Wednesday, December 18, 2013
Kang
Suatu waktu, dalam satu acara pertemuan kedinasan di Salatiga. Samar samar ingatanku. Waktu istirahat, seseorang memanggilku “Kang, gimana kabarnya? Lama banget nggak pernah ketemu”. Saya terhenyak. Hanya seorang yang pernah memanggilku demikian. Panggilan akrab. Itupun hanya kadang kala dan sudah lewat 30 tahun yang lalu. Atie. Wanita yang anggun dan lembut. Dia kemudian bercerita. Tentang perjalanannya selama ini. Tentang pengaturan obat obatan, tentang anak anak yang mengalami deficit mental, tentang wanita dalam politik. Perjalanan penuh warna. Penuh dinamika. Tak bisa saya mengikuti semuanya. Lebih banyak mendengarkan. Kadang bingung karena pertemuan tak terduga itu.
Habis pertemuan sore harinya. Saya menuju parkir mobil. Nginap di Ambarawa. Ada acara keluarga besar di Ngampin, di rumah sebelah gereja tua. Tiba tiba Atie, menjinjing tas warna ungu, menyusul. “Kang, ikut ya. Saya ingin liat rumah di Ambarawa”. Sebelum saya menjawabnya, dia dengan sigap duduk di samping saya. Kebetulan nyetir sendiri. “Kita lewat Banyubiru saja. Ingin lihat Rawa Pening”. Saya mengikuti saja permintaannya. Dia bercerita terus. Bahkan mengingatkan sewaktu ketemu di satu hotel kecil, di desa di tepian Kota Wiesbaden, tahun 1988. Saya sedang berkunjung di Jerman ke Wiesbaden dan Erlangen waktu itu. Kami bicara sore sore di kebun belakang sambil menikmati kopi dan diskusi tentang penelitiannya. Dia datang khusus dari Bonn waktu itu.
Dia memang sedang menyusun disertasi di salah satu institute farmakologi klinik terkemuka di Eropa, dibawah bimbingan professor Helmut Kewitz. Dalam suatu konperensi internasional di Yogya, di tahun 86, professor Kewits mendadak menderita serangan jantung. Kami panik semua. Belum ada Intensive Care Coronary Unit waktu itu. Untung selamat, meskipun di saat perjalanan pulang menderita serangan ulang di India dan harus evakuasi emergency.
Suasana mendung. Tetapi rumah sudah ramai penuh kerabat pada kumpul. Nggak tahu acaranya apa. Saya mencari Nyi, kok nggak kelihatan. Katanya di kamar sedang sibuk mempersiapkan pakaian. Bapak saya, duduk tenang di kursi tua itu. Memakai surjan dan blangkon model Yogya. Saya keluar masuk salaman dengan para kerabat. Atie sempat bersalaman dan kenalan dengan kerabat saya dan ngobrol tenang di ruang tengah. Sesaat dia bersalaman dengan Nyi. “ Ki beruntung bisa dapat pendamping kamu”. Ungkapnya singkat sewaktu ketemu Nyi. Kemudian saya lihat Atie berdiam diri. Di sudut halaman melihat bunga Desember yang mulai mekar. Nampak termenung. Mengenakan gaun kekuningan. Agak pucat dalam suasana sore yang redup. Dia kemudian memetik bunga bouginvila warna kuning.
Saya belum sempat bicara dengan Nyi. Para kerabat masih lalu lalang mempersiapkan pertemuan nanti malam. Di luar saya melihat kakak ipar saya menanyi keroncong dengan para pemusik yang akan main nanti malam. Sebagian antre mau mandi sore. Dengan air panas yang disiapkan dari dapur di belakang. Dua orang gadis kecil, cucu keponakan menjinjing ember bersama sama menuju kamar mandi. Saya mengingatkan “Cepat ya jangan main main di kamar mandi”. Tiba tiba saya melihat Atie, sudah memakai kimono dan menyandang handuk warna putih. Dia menuju kamar mandi. Wajahnya begitu redup. Saya menyapanya “Nanti biar diantar sopir ke Salatiga, selesai acara”. Dia terdiam seribu bahasa. Matanya jauh menerawang. Dia tetap berjalan menuju kamar mandi. Ada dua rumpun bouginvila di kiri kanan kamar mandi. Sebelum sampai di kamar mandi, disebelah rumpun bouginvila itu, dia menoleh lagi. Wajahnya nampak pucat. Tetapi dia tersenyum . Sangat anggun.
Tiba tiba saja saya terbangun. Sudah jam 600 lewat. Saya berteriak memanggil Nyi.
“Saya kok mimpi aneh”. “Ah mimpi pagi hari tak ada maknanya” katanya. Dia sedang sarapan dengan cucu saya
. “ Iya saya kok mimpi bertemu dengan mereka yang sudah almarhum ya ?. Dr. Atie Wagiarti. Juga Bapak “.
Nyi membalas tenang. “ Nanti siang tak buatkan bubur”.
Dr. Atie Wagiarti Soekandar, seorang dokter, akademisi dan aktifis. Beliau berpulang beberapa tahun lalu. Kami bertemu pertama kali di tahun 79 dalam kongres di Bali. Kemudian di tahun 85 di Yogya, saat mengantar kunjungan almarhum Dr. Midian Sirait, Direktur Jendral Pengawasan Obat masa itu ke laboratorium saya. Masih ingat waktu itu saya antarkan dia mencari topeng kayu di Nagan, dan kemudian cerita kalau akan mengambil doktornya di Bonn.
Perjalanan hidupnya penuh warna, penuh dinamika, banyak aktif di luar bidang akademiknya. Selain sebagai peneliti dan dosen di Universitas Padjadjaran, dia juga pernah menjabat sebagai salah satu Direktur di badan Pengawasan Obat dan Makanan RI. Juga aktif diberbagai kegiatan sosial. Aktif di Yayasan Pantara yang bergerak dalam kegiatan untuk menolong anak anak yang menderita gangguan khusus kecerdasan, dibawah ibu Karlina Wirahadikusumah. Juga pernah aktif di Indonesian Centre for Women on Politics.
Kami semua dikejutkan dengan berita mendadak di tahun 2008, yang mengabarkan kepergiannya. Kami semua merasa kehilangan seorang teman, seorang akademisi yang penuh perhatian dengan masalah masalah masyarakat. Memang lama sekali kami tidak bertemu. Terakhir mungkin di pertengahan tahun sembilan puluhan di Jakarta. Pagi tadi bertemu dengannya, dia datang hanya dalam mimpi yang samar. Catatan kecil ini untuk mengenangnya kembali. Seorang teman yang penuh dedikasi untuk bidang ilmu dan masyarakatnya. Perjalanan panjang penuh warna, karya dan pengabdian.
Selamat jalan Atie, semoga engkau selalu damai di sana. Kami semua selalu mengingatmu dan menyayangimu. My dear Atie, rest in peace and eternity.
Ki Ageng Similikithi
1
https://www.facebook.com/notes/ki-ageng-similikithi/kang/10152051358223467
Saturday, December 14, 2013
Percakapan santun
Wajahnya begitu santun. Pandangannya menatap ke luar lewat jendela yang terbuka lebar. Angin sejuk berembus lembut. Akhir pekan yang cerah. Tahun delapan puluhan awal. Saya mengantar seorang kerabat bertamu ke Salatiga. Di rumah peristirahatannya. Bapak tersebut, sebut saja namanya bapak Karyo, adalah pejabat Kepala Biro Kepegawaian propinsi salah satu dinas pemerintahan. Sehari sebelumnya sudah memberikan waktu di akhir pekan untuk menemuinya.
“ Dimas, berpuluh tahun saya telah mengamati perjalanan karier banyak pejabat di propinsi ini, sejak awal mereka masuk, sampai ke puncak. Perjalanan panjang penuh warna”.
Ucapannya lembut , sambil menarik napas panjang, seolah menggumam terhadap diri sendiri. Saya duduk di kursi seberang. Sementara kerabat saya duduk di kursi di dekat pak Karyo. Kerabat saya terbata menjawab, seperti tidak siap.
“Injiiiiiih pak. Mila kula sowan Bapak, badhe nyuwun pangestu” . Iya pak, makanya saya menghadap mohon restu.
“Tanpa diminta pun saya selalu memberi restu. Saya adalah abdi negara. Kuajiban saya adalah mengabdi untuk negara”.
Kerabat saya semakin tidak siap memberi response. Kedua tangannya terselip diantara ke dua lutut. Badannya ikut bergoyang saat menganggukkan kepala berulang kali. Dengan gagap dia berkata.
“ Kawula sampun wonten luar Jawa 13 tahun. Nderek nyuwun penempatan wonten mriki”.
Saya sudah bertugas di luar Jawa selama 13 tahun. Mohon penempatan di daerah sini.
Katanya lirih menghiba. Bahasa tubuhnya semakin menunjukkan jika dia dibawah angin posisinya. Hanya mengangguk angguk. Tidak Mengangguk Angguk Sambil Berseru tri lili lili lili, seperti dalam lagu anak anak itu. Kedua tangannya semakin tenggelam di antara ke dua lutut.
“Dimas, sudah sampai saatnya sampeyan balik ke sini, lenggah dadi manggalaning praja, ngayahi tugas narendra gung binathara”. Duduk sebagai pejabat publik, menjalankan tugas mulia. Kerabat saya semakin kehabisan perbendaharaan untuk berkata. Hanya bilang “ injih mekaten”, sambil mengangguk angguk pelan.
Pak Karyo memperbaiki posisi duduknya. Bersandar di kursinya. Sambil terus bicara tentang kuajiban dan tugas pegawai negeri. Matanya tetap menatap langit di luar, seolah mencari petuah dari langit. Beberapa kalimatnya masih teringat saya, seperti yang sering diutarakan dalam penataran P4. Kalimat kalimat itu begitu magis, seolah datang dari dunia sakral. Saya ikut terbawa, kedua tangan saya menyilang di dada dan ikut mengangguk angguk. Tidak sesering kerabat saya.
Hampir setengah jam ritual itu berjalan khidmat. Dalam bahasa yang sangat santun. Penuh ungkapan indah pengabdian abdi negara. Ketika pak Karyo berhenti, dan mempersilahkan kami minum teh, saya menginjak kaki kerabat saya untuk berpamitan. Dia mempersiapkan sesuatu. Amplop dengan garis garis merah di tepi, par avion.
Pak Karyo masih menatap langit di luar sana. Sesekali menarik napas. Tiba tiba setting ritual berubah. Kerabat saya masih dalam posisi duduk. Mendekatkan diri sambil menunduk. Kedua tangannya bebas dari jepitan lututnya. Tetapi diantara jari tangannya menjepit amplop Par Avion itu. Pak Karyo tetap tak mengubah posisinya. Tak membuka kacamatanya. Tetap memandang langit. Tetap bersandar di kursi. Tetapi jari jari tangannya dengan sigap menjepit amplop dari kerabat saya tadi.
Saya terkesiap. Kejadian berlangsung begitu cepat. Pak Karyo berujar. “Ah mbok nggak usah repot Dimas”, tetapi amplop langsung pindah tangan. Amplop ini biasanya untuk pos udara. Paling tidak butuh waktu seminggu jika untuk kirim surat ke luar Jawa. Tetapi pagi itu perjalanan amplop itu hanya berlangsung dalam detik.
Gratifikasi kadang tidak bisa dipisahkan dari kesantunan Jawa. Mungkin hanya ungkapan terima kasih semata. Tetapi kalau gratifikasinya rumah, itu sudah lain masalahnya. Entahlah apapun namanya, entah itu gratifikasi, glondong pengareng areng, memang produk budaya yang bisa menuju jalan sesat.
Salam damai
Ki Ageng
Monday, November 25, 2013
Sang Komandan
Dalam satu konperensi pers mengenai
di tahun 2004 di Manila, seorang wartawan kantor berita pemerintah
negara adidaya Asia mencecar kami dengan
pertanyaan, apa yang bisa anda lakukan dengan para pelaku dan pengedar obat
palsu itu, berapa banyak sumberdaya anda
melawan mereka? Boss agak tersentak
dengan pertanyaan menusuk itu. Dia menjawab dengan tenang dan melempar inti
pertanyaan ke saya, ‘He is the responsible officer in charge”. Saya menjelaskan strategi dan Rapid Alert System yang sedang kami
kembangkan, dan meenghimbau agar pemerintahnya bisa bekerja sama. Dengan nada meninggi saya menutup penjelasan,
“I promise we will hunt down those criminals”. Boss saya agak kaget mendengar nya. Di luar ruangan dia
bertanya, apa maksud kata kata saya.
“Let me work out and get back to you”.
Selang beberapa minggu kemudian, kami menyelenggarakan
pertemuan membahas masalah yang sama di Hanoi. Malam malam di hari pertama, kira
kira jam 1 pagi, ada tilpon berdering. Suara nyaring diseberang sana menanyakan
mengenai masalah peredaran obat palsu, terutama anti malaria di Asia. What your
organization has done so far? Is your organization sleeping and keep quiete on
this issue? Setengah ngantuk saya
menjawab, organisasi kami punya berbagai program dan amunisi melawan peredaran
obat palsu. But you are wright, I am
sleeping now, its pass mid nite . Not a good time for an interview. Anda menghubungi kami lewat tengah malam,
bukan saat tepat untuk wawancara.
Erik, seorang perwira polisi dari
salah satu negara Skandinavia mewakili lembaga kepolisian internasional sengaja
kami undang dalam pertemuan tersebut. Kami belum sempat berbicara secara
pribadi dengan dia. Hanya tahu dalam perkenalan di awal sidang dan saat dia
presentasi menjelaskan programnya saja. Kemudian dia minta bertemu informal
sorenya sesudah sidang selesai. Saya menyanggupi dan mengajak wakil saya Truls
bertemu dia di coffee shop hotel. Erik ternyata
pribadi yang hangat, ramah dan mudah diajak diskusi. Agak terkejut
ketika dia membawa hadiah sebotol anggur putih dengan merek dari lembaganya,
lembaga kepolisian internasional. Truls
menginjak kaki saya ketika saya akan menerima botol anggur itu. Erik melihat
keraguan kami. “No worry friends. This is a legal product from my organization.
Not confiscated from raids”. Kami tertawa semua
dan bergurau tentang pemalsuan anggur. Kemudian bicara santai mengenai kemungkinan kerja
sama operasi bersama.
Beberapa waktu berlalu, Erik
kembali ke negaranya dari kantor lembaga kepolisian internasional. Dia
mendapatkan promosi menjadi kepala kepolisian wilayah di sana. Mungkin sama
dengan Kapolda kalau di Indonesia. Truls, wakil saya pindah ke Fiji,
kedudukannya digantikan oleh seorang staf putri yang tadinya pejabat tinggi di
Mongolia. Seorang perwira SY dari
Inggris menggantikan kedudukan Erik, namanya John. Dia seorang perwira yang
sangat berpengalaman dalam operasi sandi melawan kejahatan antar negara.
Dalam pertemuan di Manila tahun 2006, kami mulai membuat
rencana strategis kerjasama antara dua organisasi untuk melawan peredaran obat
palsu terutama anti malaria di Delta Mekong. Organisasi kami diwakili oleh Eva
dan saya , penanggung jawab program malaria dan program obat obatan. Kami
menyelenggarakan berbagai pertemuan dengan laboratorium laboratorium forensik terkemuka di dunia dari Kanada, USA,
Australia dan New Zealland. Menjelang salah satu pertemuan di Manila, di tahun
2007, John bilang kalau masa tugas di lembaga kepolisian antar negara sudah
selesai dan harus kembali ke negaranya. Dia akan mengajak staf penggantinya.
Ketika pertemuan koordinasi
terjadi, benar John membawa
kolega yang akan menggantikannya, seorang perwira polisi dari Perancis.
Saya tidak bisa menutupi kekagetan saya ketika dia diperkenalkan, seorang
wanita muda yang gemulai dan bahasa halus dengan aksen Perancis yang khas. Dia lebih
pantas menjadi peragawati atau bintang layar lebar kayaknya. Salah
seorang pejabat senior yang hadir sempat
bertanya apa ranking dia di kepolisian negaranya, mungkin juga karena rasa kaget
saja pertanyaan nggak pas ini meluncur.
Aline manjawab dengan tenang bahwa dia berpangkat kapten, tetapi sudah
berpengalaman dalam investigasi forensic
dan operasi di lapangan.
Kesan kami berubah total ketika dia mulai menjelaskan hasil
hasil pemeriksaan forensik terhadap sampel sampel yang dikumpulkan. Analisisnya
begitu tajam. Dia bisa memperkirakan kira kira fasilitas pabrik seperti apa
yang dipakai untuk memproduksi obat palsu tersebut. Termasuk menebak lokasi
asalnya berdasarkan kandungan serbuk
benang sari tetumbuhan dan senyawa kapur yang ada di dalam sampel. Ada satu lokasi di salah satu daerah pegunungan di Asia yang
sangat mungkin menjadi tempat produksi
obat obat palsu tersebut. Bukti bukti ini lebih dari cukup untuk diberikan
kepada kepolisian negara yang bersangkutan dan mengajak kerja sama operasi
lapangan.
Sejak itu secara resmi kendali operasi dipegang oleh Aline
atas nama organisasinya. Kami hanya mendukung di belakang dan melakukan
koordinasi dan penggalian sumberdayanya. Beberapa rapat koordinasi yang rumit, terutama
yang menyangkut kepekaan politik suatu negara, bisa dilalui dengan lancar. Di
sebagian besar negara kegiatan ini mendapatkan perhatian khusus dari pemimpin
politik, bahkan seorang wakil menteri dalam negeri suatu negara penting, ikut
datang dan memberikan masukan akan harapan dari negaranya.
Operasi pertama berhasil gemilang. Berjuta juta dolar obat palsu bisa diamankan secara serentak di negara negara yang ikut dalam operasi bersama ini. Organisasi di mana Aline bekerja, yang memimpin operasi, menyebarkan press release di media global. Organisasi dimana saya bekerja, sesuai dengan cara kerja yang telah dianut bertahun tahun, tidak membuat publikasi besar besaran. Tetap low profile, walau sebagian besar beaya operasi datang dari program saya. Tetapi tak ayal, radio ABC mewawancarai saya langsung, hanya diberi tahu setengah jam sebelumnya. Karena keberhasilan operasi pertama, maka kemudian disepakati untuk mengulang sekali lagi operasi bersama yang melibatkan tiga lembaga internasional, dan tiga lembaga nasional dari 6 negara Asia tersebut. Aline memegang kendali operasi berkoordinasi dengan lembaga regulasi dan penegak hukum di masing masing negara. Operasi tahap ke dua juga berhasil gemilang, dan ditutup secara resmi dalam satu pertemuan di Yogyakarta.
Operasi pertama berhasil gemilang. Berjuta juta dolar obat palsu bisa diamankan secara serentak di negara negara yang ikut dalam operasi bersama ini. Organisasi di mana Aline bekerja, yang memimpin operasi, menyebarkan press release di media global. Organisasi dimana saya bekerja, sesuai dengan cara kerja yang telah dianut bertahun tahun, tidak membuat publikasi besar besaran. Tetap low profile, walau sebagian besar beaya operasi datang dari program saya. Tetapi tak ayal, radio ABC mewawancarai saya langsung, hanya diberi tahu setengah jam sebelumnya. Karena keberhasilan operasi pertama, maka kemudian disepakati untuk mengulang sekali lagi operasi bersama yang melibatkan tiga lembaga internasional, dan tiga lembaga nasional dari 6 negara Asia tersebut. Aline memegang kendali operasi berkoordinasi dengan lembaga regulasi dan penegak hukum di masing masing negara. Operasi tahap ke dua juga berhasil gemilang, dan ditutup secara resmi dalam satu pertemuan di Yogyakarta.
Tahun tahun berlalu, saya masih mengingat dengan jelas
kegiatan operasi tersebut. Saya merasa beruntung bisa mendorong dan terlibat
dalam operasi bersama yang melibatkan berbagai lembaga internasional dan lembaga
lintas sektoral di berbagai negara.
Betapapun rancangan dan rencana yang telah dibuat dalam perencanaan,
tetapi faktor keberhasilan adalah
komando operasi antar negara, yang dipegang Aline. Dia seorang komandan operasi
yang sangat teliti dan berdedikasi. Pribadi yang hangat dan sabar dalam setiap
tahap negosiasi. Ketika angin politik
menerpa bertubi tubi, semua keputusan
dikembalikan kepada para politisi untuk membuat keputusan, asalkan kegiatan
kerja sama tetap berjalan untuk keamanan publik. Ketika tiba waktunya saya meninggalkan
organisasi saya karena pension, pengganti saya Klara mempelajari operasi ini
dengan seksama dan memutuskan akan meneruskannya.
Wednesday, July 31, 2013
I am on my way to Tengri Loo
Terhenyak saya menerima pesan singkat di
inboks. Sangat singkat. I am on my way to Tengri Loo. How are you my dear
? Menjelang tengah malam ketika menerima pesan itu. Belum jernih benar
siapa si pengirim. Akhir akhir ini memang sering banyak pesan masuk
inboks. Isinya macam macam, kadang aneh. Sambil lalu saya balas “ I am fine.
Whats up?”. Beberapa saat kemudian dia membalas lagi. “You must have
forgotten me. We were supposed to go to Issyk Kul”.
Kaget setengah mati ketika dia menyebut Issyk Kul. Danau indah di Asia Tengah. Lebih dua puluh tahun telah berlalu. Kami bertemu dalam suatu misi di Kyrgistan, Aika baru beberapa tahun kembali dari Sophia, Bulgaria. Sejak sekolah menengah tinggal di Bulgaria dan menamatkan pendidikan universitas.Di awal sembilan puluhan, setelah Kyrgiztan lepas dari Uni Soviet, dia mendapatkan tugas mengepalai unit logistik dibawah Kementrian Kesehatan. Kami berempat dengan beberapa kolega dari kantor Eropa waktu itu, diundang pemerintah Kyrgiztan untuk membantu transisi dari sistem Uni Soviet ke sistem yang lebih modern yang dianut banyak negara di dunia. Tidak gampang. Telah ada sistem tetapi kolaps. Lebih mudah datang di negara2 kurang berkembang dimana belum ada sistem sama sekali.
Kaget setengah mati ketika dia menyebut Issyk Kul. Danau indah di Asia Tengah. Lebih dua puluh tahun telah berlalu. Kami bertemu dalam suatu misi di Kyrgistan, Aika baru beberapa tahun kembali dari Sophia, Bulgaria. Sejak sekolah menengah tinggal di Bulgaria dan menamatkan pendidikan universitas.Di awal sembilan puluhan, setelah Kyrgiztan lepas dari Uni Soviet, dia mendapatkan tugas mengepalai unit logistik dibawah Kementrian Kesehatan. Kami berempat dengan beberapa kolega dari kantor Eropa waktu itu, diundang pemerintah Kyrgiztan untuk membantu transisi dari sistem Uni Soviet ke sistem yang lebih modern yang dianut banyak negara di dunia. Tidak gampang. Telah ada sistem tetapi kolaps. Lebih mudah datang di negara2 kurang berkembang dimana belum ada sistem sama sekali.
Aika adalah salah satu anggota tim tuan rumah
waktu itu. Berhari hari kami diskusi dengan mereka untuk memformulasi
kebijaksanaan nasional dalam bidang farmasi. Aika ternyata professional muda
yang sangat dinamis. Charming and intelligent. Sangat mudah bergaul.
Dalam kelompok selalu bisa mengatasi perbedaan. Kami semua dibuat
terkagum kagum.
Kami tinggal di suatu hotel di tepi kota Bishkek. Di belakang hotel terhampar padang rumput yang luas. Lupa bulannya ketika itu, tetapi cuaca masih dingin buat saya untuk berjalan jalan di padang itu. Beberapa orang sering lalu lalang di padang naik kuda. Suatu sore kami jalan jalan dengan Aika. Dia mengajak naik kuda. “Saya berdarah Mongolia, sangat akrab dengan kuda, di waktu liburan”. Saya sekali memberanikan diri naik kuda, suatu sore. Mungkin nampak aneh dan kikuk. Saya bilang, terakhir saya naik kuda waktu umur 13 tahun. Jatuh dari pelana, terseret dan kapok tidak pernah mencobanya lagi.
Sewaktu kecil, memang kami punya dua kuda. Satu kuda pacu yang tidak begitu ramah, dan satunya kuda tunggang,namanya Mirah. Kuda pacu kami mati sakit tetanus karena dibacok seseorang pada suatu malam di tahun 60, menjelang perlombaan se kawedanan. Kuda bisu itu memang pendiam tetapi telah beberapa kali memenangkan kejuaraan di Ambarawa dan sekitarnya. Kami begitu kehilangan waktu itu. Ayah saya memutuskan untuk tidak lagi memelihara kuda sampai akhir hayatnya.
Memandang Aika memacu kuda dalam suasana sore yang redup sangat
menakjubkan. Pemandangan indah. Rambutnya berjurai
tertiup angin. Tubuhnya bergerak luwes berirama mengikuti
derap kuda. Mungkin seperti yang sering digambarkan dalam cerita,
tentara perempuan Mongolia, yang begitu terampil di punggung kuda.
Aika berwajah jelita. Seperti kebanyakan wanita Kyrgiztan, warna
putih bersih, walau sedikit pucat.Kami tinggal di suatu hotel di tepi kota Bishkek. Di belakang hotel terhampar padang rumput yang luas. Lupa bulannya ketika itu, tetapi cuaca masih dingin buat saya untuk berjalan jalan di padang itu. Beberapa orang sering lalu lalang di padang naik kuda. Suatu sore kami jalan jalan dengan Aika. Dia mengajak naik kuda. “Saya berdarah Mongolia, sangat akrab dengan kuda, di waktu liburan”. Saya sekali memberanikan diri naik kuda, suatu sore. Mungkin nampak aneh dan kikuk. Saya bilang, terakhir saya naik kuda waktu umur 13 tahun. Jatuh dari pelana, terseret dan kapok tidak pernah mencobanya lagi.
Sewaktu kecil, memang kami punya dua kuda. Satu kuda pacu yang tidak begitu ramah, dan satunya kuda tunggang,namanya Mirah. Kuda pacu kami mati sakit tetanus karena dibacok seseorang pada suatu malam di tahun 60, menjelang perlombaan se kawedanan. Kuda bisu itu memang pendiam tetapi telah beberapa kali memenangkan kejuaraan di Ambarawa dan sekitarnya. Kami begitu kehilangan waktu itu. Ayah saya memutuskan untuk tidak lagi memelihara kuda sampai akhir hayatnya.
“Jika ada waktu, lebih baik tunda keberangkatanmu. Saya temani ke Issyk Kul beberapa hari”. Issyk Kul adalah danau indah di daerah perbukitan Tengri Loo arah Timur Laut. Di dekat perbatasan dengan Xinjian province China.Orang China menyebut Tengri Loo dengan Tian Shan. Tidak mungkin merubah jadual perjalanan. Kami dalam misi resmi. Aika pula yang mengatur kenang kenangan dari Wakil Perdana Menteri. Teman teman dihadiahi kenang kenangan kotak catur dari gading. Saya bilang tidak main catur. Kemudian diberi topi khas Kyrgiztan dan cambuk kuda dari kulit. Saya tidak mengharapkan hadiah sebenarnya, tetapi I love this hat, thank you so much dear.
Dia bersama rombongan mengantar kami sampai ke perbatasan. Berhenti beberapa waktu di atas perbukitan. Menjelang sore ketika itu. Sejauh mata memandang hanya padang rumput warna keemasan bergelombang naik turun. Kami disuguh daging kambing yang di panggang. Ada banyak paha kambing dihidangkan waktu itu. Beberapa orang mulai menari setelah minum. Saya tidak ikut minum.Nggak terbiasa. Kesulitan yang saya hadapi di Kyrgiztan hanya satu. Makanan hanya daging sama keju dan susu. Jarang sekali jumpa sayuran. Aika memeluk erat saat kami berpisah. Saya yakin ini bukan tradisi Kyrgiztan, tetapi pasti dari Sophia. “ We are supposed to go to Issyk Kul”, sapanya sambil berkaca. Kami berpisah. Malam itu jalan darat menuju Almaty, Kazakhtan. Tiba di sana tengah malam.
Pagi sekali naik pesawat dari bandara Almaty,
lewat Frankfurt, Bangkok, dan Jakarta. Sewaktu datang pertama di
Kazakhtan dulu, saya benar benar kaget. Orangnya wajahnya khas
Asia, tetapi badannya tinggi tinggi seperti orang Eropa. Saya pikir, ini Eropa
enggak, Asia juga enggak, sampai saya tilpon Nyi. Di Frankfurt sebelumnya
pemegang paspor Indonesia tidak perlu visa. Tetapi waktu datang sepuluh hari
sebelumnya, saya telah dapat visa on arrival, bayar 10 DM. Meski punya
visa,imigrasi ketatnya nggak karuan. Mereka sangat hati hati oleh karena banyak
orang Asia Tengah masuk Eropa waktu itu.
Beberapa kali masih sempat kontak lewat surat
dengan Aika. Pernah minta dibuatkan tulisan yang indah. Saya kirimkan
catatan singkat berjudul Elegant Lady from Tengri Loo.
Lama tak mendengar kabar kemudian. Sepuluh tahun berlalu, di awal tahun
dua ribu, kami tak sengaja bertemu di Geneva. Dia bukan lagi seorang
smart young professional. Dia sudah menduduki jabatan tinggi di
pemerintahan. Dia memimpin delegasi negaranya dalam negosiasi. Kami
sempat makan malam dan ngobrol di salah satu rumah makan ditepi danau.
Obrolan ringan. Dia masih bilang ‘ We were supposed to go to
Issyk Kul”.
Pertemuan terakhir kami lebih setahun lalu di
Sydney. Dalam suatu konperensi Asia Pasifik. Tak pernah ada dalam agenda,
tetapi saya memang bermaksud pamitan pension kepada teman teman. Aika datang
sehari sebelum konperensi. Saya kaget setengah mati ketika menerima pesannya di
hotel. Saya tidak pernah memberitahunya. “Staf saya bilang kau disini
Ki,mau pension. Saya kebetulan juga sedang di Canberra”. You must be
very happy to retire. I hope I can come to Borobudur, and you can come to Issyk
Kul. Kami mengobrol di salah satu rumah makan di Darling Harbour. Saya
tidak bisa tenang. Power point plenary lecture saya belum saya
finalkan.
Pesan singkat dalam inboks kali ini ditutup dengan kata katanya yang
khas. So long my dear. Terbersit dalam benak saya “An elegant lady from
Tengri Loo”.Salam damai
Ki Agen Similikithi
Subscribe to:
Posts (Atom)