Saturday, March 14, 2009

Mengapa kau tinggalkan aku nak?

Langit memerah di ufuk barat. Menjelang magrib, suatu hari di tahun 1963. Hari mulai gelap. Saya bergegas menuruni jalan setapak di perbukitan Wajah lelaki itu nampak kuyu. Pandangan matanya menatap lurus ke arah langit Sulamin menyandarkan tubuhnya di pohon kelapa di samping rumpun bambu. Saya melihatnya lesu di tepi jurang itu. Hanya sekedar bergumam saat mata kami bertatapan. Hati saya was was. Berjalan sendirian di jalan setapak di antara rumpun bambu yang rimbun dan gelap. Kegelapan malam mulai membayangi dinding perbukitan. Hanya ada dua rumah di ujung desa itu. Rumah Lamin berdampingan dengan rumah emaknya.

Saya baru saja turun dari Kali Guwo, di perbukitan di belakang pekarangan kami. Hanya berjarak kurang dari satu kilometer. Tetapi harus melewati jalan setapak dan jurang terjal yang gelap karena tumbuhan liar dan rumpun bambu. Baru terasa takut saat pulang menembus rerumpunan bambu itu. Tadi sengaja pergi sendirian untuk mencek aliran air dari sumber di tepi Kali Guwo. Seperti biasanya di sore hari air diperlukan untuk membersihkan sapi sapi perah kami di kandang. Ada lebih dua puluh ekor. Selalu saja ada yang mengganggu menghentikan aliran air lewat sakuran bambu milik kami. Dengan tergesa saya naik ke atas bukit. Kecurigaan saya benar. Aliran air ternyata dibiarkan mengalir di pancuran di dekat rumah Lamin. Tak tahu siapa yang melakukannya. Tetapi penghuni sekitar daerah itu tahu kalau waktu sore seperti itu mereka tak seharusnya mengganggu aliran air kami.

Tak ada minat menyapa Lamin yang bersandar lemah di pohon itu. Beberapa minggu sebelumnya saya terlibat debat tak enak dengannya. Kucing kembang telon yang saya sayangi beranak dan pindah ke rumahnya. Waktu itu saya datang ke rumahnya dengan Kamto, salah satu teman main saya. Saya minta secara baik baik agar kucing bisa saya bawa kembali. Saya kalah debat. Dengan enak dia menjawab "Biarkan kucing sampeyan memutuskan jalan hidupnya sendiri. Mau tinggal di sini, mau di rumah sampeyan, mau di mana saja, itu hak dia semata mata. Dia lebih bahagia di sini walau kami orang miskin". " Hati saya panas betul mendengar jawabannya yang ketus. Mau mengajak duel jelas kalah. Saya baru berumur 13 tahun. Kamto 11 tahun. Ukuran tubuh kami tak sebesar anak anak sekarang. Lamin berbadan tegap. Baru beberapa tahun jadi pengantin. Masih ganas luar dalam. Kami mundur teratur. Saya dengar Kamto bergumam " Muga muga samber bledhek". Malamnya ayah saya mendamprat " Goblok, karo Lamin, mengkeret".

Hari berikutnya saya kembali ke rumah Lamin. Dengan Kamto sama Jumadi. Masing masing bawa tongkat. Alasan selalu saja ada bawa tongkat karena harus melewati jurang yang gelap. Anjing saya hilang satu di jurang ini, diterkam ular puspa kajang (phyton) yang banyak hidup di situ. Saya membawa tongkat galih asem yang katanya bertuah. Waktu kami tanyakan kembali tentang kucing itu, Lamin menjawab ringan " Wah kucing sampeyan sudah pindah. Nggak tahu ke mana. Dia ingin bebas di dunia ini". Sementara isteri Lamin, dengan tubuh montok hanya terbungkus kain sampai dada, duduk di pangkuan suaminya dengan mesra. Dia memandang sinis kami bertiga. '"Sampeyan cah bagus bagus kok senengange kucing. Apa ra duwe kanca prawan?". Bah ini menusuk lagi. Kami belum kenal perempuan. Tak pernah membayangkan perempuan. Kamto bayangannya selalu tentang koboi naik kuda. Saya selalu membayangkan astronot Rusia Yuri Gagarin. Tak tertarik membayangkan perawan. Ternyata waktu dewasa Kamto jadi kusir dokar. tak jauh dri bayangannya.

Peristiwa kucing minggat ke rumah Lamin, maupun pertemuan saya di tepi jurang cepat tersapu hiruk pikuk peristiwa sehari hari. Beberapa bulan kemudian saya mendengar kabar mengejutkan. Lamin tewas gantung diri di kamar belakang. Persis di kamar di mana kucing kembang telon saya beranak dan bersembunyi. Kami bertiga tak berani mendatangi rumahnya atau berjalan sendirian di jalan setapak itu. Lamin bersama isterinya tinggal bersebelahan rumah dengan emaknya. Mereka mengandalkan hidup sehari hari dari hasil pertanian pekarangan rumah mereka. Ayah Lamin konon sudah lama meninggal. Kakek Lamin rumahnya berjarak kurang dari seratus meter ke arah bawah. Seorang lelaki tua yang hampir jompo tetapi punya isteri semok yang masih muda.

Sepeninggal Lamin, daerah di tepi bukit itu semakin sepi. Tak banyak orang lewat sana. Lebih baik memutar lewat jalan berbatu di dalam kampung meski lebih jauh. Tersebar berita beberapa orang masih sering melihat Lamin tersandar di pohon kelapa di samping jurang itu. Saya tak lagi berani berjalan sendirian lewat jalan setapak mengecek aliran air. Selalu berdua atau bertiga. Beberapa minggu sesudah kematian Lamin, kami lewat jalan setapak itu. Kami mendengar rintihan emak Lamin menyayat hati " Min, kok tega kowe ninggal aku le. Mbok aku tak melu wae". Hati saya bergetar mendengar rintihan itu. Tetapi tak punya nyali untuk mampir dan menghiburnya. Lamin memang anak satu satu nya. Anak kesayangannya. Kami semua tidak tahu mengapa dia mengakhiri hidupnya dengan tragis. Tak bisa bibayangkan kesedihan mak Lamin kehilangan anak yang sangat dicintainya.

Beberapa minggu kemudian, tak sampai empat puluh hari setelah kematian anaknya, mak Lamin ditemukan gantung diri di kamar yang sama di mana Lamin gantung diri. Peristiwa gantung diri Lamin dan emaknya menjadi berita dan kegelisahan besar seluruh desa. Tak bisa berbuat apa selain berdoa dan kenduri. Belum habis kegelisahan tentang peristiwa tragis itu, embah Lamin meninggal mendadak. Ada beberapa tetangga yang curiga dia minum DDT secara sengaja. Hanya selang kurang dari dua bulan, anak, emak dan embah meninggal secara tragis. Tragedi kemanusiaan. Beban kepedihan tak terperikan, beruntun dari anak ke ibu dan simbah. Tiga generasi meninggal targis dalam kepedihan.

Rumah Lamin dan emaknya dibiarkan kosong sesudah mereka meninggal. Tak ada saudara yang berani menempatinya. Isteri Lamin pulang ke rumah orang tuanya. Pekarangan di lereng bukit itu semakin rimbun karena tumbuhan liar dan rumpun bambu. Penduduk desa masih sering melihat bayangan Lamin tersandar di pohon kelapa di samping jurang itu. Atau mendengar rintihan emak Lamin menyayat hati. Terutama di waktu menjelang magrib.

Peristiwa itu sudah berlalu lebih dari empat puluh tahun lalu. Tetapi ingatan saya masih segar berjumpa Lamin di tepi jurang itu. Wajahnya yang kuyu putus asa. Saya melihat kembali daerah itu akhir tahun 2008 kemarin. Kebetulan mendapat bagian warisan orang tua di seberang jurang berdampingan dengan pekarangan Lamin. Sekarang ada jalan aspal kampung menembus samping rumah emak Lamin. Tetapi tetap saja pekarangan di sekitar rumpun bambu di situ masih terasa terasa sangat sepi mencekam. Sampai sekarang orang masih sering melihat bayangan Lamin di samping rumpun bambu bersandar pohon di sana. Juga rintihan mak Lamin meratapi kepergian anak yang dicintai.

Empat puluh tahun lalu, jalan setapak itu menghubungkan dua kampung, Ngenthak dan Lonjong, melewati pekarangan belakang kami. Semenjak Lamin dan emaknya bunuh diri, jarang orang menggunakannya lagi. Akhir tahun kemarin saya melewati lagi jalan setapak itu. Bekas rumah Lamin dan emaknya masih jelas. Rumpun bambu itu masih saja rimbun. Tetapi saya ke sana di pagi hari. Tak ada alasan atau nyali ke sana menjelang malam.

Moga moga mereka di beri kedamaian di alam sana

Ki Ageng Similikithi