Monday, February 23, 2009

Angrek lila


Ada angrek berbunga warna lila, di depan pintu belakang rumah saya di Yogya. Saya tak pernah memperhatikan bunga bunga itu. NYI pasti yang menggantung bunga bunga di tembok yang dilapisi batu kali. Juga tak tahu sejak kapan bunga bunga itu menghiasi dinding. Saya memang tak begitu mengagumi bunga angrek sejak dulu. Namun kali ini ada kesan lain. NYI tidak berada di rumah. Sudah beberapa minggu di Muskat, Oman. Saya pulang ke Yogya dan Ambarawa untuk menghadiri pesta perkawinan kemenakan, Agung.

Ketika duduk di depan komputer, perhatian saya selalu tertuju ke bunga bunga warna lila itu. Pikiran saya melayang ke NYI. Sudah terbiasa berpisah, bahkan berbulan bulan, sejak muda dulu. Selalu berjalan mulus tanpa beban yang menekan. Namun ketika melihat bunga angrek lila itu saya merasa seolah sendirian. Tanpa NYI. Ada ketakutan menyelinap. Kegelisahan seandainya terjadi apa apa, entah saya atau NYI, saya ingin bersamanya di akhir perjalanan fana ini. Angrek lila itu seolah mengingatkan umur sudah memasuki masa senja. Walau selalu berharap ingin hidup selama mungkin, manusia tak tahu apa yang mungkin terjadi sewaktu waktu.

Tak ada masalah kesehatan yang berarti. NYI sudah beberapa lama di diagnosis menderita glaukoma. Tekanan bola mata meninggi. Dalam pengobatan dan kondisi terkendali. Saya rutin menggunakan obat penurun tekanan darah. Tekanan darah meninggi tingkat ringan kadang kadang tingkat sedang. Tetapi kekhawatiran selalu menyelinap. Bunga lila itu seolah mengingatkan kembali agar selalu bersama setiap saat. Kami masih ingin pergi bersama. NYI ingin ke Washington, ke Australia. Saya pernah berjanji mengajaknya mengunjungi Kandy di Srilangka, Guilin di China. Saya pernah bercita cita ingin mengunjungi Budapest. Masih ingat pesan teman Bapak saya dulu yang menjadi duta besar di Hungaria. "Anak muda datanglah ke Budapest. Di sana orang bisa banyak belajar". Saya ingin menyempatkan mengunjungi Budapest. Juga ingin mengunjungi Iguazu, air terjun di perbatasan Brasilia dan Argentina. Tony Smith, guru besar emeritus di Newcastle Australia, cerita tentang kunjungannya ke Iguazu, sewaktu kami sama sama di Buenos Aires di tahun 1996. Tak juga tahu masih berapa lama akan kuat menempuh perjalanan perjalanan jauh.

Bunga lila itu seolah mengingatkan saya. Jika sampai waktunya, saya ingin ditemani isteri dan anak anak saya. Saya ingin dekat di antara mereka, orang orang yang saya cintai sampai akhir hayat saya. Mungkin masih puluhan tahun ke depan. Moga moga saja. Tetapi kekhawatiran selalu datang. Dan memang saya selalu siap setiap saat jika sang Kala akan tiba. Semenjak kehilangan anak yang saya cintai, Moko, saya selalu siap untuk pergi sewaktu waktu. Saya sering tak mengerti mengapa ada orang takut mati. Apa yang perlu ditakuti. Hanya pergi ke ketiadaan. Atau kembali ke alam kelanggengan.

Friday, January 23, 2009

Semesra Merapi dan Merbadu



Pagi yang cerah. Kami dalam perjalanan dari Yogya ke Jakarta dengan pesawat Garuda penerbangan nomer 204. Sesaat sesudah meninggalkan landasan pacu, pesawat mendaki ketinggian langit menembus awan. Terhampar luas pandangan sampai cakrawala. Tiba tiba saja pilot mengumumkan bahwa kami sedang melintasi gunung Merapi dan Merbabu. Sesaat lagi gunung Sindoro dan Sumbing. Saya melihat lewat jendela. Di sebelah kanan nampak pasangan gunung Merapi dan Merbabu. Indah kelam dalam siraman sinar matahari pagi. Begitu tenang dan sejuk. Di kejauhan, pasangan Sindoro dan Sumbing. Pasangan pasangan abadi sepanjang masa. Begitu hening, begitu indah dan damai. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Tak peduli gejolak manusia dan lingkungan di sekitarnya.

Gunung Merapi dan Merbabu, gunung Sindoro dan Sumbing, pasangan pasangan abadi sepanjang masa. Mungkin tak selamanya hening. Dalam kurun waktu tertentu Merapi akan membara bergejolak. Kadang meletus tanpa ampun. Seolah marah tak terkendali. Merbabu, pasangan setianya, selalu saja tenang dan diam. Setia disampingnya dari masa ke masa. Mungkin sejak manusia purba Pythaecantropus erectus hidup di lembah tepian sungai dua milyard tahun lalu, pasangan Merapi dan Merbabu, maupun Sindoro dan Sumbing, telah ada di bumi Jawa. Sayang mereka belum cukup cerdas untuk membuat catatan tentang kedua gunung ini. Walau mereka telah mengenal api dan menggunakan api untuk memasak. Kesetiaan Merapi dan Merbabu digambarkan oleh Arswendo Atmowiloto di tahun tujuh puluhan dalam kisah sepasang manusia Semesra Merapi dan Merbabu yang berakhir tragis.

Kami baru saja menikmati liburan akhir tahun. Pulang ke Yogya. Banyak acara keluarga. Keliling ke Semarang, ke Brebes, ke Pekalongan, dan tentunya ke desa asal saya di Ambarawa. Kadang setir sendiri, kadang dengan anak saya Aryo, kalau dia tak sibuk. Hanya sempat beberapa hari di Yogya di akhir tahun. Yang terasa istimewa karena bisa menjumpai, nyonya Dokter Djajus. Keluarga dokter Djajus adalah sabahat dekat keluarga kami lima puluh tahunan lalu. Dokter Djajus almarhum adalah idola masa kecil saya, kalau jadi dokter isterinya pasti cantik jelita, seperti nyonya dokter Djajus waktu itu. Cerita tentang beliau pernah saya singgung dalam tulisan tulisan tentang Ambarawa. Baru saya sadar saat bertemu beliau, kalau salah satu menantunya adalah kakak kelas yang telah saya kenal baik sebelumnya. Beliau adalah dokter Slamet, mantan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan di Papua dan di Sulawei Utara. Beberapa hari kemudian saya sempat mengundang makan siang Dr Slamet dan nyonya bersama teman dekat sewaktu ngajar di UGM, Dr Rosi. Obrolan mengasyikkkan tentang masa pension. Cerita tentang nyonya dokter Djajus akan saya tulis kemudian. Tak sempat wawancara dengan beliau, asyik ngobrol sama sang menantu. Beliau masih seperti dulu, sisa kecantikannya masih jelas di usia delapan puluh lima tahun. NYI terpukau ngobrol dengan beliau.

Akhir tahun adalah ulang tahun perkawinan kami. Tak ada acara khusus. Hanya kami sempatkan mampir ke Magelang. Kota indah penuh kenangan. Kami menghabiskan masa masa pacaran di kota ini. NYI tinggal bersama keluarga kakaknya di Magelang. Sementara saya menyelesaikan tugas tugas akhir di Yogya atau di kota kota sekitar Yogya. Kami pengin melihat tempat tempat yang dulu sering kami kunjungi atau lewati. Tak banyak waktu terluang untuk mengenang kembali masa masa itu. Hanya lewat dalam perjalanan dari Semarang ke Yogya. Kami tak melewati jalan utama, tetapi membelok melewati alun alun dan menuju ke lapangan Kuwarasan. Tak sempat mencari rumah di Boton di mana NYI pernah tinggal. Ada potongan kisah yang pernah saya ceritakan di kolom kita. Di Kuwarasan pun hanya sempat melihat rumah di mana dia bersama keluarga kakaknya pernah tinggal. Sebagian besar masa pacaran kami memang sewaktu dia tinggal di Magelang. Antara tahun 1972 – 1975. Lapangan itu masih seperti dulu, bersih terpelihara. Banyak anak bermain main di sore hari. Di seberang lapangan dulu tinggal keluarga kakak sepupu saya almarhum di tahun enam puluhan. Saya pernah nginap di sana beberapa kali.

Pagi pagi sekali menjelang akhir 1975 beberapa bulan menjelang lulus, saya masih ingat berjalan berdua bersama NYI menuju ke tempat pemberhentian bis dari Kuwarasan. Jalan masih sepi di pagi hari. Lupa nama jalannya. Pagi itu akan pulang ke Yogya langsung ke rumah sakit. Kepaniteraan klinik sudah hampir berakhir. Sepanjang perjalanan singkat itu kami bicara tentang kelanjutan hubungan kami. Maunya gimana, serius nggak gitu lho. Tak ingat benar apa yang kami bicarakan secara rinci. Hanya sepakat jika akan berlanjut ke pernikahan. Tak ada negosiasi. Tak ada janji. Tak ada perjanjian rekening bersama. Tak ada yang bisa dimasukkan rekening. Tak perlu pernik janji janji itu. Aku ini pejantan malang dari kumpulannya yang terbuang. Yang penting jalan terus urusan belakang. Semua bisa diatur. Modal hati sama burung. Jaman sekarang memang sudah lain. Semua harus siap dengan rencana matang jangka panjang saat menuju ambang pernikahan. Sesuatu yang positip. Tetapi jangan terlalu lama mempersiapkan. Mana tahan.

Jalan itu masih seperti dulu. Pohon pohon rindang sepanjang jalan. Bersih dan rapi. Magelang memang kota yang rapi. Kami lewat di akhir sore hari, kendaraan ramai lalu lalang. Tiga puluh lima tahun lalu, sepi di pagi hari. Kami sempat berpelukan dan berciuman di bawah salah satu pohon itu. Tak ada HANSIP, tak ada HANRA. HANSIP itu seperti musuh bersama orang pacaran. Sempat ambil beberapa foto kali ini. Tak saya sertakan. Hasil foto saya hanya pas pasan saja.

Tak terasa perjalanan kami berdua telah lewat tiga puluh tiga tahun. Penuh warna penuh irama. Tak selamanya selalu indah seperti jaman pacaran. Hidup memang tak selamanya indah. Kadang kadang getir, kadang kadang susah, kadang kadang melambung seperti impian. Itulah irama hidup di dunia nyata. Harus siap bersama menghadapinya. Mungkin hanya dalam cerita, hidup itu bisa dibuat semua jadi indah. Mungkin khayalan sang penulis pas jatuh cinta. Perkawinan adalah perpaduan dua hati. Perpaduan dua selera. Penyesuaian dua cara hidup yang mungkin tak selalu sejalan. Satu sisi kadang ingin gaya hidup vibran penuh warna, sementara yang lain hening dan damai. Melihat pasangan setia Merapi dan Merbabu pagi itu, saya merasa seolah diingatkan. Merapi yang panas meledak ledak dan Merbabu yang hening dan sunyi. Hidup berdampingan abadi sepanjang jaman.

Wah kok malah ceramah. Praktisnya, kalau punya pasangan cerewet, ada dua alternatif. Pakailah alat penutup telinga. Sekarang banyak dijual seperti yang dipakai kalau tilpun lewat internet. Atau pasangannya diminta pakai masker penutup muka, biar suaranya nggak meledak keluar.

Amit amit, salam damai

Ki Ageng Similikithi

Saturday, December 27, 2008

Mencari menantu



Di pertengahan tahun sembilan puluhan saya ketemu dengan seorang teman dan kerabat dekat. Dia guru besar di salah satu lembaga pendidikan tinggi ternama di Indonesia. Juga seorang akademisi ulung. Hampir tiap bulan ke luar negeri, memberikan kuliah atau ceramah ilmiah. Saya bertemu waktu itu di i Los Angeles, dalam perjalanan pulang ke Indonesia dengan pesawat Garuda. Tak ada yang aneh. Semua biasa saja. Kami ngobrol akrab seperti biasanya. Perhatian saya tertuju ke barang bawaannya. Dia membeli tongkat pemukul baseball. Bagus sekali. Tak habis pikir saya. Dia tak suka olah raga. Sewaktu kecil kalau main kasti di sekolah, kalau dikejar lawan yang membawa bola, dia malah nggak mau lari. Hanya menutup muka dan kepalanya takut kalau di kayang dengan bola kasti itu. Dia menghindar menjawab ketika saya tanya " kok beli tongkat baseball?"

Guru besar tadi punya dua anak gadis yang menginjak remaja. Yang nomer satu sangat cerdas, sudah duduk di universitas. Index prestasing selalu dapat A sejak semester satu. Waktu itu dia sudah duduk di semester empat. Adiknya masih duduk di SMA waktu itu. Juga termasuk pelajar pandai dan aktif. Keduanya mempunyai tingkat intelektualitas tinggi seperti bapaknya. Apalagi selalu digembleng oleh sang ayah agar selalu rajin menekuni mata pelajaran.. Anak yang pertama kuliah di ekonomi. Begitu ketatnya sang ayah mendisiplinkan, jika akhir pekan kedua gadis itu akan keluar selalu diantar oleh ayah ibunya. Tak pernah dilepas sendirian. Apalagi sama cowok, meskipun itu teman sekuliah. Bapaknya begitu disiplin dan posesif sama kedua putrinya. Kadang dalam gurauan, dia sering berujar soal disiplin ini. " Iya kalau ketemu kawan yang baik dan disiplin. Kalau temannya seperti KI ini kan gawat. Bablas nanti" Gila orang ini, dikiranya apa saya ini. Nggak pernah melarikan anak orang saya jaman muda dulu. Tabu.

Kadang2 beberapa teman cowok ada yang ingin bertandang ke rumah mereka di akhir pekan karena sang gadis memang belum pacaran. Tetapi semuanya padha ngacir dan mundur teratur. Sang Bapak selalu disiplin mengawasi. Mulai jam enam sore sudah siap pakai sarung, duduk di ruang depan, minum teh sambil baca koran. Itu semua masih normal normal saja. Yang nggak normal, tongkat baseballnya selalu diletakkan di samping meja. Keponakan saya yang kebetulan memberanikan diri mau menyambangi sang gadis di akhir pekan ikut mundur teratur. "Ngeri oom. Bapaknya selalu siap dengan tongkat baseballnya di kamar tamu. Belum tentu dapat nggaet, resiko kepala pecah"

Ya walaupun si gadis begitu cantik dan menarik untuk diapeli, siapa berani datang? Lebih baik cari anak pondokan, mungkin standard nggak kualitas prima, tetapi nggak ada yang ngawasi. Kalau jadi pacar tetap, dipermak sedikit dengan make up juga bisa cantik. Jarang anak pondokan nampak anggun, kecuali kalau sudah punya pacar tetap. Tak perlu kecil hati. Kemajuan kosmetikologi sangat pesat. Wanita itu cantiknya wantek (nggak gampang luntur) kalau tetap nampak cantik saat bangun tidur. Atau tetap nampak anggun walau ngrokoti jagung bakar yang besar besar, dan harus buka mulut lebar lebar. Kalau cantiknya hanya pas pesta, sorry meck, belum tentu sustainable.

Saat pulang akhir tahun ini, saya ketemu lagi sama teman kerabay saya tadi di bandara Sukarno Hatta. Kembali kami terlibat dalam pembicaraan yang akrab. "Ki rambutmu memutih semua, sudah punya cucu berapa?" Sapanya selalu sambil berkelakar.
"Saya sudah punya cucu empat. Aryo anaknya dua, Wisnu juga dua. Rambut putih, punya cucu itu sudah jadi wise old man Bung. Berapa cucumu?" Tanpa tendensi apa apa, saya menanyakan apakah dia sudah punya cucu. Saya merasa kecewa mengajukan pertanyaan tersebut setelah mendengar jawabannya.
"Saya belum mantu. Pengin sih pengin momong cucu. Tapi anak anak kok masih tenang tenang saja. Nggak bisa mendesak desak saya".

Dia cerita jika kedua anak gadisnya sudah bekerja. Kariernya menanjak lancar. Dua duanya eksekutif muda masa kini. Tetapi yang membuat was was orang tuanya kok belum ada gejala serius membina hubungan asmara dengan pria. "Saya sudah mau pension, pengin punya cucu juga. Ada calon enggak Ki. Ponakanmu ada yang masih nganggur? Saya menjawab sambil bergurau "Ponakan ponakan saya begitu lulus langsung padha kawin. Selalu disuruh minum jamu sama ibunya. Susu madu telor sama jahe, biar agak agresip. Beberapa teman anak saya sih masih ada yang prei walau sudah mapan".

Salah seorang teman anak saya sering datang ke rumah, sejak masih mahasiswa. Sekarang usaha swasta di bidang teknologi informasi. Kliennya tersebar di seluruh Indonesia. Businesnya nampak berkembang pesat di era desentralisasi. Dia mengembangkan software computer untuk instansi2 pemerintah kabupaten. Hobinya koleksi mobil antik. Suka keliling Indonesia, demi pekerjaan dan hobi. "Punya hobi mahal gitu, apa enak dinikmati sendiri Mas" tanya saya bergurau. "Wah susah Oom, belum dapat juga sudah cari di mana mana. Carikan dhong Oom". Edan anak ini, punya hobi mahal gitu kok nggak bisa cari isteri. Jaman saya dulu cuma modal sepedha onthel saja masih berani bersaing. Ini anak, tampangnya gantheng, wajahnya tampan, kayak Tora Sudira. Cuma agak pemalu saja. Mana ada calon mertua nggak tergiur.

Malam itu saya tilpon teman saya sang professor tadi. " Hei Bung, saya ada pejantan ampuh. Nggantheng, sederhana, sangat mapan. Hobi koleksi mobil antik. Dari keluarga tradisional, well reputed" . Dia nggak komentar apa apa. Esok malamnya, tilpon ke saya. "Tolong dikirim fotonya lewat email". Wah dari pada ikut pusing, saya minta email sang gadis, saya berikan alamat email si pria. Biar padha kontak sendiri. Jaman sudah gampang. Kalau malu bicara dan ketemu langsung, kenapa nggak lewat email saja? Jauh lebih mudah dibanding jaman saya dulu. Kalau malu ketemu, harus tulis surat. Salah salah jatuh ke orang lain. Nggak mau terlibat langsung saya dalam negosiasi perkenalan. Malah bikin pengin, bisa diamuk NYI. Moga moga mereka saling cocok. Gitu aja kok repot ya?

Salam untuk anak anak muda. Mohon maaf tak ada maksud melecehkan siapapun. Gaya omongan dan gurauan saya dengan teman kerabat tadi sudah sejak muda dulu.
Ki Ageng Similikithi

Wednesday, December 24, 2008

Ah pura pura tidak kenal

Ini cerita dari pertengahan sembilan puluhan. Sore sore saya bersama NYI dan anak saya almarhum Moko, mau beli sesuatu di mall Malioboro. Kami naik lift dari ruang parkir. Ada beberapa pengunjung yang bersama dalam lift. Saya tak begitu memperhatikan. Tiba tiba saja saya menyadari kalau satu di antara yang berada di lift adalah teman sejawat, Mr. X, yang pernah duduk bersama bertahun tahun dalam salah satu komisi di kampus. Saya menyapanya dengan ramah dan hangat. Saya ajak dia bersalaman. Agak terkejut melihat reaksinya. Dingin seolah belum pernah kenal. Saya tak memikirkannya. It is not a big deal.

Baru kemudian NYI cerita setelah keluar dari lift, kalau Mr. X sudah melihat saya sejak kami masuk lift. Dia tak menyapa, hanya menatap sepintas, walau kami telah kenal baik bertahun tahun. Beberapa hari kemudian, dalam perjalanan ke Jakarta, kami bertemu tak sengaja di bandara. Dia menjawab sapaan saya dengan dingin seolah belum kenal. Dan kemudian menghindar menemui temannya yang lain. Mr.X memang sudah beberapa tahun berdomisili di Jakarta. Pejabat tinggi di pemerintahan, dekat dengan RI 1. Tak mungkin dia tak mengenal saya oleh karena kami bekerja bersama selama bertahun tahun. Tetapi nggak tahulah, mungkin jabatan barunya di Jakarta membuatnya lupa koleganya. Atau dipikirnya saya akan meminta fasilitas ini itu. Tak ada dalam kamus saya boo. Tak pernah terpikir memanfaatkan teman dan persahabatan.

Di akhir tahun delapan puluhan. Di stasiun Ambarawa, saya bersama anak anak di hari Minggu melihat lokomotif pensiunan. Saya melihat seorang kolega muda, asisten ahli di rumah sakit pendidikan, Mr Y. Kebetulan beberapa minggu sebelumnya datang ke kantor saya, konsultasi penelitian. Saya sediakan waktu khusus ok kebetulan saya juga memberikan mata kuliah itu. Saya sapa dengan ramah ok saya pikir dia baru saja konsultasi sama saya. Anehnya dia seolah nggak kenal sama sekali. "Anda siapa ya? Kenal saya di mana?" jawabannya mengejutkan. Agak tersipu saya ok pertemuan di muka umum. Anak anak saya pada bilang " Bapak sok akrab sih". Beberapa hari kemudian, sekretaris saya memberitahu kalau Mr. Y yang dulu konsultasi barusan lulus pendidikan spesialisnya. Cepat benar berubah, hanya beberapa minggu ganti predikat sudah seolah "lupa". Begitu berbeda sewaktu dia datang minta konsultasi.

Kelupaan memang kadang datang menghinggapi tanpa kita sadari. Tak selamanya kita akan ingat siapa siapa yang pernah kita jumpai sebelumnya. Ini alamiah belaka. Saya juga sering kelupaan. Terutama mereka yang sudah lama nggak ketemu. Biasanya sikap kita menjadi agak kikuk jika tak bisa mengingat siapa yang menyapa kita. Rasanya malu karena kita kehilangan daya ingat. Juga ada rasa bersalah seolah kita menganggap remeh orang yang sebenarnya kenal sama kita. Kadang untuk menutup rasa kikuk kita berusaha mengalihkan pokok bicara seolah kita kenal betul. Dua tahun lalu dalam sebuah negosiasi antar negara, salah seorang pimpinan delegasi dari Butan menyapa dengan ramah " Ki how are you. Long time no see". Saya agak terkejut, sama sekali lupa siapa dia dan saya belum tahu kalau dia ketua delegasi dari Butan. Mencoba menutupu rasa kikuk saya menjawab sekenanya " Yes the last time we met, a few years ago in Delhi". Lebih terkejut lagi sewaktu dia menjawab spontan " Ki, we are getting old. We met in Yogya, 15 years ago. I am Sonam from Bhutan".

Baru sadar saya dia adalah kenalan lama yang datang ke Yogya 15 tahun lalu. Jelas saya masih ingat benar. Saya selalu menyampaikan salam lewat kolega2 juniornya jika ketemu dalam forum internasional. Lima belas tahun berlalu, banyak perubahan baik fisik maupun profesi. Lima belas tahun lalu, dia masih muda, sangat tampan seperti aktor Bollywood. Sekarang dengan cambang lebat, muka berwibawa, dia menjadi menteri di pemerintahannya. "I must apologize for not recognizing you. You look great, my friend". Saya terang terangan minta maaf. Model cambangnya banyak merubah konstelasi roman mukanya. Cambangnya sangat bagus, seperti cambang Burisrawa gandrung dalam cerita wayang orang.

Selain kelupaan yang bersifat alamiah fisiologis, banyak kebiasaan kelupaan atau pura pura lupa karena faktor jabatan dan martabat. Kadang orang lupa karena jabatan baru yang dipegangnya, atau karena kekayaan yang diraihnya. Tidak otomatis sebagai syarat untuk kenaikan pangkat. Tak semua orang akan berperilaku demikian. Hanya yang saya pengin tahu secara kualitatif, bagaimana rasa dibalik pura pura lupa tidak kenal itu ya? Jika kita kebetulan lupa sama orang yang pernah kita kenal yang menyapa kita, rasanya kok kikuk dan merasa bersalah. Tetapi bagaimana rasanya mereka yang pura pura tidak kenal teman karena jabatan barunya. Nggak tahulah. Tak bisa saya menjelaskannya. Hanya pesan singkat "Aja kagetan. Aja gumunan. Aja dumeh".

Salam aja dumeh
Ki Ageng Similikithi

http://community.kompas.com/read/artikel/1926

Saturday, December 13, 2008

Nunggak semi


Mas Parto begitu gundah ketika isterinya memberi tahu bahwa anak lelaki satu satunya, Supardi kok ikut main band di sekolah. Nama lengkapnya Suparto, pekerjaannya sejak muda jadi sopir. Sopir bis jarak jauh, Wonogiri Lampung. Profesi ini sudah digeluti lebih dari dua puluh lima tahun. Sejak dia belum kawin. Dia meneruskan profesi orang tuanya almarhum yang juga sopir, supir truk gandeng. Bagi Mas Parto menjadi sopir bis bukan sekedar mata pencaharian. Tetapi profesi yang sangat dibanggakannya. Mendapat kepercayaan umum, mengantar orang yang bepergian ke tujuan dengan aman dan selamat. Juga ada kepercayaan diri yang besar, merasa menjadi raja di jalan. Bisnya besar keren, warna merah kuning sangat meriah. Lain dengan sopir truk, profesinya sering terkait dengan warung remang remang sepanjang jalan. Menjadi sopir bis sudah merupakan loncatan profesi antar generasi dibanding dengan ayahnya yang hanya sopir truk gandeng, yang kalau naik tanjakan sering mesinnya ngos ngosan setengah mati. Dia mencoba memendam rasa gundah. Memang pembawaannya agak pendiam. Sopir bis jarak jauh pantang cengengesan seperti sopir truk atau angkot. Namun dia tambah rusuh ketika mendengar Supardi mau mewakili sekolah dalam perlombaan band sekotamadya. Edan. Ini bukan main main lagi. Harus ada tindakan. Memang sejak dua tahun ini anaknya, Supardi selalu tekun belajar musik dan ikut main band. Dulu sih mulanya hanya sering membantu angkut angkut kalau orkes keroncong di kampungnya naik panggung.

Singkat cerita band sekolah Supardi dapat juara satu. Supardi jadi bintang karena dia pemain melodi. Kadang ikut nyanyi. Dalam acara final pak walikota ikut menyaksikan. Bahkan ikut foto dengan band sekolah Supardi ketika mereka menang. Begitu gembira Supardi cepat cepat pulang memberi tahu bapak ibunya. Ini peristiwa istimewa. Bayangannya dia akan bisa rekaman. Namanya nanti tenar masuk TV entah KISS, entah Kasak Kusuk, apalah. Yang ptning nggak masuk berita kriminal Waspadalah. Bahkan dia pikir nama Supardi nggak begitu afdol sebagai pemain band masa kini. Dia akan ganti dengan nama baru Sarminto Tahalele. Keren boo. Dengan riang dia lapor bapaknya kalau barusan menang perlombaan band. Berapi api dia ceritakan kalau dia akan menekuni musik supaya tenar bisa masuk TV. Juga minta ijin dan doa restu mengganti nama nantinya jadi Tahalele. Mas Parto geram mendengar cerita anaknya dan membentak keras. "Main band negklekmu bejat. Kita ini turun temurun profesinya sopir. Mbahmu sopir truk. Aku sopir bis. Tak bisa kau melanggar garis profesi keluarga. Junjunglah martabat keluarga. Nunggak semi. Apa lagi ganti nama, laknat itu. Bukan jamannya lagi". Supardi lemas dan kecewa berat. Tak menyangka jika ayahnya tak akan menyetujui pikirannya. Namun tak berani dia membantah. Tak mampu dia membayangkan jadi sopir ketika angan angannya terbang dirubung fans gadis gadis cantik, foto foto, diwawancarai TV. Oooh sopir paling paling bisanya cubit cubitan sama penumpang genit. Gengsi.

Cerita diatas sekedar ilustrasi betapa orang tua banyak yang mendambakan anaknya nunggak semi profesi orang tua. Kalau bapaknya jadi Gubernur, anaknya ya jadi gubernur. Bapaknya jadi anggota DPR, anaknya ya harus jadi anggota DPR. Bapaknya Presiden, anaknya minimal harus jadi Wapres. Bapaknya Kabag (Kepala Bagian), anaknya harus jadi Kabid ( Kepala Bidang). Banyak contoh. Bahkan kadang dengan segala cara. "Dengan segala cara" ini yang sering merugikan. Bukan cuma sang anak, tetapi juga masyarakat umum. Orang tua memang selalu harus mendorong anak punya masa depan gemilang, tetapi tak harus selalu dengan nunggak semi. Biarlah nunggak semi itu berjalan alamiah seperti pohon sonokeling yang rimbun. Nggak perlu dipaksakan, apa lagi dengan segala cara

Friday, December 5, 2008

Kampus pedesaan masuk urutan dunia


Sewaktu membaca publikasi survei "The Times Higher Education – World Universities Rankings", saya terkesima bangga. Untuk bidang biologi dan kedokteran, Universitas Gadjah Mada menduduki urutan ke 106 di dunia. Bahkan di tahun 2006, pernah menduduki peringkat ke 72. Untuk tahun 2008 yang masuk peringkat dibawah seratus dari Asia tidak banyak, hanya beberapa universitas ternama di China, Jepang, Korea, India, dan Singapura.

Dapat peringkat 106 dunia tetap merupakan urutan terhormat. Apalagi dalam suasana krisis berkepanjangan seperti saat ini, masyarakat global masih menganggap UGM sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bisa dipercaya, bidang kedoteran dan biologi. Apalagi jika diingat sejarah berdirinya pendidikan tinggi kedokteran & biologi di Universitas Gadjah Mada, kita bisa berbangga dengan pencapaian ini. Enam puluh tahun lebih sesudah dirintis dan didirikan oleh Prof. Dr. Sardjito. Mulai dengan Perguruan Tinggi Kedokteran Klaten. Sebearnya bukan di Klatennya. Tetapi di salah satu desa di selatan kota Klaten, dimana laboratorium Mikrobiologinya menyumbang produksi vaksin untuk Republik semasa di blockade Belanda. Karya karya penelitian bidang mikrobiologi Prof. Dr. Sardjito dikenal dalam dunia internasional waktu itu.

Mereka yang pernah mengalami pendidikan di tahun tahun awal perkembangan, tak bisa membayangkan kalau nantinya lembaga pendidikan tinggi kedokteran ini akan masuk dalam urutan dunia. Sarana pendidikan dan penelitian begitu sederhana. Di tahun tujuh puluhan tempatnya masih nebeng di kompleks Mangkubumen. Sedikit demi sedikit pindah ke Sekip, Bulaksumur di akhir tujuh puluhan. Saya hanya bisa terharu membayangkan bagaimana lembaga pendidikan dengan sarana yang begitu sederhana bisa berkembang masuk dalam urutan dunia. Saya masih ingat di akhir tahun tujuh puluhan, sewaktu mengirim salah satu naskah penelitian di majalah Tropical and Geographical Medicines di negeri Belanda, di dalam surat balasan redaksi ada tulisan tangan, sebagian dengan kata kata Indonesia campur Jawa, yang mengatakan senang sekali menerima naskah dari Gadjah Mada. Beliau adalah Prof. Dr. Kloke, alumnus UGM, disertasi doktor tahun 1950 (?) di Yogya dengan penelitian mengenai frambusia di Tjawas (Klaten?).

Hanya rasa haru dan bangga yang saya rasakan sesaat membaca publikasi Times tadi. Sepuluh tahun lalu ketika meninggalkan kampus, ada rasa kecewa dalam hati. Enam belas tahun tidak pernah naik pangkat. Namun kekecewaan itu hanya berlangsung sesaat. Rasanya apa yang saya lakukan semasa jadi tenaga pengajar di sana selama 23 tahun tak bisa dibandingkan dengan jasa dan kerja keras para perintis lembaga pendidikan kedokteran ini di masa lalu. Saya juga berbangga bisa ikut menyumbangkan Pusat Studi Farmakologi Klinik di sana jadi WHO Collaborating Centre dan masuk dunia global waktu itu.

Sewaktu ketemu di Yogya bulan lalu dengan dekan Fakultas Kedokteran, Prof Dr. Hardyanto, kami bicara2 singkat tentang kemajuan2 di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Salam dan selamat untu para pimpinan, pengajar, alumni dan mahasiswa.

Saturday, November 22, 2008

John Travolta (Grease, 1978)


John Travolta adalah lambang budaya kotemporer antara tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan. Kharismanya dalam dunia musik dan film menggema di kalangan anak muda di seantero jagad. Saya tak banyak mengikuti gegap gempita musik John Travolta waktu itu. Hanya suatu saat di tahun 1977, dalam acara TV, Bambang Gentholet dari grup Srimulat bergaya seperti John Travolta. Ditanya lawan mainnya waktu itu "Bagaimana kabar di luar negeri mas John Travolta?". Jawabannya kocak " Wah kabarnya rame. Rame rame potong padi". Sesudah itu tak banyak terpapar dengan musik atau film film John Travolta. Terlalu "agitating" buat saya yang menggemari musik musik lembut.
Dua minggu lalu ada kejutan tak terduga. Terkena undian mewakili Divisi kami untuk ikut dalam perlombaan video klip dengan tema musik tahun tujuh puluhan. Dalam rangka acara tutup tahun. Saya harus memperagakan, gaya dan tarian John Travolta dalam film Grease, bersama Olivia Newton Jone. Edan kalau suruh yang lain seperti Rock n Roll, masih lumayan paham. Boss saya dapat pilihan Saturday Night Fever. Dia menunjukkan kualitasnya generasi muda tahun tujuh puluhan. Saya terpaksa harus melihat videonya berulang kali.

Pasangan main kami memang ukuran besar pembom B29 and B25. Saya beratnya 90 kg, dia beratnya hampir 70 kg. Rambut putih saya harus di spray supaya bisa berdiri kaku. Pakai jaket kulit dengan kerah berdiri. Hanya berlangsung beberapa menit. Saya mulai dengan teriak "Sandy". Nggak hapal terusnya. Termasuk copot jaket, putar putar sebentar lalu dilempar ke udara. Kemudian bersama Olivia B25, memperagakan gerakan gerakan pasangan John Travolta dan Olivia Newton Jone asli.
Entah ini perlombaan yang ke berapa kalinya. Beberapa tahun lalu saya sempat ikut menari Asereje. Pertandingan antar delegasi dalam pertemuan antar Menteri Kesehatan di Asia Pasifik Barat. Gegap gempita. Lumayan menang. Setelah tak banyak ikut acara acara ginian, kecuali ball room pribadi. Sayang staf muda kebanyakan nggak berminat acara acara beginian. Orang2 yang menjelang pension seperti saya pun masih harus ikut berlomba. Sekedar ikut meramaikan. Tut Wuri Handayani bo.

Semalam sama NYI nonton pergelaran musik ABBA. Sebagian besar penonton umur setengah baya. Selama pertunjukan mereka semuanya terbawa asyik menari bersama musik ABBA. Termasuk NYI. Saya hanya diam terpukau dengan lagu2nya yang dinamis dan mengentak. The Dancing Queen, Fernando, Super Trouper, Mama Mia dll. Suasana begitu tertib, asyik dan enak dinikmati. Agak beda dengan suasana nonton bioskop di gedung bioskop Garuda atau Madjoe di Ambarawa tahun enampuluhan. Saya mesti sangu oncor dari batang bambu waktu itu. Selain untuk obor kalau pulang, juga untuk alat pertahanan diri jika rebutan kursi, walau karcisnya telah ada nomer kursi masing masing. Jika lampu mulai mati waktu itu (pertanda film akan mulai), riuh sorak sorai penonton, suit suit. Kadang ada yang nglempar sarung ke udara. Terutama penonton di kelas 3 yang selalu riuh. Makanya kelas ini sering dikatakan kelas kambing, karena sepanjang pertunjukan film selalu ramai bersuara.

Musik dan gerakan tari adalah irama jiwa. Sekedar ingin lepas dari beban masalah sehari hari. Irama jiwa mejelang perjalanan menuju ke ufuk Barat.
Ki Ageng Similikithi