Suatu sore di musim kering tahun 1966. Saya sedang liburan di desa Ngampin Ambarawa. Tak ingat lagi liburan apa. Hanya beberapa hari. Sejak pertengahan tahun kemarin saya sebenarnya telah hijrah ke Solo, tinggal bersama kakak saya, di Badran kota barat. Meneruskan sekolah di SMA St. Josef. Siang itu saya duduk di pendopo depan. Menikmati tiupan angin yang memberikan rasa sejuk di siang hari yang gerah. Gunung Gadjah Mungkur dan Telomoyo terlihat biru kelam di kejauhan dalam sorot matahari yang cerah menyengat. Di kebun depan saya melihat paklik saya, pak Wir, sedang mengumpulkan kayu bakar di bawah pohon sawo. Dia adalah suami Bu Lik Mus, adik bapak saya. Sudah beberapa bulan pak Wir pensiun dari pegawai Dinas Penerangan Rakyat di kecamatan Jambu. Tiba tiba saja Bapak saya memanggil pak Wir untuk datang ke pendopo. Hal yang biasa, mereka terbiasa ngobrol. Hubungan mereka akrab. Pak Wir sering datang ke rumah hanya sekedar ngobrol.
" Kau Ki. Lagi libur? Sudah krasan di Solo?" Pak Wir menyapa saya singkat.
" Liburan beberapa hari"
" Belajar yang baik. Hati hati putri Solo ayu ayu. Nggak usah macam macam".
" Sekolah saya muridnya semua laki laki".
Pak Wir ketawa. Nggak tahu apa yang diketawakan. Dia hanya menggumam pelan " "Murid kok pelen (laki2) kabeh". Saya tidak merasa perlu menjelaskan mengenai sekolah saya. Tetapi saya bangga belajar di St. Josef, walau bukan sekolah negeri.
Pak Wir kemudian terlibat obrolan panjang dengan ayah saya. Saya hanya duduk di kursi di sudut ruangan. Tak begitu mengikuti pembicaraan mereka. Pembicaraan kadang ringan diselingi tawa, kadang2 berubah serius pelan. Situasi politik saat itu sedang tak menentu. Kadang mencekam karena pembersihan orang orang yang dicurigai pengikut arau simpatisan komunis. Jaman memang sedang tidak aman. Harus pandai pandai menjaga dan menempatkan diri. Agar tidak dicurigai oleh penguasa atau militer.
Ketika pembicaraan beralih serius, mau tidak mau saya ikut mendengarkan. Pak Wir mengeluh, pemerintah setempat berencana membuat saluran air dari sendang di Ngampin Kulon, yang membelah persawahan miliknya. Dia sangat keberatan dengan rencana itu dan mengajukan alternatif untuk membelokkan saluran tersebut di tepi sawah. Jika toh harus melewati sawahnya dia bersikeras minta ganti rugi. Beberapa kelompok petani mendukung dan berdiri di belakang Pak Wir. Bapak saya mengingatkan agar berhati hati. Melawan penguasa sangat riskan.. Apa lagi jika ada petani petani kelompok kiri yang ikut mendukung.
Saya tidak mengikuti permasalahan tersebut secara intens. Kami masing masing terpaku dengan masalah masing masing. Saya lebih terpaku dengan masalah uang langganan susu salah satu instansi pemerintah, rumah sakit umum, telah beberapa bulan tak dibayar. Jelas ini sangat berpengaruh bagi kami. Saya sempat datang sendiri menemui petugas rumah sakit. Jawabannya selalu sama, kuitansi belum bisa dibayarkan. Tak ada uang di kas. Ini masalah serius oleh karena kami harus tetap membeli pakan sapi dan membayar pekerja. Ada paling tidak dua puluh sapi perah waktu itu. Kemudian ternyata sapi sapi itu harus dijual satu persatu. Sekedar menutup ongkos pemeliharaan.
Beberapa hari kemudian setelah pertemuan singkat dengan pak Wir, saya kembali ke Solo. Masih merasakan sedih melihat situasi keuangan yang bersandar pada usaha pemerahan susu. Hasil pertanian seperti kapuk, kopi, kelapa hanya secara insidental memasukkan uang. Saya tidak menyangka kemudian jika pertemuan sore itu dengan pak Wir adalah pertemuan kami yang terakhir. Beberapa minggu kemudian saya terima surat dari adik saya, mengabarkan jika pak Wir ditahan saat wajib lapor dan tidak pernah kembali, tidak tahu berada di mana. Saya ingat pembicaraan pak Wir dengan bapak saya. Jaman tidak menentu, jangan cari masalah. Yang penting selamat. Ingat cerita bapak saya yang mengatakan bahwa pak Wir juga menolak diajak masuk menjadi anggota satu partai, yang dekat dengan penguasa. Petugas penerangan katanya harus netral, tak berpihak pada siapapun, walau dia sebenarnya telah pensiun.
Beberapa minggu kemudian saya kembali ke Ambarawa di akhir pekan. Saya menyempatkan diri menemui Bu Lik Mus, menanyakan kabar tentang pak Wir. Dia menangis sedih penuh emosi. Pak Wir diharuskan wajib lapor ke kawedanan. Beberapa kali datang dan lapor diri sesuai perintah. Suatu pagi saat hujan lebat dan angin, pak Wir tetap berangkat untuk lapor. Walau diingatkan untuk istirahat di rumah saja. Dia hanya berkilah, jaman sedang tidak menentu, jika tidak taat lapor dikira melawan, bisa bahaya. Tetapi sampai malam dan keesokan harinya pak Wir tidak pernah kembali. Bu Lik Mus mencoba mencari informasi ke sana kemari, dan tidak pernah mendapatkan kejelasan suaminya di bawa ke mana. Yang jelas pak Wir diciduk, dituduh menjadi anggota bayangan partai komunis. Tak ada penjelasan, tak ada kesempatan pembelaan. Seolah hilang bersama angin deras hari itu.
Bu Lik Mus selalu terbawa emosi menceritakan kehilangan pak Wir. Dia geram betul dengan aparat pemerintahan yang tega mengorbankan suaminya dan menyerahkan ke pihak penguasa militer. Kesedihan itu masih ditambah, putranya yang bertugas di Kupang Timor, tak pernah ada beritanya. Tak pernah ada surat. Beberapa kali disurati tak pernah datang jawabannya. Tiga tahun kemudian, ketika putranya datang, barulah jelas masalahnya. Surat surat dari putranya juga tak pernah disampaikan. Sengaja selalu ditahan di kantor pemerintahan setempat Komunikasi antara Bu Lik Mus dengan putranya diputus dengan sengaja selama tiga tahun. Kupang Timor dan Ambarawa, bukan jarak yang dekat dimana orang bisa bepergian dengan gampang waktu itu
Di tahun 1967, saat kakak sulung saya pulang dari Amerika, dia liburan di Ngampin Ambarawa. Banyak tetangga yang bertandang menemui. Biasalah kehidupan di desa yang masih guyup, dan mereka juga ingin mendengar cerita tentang negeri impian Amerika. Saya masih ingat salah satu tetangga yang bertandang adalah almarhum Hari, tokoh pemuda setempat. Dia bangga sekali menceritakan kisahnya membersihkan barisan komunis dan antek anteknya. Juga kedekatannya dengan aparat, apalagi dengan militer. Saya mengkaitkan kisahnya dengan cerita Bu Lik Mus tentang persekongkolan aparat setempat yang menciduk pak Wir.
Benang merah itu semakin jelas. Perseteruan dengan aparat pemerintahan setempat, menolak sawahnya terbelah dua oleh saluran air, dukungan kelompok petani yang dicurigai beraliran kiri, protes protesnya tentang bengkok sawah desa, membawa pak Wir ke kegelapan yang panjang tak terkira. Dia memang tak pernah kembali. Keluarga juga tak tahu, di mana kuburnya. Yang jelas hanya diciduk sesudah lapor wajib. Tahun tahun berlalu. Tak pernah ada berita dan kejelasan. Bu Lik Mus selalu menanti. Di usia lanjut dia selalu menitikkan air mata jika disinggung tentang pak Wir.
Dua minggu lalu, hari Kamis tanggal 30 Desember 2009, saya bersama Nyi datang ke Ambarawa, mengantar Bulik Mus ke tempat peristirahatan yang terakhir.. Meninggal malam sebelumnya dalam usia lanjut. Tiga hari sebelumnya kami sempat menjenguk ke rumah sakit. Dia masih jelas berbicara dengan Nyi. Siang itu berbaring lemah Bulik Mus masih mencium Nyi, ketika kami pamit. Saya mengantar sampai ke pemakaman di Bukit Penggung. Makamnya sendirian, tak bersanding dengan makam suaminya pak Wir. Dekat makam kakaknya (ibunda Kresno yang pernah saya ceritakan) dan bapak ibunya. Bu Lik Mus pergi dengan tenang di usia lanjut. Namun masih membawa pertanyaan sedih dimana suami yang dicintainya, yang berpamitan di pagi hari saat hujan deras itu. Namun tak pernah kembali lagi seolah hilang bersama angin. Penantian sia sia sampai akhir hayatnya. Kami semua melepas kepergiannya dengan doa semoga diberi kedamaian di alam sana. Saya sempat bicara dengan putranya, adik sepupu saya, mengingat kisah pak Wir yang telah lama hilang mendahului.. Moga moga pak Wir dan Bulik Mus bertemu dan berkumpul kembali di alam sana.
Kisah semacam pasti banyak dialami oleh keluarga2 yang kehilangan anggota keluarganya. Noda hitam dalam perjalanan bangsa yang tercatat di panggung sejarah dunia. Dalih apapun yang digunakan tak akan pernah bisa diterima oleh akal peradaban manusia modern, pembunuhan karena beda keyakinan politik. Apapun dalihnya. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang ditutupi dan dibenarkan oleh kekuasaan.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Saturday, January 9, 2010
Sunday, November 8, 2009
Sandiwara penegakan hukum
Wajahnya tak memberikan kesan wibawa sama sekali. Sebatang rokok terpasang di sudut mulut, bergerak gerak setiap dia bicara. Pria itu terus saja bicara dengan gaya menggurui. Seolah kami bertiga hanyalah manusia manusia kecil tak berdaya. Paling tidak di hadapannya. Matanya kadang berputar menyapu ruangan. jarang menatap kami langsung. Wajahnya bulat. Berbadan kekar, sedikit agak gemuk. Tinggi di atas rata rata. Menjelang akhir 1975, kami bertiga, kakak ipar saya dan paklik saya, kebetulan keduanya bernama sama, Subroto, sedang berada di kejaksaan Ambarawa. Lupa nama dan jabatan sang penegak hukum itu. Mungkin Kasipidus. Kepala Seksi Pidana Khusus. Ada urusan. Ayah saya sudah lebih dua bulan mendekam dalam tahanan. Tanpa berkas tuduhan apapun.
" Saya ini abdi negara. Di sumpah untuk melindungi masyarakat. Saya benar benar merasa kasihan melihat bapak sampeyan. Saya pengin urusan ini cepat diselesaikan."
" Kami juga pengin urusan ini segera selesai ", paklik saya menyahut.
" Bapak saya pesan kalau dia ingin berkasnya segera ke pengadilan dan disidangkan". Saya menyela pembicaraan.
" Lha ini cara anak muda menyelesaikan masalah. Sok pahlawan. Pengadilan dianggap barang entheng. Sampeyan terlibat dalam organisapi mahasiwa ya?.
Pertanyaanya ditujukan ke saya. Saya masih ingat persis beberapa kali dia memplesetkan kata organisapi dengan gaya yang sangat sinis. Pertanyaannya tendensius. Seolah organisasi mahasiswa ini barang haram. Saya masih menunggu sumpah dokter waktu itu. Semua ujian sudah selesai.
" Jika anda percaya sama saya, urusan ini lebih baik diselesaikan di luar pengadilan", sambung sang penegak hukum.
" Apa maksud pak jaksa ?". Paklik saya mencoba bertanya.
" Jangan berlagak pilon. Saya akan berkoordinasi dengan kepolisian dan pengadilan dalam menangani kasus ini. Kasusnya akan kami deponir. Tetapi terus terang saja, saya perlu cash agar mereka mereka mau menutup kasus ini. Jaman sudah gila. Aparat hukum pada doyan duwit".
Nampaknya orang ini sudah begitu terlatih menggiring orang untuk mau menyelesaikan masalah dengan jalan damai. Omongannya selalu sok bersih, seolah dia bertugas membersihkan sistem yang rusak. Padahal dia juga yang berperan kotor dan ikut merusak sistem itu. Bayangkan saja berita akhir akhir ini, seorang petinggi penegak hukum, ketahuan sedang masturbasi dengan seorang caddy wanita muda di kamar hotel. Apa yang dia bilang ke suami siri sang wanita saat ketahuan ? "Saya ini sedang mengemban misi memperbaiki negara yang sudah bobrok". Gila memperbaiki negara kok dengan masturbasi dengan caddy wanita di kamar hotel, Kembali ke cerita semula. Sang jaksa kemudian dengan sedikit senyum menyebutkan angka jumlah uang yang diperlukan. Saya lupa persisnya. Jika tak keliru sekitar dua setengah juta rupiah.
"Jangan dinilai dari segi jumlahnya. Pandanglah dari inisiatif baik dibelakangnya. Saya bermaksud menolong bapak sampeyan. Jika tak bersedia tidak apa apa. Saya perlu memberi sesuatu kepada mereka yang doyan duwit itu". Sekali lagi dia melempar tanggung jawab perilaku jelek itu ke pihak lain. Kepolisian dan pengadilan. Padahal setali tiga uang. Orang Jawa bilang rase sama kuwuk, sama saja suka mencuri ayam.
" Apakah ada jaminan jika uang kami serahkan Bapak saya akan dikeluarkan?, kakak ipar saya bertanya.
"Jangan menantang ya. Kata kata saya tadi keluar dari mulut seorang penegak hukum. Bisa saja Bapak sampeyan saya jerat dengan tuduhan subversi. Tak ada batas waktu penahanan. Saya pernah menjebloskan orang dengan hukuman 15 tahun karena subversi di Jawa Timur dulu. Ati ati sampeyan ngomong".
Balasannya ketus dengan nada mengancam. Sang jaksa begitu tersinggung dengan pertanyaan kakak ipar saya.. Mungkin dalam benaknya tidak layak pertanyaan itu diajukan ke sang penegak hukum. Apapun yang dikatakan sang jaksa ya bersifat mengikat secara hukum. Sapda pendhito ratu. Kami bertiga minta diri keluar ruangan. Akan berpikir dan berbicara dulu. Di luar saya melihat para pegawai duduk bergerombol di ruang depan. Ruang terbuka menghadap halaman dan jalan raya. Kepala kejaksaan juga berdiri disana, merokok. Tak tahu apa yang diperhatikan di sana. Suasana itu memberikan kesan kuat akan etos kerja yang buruk. Mereka semua berseragam abu abu. Tiba tiba seseorang mendekati saya dan mengajak salaman.
' Ingat saya Ki?
' Dim, gimana kabarnya ? Anda kerja di sini sekarang?
Dia teman saya sewaktu SMP dulu. Juga murid bapak saya.
" Ki terus terang saya pengin bicara. Kasihan bapakmu. Diselesaikan saja di luar pengadilan. Tadi kan sudah ketemu pak Kasipidus ?. Berat kalau masuk kasus subversi'.
Saya tak begitu minat untuk bicara lebih banyak. Saya dan kakak ipar saya langsung pulang. Paklik saya kembali ke tempat tugasnya di Lembaga Pemasyarakatan Ambarawa Malam itu kami janji akan bertemu di rumah. Membicarakan tawaran sang jaksa tadi.
Ceritanya, kira kira sepuluh minggu sebelumnya, rumah kami digerebeg polisi. Bapak saya suka kumpul kumpul sama banyak orang, terutama mereka yang mengikuti aliran kebatinan. Lima belas tahun sebelumnya dia ikut masuk salah satu aliran kebatinan yang bernama Manunggal, yang dipimpin oleh Romo Herucakra di Banyumas. Banyak sekali pengikutnya waktu itu. Saya hanya sempat melihat pagelaran wayang kulit di Wedhi Klaten tahun 1965, dengan dalang terkenal yang juga penulis kondang sastra Jawa. Jika tak salah satu karangannya adalah Api di Bukit Menoreh.. Ternyata banyak pengikut dari kalangan atas, termasuk kalangan Chinese business . Salah satu murid senior perguruan kebatinan ini seorang Jerman yang desersi dari tentara Belanda waktu perang kemerdekaan dan telah masuk WNI. Namanya Hoebers. Dia sering nginap di rumah kami ber minggu minggu. Saya benar2 kagum akan kemampuan bahasanya. Dia menguasai 33 bahasa. Juga ahli matematika. Saya tidak mengikuti aliran tersebut. Hanya dengar cerita dari Bapak saya. Di awal tahun tujuh puluhan aliran ini dilarang pemerintah.
Para pengikut aliran Manunggal yang tinggal di sekitar Ambarawa sering kumpul kumpul di rumah pada hari hari tertentu, kalau nggak salah Selasa Kliwon. Terutama setelah Romo Herucokro meninggal. Lupa kapan persisnya. Saya sering mengingatkan ayah saya oleh karena setiap pulang ke Ambarawa sering banyak orang kumpul di rumah. Umur ayah saya waktu itu pertengahan enam puluhan, pensiunan. Banyak orang kumpul mungkin juga hiburan buatnya. Apalagi jika diskusi mengenai aliran yang dipercayai bersama. Pada saat penggeledahan ketemu beberapa materi cetak perguruan manunggal dan beberapa kopi majalah Echte Warheid. Majalah ini aslinya terbit di USA. Saya minta kopi bahasa Belanda nya untuk bahan bacaan Bapak saya. Tak ada kaitannya dengan subversi. Diterbitkan oleh salah satu sekte agama di Amerika. Hanya karena berbahasa Belanda dan gratis, maka saya minta majalah itu dikirm rutin ke alamat Bapak saya.
Bapak saya di tahan di kepolisian Ambarawa kira kira dua minggu, kemudian dipindah di Salatiga beberapa minggu, sebelum akhirnya dialihkan ke penjara tua di Ambarawa. Saya sempat menemuinya beberapa kali saat di Ambarawa dan Salatiga. Sekali bersama Nyi. Masih pacaran tetapi sudah tahap serius. Kami baru akan kawin bulan Desember nanti. Bapak saya tetap berkeras hati merasa tidak menyalahi aturan apa pun. Dia minta agar berkas pemeriksaan segera diajukan ke pengadilan. Di jaman Belanda memang pernah mendekam di Nusakambangan karena ikut gerakan bawah tanah melawan pemerintah Belanda di tahun empat puluhan. Jadi ditahan polisi dia tak merasa kecil hati sama sekali. Saat di tahan di kepolisian, walau tempatnya sangat sederhana, dia tak banyak mengalami masalah. Banyak bekas muridnya yang selalu menengoknya. Saya begitu khawatir saat itu oleh karena kami sedang berencana akan menikah. Memang akhirnya saat pernikahan kami, bapak mendapat ijin khusus untuk menghadiri. Diberi libur dari tahanan selama 3 hari. Ikut ke Pekalongan menyaksikan acara nikah kami.
Malam harinya sesudah menghadap sang jaksa tadi, kami bicara di rumah dengan kakak kakak saya dan paklik. Akhirnya disepakati saja untuk memenuhi permintaan sang jaksa. Dua setengah juta rupiah. Saya lupa siapa yang menyerahkan ke kejaksaan. Kakak ipar saya atau paklik saya. Ternyata benar, walaupun uang sudah diserahkan, sampai lebih seminggu Bapak belum juga dibebaskan. Kemudian kakak ipar saya menemui lagi sang jaksa tadi. Saya tidak ikut oleh karena sudah mulai bertugas sebagai asisten. Ternyata sang jaksa masih minta komisi lagi. Minta tambahan untuk dia. Satu juta rupiah. Saat uang komisi itu diserahkan dengan tenang katanya dia berkata " Orang kan bisanya cuma tolong menolong. Take and give".
Ini salah satu kisah hitam pengalaman saya berhadapan dengan penegak hukum. Bapak saya sebagai pihak yang dituduh waktu itu. Di tahun 1997, ada pengalaman getir yang lain. Anak saya Moko meninggal karena ditabrak mobil yang dikendarai secara sangat sembrono. Kami sebagai pihak korban. Tetapi saat persidangan di pengadilan, juga harus mengeluarkan uang untuk jaksa dan hakim agar si penabrak masuk penjara. Penabrak itu memang akhirnya di vonis 11 bulan, tetapi nggak tahu berapa lama dia mendekam di dalam. Semua toh bisa tawar menawar.
Jadi ketika saat ini ada rame rame antar elit penegak hukum di atas sana, saya tidak kaget dan tidak gumun. Orang Jawa bilang, rase sama kuwuk sama sama suka mencuri ayam. Hanya ingat cerita saat Indonesia krisis pejantan sapi, maka waktu itu cepat2 pemerintah mengimpor sapi pemacek dari Australia. Krisis sapi teratasi. Kalau krisis hukum apa ya bisa impor ? Apanya yang mau diimpor? Yang penting aja gumunan, aja kagetan. Kita semua melihat sandiwara besar.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
" Saya ini abdi negara. Di sumpah untuk melindungi masyarakat. Saya benar benar merasa kasihan melihat bapak sampeyan. Saya pengin urusan ini cepat diselesaikan."
" Kami juga pengin urusan ini segera selesai ", paklik saya menyahut.
" Bapak saya pesan kalau dia ingin berkasnya segera ke pengadilan dan disidangkan". Saya menyela pembicaraan.
" Lha ini cara anak muda menyelesaikan masalah. Sok pahlawan. Pengadilan dianggap barang entheng. Sampeyan terlibat dalam organisapi mahasiwa ya?.
Pertanyaanya ditujukan ke saya. Saya masih ingat persis beberapa kali dia memplesetkan kata organisapi dengan gaya yang sangat sinis. Pertanyaannya tendensius. Seolah organisasi mahasiswa ini barang haram. Saya masih menunggu sumpah dokter waktu itu. Semua ujian sudah selesai.
" Jika anda percaya sama saya, urusan ini lebih baik diselesaikan di luar pengadilan", sambung sang penegak hukum.
" Apa maksud pak jaksa ?". Paklik saya mencoba bertanya.
" Jangan berlagak pilon. Saya akan berkoordinasi dengan kepolisian dan pengadilan dalam menangani kasus ini. Kasusnya akan kami deponir. Tetapi terus terang saja, saya perlu cash agar mereka mereka mau menutup kasus ini. Jaman sudah gila. Aparat hukum pada doyan duwit".
Nampaknya orang ini sudah begitu terlatih menggiring orang untuk mau menyelesaikan masalah dengan jalan damai. Omongannya selalu sok bersih, seolah dia bertugas membersihkan sistem yang rusak. Padahal dia juga yang berperan kotor dan ikut merusak sistem itu. Bayangkan saja berita akhir akhir ini, seorang petinggi penegak hukum, ketahuan sedang masturbasi dengan seorang caddy wanita muda di kamar hotel. Apa yang dia bilang ke suami siri sang wanita saat ketahuan ? "Saya ini sedang mengemban misi memperbaiki negara yang sudah bobrok". Gila memperbaiki negara kok dengan masturbasi dengan caddy wanita di kamar hotel, Kembali ke cerita semula. Sang jaksa kemudian dengan sedikit senyum menyebutkan angka jumlah uang yang diperlukan. Saya lupa persisnya. Jika tak keliru sekitar dua setengah juta rupiah.
"Jangan dinilai dari segi jumlahnya. Pandanglah dari inisiatif baik dibelakangnya. Saya bermaksud menolong bapak sampeyan. Jika tak bersedia tidak apa apa. Saya perlu memberi sesuatu kepada mereka yang doyan duwit itu". Sekali lagi dia melempar tanggung jawab perilaku jelek itu ke pihak lain. Kepolisian dan pengadilan. Padahal setali tiga uang. Orang Jawa bilang rase sama kuwuk, sama saja suka mencuri ayam.
" Apakah ada jaminan jika uang kami serahkan Bapak saya akan dikeluarkan?, kakak ipar saya bertanya.
"Jangan menantang ya. Kata kata saya tadi keluar dari mulut seorang penegak hukum. Bisa saja Bapak sampeyan saya jerat dengan tuduhan subversi. Tak ada batas waktu penahanan. Saya pernah menjebloskan orang dengan hukuman 15 tahun karena subversi di Jawa Timur dulu. Ati ati sampeyan ngomong".
Balasannya ketus dengan nada mengancam. Sang jaksa begitu tersinggung dengan pertanyaan kakak ipar saya.. Mungkin dalam benaknya tidak layak pertanyaan itu diajukan ke sang penegak hukum. Apapun yang dikatakan sang jaksa ya bersifat mengikat secara hukum. Sapda pendhito ratu. Kami bertiga minta diri keluar ruangan. Akan berpikir dan berbicara dulu. Di luar saya melihat para pegawai duduk bergerombol di ruang depan. Ruang terbuka menghadap halaman dan jalan raya. Kepala kejaksaan juga berdiri disana, merokok. Tak tahu apa yang diperhatikan di sana. Suasana itu memberikan kesan kuat akan etos kerja yang buruk. Mereka semua berseragam abu abu. Tiba tiba seseorang mendekati saya dan mengajak salaman.
' Ingat saya Ki?
' Dim, gimana kabarnya ? Anda kerja di sini sekarang?
Dia teman saya sewaktu SMP dulu. Juga murid bapak saya.
" Ki terus terang saya pengin bicara. Kasihan bapakmu. Diselesaikan saja di luar pengadilan. Tadi kan sudah ketemu pak Kasipidus ?. Berat kalau masuk kasus subversi'.
Saya tak begitu minat untuk bicara lebih banyak. Saya dan kakak ipar saya langsung pulang. Paklik saya kembali ke tempat tugasnya di Lembaga Pemasyarakatan Ambarawa Malam itu kami janji akan bertemu di rumah. Membicarakan tawaran sang jaksa tadi.
Ceritanya, kira kira sepuluh minggu sebelumnya, rumah kami digerebeg polisi. Bapak saya suka kumpul kumpul sama banyak orang, terutama mereka yang mengikuti aliran kebatinan. Lima belas tahun sebelumnya dia ikut masuk salah satu aliran kebatinan yang bernama Manunggal, yang dipimpin oleh Romo Herucakra di Banyumas. Banyak sekali pengikutnya waktu itu. Saya hanya sempat melihat pagelaran wayang kulit di Wedhi Klaten tahun 1965, dengan dalang terkenal yang juga penulis kondang sastra Jawa. Jika tak salah satu karangannya adalah Api di Bukit Menoreh.. Ternyata banyak pengikut dari kalangan atas, termasuk kalangan Chinese business . Salah satu murid senior perguruan kebatinan ini seorang Jerman yang desersi dari tentara Belanda waktu perang kemerdekaan dan telah masuk WNI. Namanya Hoebers. Dia sering nginap di rumah kami ber minggu minggu. Saya benar2 kagum akan kemampuan bahasanya. Dia menguasai 33 bahasa. Juga ahli matematika. Saya tidak mengikuti aliran tersebut. Hanya dengar cerita dari Bapak saya. Di awal tahun tujuh puluhan aliran ini dilarang pemerintah.
Para pengikut aliran Manunggal yang tinggal di sekitar Ambarawa sering kumpul kumpul di rumah pada hari hari tertentu, kalau nggak salah Selasa Kliwon. Terutama setelah Romo Herucokro meninggal. Lupa kapan persisnya. Saya sering mengingatkan ayah saya oleh karena setiap pulang ke Ambarawa sering banyak orang kumpul di rumah. Umur ayah saya waktu itu pertengahan enam puluhan, pensiunan. Banyak orang kumpul mungkin juga hiburan buatnya. Apalagi jika diskusi mengenai aliran yang dipercayai bersama. Pada saat penggeledahan ketemu beberapa materi cetak perguruan manunggal dan beberapa kopi majalah Echte Warheid. Majalah ini aslinya terbit di USA. Saya minta kopi bahasa Belanda nya untuk bahan bacaan Bapak saya. Tak ada kaitannya dengan subversi. Diterbitkan oleh salah satu sekte agama di Amerika. Hanya karena berbahasa Belanda dan gratis, maka saya minta majalah itu dikirm rutin ke alamat Bapak saya.
Bapak saya di tahan di kepolisian Ambarawa kira kira dua minggu, kemudian dipindah di Salatiga beberapa minggu, sebelum akhirnya dialihkan ke penjara tua di Ambarawa. Saya sempat menemuinya beberapa kali saat di Ambarawa dan Salatiga. Sekali bersama Nyi. Masih pacaran tetapi sudah tahap serius. Kami baru akan kawin bulan Desember nanti. Bapak saya tetap berkeras hati merasa tidak menyalahi aturan apa pun. Dia minta agar berkas pemeriksaan segera diajukan ke pengadilan. Di jaman Belanda memang pernah mendekam di Nusakambangan karena ikut gerakan bawah tanah melawan pemerintah Belanda di tahun empat puluhan. Jadi ditahan polisi dia tak merasa kecil hati sama sekali. Saat di tahan di kepolisian, walau tempatnya sangat sederhana, dia tak banyak mengalami masalah. Banyak bekas muridnya yang selalu menengoknya. Saya begitu khawatir saat itu oleh karena kami sedang berencana akan menikah. Memang akhirnya saat pernikahan kami, bapak mendapat ijin khusus untuk menghadiri. Diberi libur dari tahanan selama 3 hari. Ikut ke Pekalongan menyaksikan acara nikah kami.
Malam harinya sesudah menghadap sang jaksa tadi, kami bicara di rumah dengan kakak kakak saya dan paklik. Akhirnya disepakati saja untuk memenuhi permintaan sang jaksa. Dua setengah juta rupiah. Saya lupa siapa yang menyerahkan ke kejaksaan. Kakak ipar saya atau paklik saya. Ternyata benar, walaupun uang sudah diserahkan, sampai lebih seminggu Bapak belum juga dibebaskan. Kemudian kakak ipar saya menemui lagi sang jaksa tadi. Saya tidak ikut oleh karena sudah mulai bertugas sebagai asisten. Ternyata sang jaksa masih minta komisi lagi. Minta tambahan untuk dia. Satu juta rupiah. Saat uang komisi itu diserahkan dengan tenang katanya dia berkata " Orang kan bisanya cuma tolong menolong. Take and give".
Ini salah satu kisah hitam pengalaman saya berhadapan dengan penegak hukum. Bapak saya sebagai pihak yang dituduh waktu itu. Di tahun 1997, ada pengalaman getir yang lain. Anak saya Moko meninggal karena ditabrak mobil yang dikendarai secara sangat sembrono. Kami sebagai pihak korban. Tetapi saat persidangan di pengadilan, juga harus mengeluarkan uang untuk jaksa dan hakim agar si penabrak masuk penjara. Penabrak itu memang akhirnya di vonis 11 bulan, tetapi nggak tahu berapa lama dia mendekam di dalam. Semua toh bisa tawar menawar.
Jadi ketika saat ini ada rame rame antar elit penegak hukum di atas sana, saya tidak kaget dan tidak gumun. Orang Jawa bilang, rase sama kuwuk sama sama suka mencuri ayam. Hanya ingat cerita saat Indonesia krisis pejantan sapi, maka waktu itu cepat2 pemerintah mengimpor sapi pemacek dari Australia. Krisis sapi teratasi. Kalau krisis hukum apa ya bisa impor ? Apanya yang mau diimpor? Yang penting aja gumunan, aja kagetan. Kita semua melihat sandiwara besar.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Monday, November 2, 2009
Siapakah aku ini
Hidup adalah perjalanan panjang. Menempuh arah dan menuju tujuan masing masing. Dalam perjalanan panjang itu pasti bertemu banyak orang. Dengan segala corak dan tujuan hidup masing. Juga bertemu banyak teman. Teman sesaat atau selamanya.. Juga teman hidup yang dicintai. Yang menemani perjalanan sampai waktu berakhir. Bertemu dengan banyak corak manusia, pertanyaan kadang menerpa. Siapakah mereka? Apa yang mereka lakukan. Siapakah aku? Apa yang saya tuju dalam hidup ini? Pertanyaan yang sering datang bersama lamunan.
Pertanyaan sederhana ini datang ke benak saya , pertama setelah membaca sajak Chairil Anwar , di tahun 1964. Setelah pelajaran bahasa Indonesia. Mungkin tak lengkap. Hanya ingat sepatah sepatah " Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya yang terbuang. Tak perlu sedu sedan itu. Biar peluru menembus kulitku. Aku tak kan peduli. Berlari Berlari, hingga hilang pedih peri" Saya tak tahu persis apa yang emosi dan pikiran Chairil dibalik puisi itu. Nampak begitu bergelora. Membara penuh semangat hidup.
Musim bunga di tahun 1964. Bunga kopi, bunga mawar semerbak di kebun kami. Hanya beberapa minggu setelah kami menerima pelajaran tentang puisi Chairil Anwar tadi. Di hari Minggu itu kami siswa siswi Taman Siswa jalan jalan ke Gunung Kendali Sodo, di sebelah Timur Laut kota. Bahasa sekarang mungkin outbond. Dulu waktu sekolah dasar, istilahnya gerak jalan. Berjalan kaki sepanjang kurang lebbih tujuh kilometer. Dari desa kami total mungkin 12 kilometer. Dipimpin guru olah raga, namanya pak Beny. Badannya kuat, suka cerita, kadang sampai membual. Katanya pernah dikeroyok perampok lima orang. Satu persatu KO kena ketupat Bangka Hulu. Perjalanan mengasyikkan. Tak terasa lelah walau jalan mendaki sepanjang perbukitan,setelah melewati desa Doplang. Hawa belum panas benar. Awal musim hujan. Udara Ambarawa masih sejuk kala itu. Pak Beny selalu cerita ke sana kemari. Kadang2 teriak memberi semangat sepanjang jalan.
Kami tiba di puncak Gunung Kendalisodo kira kira hampir jam sebelas siang. Dari puncak bukit itu terlihat pemandangan lembah terhampar luas. Lembah Ambarawa di sebelah Barat, dan dataran rendah menuju Semarang ke arah Timur Laut. Begitu menakjubkan. Asri dan damai sekali waktu itu. Saya merasa begitu kecil berdiri di puncak bukit itu. Kami hanya duduk duduk dibawah pohon pohon rindang.Kadang kadang nyanyi bersama. Lupa lagu apa saja yang kami nyanyikan saat itu. Satu yang tak terlupakan. Lagu indah Taman Siswa kami kumandangkan di atas bukit . "Taman Siswa perguruanku. Hiduplahmu semerdekanya. Taman Siswa jantung hatiku. Bersinarlah semulianya. Dari Barat sampai ke Timur. Pulau pulau Indonesia. Nama kamu sangatlah masyhur. Diliputi merah danputih".
Habis nyanyi nyanyi hanya duduk duduk menggerombol. Masing masing asyik ngobrol dan makan bingkisan makanan dengan kelompok masing masing. Pak Beny cerita di kelilingi siswi siswi putri. Hanya seorang siswa laki laki yang ikut dalam kelompok pak Beny, namanya Kadar si kacamata. Dia takut jauh jauh. Tebing begitu tinggi dan terjal. Takut kalau terpeleset. Saya lihat Santi dan mbak Marni di seberang lereng bukit. Santi nampak begitu menawan. Dengan baju hijau muda. Pipinya memerah terkena panas mata hari. Kadang2 dia terpekik ceria. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tiba tiba saja saya ingat puisi Chairil Anwar itu. Aku. Pertanyaan menerpa ringan di antara lamunan menikmati pemandangan alam yang menakjubkan. Siapakah aku ini? Apa yang akan saya gapai dalam hidup ini? Lamunan saya melayang di antara langit dan awan. Menelusur lembah dan bukit yang begitu indah. Pemandangan lembah yang begitu indah terhampar luas di bawah sana. Saya ingin terbang menembus cakrawala itu. Menembus langit itu. Bersama awan. Bersama Santi, kalau bisa. Dengan baju hijau muda dan syal warna lembut. Dia sering memakai syal warna kuning lembut. Untuk mengusir hawa dingin pagi hari waktu itu. Syal itu pasti akan melambai lambai di langit jika dia terbang. Terbang di langit tak bertepi. Dalam lamunan tak berbatas. Edaaan ah. Lamunan keterlaluan. Tetapi melamun sih bisa saja. Tak ada larangan untuk melamun.
Siapakah aku ? Apa yang saya gapai? Saya ingin pergi ke luar dari lembah indah itu. Belajar dan berjuang ke masa depan. Saya ingin belajar di luar sana. Di balik cakrawala. Di seberang dunia. Di luar Indonesia. Ingatan saya melayang ke kakak saya tertua yang saat itu sedang tugas belajar di West Lafayette, USA. Moga moga saya bisa seperti dia. Namanya Hadiwaratama. Lulus ITB tahun 1963, terus tugas belajar ke Amerika.
Sekarang sudah pensiun dari ITB.
Keinginan saya untuk pergi begitu bergelora. Bercampur lamunan lamunan indah.. Hidup memang begitu keras saat itu. Saya harus bangun setiap pagi jam empat. Memerah susu. Kemudian jam enam pagi sudah harus berangkat sekolah jalan kaki. Pulang sekolah juga harus mengurus sapi sapi itu kembali. Masih ada banyak binatang piaraan yang lain, kambing, kuda, ayam dan burung. Meskipun ada pekerja, tetapi kami bersaudara selalu harus terjun mengawasi. Kami punya perusahaan pemerahan susu di desa. Tak pernah memelihara kerbau. Nggak tahu kesan terhadap kerbau selalu negatip. Di antara kerasnya hidup sehari hari, hanya lamunan itulah pelarian yang indah dan mengasyikkan. Dengan pertanyaan, siapakah aku dan apa yang ingin saya gapai dalam hidup ini.
Beberapa tahun kemudian, pertanyaan serupa juga sering hinggap di benak saat kuliah di fakultas Kedokteran, di Mangkubumen Yogyakarta. Kebetulan seorang guru besar yang kami banggakan juga suka cerita. Kadang membual. Ceritanya selalu dimulai dengan kata kata "Saya ini". Setiap pulang dari luar negeri selalu cerita. "Saya ini minggu kemarin ke Hawai. Ada konperensi". Pernah saya ceritakan, adik kelas saya Narko pernah disuruh keluar dari kelas. Baru sang guru besar mulai bicara "Saya ini", Narko teriak dari belakang "Si Gembala Sapi". Berang benar guru besar itu. "Keluar kamu, anak kampung. Sana pergi ke Sentolo saja". Kesulitan kesulitan semasa kuliah selalu menghantui. Tetapi mendengar cerita sang guru besar tadi, selalu membesarkan hati. Siapakah aku ini? Apa yang akan saya gapai dalam hidup ini? Kami selalu terpukau mendengar ceritanya. Walau beberapa mungkin sedikit membual. Tetapi itulah yang memompa semangat saya. Mencari apa yangakan saya gapai dalam hidup ini.
Di tahun delapan puluh saya mendapat kesempatan tugas belajar di Newcastle, UK dengan beaya Rockefeller Foundation. Menyelesaikan program doktor. Kembali ke Indonesia tahun 1983, dan bertugas sebagai dosen. Merambat dari bawah. Beberapa kali saya sempat berbincang dengan sang guru besar senior tadi. Gaya bicaranya tak pernah berubah. Selalu menggugah semangat anak muda untuk berpacu ke depan. Di akhir tahun delapan puluhan, saya masih ingat pembicaraan terakhir ketika beliau dirawat di rumah sakit. Beberapa minggu sebelum meninggal. "Ki saya sudah tua. Pengin istirahat dan hidup tenang. Saya sudah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan dalam hidup ini. Saya merasa tenang jika orang mengingatnya."
Ketika menjadi dosen senior, terutama saat terlibat dalam program doktor, saya banyak belajar tentang pertanyaan Siapakah aku ini?. Apa yang saya tuju dalam hidup ini ? Tak jarang mereka mereka yang diberi kewenangan akademis begitu besar untuk menentukan lulus atau tidaknya seorang calon, begitu terbuai dengan ungkapan Siapakah Aku ? Ini lho aku yang berkewenangan besar. Menentukan nasib anda. Menentukan lulus atau tidak. Menentukan perjalanan karier anda di masa depan. Jika ada calon yang menjawab keliru dalam ujian lisan, tidak hanya disanggah, kalau perlu di cerca sampai terjatuh terbirit birit. Mungkin manusiawi. Orang kadang kadang begitu mengagumi diri sendiri. Siapa aku ini?
Sampai almarhum Gepeng almarhum, tokoh komedi Srimulat itu, terkenal dengan kata sindiran "Untung Ada Saya".
Dalam kewenangan dan kekuasaan luar biasa orang gampang terlupa "Siapakah aku ini"?. Banyak contoh di sekitar kita. Ada anggota DPR lupa, siapa dia. Harusnya menggodok undang undang kok malah buat foto mesum. Memangnya bintang film porno?. Guru yang seharusnya mendidik dan melindungi muridnya kok malah mencabuli siswi yang masih di bawah umur. Lupa siapa sebenarnya dia. Ada pejabat publik yang top di Republik ini, lupa diri siapa dia, malah colek mencolek dengan caddy cantik di kamar hotel. Edan ya memang enak sih colek mencolek. Apalagi kalau bukan sama nyonya. Nyolek isteri sendiri kadang kadang malah bisa digampar pakai bantal. Jangan ganggu orang tidur. Siapa salah mencolek caddy. Alasan sih bisa dibuat. Operasi intelijen. Intelijen kok malah nyoleki wanita caddy. Enak dhong.
Siapakah aku ini ? Dalam masa masa tua ini, jika pertanyaan itu datang dalam lamunan, saya hanya menjawab pasrah. Sederhana sekali. Saya bukan siapa siapa. Hanya pelanglang dunia maya. Menjelajah dunia tak bertepi, tak berbatas. Menembus langit melanglang dunia. Menyapa siapa saja yang bertemu dalam perjalanan maya itu. Mungkin meninggalkan catatan kecil. Asal terbaca oleh mereka yang berkelana. Jika masih ada waktu suatu saat mungkin membuat catatan tentang sesuatu. Tentang makna hidup dan perjalanan hidup. Tentang cinta dan kedamaian.
Ki Ageng Similikithi.
Pertanyaan sederhana ini datang ke benak saya , pertama setelah membaca sajak Chairil Anwar , di tahun 1964. Setelah pelajaran bahasa Indonesia. Mungkin tak lengkap. Hanya ingat sepatah sepatah " Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya yang terbuang. Tak perlu sedu sedan itu. Biar peluru menembus kulitku. Aku tak kan peduli. Berlari Berlari, hingga hilang pedih peri" Saya tak tahu persis apa yang emosi dan pikiran Chairil dibalik puisi itu. Nampak begitu bergelora. Membara penuh semangat hidup.
Musim bunga di tahun 1964. Bunga kopi, bunga mawar semerbak di kebun kami. Hanya beberapa minggu setelah kami menerima pelajaran tentang puisi Chairil Anwar tadi. Di hari Minggu itu kami siswa siswi Taman Siswa jalan jalan ke Gunung Kendali Sodo, di sebelah Timur Laut kota. Bahasa sekarang mungkin outbond. Dulu waktu sekolah dasar, istilahnya gerak jalan. Berjalan kaki sepanjang kurang lebbih tujuh kilometer. Dari desa kami total mungkin 12 kilometer. Dipimpin guru olah raga, namanya pak Beny. Badannya kuat, suka cerita, kadang sampai membual. Katanya pernah dikeroyok perampok lima orang. Satu persatu KO kena ketupat Bangka Hulu. Perjalanan mengasyikkan. Tak terasa lelah walau jalan mendaki sepanjang perbukitan,setelah melewati desa Doplang. Hawa belum panas benar. Awal musim hujan. Udara Ambarawa masih sejuk kala itu. Pak Beny selalu cerita ke sana kemari. Kadang2 teriak memberi semangat sepanjang jalan.
Kami tiba di puncak Gunung Kendalisodo kira kira hampir jam sebelas siang. Dari puncak bukit itu terlihat pemandangan lembah terhampar luas. Lembah Ambarawa di sebelah Barat, dan dataran rendah menuju Semarang ke arah Timur Laut. Begitu menakjubkan. Asri dan damai sekali waktu itu. Saya merasa begitu kecil berdiri di puncak bukit itu. Kami hanya duduk duduk dibawah pohon pohon rindang.Kadang kadang nyanyi bersama. Lupa lagu apa saja yang kami nyanyikan saat itu. Satu yang tak terlupakan. Lagu indah Taman Siswa kami kumandangkan di atas bukit . "Taman Siswa perguruanku. Hiduplahmu semerdekanya. Taman Siswa jantung hatiku. Bersinarlah semulianya. Dari Barat sampai ke Timur. Pulau pulau Indonesia. Nama kamu sangatlah masyhur. Diliputi merah danputih".
Habis nyanyi nyanyi hanya duduk duduk menggerombol. Masing masing asyik ngobrol dan makan bingkisan makanan dengan kelompok masing masing. Pak Beny cerita di kelilingi siswi siswi putri. Hanya seorang siswa laki laki yang ikut dalam kelompok pak Beny, namanya Kadar si kacamata. Dia takut jauh jauh. Tebing begitu tinggi dan terjal. Takut kalau terpeleset. Saya lihat Santi dan mbak Marni di seberang lereng bukit. Santi nampak begitu menawan. Dengan baju hijau muda. Pipinya memerah terkena panas mata hari. Kadang2 dia terpekik ceria. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tiba tiba saja saya ingat puisi Chairil Anwar itu. Aku. Pertanyaan menerpa ringan di antara lamunan menikmati pemandangan alam yang menakjubkan. Siapakah aku ini? Apa yang akan saya gapai dalam hidup ini? Lamunan saya melayang di antara langit dan awan. Menelusur lembah dan bukit yang begitu indah. Pemandangan lembah yang begitu indah terhampar luas di bawah sana. Saya ingin terbang menembus cakrawala itu. Menembus langit itu. Bersama awan. Bersama Santi, kalau bisa. Dengan baju hijau muda dan syal warna lembut. Dia sering memakai syal warna kuning lembut. Untuk mengusir hawa dingin pagi hari waktu itu. Syal itu pasti akan melambai lambai di langit jika dia terbang. Terbang di langit tak bertepi. Dalam lamunan tak berbatas. Edaaan ah. Lamunan keterlaluan. Tetapi melamun sih bisa saja. Tak ada larangan untuk melamun.
Siapakah aku ? Apa yang saya gapai? Saya ingin pergi ke luar dari lembah indah itu. Belajar dan berjuang ke masa depan. Saya ingin belajar di luar sana. Di balik cakrawala. Di seberang dunia. Di luar Indonesia. Ingatan saya melayang ke kakak saya tertua yang saat itu sedang tugas belajar di West Lafayette, USA. Moga moga saya bisa seperti dia. Namanya Hadiwaratama. Lulus ITB tahun 1963, terus tugas belajar ke Amerika.
Sekarang sudah pensiun dari ITB.
Keinginan saya untuk pergi begitu bergelora. Bercampur lamunan lamunan indah.. Hidup memang begitu keras saat itu. Saya harus bangun setiap pagi jam empat. Memerah susu. Kemudian jam enam pagi sudah harus berangkat sekolah jalan kaki. Pulang sekolah juga harus mengurus sapi sapi itu kembali. Masih ada banyak binatang piaraan yang lain, kambing, kuda, ayam dan burung. Meskipun ada pekerja, tetapi kami bersaudara selalu harus terjun mengawasi. Kami punya perusahaan pemerahan susu di desa. Tak pernah memelihara kerbau. Nggak tahu kesan terhadap kerbau selalu negatip. Di antara kerasnya hidup sehari hari, hanya lamunan itulah pelarian yang indah dan mengasyikkan. Dengan pertanyaan, siapakah aku dan apa yang ingin saya gapai dalam hidup ini.
Beberapa tahun kemudian, pertanyaan serupa juga sering hinggap di benak saat kuliah di fakultas Kedokteran, di Mangkubumen Yogyakarta. Kebetulan seorang guru besar yang kami banggakan juga suka cerita. Kadang membual. Ceritanya selalu dimulai dengan kata kata "Saya ini". Setiap pulang dari luar negeri selalu cerita. "Saya ini minggu kemarin ke Hawai. Ada konperensi". Pernah saya ceritakan, adik kelas saya Narko pernah disuruh keluar dari kelas. Baru sang guru besar mulai bicara "Saya ini", Narko teriak dari belakang "Si Gembala Sapi". Berang benar guru besar itu. "Keluar kamu, anak kampung. Sana pergi ke Sentolo saja". Kesulitan kesulitan semasa kuliah selalu menghantui. Tetapi mendengar cerita sang guru besar tadi, selalu membesarkan hati. Siapakah aku ini? Apa yang akan saya gapai dalam hidup ini? Kami selalu terpukau mendengar ceritanya. Walau beberapa mungkin sedikit membual. Tetapi itulah yang memompa semangat saya. Mencari apa yangakan saya gapai dalam hidup ini.
Di tahun delapan puluh saya mendapat kesempatan tugas belajar di Newcastle, UK dengan beaya Rockefeller Foundation. Menyelesaikan program doktor. Kembali ke Indonesia tahun 1983, dan bertugas sebagai dosen. Merambat dari bawah. Beberapa kali saya sempat berbincang dengan sang guru besar senior tadi. Gaya bicaranya tak pernah berubah. Selalu menggugah semangat anak muda untuk berpacu ke depan. Di akhir tahun delapan puluhan, saya masih ingat pembicaraan terakhir ketika beliau dirawat di rumah sakit. Beberapa minggu sebelum meninggal. "Ki saya sudah tua. Pengin istirahat dan hidup tenang. Saya sudah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan dalam hidup ini. Saya merasa tenang jika orang mengingatnya."
Ketika menjadi dosen senior, terutama saat terlibat dalam program doktor, saya banyak belajar tentang pertanyaan Siapakah aku ini?. Apa yang saya tuju dalam hidup ini ? Tak jarang mereka mereka yang diberi kewenangan akademis begitu besar untuk menentukan lulus atau tidaknya seorang calon, begitu terbuai dengan ungkapan Siapakah Aku ? Ini lho aku yang berkewenangan besar. Menentukan nasib anda. Menentukan lulus atau tidak. Menentukan perjalanan karier anda di masa depan. Jika ada calon yang menjawab keliru dalam ujian lisan, tidak hanya disanggah, kalau perlu di cerca sampai terjatuh terbirit birit. Mungkin manusiawi. Orang kadang kadang begitu mengagumi diri sendiri. Siapa aku ini?
Sampai almarhum Gepeng almarhum, tokoh komedi Srimulat itu, terkenal dengan kata sindiran "Untung Ada Saya".
Dalam kewenangan dan kekuasaan luar biasa orang gampang terlupa "Siapakah aku ini"?. Banyak contoh di sekitar kita. Ada anggota DPR lupa, siapa dia. Harusnya menggodok undang undang kok malah buat foto mesum. Memangnya bintang film porno?. Guru yang seharusnya mendidik dan melindungi muridnya kok malah mencabuli siswi yang masih di bawah umur. Lupa siapa sebenarnya dia. Ada pejabat publik yang top di Republik ini, lupa diri siapa dia, malah colek mencolek dengan caddy cantik di kamar hotel. Edan ya memang enak sih colek mencolek. Apalagi kalau bukan sama nyonya. Nyolek isteri sendiri kadang kadang malah bisa digampar pakai bantal. Jangan ganggu orang tidur. Siapa salah mencolek caddy. Alasan sih bisa dibuat. Operasi intelijen. Intelijen kok malah nyoleki wanita caddy. Enak dhong.
Siapakah aku ini ? Dalam masa masa tua ini, jika pertanyaan itu datang dalam lamunan, saya hanya menjawab pasrah. Sederhana sekali. Saya bukan siapa siapa. Hanya pelanglang dunia maya. Menjelajah dunia tak bertepi, tak berbatas. Menembus langit melanglang dunia. Menyapa siapa saja yang bertemu dalam perjalanan maya itu. Mungkin meninggalkan catatan kecil. Asal terbaca oleh mereka yang berkelana. Jika masih ada waktu suatu saat mungkin membuat catatan tentang sesuatu. Tentang makna hidup dan perjalanan hidup. Tentang cinta dan kedamaian.
Ki Ageng Similikithi.
Saturday, August 29, 2009
Sepatu dari kulit rusa
Sepatu dari kulit rusa – bulan madu sampai mati
Lirik lagu Sepatu Dari Kulit Rusa terdengar mengalun indah. Malam yang hening. Lupa kapan persis tahunnya. Mungkin tahun tujuh puluh.. Juga nama pasangan suami isteri yang menyanyikannya. Minggu malam itu, ada acara latihan musik di rumah pak Darwis Brahim almarhum di kampung Suronatan, Yogyakarta. Saya mondok di rumah pak Darwis sejak tahun 1969 sampai 1972. Keponakan beliau, pasangan muda suami isteri itu menyanyikan lagu dengan kompak dan rukun. Perasaan saya hanyut terbawa oleh lagu itu.
Kubelikan sepatumu
Dari kulit rusa
Kunyanyikan lagu untukmu
Lagu tentang cinta.
Tak hapal sepenuhnya lirik lagu itu. Hanya di akhir lagu ada pesan mendalam "Bulan madi sampai mati". Lagu itu begitu indah dan membawa pesan yang dalam. Pesan tentang cinta yang langgeng sampai mati. Saya terkesima malam itu karena lagu itu dan pasangan rukun yang menyanyikannya. Sang isteri berparas anggun, seorang pengusaha batik yang ulet, melambangkan ciri wanita Yogya dan Solo yang suka bekerja keras. Sang suami berwajah menarik dan gantheng, pengusaha hotel dan biro perjalanan Natrabu. Dia suka memakai baju merah dan berpakaian necis. Saya selalu merasa iri dan kagum. Wanita Yogya dan Solo selalu memanjakan dan begitu memperhatikan (care) sang suami, kesan saya waktu itu. .. Itu juga yang saya lihat dari pasangan yang menyanyi malam itu. Kami kebetulan bertetangga dekat. Almarhum pak Darwis yang saya pondoki, adalah ketua Rukun Kampung di Suronatan, dan juga ketua kelompok orkes keronsong di sana. Putra pertamanya, mas Bursman, jadi pengusaha di Jakarta dan penah beristerikan penyanyi kondang Ivo Nila Krisna. Kabarnya dia juga suka menyanyi, tetapi belum pernah saya melihat mas Bursman menyanyi. Tak pernah luntur dari ingatan saya pesan dari lagu itu. Bulan madu sampai mati. Walaupun pengalaman pacaran dengan gadis Solo atau Yogya selalu berakhir kandas tanpa kata kata. Hanya hilang menguap begitu gampang di langit. Sublimasi semata. Pernah saya ceritakan di Koki Kompas.. Tetap saja ada kenangan yang indah.
Malam ini saya mencoba membuka buku harian lama. Ada pesan menarik tertanggal dua puluh tujuh Mei 1972. EMSA, gadis Solo menulis di bukur harian tersebut. Kami berpacaran selama kurang lebih dua tahun waktu itu.
Ki sayang ,
22 tahun telah datang padamu
Dan kau miliki penuh
Tapi aku tak pernah tahu apa apa.
Hanya ketika datang 27 Mei 1972
Sepenuhnya aku akan mengerti
Tentang hari ini.
Karena hari ini adalah harimu
Karena aku menyayangimu.
Dan apabila seseorang menyayangimu,
Maka ia akan menyayangi seluruh hari harimu
Setiap damba dan cita citamu
Segala kehidupanmu
Dan semua yang ada padamu.
Kemudian ia akan berdoa kepada Tuhan untuk kebahagianmu.
Kasih dan sayangmu EMSA.
Tak sedalam pesan dari lagu Sepatu Dari kulit Rusa. Tetapi saya mendapat kesan pesan cinta yang dalam, yang romantis, walau akhirnya kandas. Tak ada yang perlu disesali. Perjalanan memang selalu tak terduga. NYI juga membaca buku harian ini kemudian ketika kami sudah bersuami isteri. Tak ada pengaruh sama sekali. Pesan mendalam Sepatu dari Kulit Rusa lebih dominan bagi kami, bulan madu sampai mati. Pesan cinta selalu didominasi oleh perasaan, oleh romantisme. Jarang tercampur dengan rasa napsu dan seksualitas. Bandingkan dengan pesan pesan yang dikirim oleh Gubernur Sanford kepada kekasih gelapnya (WIL), wanita Argentina itu. Dalam tayangan TV, jika tidak salah ada ungkapan yang menyatakan " keindahan lekuk liku tubuh dan dua buah gunung di tubuhmu". Sulit mengatakan ungkapan tersebut karena rasa cinta dan romantisme semata. Ada napsu, ada seksualitas disana. Lebih pas untuk hubungan WIL dan PIL. Mungkin bukan semata karena cinta yang menggebu. Hati hati jika terima syair syair dari kekasih yang penuh napsu dan seksualitas lho. Jangan jangan malah berakhir PIL atau WIL. Indahnya PIL dan WIL lebih banyak di sisi napsu dan seksualitas.
Bulan Juni 2009. Saya bersama NYI ke Washington DC. Tidak khusus bulan madu.. Hanya pengin jalan jalan setelah lima belas tahun tak menginjak tanah Amerika. Kami tinggal di satu hotel di Pensylvania Avenue. Saya menghadiri pertemuan sejak jam sembilan pagi sampai jam lima sore. Berhari hari NYI mengeluh tak bisa menemukan mall. Mau beli tas di sana. Tak bisa menemukan tempat belanja yang pas katanya. Paling gampang mestinya pergi ke mall. Tetapi berkali kali putar putar down town Washington, tak juga menemukan mall.
Sampai di hari ke empat, saya pulang pertemuan lewat kampus George Washington University, ada papan penunjuk ke arah National Mall. Sampai hotel cepat cepat saya memberitahu NYI, ada mall dekat sini, hanya setengah jam jalan. Kami bergegas ganti pakaian dan turun ke jalan. Resepsionis hotel memberi tahu kalau mall itu buka dua puluh empat jam. Kami berjalan bergegas sesuai arah petunjuk. Beberapa kali bertanya penjalan kaki, selalu ditunjuk ke taman besar dengan hutan lebat di tengah kota. Merasa bloon benar, ternyata memang National Mall bukan shopping mall yang saya bayangkan. Kelelahan kami duduk di tepi jalan. Selang dua puluh menit ada taksi yang mau berhenti. Ketika saya minta diantar ke shopping mall terdekat, bukan National Mall, dia malah tertawa terkekeh mengerti kekeliruan kami.
Akhirnya kami diantar ke Pentagon City mall. Tak terlalu besar dibanding dengan Mall of Asia di Manila. Tetapi lumayan banyak ragam toko di sana. Moga moga cepat selesai belanja, doa saya. Di Manila kami juga jarang belanja di mall sama sama. Mengantar isteri belanja perlu kesabaran khusus. Setelah berputar putar, akhirnya NYI beli pasangan tas, sepatu dan kaca mata. Satu merk. Tak tahu saya apa istimewanya. Saya hampir tidak pernah beli barang bermerk. Sepuluh tahun terakhir selalu sepatu buatan lokal Filipina, yang juga nampak modis. Saya hanya beli topi saja, untuk kenangan. . NYI nampak riang sekali. Dalam perjalanan pulang ke hotel saya lebih banyak berdiam diri. Masih dongkol pengalaman lari lari cari National Mall tadi.
Saya ingat lagu Sepatu dari Kulit Rusa. Dalam taksi saya lantunkan lagu indah itu.
Kubelikan sepatumu
Dari kulit kerbau,
Kunyanyian lagu untukmu
Lagu tentang cinta.
Tak seindah lamunan dalam Sepatu dari Kulit Rusa. Apalagi telah kesasar sasar lari lari ke National Mall, taman belukar di tengah kota Washington. Juga tidak beli sepatu dari kulit rusa. Mungkin kulit lembu, atau bahkan kulit kerbau atau kambing. Tetapi moga moga pesan akhir lagu itu tetap terhayati, bulan madu sampai mati..
Ki Ageng Similikithi (Manila)
Lirik lagu Sepatu Dari Kulit Rusa terdengar mengalun indah. Malam yang hening. Lupa kapan persis tahunnya. Mungkin tahun tujuh puluh.. Juga nama pasangan suami isteri yang menyanyikannya. Minggu malam itu, ada acara latihan musik di rumah pak Darwis Brahim almarhum di kampung Suronatan, Yogyakarta. Saya mondok di rumah pak Darwis sejak tahun 1969 sampai 1972. Keponakan beliau, pasangan muda suami isteri itu menyanyikan lagu dengan kompak dan rukun. Perasaan saya hanyut terbawa oleh lagu itu.
Kubelikan sepatumu
Dari kulit rusa
Kunyanyikan lagu untukmu
Lagu tentang cinta.
Tak hapal sepenuhnya lirik lagu itu. Hanya di akhir lagu ada pesan mendalam "Bulan madi sampai mati". Lagu itu begitu indah dan membawa pesan yang dalam. Pesan tentang cinta yang langgeng sampai mati. Saya terkesima malam itu karena lagu itu dan pasangan rukun yang menyanyikannya. Sang isteri berparas anggun, seorang pengusaha batik yang ulet, melambangkan ciri wanita Yogya dan Solo yang suka bekerja keras. Sang suami berwajah menarik dan gantheng, pengusaha hotel dan biro perjalanan Natrabu. Dia suka memakai baju merah dan berpakaian necis. Saya selalu merasa iri dan kagum. Wanita Yogya dan Solo selalu memanjakan dan begitu memperhatikan (care) sang suami, kesan saya waktu itu. .. Itu juga yang saya lihat dari pasangan yang menyanyi malam itu. Kami kebetulan bertetangga dekat. Almarhum pak Darwis yang saya pondoki, adalah ketua Rukun Kampung di Suronatan, dan juga ketua kelompok orkes keronsong di sana. Putra pertamanya, mas Bursman, jadi pengusaha di Jakarta dan penah beristerikan penyanyi kondang Ivo Nila Krisna. Kabarnya dia juga suka menyanyi, tetapi belum pernah saya melihat mas Bursman menyanyi. Tak pernah luntur dari ingatan saya pesan dari lagu itu. Bulan madu sampai mati. Walaupun pengalaman pacaran dengan gadis Solo atau Yogya selalu berakhir kandas tanpa kata kata. Hanya hilang menguap begitu gampang di langit. Sublimasi semata. Pernah saya ceritakan di Koki Kompas.. Tetap saja ada kenangan yang indah.
Malam ini saya mencoba membuka buku harian lama. Ada pesan menarik tertanggal dua puluh tujuh Mei 1972. EMSA, gadis Solo menulis di bukur harian tersebut. Kami berpacaran selama kurang lebih dua tahun waktu itu.
Ki sayang ,
22 tahun telah datang padamu
Dan kau miliki penuh
Tapi aku tak pernah tahu apa apa.
Hanya ketika datang 27 Mei 1972
Sepenuhnya aku akan mengerti
Tentang hari ini.
Karena hari ini adalah harimu
Karena aku menyayangimu.
Dan apabila seseorang menyayangimu,
Maka ia akan menyayangi seluruh hari harimu
Setiap damba dan cita citamu
Segala kehidupanmu
Dan semua yang ada padamu.
Kemudian ia akan berdoa kepada Tuhan untuk kebahagianmu.
Kasih dan sayangmu EMSA.
Tak sedalam pesan dari lagu Sepatu Dari kulit Rusa. Tetapi saya mendapat kesan pesan cinta yang dalam, yang romantis, walau akhirnya kandas. Tak ada yang perlu disesali. Perjalanan memang selalu tak terduga. NYI juga membaca buku harian ini kemudian ketika kami sudah bersuami isteri. Tak ada pengaruh sama sekali. Pesan mendalam Sepatu dari Kulit Rusa lebih dominan bagi kami, bulan madu sampai mati. Pesan cinta selalu didominasi oleh perasaan, oleh romantisme. Jarang tercampur dengan rasa napsu dan seksualitas. Bandingkan dengan pesan pesan yang dikirim oleh Gubernur Sanford kepada kekasih gelapnya (WIL), wanita Argentina itu. Dalam tayangan TV, jika tidak salah ada ungkapan yang menyatakan " keindahan lekuk liku tubuh dan dua buah gunung di tubuhmu". Sulit mengatakan ungkapan tersebut karena rasa cinta dan romantisme semata. Ada napsu, ada seksualitas disana. Lebih pas untuk hubungan WIL dan PIL. Mungkin bukan semata karena cinta yang menggebu. Hati hati jika terima syair syair dari kekasih yang penuh napsu dan seksualitas lho. Jangan jangan malah berakhir PIL atau WIL. Indahnya PIL dan WIL lebih banyak di sisi napsu dan seksualitas.
Bulan Juni 2009. Saya bersama NYI ke Washington DC. Tidak khusus bulan madu.. Hanya pengin jalan jalan setelah lima belas tahun tak menginjak tanah Amerika. Kami tinggal di satu hotel di Pensylvania Avenue. Saya menghadiri pertemuan sejak jam sembilan pagi sampai jam lima sore. Berhari hari NYI mengeluh tak bisa menemukan mall. Mau beli tas di sana. Tak bisa menemukan tempat belanja yang pas katanya. Paling gampang mestinya pergi ke mall. Tetapi berkali kali putar putar down town Washington, tak juga menemukan mall.
Sampai di hari ke empat, saya pulang pertemuan lewat kampus George Washington University, ada papan penunjuk ke arah National Mall. Sampai hotel cepat cepat saya memberitahu NYI, ada mall dekat sini, hanya setengah jam jalan. Kami bergegas ganti pakaian dan turun ke jalan. Resepsionis hotel memberi tahu kalau mall itu buka dua puluh empat jam. Kami berjalan bergegas sesuai arah petunjuk. Beberapa kali bertanya penjalan kaki, selalu ditunjuk ke taman besar dengan hutan lebat di tengah kota. Merasa bloon benar, ternyata memang National Mall bukan shopping mall yang saya bayangkan. Kelelahan kami duduk di tepi jalan. Selang dua puluh menit ada taksi yang mau berhenti. Ketika saya minta diantar ke shopping mall terdekat, bukan National Mall, dia malah tertawa terkekeh mengerti kekeliruan kami.
Akhirnya kami diantar ke Pentagon City mall. Tak terlalu besar dibanding dengan Mall of Asia di Manila. Tetapi lumayan banyak ragam toko di sana. Moga moga cepat selesai belanja, doa saya. Di Manila kami juga jarang belanja di mall sama sama. Mengantar isteri belanja perlu kesabaran khusus. Setelah berputar putar, akhirnya NYI beli pasangan tas, sepatu dan kaca mata. Satu merk. Tak tahu saya apa istimewanya. Saya hampir tidak pernah beli barang bermerk. Sepuluh tahun terakhir selalu sepatu buatan lokal Filipina, yang juga nampak modis. Saya hanya beli topi saja, untuk kenangan. . NYI nampak riang sekali. Dalam perjalanan pulang ke hotel saya lebih banyak berdiam diri. Masih dongkol pengalaman lari lari cari National Mall tadi.
Saya ingat lagu Sepatu dari Kulit Rusa. Dalam taksi saya lantunkan lagu indah itu.
Kubelikan sepatumu
Dari kulit kerbau,
Kunyanyian lagu untukmu
Lagu tentang cinta.
Tak seindah lamunan dalam Sepatu dari Kulit Rusa. Apalagi telah kesasar sasar lari lari ke National Mall, taman belukar di tengah kota Washington. Juga tidak beli sepatu dari kulit rusa. Mungkin kulit lembu, atau bahkan kulit kerbau atau kambing. Tetapi moga moga pesan akhir lagu itu tetap terhayati, bulan madu sampai mati..
Ki Ageng Similikithi (Manila)
Wednesday, June 24, 2009
Taruna itu bernama Prabowo
Ada catatan dalam buku harian saya, hari Senin tanggal 6 September 1971. Tentang kunjungan kami, rombongan mahasiswa kedokteran UGM, ke markas pendidikan akademi militer di Magelang, sehari sebelumnya. Ketika membaca baris baris dalam catatan lama tersebut, ingatan saya melanglang ke masa lalu. Namun lebih didominasi oleh pertemuan dan wawancara saya dengan jendral Sarwo Eddhie. Khususnya tentang penembakan pesawat yang ditumpanginya di bandara Wamena beberapa bukan sebelumnya sewaktu masih menjadi panglima Komando Daerah Militer di Irian Barat, oleh Gerakan Papua Merdeka. Pembicaraan berlanjut sekitar gerakan separatis di Irian dan perilaku para pejabat republik di propinsi ujung timur itu. Saya masih duduk di tingkat tiga Fakultas Kedokteran, dan pemimpin redaksi majalah mahasiswa Hygieia almarhum. Tiga puluh delapan tahun telah berlalu. Buku harian saya kebetulan kena embargo NYI karena didalamnya ternyata banyak tertulis kisah romantis jaman dulu, yang juga sudah saya pernah ceritakan di Koki. Khususnya dengan Eny dan Emsa. Cinta monyet, cinta masa lalu, modal permen karet, sana sini lengket.
Ada sesuatu yang mungkin perlu diceritakan dari peristiwa kunjungan itu. Pertemuan singkat dan perkenalan saya dengan seorang taruna. Prabowo Subianto Djojohadikusumo. Sementara teman teman lain waktu itu sudah terlibat dengan berbagai acara pertandingan olah raga, sepuluh mahasiswa diterima oleh Gubernur AKABRI bersama staff teras di ruang pertemuan gubernur. Beberapa taruna juga mewakili rekan rekan mereka. Dalam acara pembukaan kami semua diperkenalkan, juga tuan rumah. Salah seorang taruna yang diperkenalkan oleh jendral Sarwo Edhie waktu itu adalah Sermadatar Prabowo. "Taruna yang duduk di ujung itu adalah putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo". Sermadatar artinya Sersan Mayor Darat Taruna. Saya lihat Bung Prabowo senyum malu malu di deretan kursi seberang. Diskusi dengan jendral Sawo Eddhie kemudian berkisar tentang penyimpangan2 di Irian barat, dan peristiwa kekerasan yang menimpa mahasiswa oleh taruna akademi militer baik di Yogya maupun di Bandung. Tewasnya Rene Louis Conrad di Bandung menjadi topik tanya jawab menyolok. "Tragedi dan kemunduran dalam pembinaan generasi muda para calon pemimpin bangsa", itu salah satu ungkapan yang saya ingat dari beliau.
Diskusi dengan para taruna berjakan agak kaku. Ketika seorang teman saya berucap " Anda anda di Akademi Militer menikmati fasilitas pendidikan yang begini mewah dan gratis. Kami kami hanya mendapatkan fasilitas belajar pas pasa, dan harus membayar mahal". Jawabannya dari taruna paling senior agak klise " Di manapun di dunia, pendidikan militer selalu gratis. Di ksatrian ini, kami ditempa menjadi pembela negara". Kekakuan suasana masih terasa dengan taruna, walaupun kunjungan itu sebenarnya ditujukan untuk mempererat hubungan mahasiswa dan taruna militer. Peristiwa pembunuhan Renne Louis Conrad mahasiswa ITB oleh taruna Akademii Kepolisian di Bandung setahun sebelumnya, dan pengeroyokan mahasiswa tehnik UGM oleh taruna Akademi Angkatan Udara di Yogya, masih ingat dalam ingatan kami. Ketika saya mencoba menyindir istilah ksatrian yang mereka sebut, teman sebelah saya menginjak kaki saya memberi tanda untuk tidak melanjutkan debat yang tak perlu. Batin saya, siapa yang bilang kalau para taruna itu ksatria, dan markas mereka ksatrian. Edan narsis benar. Ksatria di manapun nggak suka main keroyokan. Lantas kami kami para mahasiswa ini dianggap apa? Dianggap sudra apa? Sorry meck, tak adaitu dalam kamus.
Kembali ke Sermadatar Prabowo. Dia lebih banyak diam dan tak banyak diskusi. Hanya salah satu temannya mengatakan bahwa dia menguasai empat bahasa. Sesudah pertemuan kami sempat bicara singkat. Basa basi. Bahasa Indonesianya masih kaku, nggak lancar. Mungkin karena lama tinggal di luar negeri. Dalam perjalanan ke ruang makan kami lebih banyak ditunjukkan berbagai ruang dan fasilitas pendidikan yang mereka miliki. Selanjutnya tak ada kontak lanjutan di antara kami. Masing masing tenggelam dalam perjalan karier yang panjang. Jelas dia kemudian sering muncul dalam berita nasional, apalagi sejak menjadi menantu RI satu.
Kontak tak langsung dengan Bung Prabowo terjadi di awal tahun sembilan puluhan. Berkaitan dengan forum diskusi mahasiswa Timor Timur pro adan anti integrasi. Salah satu tokoh mahasiswa pro integrasi adalah mahasiswa kedokteran waktu itu, Ossie Mario Soares. Bapaknya adalah tokoh pendiri partai Apodeti, yang dieksekusi oleh kelompok Fretilin di tahun 1975. Beliau adalah kakak mantan Gubernur Abilio Soares . Ossie selalu dekat dengan Bung Prabowo dalam upaya diskusi antara kelompok pro dan kontra integrasi. Saya terlibat beberapa kali dalam pertemuan dan seminar mereka di Yogya. Kami hanya saling titip salam. Tak pernah bertemu langsung. Saya berharap dapat bertemu dengan Bung Prabowo, dalam salah satu pertemuan seminar dan dalam satu acara pertemuan mahasiswa Timtim dengan Sultan. Bung Prabowo berhalangan datang dan hanya titip salam.
Kira kira dua tahun lalu. Ada friendster Bung Prabowo. Agak ragu apakah ini betul beliau atau bukan. Banyak pemujanya di friendster itu. Beberapa kali dalam komunikasi lewat friendster, saya selalu mengakhirinya dengan kalimat " Asli lho". Hanya sekedar jaga jaga, kalau bukan Bung Prabowo beneran. Bahasanya selalu lugas dan santun. Tidak berapi api sama sekali. Kemudian lama friendster itu tidak aktif. Mungkin karena kesibukan dunia politiknya. Apa lagi sekarang menjadi Cawapres. Kita semua tak tahu persis kansnya. Tergantung para pemilih. Mungkin ada sedikit keraguan dalam hati para pemilih dalam pemilu tahun ini. Terutama berkaitan dengan tuduhan keterkaitannya dengan peristiwa orang hilang, dan kedekatannya dengan kelompok agama garis keras. Moga moga di pemilu tahun 2014, semua keraguan bisa diatasi. Masih ada waktu untuk menjelaskan. Jika peristiwa peristiwa itu bisa dijelaskan secara gamblang, mungkin publik yang memuja beliau dan masih ragu ragu, akan mendukungnya sepenuh hati. Saya bukan siapa siapa. Mendukung atau tidak, tak akan ada maknanya.
Yang ingin saya ungkapkan di sini hanyalah salas satu sisi makna kehidupan. Hidup adalah perjalanan panjang, suatu pengembaraan tiada henti. Dalam perjalanan itu kita bertemu banyak orang. Saling menyapa, saling memberi salam. Mungkin akan berjalan bersama. Mungkin akan berpisah. Dan suatu saat, entah berapa tahun lagi akan bertemu dan memberi salam kembali. Dunia maya memberi sarana dan makna begitu dalam, agar manusia bisa saling menyapa dan memberi salam dalam perjalanan dan pengembaraan panjang itu. Tiga puluh delapan tahun lalu, taruna itu bernama Prabowo. Sekarang adalah Cawapres Prabowo. Kami bertemu kembali lewat dunia maya. Tetapi saya bukan siapa siapa. Saya ini hanyalah si gembala sapi. Ki Ageng Similikithi. Salam bung Prabowo.
Ada sesuatu yang mungkin perlu diceritakan dari peristiwa kunjungan itu. Pertemuan singkat dan perkenalan saya dengan seorang taruna. Prabowo Subianto Djojohadikusumo. Sementara teman teman lain waktu itu sudah terlibat dengan berbagai acara pertandingan olah raga, sepuluh mahasiswa diterima oleh Gubernur AKABRI bersama staff teras di ruang pertemuan gubernur. Beberapa taruna juga mewakili rekan rekan mereka. Dalam acara pembukaan kami semua diperkenalkan, juga tuan rumah. Salah seorang taruna yang diperkenalkan oleh jendral Sarwo Edhie waktu itu adalah Sermadatar Prabowo. "Taruna yang duduk di ujung itu adalah putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo". Sermadatar artinya Sersan Mayor Darat Taruna. Saya lihat Bung Prabowo senyum malu malu di deretan kursi seberang. Diskusi dengan jendral Sawo Eddhie kemudian berkisar tentang penyimpangan2 di Irian barat, dan peristiwa kekerasan yang menimpa mahasiswa oleh taruna akademi militer baik di Yogya maupun di Bandung. Tewasnya Rene Louis Conrad di Bandung menjadi topik tanya jawab menyolok. "Tragedi dan kemunduran dalam pembinaan generasi muda para calon pemimpin bangsa", itu salah satu ungkapan yang saya ingat dari beliau.
Diskusi dengan para taruna berjakan agak kaku. Ketika seorang teman saya berucap " Anda anda di Akademi Militer menikmati fasilitas pendidikan yang begini mewah dan gratis. Kami kami hanya mendapatkan fasilitas belajar pas pasa, dan harus membayar mahal". Jawabannya dari taruna paling senior agak klise " Di manapun di dunia, pendidikan militer selalu gratis. Di ksatrian ini, kami ditempa menjadi pembela negara". Kekakuan suasana masih terasa dengan taruna, walaupun kunjungan itu sebenarnya ditujukan untuk mempererat hubungan mahasiswa dan taruna militer. Peristiwa pembunuhan Renne Louis Conrad mahasiswa ITB oleh taruna Akademii Kepolisian di Bandung setahun sebelumnya, dan pengeroyokan mahasiswa tehnik UGM oleh taruna Akademi Angkatan Udara di Yogya, masih ingat dalam ingatan kami. Ketika saya mencoba menyindir istilah ksatrian yang mereka sebut, teman sebelah saya menginjak kaki saya memberi tanda untuk tidak melanjutkan debat yang tak perlu. Batin saya, siapa yang bilang kalau para taruna itu ksatria, dan markas mereka ksatrian. Edan narsis benar. Ksatria di manapun nggak suka main keroyokan. Lantas kami kami para mahasiswa ini dianggap apa? Dianggap sudra apa? Sorry meck, tak adaitu dalam kamus.
Kembali ke Sermadatar Prabowo. Dia lebih banyak diam dan tak banyak diskusi. Hanya salah satu temannya mengatakan bahwa dia menguasai empat bahasa. Sesudah pertemuan kami sempat bicara singkat. Basa basi. Bahasa Indonesianya masih kaku, nggak lancar. Mungkin karena lama tinggal di luar negeri. Dalam perjalanan ke ruang makan kami lebih banyak ditunjukkan berbagai ruang dan fasilitas pendidikan yang mereka miliki. Selanjutnya tak ada kontak lanjutan di antara kami. Masing masing tenggelam dalam perjalan karier yang panjang. Jelas dia kemudian sering muncul dalam berita nasional, apalagi sejak menjadi menantu RI satu.
Kontak tak langsung dengan Bung Prabowo terjadi di awal tahun sembilan puluhan. Berkaitan dengan forum diskusi mahasiswa Timor Timur pro adan anti integrasi. Salah satu tokoh mahasiswa pro integrasi adalah mahasiswa kedokteran waktu itu, Ossie Mario Soares. Bapaknya adalah tokoh pendiri partai Apodeti, yang dieksekusi oleh kelompok Fretilin di tahun 1975. Beliau adalah kakak mantan Gubernur Abilio Soares . Ossie selalu dekat dengan Bung Prabowo dalam upaya diskusi antara kelompok pro dan kontra integrasi. Saya terlibat beberapa kali dalam pertemuan dan seminar mereka di Yogya. Kami hanya saling titip salam. Tak pernah bertemu langsung. Saya berharap dapat bertemu dengan Bung Prabowo, dalam salah satu pertemuan seminar dan dalam satu acara pertemuan mahasiswa Timtim dengan Sultan. Bung Prabowo berhalangan datang dan hanya titip salam.
Kira kira dua tahun lalu. Ada friendster Bung Prabowo. Agak ragu apakah ini betul beliau atau bukan. Banyak pemujanya di friendster itu. Beberapa kali dalam komunikasi lewat friendster, saya selalu mengakhirinya dengan kalimat " Asli lho". Hanya sekedar jaga jaga, kalau bukan Bung Prabowo beneran. Bahasanya selalu lugas dan santun. Tidak berapi api sama sekali. Kemudian lama friendster itu tidak aktif. Mungkin karena kesibukan dunia politiknya. Apa lagi sekarang menjadi Cawapres. Kita semua tak tahu persis kansnya. Tergantung para pemilih. Mungkin ada sedikit keraguan dalam hati para pemilih dalam pemilu tahun ini. Terutama berkaitan dengan tuduhan keterkaitannya dengan peristiwa orang hilang, dan kedekatannya dengan kelompok agama garis keras. Moga moga di pemilu tahun 2014, semua keraguan bisa diatasi. Masih ada waktu untuk menjelaskan. Jika peristiwa peristiwa itu bisa dijelaskan secara gamblang, mungkin publik yang memuja beliau dan masih ragu ragu, akan mendukungnya sepenuh hati. Saya bukan siapa siapa. Mendukung atau tidak, tak akan ada maknanya.
Yang ingin saya ungkapkan di sini hanyalah salas satu sisi makna kehidupan. Hidup adalah perjalanan panjang, suatu pengembaraan tiada henti. Dalam perjalanan itu kita bertemu banyak orang. Saling menyapa, saling memberi salam. Mungkin akan berjalan bersama. Mungkin akan berpisah. Dan suatu saat, entah berapa tahun lagi akan bertemu dan memberi salam kembali. Dunia maya memberi sarana dan makna begitu dalam, agar manusia bisa saling menyapa dan memberi salam dalam perjalanan dan pengembaraan panjang itu. Tiga puluh delapan tahun lalu, taruna itu bernama Prabowo. Sekarang adalah Cawapres Prabowo. Kami bertemu kembali lewat dunia maya. Tetapi saya bukan siapa siapa. Saya ini hanyalah si gembala sapi. Ki Ageng Similikithi. Salam bung Prabowo.
Saturday, April 18, 2009
Mas saya pamit
Peristiwa itu telah berlalu empat puluh tahun. Peristiwa yang tak terlupakan selama hidup. Yang telah mengubah perjalanan hidupnya. Heru masih kuliah di tahun ketiga Fakultas Kedokteran. di kompleks Mangkubumen, Yogyakarta. Jam setengah empat sore hari. Dia berjalan pulang ke rumah kost di Nagan. Letih dan lesu sesudah menyelesaikan asistensi praktikum anatomi. Bau formalin bercampur dengan mayat terawetkan sudah biasa baginya. Namun sore ini membuatnya merasa pusing. Hatinya gundah. Dia sudah hampir sembilan bulan ini tidak pulang mengunjungi orang tuanya. Tak jauh sebenarnya. Hanya makan waktu barang tiga jam dengan bis. Rumah orang tuanya di Sragen. Tetapi dia malas pulang karena sakit hati dengan bapaknya. Dia dimarahi saat pulang terakhir liburan tahun lalu. Pulang kemalaman ngobrol sama teman teman SMAnya. Tak sepucuk suratpun dilayangkan ke orang tuanya sesudah itu.
Malam tadi dia mimpi makan bersama bapak ibunya dan adik laki lakinya Kelik. Dalam mimpinya dia asyik sekali ngobrol sama bapak ibu dan adiknya. Kangen sekali dan pengin pulang rasanya. Tetapi jika ingat saat dimarahi ayahnya, dia masih merasa sakit. Hatinya terlalu tinggi untuk melupakan.. Heru selalu berpendirian kuat. Dia merasa belum pernah gagal. Dia ingin menunjukkan kalau dia kuat. Bisa mandiri sampai lulus dokter nanti. Melewati pasar Ngasem, jalan ke Selatan. Mampir di tempat teman akrabnya, Dadi di Ngadisuryan. Dia sering tidur di sana karena belajar bersama. Demikian juga Dadi sering tidur di tempat kostnya. Dadi baru duduk di depan kamar kost ketika dia datang. Dibawah kerindangan pohon jambu. Halaman luas dengan pohon pohon rindang.
"Di, hati saya kok nggak tenang ya. Semalam mimpi makan makan sama bapak ibu dan adik saya".
"Pulanglah kamu. Berbulan bulan nggak pulang. Tak ada enaknya marah sama orang tua dibawa terus. Maksudnya bapakmu kan nggak jelek".
'Rasanya kok masih salah tingkah saya. Adik saya Kelik bolak balik tulis surat ke saya. Saya pikir pikir coba minggu depan. Agak longgar".
"Lebih cepat lebih baik. Nggak usah pura pura sibuk. Asisten anatomi kerjanya kan sama mayat, ngapain sibuk terus.".
Heru ngobrol dengan Dadi tanpa pembicaraan serius. Menjelang maghrib dia pulang. Pelan pelan berjalan ke Barat melewati rumah sakit Mangkuwilayan. Di halaman belakang rumah pondokan ada kebun yang tak terlalu luas. Berbatasan dengan selokan kecil dengan air gemericik. Kamarnya di muka kebun itu. Ada beberapa pohon rindang di halaman itu. Juga beberapa bunga melati yang sedang mekar bunganya. Dia selalu ikut memelihara bunga bunga itu. Dia siram setiap sore. Ada sekuntum bunga yang nampak indah menarik perhatiannya. Dia siram bunga itu dengan tembor air. Tanpa berpikir panjang dia petik sekuntum bunga yang indah. Harum semerbak. Ada kerinduan yang mendalam dalam hatinya. Ingin rasanya memberikan bunga itu untuk ibunya yang sangat dia sayangi. Tiba tiba seseorang menegurnya.
"Bunga itu indah sekali mas. Kasian kenapa mesti dipetik?".
Heru terkejut luar biasa. Dia sudah akrab dengan suara itu. Adiknya Kelik yang baru duduk dikelas tiga SMA, tiba tiba saja muncul dari arah kegelapan di bawah kerimbunan pohon sawo kecik.
"Kelik, kapan kau datang?. Kok tak memberi kabar dulu? Untung saya di rumah".
"Baru saja datang, jalan dari standplat THR. Saya sudah menulismu beberapa kali. Tak ada balasan. Bahkan surat terakhir saya kirim tiga hari lalu".
"Bagaimana bapak ibu di rumah?. Baik baik?"
"Bapak ibu sangat menunggumu mas. Bapak agak tidak sehat. Selalu menanyakanmu".
Dengan manja Kelik memeluk erat kakaknya. Memang kebiasaan Kelik selalu manja dengan kakaknya. Selisih umur mereka hanya tiga tahun. Hubungan mereka begitu akrab. Keduanya sangat dekat dengan ibunya.
"Kau dingin sekali Lik. Bajumu basah dengan peluh".
"Nggak mas Ru. Saya tadi sempat turun di selokan itu. Dingin airnya".
"Mari masuk dan ganti pakaian di dalam".
"Lama kau nggak pulang. Apa nggak kangen sama ibu, sama saya ?"
Heru menghidupkan lampu listrik. Hanya dua puluh lima watt. Tak begitu terang. Tetapi Heru bisa melihat baju adiknya yang kotor karena debu. Baju putih dengan celana abu abu. Seragam SMA. Mungkin dia pulang sekolah langsung naik bis.
"Pakaianmu kotor sekali Lik. Mandi dulu ya. Ini ganti pakai baju saya. Saya mau shalat dulu. Kamar mandi di samping sana".
" Iya mas. Jangan lupa pulang nanti ya mas. Di tunggu bapak ibu lo.
Heru terus sholat dengan khusuk. Sehabis sholat dia masih melakukan beberapa doa mohon ketenangan. Sambil menunggu Kelik. Selesai mandi Kelik duduk di depan kamar. Baju putih celana putih bersih. Wajahnya nampak nggantheng penuh senyum. Kelik memang punya wajah menarik, smiling face dengan gigi gigi indah. Rambutnya hitam kelam berombak. Hanya wajahnya agak sedikit pucat. Mungkin masih capai.
Heru beranjak ke arah dapur. Kelik duduk di kursi dengan tangan terlipat di depan kamar. Warna harum menerpa ruangan saat Heru melewati tempat duduk Kelik. Dia akan menyiapkan makan malam mereka berdua.
" Lho kok pakai baju putih. Tadi baju yang saya berikan warna abu abu kalau nggak salah".
"Tak apa apa mas. Saya bawa pakaian sendiri. Malam ini saya tidur mana enaknya ya mas?. Agak bingung saya. Bapak ibu kasihan di rumah"
"Jangan semaunya. Tidur di sini saja. Saya siapkan makan malam".
"Saya kangen masakanmu mas. Nasi goreng sama telur".
" Saya siapkan nasi goreng. Tunggu sebentar".
Sementara Heru masak, Kelik hanya berdiam diri dan tenang sekali di depan kamar. Hanya seperempat jam nasi goreng sudah siap. Dia berikan satu piring untuk Kelik.
"Silahkan kalau kurang masih ada sebagian di wajan. Di dapur sana".
"Terima kasih mas Heru. Saya selalu merindukan masakanmu. Kau selalu memperhatikan ku, menyayangiku.".
"Nggak usah ngomong macam macam. Tambah saja lagi kalau kurang itu di dapur".
"Saya ingin menikmati nasi goreng masakanmu bersama sama dengan bapak ibu juga. Pulang ya mas, cepat cepat saja"
Sudah isya ketika mereka selesai makan. Heru cepat cepat ambil wudhlu dan melakukan sholat isya. Saat selesai sholat tiba tiba Kelik pamitan. Kalimatnya agak aneh..
" Aaah saya pamit Mas. Kau sayang benar sama aku.. Tolong datanglah temani bapak ibu ya".
Sebelum Heru sempat beranjak dari shalatnya, Kelik telah beranjak pergi dan menghilang di kegelapan. Heru hanya sempat mengumpat " Anak ini kok selalu angin anginan sejak kecil". Heru termangu sendirian. Dia tahu benar watak adiknya yang tak pernah mau dicegah jira sudah punya keinginan. Nanti toh Kelik pasti pulang, pikirnya. Mungkin malam malam. Dia tiduran di kamar sambil mendengarkan irama radio. Lagu indah Rahmat Kartolo, Pusara Cintaku, mengalun lembut.
Jam setengah sembilan terdengar ketokan di pintu. Paklik dan buliknya diantar oleh bapak kost telah berdiri di muka kamar. Heru terkejut setengah mati. Ada apa?. Buliknya langsung memeluk "Nak mari pulang ke Sragen malam ini. Bapak ibu menunggu".
Pakliknya juga segera memeluk sambil menangis pelan " Tabah ya nak. Mari saya temani pulang ke Sragen". Sebelum sempat Heru menenangkan diri. Pakliknya memberi tahu lebih lanjut.
"Heru harap tabah kamu ya nak. Adikmu Kelik telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Bapak ibumu menunggu".
Heru menjerit tanpa disadari" Apa yang terjadi. Kami baru saja makan bersama Paklik".
"Jam empat tadi adikmu pulang sekolah, mengalami kecelakaan nak. Sudah takdir, dia langsung menghadap Yang Maha Kuasa. Kuatkan hatimu ya, dia telah damai di sana".
" Dia baru saja saya buatkan nasi goreng. Makan sama sama saya"
Heru menangis meraung raung. Baju warna abu abu yang disediakan untuk Kelik masih utuh di atas kursi. Juga satu piring isi nasi goreng itu masih utuh di atas meja. Hanya satu piring yang kosong. Bersama beberapa kerabat dekat mereka bersama naik mobil ke Sragen malam itu juga. Heru hanya bisa meratap sepanjang jalan. "Kelik, saya selalu menyayangimu. Saya sangat merindukanmu"
Menjelang tengah malam mereka sampai rumah di Sragen. Heru memeluk ibu dan bapaknya. "Kelik selalu menanyakanmu Ru. Doakan adikmu, dia telah pergi" Ibunya meratap pilu. Bapaknya nampak semakin tua wajahnya. " Adikmu bolak balik mengajak saya menengokmu ke Yogya, Ru. Tetapi saya sering tak sehat. Doakan adikmu ya. Dia telah pergi".
"Sore tadi saya seolah bertemu dia. Datang di tempas kos saya. Kami makan nasi goreng sama sama"
Heru hanya bisa menangis menjerit jerit. Dia peluk tubuh adiknya yang dingin membeku. Dia ciumi wajahnya yang selalu tersenyum itu. "Kelik, saya selalu menyayangimu. Merindukanmu. Sepanjang hidupmu".
Malam itu Kelik tidur disamping jasad adiknya. Dia mimpi berlari lari bersama Kelik.. Seperti saat mereka masih anak anak. Diantara bunga bunga indah. Kelik memberikan sekuntum melati itu kepadanya. Heru merasa begitu bahagia. Ternyata Kelik berlari semakin jauh. Semakin jauh akhirnya menghilang di balik awan. Heru hanya bisa meratap ketika bangun dari mimpi. Dia ciumi wajah adiknya yang beku. Esok harinya, dia mengantar Kelik ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Perjalanannya bersama Kelik yang terakhir. Selamat jalan adikku, saya selalu menyayangimu.
Heru kembali menekuni kegiatan akademik di Yogya beberapa minggu kemudian. Kesedihan itu tak pernah hilang dari sanubarinya. Kesedihan ternyata datang silih berganti. Bapaknya meninggal beberapa bulan kemudian karena asma. Saat Heru menengoknya di rumah sakit sebelum meninggal, dia meninggalkan pesan singkat." Anakku, temani ibumu ya. Saya merasa capai sekali. Saya ingin istirahat. Saya ingin menemani adikmu. Belum puas rasanya menemani hidupnya yang singkat itu. Saya ingin memeluknya. Saya ingin tidur disampingnya".
Sampai detik ini Heru masih sering termenung. " Hidup memang sekedar menunda kekalahan. Tetapi kekalahan itu datang begitu tiba tiba. Tak terelakkan lagi. Semoga kau damai di sana adikku. Saya selalu menyayangimu."
Salam damai
Malam tadi dia mimpi makan bersama bapak ibunya dan adik laki lakinya Kelik. Dalam mimpinya dia asyik sekali ngobrol sama bapak ibu dan adiknya. Kangen sekali dan pengin pulang rasanya. Tetapi jika ingat saat dimarahi ayahnya, dia masih merasa sakit. Hatinya terlalu tinggi untuk melupakan.. Heru selalu berpendirian kuat. Dia merasa belum pernah gagal. Dia ingin menunjukkan kalau dia kuat. Bisa mandiri sampai lulus dokter nanti. Melewati pasar Ngasem, jalan ke Selatan. Mampir di tempat teman akrabnya, Dadi di Ngadisuryan. Dia sering tidur di sana karena belajar bersama. Demikian juga Dadi sering tidur di tempat kostnya. Dadi baru duduk di depan kamar kost ketika dia datang. Dibawah kerindangan pohon jambu. Halaman luas dengan pohon pohon rindang.
"Di, hati saya kok nggak tenang ya. Semalam mimpi makan makan sama bapak ibu dan adik saya".
"Pulanglah kamu. Berbulan bulan nggak pulang. Tak ada enaknya marah sama orang tua dibawa terus. Maksudnya bapakmu kan nggak jelek".
'Rasanya kok masih salah tingkah saya. Adik saya Kelik bolak balik tulis surat ke saya. Saya pikir pikir coba minggu depan. Agak longgar".
"Lebih cepat lebih baik. Nggak usah pura pura sibuk. Asisten anatomi kerjanya kan sama mayat, ngapain sibuk terus.".
Heru ngobrol dengan Dadi tanpa pembicaraan serius. Menjelang maghrib dia pulang. Pelan pelan berjalan ke Barat melewati rumah sakit Mangkuwilayan. Di halaman belakang rumah pondokan ada kebun yang tak terlalu luas. Berbatasan dengan selokan kecil dengan air gemericik. Kamarnya di muka kebun itu. Ada beberapa pohon rindang di halaman itu. Juga beberapa bunga melati yang sedang mekar bunganya. Dia selalu ikut memelihara bunga bunga itu. Dia siram setiap sore. Ada sekuntum bunga yang nampak indah menarik perhatiannya. Dia siram bunga itu dengan tembor air. Tanpa berpikir panjang dia petik sekuntum bunga yang indah. Harum semerbak. Ada kerinduan yang mendalam dalam hatinya. Ingin rasanya memberikan bunga itu untuk ibunya yang sangat dia sayangi. Tiba tiba seseorang menegurnya.
"Bunga itu indah sekali mas. Kasian kenapa mesti dipetik?".
Heru terkejut luar biasa. Dia sudah akrab dengan suara itu. Adiknya Kelik yang baru duduk dikelas tiga SMA, tiba tiba saja muncul dari arah kegelapan di bawah kerimbunan pohon sawo kecik.
"Kelik, kapan kau datang?. Kok tak memberi kabar dulu? Untung saya di rumah".
"Baru saja datang, jalan dari standplat THR. Saya sudah menulismu beberapa kali. Tak ada balasan. Bahkan surat terakhir saya kirim tiga hari lalu".
"Bagaimana bapak ibu di rumah?. Baik baik?"
"Bapak ibu sangat menunggumu mas. Bapak agak tidak sehat. Selalu menanyakanmu".
Dengan manja Kelik memeluk erat kakaknya. Memang kebiasaan Kelik selalu manja dengan kakaknya. Selisih umur mereka hanya tiga tahun. Hubungan mereka begitu akrab. Keduanya sangat dekat dengan ibunya.
"Kau dingin sekali Lik. Bajumu basah dengan peluh".
"Nggak mas Ru. Saya tadi sempat turun di selokan itu. Dingin airnya".
"Mari masuk dan ganti pakaian di dalam".
"Lama kau nggak pulang. Apa nggak kangen sama ibu, sama saya ?"
Heru menghidupkan lampu listrik. Hanya dua puluh lima watt. Tak begitu terang. Tetapi Heru bisa melihat baju adiknya yang kotor karena debu. Baju putih dengan celana abu abu. Seragam SMA. Mungkin dia pulang sekolah langsung naik bis.
"Pakaianmu kotor sekali Lik. Mandi dulu ya. Ini ganti pakai baju saya. Saya mau shalat dulu. Kamar mandi di samping sana".
" Iya mas. Jangan lupa pulang nanti ya mas. Di tunggu bapak ibu lo.
Heru terus sholat dengan khusuk. Sehabis sholat dia masih melakukan beberapa doa mohon ketenangan. Sambil menunggu Kelik. Selesai mandi Kelik duduk di depan kamar. Baju putih celana putih bersih. Wajahnya nampak nggantheng penuh senyum. Kelik memang punya wajah menarik, smiling face dengan gigi gigi indah. Rambutnya hitam kelam berombak. Hanya wajahnya agak sedikit pucat. Mungkin masih capai.
Heru beranjak ke arah dapur. Kelik duduk di kursi dengan tangan terlipat di depan kamar. Warna harum menerpa ruangan saat Heru melewati tempat duduk Kelik. Dia akan menyiapkan makan malam mereka berdua.
" Lho kok pakai baju putih. Tadi baju yang saya berikan warna abu abu kalau nggak salah".
"Tak apa apa mas. Saya bawa pakaian sendiri. Malam ini saya tidur mana enaknya ya mas?. Agak bingung saya. Bapak ibu kasihan di rumah"
"Jangan semaunya. Tidur di sini saja. Saya siapkan makan malam".
"Saya kangen masakanmu mas. Nasi goreng sama telur".
" Saya siapkan nasi goreng. Tunggu sebentar".
Sementara Heru masak, Kelik hanya berdiam diri dan tenang sekali di depan kamar. Hanya seperempat jam nasi goreng sudah siap. Dia berikan satu piring untuk Kelik.
"Silahkan kalau kurang masih ada sebagian di wajan. Di dapur sana".
"Terima kasih mas Heru. Saya selalu merindukan masakanmu. Kau selalu memperhatikan ku, menyayangiku.".
"Nggak usah ngomong macam macam. Tambah saja lagi kalau kurang itu di dapur".
"Saya ingin menikmati nasi goreng masakanmu bersama sama dengan bapak ibu juga. Pulang ya mas, cepat cepat saja"
Sudah isya ketika mereka selesai makan. Heru cepat cepat ambil wudhlu dan melakukan sholat isya. Saat selesai sholat tiba tiba Kelik pamitan. Kalimatnya agak aneh..
" Aaah saya pamit Mas. Kau sayang benar sama aku.. Tolong datanglah temani bapak ibu ya".
Sebelum Heru sempat beranjak dari shalatnya, Kelik telah beranjak pergi dan menghilang di kegelapan. Heru hanya sempat mengumpat " Anak ini kok selalu angin anginan sejak kecil". Heru termangu sendirian. Dia tahu benar watak adiknya yang tak pernah mau dicegah jira sudah punya keinginan. Nanti toh Kelik pasti pulang, pikirnya. Mungkin malam malam. Dia tiduran di kamar sambil mendengarkan irama radio. Lagu indah Rahmat Kartolo, Pusara Cintaku, mengalun lembut.
Jam setengah sembilan terdengar ketokan di pintu. Paklik dan buliknya diantar oleh bapak kost telah berdiri di muka kamar. Heru terkejut setengah mati. Ada apa?. Buliknya langsung memeluk "Nak mari pulang ke Sragen malam ini. Bapak ibu menunggu".
Pakliknya juga segera memeluk sambil menangis pelan " Tabah ya nak. Mari saya temani pulang ke Sragen". Sebelum sempat Heru menenangkan diri. Pakliknya memberi tahu lebih lanjut.
"Heru harap tabah kamu ya nak. Adikmu Kelik telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Bapak ibumu menunggu".
Heru menjerit tanpa disadari" Apa yang terjadi. Kami baru saja makan bersama Paklik".
"Jam empat tadi adikmu pulang sekolah, mengalami kecelakaan nak. Sudah takdir, dia langsung menghadap Yang Maha Kuasa. Kuatkan hatimu ya, dia telah damai di sana".
" Dia baru saja saya buatkan nasi goreng. Makan sama sama saya"
Heru menangis meraung raung. Baju warna abu abu yang disediakan untuk Kelik masih utuh di atas kursi. Juga satu piring isi nasi goreng itu masih utuh di atas meja. Hanya satu piring yang kosong. Bersama beberapa kerabat dekat mereka bersama naik mobil ke Sragen malam itu juga. Heru hanya bisa meratap sepanjang jalan. "Kelik, saya selalu menyayangimu. Saya sangat merindukanmu"
Menjelang tengah malam mereka sampai rumah di Sragen. Heru memeluk ibu dan bapaknya. "Kelik selalu menanyakanmu Ru. Doakan adikmu, dia telah pergi" Ibunya meratap pilu. Bapaknya nampak semakin tua wajahnya. " Adikmu bolak balik mengajak saya menengokmu ke Yogya, Ru. Tetapi saya sering tak sehat. Doakan adikmu ya. Dia telah pergi".
"Sore tadi saya seolah bertemu dia. Datang di tempas kos saya. Kami makan nasi goreng sama sama"
Heru hanya bisa menangis menjerit jerit. Dia peluk tubuh adiknya yang dingin membeku. Dia ciumi wajahnya yang selalu tersenyum itu. "Kelik, saya selalu menyayangimu. Merindukanmu. Sepanjang hidupmu".
Malam itu Kelik tidur disamping jasad adiknya. Dia mimpi berlari lari bersama Kelik.. Seperti saat mereka masih anak anak. Diantara bunga bunga indah. Kelik memberikan sekuntum melati itu kepadanya. Heru merasa begitu bahagia. Ternyata Kelik berlari semakin jauh. Semakin jauh akhirnya menghilang di balik awan. Heru hanya bisa meratap ketika bangun dari mimpi. Dia ciumi wajah adiknya yang beku. Esok harinya, dia mengantar Kelik ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Perjalanannya bersama Kelik yang terakhir. Selamat jalan adikku, saya selalu menyayangimu.
Heru kembali menekuni kegiatan akademik di Yogya beberapa minggu kemudian. Kesedihan itu tak pernah hilang dari sanubarinya. Kesedihan ternyata datang silih berganti. Bapaknya meninggal beberapa bulan kemudian karena asma. Saat Heru menengoknya di rumah sakit sebelum meninggal, dia meninggalkan pesan singkat." Anakku, temani ibumu ya. Saya merasa capai sekali. Saya ingin istirahat. Saya ingin menemani adikmu. Belum puas rasanya menemani hidupnya yang singkat itu. Saya ingin memeluknya. Saya ingin tidur disampingnya".
Sampai detik ini Heru masih sering termenung. " Hidup memang sekedar menunda kekalahan. Tetapi kekalahan itu datang begitu tiba tiba. Tak terelakkan lagi. Semoga kau damai di sana adikku. Saya selalu menyayangimu."
Salam damai
Saturday, April 11, 2009
Megatruh
Kisah ini terjadi di awal tahun delapan puluhan. Sudah lewat jam delapan malam ketika Toro memasuki kota Solo. Sendirian dia mengemudikan mobil dari Semarang. Sengaja tak mengajak sopir karena ingin mampir ke tempat kakak dan buliknya di Sambeng.. Hujan rintik rintik membasahi kota Solo. Terasa sepi dan damai. Memasuki kota Solo pikirannya berubah. Tak jadi nginap di tempat kakaknya. Dia merasa begitu capek. Jika tidur di tempat kakaknya pasti tak segera bisa istirahat. Ngobrol sampai malam.. Padahal besok dia harus menghadiri pembukaan penataran jam delatan pagi. Penataran untuk para pejabat dinas transmigrasi. Toro menjabat salah satu ketua bidang di kantor transmigrasi propinsi di Semarang.
Lewat Purwosari pelan pelan menelusuri jalan Slamet Riyadi yang asri. Mencari hotel yang enak untuk istirahat malam itu. Sesudah melewati Sriwedari, belok ke kiri. Ada hotel tua di kiri jalan. Nampak megah walaupun bangunannya sudah nampak tua. Halamannya luas dengan berbagai pohon yang rindang di depan. Bangunan utama terletak di tengah, sedangkan di sebelah kiri dan kanan ada bangunan samping memanjang ke belakang dengan kamar berjejer. Toro membelokkan mobil memasuki halaman hotel. Langsung ke petugas resepsionis di bangunan utama.
"Selamat malam Bapak. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita muda, petugas resepsionis menyapa dengan ramah..
" Masih ada kamar single untuk malam ini.?'.
" Mohon maaf pak, semua kamar di depan dan samping penuh semua. Sudah dipesan. Banyak pertemuan dinas minggu ini"
" Satu kamar saja masak nggak ada sih Mbak?"
Seorang petugas lanjut usia membisikkan sesuatu ke resepsionis wanita tadi.. Wanita itu nampak terhenyak sesaat.
"Jika bapak mau, ada pavillion di belakang. Terdiri dari dua kamar. Biasanya tak ada tamu yang berminat, kecuali keluarga di akhir pekan"
"Nggak apa apa. Malam ini saja. Satu kamar"
Toro cepat menyelesaikan administrasi, mengisi formular untuk check in. Lelaki usia lanjut memberitahu lebih baik mobil di parkir di halaman belakang sekalian. Hujan gerimis di luar. Toro memindahkan mobil ke halaman belakang. Ada pavillion tua yang nampak kokoh dan berwibawa. Halaman luas dengan dua pohon kenanga di samping kiri dan kanan. Dia memparkir mobilnya di sudut halaman. Bau bunga kenanga menusuk lembut. Sementara suara binatang malam dan kelelawar selang seling di antara bunyi tetesan air hujan.
Pria usia lanjut itu membantunya menurunkan tas beserta beberapa map berisi dokumen bahan penataran besok pagi. Dia juga belum memastikan dimana tempat lokakarya besok. Tak apalah besok pagi pagi dia akan menyiapkan setelah bangun tidur. Kebiasaannya jika menghadiri penataran di manapun, dia baru menyiapkan bahan bahannya semalam sebelumnya. Tak sempat mempersiapkan jauh jauh hari. Kegiatan sehari hari begitu menghabiskan waktunya.
"Silahkan masuk Den Mas. Kamarnya agak sederhana"
"Terima kasih pak. Bagus pavillionnya. Antik sekali. Bapak namanya siapa".
"Nama saya pak Landung . Saya sudah kerja di hotel ini lebih empat puluh tahun. Sejak jaman Republik. Jika butuh apa apa, silahkan panggil saya. Apakah Denmas asli Solo?"
"Orang tua saya asli Solo pak. Masa kecil saya sampai SR kelas lima di kota ini. Saya sekolah di SR Keputran"
Bangunan pavillion itu terdiri dari dua kamar dan satu serambi depan. Dia ambil satu kamar yang terletak di samping. Ada sepasang kursi tua yang artistik dan satu meja di dalam serambi. Diterangi samar samar oleh lampu listrik dalam lampu ukiran antik. Toro segera merebahkan diri di kasur dengan seprei putih bersih. Baunya harum lembut. Dia kecapean setelah semalaman kurang tidur karena ada acara nganten salah satu temannya di Semarang.
Sayup sayup dia mendengar lolong anjing di kejauhan. Menambah sepi suasana malam yang sejuk. Suara tetesan air hujan di atap seng berdetak teratur. Toro selalu menyukai lolongan anjing malam hari. Masa kecilnya akrab dengan suara lolongan anjing. Orang tuanya banyak memelihara anjing sewaktu dinas di Ambarawa. Tiba tiba terdengar suara lembut wanita menyanyikan lagu macapat Jawa Megatruh. Dia tergagap. Lagu itu telah dia dengar sejak kecil. Ibunya dan neneknya senang melantunkan lagu Megatruh menjelang tidur. Dia selalu mengeluh dan protes. Dia tak pernah menikmati irama lagu itu. Lagu tentang kesedihan. Lagu tentang kematian. Perjalanan sukma saat meninggalkan badan. Dalam filsafat Jawa ada berjenis macapat yang menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak kelahiran (mijil) sampai kematian (megatruh)..
Di serambi depan Toro tersentak melihat seorang wanita cantik dan anggun duduk di kursi. Berpakaian gaya bangsawan dengan kain parangrusak dan kebaya warna merah. Di rambutnta tersisip bunga kenanga dan melati. Elegan dan cantik sekali. Hanya wajahnya sedikit pucat. Tersirat kesedihan yang mendalam. Wajahnya nampak gelisah seolah menunggu seseorang.
" Apakah ibu sedang menunggu seseorang?"
" Terima kasih dimas. Nama saya Rianti, Raden Ajeng Rianti . Saya menunggu kedatangan Kangmas Bei Donopati. Sebentar lagi dia akan datang menjemputku. Biasanya kangmas selalu datang jam jam segini Dimas. Panjenengan siapa?"
"Saya dari Semarang. Nama saya Suryantoro. Tetapi masa kecil saya di kota ini"
" Apakah Dimas asli Solo. Wajahmu menampakkan kearifan bangsawan Solo?"
" Orang tua saya dari Solo. Dari Brontokusuman. Mengapa ibu menunggu pak Bei malam malam begini?
" Kangmas selalu datang menjemputku jalan jalan. Lewat tengah malam kami kembali ke sini. Pavillion ini langganan kami berdua Dimas".
Tanpa diminta, wanita itu mulai bercerita. Kadang kadang diselingi dengan lirih lantunan megatruh. Toro hanya terpukau mendengar. Terbawa dalam emosi kesedihan irama itu.
"Saya asli dari Pracimantoro. Bertemu dengan Kangmas Bei karena dikenalkan paklik saya yang tinggal di Solo. Sejak itu kangmas selalu datang ke rumah saya. Biasanya akan menginap sampai beberapa malam"
"Apakah ibu jatuh cinta dengan beliau?"
"Iya kami terlibat dalam hubungan cinta yang dalam. Tak ada lelaki lain dalam hidup saya kecuali Kangmas Bei. Dia perkasa dan tampan sekali. Saya mengikuti Kangmas ke Solo dan tinggal di desa Sumber. Orangtua saya mengijinkan saya diambil dan diperisteri Kangmas. Setiap pekan beliau datang ke tempat saya atau kami bertemu di pavillion ini".
"Ibu adalah isteri dari pak Bei Donopati?"
"Kami saling mencintai. Hidupku hanya untuk beliau. Tetapi perkawinan itu tak juga datang. Saya hanya dari desa. Orang tua saya petani miskin di sana Dimas".
"Mengapa tak diperisteri? Mengapa ibu bersedia menjadi teman setia tanpa ikatan?"
" Dimas, sampeyan anak muda, belum tahu hakekat cinta dan pengorbanan. Buatku cinta adalah pengorbanan. Saya mendapatkan segalanya dari kangmas. Kehormatan, harta, kepuasan fisik. Apalagi yang saya harapkan. Perkawinan hanyalah status semata".
Toro merasa percakapan terlalu jauh. Dia mencoba menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Tetapi dia terbawa dan terhanyut dalam percakapan yang mengasyikkan.
"Perkawinan adalah tanda keterikatan cinta dua manusia ibu. Bukan cuma status".
"Sampeyan hanya berteori dari buku Dimas. Kangmas Bei mengorbankan segalanya. Di luar dia disembah sembah orang. Ibarat orang menyembah dan mencium kakinya. Di dalam kamar ini, beliau tunduk dalam pelukan saya. Menyembah saya. Mencium alat kewanitaan saya. Saya bebas duduk telanjang dalam pangkuannya. Alat prianya menari nari lembut dalam rongga wanita saya. Dia tergolek pasrah terlentang menikmati pergulatan yang indah. Bukankah itu kenikmatan hidup dan kehormatan?. Namur saya begitu sedih dan kecewa ketika beliau resmi kawin sama seorang putri bangsawan. Meskipun katanya beliau tak mencintainya. Hanya saya yang dicintai.".
"Ibu, hidup adalah kehormatan dan kebahagiaan. Bukan sekedar nikmat. Apa yang ibu cari dan harapkan dari beliau. Lihatlah ke luar sana. Lihatlah ke depan. Tak ada gunanya menyia nyiakan diri sendiri".
Tiba tiba saja wanita itu berubah marah sekali. Matanya memancarkan kebencian dan kemarahan yang dalam. Dia berdiri bertolak pinggang. Kondenya lepas, dan rambut indahnya terurai sampai ke pinggul. Jari jarinya menunjuk lurus ke muka Toro. Kata katanya tak jelas keluar dari mulutnya yang tak lagi nampak indah. Berbusa karena kemarahan yang sangat. Bahkan seolah wanita itu akan mencakar mukanya. Suara lolong anjing kembali menggema. Toro menjerit keras, dan terbangun dari impian yang mengerikan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Hatinya masih berdebar keras, ketika terdengar suara ketukan di pintu depan. Pak Landung, pegawai hotel usia lanjaut tadi datang mengantar minuman.
"Denmas mimpi buruk rupanya. Anda menjerit keras sekali. Saya bawa teh hangat untuk anda".
"Saya bermimpi buruk sekali pak Landung. Seolah ada wanita cantik yang begitu marah sama saya dan mengusir saya"
" Silahkan tidur kembali Denmas. Saya akan tidur di serambi nanti menemani anda".
Paginya Toro minta sarapan diantar ke kemarnya. Pak Landung melayani dengan ramah. Dia sempat cerita secara singkat.. Pavillion ini dulu adalah langganan seorang bangsawan terkenal di kota Solo dengan pacarnya. Wanita itu berasal dari selatan Surakarta. . Ketika bangsawan itu akhirnya kawin dengan wanita lain, wanita itu agak terganggu jiwanya dan sering datang sendirian dan menyanyikan lagu sedih megatruh di serambi ini. Dia selalu membawa anjing kesayangannya. Dia akhirnya bunuh diri minum DDT dan meninggal di kamar sebelah. Anjingnya rupanya juga dikasih minum DDT. Ikut mati.
"Denmas Bei, nanti masih tidur di sini?"
"Pak Landung, jangan sekali sekali panggil saya pak Bei. Nama saya Toro. Insinyur Suryantoro. Saya tak ada kaitannya dengan pak Bei".
Toro sempat tipon isterinya di Semarang. Cerita tentang mimpinya. Isterinya menjawab ringan, mau ditemani nggak mau. "Saya juga pengin ke Solo sebenarnya. Baik baik ya pah".
Toro berpikir ketika meninggalkan halaman hotel. Moga moga ibu Rianti, atau Raden Ajeng Rianti, hidup damai di alam sana.
Ki Ageng Similikithi
Lewat Purwosari pelan pelan menelusuri jalan Slamet Riyadi yang asri. Mencari hotel yang enak untuk istirahat malam itu. Sesudah melewati Sriwedari, belok ke kiri. Ada hotel tua di kiri jalan. Nampak megah walaupun bangunannya sudah nampak tua. Halamannya luas dengan berbagai pohon yang rindang di depan. Bangunan utama terletak di tengah, sedangkan di sebelah kiri dan kanan ada bangunan samping memanjang ke belakang dengan kamar berjejer. Toro membelokkan mobil memasuki halaman hotel. Langsung ke petugas resepsionis di bangunan utama.
"Selamat malam Bapak. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita muda, petugas resepsionis menyapa dengan ramah..
" Masih ada kamar single untuk malam ini.?'.
" Mohon maaf pak, semua kamar di depan dan samping penuh semua. Sudah dipesan. Banyak pertemuan dinas minggu ini"
" Satu kamar saja masak nggak ada sih Mbak?"
Seorang petugas lanjut usia membisikkan sesuatu ke resepsionis wanita tadi.. Wanita itu nampak terhenyak sesaat.
"Jika bapak mau, ada pavillion di belakang. Terdiri dari dua kamar. Biasanya tak ada tamu yang berminat, kecuali keluarga di akhir pekan"
"Nggak apa apa. Malam ini saja. Satu kamar"
Toro cepat menyelesaikan administrasi, mengisi formular untuk check in. Lelaki usia lanjut memberitahu lebih baik mobil di parkir di halaman belakang sekalian. Hujan gerimis di luar. Toro memindahkan mobil ke halaman belakang. Ada pavillion tua yang nampak kokoh dan berwibawa. Halaman luas dengan dua pohon kenanga di samping kiri dan kanan. Dia memparkir mobilnya di sudut halaman. Bau bunga kenanga menusuk lembut. Sementara suara binatang malam dan kelelawar selang seling di antara bunyi tetesan air hujan.
Pria usia lanjut itu membantunya menurunkan tas beserta beberapa map berisi dokumen bahan penataran besok pagi. Dia juga belum memastikan dimana tempat lokakarya besok. Tak apalah besok pagi pagi dia akan menyiapkan setelah bangun tidur. Kebiasaannya jika menghadiri penataran di manapun, dia baru menyiapkan bahan bahannya semalam sebelumnya. Tak sempat mempersiapkan jauh jauh hari. Kegiatan sehari hari begitu menghabiskan waktunya.
"Silahkan masuk Den Mas. Kamarnya agak sederhana"
"Terima kasih pak. Bagus pavillionnya. Antik sekali. Bapak namanya siapa".
"Nama saya pak Landung . Saya sudah kerja di hotel ini lebih empat puluh tahun. Sejak jaman Republik. Jika butuh apa apa, silahkan panggil saya. Apakah Denmas asli Solo?"
"Orang tua saya asli Solo pak. Masa kecil saya sampai SR kelas lima di kota ini. Saya sekolah di SR Keputran"
Bangunan pavillion itu terdiri dari dua kamar dan satu serambi depan. Dia ambil satu kamar yang terletak di samping. Ada sepasang kursi tua yang artistik dan satu meja di dalam serambi. Diterangi samar samar oleh lampu listrik dalam lampu ukiran antik. Toro segera merebahkan diri di kasur dengan seprei putih bersih. Baunya harum lembut. Dia kecapean setelah semalaman kurang tidur karena ada acara nganten salah satu temannya di Semarang.
Sayup sayup dia mendengar lolong anjing di kejauhan. Menambah sepi suasana malam yang sejuk. Suara tetesan air hujan di atap seng berdetak teratur. Toro selalu menyukai lolongan anjing malam hari. Masa kecilnya akrab dengan suara lolongan anjing. Orang tuanya banyak memelihara anjing sewaktu dinas di Ambarawa. Tiba tiba terdengar suara lembut wanita menyanyikan lagu macapat Jawa Megatruh. Dia tergagap. Lagu itu telah dia dengar sejak kecil. Ibunya dan neneknya senang melantunkan lagu Megatruh menjelang tidur. Dia selalu mengeluh dan protes. Dia tak pernah menikmati irama lagu itu. Lagu tentang kesedihan. Lagu tentang kematian. Perjalanan sukma saat meninggalkan badan. Dalam filsafat Jawa ada berjenis macapat yang menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak kelahiran (mijil) sampai kematian (megatruh)..
Di serambi depan Toro tersentak melihat seorang wanita cantik dan anggun duduk di kursi. Berpakaian gaya bangsawan dengan kain parangrusak dan kebaya warna merah. Di rambutnta tersisip bunga kenanga dan melati. Elegan dan cantik sekali. Hanya wajahnya sedikit pucat. Tersirat kesedihan yang mendalam. Wajahnya nampak gelisah seolah menunggu seseorang.
" Apakah ibu sedang menunggu seseorang?"
" Terima kasih dimas. Nama saya Rianti, Raden Ajeng Rianti . Saya menunggu kedatangan Kangmas Bei Donopati. Sebentar lagi dia akan datang menjemputku. Biasanya kangmas selalu datang jam jam segini Dimas. Panjenengan siapa?"
"Saya dari Semarang. Nama saya Suryantoro. Tetapi masa kecil saya di kota ini"
" Apakah Dimas asli Solo. Wajahmu menampakkan kearifan bangsawan Solo?"
" Orang tua saya dari Solo. Dari Brontokusuman. Mengapa ibu menunggu pak Bei malam malam begini?
" Kangmas selalu datang menjemputku jalan jalan. Lewat tengah malam kami kembali ke sini. Pavillion ini langganan kami berdua Dimas".
Tanpa diminta, wanita itu mulai bercerita. Kadang kadang diselingi dengan lirih lantunan megatruh. Toro hanya terpukau mendengar. Terbawa dalam emosi kesedihan irama itu.
"Saya asli dari Pracimantoro. Bertemu dengan Kangmas Bei karena dikenalkan paklik saya yang tinggal di Solo. Sejak itu kangmas selalu datang ke rumah saya. Biasanya akan menginap sampai beberapa malam"
"Apakah ibu jatuh cinta dengan beliau?"
"Iya kami terlibat dalam hubungan cinta yang dalam. Tak ada lelaki lain dalam hidup saya kecuali Kangmas Bei. Dia perkasa dan tampan sekali. Saya mengikuti Kangmas ke Solo dan tinggal di desa Sumber. Orangtua saya mengijinkan saya diambil dan diperisteri Kangmas. Setiap pekan beliau datang ke tempat saya atau kami bertemu di pavillion ini".
"Ibu adalah isteri dari pak Bei Donopati?"
"Kami saling mencintai. Hidupku hanya untuk beliau. Tetapi perkawinan itu tak juga datang. Saya hanya dari desa. Orang tua saya petani miskin di sana Dimas".
"Mengapa tak diperisteri? Mengapa ibu bersedia menjadi teman setia tanpa ikatan?"
" Dimas, sampeyan anak muda, belum tahu hakekat cinta dan pengorbanan. Buatku cinta adalah pengorbanan. Saya mendapatkan segalanya dari kangmas. Kehormatan, harta, kepuasan fisik. Apalagi yang saya harapkan. Perkawinan hanyalah status semata".
Toro merasa percakapan terlalu jauh. Dia mencoba menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Tetapi dia terbawa dan terhanyut dalam percakapan yang mengasyikkan.
"Perkawinan adalah tanda keterikatan cinta dua manusia ibu. Bukan cuma status".
"Sampeyan hanya berteori dari buku Dimas. Kangmas Bei mengorbankan segalanya. Di luar dia disembah sembah orang. Ibarat orang menyembah dan mencium kakinya. Di dalam kamar ini, beliau tunduk dalam pelukan saya. Menyembah saya. Mencium alat kewanitaan saya. Saya bebas duduk telanjang dalam pangkuannya. Alat prianya menari nari lembut dalam rongga wanita saya. Dia tergolek pasrah terlentang menikmati pergulatan yang indah. Bukankah itu kenikmatan hidup dan kehormatan?. Namur saya begitu sedih dan kecewa ketika beliau resmi kawin sama seorang putri bangsawan. Meskipun katanya beliau tak mencintainya. Hanya saya yang dicintai.".
"Ibu, hidup adalah kehormatan dan kebahagiaan. Bukan sekedar nikmat. Apa yang ibu cari dan harapkan dari beliau. Lihatlah ke luar sana. Lihatlah ke depan. Tak ada gunanya menyia nyiakan diri sendiri".
Tiba tiba saja wanita itu berubah marah sekali. Matanya memancarkan kebencian dan kemarahan yang dalam. Dia berdiri bertolak pinggang. Kondenya lepas, dan rambut indahnya terurai sampai ke pinggul. Jari jarinya menunjuk lurus ke muka Toro. Kata katanya tak jelas keluar dari mulutnya yang tak lagi nampak indah. Berbusa karena kemarahan yang sangat. Bahkan seolah wanita itu akan mencakar mukanya. Suara lolong anjing kembali menggema. Toro menjerit keras, dan terbangun dari impian yang mengerikan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Hatinya masih berdebar keras, ketika terdengar suara ketukan di pintu depan. Pak Landung, pegawai hotel usia lanjaut tadi datang mengantar minuman.
"Denmas mimpi buruk rupanya. Anda menjerit keras sekali. Saya bawa teh hangat untuk anda".
"Saya bermimpi buruk sekali pak Landung. Seolah ada wanita cantik yang begitu marah sama saya dan mengusir saya"
" Silahkan tidur kembali Denmas. Saya akan tidur di serambi nanti menemani anda".
Paginya Toro minta sarapan diantar ke kemarnya. Pak Landung melayani dengan ramah. Dia sempat cerita secara singkat.. Pavillion ini dulu adalah langganan seorang bangsawan terkenal di kota Solo dengan pacarnya. Wanita itu berasal dari selatan Surakarta. . Ketika bangsawan itu akhirnya kawin dengan wanita lain, wanita itu agak terganggu jiwanya dan sering datang sendirian dan menyanyikan lagu sedih megatruh di serambi ini. Dia selalu membawa anjing kesayangannya. Dia akhirnya bunuh diri minum DDT dan meninggal di kamar sebelah. Anjingnya rupanya juga dikasih minum DDT. Ikut mati.
"Denmas Bei, nanti masih tidur di sini?"
"Pak Landung, jangan sekali sekali panggil saya pak Bei. Nama saya Toro. Insinyur Suryantoro. Saya tak ada kaitannya dengan pak Bei".
Toro sempat tipon isterinya di Semarang. Cerita tentang mimpinya. Isterinya menjawab ringan, mau ditemani nggak mau. "Saya juga pengin ke Solo sebenarnya. Baik baik ya pah".
Toro berpikir ketika meninggalkan halaman hotel. Moga moga ibu Rianti, atau Raden Ajeng Rianti, hidup damai di alam sana.
Ki Ageng Similikithi
Subscribe to:
Posts (Atom)