“Saya minum Saparela
saja”, Menik tiba tiba memutuskan
pilihannya. Saya terhenyak sesaat. Kami sedang minum di warung di
sudut lapangan Manahan, Solo suatu sore yang cerah di tahun 1974. Saya
belum pernah tahu minuman itu. Minuman khas dari tumbuhan sarsaparilla yang
tumbuh di Amerika Latin. Hanya teringat samar samar cerita pendek di tahun 60 yang
saya baca di majalah Panyebar Semangat. Dalam cerita itu, sepasang mantan
kekasih janjian bertemu sesudah berpisah puluhan tahun. Saat bertemu si teman wanita
pesan minuman Saparela, minuman kesukaan mereka saat masih pacaran dahulu.
Lokasi ceritanya di Surabaya, bukan di Solo.
Saya dan Menik minum bersama
bukan dalam rangka pacaran atau mengingat masa pacaran. Saya baru kenal dia beberapa minggu, saat ko skap di
rumah sakit Kadipolo.
Menik masih kuliah di suatu akademi tari di Solo. Katanya
sudah dua kali ikut pentas sendratari Ramayana. Nggak tahu sebagai apa, jelas
bukan Dewi Sinta atau Dewi Trijata.
Nggak pas, terlalu gagah untuk memainkan kedua peran tadi. Dia berperawakan
tinggi dan gagah untuk ukuran wanita Jawa,
berwajah manis, muka oval indah. Yang paling menarik adalah gerak gerik tubuhnya saat bicara. Gerakan
spontan dengan sinar mata menari nari mengiringi kata kata yang keluar teratur dari
mulutnya. Gerakan yang indah dan koheren.
Entah karena bawaan atau karena kebiasaannya sebagai penari. Begitu mulai bicara
dia biasanya akan bercerita terus dengan penuh gairah dan mata berbinar. Bukan sekedar seperti burung prenjak yang selalu riang
berkicau. Wanita yang banyak bicara sering mendapat julukan si burung prenjak
dalam khasanah budaya Jawa. Dia lebih menyerupai burung branjangan, saat
berkicau tubuh dan ekornya selalu bergerak indah, seolah ingin pamer ke dunia.
Terus terang saya lebih tertarik mengamati gerak gerik tubuh
dan sinar matanya saat bercerita. Bukan materi pembicaraannya. Isi pembicaraan cenderung
kabur, mendekati imaginer. Melompat dari satu topik ke topik yang lain, kadang agak
manja kekanakan. “ Ki, saya kok pengin
tahu, mahasiswa kedokteran itu kalau
pacaran pakai ciuman mulut enggak ya ?” Tidak perlu saya jawab pertanyaan itu.
Usang, pantasnya diajukan 20 tahun lalu, di tahun lima puluhan, ketika orang
pacaran biasanya hanya ciuman pipi atau tangan. Kalau memanas, paling banter berpelukan dan kaki kanan si pria naik
sedikit, atau nangkring. Tahun enam
puluhan sudah terjadi revolusi besar besaran. Orang pacaran hampir pasti cium
bibir. Termasuk para kamerad di negara tirai besi sekalipun. Hanya sapi dan domba
mencium bokong saat bermadu kasih, maklum mereka memang bukan spesies Homo
sapiens.
“Saya tidak akan berciuman bibir, jika pasangan saya belum
periksa Roentgen dan terbukti bersih paru parunya. Calon dokter biasanya pasti
sudah diperiksa Roentgen ya Ki?”.
Pertanyaan ini secara teknis
seratus persen benar, tetapi tak enak rasanya untuk dibahas di dunia nyata.
Menghindari penularan penyakit tuberculosis. Kami ngobrol sampai menjelang
pukul lima sore. Pembicaraan tanpa arah, tanpa substansi yang berarti. Tetapi
saya tetap menikmati gerak geriknya yang
luwes dan terkoordinir rapi. Di akhir
pembicaraan, dia membetulkan make up di wajahnya. Wajah yang halus terpelihara.
Tidak lupa meneteskan minyak wangi di bajunya. Bau wangi dan menyengat dalam
sekali, untung sudah mau pisah, baunya bikin pusing. “ Ki Sabtu depan saya ada
latihan sampai jam empat sore. Habis latihan saya mampir ke rumah sakit. Main
ke rumah ya?”. Saya mengiyakan dengan ringan. Dia memang sering latihan di
sasana tari, di dekat rumah sakit Kadipolo. Dengan sepeda jengki warna hijau,
dia mengayuh ke arah utara, menghilang berbaur dengan iringan manusia yang pulang
ke rumah masing masing.
Dua hari kemudian, hari Sabtu, saya tidak giliran jaga.
Bangun tidur siang cepat cepat mandi. Menik datang sesuai janji, kira kira jam
setengah lima sore. Mengenakan celana panjang cutbray dan baju lengan panjang
warna putih. Sangat serasi dan anggun. Senyum ceria tersungging di wajahnya.
Dia memang berpenampilan dan berwajah menarik. Seperti umumnya gadis Solo, gampang bergaul dan cepat akrab, agak sedikit
kenes. Saya merasa bersahabat akrab semata. Tak ada keinginan lebih dari itu. It
is not my style, its too vibrant and noisy. Sore itu kami sempat jalan menyusur Singosaren.
Kami makan malam di suatu rumah makan di ujung jalan. “Ki, orang pacaran harus selalu
sedia minuman segar ya? Teman saya cerita, dia pacaran sama orang Tasik ”. Saya
membalas sekenanya “ Benar, orang Tasik biasanya suka makan petai dan jengkol.
Bisa terbius pasangannya”. Menik cerita dengan semangat. Ingin jadi penari
beken, jadi primadona, atau paling tidak punya sasana tari di kemudian hari.
Jam tujuh kami naik becak menuju ke rumah Menik. Arah ke
utara, sampai Manahan ke Barat, lalu masuk jalan gelap menuju desa Sumber. Gelap
gulita. Penerangan listrik hanya di pusat kota waktu itu. Menik menggengggam
tangan saya erat sekali. Ceritanya tetap saja mengalir tanpa henti. Tetapi nada
suaranya berubah rendah mendesah, tidak bernada kenes lagi. Duduk mepet
bersandar di bahu saya, sesekali mengingatkan “Jangan macam macam lo Ki”. Batin
saya, siapa yang mau macam macam. Perawan kencur selalu mendua, penuh keraguan.
Akhirnya becak berhenti di persimpangan gang. Sopir becak
ternyata tak sanggup mengantar terus. Jalan terlalu rumit (Jawa : rumpil) dan
gelap katanya. Saya bayar ongkos becak, dan kami berjalan berdua dalam
kegelapan melalui jalan sempit di tengah ladang. Beberapa saat lewat ladang
tiba tiba saja di sebelah kanan jalan sempit itu, terlihat rumpun kamboja. Kuburan
batin saya. Menik menggamit tangan saya dengan erat. Tangan kiri saya memeluk
pinggangnya, reaksi spontan untuk melindungi kalau ada apa apa. Bukan untuk
yang lain. Bau bunga kamboja terbawa angin dingin menerpa lembut. Sesaat Menik
berhenti, napasnya mendesah ringan. Dia menengok ke arah saya. Wajahnya begitu
dekat sampai terdengar jelas irama napasnya. Dan hawa napas menyapu lembut
wajah saya. Tanpa sadar kami telah berpelukan. Dia tersenyum manis, baris
giginya yang putih nampak dalam kegelapan malam. Bau parfum itu sangat
mengusik, menusuk paru saya. Tiba tiba
saja angan saya melayang. Iya kalau ini betul betul Menik ? Jangan jangan jadi jadian. Rasa takut datang
menghunjam mematikan semua naluri asmara. Resiko lebih besar dari manfaat. Saya mengendurkan pelukan saya. “Nggak usah
macam macam dulu aah”. Tersadar dia juga melepaskan genggaman tangannya. Kami
terus berjalan dalam kegelapan dan keheningan.
Beberapa saat kemudian
sampai ke rumahnya. Ada halaman tak begitu luas di depan. Gelap tak ada
penerangan, kecuali sinar lampu minyak dari ruang tamu. Bapaknya yang
membukakan pintu depan. “Gek mulih nDhuk?”. “ Iya pak, saya dengan Ki dari
Yogya”. Saya dikenalkan dengan bapak dan ibu Menik. Bapaknya seorang perwira
polisi. Ibunya aktif di organisasi. Menik nampak manja dengan bapak ibunya.
Keluarga yang bahagia dengan dua putra. Adik lelakinya duduk di bangku SMA.
Ternyata satu sekolahan dengan adik saya, di SMA Santo Josef, sekolahan saya
dulu. Pembicaraan basa basi sejenak,
kemudian saya dipersilahkan duduk di
ruang tengah. Kami duduk di sudut
ruangan. Diseberang ruangan bapaknya Menik duduk di kursi malas, sambil
membaca koran. Nampak sebuah pistol berikut tempatnya tergantung di dinding di
dekatnya.
Menik memberi isyarat untuk pindah ke ruang tamu. Kami duduk
berdampingan di kursi panjang yang terbuat dari rotan. Mengobrol dengan
berbisik. Tak banyak bersuara tetapi obrolan semakin intens. Gayanya semakin
memukau seperti burung branjangan. Sesekali kursi rotan berderit ketika kami
bergeser semakin mepet. Tangan saling menggenggam erat, kemudian tangan kiri
saya melilit pinggang, wajah wajah kami semakin mendekat. Kursi rotan berderit
ikut bernyanyi. Tiba tiba ada suara gaduh luar biasa. Braaak. Saya menengok ke
arah ruang tengah. Ternyata bapak nya Menik meloncat berdiri dengan tiba tiba.
Pikiran melayang ke revolver yang tergantung di dinding itu. Jantung saya
berdebar keras mau putus. Hanya sesaat oleh karena kemudian dia beranjak mau ke
belakang. Nyali saya terlanjur menciut. Ini risiko lebih besar dari pada
enaknya. Lebih baik mundur secara taktis. Menjelang jam sembilan saya pamitan.
Menik mengantar sampai pagar halaman. Pesannya singkat. “Minggu depan main lagi
ya Ki”. Tak bisa janji saya. Itu minggu terakhir tugas di Solo.
Hari Sabtu seminggu kemudian, setelah ujian, saya bergegas pulang
ke Yogya. Tak bisa menemui Menik untuk pamitan. Saya titip surat lewat seorang
teman. Minta maaf kalau saya harus cepat cepat pulang ke Yogya. Dua minggu
kemudian saya menerima surat Menik beserta sebuah foto. Dia memakai celana
cutbray hitam dan baju putih dan memegang payung dalam foto itu. Kami masih saling berkirim surat beberapa
kali sesudah itu. Tak ada obral janji. Tak ada pengkhianatan. Hanya
pesahabatan. Saya menikmati persahabatan itu dan menghargai dia sepenuhnya.
Foto itu dulu masih tersimpan di album lama saya. Kini saya cari album itu. Sudah
rusak dan foto itu tidak ada lagi di sana.
Hampir lewat empat puluh tahun. Catatan ringkas mengenang
Menik sang primadona. Semoga impiannya telah tercapai.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Ki Ageng Similikithi