Saya berlari lari kecil di atas jalan berbatu. Tak mudah
mengikuti jalan simbah kakung (kakek) saya yang tinggi semampai itu, dengan
langkah langkah lebar. Suatu pagi di tahun 1956. Saya bersama simbah jalan
jalan pagi di desa Kalijambe Beringin, Salatiga. Biasanya pagi pagi begini ada dua arus
manusia. Satu persatu wanita berjalan menuju pasar Kroya atau Beringin yang
kira kira berjarak masing masing 4
dan 8 kilometer dari desa Kalijambe.
Dan arus berlawanan para gembala menggiring
ternak sapi menuju padang
penggembalaan di luar desa di utara. Lenguh sapi atau suara kambing selalu ramai di pagi
hari bercampur dengan suara burung.
Saya dan orang orang di desa itu, selalu memanggil simbah Pak Dhe. Beliau mantan lurah Kalijambe di
jaman Belanda. Masih gagah dan berwibawa dengan celana sampai di bawah lutut
dan baju tanpa kerah, pakaian khas para petani
di Jawa dan Asia Tenggara. Hanya yang lajim biasanya pakaian itu berwarna hitam. Pak Dhe saya
selalu menyukai warna putih. Tak tahu alasannya. Tak pernah lupa adalah tongkat
panjang yang selalu dibawa saat jalan jalan seperti ini. Di ujung desa, pak Dhe
selalu berhenti di bawah pohon randu alas besar, memegang tongkatnya dan
melihat ke padang penggembalaan yang terhampar luas sampai cakrawala. Saya
selalu mengagumi penampilannya berdiri tegak dibawah pohon itu, tangan kanannya
memegang tongkat, dan tangan kirinya diletakkan
di dahi menghindari silau matahari pagi.
Para gembala yang lewat satu persatu selalu memberikan salam
“Selamat pagi Pak Dhe”. Dan Pak Dhe menjawab spontan salam mereka “Sapimu ana
pira? Sapine sapa?”. Gembala gembala itu biasanya bekerja dan tinggal bersama majikan si pemilik lembu.
Setelah beberapa tahun, mungkin lima tahun, mereka baru dapat upah berupa anak
sapi. Hampir seperti bonded labour di
Nepal dan India. Mungkin sekarang sudah jarang sekali.
Pak Dhe selalu bicara dengan saya dalam bahasa halus. Dia selalu mencoba menanamkan agar kami selalu menggunakan bahasa Jawa halus. Tak pernah memanggil nama saya tanpa embel embel alias njangkar. Selalu memanggil saya dengan julukan “Mbah Lurah”, karena katanya saya mirip simbah saya di Ambarawa, yang juga mantan lurah di jaman Belanda. Dia punya keinginan agar salah satu cucunya bisa mengikuti jejaknya menjadi lurah kelak. Sering mengalami sindrom perfeksionis, selalu mencatat dengan seksama nomer seri uang kertas yang dimilikinya sebelum digunakan. Perkerjaan yang paling membosankan, jika dapat giliran membaca nomer seri uang itu.
Pak Dhe selalu bicara dengan saya dalam bahasa halus. Dia selalu mencoba menanamkan agar kami selalu menggunakan bahasa Jawa halus. Tak pernah memanggil nama saya tanpa embel embel alias njangkar. Selalu memanggil saya dengan julukan “Mbah Lurah”, karena katanya saya mirip simbah saya di Ambarawa, yang juga mantan lurah di jaman Belanda. Dia punya keinginan agar salah satu cucunya bisa mengikuti jejaknya menjadi lurah kelak. Sering mengalami sindrom perfeksionis, selalu mencatat dengan seksama nomer seri uang kertas yang dimilikinya sebelum digunakan. Perkerjaan yang paling membosankan, jika dapat giliran membaca nomer seri uang itu.
Ketika iring iringan lembu sudah lewat, kami berjalan ke arah
selatan, mendaki jalan di lereng perbukitan menuju ke arah dukuh Krandon. Desa
Kalijambe memang terletak di jepitan perbukitan. Kira kira dua ratus meter di
depan rumah Pak Dhe, ada dinding bukit terjal tingginya hampir seratus meter.
Di atas sana terdapat perkebunan karet milik negara. Salah satu adik Pak Dhe,
tinggal di dukuh Krandon. Biasanya kami selalu mampir dalam perjalanan dari
Beringin menuju Kalijambe.
Selepas tanjakan, tiba tiba perhatian saya tertuju pada sosok seorang tua yang berdiri di atas bebatuan di tepi jalan. Juga mengenakan baju kurung dengan kancing terbuka di depan. Selembar kain warna keputihan dengan corak kotak kotak, melilit lehernya. Dia memegang tongkat panjang menopang tubuhnya yang renta. Pandangannya sayu menatap lembah dan padang yang membentang luas di bawah. Tak bisa saya mengerti, Pak Dhe yang gagah, berwibawa dan disegani banyak orang di desa itu, serentak melihat orang tua itu, dia memberikan salam dengan hormat yang dalam. “Sugeng enjang Kanjeng Rama”. Orang tua itu membalikkan mukanya dengan tatapan ringan dan sayu. “ Ki Lurah, piye kabare. Suwe ora ketemu ya”.
Selepas tanjakan, tiba tiba perhatian saya tertuju pada sosok seorang tua yang berdiri di atas bebatuan di tepi jalan. Juga mengenakan baju kurung dengan kancing terbuka di depan. Selembar kain warna keputihan dengan corak kotak kotak, melilit lehernya. Dia memegang tongkat panjang menopang tubuhnya yang renta. Pandangannya sayu menatap lembah dan padang yang membentang luas di bawah. Tak bisa saya mengerti, Pak Dhe yang gagah, berwibawa dan disegani banyak orang di desa itu, serentak melihat orang tua itu, dia memberikan salam dengan hormat yang dalam. “Sugeng enjang Kanjeng Rama”. Orang tua itu membalikkan mukanya dengan tatapan ringan dan sayu. “ Ki Lurah, piye kabare. Suwe ora ketemu ya”.
Mereka terlibat dalam pembicaraan yang intens. Dalam bahasa Jawa yang sangat halus,
yang saya juga tidak paham benar. Yang jelas terlihat, Pak Dhe hampir terus
bersikap sangat sopan dan menghormati. Kedua tangannya selalu di depan
ngapurancang , tidak lagi memegang tongkat dengan tangan kanan diatas pundak.
Saya tertegun terheran heran. Orang tua itu berbincang dengan tatapan
ringan jauh ke depan. Walau nampak berwibawa di muka Pak Dhe, terkesan ada
semacam kegelisahan yang dalam di sorot matanya. Di akhir pembicaraan, Pak Dhe
berpamitan dan memberikan salam hormat dengan menutupkan kedua telapak
tangannya di depan dada. Pemandangan itu ganjil rasanya, tidak pernah saya
lihat sebelumnya.
Mata hari sudah tinggi ketika kami menuruni jalan kembali menuju desa Kalijambe,
lewat jalan rindang di sela sela rumpun bambu yang lebat. Saya mencoba mencari
tahu, siapa orang tua itu. Pak Dhe hanya menjawab ringan “ Gusti Pengeran Suryamentaram”.
Waktu itu saya belum paham, siapa itu Pangeran Suryamentaram. Hanya sering mendengar cerita tentang beliau.
Beliau bermukim di dukuh Kroya, desa
Beringin, Salatiga. Setiap kali kami jalan menuju Kalijambe, dengan jelas bisa
melihat atap seng rumah beliau di kejauhan, di lembah dibawah naungan pohon
pohon kluwih yang rindang.
Bertahun tahun kemudian baru saya mengetahui siapa Ki Ageng
Suryamentaram. Beliau adalah putra
Sultan Hamengku Buwana VII, yang meninggalkan kehidupan mewah keraton
dan mengasingkan diri hidup di kalangan rakyat jelata. Konon pernah tinggal di
Cilacap dan berjualan setagen dan batik di pasar. Juga pernah menjadi tukang
sumur di daerah Bagelen. Terakhir tinggal sebagai petani di desa Beringin,
Salatiga. Kisah perjalanan spiritual Ki
Ageng Suryamentaram, mirip dengan kisah Pangeran Siddartha Buddha Gautama dari
Lumbini, Nepal, yang menemukan ajaran
Buddha ribuan tahun lalu. Di balik kegelisahan spiritual Ki Ageng
Suryamentaram, beliau meninggalkan ajaran
Kawruh Beja (pengetahuan tentang kehidupan), Kawruh Pangawikan Pribadi,
yang tertulis dalam buku buku, Ilmu Jiwa Kramadangsa, Mawas Diri, Filsafat Rasa
Hidup dan lain lain. Pemikiran besar berdasarkan filsafat Jawa. Di bidang politik beliau terlibat dalam
pembentukan PETA, Pembela Tanah Air. Belum sempat saya membaca dan mendalami
ajaran ajaran ini.
Bertahun kemudian, jika mengingat saat berjalan dengan Pak Dhe di suatu pagi lebih lima puluh lima tahun lalu, saya merasa sangat beruntung, bisa bertatap muka dengan pemikir besar Jawa yang saya kagumi. Yang tragis, putra ke dua beliau, Raden Mas Jegot, meninggal di usia muda, tenggelam kecelakaan di Rawa Pening di tahun lima puluhan. Saya juga ingin setegar beliau, setelah kehilangan anak saya karena kecelakaan di tahun 1997. Ki Ageng Suryamentaram wafat di tahun 1962.
Bertahun kemudian, jika mengingat saat berjalan dengan Pak Dhe di suatu pagi lebih lima puluh lima tahun lalu, saya merasa sangat beruntung, bisa bertatap muka dengan pemikir besar Jawa yang saya kagumi. Yang tragis, putra ke dua beliau, Raden Mas Jegot, meninggal di usia muda, tenggelam kecelakaan di Rawa Pening di tahun lima puluhan. Saya juga ingin setegar beliau, setelah kehilangan anak saya karena kecelakaan di tahun 1997. Ki Ageng Suryamentaram wafat di tahun 1962.
Moga moga anda punya waktu membaca riwayat dan ajaran Ki
Ageng Suryamentaram, salah satu pemikir Jawa klasik. Ajaran ajarannya tetap
relevan dalam kehidupan masa kini yang hingar bingar (http://www.facebook.com/pages/Ki-Ageng-Suryomentaram/41261288299)
Ki Ageng Similikithi
2 comments:
seratanipun "kawruh beja" sumadiya wonten ing internet
kula inggih remen maos punika, kangmas
rumiyin warsa 50-an wonten bulletinipun, nami "dudu kowe"
salam, kangmas...
Matur nuwun sanget.
Taksih gayut kaliyan kahanan sakmenika
Nuwun
Post a Comment