Sunday, May 31, 2015

Bir temulawak

"Biiiiirrrrrr, Biiirrrrrrrrrr, Biiiiiiirrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr temulawak". Teriak nyaring penjual jamu di tahun 56 - 57. Seorang pria usia lanjut. Mungkin kepala lima atau lebih. Rambutnya sudah memutih. Giginya sudah ompong. Berjalan pelan menyusur jalan. Lewat kampungku sekitar pukul 10. Dia berasal dari Sumber, kampung sebelah. Kami sedang duduk duduk di halaman gereja, di desa Ngampin Ambarawa. Sering terpancing untuk menyambut teriakan bakul jamu itu. Mbah Buang namanya. Raut wajahnya yang renta masih teringat jelas. Hampir selalu pakai celana kombor dan baju bodong warna putih. Spontan kami berteriak. " Lambe njedhir kakehan telak". Spontan saja, tak bermaksud memperolok olok. Juga tidak begitu perhatian apa makna kalimat itu.

Siang harinya. Hujan renyai. Kami kumpul kembali di halaman gereja, saya Kamto dan Jumadi. Kambing kambing saya dengan tenang makan rumput di kebun kami di sebelah gereja. Penjual jamu itu berjalan pelan dari arah barat. Dalam perjalanan pulang. Tiba tiba saja dia berbelok masuk halaman gereja. Berteduh bersama kami. Dia mulai merokok dengan rokok kelobotnya. Kamto yang memulai menyapa. "Empun telas mbah?". Menanyakan apakah jamunya sudah habis. "Wis entek, kari sisa. Wis entek telake". Dia menyahut ringan. tetapi saya membau nada sindiran yang tajam. Belum sempat bertanya lagi dia terus ber kata. " Nek cah sekolah ki sing sopan le. Ngerti tata krama. Ngapa ndadak muni Lambe Njedhir Kakehan Telak ?.  Kami bertiga hanya diam saja. Saya sendiri baru sadar jika teriakan kami pagi tadi membuatnya tidak senang. Pikir saya kok bisa  ya? Dia kan tidak njedhir bibirnya. Tak ada alasan untuk tersinggung. Tiba tiba dia mengambil cangkir dan mulai menuang jamunya, setengah cangkir. Memberikannya kepada kami. " Ayo dha ngicipi jamu temulawak le". Jumadi dan Kamto dengan sigap menerima dan meminumnya. Matur nuwun Mbah. Saya mendapat giliran terakhir. Berusaha meminumnya. Manis rasanya. Tetapi berat untuk menelannya. Penjual jamu itu kemudian meneruskan perjalanan. Memikul keranjang yang berisi 2 kuali kosong, satu  tempat jamu, dan satu kuali untuk air guna membersihkan cangkir. Pulang ke rumah, perut terasa mual. Saya muntah muntah. Mungkin tidak tahan aroma temu lawak, juga merasa bersalah memperolok penjual jamu yang renta itu.

Berpuluh tahun kemudian, 1971, saya ditawari jamu temulawak tetangga waktu mondok di Suronatan, Yogya. Dia juga menjual jamu temu lawak. Enak rasanya, saya minum dengan lahap sekaligus menghilangkan dahaga di siang yang panas. Sorenya, secara mendadak saya muntah muntah. Gak tahu mengapa. Jamu itu padahal terasa manis. Tahun 2015 dalam pesta perkawinan putra seorang teman, Prof. Hardhono di Semarang, disuguhkan jamu temulawak. Tamu tamu antre minum jamu. Nyi mendesak saya untuk minum. Biar sehat katanya. Saya minum sedikit. Rasanya enak. Pembuat jamunya, seorang wanita mudah yang ramah menarik. Tetapi ingatan saya tak lepas dari raut wajah Mbah Buang,  penjual jamu dari Ambarawa, yang kami teriaki lambe njedir kakehan telak itu puluhan tahun lalu. Tahun 77, saya telah menjadi asisten dosen waktu itu. Ikut menghadiri Konggres Farmakologi Indonesia, di Semarang. Seorang dosen senior berapi api mengajukan hasil penelitian mengenai temulawak. Kebetulan bibirnya agak tebal, suaranya keras. Ingatan saya melayang ke peristiwa di pertengahan tahun lima puluhan itu. "Lambe njedhir kakehan telak".  Temulawak (Curcuma) berisikan senyawa Curcumin, salah satu warisan nenek moyang yang sudah diterima di jaman modern. Saya pernah berkesempatan ikut jadi anggota pembimbing seorang teman, Alm. Dr. Imono Argo Donatus, menyelesaikan disertasinya tentang temu lawak. Sayang saya tidak pernah bisa menikmati rasa jamu temu lawak itu. Selalu saja terasa mual meski sudah berkali kali mencobanya. Tidak tahu apakah semata mata karena alasan biologis & fisiologis. Jangan jangan karena kualat memperolok mbah Buang, Lambe Njedhir Kakehan Telak. Pelajaran berharga, jangan sekali sekali memperolok orang tua.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi