Saturday, November 29, 2014

Apusi Wae



Kami tertawa terpingkal pingkal mendengar kisah sial itu. Sabtu sore  di musim panas tahun 2000. Summerhill House NewCastle, UK. Habis belanja akhir pekan, kami minum kopi di ruang makan, sambil ngobrol ringan, menghilangkan rasa rindu keluarga dan tanah air. Bersama pak Romi (alm), pak Sahala Hutabarat, dan satu teman lagi, lupa namanya. “Edan enggak pak. Saya dengan  tamu kok tersia sia, pada hal sudah terbayang sarapan lezat dengan pecel dan ikan goreng”.

Pak Sahala berapi api bercerita tentang  kisah konyol itu. Kejadian beberapa tahun sebelumnya di Semarang.  Menjelang akhir pekan waktu itu mereka berencana berpesiar ke Yogya dari Semarang bersama dengan mahasiswa2 dari NewCastle University yang sedang kuliah kerja di Fakultas Perikanan Universitas Diponegoro Semarang. Mereka memang punya kerja sama antar universitas. Dalam pembicaraan atau rapat persiapan di kampus, salah seorang dosen senior, pak Gatot, yang pernah berdinas di Angkatan Laut sebelumnya, mengusulkan dengan simpatik. “ Berangkat pagi pagi,  nanti mampir di kompleks perikanan Magelang, sarapan pecel dan ikan goreng”.

Pucuk dicinta ulam tiba, pikir pak Sahala, pasti nikmat sekali makan pecel dengan ikan goreng segar dari kolam ikan. Pak Gatot memang tinggal di Magelang, di kebun perikanan, yang terletak di tepi jalan raya menuju Yogyakarta. Esoknya pagi pagi mereka berenam berangkat ke Yogya dengan mobil colt. Semua ceria, menikmati pemandangan sepanjang perjalanan Semarang Magelang yang indah. Kebun kopi Bedono yang sejuk. Sampai di Magelang rombongan itu langsung ke kebun perikanan tempat pak  Gatot tinggal.  Tetapi pak Sahala terheran heran, kok  sepi sepi saja. Pak Gatot masih pakai sarung duduk di kursi belakang rumah di tepi kolam. “ Lho pak, katanya kita diajak sarapan pecel pagi ini?”.
Pak Gatot dengan ringan menjawab sambal ketawa lebar “ Apusi wae”.  Agak dongkol memang, tetapi misi harus jalan terus.

Mereka meneruskan perjalanan sambil mencari tempat sarapan yang pas. Untung ada warung yang bersih menjelang Borobudur. Mereka sarapan di sana, meski tidak ada ikan gorengnya. Ketika salah satu tamu nyelethuk “ I thought we were going to have breakfast with pak Gatot”. Pak Sahala menjawab ringan berusaha menghindari pertanyaan lebih lanjut, “ Something was not in order”.  Perjalanan lebih lanjut lancar. Mission accomplished. Saya membayangkan pak Gatot. Belum pernah bertemu dengan beliaunya, tetapi pasti orangnya angin anginan seperti yang sering saya dengar dari teman teman di Semarang. Sambil bercanda, saya mengingatkan pak Sahala waktu itu, “Kan beliaunya memang bilangnya sarapan di Magelang dengan nasi pecel, bukan berarti dijamu oleh pak Romi. Apa lagi undangannya nggak tertulis. Nggak ada kekuatan hukumnya bung”.  Kami semua terbahak. Pak Gatot, pak Gatot.
Tidak berhenti sampai disitu ceritanya. Di awal tahun enam puluhan, saya pernah membaca cerita pendek di majalah Panyebar Semangat. Kisah seorang perwira angkatan laut. Dia menjalani pendidikan di salah satu negara di Eropa Timur, mungkin Yugoslavia, negaranya Presiden Tito. Kemudian dia beristerikan wanita Eropa dan kembali ke Indonesia sesudah beasiswanya selesai. Entah karena berbagai hal, hubungan mereka tidak berjalan mulus, sering bertengkar. Klimaksnya di suatu petang pertengkaran itu begitu dahsyat, dan sang isteri mengambil pistol suaminya serta  menembakkannya ke sang suami. Untung tidak fatal. Suami dirawat di rumah sakit dan wanita ini masuk tahanan. Beberapa minggu kemudian setelah sembuh dari perawatan, si suami itu menjenguk wanita tadi  di tahanan. Isterinya hanya bisa menangis dan minta maaf atas perbuatannya yang diluar kendali. 
Selang beberapa waktu kemudian, sang suami  mengajukan surat permohonan agar isterinya tiak diadili dan diijinkan kembali pulang ke Eropa Timur. Mungkin karena rasa cintanya. Beritanya sempat dimuat di beberapa surat kabar waktu itu. Saya membacanya di koran Suara Merdeka. Kasusnya memang kemudian sampai melibatkan pembicaraan politik tingkat tinggi, yang akhirnya pemerintah RI melepaskan wanita itu dan mengijinkannya kembali ke tanah airnya. Itu saja ingatan saya tentang peristiwa naas yang menjadi perhatian banyak orang. Saya membayangkan betapa perasaan sang suami waktu itu. Ditembak orang yang dicintai, memaafkannya dan mengijinkan meninggalkannya kembali ke tanah air. Sulit membayangkan. Beyond my comprehension. Ketika saya tanyakan ke pak Romi almarhum waktu itu, beliau membenarkan bahwa yang saya baca ceritanya di Panyebar Semangat, dan beritanya di koran koran di tahun enam puluhan, ya kisah pak Gatot itu.
Kisah anak manusia yang tragis dan menyedihkan. Hidup adalah perjalanan. Banyak kejadian terjadi  dalam perjalanan panjang tersebut. Kadang kejadian datang tak terduga tanpa kita kehendaki. Pak Gatot, sang isteri, pasti tidak pernah mengharapkan atau membayangkan akan kejadian tragis situ. Tetapi toh terjadi akhirnya. Mungkin mereka kurang peka untuk menghindari dan mencegahnya.
Cerita insiden mengenai pecel itu tak mengurangi simpati saya terhadap figure pak Gatot. Saya belum pernah bersua. Tetapi pasti beliau telah berpengalaman menjalani perjalanan hidup dengan segala pahit getirnya, termasuk peristiwa tragis itu.   Tulisan ini bukan untuk mencercanya. Hanya mengingatkan kita semua. Juga mengungkapkan rasa simpati saya semata.  Mohon maaf kepada family pak Gatot almarhum, jika membaca tulisan ini, taka da maksud apa apa kecuali ungkapan simpati semata.

Sering tanpa sengaja kami berdua menyinggung kisah pecel apusi wae itu  dalam percakapan dengan Nyi. Suatu saat  cucu pertama saya Rio yang waktu itu masih umur 4 tahun,  cerita kalau dia katanya barusan diajak bapak ibunya jajan soto di Kadipiro. Ketika hal tersebut saya tanyakan ke Bapaknya, dengan entheng Rio berteriak “Apusi wae”. Wah edan, cerita konyol dari Newcastle tiga puluh tahun lalu itu telah bocor ke cucu saya.
Pak Sahala sekarang masih menjabat guru besar oseanografi di Universitas Diponegoro Semarang dan dosen LEMHANAS. Beliau memperoleh doktornya juga di NewCastle selang sebentar sesudah saya. Pernah menjabat Direktur Jendral di salah satu kementerian RI (https://twitter.com/sahalahutabarat ). Pak Romi Muhtarto (alm) pernah menjabat sebagai Direktur Oseanologi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Nama pak Gatot (alm) diabadikan dalam nama Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai prof. Dr. Gatot Rahardjo di Jepara. Salam dan simpati abadi saya untuk beliau.

Manusia memang tidak mampu menghindari petaka yang tidak terduga dalam perjalanan panjang kehidupan ini.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi
Jakarta 29 Nopember 2014.

Kalimat Tanpa Makna



Hujan renyai berubah liar. Angin gemuruh, langit murung, gelap, tidak ramah sama sekali. Sendirian saya mengendarai mobil di kelokan Pingit, antara Ambarawa Magelang. Sore hari dalam perjalanan pulang ke Yogya. Akhir tahun delapan puluhan, sudah dua puluh lima tahun lewat. Sudah ratusan kali saya melewati jalan ini sejak tahun 69, Yogya Ambarawa pulang balik secara periodik. Saya mengemudikan dengan tenang Kijang merah dalam curahan hujan. Paling sebentar lagi hujan akan reda. Hujan tropis, lebat sperti dicurahkan dari langit, tetapi biasanya berlangsung cepat. Jika sampai berlangsung seharian, pasti akan banjir. Memasuki Secang hujan belum juga reda, malah semakin garang bercampur angina. Ada warung sate di kiri jalan. Tiba tiba saja saya ingin berhenti. Makan sate sambal menunggu hujan reda. Saya memarkir mobil tepat di muka warung sate itu. Rumah sederhana bersih bercat warna putih, dengan bingkai jendela dan pintu warna hijau. “ Alam telah berubah. Hujan salam musim pak”. Penjual sate menyambut. Saya tak mengiyakan, langsung  pesan sate satu porsi, sepuluh tusuk.  “ Sendirian saja ? ”. “Nggak usah banyak tanya, tolong satenya cepat”. Mau sendiri, mau rame rame, urusannya apa orang ini, pikir saya.

Sate memang terasa empuk dan enak. Dengan kecap manis, irisan  bawang merah, tomat, dan kobis. Tidak lupa lombok hijau segar. Porsi sate dan nasi begitu cepat habis. Hujan masih deras. Air mengalir deras sepanjang jalan. Lebih baik menunggu. Saya minta kopi kemudian. Jaket kulit saya lepaskan. Juga topi laken hitam yang lupa belum saya lepas sejak tadi. “ Hujan gini memang asyik pak minum kopi. Ini kopi asli sini pak, Robusta”. “Bapak suka pijet pak? Ponakan saya ini suka mijit sama ngeriki. Kerikannya sampai dalam, angina lepas semua”. Dia menunjuk wanita kemenakannya. Nampak kuat dan sigap. Kesan saya dia pemijat yang handal, pijatannya pasti bisa menembus otot otot yang kaku. Ada keinginan untuk pijat sebenarnya. Sejak kecil saya selalu pijat. Masih ingat ketika di tahun 1981 lalu ketemu mbah Gembleh, dari Beringin, tukang pijat saya waktu masih kecil. Sudah renta, tetapi saya menahan sakit ketika dia mulai memijit. Aneh biasanya saya memilih tukang pijat pria yang kuat untuk menembus otot punggung yang keras.

Ketika tukang sate itu menunjukkan ruang pijatnya, hilang seketika hasrat untuk pijit. Kain jarik berserakan di tempat tidur. Bantal nampak kumal.  “Maaf saya tidak biasa pijat pak”.
“Mangga lo pak, nggak usah ragu. Bapak aparat dari Polsek dan Koramil juga sering pijit disini”.
‘ Maaf saya ini intel, tidak boleh pijit sembarangan di tepi jalan”.
Dia masih mencoba merayu dan meyakinkan saya. “Lho kok aneh, bapak Babinsa itu ya intel, kok suka pijat disini”?.
Saya menyambar jaket dan memakai topi saya. “Habis berapa pak, saya bayarnya. Seorang komandan tidak boleh pijat sembarangan”.
“Oh begitu ta. Terima kasih pak Komandan”. Dia tidak membujuk lagi. Kata kata Intel tidak bisa meyakinkan dia untuk tidak pijat. Tetapi ternyata dengan kata Komandan, dia akhirnya luluh.

Saya meninggalkan warung itu dengan nyaman. Sate yang enak. Tetapi juga tidak paham apa makna kalimat kalimat yang saya ucapkan. Membualkah ? Tak peduli, saya merasa tidak merugikan dia. Kalimat tanpa makna. Bebera tahun kemudian, ketika saya pindah ke Ngaglik. Tetangga saya almarhum, pak Mardi almarhum, pensiunan polisi. Dia selalu memanggil saya nDan. Jika bertemu lewat depan rumah selalu  bersikap sempurna dan hormat militer, ‘Hormat Ndan”, dan meluangkan waktu ngobrol di teras depan.  Sayang saya tidak sempat ngajak dia makan sate di Secang.

Hidup adalah perjalanan. Penuh makna, meski banyak kalimat yang sering terucapkan tanpa makna.

Ki Ageng Similikithi


Berlari hingga hilang pedih peri



Pagi yang cerah, ceria  dan indah. Angin sejuk bertiup ringan.  Kami murid murid sekolah di Ambarawa kumpul di lapangan batalion 440 (sekarang batalion kavaleri 2). Tahun 1963, saya duduk di bangku kelas satu  Taman Dewasa ( SMP Taman Siswa) Ambarawa. Hari ini hari istimewa. Ada ujian ketangkasan badan yang digelar setahun sekali untuk menguji kemampuan atletik anak anak sekolah menengah seluruh kawedanan Ambarawa. Jam setengah tujuh tadi saya sudah sampai di sekolah, di bagian utara kota, lalu baris ramai ramai berangkat ke selatan kira kira 1.5 km. Saya lihat Irma, memakai kaos warna hijau daun. Pas sekali warnanya, biasanya dia akan tanya gimana Ki patut enggak ?  Tak sempat bicara pagi itu. Semua pikiran tertuju ke ujian ketangkasan badan.

Tidak ada beban sama sekali bagi saya. Saya telah menunggu saat ini sejak berbulan lalu. Tiap pagi selalu lari pagi. Sore hari latihan sprint di sekeliling rumah. Ada tempat khusus untuk lompat jauh dan lompat tinggi di dekat kandang sapi dan tempat latihan tolak peluru di kebun belakang rumah.  Tidak  semua memakai sepatu olah raga. Sepatu olah raga termasuk barang mewah waktu itu. Saya memakai celana pendek dril abu abu. Agak panjang sampai di atas lutut. Tidak ada ikat pinggang. Celana ini menggunakan serempang untuk menggantungnya di pundak.  Serempang itu sudah saya turunkan dan lilitkan di pinggang untuk mengganti sabuk. Benik celana yang longgar saya perkuat dengan peniti besar untuk mengikat kedua sisi celana di bagian depan.  Semua sudah disiapkan meski tidak ada sabuk. Saya memang belum pernah mempunyai atau memakai sabuk. Pagi itu saya benar benar merasa siap untuk unjuk gigi kemampuan atletik.

Teman teman nampak serius sekali, seperti menanggung beban. Hal yang tidak perlu sebenarnya. Lulus atau tidak, tidak akan mempengaruhi rapot. Budiyana, teman dari Bandungan, yang biasanya gaduhnya nggak karuan diam seribu bahasa. Untung teman sebelah bangku,  juga berdiam diri, tetapi sesekali saya lihat tangan dan kakinya bergerak secara otomatik seolah sudah turun di lomba.  Tidak semua harus mengikuti nampaknya oleh karena banyak teman yang sekedar menonton dan meramaikan. Prestasi atlet atlet papan atas selalu menjadi bahan perbincangan hangat di sekolah. Sebagian mengetahui dari koran Suara Merdeka, sebagian kecil dari radio oleh karena radio masih terbatas sekali waktu itu. Kami sangat paham nama nama seperti Emil Zatopek, pelari marathon legendaris Cekoslovakia, yang memenangkan beberapa medali olimpiade. Ni Che Chin, pelompat tinggi dari Cina dengan lompatan 212 cm. Sarengat pelari cepat Indonesia yang memenangkan medali emas Asian Games 1962 di Jakarta. Sarengat yang akhirnya menjadi dokter ini juga peloncat tinggi, loncatannya di Manila tahun 1963 adalah 193 cm. Gurnam Sigh asal Medan yang memenangkan beberapa medali emas dalam Asian Games 1962 untuk lari jarak jauh. 

Saya hanya merasa agak tegang  menunggu giliran turun di lomba mana dulu. Ada sprint 80 meter, lompat tinggi, lompat jauh, lempar lembing dan tolak peluru. Marathon diselenggarakan terpisah oleh karena makan waktu sehari sendiri. Juga lari beregu 4 kali 100 meter. Ternyata saya bersama Budiyana dan  Untung harus ikut lari sprint 80 meter dulu. Banyak anak bergerombol di sana, sebagian besar mungkin hanya menonton dan sorak sorai menyemangati teman masing masing. Untung dapat giliran duluan. Lancar tanpa halangan, dia lari lepas di antara garis lurus ke arah utara. Kami semua bertepuk ramai. Giliran kedua teman sekelas saya anak putri, Giek namanya. Mereka bertiga, enggak tahu dari sekolah mana yang lain. Giek berambut keriting. Dia berlari  tanpa sepatu, begitu lepas dan bebas, beda dengan penampilan keseharian yang gemulai dan pendiam. Rambutnya pun begitu tegar tidak terusik angin saat berlari. Sayang di tengah jalur dia menginjak garis sebelah kanan. Moga moga tidak di diskualifikasi. Dia mencapai finish pertama.

Saya bersama Budiyana dengan seorang siswa dari sekolah lain mendapat giliran ke tiga. Pak Beny, guru olah raga kami, menjadi peniup peluit start. Begitu peluit berbunyi, saya melesat lari seperti anak panah lepas dari busur. Budiyana dan siswa yang lain itu tertinggal beberapa langkah di belakang. Lewat setengah jarak tempuh saya masih lancar berlari di depan. Kira kira 30 meter sebelum finish, ada rasa aneh di pinggang, ternyata serempang yang saya pakai mengganti sabuk, terlepas. Dengan sigap saya pegang celana sambal tetap berlari. Tiba tiba saja Budiyana melewati saya di sebelah kiri, dan teman yang satu lagi di kanan, juga akan menyusulnya. Belum tahu dia, jangan coba coba nDhul, saya menggenjot lari saya sambal memegang celana. Ada rasa menusuk di perut bagian kiri. Tak terasa awalnya, tetapi semakin pedih, semakin menusuk. Nampaknya peniti itu lepas dan ujungnya menusuk perut saya. Ini gila benar. Kalau jaman sekarang pasti orang bilang  ‘konspirasi sistematik, terstruktur dan masip”. Agak panik saya hanya beberapa meter menjelang finish. Hanya berdoa. Ingat puisi Khairil Anwar yang minggu lalu dibahas guru bahasa Indonesia. Berlari berlari, hingga hilang pedih dan peri. Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya yang terbuang. Tak perlu sedu sedan itu. Asal sampai garis finish. Lama sekali rasanya, seolah garis finis itu berada di luar dunia. Akhirnya saya mencapai finish bersamaan dengan teman satu tadi. Budiyana sampai paling awal. Berapa catatan waktunya ? Budiyana 11.5 detik, saya 12.5 detik untuk 80 meter. Memalukan harusnya 80 meter sekitar 11 detik. Rekor dunia 100 meter sekitar 10 detik lebih sedikit. Lunglai rasanya, celana ini bikin sial benar.

Giliran kedua tolak peluru. Tidak begitu hiruk pikuk yang nonton. Waktu sampai di lapangan tanding, saya liat kakak kelas saya Susmono, dengan gaya elegan melempar peluru  dengan lontaran tangan dari belakang. Tidak mendorongnya seperti layaknya orang tolak peluru dengan gaya menyamping atau membelakangi target.  Dia bisa melewati garis yang ditentukan, lupa berapa jaraknya.  Saya mendapat giliran kemudian, saya genggam erat peluru seberat 5 kg itu, dengan gaya menyamping saya dorong lempar ke depan. Not that bad. Lemparan saya bisa melewati garis, tidak terlalu jelek. Semangat tumbuh kembali. Budiyana tidak ikut ambil bagian, nggak tahu kenapa, dia lebih seneng jajan minum cao dipinggir lapangan. 

Giliran ketiga lompat tinggi. Peserta harus mampu lompat paling tidak 110 cm di sini. Ringan pikir saya. Saya toh biasanya bisa lompat sampai 115 – 120 cm. Masing masing peserta diberi kesempatan tiga kali. Lompatan pertama dengan gaya telungkup seperti anjing kecing. Salah satu kaki (kanan) naik duluan secara miring. Dengan ringan saya sudah diatas palang. Tinggal kaki sebelah yang belum naik. Ketika badan dan kaki kanan mulai turun diikuti kaki kiri, lagi lagi serempang celana ini yang mengganggu. Lepas dan menarik palang kayu itu. Saya terpuruk di pasir sambil menyumpah. Ada yang teriak, ulangi lagi, kurang tipis sekali. Saya ulangi lagi dengan gaya telentang membelakangi palang. Saya tidak biasa dengan gaya ini. Harusnya punggung merentang lemas, tetapi punggung saya membungkuk kaku. Tak aneh jika menyentuh palang kayu. Gagal lagi. Mau coba loncatan ke tiga sudah ragu ragu. Ada yang tidak beres. Loncatan tertinggi oleh kakak kelas dengan tinggi 135 cm.

Datang ke arena loncat jauh. Lumayan ramai. Untung dan Tarso,  teman saya sudah menyelesaikan loncatannya. Lumayan bagus. Mereka teriak agar saya ambil giliran saya. Sebenarnya sudah malas. Tetapi liat teman putri, Giek, bisa loncat ringan dan enak sekali, pengin juga saya ambil giliran saya. Budiyana dengan celana biru acuh di pinggir lapangan. Tak kelihatan dia berminat. Lebih menikmati bersiul siul sendirian. Ketika giliran sampai, saya merasa siap. Lompat jauh bukan sesuatu yang susah. Asal bisa mengambil momen tepat dengan irama lari saat sampai di papan loncat. Saya lari dengan sigap  dan meloncat di papan loncat dengan ringan sekali. Tiba tiba keseimbangan terganggu. Tangan saya memegang pinggir celana. Harusnya saya mendarat dengan tungkai duluan, lalu tubuh mengikuti. Lha ini kok salah satu kaki mendarat duluan, tubuh ikut terdorong ke depan muka saya mencium pasir. Bahasa Jawanya kejlungub. Jarak tidak mengecewakan. Cuma diketawakan orang banyak karena jatuhnya kok muka bisa ikut mencium pasir. 

Ujian ketangkasan badan gagal total bagi saya. Tetapi saya tetap mencintai atletik sampai sekolah menengah atas, kecuali marathon. Tidak punya napas panjang untuk lari marathon. Adik adik saya bahkan pernah lomba sampai tingkat kabupaten untuk marathon. Lebih tiga tahun kemudian menjelang akhir SMA di Solo, saya ujian olah raga lagi. Sama sekali tidak mengecewakan, senam palang dan koprol saya termasuk yang bagus di kelas dan diberi nilai 8. Biasanya di raport olah raga hanya dapat nilai 6 atau 7. 

Apakah anak anak sekolah sekarang masih berkesempatan tanding atlletik ? Hanya sering berpikir, mengapa anak anak sekolah ini suka sekali tawur. Mengapa mereka tidak lagi bersaing  sehat seperti atletik ?  Apakah tanding atletik antar sekolah sudah tidak lagi lajim ?  Indonesia memang nggak masuk percaturan di Asia di bidang atletik sekarang. Atletik biasanya didominasi oleh mereka mereka dengan disiplin dan etos kerja yang tinggi. Anak anak muda berlombalah di atletik, ini cermin kedisiplinan kalian.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi