Monday, January 12, 2015

Memberi pelajaran



Napas saya sudah hampir putus. Berusaha menutup lapangan kiri kanan, depan belakang. Partner main saya pak Nono, juga sama, padahal biasanya dia tangguh luar biasa dengan smash smash mematikan. Pertengahan tahun delapan puluhan. Minggu pagi yang cerah. Kami  main badminton bersama di lapangan kompleks Condongcatur. Klub kami namanya Orak Arik, dengan harapan bisa selalu mengobrak abrik lawan dalam setiap tanding di kandang lawan. Termasuk agresip, setiap dua bulan selalu mendatangi kandang klub lain dan unjuk kekuatan. Sayang semangat saja ternyata tidak cukup, jarang bisa menundukkan lawan di kandangnya. Dalam doktrin perang modern dikenal dengan pre-emptive strike. Kekuatan tim terlalu amburadul untuk melakukan preemptive strike.

Pagi itu saya berpasangan  dengan pak Nono. Umur kami hampir sama, saya sedikit diatas kepala empat, dia sedikit dibawah kepala empat. Biasanya  kami berdua bisa main efektif sekali. Menutup lapangan kiri kanan, depan belakang, dengan kompak, diseling dengan smash mematikan. Jika musuh tak berkutik menahan smash kami, sepatu kami hentakkan ke lantai, seolah ingin menggilas sampai lumat lawan yang sudah mati tidak berkutik di lantai. Waktu itu menjelang bulan Agustus,  banyak pertandingan antar kampong. Klub kami maunya ada seleksi pemain untuk persiapan nglurug ke kandang lawan. Lawan main kami pagi itu pak Dulah dan pak Rifai. Beliau sudah hampir atau lewat kepala enam. Dua duanya pensiunan pegawai negeri sipil. Gerakan mereka biasanya agak lambat. Lebih seneng main lop dan dropshot, jarang main smash. Sebelum main sempat bercanda, sekaligus perang urat saraf. Saya bilang ‘wah ini kesempatan memberi pelajaran’. Pak Dulah tertawa sambil berkata ‘ Enggih anggere tanggung jawab”.

Set pertama kami berdua dibuat terkejut. Taken by surprise. Cepat sekali pak Dulah dan pak Rifai mengumpulkan poin. Tahu tahu sudah tujuh kosong. Kami berdua masih berpikir, mungkin belum panas, belum inn benar. Tempo permainan kami tingkatkan dengan smash smash tajam. Tetapi liat sekali mereka. Di smash di manapun mereka bisa mengembalikan dengan baik. Permainan mereka cenderung lambat, kluthak kluthik di depan net, lalu lop ke belakang. Napas saya mulai ngos ngosan. Sementara pak Nono juga frustrasi, smash geledeknya seperti menghantam tembok yang liat. Yang bikin kami kehilangan konsentrasi, setiap kali memukul bola, entah lop atau drop shot, selalu sambil teriak “tanggung jawab mas”. Edan, pikir saya, biasanya pasti sudah saya beri pelajaran pasangan ini. Set pertama kami dihabisi dengan cepat, hanya mampu mengumpulkan 3 poin, itu saja karena salah pukul lawan. Smash kami tidak ada yang berhasil. Kami minta jeda beberapa saat. Ngatur napas sambil mikir enaknya diapakan pasangan ini. Apa mereka lupa siapa kita, yang selalu menghajar lawan dengan smash mematikan ?

Set kedua ganti taktik. Saya akan lebih banyak di depan, main drop dan netting. Jika ada kesempatan smash loncat seperti biasanya. Pak Nono menutup lapangan belakang dengan lop lop panjang. Mulanya menunjukkan hasil. Kami leading beberapa poin. Pukulan pukulan serong menyisir net yang saya kembangkan berhasil mengecoh mereka. Tetapi beberapa saat keadaan berbalik. Saya kehilangan konsentrasi ketika mereka mulai  teriak ‘tanggung jawab mas”.  Kami juga sangat terpengaruh pola permainan mereka yang lambat, lari lari kecil mengembalikan bola dengan tipis di atas net. Ketika kami dalam posisi sama sama game point, kami harus memperebutkan 3 poin sampai game. Meski napas sudah pas pasan ternyata kami bisa menambah dua poin, tinggal satu poin lagi, set kedua bisa kami ambil. Saya begitu yakin akan memenangkan set kedua. Pak Dulah dan pak Rifai, nampak keder, tidak berani menatap kami. Mungkin ketakutan, menerima serangan smash kami yang menggila. Ketika drop shot pak Nono, dikembalikan dengan tanggung agak ke depan, saya pikir inilah kesempatan emas menghajar dan memberi pelajaran mereka. Saya dengan sigap meloncat tinggi, melepaskan pukulan smash mematikan, sambil teriak “Pelajaran pakdhe”. Tiba tiba saja nyeri hebat datang menyerang lutut kiri saya. Begitu terasa nyeri, saya terduduk di depan net. Bola ternyata tidak mampu melewati net. Tidak mampu lagi meneruskan permainan saya. Kalah walk out. Saya dipapah keluar. Masih sendau gurau, pak Dulah bilang, ‘Wah ini pelajaran PPPK (pertolongan pertama pada kecelakaan)”. Kami tidak lolos seleksi untuk tanding tujuh belasan. Saya tidak mampu jalan pulang sendiri. Harus diantar naik vespa pulang.

Cerita tidak berhenti disitu. Ternyata cedera saya tidak sederhana. Berbulan bulan harus berjalan dengan tongkat. Lutut kiri tak kuat lagi menopang berat badan. Teman saya ahli ortopedi, menasehati untuk  dilakukan operasi untuk mengencangkan tendo. Saya pilih untuk tidak operasi. Lebih delapan bulan baru saya bisa berjalan normal tanpa penopang. Meski kembali normal kemudian, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari lapangan badminton. Tidak ada makna apa apa bagi orang lain. Tetapi begitu berat untuk saya meninggalkan olah raga yang saya cintai sejak umur 12 tahun. Tidak ada pilihan olah raga lain. Tenis saya belum pernah mencoba. Tenis meja nggak tertarik. The game is over. 

Akhirnya pelan pelan mulai belajar main golf sampai sekarang. Tidak terlalu jelek. Dalam kurun 20 tahun saya telah memenangkan pertandingan di klub 3 kali, sebagai runner up dua kali dan best net sekali . Tidak terlalu memalukan. 

Pada umur muda, orang gampang sekali menggunakan istilah ‘ memberi pelajaran’, tidak hanya dalam tanding olah raga di lapangan. Tetapi dengan berlalunya umur, hampir tidak pernah istilah itu mampir dalam kamus saya. Yang paling sering saya lihat sewaktu masih di universitas. Banyak dosen yang begitu berapi api ‘memberi pelajaran’ pada saat ujian terutama ujian paska sarjana. Calon sudah megap megap tidak bisa menjawab, masih dikejar kejar, seolah sesudah jatuh dibanting masih di injak injak di lantai sampai pendeng. Dengan penuh kebanggaan seolah kemudian berpikir, jangan main main, ini pelajaran buat kamu. Tetapi jika orang sudah mencapai kematangan emosi dan spiritual, yang bersangkutan akan sanggup mengendalikan diri, tidak mengumbar napsu ‘memberi pelajaran’ kepada pihak lain yang lebih lemah, apa lagi dalam ujian paska sarjana. 

Tahun 1979, ketika tentara Viet Nam memasuki Kamboja untuk membantu kubu perdana menteri Hun Sen menjatuhkan pemerintahan Khmer Merah yang bengis, perdana menteri China Deng Hsiao Ping mengirimkan pasukan menyerang Viet Nam dengan tujuan untuk ‘memberi pelajaran” (http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2054325,00.html) . Sayang kemudian pelajaran itu berbalik arah, pihak tentara rakyat China dinilai memperoleh pelajaran berharga dari Viet Nam.  Seorang pemimpin besar yang telah memimpin perjuangan rakyat sebanyak 1. 3 milyard dan berhasil mentransformasi negara menuju ke arah negara modern yang kuat dan tangguh, di akhir perjalanan karier yang panjang itu sedikit tergelincir, karena semangat ‘memberi pelajaran”. Hanya gelincir kecil dalam perjalanan karier  beliau selama berpuluh tahun memimpin rakyat China ke arah modernisasi. Tak ingin menganalogikan dengan insiden yang saya alami. Saya tergelincir dalam arti sesungguhnya dalam permainan badminton seleksi tanding antar kampong untuk acara tujuh belasan, dan harus mengakhiri karier dan meninggalkan olah raga yang saya cintai selama lebih dari 30 tahun.

Pesan untuk anak muda, jangan suka ‘memberi pelajaran’ untuk orang lain, tetapi belajarlah untuk diri sendiri. Viva Deng Hsiao Ping.

Salam damai Ki Ageng Similikithi