Friday, December 14, 2012
Obrolan di ruang tunggu pasien
Senin siang 17 September 2012. Saya menunggu di ruang tunggu RS Bina Waluya, Jakarta. Mau ketemu dokter jam 1500 sore. Dr. Muhamad Munawar ahli jantung terkemuka di negeri ini, dulu kuliah sama sama di kompleks Ngasem. Sudah lama direncanakan, baru kali ini bisa janjian. Berangkat jam 1300 dari hotel Bidakara atas anjuran petugas hotel. Menghindari macet. Ternyata saya pasien yang datang pertama kali. Lewat jam dua, pasien mulai berdatangan. Beberapa pasien wanita dan pria, umumnya umur setengah baya. Hampir pasti, mereka menderita keluhan jantung.
Di sebelah saya duduk seorang pria lanjut usia. Ngobrol sebentar. Dia mantan jaksa yang top. Mungkin di jaman Orde Baru. Tak banyak bicara. Saya juga tidak dalam mood untuk ngobrol. Apalagi dengan seorang jaksa, walaupun mantan. Takut disidik. Ada pengalaman traumatis. Tahun 75 di Ambarawa sewaktu bapak saya ditahan karena menganut aliran kebatinan. Tahun 90an, seorang mantan jaksa tinggi yang jadi gurubesar hukum dan anggota senat, mewawancarai saya laiknya dalam penyidikan. Saya protes ke pimpinan universitas, post power syndrome jangan dibawa ke mimbar akademis. Tahun 97, ketika mengikuti proses pengadilan penabrak anak saya. Secara tidak sadar , ketiganya meninggalkan kesan kurang enak.
“Wah saya datang terlambat, macet di terminal Kampung Rambutan” seorang wanita muda datang tergopoh. Menyapa teman disebelahnya, seorang pria setengah baya.
“ Nggak apa apa. Dokternya juga belon datang . Jam tiga nanti. Periksa yang lain dulu.”
“ Keluar dari rumah setengah dua belas. Capai sekali. Untung bawa Alphard. Langsung tidur di mobil. Si bung sakit apa?”
“ Habis kebakaran kemarin kok masih deg degan. Tadi sudah di EKG katanya normal. Wah tahu kalau normal tak perlu ke sini”.
“ Jangan pikir macam macam apalagi ongkos. Yang penting waras. Makanya papahnya anak anak suruh saya pakai Alphard. Biar angler tidur kalau macet di jalan”.
“ Saya diantar anak saya tadi sambil ngantor lagi, pakai Avancha. Sopir sedang sakit. Kalau nggak pakai Camry ”.
“Lumayan, Camry yang biasa dipakai Menteri. Kalau bisa jangan pakai Avancha lah ?”. Si wanita muda masih bicara terus.
“Lha kenapa?”
“ Kalau kantrok kantrok nggak baik untuk jantung. Jangan suka terlalu ngirid kalau sudah ke jantung”.
Saya agak terhenyak. Dari hotel tadi saya pakai Avancha, yang ada hanya itu. Tak ada keluhan. Sopir saya pesan supaya pelan saja. Taksi jam jaman. Jam tiga lebih sedikit Bung Munawar, datang. Dia yang punya rumah sakit. “He Ki, piye kabare?”. “So so, apik” jawabku. Saya dapat giliran pertama kali. Sempat ngobrol sebentar. Disuruh periksa lengkap, laboratorium, echo, threadmill, MSCT dll. Selesai periksa jam enam. Saya diberitahu jika ada dua lokus penyempitan koronaria. Yang satu sudah hampir sembilan puluh persen. Harus kateterisasi dan pasang ring.
Seminggu kemudian, hari Senin tanggal 24, saya berangkat pagi pagi dari Yogya dengan pesawat pertama. Ditemani NYI. Sampai di bandara Sukarno Hatta, cari taksi, Silver bird. Ditawari Alphard atau Mercy. Ingat obrolan pasien wanita seminggu lalu, nek kentrok kentrok gawat. Mercy C class kabarnya kap mesinnya sok kabur. Baru saja saya kecelakaan, kap mesin terbuka saat mobil jalan. Tetapi Nyi ngotot milih Mercy. Perjalanan lancar, enak, tak kentrok kentrok (terguncang) dalam perjalanan. Tetapi di terminal Kampung Rambutan macet. Ada iringan pejabat lewat. Juga bis bis yang suka ngetem. Saya nyeberang lewat jembatan penyeberangan. Untung nggak jauh tetapi tetep saja napas termehek mehek. Ini yang bikin jantung ngos ngosan.
Kateterisasi berjalan lancar tengah hari itu juga. Dr. Munawar sempat ngobrol dengan saya sebelum prosedur dimulai. Sore hari Bu Futikah Munawar, yang juga direktur umumnya, sempat nengok, juga pengin ketemu Nyi. Cerita sebentar jaman mahasiswa dulu. Paginya sudah boleh pulang. Waktu pesen taksi, ingat lagi obrolan di ruang tunggu minggu lalu. Minta Silver bird, biar nggak kentrok kentrok. Perjalanan lancar sampai bandara. Mulus tanpa goncangan. Goncangan berat justru terjadi di bandara ketika harus lari lari pindah anjungan. Di boarding pass tertera Gate 1. Di papan pengumuman tertulis Gate 4. Waktu ke Gate 4 menjelang boarding disuruh pindah ke gate 3. Sampai gate 3, suruh naik bis ke terminal yang baru. Untung nggak disuruh naik bis sekalian sampai Yogya dari Sukarno Hatta. Kesemrawutan lalu lintas, kesemrawutan bandara, yang benar benar bikin dada terasa sakit. Bukan jenis taksi, bukan jenis mobil. Edaaan, tetapi kok saya ya terpengaruh obrolan pasien itu ya.
Salam damai dan terima kasih untuk Dr. M. Munawar dan Ny. Futikah Munawar dan semuat staf RS Bina Waluya, atas keramah tamahan dan perhantiannya.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment