Seorang teman maya, penggemar Kolom
Kita Kompas di Kanada, Nita Lau, mengirim pesan ke saya untuk menulis kisah
perburuan calon istri dulu. Katanya, siapa tahu bisa jadi inspirasi cowok yang
masih single. Yang akan saya ceritakan ini kisah konyol. Malah jangan sampai di
tiru. Salam untuk Nita sekeluarga. Seperti saya, dia alumni dari SMA St. Josef
Solo.
Saya menulis kisah ini sesudah
cerita ke isteri saya. Ada berapa bagian yang belum pernah saya ceritakan.
Sebenarnya saya tidak akan pernah cerita ke siapa pun kisah ini. Tetapi 33
tahun telah berlalu. Rahasia negara pun boleh dibuka sesudah tiga puluh tahun.
Mengapa rahasia pribadi ini harus ditutup sepanjang jaman ?
Sesudah lulus dokter muda, sering
disebut ko-asisten, biasanya yang belum punya pacar (tetap) berusaha keras
untuk memperoleh pasangan untuk terus ke jenjang perkawinan. Perburuan di
mulai. Jika tidak, tugas ke daerah terpencil nanti, belum kawin bisa susah.
Suatu siang di RS Mangkuwilayan, teman
teman ko-as sudah pada mau pulang. Saya masih duduk di poliklinik sendirian.
Ada pasien terakhir yang belum dilayani karena baru saja datang. Sewaktu suster
memberi tahu saya bersedia melayani. Pasien seorang wanita muda, nampak pendiam
dengan wajah melankolis.
Saya masih ingat benar, dia
mengenakan celana jin warna abu abu dan T shirt biru tua. Dalam tanya jawab,
dia ternyata mahasiswi tingkat akhir di salah satu fakulas dari universitas
terbesar di kota Yogya. “Nama saya Santi (samaran), sedang mempersiapkan
skripsi”. Pemeriksaan berjalan seperti biasa. Resep diberikan sesuai dengan
obat yang diperlukan. Penjelasan diberikan secara tuntas sesuai prosedur. Di
akhir konsultasi saya bilang, jangan terlalu khawatir, tak ada tanda yang
serius. Kekhawatiran di wajahnya yang sendu, nggak sebanding dengan gejala
ringan yang diderita. Hanya alergi.
Sebelum meninggalkan ruang dia
bilang, “ Saya senang beberapa tulisanmu”. Agak kaget, tulisan saya di majalah
mahasiswa atau di koran setempat tak istimewa. Menulis selain hobi juga untuk
menutup kebutuhan hidup. Sempat ngobrol sebentar di ruang tunggu. Obrolan
ringan, terutama mengenai penelitian akhirnya. Tidak menyinggung private life.
Dia berasal dari Semarang . Mulanya biasa saja. Berjalan fajar fajar saja. Kesan
singkat, a smart girl. Cantik dan kalem. Kalimat kalimatnya keluar penuh
pertimbangan. Bukan tipe persistent talker.
Kami berjalan bersama keluar halaman
rumah sakit ok memang waktunya pulang. Sebelum pisah dia bilang “Kapan kapan
main ke rumah ya “. Dia indekost di dekat kampus di Terban. Dia pulang naik
becak. Jam menunjukkan lebih pukul dua siang. Saya naik sepeda tua, ke arah
Patangpuluhan. Hari itu hari Sabtu.
Hari Minggu acara rutin cuci
pakaian, sambil malas malasan di rumah kost. Seringkali, pak Slamet (almarhum),
pemilik kost, pensiunan dari departemen Pekerjaan Umum banyak cerita. Beliau
sudah usia lanjut. Ceritanya sama dari waktu ke waktu, tentang saat beliau
membangun jalan raya di Dieng di jaman Belanda. “ Ini jalan yang kemiringannya
paling terjal di Indonesia , nak “.
Sudah puluhan kali saya
mendengarnya. . Beliau tak lupa selalu menirukan bunyi dinamit “ Bluueeeeeng”,
sewaktu menghancurkan batu batu besar. Sialnya sebelum dia sampai ke bunyi
dinamit tersebut, selalu ada saja kawan kost dari dalam kamar yang mendahului
teriak “bluueeeeeng”. Lho kok sudah tahu ya ? Kalau begini saya nggak bisa
menahan tawa terpingkal pingkal. Nampak tak sopan di hadapan orang setua
beliau.
Hari Seninnya saya masih tugas di
poliklinik. Siang itu Santi datang lagi untuk kontrol. Keluhan dan gejalanya
sudah hampir hilang. Dia menunggu sampai jam poliklinik berakhir. Kami ngobrol
ringan kembali. Mulai terasa akrab walau dia nggak banyak ceritanya. Beberapa
teman mulai bertanya tanya, siapa dia. Siang itu kami sempat makan bakso di
warung di daerah situ. Biasa saja. Dia pulang naik becak lewat alun alun
Selatan. Dia bilang ‘’Silahkan main ke tempat saya kapan kapan “. Saya pulang
naik sepeda lewat Pugeran. Main ke tempat teman putri yang baru kenal, saya
ragu ragu. Tak ada minat PDKT (pendekatan). Platonis saja.
Hari Rabu sore teman dekat saya
datang ke kost. Dia seorang tokoh kampus. Sedang menjalani praktek klinik di
bagian lain, ngajak jalan jalan. Achdiat
Agoes namanya tetapi jangan disebarkan demi stabilitas. Tiba tiba saja
timbul hasrat mengunjungi Santi. Saya jelaskan secara singkat, ada kenalan
baru, kenal di poliklinik, dia sedang penelitian skripsi. Waktu itu tak mungkin
membuat janji, nggak ada tilpun, apa lagi cell phone.
Kami boncengan skuter, ke tempat
kost kenalan baru, Santi, di Terban. Perasaan biasa biasa saja. Saya ingat
pakai baju putih kesayangan saya. Tak lupa pakai scarf warna lembut di balik
baju. Sejak lulus SMA saya nggak pernah pakai baju kaos. Hanya kadang2 kalau
keluar malam pakai scarf di bawah baju. Tak sukar menemukan alamat tempat
kostnya.
Ada penghuni putri yang menemui kami
dan memanggilkan Santi di kamar. Agak terkejut Santi melihat kami. Saya
kenalkan teman saya dan kami bercakap cakap ringan. Biasa saja. Dia cerita
tentang studinya, tentang penelitiannya. Saya tak banyak bicara, mendengar
dengan setia. Kira kira dua puluh menit berlalu, tiba tiba gadis tadi datang
berbisik ke Santi. Wajah Santi berubah sejenak. Dia pamit ke belakang sebentar.
Kami berdua menunggu di kamar tamu.
Beberapa saat kemudian gadis tadi kembali menemui kami, “Mbak Santi tadi
pergi”. Kami berdua kaget sekali. Gadis itu mencoba mencairkan suasana dan
mencoba ngobrol. Ini sudah tidak biasa. Kami berdua pulang dengan pertanyaan
besar. Saya minta maaf ke teman saya. Dia hanya bilang “ Never ever tell this
to any body”. Dia mahasiswa idola di kampus. Jika sampai bocor harga diri dan
kredibilitasnya dipertaruhkan karena kekeliruan saya. Dia mungkin membaca
tulisan ini. Saya minta maaf telah membocorkan cerita ini. Sudah lewat tiga
puluh tahun.
Malam itu saya nggak bisa tidur.
Merasa benar benar tolol. Esoknya saya tugas di poliklinik seperti biasa. Lebih
banyak diam, nggak bisa lupa peristiwa semalam. Apa dosa dan salah saya
mendapat perlakuan seperti itu ? Menjelang poliklinik tutup, saya diberi tahu
suster ada tamu yang ingin ketemu.. ‘’Pasien yang kemarin dulu itu lho”.
Hati saya nggak karuan, harus
bersikap bagaimana. Saya menemui Santi di ruang tunggu. “Saya minta maaf sekali
kejadian semalam. Pacar saya datang dan langsung mengajak saya pergi”. Saya
masih terluka. Itu bukan masalah biasa. Saya menjawab dingin “ Tidak apa,
lupakan semuanya ”. Kami lebih banyak diam. Saya melihat matanya berkaca. Dia
tak banyak bicara, hanya minta maaf itu saja.
Timbul rasa kasihan dia menangis.
Mencoba bersikap gentleman, ‘’Biarlah semuanya telah lewat. Kita lupakan baik
baik”. Ada dokter senior yang lewat saat kami bicara. Kemudian kami pulang.
Kami berjalan bersama lewat alun alun selatan. Dia naik becak ke utara. Kami
mencoba menormalkan situasi. Ngobrol seolah tak pernah terjadi apa apa. Malam
itu saya bisa tenang. It is not my fault. Merasa ringan ok tak merasa dendam
kepadanya. Hanya ke teman Achdiat
Agoes, saya merasa bersalah besar.
Paginya saya tugas seperti biasa.
Sebelum pulang, dokter senior yang kemarin melihat saya dan Santi bicara,
datang menemui saya. Dengan tegas dia bicara “ Mas jangan sekali sekali
mempermainkan wanita di sini ya. Sangsinya bisa berat “. Saya tak sempat
menjelaskan, dia sudah pergi. Tak ada yang perlu saya jelaskan. Saya tak merasa
mempermainkan siapapun. Saya merasa yang terpermainkan, tetapi defenceless and
voiceless. Tak ada yang bisa saya lakukan.
Beberapa hari kemudian saya menerima surat dari Santi. Dia minta maaf akan peristiwa itu dan cerita lebih banyak tentang dia. Ceritanya lebih substantif. Kami sempat bertukar beberapa surat. Sewaktu saya bertugas di Gunung Kidul, dia minta saya menulis ke dia, tentang alam, tentang keindahan dan kehidupan. Saya kirim beberapa puisi tentang bukit bukit karang yang teguh, tentang air Kali Oya yang mengalir jernih di sela sela bukit. Tentang keheningan ditengah hutan Eucalyptus. Hanya surat biasa. Platonis meski penuh rasa. Salah satu suratnya masih ingat kalimatnya, ‘....ceritamu tentang keindahan semata, kekasihmu pasti sangat bahagia membacanya cerita2mu...”
Saya kemudian bertemu calon isteri
saya sekarang di bis Mustika dalam perjalanan dari Ambarawa ke Yogya. Dia
barusan pulang dri Pekalongan. Tak pelu perburuan itu. Jodoh tak perlu diburu.
Kami hanya berjalan menuruti perjalanan waktu.
Salam semuanya.
Ki Ageng Similikithi
(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber
Community, 16 Mei 2007)
https://www.facebook.com/notes/santoso-budiono/perburuan-yang-tidak-perlu/10155281837803467/
https://www.facebook.com/notes/santoso-budiono/perburuan-yang-tidak-perlu/10155281837803467/