"Godersi La Vita. Carpe diem", kata kata yang sering diucapkan oleh
tante saya semasa hidupnya. Tak begitu nyaman di telinga. Nikmati
hidup, ayo mumpung masih ada waktu. Alfonso bercerita asyik mengenai
tantenya. Kami baru makan malam dan ngobrol berdua di satu rumah makan
di tepi danau Geneva. Musim panas yang indah di tahun 2009. Saya kenal
Alonso sudah lebih sepuluh tahun. Berteman akrab ketika sama sama
bekerja di lembaga antar bangsa yang sama, WHO, meskipun kami sering
berbeda pendapat dalam kerja. Sebenarnya sejak lama ingin ngobrol
berdua, namun kesempatan tak pernah kunjung datang. Sejak pertemuan kami
di tahun 2002.
Di tahun 2002, tim kami dijamu makan malam oleh
pemerintah Hongkomg dan Cina. Acara makan malam yang mengasyikkan.
Tetapi menjadi tegang, ketika nyonya rumah, Margareth, meminta staf WHO
untuk menyanyi karena anggota2 delegasi mereka sudah menyanyi. Tiba
tiba Alfonso yang duduk disamping saya waktu itu, menggamit kaki saya,
minta saya maju. Dia bilang, Jono, ketua delegasi kami, yang minta.
Akhirnya kami bertiga maju, saya, Jono dan Alfonso. Tidak punya hobi
nyanyi semua, tetapi Jono bisa main drum. Akhirnya Jono main drum, saya
dan Alfonso nyanyi Fly Me to the Moon. Gak tahu kedengarannya kayak apa
kombinasi ini. Perasaan saya pasti ambur adul. Tetapi toh tuan rumah
bertepuk tangan. Biarkan saja. Alfonso bilang, kapan kapan saya bayar
ganti rugi rasa malu ini dengan makan malam.
Malam
itu Alfonso cerita tentang tantenya. Tante Angelica baru meninggal
tiga minggu lalu di Verona, kota kelahirannya. Saya tidak pernah dekat
dengan tante saya Angelica. Sebenarnya dia satu satunya saudara kandung
ayah saya. Tetapi kehidupan kami berbeda seperti langit dan bumi.
Angelica tidak pernah berkeluarga, tetapi berganti pacar atau pasangan
puluhan kali. Tak terhitung. Dia seorang wanita pengusaha, bukan orang
gajian, tetapi menggaji banyak pekerja di perusahaannya. Wanita yang
sangat menikmati hidup. Hedonis dan flamboyan. Suka berpesta pora. Tidak
punya anak. Alfonso menunjukkan foto Angelica sewaktu muda, cantik
seperti Sophia Loren. Tante saya meninggal dalam umur 88 tahun, tiga
minggu lalu, mendadak kena serangan jantung saat dansa ballroom, bersama
pacar terakhirnya yang masih berumur 40 tahun. Edaaan enggak.
Alfonso
sempat menghadiri upacara pemakaman Angelica. Dia satu satunya
kemenakan yang ada. Alfonso anak tunggal, ayahnya seorang guru besar di
universitas terkenal di italia. Dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga
yang sangat religius dan terdidik. Tak heran jika dia tidak dekat
dengan tantenya. Dia tidak segan bilang jika cara hidup Angelika dikutuk
Tuhan. Tidak hidup di jalan Tuhan. Dalam rapat rapat sering saya
panggil dia Padre, dan dia senang dengan panggilan itu. Sebaliknya dia
sering berseloroh memanggil saya mullah.
Dia
cerita malam itu kalau Angelica ternyata meninggalkan warisan yang
sangat banyak. Tidak menyebutkan jumlahnya. Tetapi melihat gambar rumah
tantenya yang begitu megah, pasti harga rumah itu berjuta juta dolar.
Layaknya rumah bangsawan Eropa. Dia tidak mau menerima warisannya.
Alfonso tetap tidak bisa menerima cara hidup tantenya yang hedonis,
serba bebas. Bahkan Alfonso bermaksud menyumbangkan warisannya ke
program program kesehatan dunia. Saya tak banyak bicara, hanya sekali
sekali menyela. Namun ketika dia bermaksud menyumbangkan warisan
tersebut, saya mencoba mengingatkannya. Banyak donor lain yang bisa
melakukannya Alfonso. Tantemu pasti sangat menyayangimu, nyatanya dia
tidak mewariskan ke pacarnya, tetapi ke kamu, satu satunya kemenakan.
Toh tante Angelica tidak mengganggumu, tidak merugikanmu dengan cara
hidupnya. Tetapi dia hidup dalam kutukan Tuhan. Tunggu, jangan tergesa
memvonisnya, dia tidak merugikan dan mengganggu orang lain, dia
menikmati jalan hidupnya. Sampai saat meninggalpun dia dalam suasana
sukaria, pesta dansa bersama pacarnya. Di akhir makan malam, nampaknya
sikap Alfonso sedikit berubah. Dia akan meneruskan warisan tantenya
kepada ke dua anaknya yang masih sekolah di London. Anak pertamanya
wanita dan yang kedua laki laki. Yang wanita mengambil jurusan musik,
dan adiknya ambil arsitektur. Bantuan pendidikan dari lembaga tempatnya
bekerja jelas tidak cukup membeayai beaya hidup dan pendidikan mereka
berdua. Keputusan yang sangat tepat, pikir saya.
Kami kembali
tenggelam dalam kesibukan masing masing. Hampir setahun kemudian kami
bertemu lagi di Manila. Kami makan malam di rumah makan Jepang dekat
kantor saya. Alfonso akan pension dalam beberapa bulan ke depan. Sambil
berseloroh dia cerita tentang anaknya. Gila, sesudah anak perempuan saya
dapat warisan, meski sudah saya atur pengeluarannya, dia langsung beli
mobil sport Lamborghini. Dia sangat menikmati pesta dan sudah punya
pacar serius. Anak saya tidak hanya mewarisi harta tante Angelica,
tetapi juga gaya hedonismenya. Saya menjawab ringan, biarlah dia
menikmati hidupnya, toh dia tidak hidup dalam kutukan. Carpe diem,
godersi la vita.
Hidup memang beragam. Kita tidak bisa memvonis
orang lain denga gaya hidup yang berbeda. Sejauh tidak mengganggu dan
merugikan orang lain. Nikmatilah hidup ini.
Ki Ageng Similikithi
Sunday, August 2, 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment