Kami tertawa terpingkal pingkal mendengar kisah sial itu.
Sabtu sore di musim panas tahun 2000.
Summerhill House NewCastle, UK. Habis belanja akhir pekan, kami minum kopi di
ruang makan, sambil ngobrol ringan, menghilangkan rasa rindu keluarga dan tanah
air. Bersama pak Romi (alm), pak Sahala Hutabarat, dan satu teman lagi, lupa
namanya. “Edan enggak pak. Saya dengan
tamu kok tersia sia, pada hal sudah terbayang sarapan lezat dengan pecel
dan ikan goreng”.
Pak Sahala berapi api bercerita tentang kisah konyol itu. Kejadian beberapa tahun sebelumnya di Semarang. Menjelang akhir pekan waktu itu mereka berencana berpesiar ke Yogya dari Semarang bersama dengan mahasiswa2 dari NewCastle University yang sedang kuliah kerja di Fakultas Perikanan Universitas Diponegoro Semarang. Mereka memang punya kerja sama antar universitas. Dalam pembicaraan atau rapat persiapan di kampus, salah seorang dosen senior, pak Gatot, yang pernah berdinas di Angkatan Laut sebelumnya, mengusulkan dengan simpatik. “ Berangkat pagi pagi, nanti mampir di kompleks perikanan Magelang, sarapan pecel dan ikan goreng”.
Pucuk dicinta ulam tiba, pikir pak Sahala, pasti nikmat sekali makan pecel dengan ikan goreng segar dari kolam ikan. Pak Gatot memang tinggal di Magelang, di kebun perikanan, yang terletak di tepi jalan raya menuju Yogyakarta. Esoknya pagi pagi mereka berenam berangkat ke Yogya dengan mobil colt. Semua ceria, menikmati pemandangan sepanjang perjalanan Semarang Magelang yang indah. Kebun kopi Bedono yang sejuk. Sampai di Magelang rombongan itu langsung ke kebun perikanan tempat pak Gatot tinggal. Tetapi pak Sahala terheran heran, kok sepi sepi saja. Pak Gatot masih pakai sarung duduk di kursi belakang rumah di tepi kolam. “ Lho pak, katanya kita diajak sarapan pecel pagi ini?”.
Pak Gatot dengan ringan menjawab sambal ketawa lebar “ Apusi wae”. Agak dongkol memang, tetapi misi harus jalan terus.
Mereka meneruskan perjalanan sambil mencari tempat sarapan yang pas. Untung ada warung yang bersih menjelang Borobudur. Mereka sarapan di sana, meski tidak ada ikan gorengnya. Ketika salah satu tamu nyelethuk “ I thought we were going to have breakfast with pak Gatot”. Pak Sahala menjawab ringan berusaha menghindari pertanyaan lebih lanjut, “ Something was not in order”. Perjalanan lebih lanjut lancar. Mission accomplished. Saya membayangkan pak Gatot. Belum pernah bertemu dengan beliaunya, tetapi pasti orangnya angin anginan seperti yang sering saya dengar dari teman teman di Semarang. Sambil bercanda, saya mengingatkan pak Sahala waktu itu, “Kan beliaunya memang bilangnya sarapan di Magelang dengan nasi pecel, bukan berarti dijamu oleh pak Romi. Apa lagi undangannya nggak tertulis. Nggak ada kekuatan hukumnya bung”. Kami semua terbahak. Pak Gatot, pak Gatot.
Pak Sahala berapi api bercerita tentang kisah konyol itu. Kejadian beberapa tahun sebelumnya di Semarang. Menjelang akhir pekan waktu itu mereka berencana berpesiar ke Yogya dari Semarang bersama dengan mahasiswa2 dari NewCastle University yang sedang kuliah kerja di Fakultas Perikanan Universitas Diponegoro Semarang. Mereka memang punya kerja sama antar universitas. Dalam pembicaraan atau rapat persiapan di kampus, salah seorang dosen senior, pak Gatot, yang pernah berdinas di Angkatan Laut sebelumnya, mengusulkan dengan simpatik. “ Berangkat pagi pagi, nanti mampir di kompleks perikanan Magelang, sarapan pecel dan ikan goreng”.
Pucuk dicinta ulam tiba, pikir pak Sahala, pasti nikmat sekali makan pecel dengan ikan goreng segar dari kolam ikan. Pak Gatot memang tinggal di Magelang, di kebun perikanan, yang terletak di tepi jalan raya menuju Yogyakarta. Esoknya pagi pagi mereka berenam berangkat ke Yogya dengan mobil colt. Semua ceria, menikmati pemandangan sepanjang perjalanan Semarang Magelang yang indah. Kebun kopi Bedono yang sejuk. Sampai di Magelang rombongan itu langsung ke kebun perikanan tempat pak Gatot tinggal. Tetapi pak Sahala terheran heran, kok sepi sepi saja. Pak Gatot masih pakai sarung duduk di kursi belakang rumah di tepi kolam. “ Lho pak, katanya kita diajak sarapan pecel pagi ini?”.
Pak Gatot dengan ringan menjawab sambal ketawa lebar “ Apusi wae”. Agak dongkol memang, tetapi misi harus jalan terus.
Mereka meneruskan perjalanan sambil mencari tempat sarapan yang pas. Untung ada warung yang bersih menjelang Borobudur. Mereka sarapan di sana, meski tidak ada ikan gorengnya. Ketika salah satu tamu nyelethuk “ I thought we were going to have breakfast with pak Gatot”. Pak Sahala menjawab ringan berusaha menghindari pertanyaan lebih lanjut, “ Something was not in order”. Perjalanan lebih lanjut lancar. Mission accomplished. Saya membayangkan pak Gatot. Belum pernah bertemu dengan beliaunya, tetapi pasti orangnya angin anginan seperti yang sering saya dengar dari teman teman di Semarang. Sambil bercanda, saya mengingatkan pak Sahala waktu itu, “Kan beliaunya memang bilangnya sarapan di Magelang dengan nasi pecel, bukan berarti dijamu oleh pak Romi. Apa lagi undangannya nggak tertulis. Nggak ada kekuatan hukumnya bung”. Kami semua terbahak. Pak Gatot, pak Gatot.
Tidak berhenti sampai disitu ceritanya. Di awal tahun enam
puluhan, saya pernah membaca cerita pendek di majalah Panyebar Semangat. Kisah
seorang perwira angkatan laut. Dia menjalani pendidikan di salah satu negara di
Eropa Timur, mungkin Yugoslavia, negaranya Presiden Tito. Kemudian dia
beristerikan wanita Eropa dan kembali ke Indonesia sesudah beasiswanya selesai.
Entah karena berbagai hal, hubungan mereka tidak berjalan mulus, sering
bertengkar. Klimaksnya di suatu petang pertengkaran itu begitu dahsyat, dan
sang isteri mengambil pistol suaminya serta menembakkannya ke sang suami. Untung tidak
fatal. Suami dirawat di rumah sakit dan wanita ini masuk tahanan. Beberapa
minggu kemudian setelah sembuh dari perawatan, si suami itu menjenguk wanita
tadi di tahanan. Isterinya hanya bisa
menangis dan minta maaf atas perbuatannya yang diluar kendali.
Selang beberapa waktu kemudian, sang suami mengajukan surat permohonan agar isterinya
tiak diadili dan diijinkan kembali pulang ke Eropa Timur. Mungkin karena rasa
cintanya. Beritanya sempat dimuat di beberapa surat kabar waktu itu. Saya
membacanya di koran Suara Merdeka. Kasusnya memang kemudian sampai melibatkan
pembicaraan politik tingkat tinggi, yang akhirnya pemerintah RI melepaskan
wanita itu dan mengijinkannya kembali ke tanah airnya. Itu saja ingatan saya
tentang peristiwa naas yang menjadi perhatian banyak orang. Saya membayangkan
betapa perasaan sang suami waktu itu. Ditembak orang yang dicintai,
memaafkannya dan mengijinkan meninggalkannya kembali ke tanah air. Sulit
membayangkan. Beyond my comprehension. Ketika saya tanyakan ke pak Romi
almarhum waktu itu, beliau membenarkan bahwa yang saya baca ceritanya di
Panyebar Semangat, dan beritanya di koran koran di tahun enam puluhan, ya kisah
pak Gatot itu.
Kisah anak manusia yang tragis dan menyedihkan. Hidup adalah
perjalanan. Banyak kejadian terjadi
dalam perjalanan panjang tersebut. Kadang kejadian datang tak terduga
tanpa kita kehendaki. Pak Gatot, sang isteri, pasti tidak pernah mengharapkan
atau membayangkan akan kejadian tragis situ. Tetapi toh terjadi akhirnya.
Mungkin mereka kurang peka untuk menghindari dan mencegahnya.
Cerita insiden mengenai pecel itu tak mengurangi simpati
saya terhadap figure pak Gatot. Saya belum pernah bersua. Tetapi pasti beliau
telah berpengalaman menjalani perjalanan hidup dengan segala pahit getirnya,
termasuk peristiwa tragis itu. Tulisan
ini bukan untuk mencercanya. Hanya mengingatkan kita semua. Juga mengungkapkan
rasa simpati saya semata. Mohon maaf
kepada family pak Gatot almarhum, jika membaca tulisan ini, taka da maksud apa
apa kecuali ungkapan simpati semata.
Sering tanpa sengaja kami berdua menyinggung kisah pecel apusi wae itu dalam percakapan dengan Nyi. Suatu saat cucu pertama saya Rio yang waktu itu masih umur 4 tahun, cerita kalau dia katanya barusan diajak bapak ibunya jajan soto di Kadipiro. Ketika hal tersebut saya tanyakan ke Bapaknya, dengan entheng Rio berteriak “Apusi wae”. Wah edan, cerita konyol dari Newcastle tiga puluh tahun lalu itu telah bocor ke cucu saya.
Sering tanpa sengaja kami berdua menyinggung kisah pecel apusi wae itu dalam percakapan dengan Nyi. Suatu saat cucu pertama saya Rio yang waktu itu masih umur 4 tahun, cerita kalau dia katanya barusan diajak bapak ibunya jajan soto di Kadipiro. Ketika hal tersebut saya tanyakan ke Bapaknya, dengan entheng Rio berteriak “Apusi wae”. Wah edan, cerita konyol dari Newcastle tiga puluh tahun lalu itu telah bocor ke cucu saya.
Pak Sahala sekarang masih menjabat guru besar oseanografi di
Universitas Diponegoro Semarang dan dosen LEMHANAS. Beliau memperoleh doktornya
juga di NewCastle selang sebentar sesudah saya. Pernah menjabat Direktur
Jendral di salah satu kementerian RI (https://twitter.com/sahalahutabarat
). Pak Romi Muhtarto (alm) pernah menjabat sebagai Direktur Oseanologi di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Nama pak Gatot (alm) diabadikan dalam nama
Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai prof. Dr. Gatot Rahardjo di Jepara.
Salam dan simpati abadi saya untuk beliau.
Manusia memang tidak mampu menghindari petaka yang tidak terduga dalam perjalanan panjang kehidupan ini.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Jakarta 29 Nopember 2014.
Manusia memang tidak mampu menghindari petaka yang tidak terduga dalam perjalanan panjang kehidupan ini.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Jakarta 29 Nopember 2014.