Wednesday, September 24, 2008

Ungkapan cinta dari masa ke masa

Menjelang akhir tahun 1975. Kami seangkatan hampir lulus dokter. Beberapa teman sudah mengikat resmi pasangan masing masing. Ada yang sekedar bertunangan. Ada yang langsung kawin. Semua sadar jika lulus nanti akan tugas INPRES. Umumnya di daerah terpencil. Mungkin susah cari pasangan hidup. Pilihan lebih terbatas. Paling tidak di Yogya, bursa pasangan hidup lebih marak. Bursa lewat pilihan pendengar RRI atau radio swasta. Juga dari pada kawin paksa oleh HANSIP, lebih baik cepat cepat resmi. Ada berita simpang siur, seorang dokter baru beberapa angkatan di atas saya, dipaksa kawin karena sering kemalaman apel di daerah pulau terpencil. Tetapi untung dia memang cinta kepayang sama si gadis. Anak kepala suku lagi. Jauh lebih cantik dari target idaman semasa mahasiswa. Di Yogya selalu kalah bersaing dengan para karbol, yang kalau apel gadis idaman pasti lebih gagah, pakai seragam resmi. Teman tadi mau ngajak gadis manis, putrinya penjual bakmi di Mangkubumen, nonton Sekaten pun nggak pernah kesampaian. Nggak pernah kesampaian mau jadi menantunya priyayi Yogya.

Status hubungan saya dan NYI sudah dalam tahap serius. Pacar tetap. Belum sampai ke orang tua secara resmi. Masih sabar. Gunung lari tak perlu dikejar. Petang hari saya sering kumpul di tempat pondokan teman teman. Hanya ngobrol. Toh nanti tak akan sempat lagi, jika sudah lulus. Berpencar masing masing ke segala penjuru tanah air. Saya sedang bertamu ke salah satu pondokan teman, Tono, di Mangkubumen. Dia cerita kalau salah satu teman kami, Toro, baru patah hati. Toro asli Yogya, rumahnya di ujung jalan di Mangkubumen. Tono asal Boyolali ke Timur Laut 20 km.. Orangnya pendiam, tapi kalau ngomong ceplas ceplos, seenaknya. Seperti hari hari sebelumnya, jam 0730 Toro datang. Kami ngobrol ramai. Dia nampak agak diam nggak seperti biasanya. Tono sama Toro terlibat pembicaraan asyik. Sementara saya mendengar dagelan Mataram dari RRI sambil tiduran.

"Piye Ro, sida patah hati?" .
"Bukan masalah patah hati Bung. Ini masalah kehormatan. Sudah saya kenalkan orang tua, tahunya malah mau tunangan sama orang lain".
" Siapa lakinya. Bicara saja empat mata. Sama sama jantan ?"
" Anak teknik, sudah hampir lulus"
"Saingan sama insinyur kok ngacir sampeyan Ro. Ceritanya gimana sih? Sudah ada janji sehidup semati belum sama sampeyan ? Sudah resmi mengatakan cinta ?'
"Ngomong resmi sih belum. Tapi kami selalu saling meremas jari tangan dengan mesra jika duduk berdua".
"Saling remas jari tangan bukan pernyataan cinta Bung. Copet di Malioboro juga latihan meremas jari tangan 3 bulan penuh. Sudah kamu sosor (cium)?
" Ciuman enggak berani sebelum resmi tunangan. Ya kadang kadang kalau berdampingan, napas memburu, deg degan. Hanya hembusan napas menerpa wajah wajah kami".
" Wuah cilaka. Hanya kambing bandot kalau berahi, ngambus ambus ( hembus hembusan). Itupun biasanya hanya di pantat. Homo sapiens tak begitu".

Dalam hati saya tertawa dengar komentar Tono. Orangnya angin anginan, senaknya. Suka berteori kalau di kelas, sampai dikenal sebagai teorator. Sudah punya pacar tetap mahasiswi IKIP. Bangga sekali dia cerita bagaimana menaklukkan pacarnya. Walaupun awalnya diacuhin, dia nggak peduli. Tempel terus asal muka sedikit tebal katanya. Wanita pasti mengalah akhirnya. Sebaliknya Toro, asli Yogya, keturunan ningrat. Selalu disiplin dengan tata cara. Tidak grusa grusu. Semua juga terencana. Termasuk acara ngapelin gadis dan berciuman.

Ungkapan cinta memang sangat beragam dari orang ke orang. Dari generasi ke generasi. Dari waktu ke waktu. Juga berbeda dalam berbagai kultur. Setiap orang punya cara berbeda untuk mengungkap rasa cintanya. Di masa sekarang media komunikasi sudah sangat beragam. Orang bisa mengungkapkan rasa cinta lewat pesan singkat, lewat tilpon atau cara cara lain lewat dunia maya. Di masa lalu di mana alternatif media komunikasi masih terbatas, mungkin pilihannya hanya dua, secara langsung tatap muka dengan ungkapan kata cinta, atau secara tak langsung lewat surat.

Di masa lalu, keindahan untaian kata dalam surat dipakai sebagai cara mengungkapkan gelora asmara seseorang. Ingat kan surat surat cinta Bung Karno ? Juga surat surat dalam cerita roman Siti Nurbaya. Kadang orang bahkan sedikit bercanda mengatakan cara cinta jaman Siti Nurbaya, jika mengomentari orang bercinta dengan cara klasik. Di tahun enam puluhan, entah karena imbas dari gerakan kebebasan anak2 muda di Barat, nampak dengan munculnya generasi hippie dan musik rock , banyak terjadi perubahan besar dalam tata cara mengungkapkan rasa cinta. Tak lagi bertele dengan berbagai ungkapan ritual dan formalitas. Semua serba gampang. Katakan apa adanya kalau anda cinta. Pelukan dan ciuman cinta tak lagi dianggap tabu. Kalau perlu dimuka umum. Jika tabu di muka umum, sembunyi di kebun tebu. Dimana saja kapan saja. Asal sama sama cinta, sama sama suka, sama sama mau. Salah satu tetangga saya sukanya pacaran di kebun tebu. Kebetulan ayahnya seorang sinder tebu. Aman nggak ada yang berani ngintip, apalagi nggropyok.

Di tahun tujuh puluhan tata cara cinta atau pacaran relatif gampang. Tak banyak bicara bertele tele. Langsung to the point. Kalau sudah sama sama suka langsung cium. Istilah popnya waktu itu langsung 'cepok' atau 'sosor". Ungkapan kata baik langsung atau lewat surat diurus belakangan. Kadang kadang berbulan bulan pacaran pun belum tentu keluar proklamasi cinta. Kata kata cinta akan muncul kemudian dengan sendirinya. Dengan EN, yang pernah saya ceritakan di bawah keremangan pohon jambu, belum pernah bertukar kata kata cinta.. Walaupun hubungan dalam intensitas tinggi, dalam keremangan lampu listrik 110 volt.. Dengan EMS intensitas psikologis asmara juga sangat tinggi. Penuh dengan puisi puisi cinta yang begitu romantis. Tetapi belum pernah berpikir atau bicara akan sehidup semati. Terlalu bertele dan masih jauh. Nggak perlu bicara sehidup semati. Bisa memperpendek umur. Jalan masih panjang. Yang penting action dari pada janji dan kata kata. Namun toh ketika kesempatan datang, ketika pintu terbuka lebar di antara desah suara napas yang memburu, saya tak berani berbuat lebih lanjut. Mungkin dipikir pengecut. Tetapi ya memang saya merasa belum mantap. Belum mantap terikat sehidup semati. Hanya kemudian sering teringat, kok kesempatan nggak datang kedua kali. Kok tarikan tangan yang mesra memburu itu tak datang lagi ya?

Sampai beberapa bulan sebelum nikah, saya belum pernah memberitahu orang tua mengenai hubungan saya dengan pacar terakhir NYI. Ibu saya selalu bertanya, apakah saya sudah punya calon ? Mengapa nggak pernah dikenalkan orang tua dan diajak ke Ambarawa? Hubungan saya dengan NYI sudah dalam tahap sangat mantap, dan dalam hati saya berjanji akan mendampinginya seumur hidup. Tetapi untuk menyampaikan ke orang tua kok enggan. Bukan apa apa, bukan karena saya enggak mantap sama dia. Tetapi belum punya pegangan hidup kok sudah memproklamirkan ke orang tua. Ibu saya ketemu dengan NYI secara tak sengaja di rumah sakit sewaktu NYI menengok adik saya di rawat di RS Pugeran. Ibu saya langsung bilang ke saya " Apakah ada hubungan istimewa antara kamu sama gadis itu?. Pandangannya nggak biasa. Jika jadi isterimu,dia pasti sangat menyayangimu". Saya masih belum memastikan, sampai adik saya bilang kalau kami memang sudah lama pacaran. " Ajaklah ke Ambarawa, kenalkan sama bapak ibumu". Gimana mau ngajak pulang, saya sendiri belum memperkenalkan diri secara resmi ke orang tuanya ?

Ungkapan cinta secara verbal lebih sering kami lakukan setelah kawin. Setelah anak anak lahir . Juga setelah anak anak dewasa sampai sekarang. Ketika anak anak kami mulai pacaran, baru beberapa bulan kenal sama pacarnya ( sekarang isterinya), saya terheran heran kok mereka antusias memberi tahu ibunya (NYI) dan mau memperkenalkannya ke kami cepat cepat. "Baru berapa bulan kenal, ngapain dikenalkan orang tua? Apa sudah pasti dan mantap ?". NYI yang kemudian membelan " Jaman sudah berubah. Jangan kayak kita, main belakang bertahun tahun". Kadang saya berpikir, mungkin juga benar dia. Dulu bapak ibu saya almarhum mungkin selalu bertanya tanya, dengan siapa saya berhubungan, walau nggak pernah diungkapkan terang terangan. Bagi saya, hanya jika benar benar mantap, baru diperkenalkan ke orang tua. 

Anak muda. Jika anda sudah mantap mengapa ragu ragu bertindak ? Tak usah menunggu kata kata indah tentang cinta. Tak semua mampu mengungkapkan. Bahasa cinta tak sekedar dari kata kata. Bulan pakai payung

Salam damai. Salam untuk Kokiers yang sedang dirundung cinta.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat dalam Kolom Kita KOmpas Cyber Community 22 September 2008)

http://community.kompas.com/read/artikel/1270

Sunday, September 21, 2008

Bulan pakai payung

Siang itu terasa gerah dan panas. Baru saja selesai tugas di poliklinik. Akhir musim hujan di tahun 1974. Saya sedang tugas di rumah sakit Tegalyoso Klaten waktu itu. Perasaan selalu gelisah semenjak kematian pasien emboli paru beberapa hari lalu. Ceritanya pernah saya ungkapkan di Koki (27 September 2007). Mengingatkan saya akan tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Tertinggi di antara negara2 tetangga dan termasuk urutan tinggi di Asia. Sebagian karena penyakit kehamilan dan gangguan melahirkan. Tragis menyedihkan.

Ingatan saya melayang ke gadis MUR yang saya kenal beberapa waktu lalu. Perkenalannya begitu tak terduga. Tiba tiba saja dia muncul dari balik pintu ketika saya mengantar kakaknya ke rumah pondokan. Saya begitu terpana dan selalu mengenangnya. Pernah saya ceritakan di kolom ini juga. Sejak itu saya rajin menulis surat dan menemuinya. Belum ada ikatan apa apa. Baru tahap pendekatan (PDKT) atau lebihnya ya pacar belum tetap. Baru sampai tahap pegang pegang jari tangan. Namun hati sudah selalu bergetar. Kontak fisik belum merambah ke atas maupun ke bawah. Demarkasi jelas. Hanya hati yang berdesir dengan perasaan melayang layang.

Sejak kematian pasien karena emboli paru beberapa hari lalu, ingatan saya tak pernah lepas dari gadis itu. Ingin menemuinya. Seolah takut sesuatu terjadi padanya. Seolah takut kehilangan dia. Ingin rasanya menepis pikiran saya. GR toh belum ada hubungan apa apa. Belum terucap kata kata cinta. Status hubungan belum tetap. Seperti pegawai negeri, selalu harus mulai dengan status tidak tetap atau honorer. Kalau perlu ber tahun tahun, dengan keharusan kesetiaan melebihi pegawai yang sudah tetap. Getaran getaran hati ini layaknya ungkapan kesetiaan. Tetapi lain dengan kesetiaan pegawai tidak tetap. Pacaran belum resmi, jalan ke sana masih remang remang. Baru pegangan jari. Pegang pegang jari dan tangan bukan jaminan pacaran.

Tak ada tugas lagi sesudah poliklinik tutup. Ada ko as lain yang tugas jaga. Singkat kata kemudian saya sudah sudah berada dalam bis menuju Yogyakarta. Lupa nama bisnya. Tetapi masih ingat karcisnya jurusan Yogya, Solo, Karangpandan. Waktu menunjukkan jam satu siang hari. Hawa panas tak terasa lagi. Tertutup hati yang berdesir membara. Rasa melayang akan ketemu dia. Gadis manis dari balik pintu. Ingin menatap wajahnya yang redup. Senyumnya yang lepas menghanyutkan. Seandainya bisa menggapainya. Membelainya. Memeluknya. Aaaaah lamunan melayang kemana mana. "Bausasran mas. Bausasran. Turun cepat" Tiba tiba si kenek berteriak parau. Nggak tahu mengapa dia harus berteriak menghabiskan suaranya. Mengeringkan pita suaranya. Tak perlu sebenarnya. Kenek malang itu mungkin juga nggak tahu kenapa harus berteriak. Bagian dari kebiasaan saja. "Pimpinan partai boleh teriak. Pejabat bisa pidato lantang. Mengapa saya nggak boleh teriak. Saya ini penguasa nomor dua dalam bis tua ini". Mungkin saja kenek itu berpikir demikian, melihat saya nggak senang dengan teriakannya.

Saya bergegas turun dari bis tua yang suaranya mengaum karena mesin yang memanas.. Waktu menunjukkan jam dua kurang. Panas sedikit berkurang. Naik becak ke jalan Tanjung, dua puluh lima rupiah. Tak ada tawar menawar. Mau jumpa gadis idaman, pantang tawar menawar dengan pak becak. Saya ini mahasiswa. Tas berisi beberapa catatan dan pakaian dalam saya gantungkan di pundak. Pohon jambu di rumah pondokan MUR nampak hijau rimbun. Teringat beberapa minggu lalu, kami selalu duduk di bawah pohon itu berdua setiap akhir pekan. Hanya berbisik dan bercerita ringan.

"Wah nak, MUR belum pulang sejak pagi. Katanya kuliah sampai sore. Ngebut mau ujian" . Ibu kost yang sabar dan baik hati menyambutku ramah. "Ditunggu di dalam saja Nak". "Terima kasih Bu, saya tunggu di luar saja". Kecewa sekali rasanya. Bukan salah dia, bukan salah saya. Keadaanlah yang menyebabkan. Tak bisa kontak tilpun sebelumnya. Saya menunggu di kerindangan pohon itu. Di bangku kayu di mana kami berdua selalu duduk berdampingan di akhir pekan dalam bulan bulan terakhir.. Pikiran saya melayang membayangkannya. Jika dia datang akan kubelai tangannya. Jika dia tersenyum, akan saya sentuh pipinya. Duduk sendirian di bawah pohon jambu. Angin semilir ringan. Rasa katuk kadang datang menyelinap.

Sesaat nampak di kejauhan. Seorang gadis muncul dari persimpangan jalan. Berjalan pelan memakai payung warna merah merona. Matahari condong ke Barat. Angin bertiup pelan. Rambutnya berderai terterpa angin. Rok panjangnya ikut melambai berirama. Dengan langkah langkah ringan. Debu pasir ikut terbang menari bersama angin. Yogya memang berdebu di musim kering. Debu berpasir dari Gunung Merapi. Wajah ayu dibawah payung merah itu. Mungkin dia sudah melihat kalau saya menunggunya. Senyumnya lepas memukau. Saya berdiri memandangnya terpana dari balik pagar. Di bawah pohon jambu.

Kusambut tas kuliahnya, saya letakkan di bangku. Sejenak tak sempat berucap apa apa. "Hai". "Sudah lama KI ? Maaf ya saya kuliah sampai siang. Pulang sama Mica tadi". Tak mampu berkata, saya tertegun memandang wajahnya. Cantik mempesona. Pipinya memerah tertimpa panas. Indah bagai rembulan purnama. Beberapa saat saya hanya memandangnya. Tak sanggup membelai tangannya. Tak mampu menyentuh pipinya. Wajahnya begitu bersih penuh pesona. Bagai rembulan. Rembulan di siang hari. Dalam panas mata hari. Bulan pakai payung. Betapa bahagianya jika saya diberi kesempatan menemani dalam perjalanan perjalanan di panas siang hari. Dalam kesejukan kesejukan malam yang indah. Dalam taburan bulan purnama.

Ah lamunan sekilas tiga puluh lima tahun lalu selalu saja datang. Menyampaikan salam. Mengantarkan senyuman. Senyum yang abadi dalam kenangan. Bulan pakai payung.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community 10 Sept 2008)
http://community.kompas.com/read/artikel/1195

Wednesday, September 10, 2008

Mas Joko & Jeng Nunik

Desah napas putus asa. Terkulai lemah mas Joko di antara lutut sang isteri tercinta Nunik. Mereka baru saja menikah beberapa hari lalu. Saat saat yang diimpikan dan dipersiapkan secara cermat sejak lama buyar belaka. Keperkasaan mas Joko hancur dalam hitungan detik di dalam buaian kemesraan cinta yang menggelora. Tak mampu dia membawa isterinya ke langit ketujuh. Terkulai lemah sebelum sempat mengajak Nunik dalam tarian cinta erotis yang mereka impikan. Malu dan terhina. Ini bertentangan dengan prinsip kepemimpinan dan keperkasaan maskulin yang selama ini menjadi prinsip hidupnya. Sebaliknya Nunik menerimanya dengan iklas. "Nggak perlu tergesa Mas. Masih banyak kesempatan. Saya nggak kecewa kok".

Acara pernikahan mereka meriah dan membahagiakan. Mas Joko telah merancang jauh jauh acara malam pertama. Tak perlu tergesa gesa. Harus dilakukan secara taktis dan terencana. Tidak asal tembak seperti gaya hidup kotemporer masa kini. Bukan tembak dulu urusan belakang. Tak bisa itu. Tak bertanggung jawab. Tak ada dalam kamus. "Saya ini generasi muda masa kini. Bertanggung jawab. Bukan sopir truk jarak jauh". Pacaran juga cuma sekali sama Nunik, yang berakhir sampai ke pelaminan. Pacaran nggak macam macam. Ciuman hanya sebatas pipi sama dahi. Membelai tangan sama kaki (paha) Nunik, benar2 dia batasi. Sengaja selalu menandai demarkasi daerah yang tak boleh dibelai setiap malam Minggu dengan spidol merah. Sedikit di atas lutut dan siku. Nunik pun bahagia. Bagaimana enggak, mas Joko orangnya ngganteng, lurus, jujur, puritan, nggak mata keranjang. Pokoknya Joko thing thing.

Malam pertama terencana. Hari pertama sesudah nikah istilahnya Siaga Tiga tahap persiapan fisik. Hari kedua Siaga Dua, tahap persiapan mental. Hari ketiga Siaga Satu, siap tempur. Berbagai jamu dan latihan olahraga telah dilakukan secara cermat sejak dua bulan sebelumnya. Termasuk senam seksual pria. Bahkan latihan dengan bandul untuk meningkatkan keampuhan tempur perangkat keperkasaan lelakinya. Daya ungkitnya luar biasa dalam latihan. Bandul seberat setengah kilo dengan gampang diangkat berputar ke segala penjuru angin. Rencana siaga satu sampai tiga dibahas rinci dengan Nunik. Sejak kecil mas Joko sudah digembleng dengan disiplin tinggi. Waktu kecil sering nyanyi "Saya seorang kapitein. Mempunyai bedil panjang. Kalau berjalan prok prok prok. Saya seorang kapitain".

Benar benar terpukul mas Joko dengan kegagalan malam pertama. Tak pernah dia bayangkan tragedi yang begitu menghantam harga diri dan martabat kelelakiannya. "Tugas lelaki membawa isteri dalam perjalanan ke sorga asmara. Akan saya buat Nunik takluk melayang di awang awang". Tak akan ada lagi tanda spidol merah untuk demarkasi petting malam Minggu. Selamat tinggal spidol merah. Nunik memang penurut. Khas wanita Jawa, menjalani dan menuruti kehendak suami, sampai di tempat tidur. Malam berikutnya, dengan segala persiapan fisik dan mental, kedua pasangan itu mencoba kembali memadu cintanya. Mas Joko khusuk berkosentrasi. "Saya akan buat Nunik melayang terkulai dalam kenikmatan laut asmara".

Semua teori buku yang dibacanya kental mengendap dalam ingatan. Dia memang belum pernah sekalipun melakukan hubungan fisik pria wanita. Kali ini sedikit membaik. Namun dia tetap saja keburu jatuh ke bumi. Jatih ke kasur sebenarnya. Terkulai dalam pelukan mesra Nunik. Khayalan terbang melayang bersama Nunik tak juga kesampaian. Sementara Nunik hanya mendesah ringan. Tak sempat melayang. Tak sempat menari di awang awang. Perjalanan masih jauh. Dia menerima. Malam malam berikutnya tak banyak berbeda. Selalu kandas di kasur sebelum terbang melayang. Hanya sedikit lebih baik. Pada awal awalnya, mas Joko terkulai di antara lutut , sampai Nunik harus membimbingnya untuk berbaring di sampingnya. Malam malam berikut dia sedikit membaik, terkulai lemah disamping pelukan sang isteri.

Dengan sayang Nunik selalu memeluk dan membelainya. Memberi semangat, tak perlu kecil hati, walau dalam hati keinginan Nunik juga begitu membara. Semua akal sudah diterapkan Semua buku dan ajaran sudah diendapkan dalam benaknya. Bahkan senjata ampuhnya selama kini selama berhadapan dengan lawan bicara juga dicobanya. Mas Joko selalu batuk kecil (bhs Jawa dehem) sebelum bicara. "Eeeeeeem eeeeeeeem" . Lawan bicara selalu akan terpesona dan mengiyakan apa yang dikatakan. Meskipun kadang hanya bualan semata. Batuk batuk kecilnyapun sudah dicoba sebelum memulai bermain asmara dengan Nunik. Tetapi nampaknya tak mempan juga.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Akhirnya Nunik menyarankan agar periksa ke dokter. Atau memakai Viagra yang sering diiklankan lewat internet. Mas Joko hanya mengangguk. Batinnya memberontak. "Persetan dengan dokter. Persetan dengan Viagra. Nunik, tak perlu sedu sedan itu. Saya ini pria tangguh masa kini. Jika sampai waktuku, kubawa kau terbang di awang awang". Akhirnya mas Joko baca berbagai iklan di surat kabar. Begitu vulgar dan memikat. Ini dia, banyak iklan tentang lemah syahwat. Menawarkan berbagai cara meningkatkan keperkasaan lelaki. Mas Joko tertarik satu iklan kecil. "Melayani konsultasi langsung. Ahli totok jalan darah untuk lemah syahwat". Dalam dunia kangouw (silat) selama ini tak ada cerita totok jalan darah untuk meningkatkan syahwat. Kontraindikasi totok jalan darah daerah sekitar burung. Angker.

Singkat cerita mas Joko membuat perjanjian untuk konsultasi dengan ahli lemah syahwat, mBak Riri. Tokoh satu ini hampir tiap minggu namanya terpancang di koran, menawarkan pengobatan mujarab lemah syahwat. Dia buka praktek di berbagai kota. Lewat jam sembilan malam, dengan berdebar debar mas Joko datang ke tempat praktek mbak Riri di sudut kota. Kamar prakteknya tertata rapi, bersih, penuh aroma. Hanya ada beberapa pasien yang menunggu. Kesemuanya lelaki setengah baya ke atas. Mungkin semuanya menjelang atau sudah pension. Rata rata pria genit usia lanjut. Mas Joko termuda di antara mereka.

"Dimas, saya tahu masalahmu sejak awal. Jangan khawatir. Semua bisa diatasi". Mas Joko terhenyak mendengar sapaan lembut mBak Riri. Perlu terapi khusus. "Aliran darah panjenengan nggak lancar Dimas. Perlu sedikit totokan". Walau hatinya setengah nggak percaya dia toh manut saja. Dia dibawa masuk ke kamar periksa khusus. Tenang dan sejuk. Suara mBak Riri begitu lembut membaca mantera mantera, seperti menyanyi pelan pelan. Dia terbawa alunan suara yang begitu indah. Tak menyangka tokoh spiritual lemah syahwat ini masih begitu muda. Hanya beberapa tahun di atas mas Joko. Tak tahu dia apa yang dilakukan Mbak Riri. Perasaannya melayang jauh. Pelan pelan tapi pasti perangkat kelelakiannya berangkat tegak kembali. Seperti dalam latihan latihan fisik sebelumnya. Tegak lurus, disiplin seperti dalam posisi baris sempurna. Sementara suara lembut mBak Riri semakin membuai. Tangannya halus membelai daerah daerah sensitifnya, yang seharusnya jadi demarkasi. Tetapi tak sempat lagi dia berpikir tentang spidol merah. Manut saja, ketika bisikan mesra itu mampir ke telinganya. Terbersit harapan lebih dari sekedar bisikan mesra itu. Telentang larut dalam lamunan mesra. Aaah begitu membuai. Sadar sesadar sadarnya, mBak Riri telah duduk di atasnya menari nari pelan dan lembut. Dia ikut menari dengan irama erotis yang menghanyutkan. Dia melayang di awang awang dalam bimbingan Mbak Riri. Perasaan yang diimpikan selama ini. Selesai tarian sorga dia kembali ke bumi bersama desah napas serentak berkepanjangan. Inilah klimaks dari semuanya.

Mas Joko terpana dalam kepuasan fisik dan emosi yang dalam. Hatinya gagap. Rasa penyesalan menyelinap. Ini pengkhiatan. Akhrinya dia menukas sendiri. Bukan pengkhiatan. Bukan perselingkuhan. Ini pengorbanan. Untuk kebahagian bersama Nunik tercinta. Malam malam berikut, tak ada lagi ambisi menaklukan Nunik. Membimbing dan membawa Nunik melayang ke awang awang. Yang ada dia selalu ikut menari, ketika Nunik duduk diatasnya. Menari bersama. Melayang bersama. Menikmati bersama. Dia sadar sesadar sadarnya, kepuasan dan kenikmatan adalah kebersamaan bersama Nunik yang dicitainya. Bukan menaklukan, bukan membimbing. Bukan tentang keperkasaan. Bukan tentang siapa yang pegang komando. Tetapi tentang dia dan Nunik, sang isteri yang sangat dicintai. Tentang cinta dan kebersamaan.

Salam damai untuk para penganten baru

Ki Ageng Similikithi


Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 10 September 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/1135)