Tuesday, November 2, 2010

Pesan singkat

Entah berapa pesan singkat masuk ke tilpon genggam semalam. Baru sempat baca pagi pagi. Dari nomer yang sama. Tetapi tak tercatat dalam daftar kontak. Isinya pesan yang hampir sama. Pengin ketemu. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Ingin menjelaskan masalah yang sedang dihadapi. Dia akan pindah ke propinsi. Kembali bersama orang tuanya. Ungkapan kalimatnya tidak terlalu asing. Samar samar saya ingat beberapa rangkaian peristiwa sebelumnya. Saya kenal dia beberapa bulan lalu di Manila Doctor Hospital, saat periksa kesehatan. Namanya Jennifer, tak tahu nama belakangnya.

Waktu itu katanya sedang menunggu bapaknya yang menderita infeksi berat. Diagnosis dokter menderita sepsis, atau infeksi dalam sirkulasi darah. Bapaknya menderita sakit gula yang berat. Faktor resiko untuk sepsis. Pengobatan harus dengan antibiotika massif. Jennifer cerita jika tidak punya uang sama sekali untuk beli obat yang harganya mahal. Tak punya jaminan asuransi. Beaya perawatan dan obat obatan harus dibayar sendiri. Ciri pelayanan kesehatan di Asia Tenggara. Jaminan asuransi terbatas. Semua harus dibayar langsung oleh pasien. Ada studi yang pernah dilakukan di enam negara di Asia Tenggara yang menunjukkan bahwa beaya perawatan medis yang harus dibayar pasien kelompok ekonomi lemah sering membuat mereka terpuruk di bawah garis kemiskinan. Kelompok ekonomi lemah ini sering harus menjual harta atau modal kerja, seperti ternak dan tanah, untuk menutup beaya perawatan jika salah satu anggota keluarga jatuh sakit berat dan perlu perawatan rumah sakit. Tanpa jaminan asuransi publik, maka upaya mengatasi beaya kesehatan katastrofik ini bagi yang tidak mampu adalah dari sumbangan dan dana sukarela masyarakat. Sering kita lihat di media masa di Indonesia. Tidak ada jeleknya, hanya upaya ini tak akan bisa mengganti kebutuhan sistem jaminan kesehatan publik.

Kembali cerita tentang Jennifer. Beberapa teman kemudian ramai ramai memberikan bantuan uang Peso untuk beli antibiotika. Saya tak pernah megikutinya secara khusus. Hanya beberapa hari kemudian dia mengirim pesan jika bapaknya sudah boleh pulang. Kami tak pernah bertemu secara khusus. Kadangkala saja bertemu dirumah sakit tersebut secara tak sengaja. Dia cerita jika bapaknya tak mungkin bekerja lagi, seorang ahli ahli listrik freelance. Beberapa kali sejak saat itu bapaknya sering keluar masuk rumah sakit. Beberapa bulan kemudian saat bertemu di kafetaria di depan kantor saya, dia cerita jika bapak ibunya sudah pulang ke propinsi. Jennifer bekerja di salah satu call centre di Makati. Sebulan lalu ketemu di kafetaria rumah sakit lagi. Katanya dia harus operasi tumor kandungan. Sudah tertunda beberapa minggu karena masih menunggu bantuan dari PSCO, suatu lembaga yang menyalurkan bantuan sosial bagi orang2 yang membutuhkan. Beaya operasi 25000 Peso, bantuan yang turun 18 000. Saya dan beberapa teman urunan menutup kekurangannya.

Dua minggu lalu, tiba tiba saya terima teks agak aneh. Dari seseorang yang memperkenalkan diri bernama Mylene. Katanya teman Jennifer. Mylene dan pacarnya pagi itu mengunjungi Jennifer di apartemennya di Pasig dan mendapatkan dia tidak sadarkan diri, panas tinggi. Kemudian dibawa ke rumah sakit De Lapaz di Kamuning, Queson City. Menurut dokter dia menderita sepsis karena operasi yang dijalani beberapa minggu sebelumnya. Kondisinya kritis. Butuh transfusi dan obat obat mahal, tetapi tak ada uang sama sekali. Mereka sangat mengharapkan pertolongan oleh karena butuh uang untuk beli antibiotika. Semula tak begitu ambil pusing oleh karena pesan pesan seperti ini sering diterima oleh teman teman kantor juga. Tetapi berkali kali pesan singkat masuk, dengan pesan yang hampir sama. Minta bantuan untuk beli obat. Bahkan dia memberi nomer rekening. Saya masih makan malam dengan Ananda di rumah makan Jakarta. Dia kepala bagian personalia.

Ketika tiba tiba tilpon genggam saya berdering, seseorang bernama Mylene bicara dari seberang sana. Kali ini member tahu kalau Jennifer kritis dan butuh transfusi. Ananda menganjurkan agar saya dan dia bersedia menyumbang darah. Tetapi dari ujung sana, Mylene mengatakan kalau sudah ada donor, tetapi uangnya tinggal 700 peso. Dia tak lupa mengirim nomer rekening. Katanya rekening Jennifer. Saya beri tahu tak mungkin transfer oleh karena week end. Internet banking saya tidak aktif. Kenapa harus kami yang di kontak? Apakah dia tak punya saudara?.

Hari Sabtu pagi saya bangun siang. Bangun sudah hampir jam sebelas. Ada janji makan siang dengan seorang teman. Kami makan siang di hotel Pan Pacific, ada rumah makan Jepang. Sambil ngobrol ke sana kemari. Tak berlama lama oleh karena sore itu pengin nonton TV, hari terakhir Ryde’s Cup, pertandingan golf antar grup Eropa dan Amerika. Teman saya harus berangkat sore nanti ke Phnom Penh. Tiba tiba ada pesan singkat masuk jika Jennifer dalam keadaan kritis. Saudara saudaranya sudah kumpul datang dari propinsi. Pesannya saya forward ke Ananda. Pesan singkat ke dua mengatakan bahwa Jennifer dirawat di De La Paz hospital, Kamuning, Quezon city. Juga minta dengan iba agar saya transfer beberapa ribu Peso ke rekening tersebut. Ananda kemudiaan menyarankan untuk langsung saja ke rumah sakit. Tetapi saya tetap bertanya tanya, mengapa kami ? Kita tak punya hubungan apa apa. Ananda bersedia pergi bersama asal saya yang nyopir. Itu masalahnya. Saya tak hapal daerah itu. Satpam yang biasanya nyopir untuk saya sedang giliran jaga.

Kemudian kami naik taksi. Tak begitu penuh jalanan, namun butuh waktu sampai 1 jam ke Kamuning. Putar putar daerah itu. Tak ada yang namanya De La Paz hospital itu. Kami tanyakan kembali ke Mylene, dimana rumah sakitnya? Jawabannya aneh. Tak usah datang ok ada masalah. Kirim saja uangnya lewat rekening. Suaranya begitu parau dan iba. Ananda punya fasilitas internet banking. Dia menganjurkan agar kirim saja lewat ATM. Akhirnya kami putuskan untuk kirim Peso lewat dari rekening Ananda. Moga moga bisa menolong kalau benar benar diperlukan. Kemudian kami kembali naik taksi ke daerah Malate. Kami sama sama tinggal di kota lama Malate.

Dalam perjalanan pulang tiba tiba tilpon berdering. Dari nomer tak dikenal. Dari seberang dia mengingatkan dari Jennifer. Dia bilang tilpon genggamnya hilang dicuri orang sejak malam tadi. Apakah ada yang menghubungi anda dengan tilpon saya, tanyanya. Iya temanmu Mylene bilang kamu kritis dan minta transfer uang untuk beli obat. Kami telah transfer ke nomer rekeningmu. Dia sayup sayup bilang, bukan saya yang minta itu. Orang yang mencuri tilpon itu yang telah menghubungi kamu.
Kami tak bisa mengerti lugas. Siapa yang menipu minta uang ditransfer? Jennifer, Mylene dan pacarnya, atau yang mencuri tilpon genggam itu. Kami tak tahu. Mungkin memang bagian dari kelompok yang terorganisir rapi. Saya kirim pesan singkat. Tolong jangan hubungi saya lagi. Yang bikin saya jengkel bukan kehilkangan uang itu. Tetapi kehilangan waktu beberapa jam tak dapat menikmati hari terakhir Ryder’s Cup.

Pesan pesan singkat itu tetap saja datang. Ingin menjelaskan duduk perkaranya. Entah benar entah tidak, entah ada masalah entah tidak, saya tak butuh penjelasan. Siapa yang berpura pura, siapa yang menipu, saya juga tak peduli lagi. Saya ini bukan laki laki jalang dari kumpulannya yang terbuang. Hanya meradang kehilangan uang. Untuk golf Minggu paginya. Untung Minggu pagi ada typhoon. Hujan deras mendera. Tak mungkin main golf. Hanya istirahat di kamar.

Aja kagetan, aja gumunan, kabeh wis ana dalane.Eling lan waspada. Semua sudah ada jalannya. Mungkin hari itu memang saya harus ketipu.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi