Kita berjalan ke depan. Bersama sama entah sampai mana”.
Malam itu saya pulang menyusur sepanjang jalan Mangkubumi dan Malioboro. Ingatan saya melayang pengalaman cinta pertama kali dengan Eny dua tahun sebelumnya. Yang dengan penuh gelora memeluk dan mencium saya dengan tiba tiba di kegelapan di bawah pohon jambu itu. Beda sekali. Srie selalu lembut dan kalem. Dan saya tak bernyali untuk memulainya. Hari hari berlalu, minggu minggu berlalu, bulan bulan terlewati. Kami tetap setia bertemu di setiap akhir pekan. Entah di Yogya. Entah di Ambarawa. Pertemuan pertemuan yang asyik dengan cerita. Tutur katanya selalu membuat saya terkagum kagum luar biasa. Senyumnya selalu membuat saya terpesona. Tetapi setiap saat hanya membuat saya terpana tanpa daya. Tak ada nyali. Tak ada daya untuk bermain cinta. Ingat pengalaman berhubungan dengan Eny dua tahun lewat. Tak ada cerita jika bertemu. Tak ada ungkapan tata bahasa pujangga. Diam seribu bahasa. Langsung sergap sampai lumat. Edaan.
Hampir setahun saya selalu mengunjungi Srie. Selalu berbincang dengan asyik dan lembut. Dia juga selalu mendengar cerita cerita saya. Tentang kuliah. Tentang losmen. Saya kebetulan tinggal di losmen. Sambil mengurusi losmen, sekalian kerja, ada tambahan uang saku dan kuliah. Tetapi tak pernah ada janji di antara kami berdua. Tidak pernah ada ungkapan cinta. Saya lupa bulannya. Saya sudah duduk di tingkat empat di tahun 1972. Beberapa minggu lagi kami akan stuy tour akhir tahun ajaran ke Bali. Suatu siang sesudah ujian saya ajak teman sekelas, asal Ambarawa, almarhum Purwo, mengunjungi Srie di Gondolayu. Seperti biasa, Purwo selalu merokok. Tetapi dia tak banyak cerita. Hanya mendengar saya berbincang dengan Srie. Gaya pebicaraan kami mungkin agak aneh di mata Purwo. Dia kebanyakan diam, tak seperti biasanya.
Pulang dari tempat Srie, kami makan soto. Purwo tak banyak bicara. Dia hanya komentar. “Srie gadis cantik Ki. Tapi nggak cocok buat kamu. Ada sesuatu yang aneh di antaramu”. Saya hanya menggumam kalau kami belum kata kata yang mengikat. “Nggak usah bohong bung. Tetapi jangan diteruskan. Sama sama orang Ambarawa. Tak baik jika ada apa apa nantinya”. Hari Sabtu malam terakhir sebelum saya ke Bali, saya menemui Srie dan pamitan. Sewaktu saya akan pulang dia berpesan “ Nek kondur seka Bali, tindak rene ya”. Kalau pulang dari Bali, datang ke sini ya. Kami bersalaman erat di pintu gerbang. Kata kata itu masih teringat. Rupanya itu terakhir kali saya mengunjunginya. Di Bali, saya satu rombongan dengan EMSA teman satu klub belajar. Dia hangat dan ceria. Selalu dekat dengan saya. Purwo pernah berteriak ke kami di pantai Kuta. “Jangan lengket lengket. Nanti bisa kebablasen jatuh cinta”.
Pulang dari Bali, saya tak sempat mengunjungi Srie. Saya mengaguminya. Menghormatinya. Tetapi saya yakin kalau perasaan saya tidak sampai mencintainya. Dan kami selama sebelas bulan terakhir memang tak pernah menyatakan cinta. Tak pernah bermain cinta. Suatu malam di bulan Mei menjelang ulang tahun saya menerima kiriman. Ketika saya buka. Ada bahan baju warna ungu indah. Kalimat ucapan selamat ulang tahun. Dalam bahasa Jawa halus yang indah. “Kondur seka Bali kok ora tindak nang nggonku Ki. Awake dewe mlaku bareng mung tekan semene ya?” Pulang dari Bali kok tidak datang lagi. Perjalanan kita hanya sampai sekian ya ?”. Saya tak bisa membalas panjang lebar. Hanya ungkapan terima kasih tiada tara dan permintaan maaf “ Nuwun sewu Jeng Srie, aku ora isa sowan”.
Sejak saat itu saya tak pernah berjumpa lagi. Hanya di akhir tahun delapan puluhan saya bertemu sepintas. Srie dengan dua orang putranya mengantar sang suami urusan program paska sarjana di kampus. Kami hanya bersalaman tetapi tak sempat cerita panjang lebar. Dia tinggal bersama dengan keluarganya di Jawa Tengah Selatan. Saya ajak mampir di kantor saya, dia menolak dengan halus. “Saya menemani anak anak di halaman sini”. Dia nampak berbahagia sekali dengan kedua putra putrinya.
Salam damai dan bahagia untuk mama Srie. Maaf jika ada kata kata yang keliru. Ki Ageng Similikithi
Saya berbalik melambaikan tangan ke arah Bapak di kejauhan, sebelum beranjak mendekati bis. “ Masih ada tempat duduk?”. Malas berdiri, meskipun hanya sampai Magelang. “Masih banyak tempat. Mari naik mas”. Si kernet membalas. Dengan sigap saya loncat, masuk lewat pintu belakang. Ada beberapa tempat duduk yang masih kosong. “Maaf ya mbak”, sekedar basa basi saya minta permisi untuk duduk berdampingan dengan seorang wanita muda di barisan kursi sebelah kiri. “ Silahkan, masih kosong”. Saya langsung duduk ketika gadis itu menyapa “ Lho sampeyan ya San ?”.
Saya terhenyak. Hanya teman SMP yang memanggil saya dengan panggilan itu. Saya tatap wajahnya. Lupa lupa ingat. Teman waktu sekolah di Taman Siswa Ambarawa lebih lima tahun lewat. “ Srie ya?” jawab saya tergagap. Belum hilang rasa kaget saya. Dia tahu saya terkejut. “Iya, Srie Lestari. Lupa ya?”. Saya mencoba menjelaskan dan menutupi rasa malu . “Lupa sih enggak. Hanya terkejut saja. Lama sekali kita tak pernah jumpa”. Dia mencoba menjelaskan “ Kita ketemu terakhir kali saat perpisahan sekolah. Pertengahan tahun 1965. Habis itu masing masing menghilang”.
Srie adalah teman satu sekolah di Taman Siswa Ambarawa. Sesudah lulus dia meneruskan ke SMA di Salatiga atau Semarang. Sedangkan saya ke Solo. Lulus SMA dia kuliah di Fakultas Sastra UGM , jurusan Sastra Nusantara. Saya meneruskan kuliah di kompleks Ngasem, Fakultas Kedokteran UGM. Kami asyik ngobrol dalam bis. Cerita tentang pengalaman masing masing selama enam tahun terakhir sesudah meninggalkan Ambarawa. Kami sama sama duduk di tahun ketiga di UGM. Kami cerita tentang teman teman semasa SMP dulu. Santi tak bisa melanjutkan sekolah sesudah tamat Taman Siswa. Peristiwa 1965 sangat menghantam keluarga Santi. Bapaknya ikut hilang. Srie tahu persis kalau saya sama Santi ada rasa istimewa dulunya. Cinta pertama, cinta monyet.
Srie tak banyak berubah sejak dari SMP dulu. Pembawaannya tenang dan kalem. Omongannya selalu teratur kalimat demi kalimat. Dalam bahasa Jawa yang halus. Sore itu dia memakai terusan warna kuning lembut dengan sweeter jambon. Kalem sekali. Cocok dengan warna kulitnya, kuning langsat. Kulitnya halus terawat. Rambutnya hitam lurus sampai ke pinggang. Ada jepitan rambut warna ungu terpasang menahan rambut yang melambai lambai tertiup angin. Dia tak terbiasa tertawa lepas berderai, tetapi senyumnya selalu menghias wajah lembut dalam setiap ungkapan kalimat demi kalimat. Saya menikmati ceritanya. Menikmati ucapannya di antara senyuman senyuman lembut. Ketika saya berkomentar tentang warna sweeternya yang lembut cocok dengan parasnya, dia tersipu. Balik berkomentar. “Baju anda warnanya pas sekali. Kalem”. Saya ingat memakai baju ungu muda. Tetapi ada sulaman benang warna keemasan menyolok di dada jika kena lampu malam hari. Ndesit. Minggu kemarin diolok olok teman teman pondokan, katanya baju penganten, pakai emas. Moga moga dia nggak lihat warna keemasan menyolok di dada kiri dan kanan ini.
Kami terus mengobrol sampai memasuki kota Yogya. “Saya turun di Gondolayu. Saya tinggal di Jalan Jendral Sudirman”. Dia memberikan catatan alamatnya. Saya juga baru ingat kalau saya tak lagi tinggal di Gerjen. Sudah beberapa minggu saya pindah ke jalan Pajeksan, di dekat Malioboro. Buru buru saya membalas “ Saya juga turun di Gondolayu. Saya tinggal di Pajeksan, Malioboro”. Menjelang maghrip saya antar Srie turun dari bis ke kompleks perumahan Bank Agung. Hanya mengantar sampai pintu masuk. Kami bersalaman erat di pintu itu. Terasa dingin ketika tangan kami bersalaman. Jabat tangan ringan. Sekedar ungkapan persahabatan. Kami janji akan bertemu hari Sabtu malam. “Jika anda ada waktu luang, kita bisa bertemu Sabtu malam besok”. Wah berarti belum ada yang ngapeli dia. Orang Jawa bilang “rindik asu digitik”. Lebih cepat dari lari anjing yang kena sabet. Cepat cepat saya menukasnya. “ Boleh Sabtu malam saya ke sini”. Pikir saya dari pada malam Minggu sendirian di kamar, berselimut sarung. Lebih baik mengunjungi teman lama. Senyumnya yang kalem di antara untaian kalimat kalimat halus berbahasa Jawa. Tak biasa saya jumpai di kalangan teman2 putri di kampus. Teman putri satu kampus datang dari seluruh penjuru tanah air. Kebanyakan bercakap dalam bahasa Indonesia. Pergaulan dan percakapan kami selalu lugas apa adanya.
Sabtu petang di akhir minggu saya mengunjunginya. Dia tinggal dengan bapaknya dan ke dua adiknya di kompleks perumahan. Ibunya di rumah Ambarawa. Memang mereka sekeluarga asli Ambarawa. Saya berkenalan dengan Bapaknya dan kedua adiknya. Mereka juga berbahasa halus sekali. Mungkin keluarga itu memang sudah terdidik dan terbiasa dengan pembawaan yang halus. Bercerita tentang masa lalu saat masih di Ambarawa, terutama saat bersama di Taman Siswa. Malam itu saya disiplin, pamit pulang jam sembilan malam. Srie mengantar saya sampai pintu depan. Saat bersalaman, dia bilang “ Jika ada waktu datanglah setiap akhir pekan Ki. Kita bisa ngobrol”. Saya mengiyakannya. “Pasti saya akan selalu datang”. Malam malam Minggu berikutnya saya selalu datang. Menikmati ceritanya. Gaya bicaranya yang halus teratur. Dalam bahasa Jawa dengan tata bahasa yang bersih. Di antara senyuman lembut yang indah. Seperti mendengarkan cerita roman karya Any Asmara, Kumandanging Katresnan, roman klasik berbahasa Jawa yang terbit di tahun lima puluhan.
Surat surat di antara kami saling terkirim. Juga dengan bahasa Jawa yang halus. Saya merasa dekat sekali dengannya. Merasa segan dan hormat akan kelembutan sikap dan kata katanya. Ingin selalu dekat dengannya. Mendengar kata katanya berbisik halus di antara senyuman lembut. Di satu malam yang indah. Habis hujan waktu itu. Langit terlihat kelam tanpa bintang. Kami duduk bedua di pavilion depan. Tak ada siapa siapa. Berdua berdampingan. Dia bercerita dengan tenang. Dengan senyuman indah di antara kalimat yang keluar teratur satu per satu. Saya menggenggam tangannya yang sejuk. Kami duduk berhimpitan di kursi panjang. Ada rasa kekaguman yang dalam. Rasa sayang dan hormat saya tak terkira. Pikiran dan perasaan saya mengembara ke langit sana. Tak ada keberanian, tak ada kemampuan, tak ada daya. Untuk membelai, untuk memeluk, apalagi mencium wajah lembut dan halus itu. Senyumnya tetap tersungging, meski dia nampak gelisah. Wajahnya semakin memerah cantik. Hanya rasa kagum yang platoonik membayang dalam pikiran saya. Ketika dia berujar “Kemana Ki kita menuju”. Dalam bahasa Jawa yang halus. Saya hanya mampu menjawabnya singkat “ Kita berjalan ke depan. Bersama sama entah sampai mana”.
Malam itu saya pulang menyusur sepanjang jalan Mangkubumi dan Malioboro. Ingatan saya melayang pengalaman cinta pertama kali dengan Eny dua tahun sebelumnya. Yang dengan penuh gelora memeluk dan mencium saya dengan tiba tiba di kegelapan di bawah pohon jambu itu. Beda sekali. Srie selalu lembut dan kalem. Dan saya tak bernyali untuk memulainya. Hari hari berlalu, minggu minggu berlalu, bulan bulan terlewati. Kami tetap setia bertemu di setiap akhir pekan. Entah di Yogya. Entah di Ambarawa. Pertemuan pertemuan yang asyik dengan cerita. Tutur katanya selalu membuat saya terkagum kagum luar biasa. Senyumnya selalu membuat saya terpesona. Tetapi setiap saat hanya membuat saya terpana tanpa daya. Tak ada nyali. Tak ada daya untuk bermain cinta. Ingat pengalaman berhubungan dengan Eny dua tahun lewat. Tak ada cerita jika bertemu. Tak ada ungkapan tata bahasa pujangga. Diam seribu bahasa. Langsung sergap sampai lumat. Edaan.
Hampir setahun saya selalu mengunjungi Srie. Selalu berbincang dengan asyik dan lembut. Dia juga selalu mendengar cerita cerita saya. Tentang kuliah. Tentang losmen. Saya kebetulan tinggal di losmen. Sambil mengurusi losmen, sekalian kerja, ada tambahan uang saku dan kuliah. Tetapi tak pernah ada janji di antara kami berdua. Tidak pernah ada ungkapan cinta. Saya lupa bulannya. Saya sudah duduk di tingkat empat di tahun 1972. Beberapa minggu lagi kami akan stuy tour akhir tahun ajaran ke Bali. Suatu siang sesudah ujian saya ajak teman sekelas, asal Ambarawa, almarhum Purwo, mengunjungi Srie di Gondolayu. Seperti biasa, Purwo selalu merokok. Tetapi dia tak banyak cerita. Hanya mendengar saya berbincang dengan Srie. Gaya pebicaraan kami mungkin agak aneh di mata Purwo. Dia kebanyakan diam, tak seperti biasanya.
Pulang dari tempat Srie, kami makan soto. Purwo tak banyak bicara. Dia hanya komentar. “Srie gadis cantik Ki. Tapi nggak cocok buat kamu. Ada sesuatu yang aneh di antaramu”. Saya hanya menggumam kalau kami belum kata kata yang mengikat. “Nggak usah bohong bung. Tetapi jangan diteruskan. Sama sama orang Ambarawa. Tak baik jika ada apa apa nantinya”. Hari Sabtu malam terakhir sebelum saya ke Bali, saya menemui Srie dan pamitan. Sewaktu saya akan pulang dia berpesan “ Nek kondur seka Bali, tindak rene ya”. Kalau pulang dari Bali, datang ke sini ya. Kami bersalaman erat di pintu gerbang. Kata kata itu masih teringat. Rupanya itu terakhir kali saya mengunjunginya. Di Bali, saya satu rombongan dengan EMSA teman satu klub belajar. Dia hangat dan ceria. Selalu dekat dengan saya. Purwo pernah berteriak ke kami di pantai Kuta. “Jangan lengket lengket. Nanti bisa kebablasen jatuh cinta”.
Pulang dari Bali, saya tak sempat mengunjungi Srie. Saya mengaguminya. Menghormatinya. Tetapi saya yakin kalau perasaan saya tidak sampai mencintainya. Dan kami selama sebelas bulan terakhir memang tak pernah menyatakan cinta. Tak pernah bermain cinta. Suatu malam di bulan Mei menjelang ulang tahun saya menerima kiriman. Ketika saya buka. Ada bahan baju warna ungu indah. Kalimat ucapan selamat ulang tahun. Dalam bahasa Jawa halus yang indah. “Kondur seka Bali kok ora tindak nang nggonku Ki. Awake dewe mlaku bareng mung tekan semene ya?” Pulang dari Bali kok tidak datang lagi. Perjalanan kita hanya sampai sekian ya ?”. Saya tak bisa membalas panjang lebar. Hanya ungkapan terima kasih tiada tara dan permintaan maaf “ Nuwun sewu Jeng Srie, aku ora isa sowan”.
Sejak saat itu saya tak pernah berjumpa lagi. Hanya di akhir tahun delapan puluhan saya bertemu sepintas. Srie dengan dua orang putranya mengantar sang suami urusan program paska sarjana di kampus. Kami hanya bersalaman tetapi tak sempat cerita panjang lebar. Dia tinggal bersama dengan keluarganya di Jawa Tengah Selatan. Saya ajak mampir di kantor saya, dia menolak dengan halus. “Saya menemani anak anak di halaman sini”. Dia nampak berbahagia sekali dengan kedua putra putrinya.
Salam damai dan bahagia untuk mama Srie. Maaf jika ada kata kata yang keliru. Ki Ageng Similikithi
Friday, May 14, 2010
Apa yang kau cari Cynthia?
Hari ini pulang terlambat. Jam tujuh malam baru bisa meninggalkan kantor. Seharian ada pertemuan dari pagi sampai sore. Tak bisa meninggalkan pertemuan walau tak langsung berkaitan dengan program saya. Lewat jam 5 baru bisa mengerjakan pekerjaan sehari hari. Jalanan tak begitu padat lagi. Saya menyusur United Nations Avenue terus ke Del Pillar. Agak memutar. Tetapi tak apa. Pengin mampir makan di Red Sea restaurant. Rumah makan Timur Tengah. Hampir tiap akhir pekan makan disana. Biasanya bersama Nyi. Sabtu kemarin bersama tamu dari Korea. Si pelayan langsung tanya “Where is mom?”. Mungkin ragu ragu dia, saya datang dengan orang lain. “My wife is in Oman”. Hari ini saya datang sendirian. Pertanyaannya sama juga “Where is your wife?”. “I told you she is in Oman. Give me egg plant saluna with lamb and ice tea”. Jawab saya singkat. Egg plant saluna with lamb, kesukaan saya, kesukaan Nyi, kesukaan bersama.
Jam setengah sembilan baru sampai rumah. Petugas jaga Datoin, giliran jaga malam. Dia memberi tahu kalau salah satu tutup lubang dongkrak mobil hilang. Dia memeriksanya sejenak dan kami bicara sebentar di lantai parkir. Tiba tiba terdengar langkah ringan menuruni tangga. Cynthia ternyata mau berangkat pergi. Terlalu dini, biasanya menjelang tengah malam baru berangkat. Berpakaian rok tipis setengah mini. Pakaian pesta. Agak menyolok. Celah dadanya begitu rendah menantang. Gaun bawahnya setengah paha. Masih nampak seksi. Kulitnya halus bersih warna sawo matang. Namun tak terkesan sudah lewat usia empat puluh. Masih menawan. Tak kelihatan letih kurang tidur seperti biasanya. Biasanya saya ketemu pagi hari. Terlihat kuyu kurang tidur karena dini hari dia baru pulang. Malam ini wajahnya nampak segar berseri dengan make up tipis. “ Hi Ki, come home late?”. “ Having a long meeting in the office”jawab saya. “No ballroom tonite KI “. “ No ballroom. You have party ?”. Jawab saya sambil memancing. “Having a date. Life music ”. Jawabnya bisa ditebak. Dia pasti ke club Blue Moon. Punya hubungan khusus dengan salah satu penyanyi pria di sana. Masih muda, sekitar awal tiga puluhan. Saya sering melihatnya datang ke apartemen. Pria ganteng. Nampak maskulin dengan bangunan tubuh kokoh berotot. Tidak begitu lajim untuk pria Filipina yang selalu nampak lembut dan feminine.
Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya. Cynthia baru saja resmi berpisah dengan suaminya Efren. Efren dapat pasangan baru. Gadis cantik umut 26 tahun. Nggak tahu apa alasannya, tetapi Efren dan pasangan barunya sering datang ke apartemen. Hanya bicara sebentar sama penjaga di lantai bawah. Tak mungkin masuk ke apartemennya dulu. Sudah resmi pisah sama Cynthia. Mungkin hanya pengin bikin panas sang mantan isteri, Cynthia. Efren dan pasangan barunya sering ke karaoke di ujung jalan. Mungkin bernyanyi ria, lagu tentang cinta, tentang burung. Burung Kakak Tua, Burung Dalam Sangkar, Burung Nuri, Burung Camar. Pokoknya nyanyian burung. Nyanyian kebebasan. Kebebasan burung. Pernah menawari basa basi. “ Ki lets go karaoke”. “ Go ahead, Nyi is not around”. Mereka juga tak peduli. Ngapain saya ikut. Mereka baru in the mood. Pas panas panasnya, pasangan baru. Salah salah malah mengganggu mereka berdua atau jadi ingin meniru. Lebih baik menjaga jarak. Kalau perlu mengintip saja.
Pas hari perpisahan mereka disahkan pengadilan, penasehat hukum Cynthia datang malam malam. Pulang pagi hari. Biasa, konsultasi dengan penasehat hukum tak bisa cepat selesai. Bisa selesai setengah jam atau kurang, kalau kliennya wanita lanjut usia. Jika kliennya masih muda dan cantik, seperti Cynthia, apa lagi pas kesepian, konsultasi bisa berjalan semalam suntuk. Bisa dipahami, cuma susah ditiru. Alasan bisa di bikin. Menyelesaikan semua transaksi hukum. Menelaah kembali adakah kekeliruan dalam proses pengadilan. Apapun alasannya mereka juga nggak peduli. Yang penting semalam suntuk, titik.
Pacar baru Cynthia, si penyanyi tampan, hanya datang teratur sampai tiga minggu. Biasanya datang dini hari sampai tengah hari. Jarang saya bertemu kecuali di akhir pekan. Cynthia kadang kadang bertemu di lantai parkir pagi hari. Mengantar anak gadisnya turun untuk selanjutnya dijemput mobil sekolah. Seperti yang saya katakan, pagi pagi biasanya nampak kuyu dan lusuh. Hanya terbangun sebentar. Jadi kalau mau lihat Cynhia dalam keadaan segar dan cantik ya pilih malam hari. Mungkin saat dia turun ke lantai bawah. Tetapi saya tak punya nyali. Paling kalau dengar dia buka pintu atau berjalan di koridor, saya hanya terbatuk ringan. Suaranya terdengar nyaring di koridor “Hi KI”. Perbedaan penampilan antara pagi dan malam ini tak sesuai dengan cerita guru saya waktu SMP di Ambarawa. Pak Ebi bilang, wanita yang benar benar cantik akan terlihat lebih anggun dan cantik saat bangun tidur pagi hari. Tak bisa mengerti saya. Gimana kalau pas ngiler, mau kelihatan anggun dari mana?
Lewat tiga minggu, teman Cynthia berganti ganti. Semuanya hanya teman. Paling tidak teman kencan. Kadang kadang anak muda, kadang kadang pria setengah baya atau lanjut usia. Tak begitu mengejutkan. Mungkin berkaitan dengan pergantian konsepsi atau pandangan pribadi. Memperluas cakrawala pertemanan dan perkencanan, menjelajah umur, dari yang muda sampai tua. Dalam dunia tinju ini masuk kelas penjelajah, cruiser. Dalam dunia asmara tak tahu namanya. Mungkin kencan lintas usia. Yang mengherankan pria pria ini tak hanya lewat tengah malam. Tetapi sering sampai pagi. Yang bikin keki, ada seorang pria usia lanjut yang kadang kadang saya lihat. Terkesan berganti pakaian sendiri saja sudah pasti kesulitan dia, tetapi ternyata masih berani juga semalam suntuk. Kalau pulang pagi kadang kadang bersamaan dengan saya turun. Magandang umaga. Selamat pagi. Jalannya tertatih di anak tangga. Saya masih lebih gesit menuruni tangga. Tetapi di tempat tidur mungkin dia sangat perkasa, bisa terbang membawa pasangannya terasa melayang. Edaan. Jangan membandingkan, pikir saya. Keberuntungan orang lain lain. Kadang datang tak terduga.
Selang beberapa minggu kemudian. Tamunya berganti lagi. Selalu dalam pakaian formal. Pakai jas warna gelap, seperti seragam atau pakaian resmi. Bicaranya sopan dan gentle. Tak ada kesan urakan sama sekali. Kadang datang dan pergi diantar jemput mobil. Pria pria muda, tampan, gagah dan menarik. Tak pernah bertutur sapa langsung dengan saya. Hanya dengar kalau bicara dengan petugas jaga atau bicara dengan Cynthia di depan pintu. Suatu pagi saya bertemu salah satu dari pria itu di bawah. Good morning, sapanya sopan. Dia dijemput mobil warna putih. Sekali lagi Datoin yang buka kartu. He is a guest relation officer. Invited by Cynthia. Bukan teman kencan. Bukan client. Tetapi ternyata Cynthia yang jadi client bagi pria pria tampan itu.
Cynthia masih muda. Menarik dan cantik. Mau cari suami atau pasangan kohabitasi tetap kayak apa pasti tak akan susah. Tetapi pilihan orang memang bisa berbeda beda. Dia, paling tidak sementara ini, nampak menikmati kencan dengan jasa GRO. Memang wanita kaya, bisa memilih siapa saja, kapan saja, manasuka. Mau pilih pria yang tipe apa, tinggal lihat gambar dan angkat tilpon. Disuruh apa saja, depan belakang, atas bawah, pasti menurut. Tak ada pikiran buruk sama sekali. Pilihan masing masing.
Jam sebelas malam. Suara mobil masuk garasi di lantai bawah. Suara Cynthia terdengar lembut sepanjang koridor. Bersama teman kencannya. Moga moga cepat dapat teman pasangan tetap yang didambakan. Apa yang kaucari ? Siapa yang kau nanti dan kau dambakan?
Yang gumun,
Ki Ageng Similikithi
Jam setengah sembilan baru sampai rumah. Petugas jaga Datoin, giliran jaga malam. Dia memberi tahu kalau salah satu tutup lubang dongkrak mobil hilang. Dia memeriksanya sejenak dan kami bicara sebentar di lantai parkir. Tiba tiba terdengar langkah ringan menuruni tangga. Cynthia ternyata mau berangkat pergi. Terlalu dini, biasanya menjelang tengah malam baru berangkat. Berpakaian rok tipis setengah mini. Pakaian pesta. Agak menyolok. Celah dadanya begitu rendah menantang. Gaun bawahnya setengah paha. Masih nampak seksi. Kulitnya halus bersih warna sawo matang. Namun tak terkesan sudah lewat usia empat puluh. Masih menawan. Tak kelihatan letih kurang tidur seperti biasanya. Biasanya saya ketemu pagi hari. Terlihat kuyu kurang tidur karena dini hari dia baru pulang. Malam ini wajahnya nampak segar berseri dengan make up tipis. “ Hi Ki, come home late?”. “ Having a long meeting in the office”jawab saya. “No ballroom tonite KI “. “ No ballroom. You have party ?”. Jawab saya sambil memancing. “Having a date. Life music ”. Jawabnya bisa ditebak. Dia pasti ke club Blue Moon. Punya hubungan khusus dengan salah satu penyanyi pria di sana. Masih muda, sekitar awal tiga puluhan. Saya sering melihatnya datang ke apartemen. Pria ganteng. Nampak maskulin dengan bangunan tubuh kokoh berotot. Tidak begitu lajim untuk pria Filipina yang selalu nampak lembut dan feminine.
Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya. Cynthia baru saja resmi berpisah dengan suaminya Efren. Efren dapat pasangan baru. Gadis cantik umut 26 tahun. Nggak tahu apa alasannya, tetapi Efren dan pasangan barunya sering datang ke apartemen. Hanya bicara sebentar sama penjaga di lantai bawah. Tak mungkin masuk ke apartemennya dulu. Sudah resmi pisah sama Cynthia. Mungkin hanya pengin bikin panas sang mantan isteri, Cynthia. Efren dan pasangan barunya sering ke karaoke di ujung jalan. Mungkin bernyanyi ria, lagu tentang cinta, tentang burung. Burung Kakak Tua, Burung Dalam Sangkar, Burung Nuri, Burung Camar. Pokoknya nyanyian burung. Nyanyian kebebasan. Kebebasan burung. Pernah menawari basa basi. “ Ki lets go karaoke”. “ Go ahead, Nyi is not around”. Mereka juga tak peduli. Ngapain saya ikut. Mereka baru in the mood. Pas panas panasnya, pasangan baru. Salah salah malah mengganggu mereka berdua atau jadi ingin meniru. Lebih baik menjaga jarak. Kalau perlu mengintip saja.
Pas hari perpisahan mereka disahkan pengadilan, penasehat hukum Cynthia datang malam malam. Pulang pagi hari. Biasa, konsultasi dengan penasehat hukum tak bisa cepat selesai. Bisa selesai setengah jam atau kurang, kalau kliennya wanita lanjut usia. Jika kliennya masih muda dan cantik, seperti Cynthia, apa lagi pas kesepian, konsultasi bisa berjalan semalam suntuk. Bisa dipahami, cuma susah ditiru. Alasan bisa di bikin. Menyelesaikan semua transaksi hukum. Menelaah kembali adakah kekeliruan dalam proses pengadilan. Apapun alasannya mereka juga nggak peduli. Yang penting semalam suntuk, titik.
Pacar baru Cynthia, si penyanyi tampan, hanya datang teratur sampai tiga minggu. Biasanya datang dini hari sampai tengah hari. Jarang saya bertemu kecuali di akhir pekan. Cynthia kadang kadang bertemu di lantai parkir pagi hari. Mengantar anak gadisnya turun untuk selanjutnya dijemput mobil sekolah. Seperti yang saya katakan, pagi pagi biasanya nampak kuyu dan lusuh. Hanya terbangun sebentar. Jadi kalau mau lihat Cynhia dalam keadaan segar dan cantik ya pilih malam hari. Mungkin saat dia turun ke lantai bawah. Tetapi saya tak punya nyali. Paling kalau dengar dia buka pintu atau berjalan di koridor, saya hanya terbatuk ringan. Suaranya terdengar nyaring di koridor “Hi KI”. Perbedaan penampilan antara pagi dan malam ini tak sesuai dengan cerita guru saya waktu SMP di Ambarawa. Pak Ebi bilang, wanita yang benar benar cantik akan terlihat lebih anggun dan cantik saat bangun tidur pagi hari. Tak bisa mengerti saya. Gimana kalau pas ngiler, mau kelihatan anggun dari mana?
Lewat tiga minggu, teman Cynthia berganti ganti. Semuanya hanya teman. Paling tidak teman kencan. Kadang kadang anak muda, kadang kadang pria setengah baya atau lanjut usia. Tak begitu mengejutkan. Mungkin berkaitan dengan pergantian konsepsi atau pandangan pribadi. Memperluas cakrawala pertemanan dan perkencanan, menjelajah umur, dari yang muda sampai tua. Dalam dunia tinju ini masuk kelas penjelajah, cruiser. Dalam dunia asmara tak tahu namanya. Mungkin kencan lintas usia. Yang mengherankan pria pria ini tak hanya lewat tengah malam. Tetapi sering sampai pagi. Yang bikin keki, ada seorang pria usia lanjut yang kadang kadang saya lihat. Terkesan berganti pakaian sendiri saja sudah pasti kesulitan dia, tetapi ternyata masih berani juga semalam suntuk. Kalau pulang pagi kadang kadang bersamaan dengan saya turun. Magandang umaga. Selamat pagi. Jalannya tertatih di anak tangga. Saya masih lebih gesit menuruni tangga. Tetapi di tempat tidur mungkin dia sangat perkasa, bisa terbang membawa pasangannya terasa melayang. Edaan. Jangan membandingkan, pikir saya. Keberuntungan orang lain lain. Kadang datang tak terduga.
Selang beberapa minggu kemudian. Tamunya berganti lagi. Selalu dalam pakaian formal. Pakai jas warna gelap, seperti seragam atau pakaian resmi. Bicaranya sopan dan gentle. Tak ada kesan urakan sama sekali. Kadang datang dan pergi diantar jemput mobil. Pria pria muda, tampan, gagah dan menarik. Tak pernah bertutur sapa langsung dengan saya. Hanya dengar kalau bicara dengan petugas jaga atau bicara dengan Cynthia di depan pintu. Suatu pagi saya bertemu salah satu dari pria itu di bawah. Good morning, sapanya sopan. Dia dijemput mobil warna putih. Sekali lagi Datoin yang buka kartu. He is a guest relation officer. Invited by Cynthia. Bukan teman kencan. Bukan client. Tetapi ternyata Cynthia yang jadi client bagi pria pria tampan itu.
Cynthia masih muda. Menarik dan cantik. Mau cari suami atau pasangan kohabitasi tetap kayak apa pasti tak akan susah. Tetapi pilihan orang memang bisa berbeda beda. Dia, paling tidak sementara ini, nampak menikmati kencan dengan jasa GRO. Memang wanita kaya, bisa memilih siapa saja, kapan saja, manasuka. Mau pilih pria yang tipe apa, tinggal lihat gambar dan angkat tilpon. Disuruh apa saja, depan belakang, atas bawah, pasti menurut. Tak ada pikiran buruk sama sekali. Pilihan masing masing.
Jam sebelas malam. Suara mobil masuk garasi di lantai bawah. Suara Cynthia terdengar lembut sepanjang koridor. Bersama teman kencannya. Moga moga cepat dapat teman pasangan tetap yang didambakan. Apa yang kaucari ? Siapa yang kau nanti dan kau dambakan?
Yang gumun,
Ki Ageng Similikithi
Subscribe to:
Posts (Atom)