Friday, August 17, 2012

Kesempatan tidak datang dua kali - sesal kemudian tak akan berguna

Malam yang hening di tahun 1974. Hujan rintik beserta angin segar meniup lembut. Kami naik becak berdua di jalan Slamet Riyadi Solo. Baru saja mengantar Galuh ke dokter kulit, periksa keloid bekas kecelakaan ringan di kakinya. Tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Galuh mencoba memulai pembicaraan, tetapi tak berhasil memancing pembicaraan yang asyik. Gadis cantik dan anggun yang pernah memenangkan gelar ratu kecantikan di Solo. Pikiran saya galau melayang. Hampir lulus belum punya kepastian mau kemana. Kami saling kenal sudah beberapa tahun. Semenjak saya kelas satu SMA di Solo. Tak banyak berhubungan selama lebih tujuh tahun, baru ketemu kembali ketika ko skap di rumah sakit Kadipolo. Keluarga kami saling kenal dekat. Galuh dari keluarga yang sangat dihormati. Sore tadi ibunya bilang agar saya mengantarnya ke dokter. “Adimu terna nang dokter mas”. “Injih Bu”. Saya menjawab singkat. Ini amanah. Saya telah terbiasa dengan instruksi tanpa banyak tanya. ‘Get the job done young man”. “Yes Mom/yes Sir”. Terbawa sampai saya menjalankan tugas profesi saya, dan diakhir misi memberikan laporan singkat , “ mission accomplished”. Lewat perempatan Pasar Pon, ada dua bioskop yang popular di Solo, Daddy dan UP. Tiba tiba Galuh menggamit tangan saya. “Ada film bagus mas”. Saya terhenyak. Kikuk, tak bisa bereaksi tepat. Uang pas pasan, nggak cukup. Hanya menggumam singkat. Film bagus. Kalau nggak salah “Lovers Must Learn” dibintangi oleh Suzanne Pleshette dan Troy Donahue. Galuh menggerakkan tas tangannya, seolah member isyarat dia yang akan bayar. Tetapi jaman itu, tak laik wanita mentraktir laki laki. Galuh menarik napas panjang ketika becak terus berjalan menyeberang perempatan. Kami kemudian terlibat pembicaraan asyik tentang kuliah, tentang ratu kampus dan lain lain. Lepas jalan Slamet Riyadi, kami memasuki jalan sepi dengan tembok tinggi di kiri dan kanan jalan. Lampu listrik di tahun tujuh puluhan, selalu temaram samar samar. Hening hanya suara serangga di rumpun rumpun tetamanan. Kami tenggelam dalam sepi masing masing. Bau parfum jasmine menerpa lembut. Galuh bersandar di pundak saya. Tangan kanan menumpang di pangkuan saya. Desah napasnya datang teratur bersama hembusan angin yang lembut. Hati saya berdesir hebat. Tetapi tak ada nyali sedikitpun. Tak ada keberanian maupun kemauan untuk mengambil inisiatif lebih lanjut, walau keinginan membara jauh di dalam sana. Jika sampai terjadi sesuatu dampaknya serius. Harus punya komimen jangka panjang. Beban mental menghimpit. Tak seperti biasanya. Terutama saat pacaran dengan teman kuliah di Yogya. Selalu bergairah, memburu, berbunga bunga, tanpa rasa takut memikir resiko ke depan. Ikuti saja aliran air, nikmati dulu, urusan belakangan. Kembali ke Yogya, pikiran saya berbulan bulan tak bisa lepas dari peristiwa itu. Ada penyesalan di dalam sana. Kok pengecut amat ? Tahun demi tahun berlalu. Banyak peristiwa penting datang silih berganti. Kenangan peristiwa itu seolah tenggelam dalam perjalanan waktu. Di akhir tahun delapan puluhan,, kami bertemu Galuh dalam suatu acara resepsi. Dia semakin anggun dan cantik. Mungkin puncak penampilan wanita di umur umur pertengahan tiga puluhan. Kami bercanda dan bercerita singkat tentang masa lalu. Ketika saya ingatkan peristiwa naik becak di jalan Slamet Riyadi itu, dia berkelakar dengan Nyi. “Ki ini tak berani ambil inisiatif sama wanita lo”. Dengan cepat Nyi membalas. “Sudah banyak berubah, saya kasih jamu STMJ, susu telor madu jahe”. Pesan untuk anak muda. Kesempatan tak akan datang dua kali. Jangan disia siakan. Sesal kemudian tak akan ada gunanya. Tetapi saya tak pernah menyesal kini, hanya berpikir, kok gebleg temen ya. Salam damai, Ki Ageng Similikithi