Ingatan samar samar. Masa masa awal menempuh pendidikan SMA di Solo,
di tahun 1965. Beberapa bulan tinggal di rumah pondokan di Sambeng. Ibu
kost seorang ibu setengah umur yang baik hati, bu Dasuki. Sebagian
besar teman kost berasal dari Jawa Timur, Sragen, Ponorogo, Walikukun,
Madiun, Kediri dan lain lainnya. Salah satu bernama Ping Kiat, satu
tahun diatas saya, duduk di kelas dua SMA Warga. Jika tidak salah dia
berasal dari Sragen.
Sore hari biasanya waktu yang mengasyikkan.
Habis mandi jika tidak ada acara keluar, selalu duduk duduk di ruang
depan sambil mendengarkan radio. Belum umum televisi waktu itu. Acara
radio yang paling menarik adalah pilihan pendengar dari RRI Surakarta
dan radio Australia. Ping Kiat anak yang ceria, seperti tidak pernah
mengenal kesedihan. Baginya tidak ada satu masalah yang membebani, semua
dianggap ringan. Suka bercerita dan banyak bicara. Ada dua mahasiswa
yang kost disana, keduanya kuliah di UBK (Universitas Bung Karno). Ping
Kiat selalu dominan dalam debat. Tidak ada satupun teman kost yang bisa
berdebat dengannya, termasuk ke dua mahasiswa tadi.
Hanya
beberapa bulan tinggal di tempat kost di Sambeng, saya kemudian pindah
bergabung dengan kakak di Badran Kota Barat. Tetapi saya masih rutin
main ke tempat pondokan di Sambeng. Tetangga di sebelah Timur rumah
pondokan itu, keluarga dengan beberapa anak putri. Hanya satu yang saya
kenal yakni mbak Sri Sutarni. Sekarang beliau menjadi dosen di FK UGM,
ahli syaraf. Di sebelah Barat, di seberang jalan, ada rumah besar
dimana guru stenografi, pak Bustami, juga mondok. Dia sebenarnya masih
duduk di bangku kuliah di UBK. Dia suka mendikte, dan kami harus
menulis cepat dengan huruf steno. Masih teringat jelas yang dia diktekan
di suatu siang. “ Ada desas desus. Tusuk satai itu. Arifin makan sayur
tahu. Guru kami namanya pak Bustami”. Tiba tiba Diono, teman di belakang
bangku saya menggumam meneruskan kalimat pak Bustami, “ Bustami
gathel”. Pak Bustami langsung teriak “ Apa? Kamu nantang ya? Keluar
kamu”. Diono keluar kelas menunggu sampai jam pelajaran selesai. Gathel
memang bukan kata yang baik, umpatan negatip model Solo terhadap
pernyataan seseorang.
Suatu petang ketika saya main ke tempat
pondokan, Ping Kiat masih duduk di ruang depan. Dengan bu Dasuki. Teman
teman lain berada di kamar masing masing. Suasana tidak seceria
biasanya. Bu Dasuki tanya “ Baru genting, kok malam malam masih kluyuran
nak Bud ?”. Ping Kiat langsung bilang, sebaiknya jangan keluar malam,
bahaya, kondisi baru gawat. Memang Solo masih genting waktu itu. Setelah
peristiwa Gestapu yang menggemparkan itu. Banyak culik menculik. Saya
sebenarnya tidak keluar main. Tetapi harus menjemput kakak nanti jam
830 di Apotek Medika, dekat stasiun Balapan. Berangkat dari rumah lebih
awal dan mampir di Sambeng, yang satu arah dengan stasiun Balapan. Ping
Kiat tidak banyak bicara, tetapi bilang kalau mulai minggu besok harus
ikut latihan militer Kojarsena, Korps Pelajar Serba Guna, di sekolahnya
SMA Warga.
Kojarsena adalah siswa siswi SMP dan SMA, yang
dilatih militer untuk membantu melawan gerakan komunis. Sebelumnya
Kojarsena, dibentuk dalam rangka gerakan ganyang Malaysia. Sekolah
saya, St. Josef sudah menyelesaikan latihan berat itu dua minggu
sebelumnya. Kami semua mengikuti latihan militer itu selama dua minggu.
Latihan berat, tidak hanya baris bebaris, benar benar latuhan militer,
di sekitar lapangan Manahan. Anak anak muda, semua antusias berlatih.
Kadang berlebihan. Komandan kompi sekolah kami, kebetulan ayahnya
seorang polisi lalu lintas. Dia selalu memakai seragam Kojarsena,
dengan sabuk dan wadah pistol dari kulit, dan topi polisi lalu lintas.
Ada teman lain yang memakai topi bekas kondekur kereta api warna merah,
karena ayahnya seorang kondektur sepur. Topi adalah simbol kegagahan dan
kejantanan.
Banyak pengalaman konyol selama latihan militer.
Salah seorang teman saat latihan penyusupan, harus merayap tiarap
menelusuri jalan di sebelah utara Manahan. Bolak balik diperingatkan
pelatih agar bersama teman satu regu di sisi kiri jalan. Tetapi dia
ambil enaknya merayap tiarap di atas rerumputan disebelah kanan jalan.
Kebetulan pakai baju merah. Suatu saat melewati segerombolan lembu yang
sedang merumput, salah satu lembu mengamuk menyerangnya. Bajunya habis
koyak di seruduk sapi. Dia teriak meraung menangis kesakitan. Untung
saya berada di dekatnya, saya berpengalaman menangani sapi sejak sekolah
dasar di Ambarawa. Sapi itu bisa ditenangkan, tidak mengejar teman yang
berbaju merah tadi. Untung hanya bajunya yang terkoyak.
Suatu
pagi kami satu regu diberi tugas mengamankan satu lokasi di kampung
sebelah utara Sambeng. Hanya diberi peta. Instruksi oleh pelatih jelas,
temukan lokasi dan amankan. Tunggu perintah lebih lanjut. Kami satu
regu, 13 orang berangkat dengan segala atribut, tongkat bamboo dan
berbagai dedaunan untuk penyamaran. Tidak sulit menemukan lokasi, rumah
reyot ditepi selokan, pinggir desa. Dengan serius kami mengepung lokasi
itu, dari pintu masuk depan dan belakang. Saya dan dua teman memasuki
halaman samping di pinggir selokan. Ada WC terbuka disana. Seorang pria
setengah umur sedang berak, menghamburkan isi perut, seperti rentetan
tembakan. Kami menunggu instruksi lebih lanjut. Kira kira 15 menit
stelling mengepung rumah reyot yang penghuninya baru berak besar
besaran, kami diinstruksikan untuk menarik pasukan mundur kembali ke
induk pasukan. Mission accomplished. Menonton orang sedang berak
berhamburan. Saya yakin dalam perang sesungguhnya apa sempat mengepung
orang sedang berak.
Suatu sore, beberapa hari sesudah saya
berkunjung ke Sambeng, saya mendengar berita mengejutkan di radio. Enam
siswa SMA Warga tewas dalam latihan kepemudaan. Tidak diberitakan lebih
lanjut. Seperti berita biasa. Esoknya di sekolah ramai dibicarakan, jika
ke enam siswa SMA Warga tersebut meninggal karena tenggelam di kali
Pepe, saat latihan Kojarsena. Belum jelas nama nama korban. Pulang
sekolah saya bermaksud mampir ke rumah pondokan di Sambeng. Hati saya
terguncang ketika diberitahu, Ping Kiat tewas di kali Pepe. Teman teman
masih terguncang. Ping Kiat yang ceria tidak lagi bersama diantara
mereka. Dalam latihan Ping Kiat bersama regunya diharuskan menyeberangi
kali Pepe, dia sudah sampai di seberang sebenanrnya. Tetapi dia balik
kembali ke sungai untuk menolong teman yang tidak kunjung muncul dan
mencapai seberang. Pelajar itu tersedot oleh pusaran air di belokan
sungai. Ada cerita bahwa rombongan itu telah diingatkan oleh penduduk
untuk tidak menyeberang di tempat itu. Tidak jelas mengapa pelatih
mengambil resiko.
Sorenya radio Australia memberitakan insiden
itu, termasuk bantahan dari petinggi militer bahwa tidak ada latihan
militer, yang ada adalah latihan ketangkasan pemuda. Batin saya, kalau
bukan latihan militer, lantas latihan apa ? Apakah latihan mengintip
orang berak di selokan ? Enam nyawa melayang sia sia, anak anak muda
yang masih punya cita cita panjang untuk masa depan. Tidak bisa
membayangkan kesedihan ayah dan ibu serta saudara saudara korban. Jika
dikatakan pengorbanan, pengorbanan sia sia. Mungkin malah jauh dari
pengorbanan, mereka menjadi korban permainan kekuasaan semata mata yang
menggunakan pelajar sekolah.
Hanya catatan kecil mengenang seorang teman. Semoga engka damai dan bahagisa di alam sana.
Salam damai,
Ki Ageng Similikithi
https://www.facebook.com/notes/santoso-budiono/pengorbanan-sia-sia/10153444549083467?pnref=lhc
Saturday, October 3, 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment