Namanya Benediktus. Teman akrab sejak sekolah menengah atas. Dia
masuk SMA St. Josef di kelas dua, di tahun 1966, jurusan Ilmu
Pengetahuan Alam, pindahan dari SMA Negeri Sragen. Tutur katanya sangat
halus dan sopan. Kami menjadi akrab sejak itu. Dia harus banyak mengejar
pelajaran matematika, fisika, pengetahuan alam dan stereomometri waktu
pindah ke sekolah kami di Solo. Dalam diskusi tentang mata pelajaran
ini, saya berkesimpulan dia sangat teliti, ingin mengetahui sampai
detail mengenai segala sesuatu. Bertentangan dengan kebiasaan saya, get
the job done and mission accomplished. Di kelas tiga, dia menerima surat
mesra dari seseorang di Sragen, mungkin teman sekelasnya dulu. Kami
tukar pendapat mengenai masalah pribadi ini. Saya menerima surat mesra
pertama kali di kelas 3 SMP tiga tahun sebelumnya di Ambarawa. Ben teman
yang baik hati, tidak suka berhura hura seperti kelompok kami di kelas
satu SMA dulu. Sikapnya selalu correct dan cenderung perfeksionis.
Persahabatan yang mengasyikkan, bagaikan kepompong mengubah ulat menjadi
kupu. Kami bersama berkembang dalam lingkungan pendidikan yang sama,
sangat disiplin, mandiri, kompetitif dan dididik untuk penuh toleransi
dan berkompetisi mengejar mimpi.
Di kelas dua dan tiga,
kami sekelas, sering belajar bersama. Kadang dia punya kelompok teman
yang lain, kadang dengan saya. Demikian juga saya, kadang sekelompok
dengan Ben, kadang sekelompok dengan teman yang lain. Dua tahun berjalan
sampai ujian akhir SMA. Kami sama sama lulus dengan nilai papan atas.
Saya memperoleh nila rata rata 8.8 lebih sedikit, dan menduduki urutan
kedua di seluruh Surakarta untuk jurusan Ilmu Pengetahuan Alam,
sedangkan teman belajar sekelompok dari SMA Warga, namanya Hwie Swan
memperoleh nilai rata rata 8.8, menduduki urutan ke tiga. Ben jika tidak
keliru memperolah nilai rata rata 8.6. Urutan pertama diduduki oleh
murid SMA 1 Margoyudan, namanya Muhamad Munawar, dengan rata rata 9.2.
Beberapa bulan kemudian saya bertemu Munawar di Yogya, belajar bersama
di Fakultas Kedokteran UGM.
Di akhir tahun 68,
saya melihat pengumuman ujian bersama dengan Benediktus. Ketika kami dan
teman teman saling bersalaman sambil bercanda ria, Benediktus ikut
menyalami dengan serius. Masih ingat kata katanya yang teramat dalam dan
membekas “ Pacuan belum berakahir”. Kata kata ini begitu membekas di
hati saya. Bukan karena apa, tetapi teringat kata kata yang diucapkan
oleh Messala sebelum meninggal sesudah kalah balapan kuda dengan Judah
Ben Hur dalam film Ben Hur. The race is not over. Ben Hur berdiri dengan
gagah dengan baju biru yang indah di tengah lapangan. Di tahun enam
puluhan dan tujuh puluhan warna biru Ben Hur begitu populer, merasuki
inspirasi banyak anak muda untuk berpacu. Berpacu dalam perjalanan
karier. Tidak semua orang bisa berpacu naik kuda. Saya sejak kelas 3
Sekolah Rakyat, sangat terbiasa naik kuda. Tetapi tidak pernah
terbayangkan berpacu antara hidup dan mati seperti dalam film, antara
Ben Hur dan Messala.
Meski agak kaget dengan
ucapan selamat Benediktus tadi, tetapi tidak mengurangi kegembiraan
kami. Kami berdua boncengan sepeda keliling kota di Solo Utara, melewati
kali Pepe sampai ke timur, Jebres kemudian sampai ke tepi Bengawan
Solo. Agak siang kami kembali ke daerah Manahan. Makan bakmi di salah
satu warung di pinggir jalan yang sepi dan rindang di sekitar Manahan.
Seolah kami ingin menghabiskan masa masa terakhir di Solo. Solo yang
indah akan segera kami tinggalkan. Kami berbincang sampai menjelang
sore. Sepakat bersama akan mendaftar di UGM, ITB dan UNDIP. Ujian masuk
di Yogya, kami berangkat sendiri sendiri, Ben punya saudara di Baciro
dan saya tinggal ditempat sepupu di Malioboro. Beberapa minggu kemudian
kami selalu bersama, menjalani ujian masuk di UNDIP dan ITB.
Kami
berdua diterima di semua universitas yang kami pilih, FKUGM, FK UNDIP
dan ITB. Saya juga diterima di IPB. Saya tidak tahu persis apakah Ben,
selain ketiga universitas tadi juga mendaftar di tempat lain. Samar
samar saya ingat dia pernah bilang akan test di Jakarta, FKUI. Akhirnya
kami dengan Benediktus, sama sama masuk di Ngasem, FK UGM. Masih ingat
sewaktu dia datang di Ngasem untuk pendaftaran, dia memakai baju
Kojarsena. Saya tidak punya kesan positip akan baju ini, tidak pernah
saya pakai. Ada kenangan menyedihkan melihat seragam itu. Teman satu
kost di Solo, Ping Kiat, meninggal saat latihan militer dengan seragam
itu di tahun 65. Baju seragam itu hanya mengingatkan kesedihan saja.
Seragam Kojarsena, Korps Pelajar Serba Guna, bukan seragam Pramuka,
tetapi seragam pelajar yang telah mendapat latihan militer waktu itu.
Kami
berdua menjalani pendidikan dokter di kompleks Ngasem seperti halnya
teman teman yang lain. Hubungan perahabatan dengan Ben tetap akrab.
Biasanya kami bicara masalah masalah pribadi. Bukan hanya pelajaran.
Benediktus pernah mengantar saya mengajak Endang, teman manis sekelas
yang sedang dalam pendekatan. Nonton sekaten di alun alun utara bertiga
naik becak. Sayang dalam perjalanan pulang becak kebalik masuk selokan
di Mangkuwilayan. Benediktus selalu dekat menemani saat saya
menghadapi masalah berat, seperti mengajak Endang keluar nonton sekaten
malam itu.
Tidak banyak kisah selama menjalani pendidikan dokter.
Kami tidak dalam satu kelompok meski tetap bersahabat dekat. Waktu ko
skap di klinik, siklus kami juga berbeda.
Yang saya kagumi dari
Ben, adalah kemampuannya menahan emosi, dan melancarkan serangan balik
secara tepat dan jitu. Saat ko skap dia cerita jika salah satu teman
senior satu kost dulu, seorang lulusan ekonomi, mencoba mendekati calon
pacar yang sedang didekati Ben dan menebar berita buruk tentang Ben. Dia
akan menemui teman itu, pria asal Ponorogo. Saya menemani Ben datang ke
rumah kostnya. Sore sore kami datang ke tempat pria tadi, lupa namanya.
Obrolan ringan biasa. Ketika Ben melihat diantara pot pot bunga di
ruang tamu ada satu bunga hiasan yang terbuat dari plastik, dia mulai
beranjak serius. Mas ini kok plastik ya?. Iya baru musim hiasan bunga
plastik dik. Ini serangan telaknya yang pertama. Ben berkata serius
dengan tenang luar biasa. Bunga plastik, sebegitu jauh manusia membuat
kepalsuan ya mas?. Pria itu wajahnya berkerut, mimiknya mulai berubah,
meski tidak menyahut sama sekali. Dan ketika Ben melihat ada patung
tanah liat, seekor macan menerkam macan lainnya dari belakang, dia
berlanjut. Kenapa makhluk bumi selalu senang menyerang dari belakang ya
mas?. Saya tidak ingin teman saya menusuk saya dari belakang dengan
kepalsuan. Terlalu banyak kepalsuan diantara kita. Tak ingat lagi
jawaban teman tadi, tetapi saya hanya lihat wajahnya memucat. Kami
pulang sebelum magrib, tak banyak bicara di jalan. Beberapa minggu
kemudian, seorang teman lulusan ekonomi dari Sragen, masih saudara sama
Ben, cerita kalau sesudah kunjungan itu teman tadi nggak doyan makan,
badan mriyang sampai dua minggu. Karena serangan balik yang dilancarkan
dengan sangat sopan. Saya tidak pernah mampu melakukan serangan balik
yang demikian tajam saat PDKT, selalu saja ketendang kalah KO di tengah
jalan dan terpermalukan tanpa ampun. Hanya bisa selamat karena semangat
patah tumbuh hilang berganti.
Sampai akhir
pendidikan setelah lulus dokter, saya mendengar jika Ben memperoleh
hadiah Kalbe Farma. Ingin mengucapkan selamat kepadanya. Tetapi saya
sudah sangat sibuk oleh karena tinggal dan praktek di Ambarawa. Ben juga
sudah praktek di luar kota Yogya. Sampai suatu pagi dia muncul di
kantor saya. Saya ingin mengucapkan selamat padanya mumpung ada
kesempatan. Di luar dugaan, dia tersenyum lebar dan bertanya. “ Wah kamu
kabarnya dapat hadiah Kalbe Farma?”. Saya tertegun sesaat. Tak saya
sadari saya bereaksi spontan. “Ah jangan nyindir, pacuan belum
berakhir”. The race is not over yet. Kata kata yang dia lontarkan dengan
canda saat lulus SMA, kira kira 6 tahun sebelumnya. Seperti kata kata
yang dilontarkan Messala di akhir pacuan melawan BenHur, dalam film,
begitu membekas dalam hati saya. Tak ada maksud apa apa. Semangat
berkompetisi itu tertanam dalam karena pendidikan di SMA dulu.
Perjalanan
karier kami berdua berkembang stabil. Dia menjadi dokter bedah vaskuler
yang sangat teliti, sesudah sebelumnya menjadi dokter forensik. Saya
mengagumi ketelitian, ketekunan dan sikap disiplinnya terhadap profesi.
Suatu saat ketika konsul membawa seorang famili ke Ben, dia bercerita
baru saja menyelamatkan seorang pasien yang sudah divonis di rumah sakit
pendidikan lain untuk diamputasi kedua kakinya karena penyumbatan
arteri. Sumbatan itu bisa diatasi melalui operasi vaskuler tanpa harus
amputasi. Sayang keberhasilan tersebut tidak dipublikasi. Dia pribadi
yang diam, tekun menjalankan profesi tanpa hiruk pikuk publikasi. Kami
sempat menulis bersama di salah satu majalah Asia, menenai kasus kasus
gangrene kaki karena gigitan ular di salah satu negara di Asia Tenggara.
Kata kata pacuan belum berakhir, tidak pernah ada dalam kamus
persahabatan kami. Kami tidak pernah merasa berpacu. Hanya refleksi
pesan pendidikan semata saat SMA, untuk selalu berpacu dan berkompetisi.
Kalau toh ada, pacuan itu sudah lama sekali berlalu, berpuluh tahun
lalu ketika kami lulus SMA. Di masa senja, biasanya kami bertemu meski
tidak sangat teratur. Sudah berbulan bulan tidak bertemu. Ingin ngobrol
kembali mengingat masa masa berpacu itu. Pacuan sudah lama sekali
berlalu. Hanya menunggu akhir perjalanan waktu.
Salam damai, salam persahabatan.
Ki Ageng Similikithi.
https://www.facebook.com/notes/santoso-budiono/pacuan-sudah-lama-berlalu/10153437518973467?pnref=lhc
Saturday, October 3, 2015
Pengorbanan sia sia
Ingatan samar samar. Masa masa awal menempuh pendidikan SMA di Solo,
di tahun 1965. Beberapa bulan tinggal di rumah pondokan di Sambeng. Ibu
kost seorang ibu setengah umur yang baik hati, bu Dasuki. Sebagian
besar teman kost berasal dari Jawa Timur, Sragen, Ponorogo, Walikukun,
Madiun, Kediri dan lain lainnya. Salah satu bernama Ping Kiat, satu
tahun diatas saya, duduk di kelas dua SMA Warga. Jika tidak salah dia
berasal dari Sragen.
Sore hari biasanya waktu yang mengasyikkan. Habis mandi jika tidak ada acara keluar, selalu duduk duduk di ruang depan sambil mendengarkan radio. Belum umum televisi waktu itu. Acara radio yang paling menarik adalah pilihan pendengar dari RRI Surakarta dan radio Australia. Ping Kiat anak yang ceria, seperti tidak pernah mengenal kesedihan. Baginya tidak ada satu masalah yang membebani, semua dianggap ringan. Suka bercerita dan banyak bicara. Ada dua mahasiswa yang kost disana, keduanya kuliah di UBK (Universitas Bung Karno). Ping Kiat selalu dominan dalam debat. Tidak ada satupun teman kost yang bisa berdebat dengannya, termasuk ke dua mahasiswa tadi.
Hanya beberapa bulan tinggal di tempat kost di Sambeng, saya kemudian pindah bergabung dengan kakak di Badran Kota Barat. Tetapi saya masih rutin main ke tempat pondokan di Sambeng. Tetangga di sebelah Timur rumah pondokan itu, keluarga dengan beberapa anak putri. Hanya satu yang saya kenal yakni mbak Sri Sutarni. Sekarang beliau menjadi dosen di FK UGM, ahli syaraf. Di sebelah Barat, di seberang jalan, ada rumah besar dimana guru stenografi, pak Bustami, juga mondok. Dia sebenarnya masih duduk di bangku kuliah di UBK. Dia suka mendikte, dan kami harus menulis cepat dengan huruf steno. Masih teringat jelas yang dia diktekan di suatu siang. “ Ada desas desus. Tusuk satai itu. Arifin makan sayur tahu. Guru kami namanya pak Bustami”. Tiba tiba Diono, teman di belakang bangku saya menggumam meneruskan kalimat pak Bustami, “ Bustami gathel”. Pak Bustami langsung teriak “ Apa? Kamu nantang ya? Keluar kamu”. Diono keluar kelas menunggu sampai jam pelajaran selesai. Gathel memang bukan kata yang baik, umpatan negatip model Solo terhadap pernyataan seseorang.
Suatu petang ketika saya main ke tempat pondokan, Ping Kiat masih duduk di ruang depan. Dengan bu Dasuki. Teman teman lain berada di kamar masing masing. Suasana tidak seceria biasanya. Bu Dasuki tanya “ Baru genting, kok malam malam masih kluyuran nak Bud ?”. Ping Kiat langsung bilang, sebaiknya jangan keluar malam, bahaya, kondisi baru gawat. Memang Solo masih genting waktu itu. Setelah peristiwa Gestapu yang menggemparkan itu. Banyak culik menculik. Saya sebenarnya tidak keluar main. Tetapi harus menjemput kakak nanti jam 830 di Apotek Medika, dekat stasiun Balapan. Berangkat dari rumah lebih awal dan mampir di Sambeng, yang satu arah dengan stasiun Balapan. Ping Kiat tidak banyak bicara, tetapi bilang kalau mulai minggu besok harus ikut latihan militer Kojarsena, Korps Pelajar Serba Guna, di sekolahnya SMA Warga.
Kojarsena adalah siswa siswi SMP dan SMA, yang dilatih militer untuk membantu melawan gerakan komunis. Sebelumnya Kojarsena, dibentuk dalam rangka gerakan ganyang Malaysia. Sekolah saya, St. Josef sudah menyelesaikan latihan berat itu dua minggu sebelumnya. Kami semua mengikuti latihan militer itu selama dua minggu. Latihan berat, tidak hanya baris bebaris, benar benar latuhan militer, di sekitar lapangan Manahan. Anak anak muda, semua antusias berlatih. Kadang berlebihan. Komandan kompi sekolah kami, kebetulan ayahnya seorang polisi lalu lintas. Dia selalu memakai seragam Kojarsena, dengan sabuk dan wadah pistol dari kulit, dan topi polisi lalu lintas. Ada teman lain yang memakai topi bekas kondekur kereta api warna merah, karena ayahnya seorang kondektur sepur. Topi adalah simbol kegagahan dan kejantanan.
Banyak pengalaman konyol selama latihan militer. Salah seorang teman saat latihan penyusupan, harus merayap tiarap menelusuri jalan di sebelah utara Manahan. Bolak balik diperingatkan pelatih agar bersama teman satu regu di sisi kiri jalan. Tetapi dia ambil enaknya merayap tiarap di atas rerumputan disebelah kanan jalan. Kebetulan pakai baju merah. Suatu saat melewati segerombolan lembu yang sedang merumput, salah satu lembu mengamuk menyerangnya. Bajunya habis koyak di seruduk sapi. Dia teriak meraung menangis kesakitan. Untung saya berada di dekatnya, saya berpengalaman menangani sapi sejak sekolah dasar di Ambarawa. Sapi itu bisa ditenangkan, tidak mengejar teman yang berbaju merah tadi. Untung hanya bajunya yang terkoyak.
Suatu pagi kami satu regu diberi tugas mengamankan satu lokasi di kampung sebelah utara Sambeng. Hanya diberi peta. Instruksi oleh pelatih jelas, temukan lokasi dan amankan. Tunggu perintah lebih lanjut. Kami satu regu, 13 orang berangkat dengan segala atribut, tongkat bamboo dan berbagai dedaunan untuk penyamaran. Tidak sulit menemukan lokasi, rumah reyot ditepi selokan, pinggir desa. Dengan serius kami mengepung lokasi itu, dari pintu masuk depan dan belakang. Saya dan dua teman memasuki halaman samping di pinggir selokan. Ada WC terbuka disana. Seorang pria setengah umur sedang berak, menghamburkan isi perut, seperti rentetan tembakan. Kami menunggu instruksi lebih lanjut. Kira kira 15 menit stelling mengepung rumah reyot yang penghuninya baru berak besar besaran, kami diinstruksikan untuk menarik pasukan mundur kembali ke induk pasukan. Mission accomplished. Menonton orang sedang berak berhamburan. Saya yakin dalam perang sesungguhnya apa sempat mengepung orang sedang berak.
Suatu sore, beberapa hari sesudah saya berkunjung ke Sambeng, saya mendengar berita mengejutkan di radio. Enam siswa SMA Warga tewas dalam latihan kepemudaan. Tidak diberitakan lebih lanjut. Seperti berita biasa. Esoknya di sekolah ramai dibicarakan, jika ke enam siswa SMA Warga tersebut meninggal karena tenggelam di kali Pepe, saat latihan Kojarsena. Belum jelas nama nama korban. Pulang sekolah saya bermaksud mampir ke rumah pondokan di Sambeng. Hati saya terguncang ketika diberitahu, Ping Kiat tewas di kali Pepe. Teman teman masih terguncang. Ping Kiat yang ceria tidak lagi bersama diantara mereka. Dalam latihan Ping Kiat bersama regunya diharuskan menyeberangi kali Pepe, dia sudah sampai di seberang sebenanrnya. Tetapi dia balik kembali ke sungai untuk menolong teman yang tidak kunjung muncul dan mencapai seberang. Pelajar itu tersedot oleh pusaran air di belokan sungai. Ada cerita bahwa rombongan itu telah diingatkan oleh penduduk untuk tidak menyeberang di tempat itu. Tidak jelas mengapa pelatih mengambil resiko.
Sorenya radio Australia memberitakan insiden itu, termasuk bantahan dari petinggi militer bahwa tidak ada latihan militer, yang ada adalah latihan ketangkasan pemuda. Batin saya, kalau bukan latihan militer, lantas latihan apa ? Apakah latihan mengintip orang berak di selokan ? Enam nyawa melayang sia sia, anak anak muda yang masih punya cita cita panjang untuk masa depan. Tidak bisa membayangkan kesedihan ayah dan ibu serta saudara saudara korban. Jika dikatakan pengorbanan, pengorbanan sia sia. Mungkin malah jauh dari pengorbanan, mereka menjadi korban permainan kekuasaan semata mata yang menggunakan pelajar sekolah.
Hanya catatan kecil mengenang seorang teman. Semoga engka damai dan bahagisa di alam sana.
Salam damai,
Ki Ageng Similikithi
https://www.facebook.com/notes/santoso-budiono/pengorbanan-sia-sia/10153444549083467?pnref=lhc
Sore hari biasanya waktu yang mengasyikkan. Habis mandi jika tidak ada acara keluar, selalu duduk duduk di ruang depan sambil mendengarkan radio. Belum umum televisi waktu itu. Acara radio yang paling menarik adalah pilihan pendengar dari RRI Surakarta dan radio Australia. Ping Kiat anak yang ceria, seperti tidak pernah mengenal kesedihan. Baginya tidak ada satu masalah yang membebani, semua dianggap ringan. Suka bercerita dan banyak bicara. Ada dua mahasiswa yang kost disana, keduanya kuliah di UBK (Universitas Bung Karno). Ping Kiat selalu dominan dalam debat. Tidak ada satupun teman kost yang bisa berdebat dengannya, termasuk ke dua mahasiswa tadi.
Hanya beberapa bulan tinggal di tempat kost di Sambeng, saya kemudian pindah bergabung dengan kakak di Badran Kota Barat. Tetapi saya masih rutin main ke tempat pondokan di Sambeng. Tetangga di sebelah Timur rumah pondokan itu, keluarga dengan beberapa anak putri. Hanya satu yang saya kenal yakni mbak Sri Sutarni. Sekarang beliau menjadi dosen di FK UGM, ahli syaraf. Di sebelah Barat, di seberang jalan, ada rumah besar dimana guru stenografi, pak Bustami, juga mondok. Dia sebenarnya masih duduk di bangku kuliah di UBK. Dia suka mendikte, dan kami harus menulis cepat dengan huruf steno. Masih teringat jelas yang dia diktekan di suatu siang. “ Ada desas desus. Tusuk satai itu. Arifin makan sayur tahu. Guru kami namanya pak Bustami”. Tiba tiba Diono, teman di belakang bangku saya menggumam meneruskan kalimat pak Bustami, “ Bustami gathel”. Pak Bustami langsung teriak “ Apa? Kamu nantang ya? Keluar kamu”. Diono keluar kelas menunggu sampai jam pelajaran selesai. Gathel memang bukan kata yang baik, umpatan negatip model Solo terhadap pernyataan seseorang.
Suatu petang ketika saya main ke tempat pondokan, Ping Kiat masih duduk di ruang depan. Dengan bu Dasuki. Teman teman lain berada di kamar masing masing. Suasana tidak seceria biasanya. Bu Dasuki tanya “ Baru genting, kok malam malam masih kluyuran nak Bud ?”. Ping Kiat langsung bilang, sebaiknya jangan keluar malam, bahaya, kondisi baru gawat. Memang Solo masih genting waktu itu. Setelah peristiwa Gestapu yang menggemparkan itu. Banyak culik menculik. Saya sebenarnya tidak keluar main. Tetapi harus menjemput kakak nanti jam 830 di Apotek Medika, dekat stasiun Balapan. Berangkat dari rumah lebih awal dan mampir di Sambeng, yang satu arah dengan stasiun Balapan. Ping Kiat tidak banyak bicara, tetapi bilang kalau mulai minggu besok harus ikut latihan militer Kojarsena, Korps Pelajar Serba Guna, di sekolahnya SMA Warga.
Kojarsena adalah siswa siswi SMP dan SMA, yang dilatih militer untuk membantu melawan gerakan komunis. Sebelumnya Kojarsena, dibentuk dalam rangka gerakan ganyang Malaysia. Sekolah saya, St. Josef sudah menyelesaikan latihan berat itu dua minggu sebelumnya. Kami semua mengikuti latihan militer itu selama dua minggu. Latihan berat, tidak hanya baris bebaris, benar benar latuhan militer, di sekitar lapangan Manahan. Anak anak muda, semua antusias berlatih. Kadang berlebihan. Komandan kompi sekolah kami, kebetulan ayahnya seorang polisi lalu lintas. Dia selalu memakai seragam Kojarsena, dengan sabuk dan wadah pistol dari kulit, dan topi polisi lalu lintas. Ada teman lain yang memakai topi bekas kondekur kereta api warna merah, karena ayahnya seorang kondektur sepur. Topi adalah simbol kegagahan dan kejantanan.
Banyak pengalaman konyol selama latihan militer. Salah seorang teman saat latihan penyusupan, harus merayap tiarap menelusuri jalan di sebelah utara Manahan. Bolak balik diperingatkan pelatih agar bersama teman satu regu di sisi kiri jalan. Tetapi dia ambil enaknya merayap tiarap di atas rerumputan disebelah kanan jalan. Kebetulan pakai baju merah. Suatu saat melewati segerombolan lembu yang sedang merumput, salah satu lembu mengamuk menyerangnya. Bajunya habis koyak di seruduk sapi. Dia teriak meraung menangis kesakitan. Untung saya berada di dekatnya, saya berpengalaman menangani sapi sejak sekolah dasar di Ambarawa. Sapi itu bisa ditenangkan, tidak mengejar teman yang berbaju merah tadi. Untung hanya bajunya yang terkoyak.
Suatu pagi kami satu regu diberi tugas mengamankan satu lokasi di kampung sebelah utara Sambeng. Hanya diberi peta. Instruksi oleh pelatih jelas, temukan lokasi dan amankan. Tunggu perintah lebih lanjut. Kami satu regu, 13 orang berangkat dengan segala atribut, tongkat bamboo dan berbagai dedaunan untuk penyamaran. Tidak sulit menemukan lokasi, rumah reyot ditepi selokan, pinggir desa. Dengan serius kami mengepung lokasi itu, dari pintu masuk depan dan belakang. Saya dan dua teman memasuki halaman samping di pinggir selokan. Ada WC terbuka disana. Seorang pria setengah umur sedang berak, menghamburkan isi perut, seperti rentetan tembakan. Kami menunggu instruksi lebih lanjut. Kira kira 15 menit stelling mengepung rumah reyot yang penghuninya baru berak besar besaran, kami diinstruksikan untuk menarik pasukan mundur kembali ke induk pasukan. Mission accomplished. Menonton orang sedang berak berhamburan. Saya yakin dalam perang sesungguhnya apa sempat mengepung orang sedang berak.
Suatu sore, beberapa hari sesudah saya berkunjung ke Sambeng, saya mendengar berita mengejutkan di radio. Enam siswa SMA Warga tewas dalam latihan kepemudaan. Tidak diberitakan lebih lanjut. Seperti berita biasa. Esoknya di sekolah ramai dibicarakan, jika ke enam siswa SMA Warga tersebut meninggal karena tenggelam di kali Pepe, saat latihan Kojarsena. Belum jelas nama nama korban. Pulang sekolah saya bermaksud mampir ke rumah pondokan di Sambeng. Hati saya terguncang ketika diberitahu, Ping Kiat tewas di kali Pepe. Teman teman masih terguncang. Ping Kiat yang ceria tidak lagi bersama diantara mereka. Dalam latihan Ping Kiat bersama regunya diharuskan menyeberangi kali Pepe, dia sudah sampai di seberang sebenanrnya. Tetapi dia balik kembali ke sungai untuk menolong teman yang tidak kunjung muncul dan mencapai seberang. Pelajar itu tersedot oleh pusaran air di belokan sungai. Ada cerita bahwa rombongan itu telah diingatkan oleh penduduk untuk tidak menyeberang di tempat itu. Tidak jelas mengapa pelatih mengambil resiko.
Sorenya radio Australia memberitakan insiden itu, termasuk bantahan dari petinggi militer bahwa tidak ada latihan militer, yang ada adalah latihan ketangkasan pemuda. Batin saya, kalau bukan latihan militer, lantas latihan apa ? Apakah latihan mengintip orang berak di selokan ? Enam nyawa melayang sia sia, anak anak muda yang masih punya cita cita panjang untuk masa depan. Tidak bisa membayangkan kesedihan ayah dan ibu serta saudara saudara korban. Jika dikatakan pengorbanan, pengorbanan sia sia. Mungkin malah jauh dari pengorbanan, mereka menjadi korban permainan kekuasaan semata mata yang menggunakan pelajar sekolah.
Hanya catatan kecil mengenang seorang teman. Semoga engka damai dan bahagisa di alam sana.
Salam damai,
Ki Ageng Similikithi
https://www.facebook.com/notes/santoso-budiono/pengorbanan-sia-sia/10153444549083467?pnref=lhc
Subscribe to:
Posts (Atom)