Wednesday, June 24, 2009

Taruna itu bernama Prabowo

Ada catatan dalam buku harian saya, hari Senin tanggal 6 September 1971. Tentang kunjungan kami, rombongan mahasiswa kedokteran UGM, ke markas pendidikan akademi militer di Magelang, sehari sebelumnya. Ketika membaca baris baris dalam catatan lama tersebut, ingatan saya melanglang ke masa lalu. Namun lebih didominasi oleh pertemuan dan wawancara saya dengan jendral Sarwo Eddhie. Khususnya tentang penembakan pesawat yang ditumpanginya di bandara Wamena beberapa bukan sebelumnya sewaktu masih menjadi panglima Komando Daerah Militer di Irian Barat, oleh Gerakan Papua Merdeka. Pembicaraan berlanjut sekitar gerakan separatis di Irian dan perilaku para pejabat republik di propinsi ujung timur itu. Saya masih duduk di tingkat tiga Fakultas Kedokteran, dan pemimpin redaksi majalah mahasiswa Hygieia almarhum. Tiga puluh delapan tahun telah berlalu. Buku harian saya kebetulan kena embargo NYI karena didalamnya ternyata banyak tertulis kisah romantis jaman dulu, yang juga sudah saya pernah ceritakan di Koki. Khususnya dengan Eny dan Emsa. Cinta monyet, cinta masa lalu, modal permen karet, sana sini lengket.

Ada sesuatu yang mungkin perlu diceritakan dari peristiwa kunjungan itu. Pertemuan singkat dan perkenalan saya dengan seorang taruna. Prabowo Subianto Djojohadikusumo. Sementara teman teman lain waktu itu sudah terlibat dengan berbagai acara pertandingan olah raga, sepuluh mahasiswa diterima oleh Gubernur AKABRI bersama staff teras di ruang pertemuan gubernur. Beberapa taruna juga mewakili rekan rekan mereka. Dalam acara pembukaan kami semua diperkenalkan, juga tuan rumah. Salah seorang taruna yang diperkenalkan oleh jendral Sarwo Edhie waktu itu adalah Sermadatar Prabowo. "Taruna yang duduk di ujung itu adalah putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo". Sermadatar artinya Sersan Mayor Darat Taruna. Saya lihat Bung Prabowo senyum malu malu di deretan kursi seberang. Diskusi dengan jendral Sawo Eddhie kemudian berkisar tentang penyimpangan2 di Irian barat, dan peristiwa kekerasan yang menimpa mahasiswa oleh taruna akademi militer baik di Yogya maupun di Bandung. Tewasnya Rene Louis Conrad di Bandung menjadi topik tanya jawab menyolok. "Tragedi dan kemunduran dalam pembinaan generasi muda para calon pemimpin bangsa", itu salah satu ungkapan yang saya ingat dari beliau.

Diskusi dengan para taruna berjakan agak kaku. Ketika seorang teman saya berucap " Anda anda di Akademi Militer menikmati fasilitas pendidikan yang begini mewah dan gratis. Kami kami hanya mendapatkan fasilitas belajar pas pasa, dan harus membayar mahal". Jawabannya dari taruna paling senior agak klise " Di manapun di dunia, pendidikan militer selalu gratis. Di ksatrian ini, kami ditempa menjadi pembela negara". Kekakuan suasana masih terasa dengan taruna, walaupun kunjungan itu sebenarnya ditujukan untuk mempererat hubungan mahasiswa dan taruna militer. Peristiwa pembunuhan Renne Louis Conrad mahasiswa ITB oleh taruna Akademii Kepolisian di Bandung setahun sebelumnya, dan pengeroyokan mahasiswa tehnik UGM oleh taruna Akademi Angkatan Udara di Yogya, masih ingat dalam ingatan kami. Ketika saya mencoba menyindir istilah ksatrian yang mereka sebut, teman sebelah saya menginjak kaki saya memberi tanda untuk tidak melanjutkan debat yang tak perlu. Batin saya, siapa yang bilang kalau para taruna itu ksatria, dan markas mereka ksatrian. Edan narsis benar. Ksatria di manapun nggak suka main keroyokan. Lantas kami kami para mahasiswa ini dianggap apa? Dianggap sudra apa? Sorry meck, tak adaitu dalam kamus.

Kembali ke Sermadatar Prabowo. Dia lebih banyak diam dan tak banyak diskusi. Hanya salah satu temannya mengatakan bahwa dia menguasai empat bahasa. Sesudah pertemuan kami sempat bicara singkat. Basa basi. Bahasa Indonesianya masih kaku, nggak lancar. Mungkin karena lama tinggal di luar negeri. Dalam perjalanan ke ruang makan kami lebih banyak ditunjukkan berbagai ruang dan fasilitas pendidikan yang mereka miliki. Selanjutnya tak ada kontak lanjutan di antara kami. Masing masing tenggelam dalam perjalan karier yang panjang. Jelas dia kemudian sering muncul dalam berita nasional, apalagi sejak menjadi menantu RI satu.

Kontak tak langsung dengan Bung Prabowo terjadi di awal tahun sembilan puluhan. Berkaitan dengan forum diskusi mahasiswa Timor Timur pro adan anti integrasi. Salah satu tokoh mahasiswa pro integrasi adalah mahasiswa kedokteran waktu itu, Ossie Mario Soares. Bapaknya adalah tokoh pendiri partai Apodeti, yang dieksekusi oleh kelompok Fretilin di tahun 1975. Beliau adalah kakak mantan Gubernur Abilio Soares . Ossie selalu dekat dengan Bung Prabowo dalam upaya diskusi antara kelompok pro dan kontra integrasi. Saya terlibat beberapa kali dalam pertemuan dan seminar mereka di Yogya. Kami hanya saling titip salam. Tak pernah bertemu langsung. Saya berharap dapat bertemu dengan Bung Prabowo, dalam salah satu pertemuan seminar dan dalam satu acara pertemuan mahasiswa Timtim dengan Sultan. Bung Prabowo berhalangan datang dan hanya titip salam.

Kira kira dua tahun lalu. Ada friendster Bung Prabowo. Agak ragu apakah ini betul beliau atau bukan. Banyak pemujanya di friendster itu. Beberapa kali dalam komunikasi lewat friendster, saya selalu mengakhirinya dengan kalimat " Asli lho". Hanya sekedar jaga jaga, kalau bukan Bung Prabowo beneran. Bahasanya selalu lugas dan santun. Tidak berapi api sama sekali. Kemudian lama friendster itu tidak aktif. Mungkin karena kesibukan dunia politiknya. Apa lagi sekarang menjadi Cawapres. Kita semua tak tahu persis kansnya. Tergantung para pemilih. Mungkin ada sedikit keraguan dalam hati para pemilih dalam pemilu tahun ini. Terutama berkaitan dengan tuduhan keterkaitannya dengan peristiwa orang hilang, dan kedekatannya dengan kelompok agama garis keras. Moga moga di pemilu tahun 2014, semua keraguan bisa diatasi. Masih ada waktu untuk menjelaskan. Jika peristiwa peristiwa itu bisa dijelaskan secara gamblang, mungkin publik yang memuja beliau dan masih ragu ragu, akan mendukungnya sepenuh hati. Saya bukan siapa siapa. Mendukung atau tidak, tak akan ada maknanya.

Yang ingin saya ungkapkan di sini hanyalah salas satu sisi makna kehidupan. Hidup adalah perjalanan panjang, suatu pengembaraan tiada henti. Dalam perjalanan itu kita bertemu banyak orang. Saling menyapa, saling memberi salam. Mungkin akan berjalan bersama. Mungkin akan berpisah. Dan suatu saat, entah berapa tahun lagi akan bertemu dan memberi salam kembali. Dunia maya memberi sarana dan makna begitu dalam, agar manusia bisa saling menyapa dan memberi salam dalam perjalanan dan pengembaraan panjang itu. Tiga puluh delapan tahun lalu, taruna itu bernama Prabowo. Sekarang adalah Cawapres Prabowo. Kami bertemu kembali lewat dunia maya. Tetapi saya bukan siapa siapa. Saya ini hanyalah si gembala sapi. Ki Ageng Similikithi. Salam bung Prabowo.