Tuesday, January 26, 2010

Saat bersanding


Jarak itu hanya sekitar dua ratus meter. Sama sekali tidak jauh, hanya harus menyeberang jalan raya Pekalongan Kajen. Namun terasa seolah jauh sekali. Pengin cepat sampai dan selesai semuanya. Saya berjalan pelan. Gelisah dan tak bisa tenang. Di kiri kanan saya, kakak sepupu, mas Harto dan kakak ipar mas Munir, berjalan menggamit lengan saya. Sementara irama gamelan terdengar gempita kadang diselingi musik padang pasir. Kombinasi yang janggal buat telinga saya yang tinggal di Solo dan Yogya ber tahun tahun.


Ketika lewat pasar di ujung jalan, orang di pasar ramai menonton arakan saya. Rasanya seperti pesakitan. Ada yang berteriak “ Heee ngantene isih bocah raaa”. Edan, bocah ora bocah urusannya apa ? Burung burung saya sendiri kok repot, pikir saya. Mas Harto berbisik agar saya memperlihatkan wajah ceria, tidak merengut. “Ora usah mbesengut, dongane diapalke”.

Hari itu tanggal 30 Desember 1975. Saya menjalani acara perkawinan di Pekajangan, Pekalongan, di tempat orang tua Nyi. Semalam tiba dari Ambarawa diantar rombongan keluarga dekat. Bapak dan ibu saya tidak bisa ikut. Bapak sedang dalam status tahanan, tetapi dapat ijin untuk menghadiri. Ibu saya menangis ketika saya pamitan kemarin siang. Saya masih ingat kakak saya membawa mobil sport klasiknya, Ford Mustang, dari Bandung. Mobil kesayangan itu dibawa dari Amerika bebera tahun lalu. Bapak saya bersama kakak sulung sekeluarga tinggal di hotel di Pekalongan. Menurut adat kebiasaan Jawa, orang tua pengantin pria tak biasanya menghadiri acara akad nikah. Hanya hadir saat pesta sesudah acara akad nikah selesai.


Sementara sebagian besar rombongan pulang ke Ambarawa semalam, dan datang kembali ke Pekajangan pagi itu untuk upacara. Mas Harto tinggal menemani saya di Pekajangan. Kami ditempatkan di rumah kakak Nyi. Dia menemani saya sampai larut, menghapal doa dalam bahasa Arab untuk acara akad nikah pagi harinya. ‘Diapalke sing genah, aja nganti kleru’, ujarnya berulang kali. Saya tahu dia penganut agama Katolik yang setia, tetapi tak merasa terganggu melihat saya menghapal doa itu. Tidak bisa tidur enak semalam.


Kira kira jam tujuh, setelah mandi, mau mulai ganti pakaian. Saya baru sadar kalau baju yang saya bawa dari Yogya keliru, ukurannya kekecilan dan ada cacat di samping kiri. Padahal saya tak punya serep baju yang warna putih. Adanya warna biru. Saya pikir tak apa apa, warna biru warna bagus. Tetapi dukun nganten bersikeras saya harus pakai baju putih. Terpaksa pagi pagi saya dengan mas Harto boncengan naik skuter Kongo, cari baju warna putih di pasar Kajen. Tak banyak pilihan, tetapi saya dapat baju warna putih. Tak begitu halus jahitannya. Tak apalah. Tetapi pagi tiu saya panik nggak karuan.


Kira kira jam sembilan, saya mulai dihias. Harusnya tak ada masalah, tinggal ikut sang perias saja. Tetapi belum hilang rasa panik, saya masih dibuat jengkel oleh sang tukang rias, Mukmin. Di bebet bagian depan dengan menyolok sekali tertulis kata Mukmin. Semua pakaian pengantin yang akan saya kenakan bertulisan Mukmin, menyolok sekali. Saya bertanya apakah ada pakaian lain, dia menjawab tidak ada. Walau nama saya bukan Mukmin, saya kenakan pakaian itu dengan kesal. Kemudian ketika wajah saya selesai di kasih bedak dan gincu, saya bersikeras agar dihapus atau dikurangi setipis mungkin. Merias pengantin kok kayak merias badut. Nyi mestinya tahu selera saya, perias konyol ini tak pas dengan saya.


Pertemuan saya dengan Nyi terakhir hampir dua minggu sebelumnya. Tak banyak bisa membicarakan rencana acara perkawinan secara rinci. Hanya menjalani pemeriksaan dan prosedur administratif di kantor urusan agama waktu itu. Kemarin sore saya melihatnya sejenak saat rombongan kami datang. Saya tak bisa menemuninya. Hanya melihat dia keluar menemui rombongan kami sebentar. Konon dalam adat Jawa, calon pengantin perempuan dan pria tak boleh bertemu sebelum nikah. Calon pengantin wanita harus dipingit. Supaya tidak kena angin. Itu maunya, tetapi jaman sekarang mana tahan? Kakak ipar saya, mbak Wati almarhum mendesak ingin lihat Nyi. Saya melihat sepintas, Nyi nampak kurang tidur. Melempar senyum dari jauh.


Perkenalan keluarga saya dengan keluarga Nyi semalam berjalan lancar. Sehabis acara formalitas saling memperkenalkan dan menyerahkan tanda mata peningset kami makan bersama. Begitu selesai acara makan, kedua bulik saya, Bulik Mus dan Bulik Parman almarhum, seperti biasa langsung merokok, Gudang Garam. Mereka wanita wanita kuat yang sangat berpengaruh dan dekat dalam hidup saya sejak kecil. Alpha female dalam keluarga. Nampak gembira sekali mengantar ponakan nikah. Esok harinya mereka berdua akan menggandeng saya dalam upacara nikah. “Wah nuntun pelen ya Ki”, canda bu Parman seperti biasa. Ketika saya ke belakang ikut sholat maggrib, saya dengar bapak mertua bilang sama ibu mertua “ Wah wedok wedok kok dha ngrokok ya”? Tak biasa wanita merokok di lingkungan keluarga Nyi. Saya pura pura tak mendengar. Bisa apa saya?


Ketika arakan penganten sampai di rumah NYI, saya langsung menjalani akad nikah di pavillion. Bapak mertua duduk di muka saya di samping pengulu. Sempat bertanya sebelum acara mulai “Wis apal dongane ?”. Saya mengiyakan ringan, tetapi rasa panik masih membayangi. Acara ijab kabul berlangsung lancar. Saya lihat mas Harto nampak tegang ketika saya mengucapkan ijab. Mungkin takut kalau saya tidak hapal kata katanya.


Kemudian saya digandeng kedua bulik saya ke acara adat pernikahan. Sementara menunggu calon penganten wanita keluar, bulik Mus berbisik bertanya “ Wis diwenehi suruh”? Dia menanyakan apakah saya sudah memegang daun sirih untuk acara saling lempar dengan pengantin wanita. Saya menggeleng pelan. Ternyata gulungan kecil daun sirih itu dibawa Bulik Parman. Dia cepat cepat mengeluarkannya dari dalam tas dan menyelipkan ke tangan saya. Ternyata yang diberikan bukan gulungan daun sirih, tetapi rokok keretek. Saya terkejut dan menoleh ke arahnya. Menyadari kekeliruannya, dia berbisik menggerutu “Asem, malah keliru rokok”. Cepat cepat merogoh tasnya kembali dan menyelipkan daun sirih itu ke tangan saya. Saya tak tahu apakah ada yang melihat insiden kecil itu. Bu lik Mus pun tidak tahu. Jika tahu pasti adiknya akan kena damprat kemudian.


Tak ada acara menginjak telor dan membasuh kaki penganten pria oleh penganten wanita. Terasa lebih mengarah ke persamaan gender, lebih demokratis dan sederhana. Setelah saling melempar sirih, saya menyalami tangan Nyi. Dia mencium tangan saya dan saya mencium keningnya. Kami berjalan bergandengan ke pelaminan. Sementara kepala mulai terasa nyeri berdenyut sebelah kiri. Saya khawatir jika migrain saya kumat. Cuma nggak ada rasa mual dan gejala kunang2 seperti biasanya. Saya sadar kemudian, jikaa blangkon yang saya pakai ukurannya terlalu kecil, terlalu ketat. Duduk di pelaminan pun rasanya pengin acara cepat berlalu dan bebas dari cengekraman blangkon yang sangat ketat, serta bebet yang bertuliskan Mukmin itu.


Melihat saya duduk gelisah adik saya Ari berulang kali mendekat dan berbisik agar saya memperbaiki posisi duduk. Bulik Parman sekali membisiki saya ‘Sing anteng le lungguh, aja kaya sapi pelen”. Duduk tenang, jangan seperti sapi jantan. Gurauan ini hanya bisa dimengerti oleh mereka yang terbiasa dengan peternakan sapi. Sapi jantan selalu liar dan sukar dikendalikan saat menjelang dikawinkan. Nyi juga tidak tahu. Saya mengeluh pelan ke NYI kalau kepala saya terasa sangat nyeri karena blangkon kekecilan.


Bapak saya datang ketika saya telah duduk bersanding di pelaminan. Acara berjalan lancar. Ada beberapa pidato singkat wakil keluarga. Dengan berbagai nasehat. Saya tak banyak bisa mencermatinya. Nyeri kepala berdenyut itu menguras daya konsentrasi saya. Tak apa. Isinya hapal. Kurang lebih isinya sama. Agar selalu rukun seperti mimi dan mintuna. Harus saling menghargai. Tak boleh ringan tangan ringan kaki. Harus setia pasangan, jangan selingkuh, jangan kawin lagi, jangan ma lima (main, madon, madat, maling, lupa apa satunya). Batin saya, nggiiiiiiiiiiiiiih. Manut dan terima saja, apa susahnya.


Di jaman itu acara perkawinan belum biasa dengan resepsi berdiri. Selalu resepsi duduk, seperti yang umum terjadi di Solo, dengan beberapa pidato wejangan untuk mempelai berdua. Seperti pidato pengarahan dalam acara seminar, lokakarya atau semiloka, gabungan antara seminar dan lokakarya. Saya ingat ada seorang tokoh partai (Golkar) setempat di tetangga desa di Ambarawa. Lupa namanya. Dia selalu ceramah memberikan pengarahan di rapat rapat ranting partai. Juga gemar memberikan ceramah di acara pernikahan. Karena beken kegiatannya di lingkungan partai, dia bahkan kabarnya sempat sampai menghadap presiden ke Cendana. Dalam acara pesta pernikahan tetangga saya di Ambarawa, dia menawarkan diri untuk memberikan ceramah pengantin. Ceramah nasehat perkawinannya sangat singkat to the point, suami isteri harus rukun. Yang panjang dan bikin lapar dan ngantuk, ceritanya panjang lebar saat menghadap ke Cendana.


Acara perkawinan saya untungnya tidak didominasi pidato nasehat dan pengarahan. Berjalan singkat, sederhana, apa adanya. Mungkin jika sampai mengalami seperti tetangga saya di Ambarawa itu, saya akan menggalang persatuan para calon penganten, untuk bersatu melawan kesewenang wenangan para penceramah perkawinan.


Lewat lohor acara sudah selesai. Lancar. Setelah rombongan keluarga pamit, saya cepat cepat masuk kamar mencopot blangkon dan seragam pengantin itu. Hampir tiga jam tersiksa blangkon dan pakaian pengantin. Sekali ini saja cukup. Tak ingin sekalipun mengulanginya. Enough is enough. Saya tertidur pulas di kamar. Nyi masih ngobrol di luar. Sore hari terbangun ketika dia memeluk dan mencium saya. Dia tersenyum. Senyum yang abadi dalam kenangan saya. Itu yang saya paling ingat selamanya.


Salam damai dan salam khusus untuk para jomblo dan penganten baru.


Ki Ageng

Wednesday, January 13, 2010

Setelah lewat empat puluh tahun


Matahari telah condong ke Barat. Kira kira menjelang jam empat sore. Angin bertiup lembut menerpa tubuh tubuh yang sedang berpacu naik sepeda. Kami dalam perjalanan pulang dari Banyudono ke Solo. Hanya bertiga, Diono, Martalin dan saya. Siang tadi sesudah usai sekolah, kami bersepeda, main ke tempat Sigit di Banyudono, teman sebangku, di kelas 1 C SMA St Josef. Sejak berangkat saya selalu ketinggalan di belakang dengan sepeda torpedo tua itu. Sementara Sigit pakai sepeda dengan versneilling, Diono dan Martalin pakai sepeda jengki, yang lebih ringan di kayuh. Napas saya tersengal dan jarak di depan rasanya begitu jauh. Lewat Kartosuro, Diono dan Martalin nampak semakin kecil karena jarak yang semakin jauh. Pacuan memang belum selesai. Tetapi saya pasrah. Apa yang bisa dinikmati dengan adu cepat pakai sepeda tua ini? Menang juga tak akan kesohor. Ada harga yang harus dibayar. Tak bisa menikmati panorama sawah yang menghijau sepanjang jalan. Tak menikmati belaian angin yang meniup lembut. Saya memperlambat sepeda. Biar lambat asal selamat, gunung lari tak kan kukejar.

Di Solo, rumah kami berjauhan. Saya tinggal di Badran, kota Barat. Diono di Penularan dan Martalin di Kusumodilagan. Menjelang masuk Solo, ternyata Diono dan Martalin berhenti, menunggu di bawah pohon flamboyan. Martalin segera berteriak " Sampeyan kurang kuat kemauannya Ki. Daya juang rendah. Perlu disuwuk". Saya hanya menjawab kalau sepeda saya memang berat, bukan dirancang untuk balapan. Sebelumnya sepeda ini dipakai untuk mengantar susu ke pelanggan pelanggan kami di Ambarawa. Saya masih ingat betul, tukang antar susu kami yang telah lanjut usia, namanya Reso Darman, selalu mengayuh sepeda begitu pelan, sambil ngantuk. Saya juga tidak tahu arti apa itu disuwuk. Martalin memang tekun sekali mempelajari ilmu ilmu kejawen. Dia cocok sekali ngobrol dengan ayah saya di Ambarawa perihal kebatinan. Menjelang petang kami meneruskan perjalanan ke arah Solo. Lewat stasiun Purwosari, saya belok kiri masuk ke kampung Badran, sementara Diono dan Martalin meneruskan perjalanan lewat jalan Slamet Riyadi ke arah Timur. Mereka tetap saja bersendau gurau.

Kisah lama itu terjadi menjelang akhir 1965. Empat puluh lima tahun lalu. Di tahun tahun antara 1965 – 1966, kami sering bersepeda menelusuri desa2 di sekitar Solo. Beberapa minggu lalu, hari Sabtu tanggal 2 Januari 2010, saya menuju Solo. Terakhir ke Solo dua tahun lalu menemui Lembayung. Kali ini saya sendirian mengendarai mobil anak saya. Saya bilang ke NYI, ini pertemuan mantan teman sekelas di SMA dulu. Saya telah janji dengan Diono beberapa hari sebelumnya. Dia tahu nomer tilpon saya dari kakak saya yang tinggal di Ambarawa. Dia mencari saya di rumah orang tua saya di Ambarawa hampir dua tahun lalu. Namun kontak baru berhasil sebulan kemarin lewat pesan singkat. Menjelang masuk Delanggu, dia tilpon saya sampai mana? Saya keliru bilang kalau sudah masuk Kartosuro. "Saya akan tunggu di depan Universitas Muhamadiyah, di halte seberang jalan". Ternyata saya keliru, ketika masuk Kartosuro, kembali Diono memanggil lewat tilpon genggam "Kok lama Ki, sampai mana". Saya jawab sekenanya, "Sori baru masuk Kartosuro. Telat, kaline banjir". Nggak ada sungai di Kartosuro. Mana ada banjir. Sampai di muka gerbang UMS, saya berhenti di lampu merah. Saya hubungi tilpon genggamnya, "Kau dimana? Saya berhenti sebelum lampu merah?". Ternyata dia menunggu di halte sesudah lampu merah. Dari kejauhan nampak sesosok pria, melambai dan berjalan ke arah saya. Penampilan dan cara jalannya masih seperti dulu. Sambil membuka pintu mobil dia menggerutu " Martalin wingi wis janji nek arep ketemu kok malah minggat. Tilpune di titipke bojone. Gathel".
"Anda tak banyak berubah Bung setelah empat puluh tahun. Gimana baik baik?"
" Edan Ki, kau gemuk sekali sekarang. Jadi boss ya?'.

Kami mulai berbincang. Pokok pembicaraan awal, siapa istrimu, berapa anakmu dan cucumu. Masih seperti dulu, umpatan gaya Solonya selalu aneh buat saya. Sewaktu saya pertama datang ke Solo di tahun 1965, selalu dibuat heran dengan umpatan. Di Ambarawa, umpatan yang sering saya dengar adalah nama binatang, entah itu anjing, babi hutan, atau kotoran binatang seperti tai kucing atau mbelek lincung (tahi ayam). Di Solo , yang sering nama organ manusia, seperti gamblis (rambut sekitar dubur), mata, githok (tengkuk), gundhul (kepala), cocot (mulut). Gathel saya nggak tahu persis artinya, mungkin kaki. Orang Solo lebih manusiawi, lebih banyak menyebut organ manusia.

Sambil mengendarai mobil, kami terlibat dalam percakapan asyik, cerita mengenai riwayat masing masing. Tak semuanya cerita gembira. Isterinya meninggal lima belas tahun lalu ketika ketiga anaknya masih kecil.. Dia harus mengurus anak anaknya sendirian. Uang tabungan habis untuk menutup ongkos pengobatan isterinya. Sekarang ketiga anaknya sudah berkeluarga dan mandiri. Kami juga terdiam ketika saya cerita tentang anak saya bungsu yang telah meninggal. Sambil menyetir mobil saya mencoba mengalihkan pembicaraan. "Ingat kita pernah istirahat disini menjelang akhir 1965 ? Dimana pohon flamboyan yang dulu itu ?". Dia menjawab datar, "Mana saya ingat" Mungkin sekitar sini". Lokasi tak penting. Makna kenangan lebih penting.

Martalin tak berada di rumah, kami putuskan untuk mencari Sigit yang katanya mengajar di UNS. Diono belum tahu rumahnya, tetapi katanya di kompleks perumahan dekat SMA St Josef. Kami berusaha mencarinya. Pelan kami menyusuri jalan beraspal di sekitar perumahan itu. Dia bertanya di salah satu toko. " Dalemipun mas Sigit ingkang pundi pak ? (Rumahnya mas Sigit yang mana?). Yang ditanya malah balik bertanya " Menapa profesor doktor Sigit ?". Diono terhenyak, tak siap dengan pertanyaan itu dan balik bertanya ke saya. " Profesor doktor Ki?. Saya cepat cepat mengiyakan. Mungkin secara tak sadar ingatannya masih ke masa lalu. Dia selalu menyebut mas jika main ke tempat Sigit, biar bapak ibunya senang. Bapaknya Sigit dulu kepala sekolah. Selalu hangat menyapa kami jika main menemui Sigit. "Nomeripun tigang dasa sekawan", kami diberitahu pemilik toko tadi jika nomer rumahnya tiga puluh empat. Masuk jalan sempit dalam kompleks perumahan, cari nomer 34 kok nggak ada. Yang ada nomer 36. Rumah2 sebelahnya tanpa nomer. Saya menunggu di ujung jalan, sementara Diono meneliti nomer rumah satu per satu bolak balik. Akhirnya saya lihat dari kejauhan dia memencet bel, rumah besar tanpa nomer itu. Sejenak dia berbicara dengan penghuni rumah, saya tidak bisa melihat lawan bicaranya.
" Betul rumahnya Sigit. Kelihatannya tiga rumah dirombak jadi satu".
" Siapa yang kau ajak bicara ?"
" Mungkin isterinya. Sigit baru rapat senat. Cantik istrinya".


Diono kemudian menghubungi Dibyo, juga teman sekelas semasa kelas satu dulu, Kami menuju rumahnya di jalan Bayangkara. Bertemu Dibyo, perasaan saya bercampur sedih. Kesehatannya tampak sudah menurun. "Hi Ki lama nggak jumpa ya". Sapaannya juga persis seperti dulu jika saya ke rumahnya. "Ah hanya empat puluh lima tahun". Kami bermaksud hanya mampir sebentar karena kondisinya masih kurang sehat. Tetapi Dibyo mendesak supaya kami duduk ngobrol. " Kapan lagi ada kesempatan". Betul juga, mungkin tak banyak lagi kesempatan bertemu. Dibyo putra kepala polisi wilayah Surakarta waktu itu. Rumahnya selalu jadi tempat kumpul kami. Orangnya pendiam halus, tidak suka berkoar seperti kami. Sekarang isterinya mengajar di UNS, putra putrinya tiga. Sudah mandiri semua. Dia belum punya cucu, sudah pensiun dari PERTAMINA. Kami ngobrol ke sana kemari dan masih mencoba kontak teman teman lain, Martalin, Sigit, Prasodjo dan Nugroho.

Sigit yang datang beberapa saat kemudian. Penampilannya masih gagah dan tampan, seperti bintang film tahun lima puluhan, Bambang Irawan. Empat puluh lima tahun lalu belum nampak gagahnya, kecil kurus. Dulu Diono sering bilang "Baguse bagus ndeso". Sekarang nampak masih muda dan sehat di umur menjelang enam puluh. Setiap hari rutin jogging. " Curu saya sudah tujuh. Anak saya empat". Dia kawin saat masih sarjana muda. Isterinya sekarang sudah pensiun dari PEMDA. Saya berseloroh tentang rumah Sigit dan mengingatkan lagu yang dinyanyikan Mus Mulyadi. "Omah gedong magrong magrong jejer telu. Kapan to ndhuk bocah ayu ? Kowe gelem karo aku". Sigit paling alim di antara kami. Tak bisa diajak bergurau menyinggung masalah yang saru, dulu selalu bilang "Saru ah".

Prasodjo adalah teman dari kelas lain dulu, tetapi sering kumpul di rumah Dibyo. Sekarang menjadi dokter ahli radiologi. Dosen di UNS seperti Sigit. Masih bertugas di rumah sakit ketika dihubungi, datang ngobrol beberapa saat. Pertemuan saya terakhir dengan Pras di tahun 1974 sewaktu kepaniteraan klinik di rumah sakit Jebres. Dia juga masih gagah dan belum nampak tua. Orangnya gampang bergaul, ramah, tak pernah macam macam. Senyumnya selalu tersungging sejak muda dulu.

Siang itu kami makan siang di rumah makan Mbak Lies, khusus salad Solo. Ramainya nggak ketulungan. Harus antre. Martalin dan Nugroho kemudian datang menyusul. Pras harus kembali ke klinik, tak bisa ikut. Kembali ngobrol rame. Martalin juga masih seperti dulu, selalu absurd dengan masalah supra natural. "Jangan tanya mengenai ruwatan ke saya. Tingkatan saya sudah jauh dari sekedar urusan ruwatan". Dia cerita punya banyak pengikut. Hari hari ini sangat sibuk. Ada acara tirakatan memperingati hari lahir maha patih Gadjah Mada. Pikir saya, sokur kalau sekarang masih ada yang memperingatinya. Karena dalam cerita, sesudah perang Bubat, Gadjah Mada diasingkan oleh kerajaan. Makamnyapun tak diketahui di mana. Saya sekelas dengan Nugroho mulai kelas satu sampai lulus di tahun 1968. Pembawaannya selalu halus. Sekarang masih bekerja di bidang batik. Beberapa tahun bekerja di bank. Anak2nya juga sudah selesai semuanya. Kami bicara tentang makanan khas Pekalongan, ketika tahu isteri saya asal Pekalongan. Dia pernah dinas di Pekalongan beberapa tahun. "Saya harus datang khusus ke Pekalongan jika kangen masakan2 khas sana". Banyak jenis masakan Pekalongan yang memang tak dijumpai di kota lain. " Waktu pengantin baru dulu, pertama kali makan sayur daun kecombrang masakan isteri, kok seperti ada rasa kemasukan kecoak. Sekarang selalu ketagihan", saya berseloroh.

Habis makan siang, saya kembali ke Yogya. Diono bersama saya oleh karena pengin tahu rumah saya. Mungkin tahun depan akan ketemu lagi. Waktu berjalan terus. Persabatan tak berhenti. Tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Sampai akhir perjalanan waktu. Tak oerlu berpacu lagi. Pacuan sudah selesai.

Salam damai



Saturday, January 9, 2010

Hilang bersama angin

Suatu sore di musim kering tahun 1966. Saya sedang liburan di desa Ngampin Ambarawa. Tak ingat lagi liburan apa. Hanya beberapa hari. Sejak pertengahan tahun kemarin saya sebenarnya telah hijrah ke Solo, tinggal bersama kakak saya, di Badran kota barat. Meneruskan sekolah di SMA St. Josef. Siang itu saya duduk di pendopo depan. Menikmati tiupan angin yang memberikan rasa sejuk di siang hari yang gerah. Gunung Gadjah Mungkur dan Telomoyo terlihat biru kelam di kejauhan dalam sorot matahari yang cerah menyengat. Di kebun depan saya melihat paklik saya, pak Wir, sedang mengumpulkan kayu bakar di bawah pohon sawo. Dia adalah suami Bu Lik Mus, adik bapak saya. Sudah beberapa bulan pak Wir pensiun dari pegawai Dinas Penerangan Rakyat di kecamatan Jambu. Tiba tiba saja Bapak saya memanggil pak Wir untuk datang ke pendopo. Hal yang biasa, mereka terbiasa ngobrol. Hubungan mereka akrab. Pak Wir sering datang ke rumah hanya sekedar ngobrol.

" Kau Ki. Lagi libur? Sudah krasan di Solo?" Pak Wir menyapa saya singkat.
" Liburan beberapa hari"
" Belajar yang baik. Hati hati putri Solo ayu ayu. Nggak usah macam macam".
" Sekolah saya muridnya semua laki laki".
Pak Wir ketawa. Nggak tahu apa yang diketawakan. Dia hanya menggumam pelan " "Murid kok pelen (laki2) kabeh". Saya tidak merasa perlu menjelaskan mengenai sekolah saya. Tetapi saya bangga belajar di St. Josef, walau bukan sekolah negeri.

Pak Wir kemudian terlibat obrolan panjang dengan ayah saya. Saya hanya duduk di kursi di sudut ruangan. Tak begitu mengikuti pembicaraan mereka. Pembicaraan kadang ringan diselingi tawa, kadang2 berubah serius pelan. Situasi politik saat itu sedang tak menentu. Kadang mencekam karena pembersihan orang orang yang dicurigai pengikut arau simpatisan komunis. Jaman memang sedang tidak aman. Harus pandai pandai menjaga dan menempatkan diri. Agar tidak dicurigai oleh penguasa atau militer.

Ketika pembicaraan beralih serius, mau tidak mau saya ikut mendengarkan. Pak Wir mengeluh, pemerintah setempat berencana membuat saluran air dari sendang di Ngampin Kulon, yang membelah persawahan miliknya. Dia sangat keberatan dengan rencana itu dan mengajukan alternatif untuk membelokkan saluran tersebut di tepi sawah. Jika toh harus melewati sawahnya dia bersikeras minta ganti rugi. Beberapa kelompok petani mendukung dan berdiri di belakang Pak Wir. Bapak saya mengingatkan agar berhati hati. Melawan penguasa sangat riskan.. Apa lagi jika ada petani petani kelompok kiri yang ikut mendukung.

Saya tidak mengikuti permasalahan tersebut secara intens. Kami masing masing terpaku dengan masalah masing masing. Saya lebih terpaku dengan masalah uang langganan susu salah satu instansi pemerintah, rumah sakit umum, telah beberapa bulan tak dibayar. Jelas ini sangat berpengaruh bagi kami. Saya sempat datang sendiri menemui petugas rumah sakit. Jawabannya selalu sama, kuitansi belum bisa dibayarkan. Tak ada uang di kas. Ini masalah serius oleh karena kami harus tetap membeli pakan sapi dan membayar pekerja. Ada paling tidak dua puluh sapi perah waktu itu. Kemudian ternyata sapi sapi itu harus dijual satu persatu. Sekedar menutup ongkos pemeliharaan.

Beberapa hari kemudian setelah pertemuan singkat dengan pak Wir, saya kembali ke Solo. Masih merasakan sedih melihat situasi keuangan yang bersandar pada usaha pemerahan susu. Hasil pertanian seperti kapuk, kopi, kelapa hanya secara insidental memasukkan uang. Saya tidak menyangka kemudian jika pertemuan sore itu dengan pak Wir adalah pertemuan kami yang terakhir. Beberapa minggu kemudian saya terima surat dari adik saya, mengabarkan jika pak Wir ditahan saat wajib lapor dan tidak pernah kembali, tidak tahu berada di mana. Saya ingat pembicaraan pak Wir dengan bapak saya. Jaman tidak menentu, jangan cari masalah. Yang penting selamat. Ingat cerita bapak saya yang mengatakan bahwa pak Wir juga menolak diajak masuk menjadi anggota satu partai, yang dekat dengan penguasa. Petugas penerangan katanya harus netral, tak berpihak pada siapapun, walau dia sebenarnya telah pensiun.

Beberapa minggu kemudian saya kembali ke Ambarawa di akhir pekan. Saya menyempatkan diri menemui Bu Lik Mus, menanyakan kabar tentang pak Wir. Dia menangis sedih penuh emosi. Pak Wir diharuskan wajib lapor ke kawedanan. Beberapa kali datang dan lapor diri sesuai perintah. Suatu pagi saat hujan lebat dan angin, pak Wir tetap berangkat untuk lapor. Walau diingatkan untuk istirahat di rumah saja. Dia hanya berkilah, jaman sedang tidak menentu, jika tidak taat lapor dikira melawan, bisa bahaya. Tetapi sampai malam dan keesokan harinya pak Wir tidak pernah kembali. Bu Lik Mus mencoba mencari informasi ke sana kemari, dan tidak pernah mendapatkan kejelasan suaminya di bawa ke mana. Yang jelas pak Wir diciduk, dituduh menjadi anggota bayangan partai komunis. Tak ada penjelasan, tak ada kesempatan pembelaan. Seolah hilang bersama angin deras hari itu.

Bu Lik Mus selalu terbawa emosi menceritakan kehilangan pak Wir. Dia geram betul dengan aparat pemerintahan yang tega mengorbankan suaminya dan menyerahkan ke pihak penguasa militer. Kesedihan itu masih ditambah, putranya yang bertugas di Kupang Timor, tak pernah ada beritanya. Tak pernah ada surat. Beberapa kali disurati tak pernah datang jawabannya. Tiga tahun kemudian, ketika putranya datang, barulah jelas masalahnya. Surat surat dari putranya juga tak pernah disampaikan. Sengaja selalu ditahan di kantor pemerintahan setempat Komunikasi antara Bu Lik Mus dengan putranya diputus dengan sengaja selama tiga tahun. Kupang Timor dan Ambarawa, bukan jarak yang dekat dimana orang bisa bepergian dengan gampang waktu itu

Di tahun 1967, saat kakak sulung saya pulang dari Amerika, dia liburan di Ngampin Ambarawa. Banyak tetangga yang bertandang menemui. Biasalah kehidupan di desa yang masih guyup, dan mereka juga ingin mendengar cerita tentang negeri impian Amerika. Saya masih ingat salah satu tetangga yang bertandang adalah almarhum Hari, tokoh pemuda setempat. Dia bangga sekali menceritakan kisahnya membersihkan barisan komunis dan antek anteknya. Juga kedekatannya dengan aparat, apalagi dengan militer. Saya mengkaitkan kisahnya dengan cerita Bu Lik Mus tentang persekongkolan aparat setempat yang menciduk pak Wir.

Benang merah itu semakin jelas. Perseteruan dengan aparat pemerintahan setempat, menolak sawahnya terbelah dua oleh saluran air, dukungan kelompok petani yang dicurigai beraliran kiri, protes protesnya tentang bengkok sawah desa, membawa pak Wir ke kegelapan yang panjang tak terkira. Dia memang tak pernah kembali. Keluarga juga tak tahu, di mana kuburnya. Yang jelas hanya diciduk sesudah lapor wajib. Tahun tahun berlalu. Tak pernah ada berita dan kejelasan. Bu Lik Mus selalu menanti. Di usia lanjut dia selalu menitikkan air mata jika disinggung tentang pak Wir.

Dua minggu lalu, hari Kamis tanggal 30 Desember 2009, saya bersama Nyi datang ke Ambarawa, mengantar Bulik Mus ke tempat peristirahatan yang terakhir.. Meninggal malam sebelumnya dalam usia lanjut. Tiga hari sebelumnya kami sempat menjenguk ke rumah sakit. Dia masih jelas berbicara dengan Nyi. Siang itu berbaring lemah Bulik Mus masih mencium Nyi, ketika kami pamit. Saya mengantar sampai ke pemakaman di Bukit Penggung. Makamnya sendirian, tak bersanding dengan makam suaminya pak Wir. Dekat makam kakaknya (ibunda Kresno yang pernah saya ceritakan) dan bapak ibunya. Bu Lik Mus pergi dengan tenang di usia lanjut. Namun masih membawa pertanyaan sedih dimana suami yang dicintainya, yang berpamitan di pagi hari saat hujan deras itu. Namun tak pernah kembali lagi seolah hilang bersama angin. Penantian sia sia sampai akhir hayatnya. Kami semua melepas kepergiannya dengan doa semoga diberi kedamaian di alam sana. Saya sempat bicara dengan putranya, adik sepupu saya, mengingat kisah pak Wir yang telah lama hilang mendahului.. Moga moga pak Wir dan Bulik Mus bertemu dan berkumpul kembali di alam sana.

Kisah semacam pasti banyak dialami oleh keluarga2 yang kehilangan anggota keluarganya. Noda hitam dalam perjalanan bangsa yang tercatat di panggung sejarah dunia. Dalih apapun yang digunakan tak akan pernah bisa diterima oleh akal peradaban manusia modern, pembunuhan karena beda keyakinan politik. Apapun dalihnya. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang ditutupi dan dibenarkan oleh kekuasaan.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Sunday, November 8, 2009

Sandiwara penegakan hukum

Wajahnya tak memberikan kesan wibawa sama sekali. Sebatang rokok terpasang di sudut mulut, bergerak gerak setiap dia bicara. Pria itu terus saja bicara dengan gaya menggurui. Seolah kami bertiga hanyalah manusia manusia kecil tak berdaya. Paling tidak di hadapannya. Matanya kadang berputar menyapu ruangan. jarang menatap kami langsung. Wajahnya bulat. Berbadan kekar, sedikit agak gemuk. Tinggi di atas rata rata. Menjelang akhir 1975, kami bertiga, kakak ipar saya dan paklik saya, kebetulan keduanya bernama sama, Subroto, sedang berada di kejaksaan Ambarawa. Lupa nama dan jabatan sang penegak hukum itu. Mungkin Kasipidus. Kepala Seksi Pidana Khusus. Ada urusan. Ayah saya sudah lebih dua bulan mendekam dalam tahanan. Tanpa berkas tuduhan apapun.
" Saya ini abdi negara. Di sumpah untuk melindungi masyarakat. Saya benar benar merasa kasihan melihat bapak sampeyan. Saya pengin urusan ini cepat diselesaikan."
" Kami juga pengin urusan ini segera selesai ", paklik saya menyahut.
" Bapak saya pesan kalau dia ingin berkasnya segera ke pengadilan dan disidangkan". Saya menyela pembicaraan.
" Lha ini cara anak muda menyelesaikan masalah. Sok pahlawan. Pengadilan dianggap barang entheng. Sampeyan terlibat dalam organisapi mahasiwa ya?.

Pertanyaanya ditujukan ke saya. Saya masih ingat persis beberapa kali dia memplesetkan kata organisapi dengan gaya yang sangat sinis. Pertanyaannya tendensius. Seolah organisasi mahasiswa ini barang haram. Saya masih menunggu sumpah dokter waktu itu. Semua ujian sudah selesai.
" Jika anda percaya sama saya, urusan ini lebih baik diselesaikan di luar pengadilan", sambung sang penegak hukum.
" Apa maksud pak jaksa ?". Paklik saya mencoba bertanya.
" Jangan berlagak pilon. Saya akan berkoordinasi dengan kepolisian dan pengadilan dalam menangani kasus ini. Kasusnya akan kami deponir. Tetapi terus terang saja, saya perlu cash agar mereka mereka mau menutup kasus ini. Jaman sudah gila. Aparat hukum pada doyan duwit".

Nampaknya orang ini sudah begitu terlatih menggiring orang untuk mau menyelesaikan masalah dengan jalan damai. Omongannya selalu sok bersih, seolah dia bertugas membersihkan sistem yang rusak. Padahal dia juga yang berperan kotor dan ikut merusak sistem itu. Bayangkan saja berita akhir akhir ini, seorang petinggi penegak hukum, ketahuan sedang masturbasi dengan seorang caddy wanita muda di kamar hotel. Apa yang dia bilang ke suami siri sang wanita saat ketahuan ? "Saya ini sedang mengemban misi memperbaiki negara yang sudah bobrok". Gila memperbaiki negara kok dengan masturbasi dengan caddy wanita di kamar hotel, Kembali ke cerita semula. Sang jaksa kemudian dengan sedikit senyum menyebutkan angka jumlah uang yang diperlukan. Saya lupa persisnya. Jika tak keliru sekitar dua setengah juta rupiah.
"Jangan dinilai dari segi jumlahnya. Pandanglah dari inisiatif baik dibelakangnya. Saya bermaksud menolong bapak sampeyan. Jika tak bersedia tidak apa apa. Saya perlu memberi sesuatu kepada mereka yang doyan duwit itu". Sekali lagi dia melempar tanggung jawab perilaku jelek itu ke pihak lain. Kepolisian dan pengadilan. Padahal setali tiga uang. Orang Jawa bilang rase sama kuwuk, sama saja suka mencuri ayam.
" Apakah ada jaminan jika uang kami serahkan Bapak saya akan dikeluarkan?, kakak ipar saya bertanya.
"Jangan menantang ya. Kata kata saya tadi keluar dari mulut seorang penegak hukum. Bisa saja Bapak sampeyan saya jerat dengan tuduhan subversi. Tak ada batas waktu penahanan. Saya pernah menjebloskan orang dengan hukuman 15 tahun karena subversi di Jawa Timur dulu. Ati ati sampeyan ngomong".

Balasannya ketus dengan nada mengancam. Sang jaksa begitu tersinggung dengan pertanyaan kakak ipar saya.. Mungkin dalam benaknya tidak layak pertanyaan itu diajukan ke sang penegak hukum. Apapun yang dikatakan sang jaksa ya bersifat mengikat secara hukum. Sapda pendhito ratu. Kami bertiga minta diri keluar ruangan. Akan berpikir dan berbicara dulu. Di luar saya melihat para pegawai duduk bergerombol di ruang depan. Ruang terbuka menghadap halaman dan jalan raya. Kepala kejaksaan juga berdiri disana, merokok. Tak tahu apa yang diperhatikan di sana. Suasana itu memberikan kesan kuat akan etos kerja yang buruk. Mereka semua berseragam abu abu. Tiba tiba seseorang mendekati saya dan mengajak salaman.
' Ingat saya Ki?
' Dim, gimana kabarnya ? Anda kerja di sini sekarang?
Dia teman saya sewaktu SMP dulu. Juga murid bapak saya.
" Ki terus terang saya pengin bicara. Kasihan bapakmu. Diselesaikan saja di luar pengadilan. Tadi kan sudah ketemu pak Kasipidus ?. Berat kalau masuk kasus subversi'.

Saya tak begitu minat untuk bicara lebih banyak. Saya dan kakak ipar saya langsung pulang. Paklik saya kembali ke tempat tugasnya di Lembaga Pemasyarakatan Ambarawa Malam itu kami janji akan bertemu di rumah. Membicarakan tawaran sang jaksa tadi.

Ceritanya, kira kira sepuluh minggu sebelumnya, rumah kami digerebeg polisi. Bapak saya suka kumpul kumpul sama banyak orang, terutama mereka yang mengikuti aliran kebatinan. Lima belas tahun sebelumnya dia ikut masuk salah satu aliran kebatinan yang bernama Manunggal, yang dipimpin oleh Romo Herucakra di Banyumas. Banyak sekali pengikutnya waktu itu. Saya hanya sempat melihat pagelaran wayang kulit di Wedhi Klaten tahun 1965, dengan dalang terkenal yang juga penulis kondang sastra Jawa. Jika tak salah satu karangannya adalah Api di Bukit Menoreh.. Ternyata banyak pengikut dari kalangan atas, termasuk kalangan Chinese business . Salah satu murid senior perguruan kebatinan ini seorang Jerman yang desersi dari tentara Belanda waktu perang kemerdekaan dan telah masuk WNI. Namanya Hoebers. Dia sering nginap di rumah kami ber minggu minggu. Saya benar2 kagum akan kemampuan bahasanya. Dia menguasai 33 bahasa. Juga ahli matematika. Saya tidak mengikuti aliran tersebut. Hanya dengar cerita dari Bapak saya. Di awal tahun tujuh puluhan aliran ini dilarang pemerintah.

Para pengikut aliran Manunggal yang tinggal di sekitar Ambarawa sering kumpul kumpul di rumah pada hari hari tertentu, kalau nggak salah Selasa Kliwon. Terutama setelah Romo Herucokro meninggal. Lupa kapan persisnya. Saya sering mengingatkan ayah saya oleh karena setiap pulang ke Ambarawa sering banyak orang kumpul di rumah. Umur ayah saya waktu itu pertengahan enam puluhan, pensiunan. Banyak orang kumpul mungkin juga hiburan buatnya. Apalagi jika diskusi mengenai aliran yang dipercayai bersama. Pada saat penggeledahan ketemu beberapa materi cetak perguruan manunggal dan beberapa kopi majalah Echte Warheid. Majalah ini aslinya terbit di USA. Saya minta kopi bahasa Belanda nya untuk bahan bacaan Bapak saya. Tak ada kaitannya dengan subversi. Diterbitkan oleh salah satu sekte agama di Amerika. Hanya karena berbahasa Belanda dan gratis, maka saya minta majalah itu dikirm rutin ke alamat Bapak saya.

Bapak saya di tahan di kepolisian Ambarawa kira kira dua minggu, kemudian dipindah di Salatiga beberapa minggu, sebelum akhirnya dialihkan ke penjara tua di Ambarawa. Saya sempat menemuinya beberapa kali saat di Ambarawa dan Salatiga. Sekali bersama Nyi. Masih pacaran tetapi sudah tahap serius. Kami baru akan kawin bulan Desember nanti. Bapak saya tetap berkeras hati merasa tidak menyalahi aturan apa pun. Dia minta agar berkas pemeriksaan segera diajukan ke pengadilan. Di jaman Belanda memang pernah mendekam di Nusakambangan karena ikut gerakan bawah tanah melawan pemerintah Belanda di tahun empat puluhan. Jadi ditahan polisi dia tak merasa kecil hati sama sekali. Saat di tahan di kepolisian, walau tempatnya sangat sederhana, dia tak banyak mengalami masalah. Banyak bekas muridnya yang selalu menengoknya. Saya begitu khawatir saat itu oleh karena kami sedang berencana akan menikah. Memang akhirnya saat pernikahan kami, bapak mendapat ijin khusus untuk menghadiri. Diberi libur dari tahanan selama 3 hari. Ikut ke Pekalongan menyaksikan acara nikah kami.

Malam harinya sesudah menghadap sang jaksa tadi, kami bicara di rumah dengan kakak kakak saya dan paklik. Akhirnya disepakati saja untuk memenuhi permintaan sang jaksa. Dua setengah juta rupiah. Saya lupa siapa yang menyerahkan ke kejaksaan. Kakak ipar saya atau paklik saya. Ternyata benar, walaupun uang sudah diserahkan, sampai lebih seminggu Bapak belum juga dibebaskan. Kemudian kakak ipar saya menemui lagi sang jaksa tadi. Saya tidak ikut oleh karena sudah mulai bertugas sebagai asisten. Ternyata sang jaksa masih minta komisi lagi. Minta tambahan untuk dia. Satu juta rupiah. Saat uang komisi itu diserahkan dengan tenang katanya dia berkata " Orang kan bisanya cuma tolong menolong. Take and give".

Ini salah satu kisah hitam pengalaman saya berhadapan dengan penegak hukum. Bapak saya sebagai pihak yang dituduh waktu itu. Di tahun 1997, ada pengalaman getir yang lain. Anak saya Moko meninggal karena ditabrak mobil yang dikendarai secara sangat sembrono. Kami sebagai pihak korban. Tetapi saat persidangan di pengadilan, juga harus mengeluarkan uang untuk jaksa dan hakim agar si penabrak masuk penjara. Penabrak itu memang akhirnya di vonis 11 bulan, tetapi nggak tahu berapa lama dia mendekam di dalam. Semua toh bisa tawar menawar.

Jadi ketika saat ini ada rame rame antar elit penegak hukum di atas sana, saya tidak kaget dan tidak gumun. Orang Jawa bilang, rase sama kuwuk sama sama suka mencuri ayam. Hanya ingat cerita saat Indonesia krisis pejantan sapi, maka waktu itu cepat2 pemerintah mengimpor sapi pemacek dari Australia. Krisis sapi teratasi. Kalau krisis hukum apa ya bisa impor ? Apanya yang mau diimpor? Yang penting aja gumunan, aja kagetan. Kita semua melihat sandiwara besar.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Monday, November 2, 2009

Siapakah aku ini

Hidup adalah perjalanan panjang. Menempuh arah dan menuju tujuan masing masing. Dalam perjalanan panjang itu pasti bertemu banyak orang. Dengan segala corak dan tujuan hidup masing. Juga bertemu banyak teman. Teman sesaat atau selamanya.. Juga teman hidup yang dicintai. Yang menemani perjalanan sampai waktu berakhir. Bertemu dengan banyak corak manusia, pertanyaan kadang menerpa. Siapakah mereka? Apa yang mereka lakukan. Siapakah aku? Apa yang saya tuju dalam hidup ini? Pertanyaan yang sering datang bersama lamunan.

Pertanyaan sederhana ini datang ke benak saya , pertama setelah membaca sajak Chairil Anwar , di tahun 1964. Setelah pelajaran bahasa Indonesia. Mungkin tak lengkap. Hanya ingat sepatah sepatah " Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya yang terbuang. Tak perlu sedu sedan itu. Biar peluru menembus kulitku. Aku tak kan peduli. Berlari Berlari, hingga hilang pedih peri" Saya tak tahu persis apa yang emosi dan pikiran Chairil dibalik puisi itu. Nampak begitu bergelora. Membara penuh semangat hidup.

Musim bunga di tahun 1964. Bunga kopi, bunga mawar semerbak di kebun kami. Hanya beberapa minggu setelah kami menerima pelajaran tentang puisi Chairil Anwar tadi. Di hari Minggu itu kami siswa siswi Taman Siswa jalan jalan ke Gunung Kendali Sodo, di sebelah Timur Laut kota. Bahasa sekarang mungkin outbond. Dulu waktu sekolah dasar, istilahnya gerak jalan. Berjalan kaki sepanjang kurang lebbih tujuh kilometer. Dari desa kami total mungkin 12 kilometer. Dipimpin guru olah raga, namanya pak Beny. Badannya kuat, suka cerita, kadang sampai membual. Katanya pernah dikeroyok perampok lima orang. Satu persatu KO kena ketupat Bangka Hulu. Perjalanan mengasyikkan. Tak terasa lelah walau jalan mendaki sepanjang perbukitan,setelah melewati desa Doplang. Hawa belum panas benar. Awal musim hujan. Udara Ambarawa masih sejuk kala itu. Pak Beny selalu cerita ke sana kemari. Kadang2 teriak memberi semangat sepanjang jalan.

Kami tiba di puncak Gunung Kendalisodo kira kira hampir jam sebelas siang. Dari puncak bukit itu terlihat pemandangan lembah terhampar luas. Lembah Ambarawa di sebelah Barat, dan dataran rendah menuju Semarang ke arah Timur Laut. Begitu menakjubkan. Asri dan damai sekali waktu itu. Saya merasa begitu kecil berdiri di puncak bukit itu. Kami hanya duduk duduk dibawah pohon pohon rindang.Kadang kadang nyanyi bersama. Lupa lagu apa saja yang kami nyanyikan saat itu. Satu yang tak terlupakan. Lagu indah Taman Siswa kami kumandangkan di atas bukit . "Taman Siswa perguruanku. Hiduplahmu semerdekanya. Taman Siswa jantung hatiku. Bersinarlah semulianya. Dari Barat sampai ke Timur. Pulau pulau Indonesia. Nama kamu sangatlah masyhur. Diliputi merah danputih".

Habis nyanyi nyanyi hanya duduk duduk menggerombol. Masing masing asyik ngobrol dan makan bingkisan makanan dengan kelompok masing masing. Pak Beny cerita di kelilingi siswi siswi putri. Hanya seorang siswa laki laki yang ikut dalam kelompok pak Beny, namanya Kadar si kacamata. Dia takut jauh jauh. Tebing begitu tinggi dan terjal. Takut kalau terpeleset. Saya lihat Santi dan mbak Marni di seberang lereng bukit. Santi nampak begitu menawan. Dengan baju hijau muda. Pipinya memerah terkena panas mata hari. Kadang2 dia terpekik ceria. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tiba tiba saja saya ingat puisi Chairil Anwar itu. Aku. Pertanyaan menerpa ringan di antara lamunan menikmati pemandangan alam yang menakjubkan. Siapakah aku ini? Apa yang akan saya gapai dalam hidup ini? Lamunan saya melayang di antara langit dan awan. Menelusur lembah dan bukit yang begitu indah. Pemandangan lembah yang begitu indah terhampar luas di bawah sana. Saya ingin terbang menembus cakrawala itu. Menembus langit itu. Bersama awan. Bersama Santi, kalau bisa. Dengan baju hijau muda dan syal warna lembut. Dia sering memakai syal warna kuning lembut. Untuk mengusir hawa dingin pagi hari waktu itu. Syal itu pasti akan melambai lambai di langit jika dia terbang. Terbang di langit tak bertepi. Dalam lamunan tak berbatas. Edaaan ah. Lamunan keterlaluan. Tetapi melamun sih bisa saja. Tak ada larangan untuk melamun.

Siapakah aku ? Apa yang saya gapai? Saya ingin pergi ke luar dari lembah indah itu. Belajar dan berjuang ke masa depan. Saya ingin belajar di luar sana. Di balik cakrawala. Di seberang dunia. Di luar Indonesia. Ingatan saya melayang ke kakak saya tertua yang saat itu sedang tugas belajar di West Lafayette, USA. Moga moga saya bisa seperti dia. Namanya Hadiwaratama. Lulus ITB tahun 1963, terus tugas belajar ke Amerika.
Sekarang sudah pensiun dari ITB.

Keinginan saya untuk pergi begitu bergelora. Bercampur lamunan lamunan indah.. Hidup memang begitu keras saat itu. Saya harus bangun setiap pagi jam empat. Memerah susu. Kemudian jam enam pagi sudah harus berangkat sekolah jalan kaki. Pulang sekolah juga harus mengurus sapi sapi itu kembali. Masih ada banyak binatang piaraan yang lain, kambing, kuda, ayam dan burung. Meskipun ada pekerja, tetapi kami bersaudara selalu harus terjun mengawasi. Kami punya perusahaan pemerahan susu di desa. Tak pernah memelihara kerbau. Nggak tahu kesan terhadap kerbau selalu negatip. Di antara kerasnya hidup sehari hari, hanya lamunan itulah pelarian yang indah dan mengasyikkan. Dengan pertanyaan, siapakah aku dan apa yang ingin saya gapai dalam hidup ini.

Beberapa tahun kemudian, pertanyaan serupa juga sering hinggap di benak saat kuliah di fakultas Kedokteran, di Mangkubumen Yogyakarta. Kebetulan seorang guru besar yang kami banggakan juga suka cerita. Kadang membual. Ceritanya selalu dimulai dengan kata kata "Saya ini". Setiap pulang dari luar negeri selalu cerita. "Saya ini minggu kemarin ke Hawai. Ada konperensi". Pernah saya ceritakan, adik kelas saya Narko pernah disuruh keluar dari kelas. Baru sang guru besar mulai bicara "Saya ini", Narko teriak dari belakang "Si Gembala Sapi". Berang benar guru besar itu. "Keluar kamu, anak kampung. Sana pergi ke Sentolo saja". Kesulitan kesulitan semasa kuliah selalu menghantui. Tetapi mendengar cerita sang guru besar tadi, selalu membesarkan hati. Siapakah aku ini? Apa yang akan saya gapai dalam hidup ini? Kami selalu terpukau mendengar ceritanya. Walau beberapa mungkin sedikit membual. Tetapi itulah yang memompa semangat saya. Mencari apa yangakan saya gapai dalam hidup ini.

Di tahun delapan puluh saya mendapat kesempatan tugas belajar di Newcastle, UK dengan beaya Rockefeller Foundation. Menyelesaikan program doktor. Kembali ke Indonesia tahun 1983, dan bertugas sebagai dosen. Merambat dari bawah. Beberapa kali saya sempat berbincang dengan sang guru besar senior tadi. Gaya bicaranya tak pernah berubah. Selalu menggugah semangat anak muda untuk berpacu ke depan. Di akhir tahun delapan puluhan, saya masih ingat pembicaraan terakhir ketika beliau dirawat di rumah sakit. Beberapa minggu sebelum meninggal. "Ki saya sudah tua. Pengin istirahat dan hidup tenang. Saya sudah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan dalam hidup ini. Saya merasa tenang jika orang mengingatnya."

Ketika menjadi dosen senior, terutama saat terlibat dalam program doktor, saya banyak belajar tentang pertanyaan Siapakah aku ini?. Apa yang saya tuju dalam hidup ini ? Tak jarang mereka mereka yang diberi kewenangan akademis begitu besar untuk menentukan lulus atau tidaknya seorang calon, begitu terbuai dengan ungkapan Siapakah Aku ? Ini lho aku yang berkewenangan besar. Menentukan nasib anda. Menentukan lulus atau tidak. Menentukan perjalanan karier anda di masa depan. Jika ada calon yang menjawab keliru dalam ujian lisan, tidak hanya disanggah, kalau perlu di cerca sampai terjatuh terbirit birit. Mungkin manusiawi. Orang kadang kadang begitu mengagumi diri sendiri. Siapa aku ini?
Sampai almarhum Gepeng almarhum, tokoh komedi Srimulat itu, terkenal dengan kata sindiran "Untung Ada Saya".

Dalam kewenangan dan kekuasaan luar biasa orang gampang terlupa "Siapakah aku ini"?. Banyak contoh di sekitar kita. Ada anggota DPR lupa, siapa dia. Harusnya menggodok undang undang kok malah buat foto mesum. Memangnya bintang film porno?. Guru yang seharusnya mendidik dan melindungi muridnya kok malah mencabuli siswi yang masih di bawah umur. Lupa siapa sebenarnya dia. Ada pejabat publik yang top di Republik ini, lupa diri siapa dia, malah colek mencolek dengan caddy cantik di kamar hotel. Edan ya memang enak sih colek mencolek. Apalagi kalau bukan sama nyonya. Nyolek isteri sendiri kadang kadang malah bisa digampar pakai bantal. Jangan ganggu orang tidur. Siapa salah mencolek caddy. Alasan sih bisa dibuat. Operasi intelijen. Intelijen kok malah nyoleki wanita caddy. Enak dhong.

Siapakah aku ini ? Dalam masa masa tua ini, jika pertanyaan itu datang dalam lamunan, saya hanya menjawab pasrah. Sederhana sekali. Saya bukan siapa siapa. Hanya pelanglang dunia maya. Menjelajah dunia tak bertepi, tak berbatas. Menembus langit melanglang dunia. Menyapa siapa saja yang bertemu dalam perjalanan maya itu. Mungkin meninggalkan catatan kecil. Asal terbaca oleh mereka yang berkelana. Jika masih ada waktu suatu saat mungkin membuat catatan tentang sesuatu. Tentang makna hidup dan perjalanan hidup. Tentang cinta dan kedamaian.

Ki Ageng Similikithi.

Saturday, August 29, 2009

Sepatu dari kulit rusa

Sepatu dari kulit rusa – bulan madu sampai mati

Lirik lagu Sepatu Dari Kulit Rusa terdengar mengalun indah. Malam yang hening. Lupa kapan persis tahunnya. Mungkin tahun tujuh puluh.. Juga nama pasangan suami isteri yang menyanyikannya. Minggu malam itu, ada acara latihan musik di rumah pak Darwis Brahim almarhum di kampung Suronatan, Yogyakarta. Saya mondok di rumah pak Darwis sejak tahun 1969 sampai 1972. Keponakan beliau, pasangan muda suami isteri itu menyanyikan lagu dengan kompak dan rukun. Perasaan saya hanyut terbawa oleh lagu itu.

Kubelikan sepatumu
Dari kulit rusa
Kunyanyikan lagu untukmu
Lagu tentang cinta.

Tak hapal sepenuhnya lirik lagu itu. Hanya di akhir lagu ada pesan mendalam "Bulan madi sampai mati". Lagu itu begitu indah dan membawa pesan yang dalam. Pesan tentang cinta yang langgeng sampai mati. Saya terkesima malam itu karena lagu itu dan pasangan rukun yang menyanyikannya. Sang isteri berparas anggun, seorang pengusaha batik yang ulet, melambangkan ciri wanita Yogya dan Solo yang suka bekerja keras. Sang suami berwajah menarik dan gantheng, pengusaha hotel dan biro perjalanan Natrabu. Dia suka memakai baju merah dan berpakaian necis. Saya selalu merasa iri dan kagum. Wanita Yogya dan Solo selalu memanjakan dan begitu memperhatikan (care) sang suami, kesan saya waktu itu. .. Itu juga yang saya lihat dari pasangan yang menyanyi malam itu. Kami kebetulan bertetangga dekat. Almarhum pak Darwis yang saya pondoki, adalah ketua Rukun Kampung di Suronatan, dan juga ketua kelompok orkes keronsong di sana. Putra pertamanya, mas Bursman, jadi pengusaha di Jakarta dan penah beristerikan penyanyi kondang Ivo Nila Krisna. Kabarnya dia juga suka menyanyi, tetapi belum pernah saya melihat mas Bursman menyanyi. Tak pernah luntur dari ingatan saya pesan dari lagu itu. Bulan madu sampai mati. Walaupun pengalaman pacaran dengan gadis Solo atau Yogya selalu berakhir kandas tanpa kata kata. Hanya hilang menguap begitu gampang di langit. Sublimasi semata. Pernah saya ceritakan di Koki Kompas.. Tetap saja ada kenangan yang indah.

Malam ini saya mencoba membuka buku harian lama. Ada pesan menarik tertanggal dua puluh tujuh Mei 1972. EMSA, gadis Solo menulis di bukur harian tersebut. Kami berpacaran selama kurang lebih dua tahun waktu itu.

Ki sayang ,
22 tahun telah datang padamu
Dan kau miliki penuh
Tapi aku tak pernah tahu apa apa.

Hanya ketika datang 27 Mei 1972
Sepenuhnya aku akan mengerti
Tentang hari ini.
Karena hari ini adalah harimu
Karena aku menyayangimu.

Dan apabila seseorang menyayangimu,
Maka ia akan menyayangi seluruh hari harimu
Setiap damba dan cita citamu
Segala kehidupanmu
Dan semua yang ada padamu.
Kemudian ia akan berdoa kepada Tuhan untuk kebahagianmu.
Kasih dan sayangmu EMSA.

Tak sedalam pesan dari lagu Sepatu Dari kulit Rusa. Tetapi saya mendapat kesan pesan cinta yang dalam, yang romantis, walau akhirnya kandas. Tak ada yang perlu disesali. Perjalanan memang selalu tak terduga. NYI juga membaca buku harian ini kemudian ketika kami sudah bersuami isteri. Tak ada pengaruh sama sekali. Pesan mendalam Sepatu dari Kulit Rusa lebih dominan bagi kami, bulan madu sampai mati. Pesan cinta selalu didominasi oleh perasaan, oleh romantisme. Jarang tercampur dengan rasa napsu dan seksualitas. Bandingkan dengan pesan pesan yang dikirim oleh Gubernur Sanford kepada kekasih gelapnya (WIL), wanita Argentina itu. Dalam tayangan TV, jika tidak salah ada ungkapan yang menyatakan " keindahan lekuk liku tubuh dan dua buah gunung di tubuhmu". Sulit mengatakan ungkapan tersebut karena rasa cinta dan romantisme semata. Ada napsu, ada seksualitas disana. Lebih pas untuk hubungan WIL dan PIL. Mungkin bukan semata karena cinta yang menggebu. Hati hati jika terima syair syair dari kekasih yang penuh napsu dan seksualitas lho. Jangan jangan malah berakhir PIL atau WIL. Indahnya PIL dan WIL lebih banyak di sisi napsu dan seksualitas.

Bulan Juni 2009. Saya bersama NYI ke Washington DC. Tidak khusus bulan madu.. Hanya pengin jalan jalan setelah lima belas tahun tak menginjak tanah Amerika. Kami tinggal di satu hotel di Pensylvania Avenue. Saya menghadiri pertemuan sejak jam sembilan pagi sampai jam lima sore. Berhari hari NYI mengeluh tak bisa menemukan mall. Mau beli tas di sana. Tak bisa menemukan tempat belanja yang pas katanya. Paling gampang mestinya pergi ke mall. Tetapi berkali kali putar putar down town Washington, tak juga menemukan mall.

Sampai di hari ke empat, saya pulang pertemuan lewat kampus George Washington University, ada papan penunjuk ke arah National Mall. Sampai hotel cepat cepat saya memberitahu NYI, ada mall dekat sini, hanya setengah jam jalan. Kami bergegas ganti pakaian dan turun ke jalan. Resepsionis hotel memberi tahu kalau mall itu buka dua puluh empat jam. Kami berjalan bergegas sesuai arah petunjuk. Beberapa kali bertanya penjalan kaki, selalu ditunjuk ke taman besar dengan hutan lebat di tengah kota. Merasa bloon benar, ternyata memang National Mall bukan shopping mall yang saya bayangkan. Kelelahan kami duduk di tepi jalan. Selang dua puluh menit ada taksi yang mau berhenti. Ketika saya minta diantar ke shopping mall terdekat, bukan National Mall, dia malah tertawa terkekeh mengerti kekeliruan kami.

Akhirnya kami diantar ke Pentagon City mall. Tak terlalu besar dibanding dengan Mall of Asia di Manila. Tetapi lumayan banyak ragam toko di sana. Moga moga cepat selesai belanja, doa saya. Di Manila kami juga jarang belanja di mall sama sama. Mengantar isteri belanja perlu kesabaran khusus. Setelah berputar putar, akhirnya NYI beli pasangan tas, sepatu dan kaca mata. Satu merk. Tak tahu saya apa istimewanya. Saya hampir tidak pernah beli barang bermerk. Sepuluh tahun terakhir selalu sepatu buatan lokal Filipina, yang juga nampak modis. Saya hanya beli topi saja, untuk kenangan. . NYI nampak riang sekali. Dalam perjalanan pulang ke hotel saya lebih banyak berdiam diri. Masih dongkol pengalaman lari lari cari National Mall tadi.

Saya ingat lagu Sepatu dari Kulit Rusa. Dalam taksi saya lantunkan lagu indah itu.

Kubelikan sepatumu
Dari kulit kerbau,
Kunyanyian lagu untukmu
Lagu tentang cinta.

Tak seindah lamunan dalam Sepatu dari Kulit Rusa. Apalagi telah kesasar sasar lari lari ke National Mall, taman belukar di tengah kota Washington. Juga tidak beli sepatu dari kulit rusa. Mungkin kulit lembu, atau bahkan kulit kerbau atau kambing. Tetapi moga moga pesan akhir lagu itu tetap terhayati, bulan madu sampai mati..

Ki Ageng Similikithi (Manila)

Wednesday, June 24, 2009

Taruna itu bernama Prabowo

Ada catatan dalam buku harian saya, hari Senin tanggal 6 September 1971. Tentang kunjungan kami, rombongan mahasiswa kedokteran UGM, ke markas pendidikan akademi militer di Magelang, sehari sebelumnya. Ketika membaca baris baris dalam catatan lama tersebut, ingatan saya melanglang ke masa lalu. Namun lebih didominasi oleh pertemuan dan wawancara saya dengan jendral Sarwo Eddhie. Khususnya tentang penembakan pesawat yang ditumpanginya di bandara Wamena beberapa bukan sebelumnya sewaktu masih menjadi panglima Komando Daerah Militer di Irian Barat, oleh Gerakan Papua Merdeka. Pembicaraan berlanjut sekitar gerakan separatis di Irian dan perilaku para pejabat republik di propinsi ujung timur itu. Saya masih duduk di tingkat tiga Fakultas Kedokteran, dan pemimpin redaksi majalah mahasiswa Hygieia almarhum. Tiga puluh delapan tahun telah berlalu. Buku harian saya kebetulan kena embargo NYI karena didalamnya ternyata banyak tertulis kisah romantis jaman dulu, yang juga sudah saya pernah ceritakan di Koki. Khususnya dengan Eny dan Emsa. Cinta monyet, cinta masa lalu, modal permen karet, sana sini lengket.

Ada sesuatu yang mungkin perlu diceritakan dari peristiwa kunjungan itu. Pertemuan singkat dan perkenalan saya dengan seorang taruna. Prabowo Subianto Djojohadikusumo. Sementara teman teman lain waktu itu sudah terlibat dengan berbagai acara pertandingan olah raga, sepuluh mahasiswa diterima oleh Gubernur AKABRI bersama staff teras di ruang pertemuan gubernur. Beberapa taruna juga mewakili rekan rekan mereka. Dalam acara pembukaan kami semua diperkenalkan, juga tuan rumah. Salah seorang taruna yang diperkenalkan oleh jendral Sarwo Edhie waktu itu adalah Sermadatar Prabowo. "Taruna yang duduk di ujung itu adalah putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo". Sermadatar artinya Sersan Mayor Darat Taruna. Saya lihat Bung Prabowo senyum malu malu di deretan kursi seberang. Diskusi dengan jendral Sawo Eddhie kemudian berkisar tentang penyimpangan2 di Irian barat, dan peristiwa kekerasan yang menimpa mahasiswa oleh taruna akademi militer baik di Yogya maupun di Bandung. Tewasnya Rene Louis Conrad di Bandung menjadi topik tanya jawab menyolok. "Tragedi dan kemunduran dalam pembinaan generasi muda para calon pemimpin bangsa", itu salah satu ungkapan yang saya ingat dari beliau.

Diskusi dengan para taruna berjakan agak kaku. Ketika seorang teman saya berucap " Anda anda di Akademi Militer menikmati fasilitas pendidikan yang begini mewah dan gratis. Kami kami hanya mendapatkan fasilitas belajar pas pasa, dan harus membayar mahal". Jawabannya dari taruna paling senior agak klise " Di manapun di dunia, pendidikan militer selalu gratis. Di ksatrian ini, kami ditempa menjadi pembela negara". Kekakuan suasana masih terasa dengan taruna, walaupun kunjungan itu sebenarnya ditujukan untuk mempererat hubungan mahasiswa dan taruna militer. Peristiwa pembunuhan Renne Louis Conrad mahasiswa ITB oleh taruna Akademii Kepolisian di Bandung setahun sebelumnya, dan pengeroyokan mahasiswa tehnik UGM oleh taruna Akademi Angkatan Udara di Yogya, masih ingat dalam ingatan kami. Ketika saya mencoba menyindir istilah ksatrian yang mereka sebut, teman sebelah saya menginjak kaki saya memberi tanda untuk tidak melanjutkan debat yang tak perlu. Batin saya, siapa yang bilang kalau para taruna itu ksatria, dan markas mereka ksatrian. Edan narsis benar. Ksatria di manapun nggak suka main keroyokan. Lantas kami kami para mahasiswa ini dianggap apa? Dianggap sudra apa? Sorry meck, tak adaitu dalam kamus.

Kembali ke Sermadatar Prabowo. Dia lebih banyak diam dan tak banyak diskusi. Hanya salah satu temannya mengatakan bahwa dia menguasai empat bahasa. Sesudah pertemuan kami sempat bicara singkat. Basa basi. Bahasa Indonesianya masih kaku, nggak lancar. Mungkin karena lama tinggal di luar negeri. Dalam perjalanan ke ruang makan kami lebih banyak ditunjukkan berbagai ruang dan fasilitas pendidikan yang mereka miliki. Selanjutnya tak ada kontak lanjutan di antara kami. Masing masing tenggelam dalam perjalan karier yang panjang. Jelas dia kemudian sering muncul dalam berita nasional, apalagi sejak menjadi menantu RI satu.

Kontak tak langsung dengan Bung Prabowo terjadi di awal tahun sembilan puluhan. Berkaitan dengan forum diskusi mahasiswa Timor Timur pro adan anti integrasi. Salah satu tokoh mahasiswa pro integrasi adalah mahasiswa kedokteran waktu itu, Ossie Mario Soares. Bapaknya adalah tokoh pendiri partai Apodeti, yang dieksekusi oleh kelompok Fretilin di tahun 1975. Beliau adalah kakak mantan Gubernur Abilio Soares . Ossie selalu dekat dengan Bung Prabowo dalam upaya diskusi antara kelompok pro dan kontra integrasi. Saya terlibat beberapa kali dalam pertemuan dan seminar mereka di Yogya. Kami hanya saling titip salam. Tak pernah bertemu langsung. Saya berharap dapat bertemu dengan Bung Prabowo, dalam salah satu pertemuan seminar dan dalam satu acara pertemuan mahasiswa Timtim dengan Sultan. Bung Prabowo berhalangan datang dan hanya titip salam.

Kira kira dua tahun lalu. Ada friendster Bung Prabowo. Agak ragu apakah ini betul beliau atau bukan. Banyak pemujanya di friendster itu. Beberapa kali dalam komunikasi lewat friendster, saya selalu mengakhirinya dengan kalimat " Asli lho". Hanya sekedar jaga jaga, kalau bukan Bung Prabowo beneran. Bahasanya selalu lugas dan santun. Tidak berapi api sama sekali. Kemudian lama friendster itu tidak aktif. Mungkin karena kesibukan dunia politiknya. Apa lagi sekarang menjadi Cawapres. Kita semua tak tahu persis kansnya. Tergantung para pemilih. Mungkin ada sedikit keraguan dalam hati para pemilih dalam pemilu tahun ini. Terutama berkaitan dengan tuduhan keterkaitannya dengan peristiwa orang hilang, dan kedekatannya dengan kelompok agama garis keras. Moga moga di pemilu tahun 2014, semua keraguan bisa diatasi. Masih ada waktu untuk menjelaskan. Jika peristiwa peristiwa itu bisa dijelaskan secara gamblang, mungkin publik yang memuja beliau dan masih ragu ragu, akan mendukungnya sepenuh hati. Saya bukan siapa siapa. Mendukung atau tidak, tak akan ada maknanya.

Yang ingin saya ungkapkan di sini hanyalah salas satu sisi makna kehidupan. Hidup adalah perjalanan panjang, suatu pengembaraan tiada henti. Dalam perjalanan itu kita bertemu banyak orang. Saling menyapa, saling memberi salam. Mungkin akan berjalan bersama. Mungkin akan berpisah. Dan suatu saat, entah berapa tahun lagi akan bertemu dan memberi salam kembali. Dunia maya memberi sarana dan makna begitu dalam, agar manusia bisa saling menyapa dan memberi salam dalam perjalanan dan pengembaraan panjang itu. Tiga puluh delapan tahun lalu, taruna itu bernama Prabowo. Sekarang adalah Cawapres Prabowo. Kami bertemu kembali lewat dunia maya. Tetapi saya bukan siapa siapa. Saya ini hanyalah si gembala sapi. Ki Ageng Similikithi. Salam bung Prabowo.