Friday, January 29, 2010

Angin lembut pagi hari - Mengenang Wasito


Hari Sabtu menjelang petang di pertengahan tahun 1963. Saya pulang naik sepeda dari Ambarawa. Lupa urusan apa, mungkin pulang les sore hari. Kira kira jam lima sore. Sinar marahari mulai meredup. Angin bertiup ringan. Hawa sejuk terasa segar. Tak banyak pencemaran kala itu. Sepanjang kiri dan kanan jalan masih rindang oleh naungan pohon pohon besar, pohon asam atau mahoni. Belum banyak rumah. Kebun kebun di tepi jalan masih rapat dengan pepohonan. Desa saya Ngampin hanya berjarak kurang lebih tiga kilometer dari sekolah Taman Siswa di Ambarawa. Kala itu saya masih duduk di kelas satu SMP.

Saya bersiul pelan ketika menuruni tanjakan di muka kerkop sebelum menanjak kembali memasuki desa Garung. Angin semakin terasa sejuk menerpa. Di sebelah kanan jalan terlihat hamparan teras indah persawahan di tanah miring desa Sumber. Tiba tiba di ujung jalan sebelum menanjak kembali saya melihat seseorang naik sepeda menurun dari arah berlawanan. Kami berpapasan di turunan jalan yang agak menikung. Dia juga bersiul ringan dengan wajah yang ceria. Tiba tiba pemuda itu melambaikan tangannya dengan ramah “ Haiiii”. Wajah yang saya sangat kenal. Mas Wasito, dua tahun di atas saya. Baru saja lulus dari SMP Pangudi Luhur siang. Dia tetangga dekat saya. Bapaknya adalah guru saya di sekolah rakyat, pak Darmowigoto. Saya pikir dia telah berangkat pindah ke Solo meneruskan SMAnya. Ternyata belum berangkat. Berpakaian celana panjang warna hitam dan baju lengan pendek warna jambon ringan. Saya selalu mengagumi cara berpakaiannya yang selalu rapih dengan warna warna yang serasi. Sesuai selera dan imaginasi anak muda.

Mas Wasito orangnya ramah suka tersenyum. Wajahnya tampan dan lembut. Kami sering berolok olok kalau wajahnya tampan priyayi. Banyak teman sepermainan yang wajahnya bagus(tampan) tetapi tampan ndeso. Yang parah kalau wajahnya tidak tampan tetapi juga ndeso. Maklum ini olok olokan kami teman teman sepermainan yang sama sama anak desa. Orangnya sabar tak pernah terlibat dalam keributan sama sekali. Kadang kadang saya merasa iri oleh karena dia masih bisa sering menikmati jalan jalan dengan sepeda di sore hari di Ambarawa. Dengan baju dan celana panjang bagus. Di kelas satu SMP saya belum punya celana panjang. Sore hari lebih banyak bekerja entah mengurus pemerahan susu atau menarik uang langganan susu. Saya tak pernah ikut mengantar susu. Ada loper susu khusus namanya Reso Darman, yang kalau naik sepeda lambatnya tak karuan. Sehari hari saya lebih dekat bergaul dengan Sunu, adik Wasito. Dia satu kelas dibawah saya di sekoah rakyat. Kami teman sepermainan. Dia yang cerita kalau Wasito akan meneruskan SMA di Solo, tinggal bersama kakaknya. Sunu sekelas dengan adik saya Gondo. Mereka berteman akrab sejak sekolah rakyat. Masih sering bertemu sampai sekarang. Sunu sekarang tinggal di Solo.

Esok harinya, Minggu pagi. Udara cerah. Belum masanya musim kering yang panas. Tetapi sudah lewat musim hujan. Langit selalu nampak biru tanpa tersaput awan. Di selatan nampak sepasang gunung, terlihat kelam, Gadjah Mungkur dan Telomoyo. Saya sedang berada di kebun depan di samping gereja. Dari kejauhan saya melihat orang orang berjalan keluar selepas kebaktian gereja di pagi hari. Anjing anjing saya selalu melolong panjang ketika mendengar dentang lonceng gereja tua itu. Entah pagi entah sore. Pagi itu juga sama, anjing anjing saya melolong berkepanjangan. Saya melihat mas Wasito diantara orang yang pulang meninggalkan gereja. Dia tidak melihat saya oleh karena saya terlindung dibalik pepohonan yang rapat.

Selang beberapa lama kemudian, saya masih di kebun itu. Memangkas ranting ranting muda yang tumbuh di batang pohon kopi Arabica. Di kebun itu memang hanya ditanami kopi jenis Arabica. Di kebun belakang dan sebelah Barat rumah, ditanami kopi jenis Robusta. Penghasilan kopi dan pemerahan susu adalam sumber utama penghasilan keluarga saat itu. Tiba tiba saja terdengar orang berteriak menjerit dari rumah seberang gereja. Mungkin Kamto. “Ada orang jatuh. Tolooong”. Saya bergegas lari menyeberang halaman gereja. Banyak orang berlarian ke arah seberang selatan jalan. Saya lihat Kamto dan adik saya Gondo, ikut berlarian ke arah selatan. Ternyata semua berlari ke arah rumah mas Wasito. “Siapa yang jatuh?”. Saya merasa takut sekali. Gemetar tubuh saya. “Mas Wasito jatuh dari pohon kelapa itu”. Sepertinya Kamto yang berteiak.

Saya melihat ibundanya menangis panik. Tubuh Wasito terbaring diam di dipan di ruang tengah. Banyak orang berkumpul di sana. Semuanya panik. Rencana mas Wasito akan berangkat ke Solo hari itu. Dia mencoba memetik kelapa untuk oleh oleh. Ibundanya sudah mengingatkan, nggak usah memanjat pohon kelapa. Mungkin dia berpikir waktu itu, hanya itu yang bisa dibawa untuk oleh oleh. Adalah kebanggaan anak anak desa jika membawa oleh oleh hasil kebun, saat menengok saudara yang tinggal di kota. Itu juga yang sering kami lakukan.

Diputuskan untuk segera membawa Wasito, yang masih dalam keadaan tidak sadar ke RSU di Ambarawa. Saya tidak ikut mengantar. Hanya kabarnya di RSU Ambarawa, mereka diminta terus saja ke rumah sakit CBZ (sekarang RS Karyadi) di Semarang. Sore itu kami mendengar kalau mas Wasito tidak tertolong jiwanya. Dia meninggal dalam usia sangat muda, mungkin enam belas tahun. Jatuh dari pohon kelapa di halaman sendiri. Hanya beberapa jam sebelum berangkat ke Solo untuk meneruskan sekolah.

Esok harinya saya ikut mengantar jasadnya ke pemakaman. Di bukit Penggung. Saya melihat Sunu begitu terpukul, menangis berkepanjangan. Ibundanya berkali kali pingsan. Saya merenung membayangkan wajahnya yang tampan dan sabar. Saya ingat lambaian tangannya yang hangat dua hari sebelumnya. Lambaian tangan yang tak akan pernah saya lupakan. Angin bertiup lembut mengantar kepergiannya. Dia di makamkan di dekat makam keluarga saya. Hanya berjarak puluhan meter. Selamat jalan mas Wasito, semoga cita citamu terbawa dalam perjalanan kekal di alam sana.

Bulan Desember 2009, saya mengunjungi makan anak saya tersayang Moko di bukit Penggung. Selalu saya sempatkan jika saya pulang ke Ambarawa. Saya berjanji untuk selalu menengoknya sampai perjalanan waktu berakhir. Setelah berdoa di makam Moko, makam ibu dan bapak saya, serta makam kakak saya mbak Ti (pernah saya ceritakan di KOKI), makam sanak saudara yang lain, tiba tiba timbul keinginan menjenguk makam Wasito. Dia berbaring tenang disamping makam ayah bundanya. Dalam keheningan di bawah pohon kamboja. Teringat jelas wajahnya yang ceria dan lambaian tangannya yang hangat menyapa saya hampir lima puluh tahun lalu. Saya membayangkan wajahnya yang lembut dan tampan dan pakaiannya dengan kombinasi warna yang pas. Saya meneteskan air mata. Moga moga dia selalu bahagia dan ceria di alam sana. Dengan wajahnya yang lembut dan tampan. Moga moga bisa bertemu anak saya tersayang Moko. Anak anak muda yang terenggut cita citaya karena Sang Kala yang datang menjemput terlalu awal.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Tuesday, January 26, 2010

Saat bersanding


Jarak itu hanya sekitar dua ratus meter. Sama sekali tidak jauh, hanya harus menyeberang jalan raya Pekalongan Kajen. Namun terasa seolah jauh sekali. Pengin cepat sampai dan selesai semuanya. Saya berjalan pelan. Gelisah dan tak bisa tenang. Di kiri kanan saya, kakak sepupu, mas Harto dan kakak ipar mas Munir, berjalan menggamit lengan saya. Sementara irama gamelan terdengar gempita kadang diselingi musik padang pasir. Kombinasi yang janggal buat telinga saya yang tinggal di Solo dan Yogya ber tahun tahun.


Ketika lewat pasar di ujung jalan, orang di pasar ramai menonton arakan saya. Rasanya seperti pesakitan. Ada yang berteriak “ Heee ngantene isih bocah raaa”. Edan, bocah ora bocah urusannya apa ? Burung burung saya sendiri kok repot, pikir saya. Mas Harto berbisik agar saya memperlihatkan wajah ceria, tidak merengut. “Ora usah mbesengut, dongane diapalke”.

Hari itu tanggal 30 Desember 1975. Saya menjalani acara perkawinan di Pekajangan, Pekalongan, di tempat orang tua Nyi. Semalam tiba dari Ambarawa diantar rombongan keluarga dekat. Bapak dan ibu saya tidak bisa ikut. Bapak sedang dalam status tahanan, tetapi dapat ijin untuk menghadiri. Ibu saya menangis ketika saya pamitan kemarin siang. Saya masih ingat kakak saya membawa mobil sport klasiknya, Ford Mustang, dari Bandung. Mobil kesayangan itu dibawa dari Amerika bebera tahun lalu. Bapak saya bersama kakak sulung sekeluarga tinggal di hotel di Pekalongan. Menurut adat kebiasaan Jawa, orang tua pengantin pria tak biasanya menghadiri acara akad nikah. Hanya hadir saat pesta sesudah acara akad nikah selesai.


Sementara sebagian besar rombongan pulang ke Ambarawa semalam, dan datang kembali ke Pekajangan pagi itu untuk upacara. Mas Harto tinggal menemani saya di Pekajangan. Kami ditempatkan di rumah kakak Nyi. Dia menemani saya sampai larut, menghapal doa dalam bahasa Arab untuk acara akad nikah pagi harinya. ‘Diapalke sing genah, aja nganti kleru’, ujarnya berulang kali. Saya tahu dia penganut agama Katolik yang setia, tetapi tak merasa terganggu melihat saya menghapal doa itu. Tidak bisa tidur enak semalam.


Kira kira jam tujuh, setelah mandi, mau mulai ganti pakaian. Saya baru sadar kalau baju yang saya bawa dari Yogya keliru, ukurannya kekecilan dan ada cacat di samping kiri. Padahal saya tak punya serep baju yang warna putih. Adanya warna biru. Saya pikir tak apa apa, warna biru warna bagus. Tetapi dukun nganten bersikeras saya harus pakai baju putih. Terpaksa pagi pagi saya dengan mas Harto boncengan naik skuter Kongo, cari baju warna putih di pasar Kajen. Tak banyak pilihan, tetapi saya dapat baju warna putih. Tak begitu halus jahitannya. Tak apalah. Tetapi pagi tiu saya panik nggak karuan.


Kira kira jam sembilan, saya mulai dihias. Harusnya tak ada masalah, tinggal ikut sang perias saja. Tetapi belum hilang rasa panik, saya masih dibuat jengkel oleh sang tukang rias, Mukmin. Di bebet bagian depan dengan menyolok sekali tertulis kata Mukmin. Semua pakaian pengantin yang akan saya kenakan bertulisan Mukmin, menyolok sekali. Saya bertanya apakah ada pakaian lain, dia menjawab tidak ada. Walau nama saya bukan Mukmin, saya kenakan pakaian itu dengan kesal. Kemudian ketika wajah saya selesai di kasih bedak dan gincu, saya bersikeras agar dihapus atau dikurangi setipis mungkin. Merias pengantin kok kayak merias badut. Nyi mestinya tahu selera saya, perias konyol ini tak pas dengan saya.


Pertemuan saya dengan Nyi terakhir hampir dua minggu sebelumnya. Tak banyak bisa membicarakan rencana acara perkawinan secara rinci. Hanya menjalani pemeriksaan dan prosedur administratif di kantor urusan agama waktu itu. Kemarin sore saya melihatnya sejenak saat rombongan kami datang. Saya tak bisa menemuninya. Hanya melihat dia keluar menemui rombongan kami sebentar. Konon dalam adat Jawa, calon pengantin perempuan dan pria tak boleh bertemu sebelum nikah. Calon pengantin wanita harus dipingit. Supaya tidak kena angin. Itu maunya, tetapi jaman sekarang mana tahan? Kakak ipar saya, mbak Wati almarhum mendesak ingin lihat Nyi. Saya melihat sepintas, Nyi nampak kurang tidur. Melempar senyum dari jauh.


Perkenalan keluarga saya dengan keluarga Nyi semalam berjalan lancar. Sehabis acara formalitas saling memperkenalkan dan menyerahkan tanda mata peningset kami makan bersama. Begitu selesai acara makan, kedua bulik saya, Bulik Mus dan Bulik Parman almarhum, seperti biasa langsung merokok, Gudang Garam. Mereka wanita wanita kuat yang sangat berpengaruh dan dekat dalam hidup saya sejak kecil. Alpha female dalam keluarga. Nampak gembira sekali mengantar ponakan nikah. Esok harinya mereka berdua akan menggandeng saya dalam upacara nikah. “Wah nuntun pelen ya Ki”, canda bu Parman seperti biasa. Ketika saya ke belakang ikut sholat maggrib, saya dengar bapak mertua bilang sama ibu mertua “ Wah wedok wedok kok dha ngrokok ya”? Tak biasa wanita merokok di lingkungan keluarga Nyi. Saya pura pura tak mendengar. Bisa apa saya?


Ketika arakan penganten sampai di rumah NYI, saya langsung menjalani akad nikah di pavillion. Bapak mertua duduk di muka saya di samping pengulu. Sempat bertanya sebelum acara mulai “Wis apal dongane ?”. Saya mengiyakan ringan, tetapi rasa panik masih membayangi. Acara ijab kabul berlangsung lancar. Saya lihat mas Harto nampak tegang ketika saya mengucapkan ijab. Mungkin takut kalau saya tidak hapal kata katanya.


Kemudian saya digandeng kedua bulik saya ke acara adat pernikahan. Sementara menunggu calon penganten wanita keluar, bulik Mus berbisik bertanya “ Wis diwenehi suruh”? Dia menanyakan apakah saya sudah memegang daun sirih untuk acara saling lempar dengan pengantin wanita. Saya menggeleng pelan. Ternyata gulungan kecil daun sirih itu dibawa Bulik Parman. Dia cepat cepat mengeluarkannya dari dalam tas dan menyelipkan ke tangan saya. Ternyata yang diberikan bukan gulungan daun sirih, tetapi rokok keretek. Saya terkejut dan menoleh ke arahnya. Menyadari kekeliruannya, dia berbisik menggerutu “Asem, malah keliru rokok”. Cepat cepat merogoh tasnya kembali dan menyelipkan daun sirih itu ke tangan saya. Saya tak tahu apakah ada yang melihat insiden kecil itu. Bu lik Mus pun tidak tahu. Jika tahu pasti adiknya akan kena damprat kemudian.


Tak ada acara menginjak telor dan membasuh kaki penganten pria oleh penganten wanita. Terasa lebih mengarah ke persamaan gender, lebih demokratis dan sederhana. Setelah saling melempar sirih, saya menyalami tangan Nyi. Dia mencium tangan saya dan saya mencium keningnya. Kami berjalan bergandengan ke pelaminan. Sementara kepala mulai terasa nyeri berdenyut sebelah kiri. Saya khawatir jika migrain saya kumat. Cuma nggak ada rasa mual dan gejala kunang2 seperti biasanya. Saya sadar kemudian, jikaa blangkon yang saya pakai ukurannya terlalu kecil, terlalu ketat. Duduk di pelaminan pun rasanya pengin acara cepat berlalu dan bebas dari cengekraman blangkon yang sangat ketat, serta bebet yang bertuliskan Mukmin itu.


Melihat saya duduk gelisah adik saya Ari berulang kali mendekat dan berbisik agar saya memperbaiki posisi duduk. Bulik Parman sekali membisiki saya ‘Sing anteng le lungguh, aja kaya sapi pelen”. Duduk tenang, jangan seperti sapi jantan. Gurauan ini hanya bisa dimengerti oleh mereka yang terbiasa dengan peternakan sapi. Sapi jantan selalu liar dan sukar dikendalikan saat menjelang dikawinkan. Nyi juga tidak tahu. Saya mengeluh pelan ke NYI kalau kepala saya terasa sangat nyeri karena blangkon kekecilan.


Bapak saya datang ketika saya telah duduk bersanding di pelaminan. Acara berjalan lancar. Ada beberapa pidato singkat wakil keluarga. Dengan berbagai nasehat. Saya tak banyak bisa mencermatinya. Nyeri kepala berdenyut itu menguras daya konsentrasi saya. Tak apa. Isinya hapal. Kurang lebih isinya sama. Agar selalu rukun seperti mimi dan mintuna. Harus saling menghargai. Tak boleh ringan tangan ringan kaki. Harus setia pasangan, jangan selingkuh, jangan kawin lagi, jangan ma lima (main, madon, madat, maling, lupa apa satunya). Batin saya, nggiiiiiiiiiiiiiih. Manut dan terima saja, apa susahnya.


Di jaman itu acara perkawinan belum biasa dengan resepsi berdiri. Selalu resepsi duduk, seperti yang umum terjadi di Solo, dengan beberapa pidato wejangan untuk mempelai berdua. Seperti pidato pengarahan dalam acara seminar, lokakarya atau semiloka, gabungan antara seminar dan lokakarya. Saya ingat ada seorang tokoh partai (Golkar) setempat di tetangga desa di Ambarawa. Lupa namanya. Dia selalu ceramah memberikan pengarahan di rapat rapat ranting partai. Juga gemar memberikan ceramah di acara pernikahan. Karena beken kegiatannya di lingkungan partai, dia bahkan kabarnya sempat sampai menghadap presiden ke Cendana. Dalam acara pesta pernikahan tetangga saya di Ambarawa, dia menawarkan diri untuk memberikan ceramah pengantin. Ceramah nasehat perkawinannya sangat singkat to the point, suami isteri harus rukun. Yang panjang dan bikin lapar dan ngantuk, ceritanya panjang lebar saat menghadap ke Cendana.


Acara perkawinan saya untungnya tidak didominasi pidato nasehat dan pengarahan. Berjalan singkat, sederhana, apa adanya. Mungkin jika sampai mengalami seperti tetangga saya di Ambarawa itu, saya akan menggalang persatuan para calon penganten, untuk bersatu melawan kesewenang wenangan para penceramah perkawinan.


Lewat lohor acara sudah selesai. Lancar. Setelah rombongan keluarga pamit, saya cepat cepat masuk kamar mencopot blangkon dan seragam pengantin itu. Hampir tiga jam tersiksa blangkon dan pakaian pengantin. Sekali ini saja cukup. Tak ingin sekalipun mengulanginya. Enough is enough. Saya tertidur pulas di kamar. Nyi masih ngobrol di luar. Sore hari terbangun ketika dia memeluk dan mencium saya. Dia tersenyum. Senyum yang abadi dalam kenangan saya. Itu yang saya paling ingat selamanya.


Salam damai dan salam khusus untuk para jomblo dan penganten baru.


Ki Ageng

Wednesday, January 13, 2010

Setelah lewat empat puluh tahun


Matahari telah condong ke Barat. Kira kira menjelang jam empat sore. Angin bertiup lembut menerpa tubuh tubuh yang sedang berpacu naik sepeda. Kami dalam perjalanan pulang dari Banyudono ke Solo. Hanya bertiga, Diono, Martalin dan saya. Siang tadi sesudah usai sekolah, kami bersepeda, main ke tempat Sigit di Banyudono, teman sebangku, di kelas 1 C SMA St Josef. Sejak berangkat saya selalu ketinggalan di belakang dengan sepeda torpedo tua itu. Sementara Sigit pakai sepeda dengan versneilling, Diono dan Martalin pakai sepeda jengki, yang lebih ringan di kayuh. Napas saya tersengal dan jarak di depan rasanya begitu jauh. Lewat Kartosuro, Diono dan Martalin nampak semakin kecil karena jarak yang semakin jauh. Pacuan memang belum selesai. Tetapi saya pasrah. Apa yang bisa dinikmati dengan adu cepat pakai sepeda tua ini? Menang juga tak akan kesohor. Ada harga yang harus dibayar. Tak bisa menikmati panorama sawah yang menghijau sepanjang jalan. Tak menikmati belaian angin yang meniup lembut. Saya memperlambat sepeda. Biar lambat asal selamat, gunung lari tak kan kukejar.

Di Solo, rumah kami berjauhan. Saya tinggal di Badran, kota Barat. Diono di Penularan dan Martalin di Kusumodilagan. Menjelang masuk Solo, ternyata Diono dan Martalin berhenti, menunggu di bawah pohon flamboyan. Martalin segera berteriak " Sampeyan kurang kuat kemauannya Ki. Daya juang rendah. Perlu disuwuk". Saya hanya menjawab kalau sepeda saya memang berat, bukan dirancang untuk balapan. Sebelumnya sepeda ini dipakai untuk mengantar susu ke pelanggan pelanggan kami di Ambarawa. Saya masih ingat betul, tukang antar susu kami yang telah lanjut usia, namanya Reso Darman, selalu mengayuh sepeda begitu pelan, sambil ngantuk. Saya juga tidak tahu arti apa itu disuwuk. Martalin memang tekun sekali mempelajari ilmu ilmu kejawen. Dia cocok sekali ngobrol dengan ayah saya di Ambarawa perihal kebatinan. Menjelang petang kami meneruskan perjalanan ke arah Solo. Lewat stasiun Purwosari, saya belok kiri masuk ke kampung Badran, sementara Diono dan Martalin meneruskan perjalanan lewat jalan Slamet Riyadi ke arah Timur. Mereka tetap saja bersendau gurau.

Kisah lama itu terjadi menjelang akhir 1965. Empat puluh lima tahun lalu. Di tahun tahun antara 1965 – 1966, kami sering bersepeda menelusuri desa2 di sekitar Solo. Beberapa minggu lalu, hari Sabtu tanggal 2 Januari 2010, saya menuju Solo. Terakhir ke Solo dua tahun lalu menemui Lembayung. Kali ini saya sendirian mengendarai mobil anak saya. Saya bilang ke NYI, ini pertemuan mantan teman sekelas di SMA dulu. Saya telah janji dengan Diono beberapa hari sebelumnya. Dia tahu nomer tilpon saya dari kakak saya yang tinggal di Ambarawa. Dia mencari saya di rumah orang tua saya di Ambarawa hampir dua tahun lalu. Namun kontak baru berhasil sebulan kemarin lewat pesan singkat. Menjelang masuk Delanggu, dia tilpon saya sampai mana? Saya keliru bilang kalau sudah masuk Kartosuro. "Saya akan tunggu di depan Universitas Muhamadiyah, di halte seberang jalan". Ternyata saya keliru, ketika masuk Kartosuro, kembali Diono memanggil lewat tilpon genggam "Kok lama Ki, sampai mana". Saya jawab sekenanya, "Sori baru masuk Kartosuro. Telat, kaline banjir". Nggak ada sungai di Kartosuro. Mana ada banjir. Sampai di muka gerbang UMS, saya berhenti di lampu merah. Saya hubungi tilpon genggamnya, "Kau dimana? Saya berhenti sebelum lampu merah?". Ternyata dia menunggu di halte sesudah lampu merah. Dari kejauhan nampak sesosok pria, melambai dan berjalan ke arah saya. Penampilan dan cara jalannya masih seperti dulu. Sambil membuka pintu mobil dia menggerutu " Martalin wingi wis janji nek arep ketemu kok malah minggat. Tilpune di titipke bojone. Gathel".
"Anda tak banyak berubah Bung setelah empat puluh tahun. Gimana baik baik?"
" Edan Ki, kau gemuk sekali sekarang. Jadi boss ya?'.

Kami mulai berbincang. Pokok pembicaraan awal, siapa istrimu, berapa anakmu dan cucumu. Masih seperti dulu, umpatan gaya Solonya selalu aneh buat saya. Sewaktu saya pertama datang ke Solo di tahun 1965, selalu dibuat heran dengan umpatan. Di Ambarawa, umpatan yang sering saya dengar adalah nama binatang, entah itu anjing, babi hutan, atau kotoran binatang seperti tai kucing atau mbelek lincung (tahi ayam). Di Solo , yang sering nama organ manusia, seperti gamblis (rambut sekitar dubur), mata, githok (tengkuk), gundhul (kepala), cocot (mulut). Gathel saya nggak tahu persis artinya, mungkin kaki. Orang Solo lebih manusiawi, lebih banyak menyebut organ manusia.

Sambil mengendarai mobil, kami terlibat dalam percakapan asyik, cerita mengenai riwayat masing masing. Tak semuanya cerita gembira. Isterinya meninggal lima belas tahun lalu ketika ketiga anaknya masih kecil.. Dia harus mengurus anak anaknya sendirian. Uang tabungan habis untuk menutup ongkos pengobatan isterinya. Sekarang ketiga anaknya sudah berkeluarga dan mandiri. Kami juga terdiam ketika saya cerita tentang anak saya bungsu yang telah meninggal. Sambil menyetir mobil saya mencoba mengalihkan pembicaraan. "Ingat kita pernah istirahat disini menjelang akhir 1965 ? Dimana pohon flamboyan yang dulu itu ?". Dia menjawab datar, "Mana saya ingat" Mungkin sekitar sini". Lokasi tak penting. Makna kenangan lebih penting.

Martalin tak berada di rumah, kami putuskan untuk mencari Sigit yang katanya mengajar di UNS. Diono belum tahu rumahnya, tetapi katanya di kompleks perumahan dekat SMA St Josef. Kami berusaha mencarinya. Pelan kami menyusuri jalan beraspal di sekitar perumahan itu. Dia bertanya di salah satu toko. " Dalemipun mas Sigit ingkang pundi pak ? (Rumahnya mas Sigit yang mana?). Yang ditanya malah balik bertanya " Menapa profesor doktor Sigit ?". Diono terhenyak, tak siap dengan pertanyaan itu dan balik bertanya ke saya. " Profesor doktor Ki?. Saya cepat cepat mengiyakan. Mungkin secara tak sadar ingatannya masih ke masa lalu. Dia selalu menyebut mas jika main ke tempat Sigit, biar bapak ibunya senang. Bapaknya Sigit dulu kepala sekolah. Selalu hangat menyapa kami jika main menemui Sigit. "Nomeripun tigang dasa sekawan", kami diberitahu pemilik toko tadi jika nomer rumahnya tiga puluh empat. Masuk jalan sempit dalam kompleks perumahan, cari nomer 34 kok nggak ada. Yang ada nomer 36. Rumah2 sebelahnya tanpa nomer. Saya menunggu di ujung jalan, sementara Diono meneliti nomer rumah satu per satu bolak balik. Akhirnya saya lihat dari kejauhan dia memencet bel, rumah besar tanpa nomer itu. Sejenak dia berbicara dengan penghuni rumah, saya tidak bisa melihat lawan bicaranya.
" Betul rumahnya Sigit. Kelihatannya tiga rumah dirombak jadi satu".
" Siapa yang kau ajak bicara ?"
" Mungkin isterinya. Sigit baru rapat senat. Cantik istrinya".


Diono kemudian menghubungi Dibyo, juga teman sekelas semasa kelas satu dulu, Kami menuju rumahnya di jalan Bayangkara. Bertemu Dibyo, perasaan saya bercampur sedih. Kesehatannya tampak sudah menurun. "Hi Ki lama nggak jumpa ya". Sapaannya juga persis seperti dulu jika saya ke rumahnya. "Ah hanya empat puluh lima tahun". Kami bermaksud hanya mampir sebentar karena kondisinya masih kurang sehat. Tetapi Dibyo mendesak supaya kami duduk ngobrol. " Kapan lagi ada kesempatan". Betul juga, mungkin tak banyak lagi kesempatan bertemu. Dibyo putra kepala polisi wilayah Surakarta waktu itu. Rumahnya selalu jadi tempat kumpul kami. Orangnya pendiam halus, tidak suka berkoar seperti kami. Sekarang isterinya mengajar di UNS, putra putrinya tiga. Sudah mandiri semua. Dia belum punya cucu, sudah pensiun dari PERTAMINA. Kami ngobrol ke sana kemari dan masih mencoba kontak teman teman lain, Martalin, Sigit, Prasodjo dan Nugroho.

Sigit yang datang beberapa saat kemudian. Penampilannya masih gagah dan tampan, seperti bintang film tahun lima puluhan, Bambang Irawan. Empat puluh lima tahun lalu belum nampak gagahnya, kecil kurus. Dulu Diono sering bilang "Baguse bagus ndeso". Sekarang nampak masih muda dan sehat di umur menjelang enam puluh. Setiap hari rutin jogging. " Curu saya sudah tujuh. Anak saya empat". Dia kawin saat masih sarjana muda. Isterinya sekarang sudah pensiun dari PEMDA. Saya berseloroh tentang rumah Sigit dan mengingatkan lagu yang dinyanyikan Mus Mulyadi. "Omah gedong magrong magrong jejer telu. Kapan to ndhuk bocah ayu ? Kowe gelem karo aku". Sigit paling alim di antara kami. Tak bisa diajak bergurau menyinggung masalah yang saru, dulu selalu bilang "Saru ah".

Prasodjo adalah teman dari kelas lain dulu, tetapi sering kumpul di rumah Dibyo. Sekarang menjadi dokter ahli radiologi. Dosen di UNS seperti Sigit. Masih bertugas di rumah sakit ketika dihubungi, datang ngobrol beberapa saat. Pertemuan saya terakhir dengan Pras di tahun 1974 sewaktu kepaniteraan klinik di rumah sakit Jebres. Dia juga masih gagah dan belum nampak tua. Orangnya gampang bergaul, ramah, tak pernah macam macam. Senyumnya selalu tersungging sejak muda dulu.

Siang itu kami makan siang di rumah makan Mbak Lies, khusus salad Solo. Ramainya nggak ketulungan. Harus antre. Martalin dan Nugroho kemudian datang menyusul. Pras harus kembali ke klinik, tak bisa ikut. Kembali ngobrol rame. Martalin juga masih seperti dulu, selalu absurd dengan masalah supra natural. "Jangan tanya mengenai ruwatan ke saya. Tingkatan saya sudah jauh dari sekedar urusan ruwatan". Dia cerita punya banyak pengikut. Hari hari ini sangat sibuk. Ada acara tirakatan memperingati hari lahir maha patih Gadjah Mada. Pikir saya, sokur kalau sekarang masih ada yang memperingatinya. Karena dalam cerita, sesudah perang Bubat, Gadjah Mada diasingkan oleh kerajaan. Makamnyapun tak diketahui di mana. Saya sekelas dengan Nugroho mulai kelas satu sampai lulus di tahun 1968. Pembawaannya selalu halus. Sekarang masih bekerja di bidang batik. Beberapa tahun bekerja di bank. Anak2nya juga sudah selesai semuanya. Kami bicara tentang makanan khas Pekalongan, ketika tahu isteri saya asal Pekalongan. Dia pernah dinas di Pekalongan beberapa tahun. "Saya harus datang khusus ke Pekalongan jika kangen masakan2 khas sana". Banyak jenis masakan Pekalongan yang memang tak dijumpai di kota lain. " Waktu pengantin baru dulu, pertama kali makan sayur daun kecombrang masakan isteri, kok seperti ada rasa kemasukan kecoak. Sekarang selalu ketagihan", saya berseloroh.

Habis makan siang, saya kembali ke Yogya. Diono bersama saya oleh karena pengin tahu rumah saya. Mungkin tahun depan akan ketemu lagi. Waktu berjalan terus. Persabatan tak berhenti. Tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Sampai akhir perjalanan waktu. Tak oerlu berpacu lagi. Pacuan sudah selesai.

Salam damai



Saturday, January 9, 2010

Hilang bersama angin

Suatu sore di musim kering tahun 1966. Saya sedang liburan di desa Ngampin Ambarawa. Tak ingat lagi liburan apa. Hanya beberapa hari. Sejak pertengahan tahun kemarin saya sebenarnya telah hijrah ke Solo, tinggal bersama kakak saya, di Badran kota barat. Meneruskan sekolah di SMA St. Josef. Siang itu saya duduk di pendopo depan. Menikmati tiupan angin yang memberikan rasa sejuk di siang hari yang gerah. Gunung Gadjah Mungkur dan Telomoyo terlihat biru kelam di kejauhan dalam sorot matahari yang cerah menyengat. Di kebun depan saya melihat paklik saya, pak Wir, sedang mengumpulkan kayu bakar di bawah pohon sawo. Dia adalah suami Bu Lik Mus, adik bapak saya. Sudah beberapa bulan pak Wir pensiun dari pegawai Dinas Penerangan Rakyat di kecamatan Jambu. Tiba tiba saja Bapak saya memanggil pak Wir untuk datang ke pendopo. Hal yang biasa, mereka terbiasa ngobrol. Hubungan mereka akrab. Pak Wir sering datang ke rumah hanya sekedar ngobrol.

" Kau Ki. Lagi libur? Sudah krasan di Solo?" Pak Wir menyapa saya singkat.
" Liburan beberapa hari"
" Belajar yang baik. Hati hati putri Solo ayu ayu. Nggak usah macam macam".
" Sekolah saya muridnya semua laki laki".
Pak Wir ketawa. Nggak tahu apa yang diketawakan. Dia hanya menggumam pelan " "Murid kok pelen (laki2) kabeh". Saya tidak merasa perlu menjelaskan mengenai sekolah saya. Tetapi saya bangga belajar di St. Josef, walau bukan sekolah negeri.

Pak Wir kemudian terlibat obrolan panjang dengan ayah saya. Saya hanya duduk di kursi di sudut ruangan. Tak begitu mengikuti pembicaraan mereka. Pembicaraan kadang ringan diselingi tawa, kadang2 berubah serius pelan. Situasi politik saat itu sedang tak menentu. Kadang mencekam karena pembersihan orang orang yang dicurigai pengikut arau simpatisan komunis. Jaman memang sedang tidak aman. Harus pandai pandai menjaga dan menempatkan diri. Agar tidak dicurigai oleh penguasa atau militer.

Ketika pembicaraan beralih serius, mau tidak mau saya ikut mendengarkan. Pak Wir mengeluh, pemerintah setempat berencana membuat saluran air dari sendang di Ngampin Kulon, yang membelah persawahan miliknya. Dia sangat keberatan dengan rencana itu dan mengajukan alternatif untuk membelokkan saluran tersebut di tepi sawah. Jika toh harus melewati sawahnya dia bersikeras minta ganti rugi. Beberapa kelompok petani mendukung dan berdiri di belakang Pak Wir. Bapak saya mengingatkan agar berhati hati. Melawan penguasa sangat riskan.. Apa lagi jika ada petani petani kelompok kiri yang ikut mendukung.

Saya tidak mengikuti permasalahan tersebut secara intens. Kami masing masing terpaku dengan masalah masing masing. Saya lebih terpaku dengan masalah uang langganan susu salah satu instansi pemerintah, rumah sakit umum, telah beberapa bulan tak dibayar. Jelas ini sangat berpengaruh bagi kami. Saya sempat datang sendiri menemui petugas rumah sakit. Jawabannya selalu sama, kuitansi belum bisa dibayarkan. Tak ada uang di kas. Ini masalah serius oleh karena kami harus tetap membeli pakan sapi dan membayar pekerja. Ada paling tidak dua puluh sapi perah waktu itu. Kemudian ternyata sapi sapi itu harus dijual satu persatu. Sekedar menutup ongkos pemeliharaan.

Beberapa hari kemudian setelah pertemuan singkat dengan pak Wir, saya kembali ke Solo. Masih merasakan sedih melihat situasi keuangan yang bersandar pada usaha pemerahan susu. Hasil pertanian seperti kapuk, kopi, kelapa hanya secara insidental memasukkan uang. Saya tidak menyangka kemudian jika pertemuan sore itu dengan pak Wir adalah pertemuan kami yang terakhir. Beberapa minggu kemudian saya terima surat dari adik saya, mengabarkan jika pak Wir ditahan saat wajib lapor dan tidak pernah kembali, tidak tahu berada di mana. Saya ingat pembicaraan pak Wir dengan bapak saya. Jaman tidak menentu, jangan cari masalah. Yang penting selamat. Ingat cerita bapak saya yang mengatakan bahwa pak Wir juga menolak diajak masuk menjadi anggota satu partai, yang dekat dengan penguasa. Petugas penerangan katanya harus netral, tak berpihak pada siapapun, walau dia sebenarnya telah pensiun.

Beberapa minggu kemudian saya kembali ke Ambarawa di akhir pekan. Saya menyempatkan diri menemui Bu Lik Mus, menanyakan kabar tentang pak Wir. Dia menangis sedih penuh emosi. Pak Wir diharuskan wajib lapor ke kawedanan. Beberapa kali datang dan lapor diri sesuai perintah. Suatu pagi saat hujan lebat dan angin, pak Wir tetap berangkat untuk lapor. Walau diingatkan untuk istirahat di rumah saja. Dia hanya berkilah, jaman sedang tidak menentu, jika tidak taat lapor dikira melawan, bisa bahaya. Tetapi sampai malam dan keesokan harinya pak Wir tidak pernah kembali. Bu Lik Mus mencoba mencari informasi ke sana kemari, dan tidak pernah mendapatkan kejelasan suaminya di bawa ke mana. Yang jelas pak Wir diciduk, dituduh menjadi anggota bayangan partai komunis. Tak ada penjelasan, tak ada kesempatan pembelaan. Seolah hilang bersama angin deras hari itu.

Bu Lik Mus selalu terbawa emosi menceritakan kehilangan pak Wir. Dia geram betul dengan aparat pemerintahan yang tega mengorbankan suaminya dan menyerahkan ke pihak penguasa militer. Kesedihan itu masih ditambah, putranya yang bertugas di Kupang Timor, tak pernah ada beritanya. Tak pernah ada surat. Beberapa kali disurati tak pernah datang jawabannya. Tiga tahun kemudian, ketika putranya datang, barulah jelas masalahnya. Surat surat dari putranya juga tak pernah disampaikan. Sengaja selalu ditahan di kantor pemerintahan setempat Komunikasi antara Bu Lik Mus dengan putranya diputus dengan sengaja selama tiga tahun. Kupang Timor dan Ambarawa, bukan jarak yang dekat dimana orang bisa bepergian dengan gampang waktu itu

Di tahun 1967, saat kakak sulung saya pulang dari Amerika, dia liburan di Ngampin Ambarawa. Banyak tetangga yang bertandang menemui. Biasalah kehidupan di desa yang masih guyup, dan mereka juga ingin mendengar cerita tentang negeri impian Amerika. Saya masih ingat salah satu tetangga yang bertandang adalah almarhum Hari, tokoh pemuda setempat. Dia bangga sekali menceritakan kisahnya membersihkan barisan komunis dan antek anteknya. Juga kedekatannya dengan aparat, apalagi dengan militer. Saya mengkaitkan kisahnya dengan cerita Bu Lik Mus tentang persekongkolan aparat setempat yang menciduk pak Wir.

Benang merah itu semakin jelas. Perseteruan dengan aparat pemerintahan setempat, menolak sawahnya terbelah dua oleh saluran air, dukungan kelompok petani yang dicurigai beraliran kiri, protes protesnya tentang bengkok sawah desa, membawa pak Wir ke kegelapan yang panjang tak terkira. Dia memang tak pernah kembali. Keluarga juga tak tahu, di mana kuburnya. Yang jelas hanya diciduk sesudah lapor wajib. Tahun tahun berlalu. Tak pernah ada berita dan kejelasan. Bu Lik Mus selalu menanti. Di usia lanjut dia selalu menitikkan air mata jika disinggung tentang pak Wir.

Dua minggu lalu, hari Kamis tanggal 30 Desember 2009, saya bersama Nyi datang ke Ambarawa, mengantar Bulik Mus ke tempat peristirahatan yang terakhir.. Meninggal malam sebelumnya dalam usia lanjut. Tiga hari sebelumnya kami sempat menjenguk ke rumah sakit. Dia masih jelas berbicara dengan Nyi. Siang itu berbaring lemah Bulik Mus masih mencium Nyi, ketika kami pamit. Saya mengantar sampai ke pemakaman di Bukit Penggung. Makamnya sendirian, tak bersanding dengan makam suaminya pak Wir. Dekat makam kakaknya (ibunda Kresno yang pernah saya ceritakan) dan bapak ibunya. Bu Lik Mus pergi dengan tenang di usia lanjut. Namun masih membawa pertanyaan sedih dimana suami yang dicintainya, yang berpamitan di pagi hari saat hujan deras itu. Namun tak pernah kembali lagi seolah hilang bersama angin. Penantian sia sia sampai akhir hayatnya. Kami semua melepas kepergiannya dengan doa semoga diberi kedamaian di alam sana. Saya sempat bicara dengan putranya, adik sepupu saya, mengingat kisah pak Wir yang telah lama hilang mendahului.. Moga moga pak Wir dan Bulik Mus bertemu dan berkumpul kembali di alam sana.

Kisah semacam pasti banyak dialami oleh keluarga2 yang kehilangan anggota keluarganya. Noda hitam dalam perjalanan bangsa yang tercatat di panggung sejarah dunia. Dalih apapun yang digunakan tak akan pernah bisa diterima oleh akal peradaban manusia modern, pembunuhan karena beda keyakinan politik. Apapun dalihnya. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang ditutupi dan dibenarkan oleh kekuasaan.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi