Sunday, August 22, 2010

Penghargaan

Hati berdesir ketika nama saya dipanggil. Tak tahu mengapa. Dengan tenang saya maju ke podium. Saya memakai setelan jas coklat dengan leher tertutup, seperti model jas para pemimpin Asia selatan. Acara penerimaan penghargaan pegawai di kantor saya di Manila bulan April 2010 lalu. Saya telah menyelesaikan masa kerja sepuluh tahun. Siang itu acara mulai jam dua siang. Walau hawa di luar panas menyengat,aula itu terasa sejuk. Banyak teman dan staf lain yang menerima penghargaansiang itu. Bahkan ada yang sudah menjalankan tugas selama tiga puluh lima tahun.

Bagi banyak orang mungkin hanya peristiwa biasa saja. Acara formalitas kantor. Tetapi bagi saya banyak yang terasa khusus. Ada alasan mengapa terasa khusus. Ketika pimpinan menyalami hangat, hati saya kembali berdesir. "Terima kasih apa yang telah anda lakukan selama sepuluh tahun terakhir. Sangat berarti bagi organisasi, bagi program yang anda pegang,dan bagi mereka yang membutuhkan uluran tangan kita". Saya tak bisa menjawab, suara saya hilang dalam lamunan masa lalu. Teringat masa silam ketika saya masih bekerja di lembaga pendidikaan tinggi di Indonesia. Bentuk penghargaannya memang hanya berupa pin dan vulpen dengan symbol organisasi. Tetapi kata kata lugas yang diucapkan pimpinan begitu berarti bagi saya. Dalam berbagai kesempatan sebelumnya, saat evaluasi program, dia sangat puas dan berterima kasih dengan perkembangan program yang saya pegang selama sepuluh tahun terakhir. Telah berkembang berlipat ganda dalam jangkauan kegiatan dan harga berbagai kegiatan proyek. Saya tak pernah mengharapkan pujian samasekali sejak awal. Tetapi pengakuan tulus itu membuat saya merasa jerih payah saya dihargai. Baik dalam melayani negara anggota atau menggalang dana dan kerja sama dengan organisasi2 lain.

Ingatan saya melayang sewaktu masih di tanah air. Begitu beda nuansa dan kenyataannya. Belum pernah sekalipun saya menerima penghargaan dan pengakuan seperti ini. Meski telah bekerja selama seperempat abad dan membawa pusat studi yang saya pegang tampil di dunia global. Yang lebih menyakitkan undangan dari kantor pemerintah daerah untuk menerima penghargaan pegawai, tidak pernah disampaikan ke saya. Sengaja dibekukan di kantor tempat saya mengajar. Saat upacara di kantor Gubernur, menurut teman dekat yang menghadiri upacara, nama saya dipanggil saat itu. Periistiwa itu berulang sampai dua kali, saat masa kerja lima belas tahun dan dua puluh tahun. Undangan itu sengaja tak disampaikan ke saya. Memang saya tak pernah mengharapkan penghargaan. Tetapi yang menyakitkan ada upaya merampas sesuatu yang layak saya terima. Sengaja undangan tidak disampaikan agar saya tidak hadir dalam upacara.

Kenaikan pangkat saya juga tidak pernah diproses selama enam belas tahun tanpa pemberitahuan apa apa. Walau saya mencoba menerima semuanya dengan sabar, akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan lembaga yang saya cintai. Setelah bekerja selama dua puluh lima tahun. Ah secara tak sadar saya juga butuh pengakuan dan penghargaan atas usaha dan jerih payah saya. Manusiawi . Saya juga menyadari kalau secara profesi, saya dibesarkan dalam lembaga tersebut.Tak perlu dan tak ada gunanya menghujat.

Di tahun 1979, masih ingat ketika akan naik pangkat dari 3 A ke 3B, jerih payah saya menyelenggarakan pertemuan profesi se Asia Pasifik secara sukses, tak bisa dimasukkan sebagai salah satu poin untuk kesetiaan pegawai untuk syarat kenaikan pangkat. Walau saya menyelenggarakannya untuk lembaga dimana saya bekerja. Sebagai ganti saya diminta ikut jadi panitia dies, seksi konsumsi,mengatur minuman dan makanan kecil saat upacara dies. Perasaan saya tertusuk waktu itu. Tetapi mau apa ? Orang berkuasa menelaah dan menerapkan peraturan. Menyelenggarakan pertemuan ilmiah internasional tingkat Asia Pasifik, tak diakui sebagai salah satu poin untuk naik pangkat. Tetapi jadi anggota seksi konsumsi acara dies yang sangat internal, justru diakui sebagai salah satu poin naik pangkat. Masih ingat saat itu saya harus ikut menata dan mengawasi minuman dan makanan kecil saat isitirahat acara dies.

Hati saya berontak. Tetapi tak bisa apa apa. Terima saja apa adanya. Aja kagetan,aja gumunan, dalane pancen lagi semono. Jangan kaget, jangan heran, jalannya memang baru segitu.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi