Saturday, August 27, 2011

Pengin punya anak tanpa suami

Agak terkejut mendengar ceritanya. Begitu lugas tanpa tedeng aling aling. Kami sedang berbincang selesai pertemuan beberapa minggu lalu. Minum di coffee shop di lobby hotel. Sejak dulu dia selalu bicara blak blakan dan lugas. Gaya bicaranya selalu penuh irama dan menarik lawan bicara. Dia datang mewakili organisasinya. Namanya Emine. Seorang wanita profesional dengan posisi yang mantap di salah satu lembaga internasional. Umur sekitar empat puluh, naik turun sedikit. Masih lajang. Berpenampilan menarik. Cantik, jika tidak bisa dibilang jelita. Khas penampilan wanita wanita perbatasan Asia dan Eropa. Sangat ramah dan enak jadi lawan bicara.

Bercerita dengan lancar, di sela derai tawanya yang riang. Ingin punya anak. Tetapi tak ingin bersuami. Buat apa bersuami ?. Bikin susah, harus meladeni di rumah. Saya kan juga punya banyak kerjaan. Perlu istirahat di rumah. Dia cerita pengalaman tidak enak hidup bersama (ko habitasi) dengan kawan hidupnya selama 7 tahun. Masak saya dihardik di rumah saya sendiri, jika ada sesuatu yang kurang? Saya mendengar ceritanya dengan sabar. Sesekali bertanya. Tentang perjalanannya selama ini. Kami memang pernah bertemu beberapa kali di berbagai negara. Di Asia dan di Eropa. Komunikasi juga tidak intens. Bukan teman yang karib. Beda generasi.

Saya mengenal Emine pertama kali enam belas tahun lalu sewaktu ikut misi di Bishkek, Kirghyztan. Dia baru saja lulus dari universitas di Budapest. Dia saat itu bekerja sebagai associate professional officer untuk sebuah lembaga donor yang dibeyai pemerintah Turki. Masih ingat ketika malam malam saya ditilpon. Ternyata rombongan tamu dari Uzbekistan mengundang makan malam. Ternyata mereka menyiapkan kambing panggang. Acara makan selesai lewat tengah malam. Ada kesempatan bicara lebih leluasa dengan dia.Dia cerita kalau pacarnya kerja di Departemen Luar Negeri.

Esoknya kami harus meninggalkan Bishkek menuju Almaty, jalan darat. Ternyata rombongan kami akan dilepas di batas kota oleh salah satu pejabat tinggi pemerintah. Saya mencoba menjelaskan jika tidak perlu asal diberi satu rombongan pengawal sampai perbatasan. Tetapi Emine mengatakan, itu kebiasaan mereka. Kami akhirnya menerima. Ternyata tidak hanya dilepas begitu saja. Ada pesta perpisahan di perbatasan. Lagi lagi kambing panggang.

Di akhir sembilan puluhan saya kembali bertemu dengan Emine di Jepang. Penampilannya tak berubah. Selalu anggun. Waktu itu dia cerita jika berpacaran dengan seorang diplomat Malaysia. Kenapa nggak kawin ? Tak bisa karena sang diplomat sudah berkeluarga. Dia tak mungkin mau dimadu. Tetapi menikmati hubungannya. Berbunga bunga. Ki, you are a family man with a sweet wife. Tak akan bisa mengerti gaya hidup bohemian saya, katanya. Tak tahu apa maksudnya.

Di tahun 2004 kembali lagi bertemu dalam suatu pertemuan internasional di Geneva. Dia mewakili negaranya dalam negosiasi. Kedudukannya tidak main main. Direktur Jendral di pemerintahan. Saya tak membayangkannya seperti petinggi petinggi kita yang suka pelesiran dengan alasan tugas negara. Dia benar benar seorang though negotiator yang handal untuk kepentingan negaranya. Sempat bertemu dan makan siang bersama. How is life? Pertanyaannya selalu datang dengan ramah. Dia cerita punya pasangan hidup bersama. Seorang tokoh lingkungan di negaranya. Dia cerita merencanakan akan kawin jka tidak ada aral melintang.

Beberapa minggu lalu, itulah pertemuan kami yang terakhir setelah tujuh tahun. Ketika dia cerita pengin punya anak, tetapi tak menghendaki suami. Dia masih menjalin hubungan dengan seorang pejabat tinggi pemerintahan di negaranya. Sudah berkeluarga. Tak mungkin kawin. Kecuali jika teman prianya mau pisah dengan isterinya sekarang. Tak mungkin dilakukan. Bisa membunuh karier politiknya. Dia bingung karena susah pisah dengan teman prianya sekarang. Tetapi tak mungkin kawin. Dia mengharap dapat anak dari sang pejabat ini. Tanpa minta pertanggungan jawab apapun.

Saya tak banyak bereaksi. Hanya omong sekenanya. Please do not spoil your life. Time to start a happy family life. Jika ada pria yang mau mendampingi dan menemanimu mengapa tidak kawin saja? Dia akan memikirkannya. Omongannya serius. Jika ada pria mapan yang masih lajang di atas 35 tahun, good looking, yang ingin cari teman hidup, I am serious Ki, as my husband and the father of my kid.

Pagi ini masuk pesannya di inboks saya, any info Ki? Katanya ada seorang pelatih sepak bola dari Meksiko yang ingin kenalan. Saya bercanda, pemain bola itu hanya tembakan kakinya yang keras. Tembakan burungnya suka meleset, tidak indah sama sekali, apa lagi kalau sudah berkeluarga. Do not spoil again your life sweety, time is running out.

Salam damai untuk pria lajang mapan dan good looking.


Ki Ageng Similikithi

Manila 27 Agustus 2011.

Friday, August 26, 2011

Kereta terakhir ke Solo

Musim kering tahun 72. Kami bergegas masuk peron. Terdengar peluit keras berbunyi. Kereta akan segera diberangkatkan. Saya bersama Emi bergandengan tangan berlari sambil menjinjing tas ke arah kereta. Kereta Kuda Putih, Yogya Solo. Seperti dalam film film roman Indonesia atau India. Selalu ada saja adegan lari lari sambil berpegangan tangan. Untung tak ada krew televisi waktu itu. Tak ada paparazzi. . Yang ada hanyalah para makelar dan penjual makanan. Tak perlu GR. Siapa mau mengabadikan, kami hanya anak2 pondokan yang sedang jatuh cinta.

Itu kereta terakhir ke Solo. Sudah lewat jam lima. Baru saja siangnya kami selesai ujian semester. Tingkat 4. Emi terus pulang ke Solo. Dari Mangkubumen tadi saya menemani pulang ke pondokannya di jalan Suryotomo, Ngampilan. Jam empat ke stasiun Tugu. Sudah setahun lebih kami berhubungan dekat. Belum bisa dikatakan pasangan tetap, tetapi sudah serius. Sudah ada pernyataan verbal. Sudah berciuman bibir. Tetapi belum punya rencana pasti. Siang itu tak banyak yang kami bicarakan. Lebih banyak diam. Beberapa hari memang tidak begitu hangat pembicaraan di antara kami berdua. Tak tahu sebabnya. Emi segera naik ke gerbong. Duduk menghadap jendela. "Wis ya, ati ati. Sampai ketemu". Hanya itu yang dikatakan. Saya menjabat tangannya "Selamat liburan". Kereta bergerak pelan meninggalkan stasiun. Tak sempat saya memperhatikan ketika kereta menghilang. Saya juga cepat cepat ingin pulang ke Ambarawa. Naik becak ke jalan Magelang. Naik bis jurusan Semarang.

Saya menghabiskan hari hari libur di Ambarawa. Sepi di desa. Setiap siang menatap gunung di depan sana. Gunung Telomoyo dan Gadjah Mungkur. Sejak kecil dua gunung itu selaalu di sana tak pernah pindah, tak pernah berubah. Mesra bersanding. Kadang kadang angan angan melayang ke balik gunung, ke balik awan. Sedang apa Emi di Solo ? Apa yang dia pikirkan tentang kami berdua. Tentang masa depan. Tak tahulah. Masa depan urusan kemudian. Yang penting saya sudah lulus semua ujian semester. Walau harus mengulang satu. Kedokteran Kehakiman. Dikasih nilai dua. Saya mengerjakan pakai tinta warna hijau. Sang dosen yang berwibawa itu tak mau membacanya. Tak bisa tidur beberapa hari. Tetapi ujian ulangan berhasil.

Kira kira empat minggu saya liburan di Ambarawa. Sengaja tak ke mana mana. Pengin istirahat benar. Satu tahun terakhir ngurusi majalah mahasiswa. Begitu menguras tenaga daan waktu. Belajar tak konsentrasi. Hampir saja tak naik kelas. Acara pacaran sering terbengkelai. Pengin istirahat sepenuhnya. Saya sempatkan menulis surat ke Emi. Dua kali. Tak ada balasan. Mungkin juga sibuk. Di akhir minggu ke empat saya kembali ke Yogya. Sampai di pondokan di Patangpuluhan sudah lewat jam tujuh malam. Ada keinginan ke tempat Emi malam itu. Niat itu saya batalkan. Sudah kelewat malam. Besok pagi pagi kan ketemu di ruang kuliah. Esoknya pagi pagi saya sudah berangkat. Langsung ke tempat kuliah di Mangkubumen. Tak mampir ke tempat Emi, walau rumah kostnya terlewati.. Pengin cari tempat duduk yang enak di hari pertama kuliah. Saya ingat pakai baju putih dan celana kuning kesayangan saya.

Masih sepi ketika tiba di ruang kuliah. Saya ambil dua tempat duduk di baris kedua. Emi belum datang juga. Menjelang jam tujuh dia muncul. Langsung ambil tempat duduk di seberang. Mungkin tidak tahu jika saya sudah datang duluan. Saya dekati. Saya ulurkan tangan menyalami. ”Gimana liburannya?” Jawabannya singkat ”So so”. Tangannya dingin. Sikapnya dingin.

Tatapan matanya aneh, menusuk nanar. Saya beritahu jika ada tempat duduk kosong di barisan depan. Dia pindah duduk disamping saya selama kuliah. Lupa kuliah apa waktu itu. Jika tak salah ingat Kesehatan Anak. Emi terkesan gelisah. Tak seperti biasanya rajin mencatat. Kali ini hanya main main pena coret coret kertas kosong. Sebelum kuliah berakhir dia menulis sesuatu di kertas kecil. Kertas itu dilipat dan dikasihkan saya. ” I want to tell you something baby”. Dua jam kuliah berakhir. Dia pamit ingin pulang. Tak enak badan katanya. ”Nanti malam datanglah ke rumah”. Pesannya singkat.

Tak tenang saya mengikuti kuliah hari itu. Ada apa dengan Emi?. Tak sabar menunggu hari malam rasanya. Habis kuliah jam satu. Saya terus ke Bulak Sumur, naik sepeda. Jaga praktikum Farmakologi. Sudah setahun lebih asisteren di sana. Jaga pratikum juga nggak tenang. Mahasiswa tingkat tiga. Ramainya nggak karuan. Mereka dua tahun di bawah saya. Sebagian juga sudah kenal dengan baik. Pikir saya, mau gaduh silahkan, mau gagal silahkan. Pikiran saya baru tidak tenang. Praktikum selesai jam lima sore. Saya langsung pulang ke selatan.

Jam setengah enam lewat rumah kost Emi di Ngampilan. Rencana malam nanti mau datang ke sana. Tetapi tiba tiba saja pikiran saya berubah. Saya langsung mampir. Emi juga nggak terkejut ketika saya datang. Hanya sikapnya tetap saja diam tak banyak ngobrol seperti biasanya. Kami bicara formalitas saja. Dia kelihatannya menghundar jika ditanya tentang liburannya. Ketika akhirnya saya katakan ”Katanya mau cerita, kok diam saja?”. Dia terdiam sejenak.

Kemudian dengaan pelan dia bilang ” Maaf Ki, saya dengan mas Hepi sudah resmi kawin liburan kemarin”. Haaa, kaget luar biasa saya. Tak ada petir, tak ada kilat. Mas Hepi adalah mantan pacarnya dulu. Dua tingkat di atas kami. Kuliah di Hukum. ”Kok gitu?” pertanyaan saya tertahan di kerongkongan. ” Saya tidak bisa menolak ketika ditanya sama ibu. Habis kau nggak kasih kepastian. Malah kenalan sama anak Pekalongan itu”. Kenalan sama gadis lain kan bukan pengkhianatan tingkat pertama. Walau hati saya berdesir jika ingat gadis Pekalongan itu, tetapi hanya berdesir thok. Belum ada tindakan apa apa. Kok langsung di vonis, edan enggak? Saya hanya mengucapkan moga moga dia selalu bahagia. Tak berlama lama saya di sana. Duduk rasanya seperti di atas paku. Tak lebih sepuluh menit saya pamit. Terus pulang ke pondokan di Patangpuluhan.

Teman teman kost baru duduk duduk di depan kamar ketika saya datang. ” Gila nggak, Emi liburan kemarin sudah kawin. Saya baru saja tadi diberi tahu”. Khavid, adik kelas saya dua tahun langsung menukas ” Tenang Ki. Saya tadi juga dengar di kampus. Mau bilang situ kok sudah langsung ke Bulak sumur”. Batin saya menggerutu. Ada berita tak enak kok padha diam. Sore itu kami ramai ramai keluar. Makan bakmi Panut di Gerjen. Saya tetap saja galau. Tetapi Anton bilang. ”Laki laki pantang patah hati. Patah tumbuh hilang berganti”. Habis makan bakmi jalan jalan. Pas ada sekaten. Beli galundeng sekalian. Masih ada juga yang komentar ” Kalau ada yang patah hati tiap minggu dari kita, lumayanlah.

Beberapa minggu berlalu. Saya memberanikan diri berkunjung ke tempat kost Lina, mahasiswi AKUB yang saya kenal beberapa bulan lalu. Bukan pelarian. Bukan pengungsian. Ternyata jatuh hati benar benar. Wantek sampai sekarang setelah lewat hampir empat puluh tahun. Setelah kereta terakhir sore itu.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi
Manila, 27 Agustus 2011.

Saturday, August 20, 2011

Kau kejam

Minggu malam di musim panas tahun 1980. Saya tiduran di kamar di Summerhill House, NewCastle Upon Tyne (UK). Setiap Minggu malam selalu kesulitan tidur. Sengaja jam sembilan masuk kamar setelah lihat TV ramai ramai di ruang bawah. Pak Tarto dan Lisa masih berdua di bawah meneruskan nonton TV. Lisa sedang ambil program master di bidang pertambangan. Dia tinggal di asrama putri, di seberang kota, kira2 15 km jauhnya. Akhir pekan dia menginap mengunjungi pak Tarto. Tak tahu hubungan mereka. Sama sama sudah dewasa. Sudah berkeluarga.

Baru beberapa saat tiduran ketika pintu diketuk keras. Kaget setengah mati saya. Tetapi memang kebiasaan di sana kalau mengetuk pintu selalu keras. Lisa nampak emosional di muka pintu. "Ki tolong antar saya pulang".. Dia nampak gelisah dan marah. "Bukankah pak Tarto yang mau ngantar?". "Nggak mau. Dia sudah masuk kamar. Pintunya juga dikunci?". Saya berlagak pilon, tahu kalau mereka pasti bertengkar hebat. Saya pura pura bertanya "Ada apa sih kok aneh?". Jawabannya setengah teriak. "Tak ada apa apa. Masak saya dibilang gatel. Emangnya saya siapa".

Beberapa minggu lalu dia mengeluh, jika kulitnya kering dan gatal. Waktu itu saya anjurkan periksa ke poli di klinik universitas. Kebetulan dokternya saya juga kenal baik. Saya balik bertanya "Lo belum jadi periksa dokter rupanya?". Jawabnya semakin galak " Bloon kau. Yang dibilang gatel bukan kulit saya tahu". Baru paham saya, ternyata mereka baru saja tengkar. Lisa tak terima dibilang gatel walaupun dia sedang sakit kulit gatal dan kering. Lisa lulus undergraduate dari Praha. Sedangkan pak Tarto baru ambil program doktor di bidang Biologi. Saya juga baru memulai program doktor waktu itu.

Saya coba mengetuk kamar pak Tarto, tetapi terkunci rapat. Tak ada reaksi. Saya intip dari lobang pintu, Nampak dia sudah berselimut sarung rapat rapat. Akhirnya saya antar Lisa, naik bis kemudian ganti kereta cepat Metro. Tak banyak cerita dalam perjalanan. Saya memang tak akrab sekali. Orangnya manja tetapi suka uring uringan. Pernah beli jas hangat kepanjangan. Pas dicoba di rumah saya bilang apa nggak kepanjangan, dia marah sekali. Berhari hari saya didiamkan.

Menjelang tengah malam saya baru sampai rumah. Tak aman malam malam gini keluar sebenarnya. Banyak punk dijalan yang sering bertindak brutal. Kapan itu ada seorang Pakistan, seorang ahli hukum, baru nunggu bis dikeroyok sampai luka berat. Ketika masuk kamar, di bawah pintu saya temukan kertas kartu pustakan bertuliskan, "Kau kejam". Ternyata dari pak Tarto. Tak saya perhatikan, langsung saya tidur. Keesokan harinya kami bertemu di dapur waktu sarapan. Pak Tarto diam seribu bahasa. Saya juga diam, dari pada salah bicara. Dia sepuluh tahun di atas saya. Putri satu satunya sudah mau lulus ITB.

Saya baru bertemu pak Tarto malam harinya. Waktu makan malam. Kami bertiga, dengan seorang lagi teman dari Indonesia, Huta, selalu masak bersama. Dia lagi ambil program Master di bidang biologi laut, dosen salah satu perguruan tinggi ternama di Jawa Tengah. Pak Tarto masih diam saja dengan wajah cemberut. Saya sindir, kok diam saja?. Eh malah si Huta ini yang menyahut "Ki kau kejam". Baru tahu rupanya dia cerita sama si Huta peristiwa semalam. Kejam gimana ? Nggak dhong saya.

Akhirnya pak Tarto bicara kalau dia tak enak hati, kenapa saya mengantar Lisa pulang ke asrama. Saya bilang, dia nggedor kamar saya, nangis2 minta diantar pulang. Pak Tarto sudah mengunci pintu Pak Tarto bilang, jika ada pasangan tetangga yang sedang bertengkar, jangan coba coba ikut campur, malah dikira cari kesempatan. Tak baik itu. Pikir saya, mau cari kesempatan ngapain, dikasih pun belum tentu mau. Sori mek, bukan selera saya. Pak Tarto juga bilang jika beberapa minggu lagi Lisa akan nggabung tinggal di Summerhill bersama kami.

Tanggal satu bulan depannya Lisa betul jadi pindah di apartemen kami. Cuma beda unit, beda pintu keluar masuk. Semua berjalan normal. Tak ada yang istimewa. Hanya suatu sore pak Tarto bilang jika Lisa akan gabung masak sama sama untuk makan malam. Kami tak keberatan. Setiap petang kami makan malam bersama. Ongkos belanja biasanya diperhitungkan tiap akhir minggu. Lisa memang sering belanja, kemudian kami semua mengganti beayanya. Tetapi rupanya dia tak bisa masak. Setiap kali masakan siap pak Tarto selalu mengetok pintunya untuk makan malam. Kadang kadang Huta yang memberi tahu Lisa, jika masakan telah siap.

Semua berjalan biasa saja, kami selalu masak bersama dan makan malam bersama, sambil ngobrol. Beberapa bulan kemudian, dalam rangka penyelesaian disertasinya, pak Tarto harus pergi ke London beberapa hari. Saya, Huta dan Lisa makan malam bertiga. Saya dan Huta yang masak. Lisa paling nyiapkan minuman. Kebetulan akhir pekan itu saya bersama pembimbing saya menghadiri pertemuan reguler di Sheffield. Naik mobil ramai ramai, berangkat pagi, pulang sore hari. Sampai Newcastle sudah menjelang petang. Tiba tiba saja, pembimbing saya ngajak makn malam semua peserta program doktor yang dibimbingnya. Ada empat orang. Kami makan sambil ngobrol sampai jam sembilan malam.

Sampai rumah di Summerhill sudah lewat jam sepuluh langsung masuk kamar. Mau tidur. Jam sebelas malam pintu diketok dari luar. Ternyata pak Tarto, masih berpakaian lengkap dengan jas berdiri di muka pintu. Rupanya dia baru datang dari London. Aturan dia datang sore tadi. Langsung mengeluh, "Gimana sih kamu ini?. Lisa terlantar, nggak ada yang masak". Ternyata pak Tarto datang terlambat dari London, tak tahu apa sebabnya.. Huta ada acara akhir pekan sama teman temannya. Hura hura, dia masih sorangan. "Kasihan Lisa, nggak terurus. Sampai hati kau menelantarkan dia Ki. Kejam kau". Tak saya layani keluhannya. Ngapain, jika memang mau makan malam di ujung jalan ada rumah makan. Di dapur juga banyak persediaan mie.

Peristiwa itu sudah 30 tahun berlalu. Ketika kami pulang ke Indonesia sempat bertemu pak Tarto sepuluh tahun kemudian, saat resepsi pernikahan Huta di Semarang. Saya bersama Nyi dan pak Tarto bersama isteri. Dia cerita kalau Lisa sudah kawin lagi dan punya anak. Dia memperkenalkan saya ke isterinya "Ini Ki, pacar Lisa di NewCastle" Edan batin saya kok bisa ya? Untung Nyi tahu persis cerita tentang peristiwa itu

Saya bertemu dengan pak Tarto terakhir di satu pertemuan ilmiah di Bandung, di awal tahun sembilan puluhan. Saya menerima penghargaan penelitian dari suatu Yayasan. Pak Tarto diundang mewakilki salah satu lembaga yang sangat terpandang di Indonesia untuk menyerahkan penghargaan itu. Kaget dia bertemu saya. Saat memberikan penghargaan itu, dia berbisik "Kau to Ki. Kau memang kejam. Lama saya tak ketemu Lisa". Saya tak bisa menahan tawa. "Gatel saya pak". Nyi kemudian bertanya, kok didepan cengengesan ada apa tadi ? Saya hanya menjawab ringan, Kau memang kejam. Jangan gatel.

Huta sekarang menjadi guru besar di bidangnya. Masih aktif, menjadi dosen teladan beberapa kali. Lisa, saya tak pernah bertemu lagi. . Moga moga dia bahagia. Baru saja saya tanya adik saya, ternyata Pak Tarto sudah lama berpulang. Beliau tokoh besar ilmu pengetahuan di Indonesia. Tak meninggalkan aib apa apa. Ini hanya peristiwa kecil dalam perjalanan hidupnya yang panjang dan penuh warna. Selamat jalan pak Tarto. Beristirahatlah dalam damai. Saya tidak kejam loooo.

Salam damai

Ki AgengSimilikithi

Manila, 20 Agustus 2011.

Sunday, August 7, 2011

Jambalaya & Cintaku di kampus biru

Sabtu sore di Philippines Navy Golf. Saya bersama seorang teman, Dr Iwan, sedang menikmati makan sore sesudah main delapan belas holes. Sebenarnya tak ada rencana main ok paginya baru tiba dri Yogya. Jam 0530 tiba setelah penerbangan selama 3. 5 jam dri Jakarta. Rasanya masih ngantuk dan capek. Tetapi bosan sendirian di rumah. Akhirnya kami main jam 13 30, bersama dengan dua pemain asal Norwegia dan Australia. Tak sempat banyak ngobrol.

Setiap sabtu sore selalu ada live music di sini. Beberapa kelompok musik dari militer sering main. Yang paling saya sukai adalah dari kelompok marinir. Kali ini hanya ada seorang pianis dan seorang penyanyi wanita dengan suara sangat merdu. Seorang diplomat Australia, panggilannya John, ikut menyumbangkan lagu, When I Fall in Love. Saya lupa nama lengkapnya. Dia kelihatan kenal baik dengan si penyanyi. Di ujung ruangan nampak seorang senator yang sering masuk TV, lagi asyik ngobrol dengan teman2nya.

Sesaat kemudian lagu Jambalaya mengayun merdu menghentak dengan irama mengasyikkan. Gaya penyanyi ini pas benar dengan irama Jambalaya. Ingatan saya melayang ke masa tiga puluh empat tahun silam, tepatnya di tahun 1973. Di suatu petang di kampus Bulaksumur, ada pergelaran musik oleh mahasiswa UGM. Kelompok musik dan penyanyinya semua berasal dri UGM. Saya menonton bersama dengan seorang teman, yang juga ketua senat mahasiswa FK, Achdiat Agoes. Kami berdua masih belum punya pacar, masih dalam tahap pencarian dan PDKT.

Ada penyanyi cantik, saya tidak tahu mahasiswi mana, dengan elegan sekali menyanyi lagu Jambalaya. Irama nyanyian dan gerak tubuhnya demikian menghanyutkan dan mengundang para penonton untuk ikut bergoyang. Namun setiap kali teman saya ini selalu mengingatkan. Hi duduk tenang ! Saya ingat, si penyanyi memakai celana jean keputih putihan dan kaos merah jingga. Serasi dan mempesona. Penonton kebanyakan mahasiswa semua duduk di rumput dengan tertib menikmati irama musik satu per satu. Tak ada kegemparan, tak ada keributan. Semua berjalan tertib.

Saya mencoba cari tahu dari mana penyanyi itu. Teman saya hanya menjawab, “jangan tanya, she is far away from us”. Saya tak tahu apa maksudnya. Biasanya teman ini selalu proaktif, karena kami memang masih dalam taraf pencarian. Aneh kok kali itu dia menyerah duluan, mungkin sudah ditolak sebelumnya. Dua tahun lagi akan lulus, sebagian besar harus tugas di daerah terpencil. Pengin secepat mungkin punya pacar tetap. Sampai detik ini saya tak tahu siapa mahasiswi yang nyanyi itu, dan tak punya nyali cukup waktu itu untuk mencari tahu.

Kampus Bulak Sumur dengan Cemara Tujuh-nya, terpopulerkan lewat novel Ashadi Siregar ‘ Cintaku di Kampus Biru’ . Novel popular ini pernah tampil dalam cerita bersambung Kompas di awal tahun tujuh puluhan. Ada banyak novel Ashadi Siregar, yang berputar hampir semuanya tentang cinta di sekitar kampus. Ada semacam pengaruh menyejukkan dari musim novel2 cinta ini dalam kehidupan anak2 muda dan mahasiswa. Paling tidak di Yogyakarta. Ketertiban dan keasyikan tanpa keributan dalam pergelaran musik tadi mungkin juga terimbas dri pengaruh hipnotis dari novel novel Ashadi. Kampus UGM, kampus biru yang romantis, kampus perdamaian. Tak hanya dikumandangkan lewat musik, juga berbagai kegiatan lain seperti baca puisi, drama, dan kelompok2 sni yang lain. Setiap mahaiswa ingin menjaga kesan itu.

Di awal tahun sembilan puluhan sesudah saya jadi dosen di UGM, dalam salah satu acara pertemuan internasional, saya mengundang peserta ke kampus dan menikmati acara musik di petang hari. Salah satu peserta yang baru saja datang dri Amerika Latin, mengatakan mengapa Indonesia begitu damai ? Orang bisa menikmati acara musik di alam terbuka sore hari ? Di negara di mana dia bertugas, petang hari orang harus tinggal di dalam rumah oleh karena selalu ada kontak senjata antara militer dengan pemberontak atau antara gang2 narkotika. Saya tak membayangkan waktu itu. Tetapi di akhir sembilan puluhan suasana malam yang mencekam juga menghinggapi banyak tempat di Indonesia. Tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Para seniman senior waktu itu menolak novel2 Ashadi sebagai karya sastra. Dianggap terlalu murahan hanya mengungkap kisah roman picisan semata. Dan jawaban Ashadi lugas. ‘’ Saya tak kecil hati karya saya tak diakui sebagai karya sastra, juga tak akan merasa tambah bangga jika diakui sebagai karya sastra ‘’. Nggak tahulah, faktanya para mahasiswa sering mempersonifikasi dirinya seperti tokoh2 dalam novel2 tersebut.

Di kemudian hari dan terutama saat ini, kita juga banyak melihat kenyataan bahwa yang namanya pergelaran musik dan pergelaran akbar selalu sarat dengan keributan. Bahkan sering sering memakan korban jiwa. Saya yakin bahwa mereka yang datang, termasuk yang menjadi korban, sebenarnya hanya ingin menikmati hiburan musik, menikmati musik sesuai dengan irama hatinya. Memilukan jika pergelaran pergelaran seperti ini sering berakhir ricuh dan makan korban. Di Pekalongan tahun lalu, korban jiwa berjatuhan dalam konser musik.

Kita banyak kehilangan nuansa cinta dan damai dalam pergelaran2 akbar. Lihatlah rapat2 akbar yang selalu mengobarkan hujatan dan pesan pesan kebencian. Entah itu oleh organisasi massa atau oleh kelompok agama. Berangkat pergelaran akbar bawa pentungan sama batu. Kalau ada toko, ada polisi, ada penjual makanan di tepi jalan, rasanya mereka pengin nglempar batu, pengin menjarah, dan pengin mengeroyok. Kenyataanya sering terjadi kan ?

Mengapa karya2 yang mengungkapkan cinta dan kedamaian tak bisa masuk sebagai karya sastra ? Mengapa malu mengangkat dan mengumandangkan cinta kasih dan damai dalam pergelaran dan rapat akbar ? Berdosakah jika anak2 muda mempunyai bayangan tentang cinta sewaktu menonton pergelaran atau rapat akbar. Saya masih ingat pergelaran musik di tahun 1973 dengan kenangan yang indah, bukan karena hangar bingar kekacauan. Hanya mengingat penyanyi dengan kaos merah jingga yang begitu anggun. Hanya ingat peristiwanya, tak tahu siapa dia sebenarnya. Tak pernah sempat sampai tergila gila jatuh cinta padanya. Saya sering cerita mengenai peristiwa ini ke isteri saya kemudian. Pertanyaannya, mengapa saya tidak mengajak dia melihat pergelaran itu ? Jawaban saya juga sama. Pertama kami belum resmi pacaran, baru kenalan tahap awal. Kedua saya hanya punya kendaraan sepeda usang tanpa boncengan. Taksi belum ada, naik becak ke Bulaksumur terlalu jauh. Kalau ada taksi pun tak mungkin mampu naik taksi. Uang bulanan selalu defisit. Defisit ini saya tutup dengan menulis di koran dan media massa. Mentraktir pacar harus benar2 masuk dalam rencana bulanan, terutama cash flow yang selalu nyaris.

Inti dari tulisan saya mengapa pergelaran2 akbar saat ini selalu gemuruh dan bergelora dalam suasana panas ? Mengapa tidak mengemasnya dalam kemasan yang menyejukkan dan romantisme anak anak muda. Mungkin keributan dan kekerasan bisa dikurangi dicegah dan dikurangi. Tidak tentang roman picisan, bukan tentang karya sastra atau bukan, tetapi tentang kasih dan perdamaian. Inilah hakekat hidup manusia.

Ki Ageng Similikithi\
Pernah dimuat dalam Kolom Kita Kompas Cyber Media, 20 Maret 2007

Saturday, August 6, 2011

Untuk teman para malaikat

Kau nyanyikan dendang ilahi
Yang melanglang langit sepi
Gegap gempita menantang matahari
Kau panjatkan doa khusuk setiap hari
Yang menyentuh hati
Merasuk sanubari
Kau sapa para malaikat dan bidadari
Yang bersorak sorai menghentak bumi
Kau tebarkan pesan moral
Bagi anak anak manusia yang berlimbah dosa.

Dalam benakmu pekak terpateri
Bagai duri menghunjam nurani
Kau adalah teman para malaikat
Kekasih para bidadari
Orang orang suci
Yang mengawal moral
Membersihkan dosa anak anak manusia
Yang terhimpit kegelapan dunia
Kau penentu kebenaran
Penunjuk jalan kesucian.

Pesan pesanmu selalu penuh kebencian
Kata katamu bertabur kedengkian
Tindak tandukmu berlimbah kekerasan
Hatimu tak kenal kedamaian
Karena kau terpisah jauh dari kemanusiaan dan peradaban
Tak perlu kau lagukan sorak sorai tentang aklak dan moral
Carilah bisik kemanusiaan dari nurani yang paling dalam.

Manila, 30 Juli 2011
Teriring salam damai
Ki Ageng Similikithi
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150270897693467

Ratu Kidul tak berkenan

“Ketiwasan Gus, gawat gawat gawat. Nyai Loro Kidul marah luar biasa. Calon mantu Kanjeng Ratu diambil, sudah tiga hari tidak kembali”.

Awal tahun tujuh puluhan. Sore hari yang panas. Pak Djo, pembantu tua di pondokan Gerjen Yogya, tiba tiba datang menemui saya. Saya baru saja pulang dari praktikum anatomi di Mangkubumen. Capai dan pusing bau mayat campur formalin. Saya belum jelas apa maksudnya, dia masih nyerocos terus, bahkan isterinya ikut nimbrung.

“Nyai Loro Kidul tidak berkenan karena tidak diaturi sesaji. Ditinggalkan dalam persiapan acara perkawinan agung minggu depan”.
Saya masih belum dhong dan menjawab sambil lalu.

“Saya tak kenal Nyai Loro Kidul. Apa hubungannya dengan perkawinan agung putri Kanjeng Ratu ?.
“ Gus jangan berlagak pilon. Calon mantu kanjeng Ratu hilang sudah tiga hari. Pamitnya hari Minggu kemarin ke Parangtritis. Sampai sekarang beritanya ramai di koran. Nyai Loro Kidul tersinggung berat”.

Saya memang tidak mengikuti rutin berita koran. Anak kos tak mampu lengganan koran. Kemudian pinjam koran tetangga sebelah. Memang ramai diberitakan, baik oleh koran lokal maupun nasional, jika calon mantu Kanjeng Ratu, hilang tak berbekas sudah beberapa hari ini. Mestinya sudah harus mulai masuk karantina, dipingit. Dia seorang insinyur lulusan perguruan tinggi terkenal di Semarang. Berpenampilan nggantheng dengan brengos gagah seperti intel. Sudah bekerja dengan karier gemilang di salah satu perusahaan umum milik pemerintah.

Banyak spekulasi berkembang di masyarakat tradisional Yogya tentang periistiwa mengejutkan itu. Ada yang katanya melihatnya waktu di Parangtritis, sang calon menantu, kencing dilaut. Nyai Loro Kidul yang menjadi pacar gelap raja raja Jawa, demikian terbuai melihat sang burung emas, lalu menariknya ke istananya di laut selatan. Kebanyakan percaya, seperti pak Djo, kalau telah ada kekilafan memberi sesaji, sehingga sang Ratu Kidul, tersinggung dan ngadat.

Lupa wartawan mana yang kemudian membeberkan apa yang sesungguhnya terjadi. Dia melakukan penelitian secara mendalam dan mewawancarai banyak saksi yang layak dipercaya. Ternyata sang calon menantu, menghilang pergi bersama kenalan barunya, seorang peragawati yang rumah tinggalnya juga dekat kampung Gerjen. Tak bisa disalahkan. Seminggu lagi akan kawin dengan putri Kanjeng Ratu, seumur hidup harus setia tanpa reserve. Kapan lagi mau bersenang senang sama seorang peragawati selebriti?

Kebiasaan yang umum di dunia kotemporer dengan istilah bachelor party (http://en.wikipedia.org/wiki/Bachelor_party), untuk memperingati kebebasan di malam malam terakhir bagi sang burung. Seminggu kemudian dia memang kembali, tak banyak berita yang menyebutkan pengakuan sebenarnya. Cerita wartawan itu yang melaporkan kalau sang calon menantu rupanya bersembunyi di Tasikmalaya. Bukan Nyai loro Kidul yang tinggal di sana. Tetapi sang peragawatilah yang ada di sana. Maaf tak bermaksud menyinggung siapa siapa

Salam damai,
Ki Ageng Similikithi
Manila, 25 Juli 2011
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150266732138467

Nama saya DP - konsultasi spiritual

Duduknya tak tenang. Dibalik sikap yang menjurus genit dan wajah menggoda itu tersembunyi kegelisahan jiwa yang dalam. Sebagai penasehat spiritual senior jauh jauh saya telah bisa membacanya. Wanita muda itu duduk bersilang kaki di depanku. Belum tahu siapa dia sebenarnya. Konsultasi spiritual begini sudah berjalan rutin puluhan tahun. Setiap malam Anggoro Kasih. Sejak dari Solo dulu di tahun enampuluhan. Kungkum di Bengawan Solo tengah malam menjadi sarana pengasah ketajaman indera ke enam. Harus tengah malam. Menjelang pagi sudah banyak orang buang air besar di bengawan. Bukan berkah yang didapat jika kesiangan. Tetapi kotoran manusia. Jelek jelek pernah menjadi murid Ki Ageng Gentallogeddy, tokoh spiritual kondang dari Solo yang konon punya wanita simpanan dari laut selatan.

“Panjenengan siapa nimas. Silahkan duduk yang baik dan menghadap ke arah mata hari terbit. Wahyu selalu datang dari Timur”.

Saya mempersilahkannya dengan nada suara dalam. Dia sedikit terkejut. Membetulkan posisi duduk. Satu kaki diangkat naik ke atas kursi. Saya terkesiap. Rok nya tersingkap jelas. Tak bergetar saya. Sudah biasa menghadapi segala godaan atas bawah, luar dalam. Dia memakai celana kolor hitam. Model tahun lima puluhan. Heran saya, luar supra modern, dalam kolor. Jaman memang berubah.

“ Nama saya DP Ki. Saya seorang selebriti terkenal. Pengin konsultasi tentang masalah yang agak intim ya Ki. Tapi mohon jangan disiarkan TV. Untuk di TV tentang hal hal yang intim, saya telah punya penasehat khusus. Ki Ageng hanya saya minta nasehat masalah substansial saja”.

Perasaan saya tak enak. Ada kesan mendikte ini wanita muda. Mentang mentang montok dan cantik. Tak bisa itu diterima. Saya bukan psikiater, tetapi biasa saya mulai analisa dalam. Analisis spiritual. Hening sejenak. Ada kegelisahan jiwa yang berkobar dalam wanita ini. Bisa meledak sewaktu waktu. Moga moga jangan di sini. Bisa masuk koran beritanya. Analisis fisik luar tak butuh waktu lama. Bertubuh bahenol berisi. Bahasa spiritualnya sintal. Gerakan fisiknya selalu penuh goda dan pesona.

“ Nimas saya tak pernah membedakan para klien saya apakah selebriti, bidadari atau isteri kedua. Semua sama di hadapan saya. Ini prinsip kesetaraaan gender. Apa yang menjadi masalah? Katakan sejujurnya.

Dengan gerakan gerakan menggoda wanita muda itu menjawab secara lancar. Kadang2 kakinya naik ke atas kursi. Kadang2 dia menurunkan kerah bajunya. Ingin memamerkan isi dibalik baju. Nampak menerawang. Transparansi dan keterbukaan. Tanpa beha. Bergerak naik turun.

“ Saya ingin tubuh saya bertambah bersinar dengan aura pesona yang dalam Ki. Terutama bagian dada saya. Rasanya kok kurang imaginer bagi para pria. Buah dadaku kurang inovatif”.

“ Dada panjenengan sudah sangat indah menawan nimas. Memberi inspirasi lelaki untuk berimaginasi. Siapa yang bisa menaklukan sampeyan, bakal punya wahyu jadi pejabat, anggota DPR, minimal pengurus partai. Tetapi memang auranya terasa kurang terarah. Kurang terpancar. Makanya sering saja makan papaya. Atau kombinasi papaya mangga, pisang sama jambu. Banyak dijual di Pasar Minggu. Terserah bentuknya yang anda senangi. Modelnya lain lain. Jika kurang besar, seringlah makan buah nangka mentah atau gori. Ini tanggung dada jadi besar berwibawa seperti buah nangka”.

“ Lho kok pakai papaya dan buah nangka segala Ki?. Di luar negeri orang pakai silikon buat membentuk buah dada supaya indah. Apakah teknologi silikon belum dikenal ?. Ki, saya juga barusan operasi vaginoplasty di Arab, juga reparasi keperawanan. Bahkan saya disuruh milih selaput dara, yang kenyal atau yang mendut. Dokter2 kita mestinya belajar teknik ini”.

“ Jangan kagetan. Jangan gumunan nimas. Para dokter di sini juga sudah terbiasa segala macam operasi, suntik silikon, vaginoplasty, sampai permak segala macam onderdil seksual tubuh. Baik untuk kuda, sapi dan para selebriti. Hanya ada kearifan lokal, untuk operasi buah dada, mereka sesaji dengan buah papaya atau nangka. Biar hasil operasinya bagus. Seperti buah nangka atau papaya. Mana tahu dokter Arab akan kearifan lokal kita. Untuk opersi vaginoplasty biasanya ditambah subal pakai jenang dodol atau jadah”.

Ketika mendengar jenang dodol, jadah sama tempe, wanita muda ini semakin bersemangat. Menggali teknologi dan kearifaan tradisional untuk budaya kotemporer, tambal sulam alat tubuh.

‘ Jangan khawatir. Seminggu sekali bisa disubal pakai jenang. Jenang Kudus paling ampuh. Bisa mencekat kencang. Atau jadah sama tempe. Ini bisa sampai memabukkan nanti kalau sang kekasih datang”.
“Ki gimana advisnya untuk menambah aura dan pesona buat para pemuja pria ya? Aura saya akhir akhir ini sedikit terganggu karena TV. Tolong ya terutama para pemuja pria, juga untuk pasangan saya”.

Pertanyaannya kok semakin aneh saya pikir. Tak apalah, dukun tersohor seperti saya tak akan kurang akal. Apa saja klien pasti percaya. Walaupun sadar kalau mereka tertipu, tetapi mereka malah merasa bangga tertipu dukun seperti saya.

“Jangan khawatir nimas. Sering dibilas pakai sambel petis rujak cingur. Auranya meningkat, aromanya menggigit betul. Buat pemuja pria gampang saja, suruh mereka banyak makan pisang raja. Jangan kasih pisang kluthuk, bikin Impoten. Untuk pasangan tetap, tambah dengan lombok rawit, madu sama jahe. Semoga anda aura dan aromanya tambah nges ngesss nimas. Andum slamet ya, ngati ati, ah ah ah”.

Tiba tiba dia beranjak berdiri. Bergerak meliuk liuk. Tari perut dengan gerakan gerakan ritmis. Buah dadanya berputar putar seperti gangsingan. Baru sekali ini dalam perjalanan profesi sebagai penasehat spiritual saya merasa nanar. Kenapa berputar seperti gangsingan? Mungkin tadi minum es teller putar di Bulaksumur. Mungkin saja. Segalanya bisa terjadi di dunia spiritual. Saya semakin larut dalam tarian ritmis itu ketika pintu kamar dibanting keras sekali. Tiba tiba Nyi berdiri bercekak pinggang “Dukun porno. Konsultasi gombal”.

Ah saya sadar dari mimpi dimuka teve. Jatuh terduduk dari kursi. Koran tentang DP masih belum selesai say baca. Isinya tentang DP (http://entertainment.kompas.com/read/2011/07/11/18490554/Pamer.Payudara.Lagi.DP.Tolak.Berkomentar) .

Edan secuil berita kok bisa mengguncang impian manula. Kebebasan pers.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150265142113467

Hati tak pernah bisa sedingin salju

Malam hari di tahun 1972. Saya sudah beranjak mau pergi . Ketika tiba tiba gadis itu muncul dari balik pintu. Diantara tirai warna biru. Lampu temaram kamar tamu tak memungkinkan mengamati wajahnya dengan jelas. Saya tergagap ketika MUS, kakaknya memperkenalkannya singkat. “ Kenalkan adikku LIN”. Saya menyambut uluran tangannya dengan ringan. Jabatan tangan biasa. Tak menggenggam erat, juga tak longgar sekali. Wajar wajar saja. Sedang sedang saja. Hati tak tergetar, pikiran tak tergoyahkan. Aku selalu ingin sekokoh batu karang. Dihadapan gadis yang baru kenal.

Hanya ketika dia tersenyum lembut, saya sedikit terpana. Ada getaran ringan. Namun tak jelas juga wajahnya. Ah biarlah kesan itu berlalu. Walau seribu bidadari datang menemuiku, hati ini ingin tetap sedingin salju. Jangan hiraukan senyum itu. Ini prinsip. Aku ini bukan lelaki malang yang terbuang.

Dengan langkah ringan saya keluar dari kamar tamu. Sang kakak berucap “ Terima kasih, mau ngantar ya”. Di pintu pagar, LIN berucap “ Main ke sini Mas kalau ada waktu ”. Saya hanya menggumam ringan. Maunya tahan diri, tahan harga. Bergegas saya naik becak dari jalan Gadjah Mada 25 ke Patangpuluhan, tempat pondokan saya. Dua puluh lima rupiah tanpa tawar menawar. Pantang pemuda masa kini tawar menawar dengan sopir becak dihadapan gadis yang baru dikenal.

Sore itu saya dalam perjalanan dari Ambarawa kembali ke Yogya. Sudah hampir gelap ketika di alun alun Magelang, kondektur mengumumkan kalau bis batal menuju Yogya. Hanya sampai Magelang. Saya dan penumpang lain, dipindah ke bis yang sedang menunggu di barat alun alun. Bis Mustika. Hanya ada satu kursi kosong. Saya duduk di situ. Bersebelahan dengan seorang gadis. Berpenampilan tinggi kokoh. Kuat seperti karateka. Kami berkenalan dan bicara ringkas. Dia kuliah di fakultas hukum UGM. Sampai Yogya sudah gelap. Dia turun di Bausasran. Saya ikut turun. Tak terpikir panjang, saya mengantarkannya ke tempat pondokan di jalan Gadjah Mada. Dia mondok bersama adiknya LIN, katanya kuliah di AKUB.

Malam harinya saya teringat kembali senyum itu. Teringat kata kata itu. Wajah LIN terkesan lembut dalam keremangan malam. Ingin melihat wajahnya secara jelas. Ingin menatapnya tegas. Ingin menyapanya dengan hangat. Beberapa hari berlalu. Saya tak mampu melupakan semua itu. Senyum itu. Tak bisa melupakan sapaannya. Hari Jum’at malam saya bersama teman akrab, AJI, kembali ke sana. Tak juga bisa membuat tenang. Hari berikutnya, Sabtu siang, bersama teman sekuliah At, datang ke sana. Semakin galau. Bah, persetan dengan prinsip prinsip itu. Walau yang kutemui bukan bidadari, hatiku tak bisa sedingin salju. Dia gadis yang lembut sederhana, mahasiswa AKUB. Bukan bidadari yang beramai ramai menemui dalam khayalku. Lagi pula mana ada sih bidadari ramai ramai mau datang menemuiku. Hari hari selanjutnya saya ke tempat pondokan itu, di jalan Gadjah Mada. Dekat bioskop Permata, Yogya. Hati selalu berbunga bunga. Memang hati tak akan pernah bisa sedingin salju.

Hampir empat puluh tahun berlalu. Gadis yang saya kenal waktu itu, sudah tertidur pulas. Dini hari, saya masih terjaga, tenggelam dalam lamunan, tak bisa tidur. Edaaan enggak.

Salam damai,
Ki Ageng Similikithi
Manila, 23 Juli 2011.
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150264496108467

Dalam kegelapan selalu ada keindahan

Manusia Homo sapiens secara alamiah tak suka kegelapan. Dalam temuan temuan purba kala selalu ditemukan perapian yang dulunya digunakan untuk penerangan, penghangatan dan masak memasak. Para pujangga sejak dahulu kala, menggambarkan kegelapan sebagai lambang kesedihan dan kekacauan. Hanya suasana remang remang yang sering dikaitkan dengan suasana romantis dan cinta sepasang anak manusia. Tak sampai gelap. Dalam dunia asmara, gelap hanya dikaitkan dengan perselingkuhan.

Saya terbiasa dengan kegelapan. Karena dibesarkan di suatu desa di Ambarawa di tahun lima puluhan dan enampuluhan. Belum ada listrik waktu itu, penerangan hanya dengan lampu petromaks. Jika waktu tidur tiba, penerangan diganti dengan lampu teplok. Sering tanpa penerangan demi keamanan. Kalau ada maling masuk, dia tak akan melihat apa apa. Tetapi ada penyair yang pernah merangkai puisi. Hanya dalam gelap orang dapat melihat bintang bintang dilangit. Ada keindahan dalam kegelapan. Keindahan yang hening dan dalam.

Awal tahun sembilan puluhan di Amsterdam. Saya menghadiri kongres sedunia farmakologi. Penyelenggaranya kebetulan teman satu klik. Sama sama generasi farmakolog klinik yang dibimbing oleh Folke Sjoqvist (Karolinska) dan Sir Michael Rawlins (UK), tokoh2 generasi pertama dan kedua di Eropa Barat. Hubungan kami cukup erat selama bertahun tahun. Saya mendapat berbagai keringanan untuk menghadiri konggres tersebut.

Kantor saya memesan suatu hotel, relatif murah dan memadai. Hanya agak kaget ketika masuk (check in) ternyata hotel tersebut satu kamar bisa ditempati oleh beberapa tamu. Fasilitas kamar lumayan, ada dua bed, satu single dan satunya double. Hari pertama, aman aman saja. Saya sendirian dan menggunakan tempat tidur tunggal. Hari kedua, jam sembilan malam, masuk pasangan dari Polandia. Agak kikuk, tetapi kami saling ngobrol sampai tengah malam. Sang pria, seorang pilot maskapai penerbangan dari Eropa Timur, adalah teman ngobrol yang sopan, hangat dan bersahabat. Sang pacar kelihatan pendiam, dengan penampilan cantik dan seksi. Kami sepakat mematikan lampu biar bisa tidur nyenyak.

Hari kedua, seusai menghadiri acara konggres, saya kembali ke hotel. Habis makan malam sengaja tidak ke kamar, tetapi melihat TV pertandingan bola World Cup, antara Cameroon yang dibintangi oleh Makanaky lawan Netherland. Masuk kamar lewat tengah malam. Hati hati sekali jangan sampai berisik mengganggu pasangan pilot sama pacarnya, sang pramugari. Saya langsung tertidur lelap.

Belum lama terlelap ketika saya dikejutkan oleh suara gaduh seperti orang berkelahi. Reaksi saya langsung bangun secepatnya dan melacak arah suara. Ternyata suara hiruk pikuk itu datang dari tempat tidur seberang. Kadang diselingi dengan jeritan jeritan tak karuan. Atau desah napas yang memburu. Tak terlihat apa apa, oleh karena gelap. Ada sinar remang remang menerobos masuk, tetapi tak membantu penglihatan saya sama sekali. Hanya kadang kadang saja saya merasa ada gerakan kaki yang menyeberang dan menggetarkan tempat tidur saya. Entah kaki sang pilot atau si pramugari. Tak relevan untuk diverifikasi. Saya kembali berbaring dalam kegelapan yang temaram. Mendengar dan menikmati suara suara dua anak manusia yang bercinta. Dalam gelap ternyata bisa mendengar mereka asyik bercinta. Bukan kegelapan yang hening tetapi penuh suara berdesah bersahutan. Batin saya mengeluh tanpa daya. Ngono ya ngono ning mbok aja ngono. Paginya bangun agak siang. Sudah lewat jam tujuh pagi. Kami bertemu di kantin di lantai dasar. Sang pria bilang kalau mereka sudah dapat hotel yang murah dan nyaman. We will not disturb you anymore with our physical exercise. Saya hanya bilang, enjoy your vacation.

Dua puluh tahun lewat, awal dua ribu sepuluh. Nyi didiagnosis menderita tekanan bola mata meninggi (glaucoma). Tidak boleh tidur dalam gelap. Harus pasang lampu sepanjang malam, supaya tekanan bola mata tak meninggi. Sejak lama memang dia tak bisa tidur dalam gelap. Kami selalu berselisih prekara lampu tidur. Ketika masih muda dia pernah mengeluh, katanya saya bosan melihat wajahnya saat tidur. Terpaksa harus pakai lampu, walaupun hanya samar samar. Sekarang kami sudah sepakat, mulai tidur pakai lampu. Jika salah satu sudah tidur, kami boleh pindah kamar. Saya meneruskan tidur dengan lampu mati atau NYI meneruskan tidur dengan lampu menyala terang. Hak azasi pasangan manula. Tak ada desah memburu. Sudah terlalu tua untuk bergelut dalam kegelapan. Demi transparansi harus pasang lampu. Good governance and transparency in bed. Edan, prinsip transparansi dan keterbukaan di bidang politik kok sampai ranjang.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Manila, 18 Juli 2011.
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150260810303467

Psikiater

“Horas bah. Lamo nggak basuo boss”. Saya menyapa dan menyalaminya dengan hangat. Kami bertemu untuk rapat di salah satu RS Jiwa di Jawa tengah di tahun 1998. Dr. Sus, seorang psikiater menjabat direktur disana, semenjak dua tahun sebelumnya. Dia memandang saya dengan tatapan aneh waktu itu. Mungkin pangling dan kaget. Karena selama hampir delapan tahun tidak bertemu. Tetapi menjawab. “Horas bung. Ketemu di sini, silahkan duduk”. Saya merasa agak aneh. Reaksinya terasa agak dingin dan asing. Dia senior saya waktu menjalani pendidikan dokter. Kami sempat akrab ketika sama sama ko skap di bagian Psikiatri. Orangnya tampan dan kalem. Seorang pemain band, tokoh mahasiswa populer di kampus. Isterinya dokter seorang ahli anak yang cantik. Selama beberapa tahun sebelum menduduki jabatannya sekarang Dr. Sus bertugas sebagai direktur rumah sakit jiwa di luar Jawa.

Pagi itu rencana akan menanda tangani kerja sama penelitian dengan rumah sakit yang dipimpinnya. Saya berangkat dengan tim lengkap dari Yogya. Saya lihat tim sponsor dari Jakarta juga sudah hadir lengkap di ruangan. Jam menunjukkan sudah lewat jam 1100. Rencana rapat mulai jam 11. Dr. Sus nampak gelisah, bolak balik melihat ke arah pintu depan. Seperti ada seseorang yang dinanti nanti. Kadangkala dia menatap saya. Tatapannya aneh. Kadang2 menggelengkan kepala, mungkin ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya.

Saya tanya ke salah satu staf, mengapa acara belum juga mulai. Jam satu kebetulan ada janji mau ketemu dengan teman lama di lapangan Tidar. Staf saya berbicara sebentar dengan staf Dr. Sus. Kemudian datang ke saya, memberitahu kalau Dr. Sus masih menunggu seorang teman dokter dari Yogya, Dr. Santoso. Saya terhenyak. “ Ya saya ini orangnya”. Staf tersebut nampak terkejut. Lalu kembali memberitahu Dr. Sus, jika yang ditunggu sudah hadir. Saya memang sudah tilpon dia beberapa hari sebelumnya, mengatakan jika saya akan datang sendiri, saat penanda tanganan kerja sama.

Setelah diberitahu oleh stafnya, Dr. Sus memandang saya dengan tajam dari seberang ruang. Dia menggeleng gelengkan kepala dan langsung mendekati saya. “Dancuk, tak enteni wiwit mau sampeyan”. Saya ketawa dan menyalaminya. “Saya sudah di sini hampir setengah jam”. “Lha sampeyan ndadak bilang horas bah, pangling saya. Saya kira pasien saya”. Batin saya menggerutu, teman lama kok dikira pasien. “Sori ya pak, ada pasien saya mirip sampeyan, selalu bilang horas bah setiap kali datang periksa”. Kami ketawa bebas. Seperti jaman waktu ko skap di bagian jiwa dulu.

Acara penanda tanganan berlangsung singkat dan lancar. Hanya pas pidato menyebut nama saya, dia nampaknya tak dapat menahan geli. Berhenti sejenak, menahan tawa dan menggelengkaan kepalanya. Mungkin geli karena peristiwa pertemuan barusan. Dalam acara makan siang kami sempat ngobrol.“Anda psikiater hebat bung. Masih main musik aktif”. Dia mengingatkan saya saat tentamen waktu akhir ko skap, gurubesar almarhum yang kami hormati bercanda mendamprat saya. “Mas kalau ada dua orang saja seperti sampeyan jadi psikiater di Yogya, separoh penduduk Yogya bisa malah jadi gila semua”. Saya ingat Dr Sus saat tentamen di tahun 1974, bisa menjawab semua pertanyaan dengan lancar dan meyakinkan. Sehabis makan siang saya pamitan. Tim saya dan timnya Dr. Sus masih bertemu membicarakan masalah teknis dan koordinasi penelitian.

Meski ada insiden konyol tersebut, hubungan kami tetap baik. Saya memang mengaguminya sejak mahasiswa dulu. Dia aktifis mahasiswa penuh kharisma dan gemar main musik. Peristiwa konyol itu mengingatkan saya sewaktu ko skap psikiatri di tahun 1974 dulu. Kami berempat tugas di rumah sakit Pugeran Yogyakarta. Dia suka cerita yang aneh aneh. Suatu siang sebelum pulang Dr. Sus bercerita. Dia masih ko as waktu itu. Belum jadi dokter. Belum jadi psikiater. “Ki membedakan perilaku psikiater dengan pasiennya kadang kadang sulit. Inilah ceritanya”.

Seorang psikiater senior secara rutin melakukan konsultasi dengan pasien pasiennya tiap hari di kamar dokter di rumah sakit. Di depan ruang dokter tadi ada sebuah ruangan kosong yang belum terisi. Rencana akan dipakai untuk ruang periksa juga. Suatu hari dia melakukan konsultasi psikiatriknya. Secara urut pasien datang ke kamarnya beraturan.

Pasien pertama, seorang pria, setelah selesai konsultasi, keluar dari ruangan. Sebelum pergi pasien itu menengok kamar kosong didepan kamar periksa dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Seolah ada sesuatu yang aneh di sana. Sang psikiater heran, ada apa kok pasien sepertinya melihat sesuatu di kamar sana.

Pasien kedua, seorang wanita, begitu keluar ruangan selesai konsultasi, pasien juga menengok kamar kosong, lalu menggeleng gelengkan kepala dengan jelas. Seolah ada sesuatu yang membuatnya kaget dan heran. Sang psikiater mengamati dengan penuh tanda tanya.

Pasien ketiga, seorang wanita begitu keluar ruang periksa, juga menengok kamar kosong di seberang, dan menggeleng gelengkan kepalanya, seolah penuh dengan tanda tanya dan rasa kaget.

Sang psikiater, tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ada apa kok pasien pasien ini selalu menggelengkan kepala keheranan melihat ruang di depannya. Dia berdiri dan keluar mengecek ada apa di kamar seberang. Ternyata dia tidak menemukan sesuatu. Hanya ruang kosong. Dia berpikir. “Dasar orang gila, tak ada apa apa kok geleng geleng kepala”. Dia menggerutu sambil menggeleng gelengkan kepalanya sebelum kembali ke kamar periksa. Tiba tiba saja semua pasien yang sedang menunggu untuk konsultasi dengan sang psikiater, ramai ramai berdiri, berebut menengok kamar kosong itu. Lalu serentak menggeleng gelengkan kepalanya.\


Saya ingat kami tertawa tergelak gelak mendengar cerita Dr. Sus waktu itu. Namun insiden konyol di tahun 1998 itu tak pernah mengurangi rasa hormat dan kagum saya pada teman teman saya yang berkarier di bidang psikiatri. Saya selalu mengagumi mereka. Merekalah ujung tombak kesehatan jiwa di Indonesia. Hanya jika ingat cerita Dr. Sus dan kisah konyol di rumah sakit jiwa itu, saya tak bisa menahan geli dan seara tak sadar menggelengkan kepala saya. Edan ketularan psikiater aku. Moga moga teman teman psikiater saya tidak marah membaca cerita ini.

Salam damai, Ki Ageng Similikithi
Manila 10 Juli 2011.
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150252962418467

Bercinta dengan bidadari

Terpana saya mendengar ceritanya. Eyang Hargana, seorang dukun renta di kampung Serengan Solo. Malam Anggoro kasih, tahun 1967. Baru saja dia sembuh dari sakit, tak sadarkan diri beberapa hari. Sakit lever. Dalam pengembaraan mimpinya, dia bermadu asmara dengan seorang bidadari jelita. Dewi Supraba, yang konon tak pernah pakai beha atau celana dalam. Kenikmatan tiada tara. Namun dia ingin kembali ke mayapada. Demi tugas mulia membimbing para murid yang setia. Puluhan murid terlolong mendengar kisahnya. Mas Tarno, yang suka main perempuan, mendesah. “Enak enak karo widadari kok ndadak bali nang ngalam donya mikir murid gemblung ora nggenah”.

Tahun 1961, saya main sepak bola di alun alun Van de Paal, Ngampin. Saya tendang bola dari tengah lapangan. Slamet, si penjaga gawang melolong bingung. Tak mampu menangkap nya. Suara gemuruh bergema memenuhi lapangan. Seorang wanita cantik gemulai putih bersih menggapai tanganku. Dengan lembut menggamit ku ke luar lapangan. Bersamanya saya melayang bersembunyi ke balik awan. Kenikmatan luar biasa. Belum pernah rasa surge saya rasakan sebelumnya. Ah ternyata hanya mimpi. Eyakulasi pertama kali dan mimpi bersama bida dari.

Impian dan imajinasi klasik para pria Jawa. Bercinta dengan bidadari. Sang Raja pun berpacaran dengan Nyai Loro Kidul. Jumadi, teman saya di sekolah rakyat lebih realistis. Kalau bisa mimpi bercinta dengan Sisu, teman sekelas kami, akan berbahagia sekali. Impian itu tak pernah datang. Terlalu realistis untuk sebuah mimpi. Kalau mimpi bercinta, mimpilah dengan bidadari surga. Jangan mimpi bercinta dengan seorang tetangga.

Salam damai
Manila, 8 Juli 2011
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150250226018467