Tengah hari di musim kering tahun 56. Saya masih duduk di
kelas satu Sekolah Rakyat, desa Ngampin Ambarawa. Ramai suasana di dapur, para
pekerja yang jumlahnya puluhan itu sedang makan siang. Mereka bekerja untuk
peternakan sapi atau kebun kopi. Nggak tahu apa yang mereka bicarakan. Ada yang
bersuara keras, ada yang bisik bisik. Suara memberondong dengan irama khas, nada
sedikit menghejan, menerocos tanpa henti. Suara modin dukuh Lonjong di belakang
rumah. Kami biasa memanggilnya Wa Modin yang sering ikut bekerja di kebun kami.
“ Ashar sore ini ada ingsinyir
(insinyur) dari Semarang mau datang. Mau ninjau pekerjaan saluran parit di
depan”. Tak ada yang bersuara, dia tetap saja bicara. Saya tanya sama ibu
kemudian, apa itu ingsinyir. Jawabannya ‘Orang pintar. kau harus belajar biar
jadi ingsinyir’.
Habis makan saya buru buru ke luar. Ke rumah Jumadi, teman
sekelas di sebelah timur gereja, dan Kamto tetangga Jumadi. “ Ada orang pintar,
ingsinyir mau datang, ashar nanti. Meninjau pekerjaan parit di depan”. Kami
bersepakat melihatnya. Jam dua kami bertiga bersama Jumadi dan Kamto, telah duduk di jembatan bambu, atau kreteg, di
tepi jalan raya kira kira 100 meter depan
rumah saya. Diseberang selatan jalan terlihat Ratman yang duduk terpekur
melihat mobil lewat. Enggan diajak gabung menyeberang jalan. Kami memang jarang
main sampai sampai menyeberang jalan
raya Ambarawa Magelang.
Dibawah kreteg, ada parit kecil dengan aliran air jernih dari
bukit di belakang desa. Kami sering mencari ikan di bawah sana, di blumbang
blumbang kecil itu. Paling dapatnya ikan
kotes atau wader. Parit kecil itu rimbun ditumbuhi semak belukar, bambu dan
pisang di tepinya yang agak terjal. Tidak terlalu dalam, tidak lebih dari 3
meter. Seperti biasanya, anjing anjing saya selalu ikut ketika saya duduk duduk
di jembatan itu, tidak tahu mereka mau cari apa. Toh mereka juga tidak paham
siapa itu ingsinyir. Ketika salah satu anjing itu dijerumuskan dibawah, dan
basah kuyup, dia naik lagi dan mengibas
kan tubuhnya di dekat kami. Tahu cara membalas dendam.
Jam tiga, dua mobil tiba dan berhenti ditepi jalan di seberang
sekolah kami. Kira kira 70 meter dari tempat kami duduk. Salah satu mobilnya adalah
Suburban warna abu abu. Beberapa orang turun dari mobil dan langsung ke tepi
parit, disambut mandor dan para pekerja. Kami bertiga mendekati tempat itu.
Saya bisa menebak mana yang ingsinyir diantara rombongan. Orang yang ditengah,
sedikit gemuk berwajah tampan, dan paling banyak bicara, perintah ini itu.
Celana hitam dan kemeja putih. Dia berdiri di lereng parit yang agak terjal
itu. Tangannya menunjuk nunjuk ke berbagai arah, tempat pengerasan tebing parit
dan buk yang menghubungkan kedua sisi tebing. Ada yang aneh. Setiap kali dia
menunjukkan tangan, kakinya ikut naik, kadang kaki kiri, kadang kanan, badan
bergoyang goyang. Kami bertiga heran setengah mati. Kamto berbisik, “ Ingsinyir
ki nek nuding kok nganggo tangan karo sikil ya?”.
Tak lama rombongan itu di sana. Jam setengah lima sudah
lengang. Rombongan ingsinyir dri Semarang sudah pulang. Para pekerja dan mandor
DPU, sudah pulang ke rumah masing masing. Kami mendekati daerah yang ditinjau
tadi. Dibawah, semak semak ditebangi,
juga rumpun pisang dan rumpun bambu yang rimbun. Kamto berdiri persis di tepi
parit yang agak terjal bekas tempat berdiri sang ingsinyir. Dia mulai menunjuk
tempat tempat di dalam parit layaknya seorang ingsinyir. Anehnya, kakinya
serentak ikut naik, kiri kanan kiri kanan, disertai goyangan tubuh yang gontai.
Batin saya ‘ Aneh bukan ingsinyir kok berlagak nunjuk nunjuk pakai tangan dan
kaki”. Tidak berlangsung lama, bukan hanya tubuhnya bergoyang goyang, tetapi
tubuh Kamto kemudian terhempas jatuh ke bawah, ke tumpukan dedaunan itu. Jumadi
yang mengikuti berdiri di tempat itu,
badannya bergoyang langsung jatuh ke bawah, sebelum kedua tangannya dan kakinya
menunjuk nunjuk. Saya berpikir, pantas toh mereka bukan ingsinygir, sehinggak
begitu mudah bergoyang dan jatuh ke bawah. Saya tidak minat untuk berdiri di
dinding terjal itu. Gambaran tubuh insinyir yang bergoyang, serta kemudian Kamto dan Jumadi yang terlempar ke dasar
parit, sudah cukup memberikan sinyal, sesuatu tidak berjalan normal. Something
is not right.
Kami pulang masing masing tanpa kesimpulan apa apa. Jatuh di
parit adalah peristiwa biasa yang hampir terjadi tiap hari buat kami
bertiga. Tidak perlu dipikir lebih
lanjut. Yang menjadi pikiran saya, ingsinyir itu menunjuk pakai tangan dan
kakinya ganti ganti. Apakah karena berdiri ditempat terjal sehingga posisi
badan tidak stabil, atau suatu tradisi turun temurun seorang ingsinyir?. Ah tah
perlu dipikir. Habis mandi sore, mau
makan, ibu saya bertanya “Wis weruh ingsinyir le?” Dengan lugas saya menjawab.
“Wis, ning aneh ingsinyir ki nek tuding tuding nganggo tangan karo sikil”. Ibu
saya agak terhenyak, tetapi tidak bertanya apa apa kecuali pesan ‘sing sregep
le sinau’. Ibu memang bercita cita anak anaknya jadi ingsinyir kemudian.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Poyek DPU itu sudah
rampung. Parit nampak lebih rapi. Dinding arah jalan raya semua di tembok. Di
bawah setiap beberapa puluh meter, terutama ditempat yang menurun, dibangun dam
kecil, mungkin untuk mengendalikan arus air saat banjir. Tidak ada semak
belukar lagi, tidak ada rumpun bamboo atau rumpun pisang lagi. Hanya tersisa
rumpun bambu di lahan orang tua kami. Beberapa bulan kami bertiga tersadar,
blumbang blumbang kecil itu, dimana kami sering mancing dan mencari ikan, juga
ikut hilang bersama normalisasi aliran parit. Kadang terasa aneh, aliran parit
alami diganti dengan aliran buatan manusia, kok disebut normalisasi. Alamkah
yang abnormal ? Atau proyek proyek normalisasi itu yang sebenarnya abnormal.
Tahun tahun berlalu, aliran air di parit semakin kecil, semakin mengering di
musim kering. The drying water. Sebaliknya sering banjir di saat musim hujan.
Tak bisa menyalahkan proyek normalisasi yang abnormal itu. Mungkin juga karena
ludesnya pepohonan di perbukitan belakang desa kami.
Enam puluh tahun lewat. Saya datang kembali di tepi parit itu
suatu sore beberapa waktu lalu. Jembatan bambu sudah ganti dengan jembatan
beton yang dibangun tahun 74. Sore itu saya ingin memeriksa bagian mana dari
parit itu yang paling pas untuk membuat jembatan kedua. Untuk jalur supplai
logistik ternak sapi yang dimulai beberapa tahun lalu. Saya berdiri ditepi
parit bersama dengan salah satu pekerja. Tiba tiba saja saya ingin turun ke
dasar parit. Di dinding parit yang agak
terjal itu, kaki saya terasa gontai, saya angkat kaki kiri saya untuk
mempertahankan keseimbangan. Tetapi tak ayal lagi, saya terjerembab ke dasar
parit. Serentak ingat sang manusia pintar insinyir yang mengangkat kaki sambil
menunjuk nunjuk dengan tangannya enam puluh tahun lalu. Mungkin peristiwanya
hampir sama, hanya dia tidak sampai terjerembab. Ah saya memang bukan insinyir.
Keinginan ibu saya almarhum tercapai, lima dari sembilan
bersaudara menjadi insinyir, dua bersuamikan insinyur, dan hanya saya yang
nyebal tidak jadi insinyir, meski ujian
masuk perguruan tinggi di tahun 69, saya diterima di ITB dan IPB. Saya menjadi dokter dan mencintai profesi ini sampai purna
tugas dua tahun lalu.
Semalam dalam acara peringatan kepergian bapak, ibu, kakak, kakak ipar dan anak saya Moko, saya bertemu
Jumadi, Kamto dan Ratman kembali. Jumadi masih bekerja sebagai petani, anaknya
meninggal tertabrak mobil di jalan raya itu saat masih taman kanak kanak di
tahun delapan puluhan, seperti saya kehilangan anak saya Moko. Kamto masih
aktif sebagai kusir andong. Ratman juga bertani, mungkin sambil meneruskan
profesi ayahnya pak Dulmuji almarhum, sebagai tukang cukur. Pernah saya
ceritakan perihal pak Dulmuji sebelumnya, tukang cukur yang suka berbual,
katanya Joko Tingkir itu dulunya tukang cukur di Demak Bintoro, sebelum jadi
ratu. Pertemanan tak lekang oleh
perjalanan waktu. Juga ingatan akan insinyir itu.
Salam damai,