Friday, July 25, 2008

Belum tahu saya ya ?

Musim kemarau 1972. Saya makan siang di warung dekat kost di Patangpuluhan Yogyakarta. Warung Ngapak. Yang punya asal Purwokerto, nggak bisa bilang "opo", bilangnya "ngapak". Makanan sederhana, nasi sama sayur tempe pedas. Tambah kerupuk. Saya biasa makan sama krupuk, seperti orang Jawa pada umumnya. Nggak tahu benar apa manfaatnya. Mungkin sekedar untuk membuat suara mulut riuh saat mengunyah kerupuk. Siang itu panas benar. Pulang kuliah jalan kaki dari Mangkubumen.. Di bangku di hadapan saya duduk seorang pemuda sebaya. Wajahnya tampan, acuh dan tenang sekali menikmati makan siangnya tanpa kerupuk. Perawakannya langsing tak sampai kurus. Rambutnya terurai sampai pundak. Beberapa kali saya lihat dia makan di warung ini.

" Rumahnya di mana mas "? Tanya saya basa basi memecah kebekuan. " Wah sampeyan belum tahu saya ya? Saya kan kost di gang sebelah. Saya anggota bengkel teater" Jawabnya lugas dan seolah agak terkejut menyadari bahwa saya nggak tahu siapa dia. Saya juga terhenyak mendengar jawabannya yang di luar dugaan. Saya pikir akan nada basa basi perkenalan pertama. Mungkin saya yang keliru. Mengharap percakapan yang santun penuh basa basi seperti di ketoprak.

" Bagaimana kabar sampeyan ?Saya sering lihat anda di warung ini.". Pertanyaannya menyusul balik. Saya ganti gaya bicara. Ini bicara dengan seniman. Nggak bisa formal formalan. "Kabar saya selalu ramai. Ramai ramai potong padi". Saya nggak ingat Ramai Ramai Potong Padi adalah judul lagu. Sengaja saya bicara sekenanya dan angin anginan. Dia malah serius menangggapi. "Sampeyan anak petani? Dari desa?". Sewaktu dia tahu saya dari Ambarawa, ayah saya guru dan kami punya lahan pertanian dan peternakan, dia makin antusias dan kami terlibat dalam pembicaraan akrab. Ringkas cerita, dia anak seorang jendral di Jakarta. Bergabung bersama kelompok teater terkenal di Yogya. " Saya bosan dengan kehidupan borjuis di Jakarta. Saya tidak suka kemapanan. Saya ingin terlibat dalam kehidupan rakyat sehari hari. Melalui teater saya bebas menyuarakan suara hati saya".

Saya mengagumi rasa percaya dirinya yang besar. Bilang tanpa ragu siapa dia. "Saya orang bebas. Saya seniman. Langit di luar adalah atap rumah saya". Saya selalu menukas angina anginan " Saya ini hanya si gembala sapi Bung". Waktu waktu berikutnya sering ketemu di warung yang sama. Atau di warung saingan Ngapak di seberang jalan. Lupa siapa namanya, yang punya asal Gunung Kidul, katanya bekas komandan gerilya. Tiap hari selalu mengeluh tak ada balas jasa dari pemerintah. Dan Hans akan selalu menukas. "Pahlawan tak pernah mengharap balas jasa Bung. Sampeyan tak berjiwa pahlawan". Saya hanya sering tertawa mendengar debat mereka "Saya seorang kapitain. Tanpa pedang panjang. Makan sayur tempe sama kerupuk". Bah, Hans selalu menganggap saya sebagai bagian dari kemapanan dan borjuisme, karena saya sekolah di kedokteran. Batin saya mengumpat " Pakanane jangan tempe warung Ngapak, kok borjuis. Gamblis".

Suatu hari saya melihat latihan teater kelompoknya Hans. Saya terpukau kagum melihat betapa dia menghayati watak yang harus diperankan. Lupa judulnya. Dia memerankan tokoh pahlawan yang dikianati teman dan dijebak dalam intrik kotor pembunuhan. Dia nyaring berteriak. "Saya Simusasava. Saya tidak takut mati. Tidak akan mati. Saya akan gugur demi kehormatan anak anak negeri ". Saya tertegun, berdesir hati saya.Nampak benar betapa dia menjiwai dan mencintai perannya.

Saya selalu mengagumi rasa percaya dirinya. Walau tidak bersahabat dekat. Beberapa tahun kemudian saya sering membaca namanya tertulis di berbagai surat kabar karena permainan teaternya. Sayang tak berkepanjangan dan tak sampai menjadi idola masa. Tetapi saya tetap ingat wajahnya yang tenang dan acuh penuh percaya diri itu. Rasa percaya diri adalah modal besar untuk berhasil. Banyak kegagalan karena kekurangan kepercayaan akan kemampuan diri sendiri. Tetapi kadang kala juga ada rasa percaya diri yang kelebihan dosis.

Dalam tahun tahun akhir ini, saya sering terlibat dalam wawancara seleksi tenaga profesional yang akan menduduki jabatan jabatan strategis di organisasi. Biasanya dari ratusan pelamar hanya 3 – 5 orang yang masuk short list untuk wawancara. Dari berbagai latar belakang etnis dan geografis. Banyak calon dengan keahlian teknis prima dan pengalaman panjang, kadang gagal seleksi karena kurang percaya diri sewaktu wawancara. Calon calon ini tak bisa memaparkan kemampuan dan pengalaman dirinya. Apa yang bisa anda sumbangkan dengan keahlian dan pengalaman anda, jika anda diterima ? Apa prestasi ada selama ini ? Calon calon dari Asia Tenggara dan Timur begitu mengendalikan diri ketika harus menceritakan prestasinya, keahlian dan pengalamannya. Mungkin juga bukan semata mata karena kurang percaya diri. Ada kebiasaan kultural yang membiasakan mereka tak ingin memamerkan kemampuannya.

Aaah saya ingat kenalan saya Hans. Teriakannya terngiang kembali "Saya ini anti borjuisme. Anti kemapanan. Saya tidak takut mati. Saya tidak akan mati. Saya akan gugur demi kehormatan anak anak negeri" Penuh percaya diri walau kami hanya makan dengan sayur tempe di warung Ngapak.

Hai anak muda, jangan ragu ungkapkan kemampuanmu dan impianmu.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 22 Juli 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/767)

Wednesday, July 16, 2008

Ngintip aaah

enghujung tahun 1971. Saya tinggal di salah satu losmen di jalan Pajeksan Yogyakarta.. . Masih duduk di tingkat tiga, nyambi kerja untuk menutup ongkos kuliah.. Lumayan dapat honor sekalian dapat fasilitas satu kamar tidur. Lebih baik dari kamar pondokan saya sebelumnya. Hampir setahun saya tinggal di losmen itu. Banyak ragam permasalahan saya hadapi. Masalah manusia sehari hari. Suatu malam lewat jam sebelas, saya sudah siap siap tidur, ketika ada suara gaduh. . "Kur Zikur nyebut Kur. Kepriye dhonge raaa? Disebul wae . Disebul wae." Saya bergegas ke ruang belakang Ada dua puluh kamar di sisi kanan kiri lorong utama. Sinar listrik 110 volt menerangi samar samar. Seorang penghuni pria nampak di papah teman temannya. Setengah sadar sambil sambil mengeluarkan suara khas mau muntah. Saya lakukan pemeriksaan kilat, dan ukur tekanan darahnya. Sangat tinggi dan riskan. . Lebih 200 mm Hg sistolis.Umur relatip masih muda. Baru menjelang kepala empat. Cepat cepat pasien dilarikan ke RS Pugeran, naik becak

Zikur adalah penghuni langganan. Dia pedagang batik dari Pekalongan. Ada dua kamar di belakang yang selalu disewa ramai ramai oleh kelompok pedagang batik dari Pekalongan. Rupanya malam itu Zikur dan beberapa temannya sedang asyik ngintip dua orang turis penghuni kamar depan, pasangan asal Perancis. Mereka berdua sudah beberapa hari tinggal di sana. Suka menyulut obat nyamuk jika tidur. Karena tak tahan bau obat nyamuk, jendela dibiarkan terbuka. Sorenya si turis putrid tanya saya apakah aman kalau jendela di biarkan terbuka malam hari. Saya jamin aman karena ada empat penjaga malam. Tak berpikir kalau akan diintip orang. Juga nggak terpikir kalau orang kulit putih selalu telanjang kalau tidur. Desah napas memburu dan bunyi tempat tidur menderit derit berirama, mengundang para pria dari Pekalongan itu ngintip. Ya mereka memang sudah beberapa minggu pisah isteri. Tetapi rupanya Zikir tak sadar kalau ngintip itu berresiko.tinggi. Bukan timbilen, tetapi krisis hipertensi. Untung dia esok paginya sudah boleh pulang dari rumah sakit. Obat jalan sekaligus nasehat. Jangan suka ngintip raaaa. Saya tidak punya kesan negatip terhadap orang Pekalongan karena insiden itu. NYI juga asal Pekalongan.

Banyak orang punya kebiasaan ngintip. Pengertian ngintip adalah melihat atau mengamati orang lain lewat lubang kecil atau dari tempat tersembunyi, sehingga orang yang diintip tidak tahu apa lagi menyetujui kalau dia sedang diamati orang lain. Sasaran perbuatan ngintip bisa orang yang sedang mandi, orang ganti pakaian, orang bermain asmara dan lain sebagainya. Jarang orang ngintip orang yang sedang buang air besar. Manusia yang sedang buang air besar bisa mengeluarkan aroma khas untuk mengusir para pengintip seperti cerpelai mengusir binatang musuhnya. Wanita mungkin lebih banyak menjadi sasaran pengintipan. Sejak kecil saya dididik keras tidak boleh ngintip. Hukumannya berat disabet pakai rotan oleh ayah saya. Belum lagi katanya dosanya dibawa ke akhirat. Oleh karena ngintip pada dasarnya ingin mengetahui dan melihat perilaku orang lain yang sebenarnya tak boleh dilihat atau diketahui.

Guru budi pekerti saya juga memasukkan perbuatan ngintip sebagai perbuatan tercela. Tidak dianjurkan untuk anak muda harapan bangsa. Pengalaman ngintip saya hanya sekali sewaktu kelas satu SMP di Ambarawa. Teman satu kelas namanya Wandi rumahnya di belakang gedung bioskop. Ada dua gedung bioskop di Ambarawa, gedung Garuda atau Madjoe. Selalu penuh terutama di akhir pekan. Banyak orang dari kawasan sekitar yang jturun ke kota lihat bioskop. Saya selalu ramai2 bawa obor kalau lihat bioskop. Belum ada listrik masuk desa. Suatu hari Wandi bilang, kalau mau nonton bioskop gratis lewat dia, bisa diatur. Asal bawa makanan, kacang kek atau rempeyek. Lumayan dari pada bayar karcis. Petang itu saya sudah siap di rumah Wandi. Orang sudah mulai sorak ramai di dalam gedung, tetapi dia kok masih tenang2 saja. Begitu sorak sudah reda, kami bertiga menyelinap di samping gedung. Ternyata dia tidak membawa kami ke dalam, tetapi memanjat dinding bioskop dan mengintip lewat lubang yang telah disiapkan. Halaman samping itu dekat WC, baunya pesing nggak ketulungan. Mana tahan mau makan kacang atau rempeyek. Saya duduk dibawah dalam kegelapan sambil menunggu. Eeh tahunya banyak penonton yang juga buang air kecil semaunya sekitar dinding tua itu. Belum ada setengah jam saya pamit. "Saya nggak biasa ngintip Ndi, mau pulang saja". Sial bo. Saya nggak berani cerita di rumah. Judul filmya Sungai Ular. Besoknya saya pamit kembali nonton dengan adik saya. Saya bilang pengin nonton sekali lagi.

Di kelas satu SMA di Solo awalnya saya mondok di Sambeng. Di tempat Bu Basuki. Ada beberapa anak laki2 yang mondok disitu, sebagian besar dari Madiun atau Ponorogo. Di depan rumah ada dua pohon jambu yang rimbun dan lebat. Saya suka tiduran di bangku di bawah pohon jambu yang rindang itu. Ada kost putri di sebelah rumah kami. Suatu sore ketika ibu kost sedang tidur, beberapa anak putri rumah sebelah datang mendekati saya yang sedang tiduran di bangku. " Dik nggak usah bilang bilang ya. Kami mau ambil jambu". Mau mengiyakan saya nggak ada hak, mau memanjatkan juga merasa nggak berwenang. Saya biarkan mereka manjat sendiri.. "Jangan ngintip ya dhik". Saya hanya diam saja.. Terserahlah. Hanya ingat pidato Bung Karno, "Pandanglah ke atas. Bintang bintang bertabur di langit. Raihlah cita citamu setinggi langit". Saya lihat ke atas nggak ada bintang. Hanya ada celana dalam warna warni. Ini bukanlah mengintip menurut definisi di atas. Tidak mencuri pandang lewat lubang kecil, tetapi melihat lewat langit yang maha luas. Sasaran juga sepenuhnya tahu. Saya pada dasarnya rendah hati, nggak bisa lihat bawah. Menyepelekan orang yang dilihat. Selalu melihat ke atas demi cita cita. Apalagi jika ada celana warna warni di atas sana, di antara ranting jambu, di antara tungkai yang indah dan sehat seperti tungkai Miss Universe. Tak ada bekas koreng. Bukan ngintip bo.

Di tahun kedua di Solo saya tinggak bersama kakak sekeluarga di Badran, Kota Barat. Kami bertetangga dengan tante Lin, seorang ibu muda umurnya pertengahan tiga puluhan, Putranya empat suka main ke rumah. Tante Lin jelita seperti Tintin Sumani. Suaminya bekerja di Jakarta kabarnya. Hubungan kami sekeluarga dengan keluarga Tante Lin biasa biasa saja. Ibu Tante Lin sangat galak, sering dibilang kayak Calon Arang. Tante Lin punya kebiasaan aneh. Setiap petang menjelang malam Jum'at, selalu mandi dengan kembang setaman di halaman depan rumahnya. Tidak di dalam kamar mandi. Tetapi di luar di dekat sumur. Tak banyak tetangga oleh karena rumahnya di ujung gang. Tetapi kami bisa melihat dengan jelas dari ruang depan, hanya dua puluh meter jaraknya. Dia nggak merasa risih walaupun kami sedang duduk duduk di ruang depan dengan jendela terbuka. Pemandangan yang mengasyikkan. Beberapa tetangga termasuk almarhum mas Tarno yang sudah berputra lima, sering2 bertandang ke rumah saya dan iingintip dari lubang kecil di kamar saya. Mereka tak mau duduk di ruang depan, memandang dari jendela terbuka. Saya tak juga berminat ikut mengintip lewat luang kecil itu. Ini masalah prinsip. Toh bisa melihat dengan jelas dari ruang depan. Tante Lin pun nggak pernah marah. Malah kadang2 melambaikan tanggannya. Beberapa waktu berlalu, pemandangan itu seolah biasa, bagian dari potret alam dunia. Tak ada minat mengintip. Buat apa ?

Pengalaman kasus ngintip di Yogya lain lagi. Di tahun awal tujuh puluhan, ada seorang tokoh senior di kampus yang suka ngintip dan buka buka celana di muka asrama putri di Mangkubumen. Biasanya menjelang petang dan para penghuni asrama yang sudah hapal, akan bersuara gaduh melihat pemandangan aneh itu. Mungkin tokoh ini menderita kelainan psikologis. Teman baik saya Baedi yang kenal dekat dengan sang tokoh tadi suatu saat mencoba mengingatkan. Dia orangnya sangat alim dan religius. Tidak baik kebiasaan itu. Apa kata sang tokoh ? " Ini burung burung burung saya sendiri, sampeyan mau apa ? Mentang mentang sampeyan orang Hadramaut, burungnya besar mau nyombong ya ? " Baedi yang memang kebetulan berdarah Arab bercerita sambil mengeluh ke saya " Pak Anu itu keterlaluan, saya ingatkan baik baik kok malah marah. Berbau apartheid lagi". Saya tertawa, urusan penyakit ngintip dan masalah burung, apa hubungannya dengan apartheid? Apartheid dulu ada di Afrika Selatan, dan tak ada hubungannya dengan intip mengintip dan buka buka celana di muka asrama putri, apalagi dengan masalah ukuran burung..

Jangan suka ngintip. Jamannya jaman keterbukaan. Glasnots dan perestroika. Mau ngintip ? Nyeeet.

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community 16 Juli 2008

(http://community.kompas.com/read/artikel/694)

Tuesday, July 15, 2008

Home alone

Bukan tentang film terkenal ini yang dibintangi Macaulay Culkin. yang akan saya ceritakan. Tetapi saya coba mengusik perilaku atau kebiasaan jika sedang kesepian sendirian di rumah. Suatu saat pasti pernah seorang anak sendirian tunggu rumah untuk beberapa saat. Entah karena orang tuanya jagong, belanja, pesiar atau keperluan lain. Menarik mencermati perilaku anak muda bila sedang kesepian di rumah sendirian. Mungkin bisa sekalian refleksi untuk anda sekalian,. Mohon jangan tersinggung ya.

Saya ingat benar petuah guru budi pekerti sewaktu di SMP dulu di tahun enam puluhan. Selalu berapi api memberikan petuah akan perilaku pemuda harapan bangsa. Yang paling membekas adalah petuah tentang perlikaku disiplin, jujur, bersih dan lurus. "Anak muda adalah harapan bangsa si masa depan. Harus berperilaku disiplin, jujur, bersih dan lurus" Beliau kemudian akan memberikan banyak contoh. Contoh yang paling teringat adalah "Tidak boleh gluthukan nggogohi jangan kalau sendirian di rumah" Nggogohi jangan maksudnya mencomot sayur dengan tangan tanpa menggunakan sendok. Memang bukan kebiasaan yang baik. Tapi kok langsung bisa ambil contoh itu ya?. Apa hubungannya dengan disiplin, jujur , lurus dan bersih. Mungkin sehubungan dengan karakter bersih. Teman saya yang suka angon kerbau, karena orang tuanya pelihara kerbau langsung nggrundel "Gaweane angon kebo, koq kon resikan"

Issue nggogohi jangan muncul lagi sewaktu saya di SMA beberapa tahun kemudian di Solo. Di tahun 1966, teman saya di kelas satu, Hendi, menjadi olok olok teman sekelas. Suatu akhir pekan tinggal sendirian dirumah. Dia punya kebiasaan ngemil. Apa saja diserbu.. Nggak ada makanan ringan ya lauk pauk di lemari. Tangannya selalu operasi "nggogohi jangan " alias suka mencomot lauk. Kala ibunya datang , perbuatannya ketahuan. Ibunya marah marah. "Pemuda kok sukanya nyomoti lauk. Awas dapat isteri gendhut kamu nanti " Tetangga dekat Hendi memang ada seorang anak gadis yang gendut. Ibu Hendi sama ibu gadis itu nggak pernah cocok. Saling sindir jika ada kesempatan. Tetapi saat itu anak sendiri yang salah nyomoti lauk, kok anak tetangga nggak apa apa ikut kesindir ? Biasalah ibu ibu. Berita tersebar di kampong dan sampai ke teman lain Hendi, Diono yang juga teman satu sekolahan kami. Mereka tinggal di kampong Kadipolo Solo... Olok olok ini sampai ke pak guru budi pekerti, yang juga pegang bimbingan dan konseling. Matilah dia. Harus menghadap bimbingan dan konseling beberapa kali. Popularitasnya menurun drastis. Untung sekolahan kami laki laki semua.

Kebiasaan ngemil atau makan saat kesepian sendiri di rumah banyak dijumpai di kalangan anak muda. Ya memang ini kebiasaan napsu alamiah yang paling gampang. Refleksi perkembangan fase oral yang menggebu. Biasanya yang paling sering ya ngemil makanan kecil. Atau masak bakmi atau goreng telor. Atau beli bakso atau somai kalau ada penjual keliling lewat. Nggak tahu biasanya makanan yang rasanya manis kurang populer. Jangan lupa sediakan logistik makanan secukupnya jika anda meninggalkan anak sendirian di rumah.

Tak hanya kebiasaan makan saja yang muncul di kala sendirian. Banyak kebiasaan lain dan kadang kadang aneh rasanya. Anak saya almarhum Moko jika rumah sepi. sering saya lihat bergaya menirukan penyanyi New Kid on the Block atau Michael Jacksson. Tak hanya puas berdiri di muka kaca, tetapi bergaya seolah dipanggung bergerak berputar di sekeliling ruang keluarga. Bolak balik bergumam " Kapan saya bisa rekaman atau show ya". Dia nggak suka nyanyi. Hanya suka menirukan gaya penyanyi masa kini.

Banyak anak di kala sendirian di rumah, suka berhias dan mematut matut pakaian yang terbaik.. Tak pernah bosan bergaya di muka kaca. Seolah mengagumi kecantikan atau ketampanan wajah sendiri. Kadang khayalan melayang. Sewaktu SMP saya sering membayangkan memakai pakaian sport dan menjadi juara lari sprint. Melakukan adegan seolah sedang menerima piala dibarengi tepuk penonton. Mungkin karena melihat film Olimpiade Roma dan berita kemenangan Sarengat dalam Asian Games 1962. Hanya bayangan. Di dunia nyata, dalam ujian ketangkasan badan saat kelas dua SMP, prestasi sprint saya ambleg. Lari 80 meter, 12.5 detik. Peniti celana saya lepas. Perut tertusuk ujung peniti. Pernah saya ceritakan.di Koki.

Yang sering saya ingat jika ayah saya nggak ada di rumah, curi pakai jas dan pecinya. Mencoba menirukan gaya diplomat kita saat bersalaman atau berunding. Tokoh idola saya adalah Sutan Syahrir, diplomat muda Indonesia yang meluluh lantakkan diplomasi diplomat kawakan Belanda di sidang umum PBB. Dia masih berumur 33 tahun saat menjabat Perdana Menteri waktu itu. Cerita mengenai kepiawaiannya selalu membayang saat saya duduk di SMP puluhan tahun kemudian. . Begitu asyik menirukan gaya pidato Nikita Kruschev atau Andrei Gromyko, menteri luar negeri Uni Soviet yang tak pernah senyum itu. "Nyeeeet"

Kadang ada kebiasaan yang agak jorok, jika sendirian di rumah atau di kamar. Bermain dan mengelus alat kemaluan. Di tahun tujuh puluh ketika mondok di Gerjen Yogya, ada anak sepondokan, Jimmy yang masih duduk di kelas satu SMP. Kebiasaannya setiap sendirian di kamar selalu mengggenggam dan mengelus elus burung kemaluannya. Seolah takut kalau akan terbang atau hilang. Bangun tidur juga selalu memeriksa sang burung , jangan jangan ada yang kurang. Anaknya boleh di kata sangat alim dan pendiam. Tak berkaitan dengan tabiat alim atau tidak. Ini berhubungan dengan masalah keamanan alat vital mungkin.

Tak tahu apa yang terjadi sekarang. Banyak sarana untuk membunuh kesepian. Ada radio, televisi, video game, chatting di internet. Semua bisa tersalurkan dengan aman. Tetapi kebiasaan ngemil atau makan tak akan bisa diganti dengan sarana komunikasi modern seperti ini. Apa lagi ada yang punya kebiasaan ngintip jika sedang kesepian. Salah seorang dosen yang saya kenal di Yogya, punya kebiasaan ngintip asrama perawat atau bidan di Mangkubumen. Kebiasaan atau penyakit ini tak hanya kalau kesepian di rumah sendirian. Mungkin di rumah tidak ada yang asyik untuk di intip.

Salam damai. Pemuda harapan bangsa jangan suka nyomoti lauk di almari.
Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 11 Juli 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/660)

Wednesday, July 9, 2008

Rambut memutih



Bulan lalu, saya nginap tiga malam di tempat anak saya Wisnu di Jakarta. Ada acara pertemuan di sana. Sekalian menengok cucu, Laras sama Kinar. Laras umur tiga tahun, Kinar baru beberapa bulan. Saya bersama NYI. Jarang ada kesempatan nginap di tempat anak dan bercanda dengan cucu. Setiap saya pulang selesai acara sore hari, Laras selalu datang di kamar kami. Apa saja menjadi bahan pertanyaan. Topik pertanyaan yang paling hangat adalah warna rambut. "Mengapa rambut Ki putih ? Rambut Laras hitam, papah hitam, mamah juga hitam?" Pertanyaannya selalu dengan membelai rambut saya. "Kalau digosok terus bisa hitam kali" NYI berkata sambil lalu. Di hari kedua dia masih suka menggosok rambut saya. Hari ketiga dia bilang, " Digaruk juga nggak bakalan hitam. Katanya papah karena KI sudah tua". Perilaku Laras, persis sama dengan cucu pertama, Rio yang mulanya juga gemar bermain dengan rambut saya. Akhirnya dia bilang, "Kakek Oman, opanya teman saya rambutnya juga putih. Orang tua memang rambutnya suka menjadi putih". Habis itu dia tak pernah lagi bermain dan mempermasalahkan warna rambut saya.

Rambut memutih memang alami. Sebuah perjalanan yang harus dilewati. Sejak sepuluh tahun lalu rambut saya mulai memutih, semakin lama semakin merata. Di umur awal empat puluhan, saya sering mencabut rambut satu dua yang berganti warna. Tetapi semakin lama semakin merata, tak ada gunanya untuk dicabut. Toh masih lebat dan berombak. Tak ada minat untuk mengecatnya. Saya nggak tahu mengapa, tetapi rasanya kok aneh bagi saya untuk mengecat rambut. NYI selalu usul untuk mengecat rambut saya. Namun sampai kini belum pernah sekalipun saya mencobanya. Katanya sih biar kelihatan masih muda. Kalau kelihatan tambah muda, ya emangnya mau apa ? Saya takut kalau habis dicat nanti warna hitam luntur, dan warna malah menjadi kemerahan. Sering saya lihat para pria usia lanjut kok rambutnya suka memerah. Tak mungkin dicat seperti gaya anak muda. Paling ya bekas cat penghitam rambut.

Setiap orang mungkin mempunyai reaksi yang berbeda menghadapi proses perubahan warna rambut. Alamiah dan selalu sah sah saja. Bukan sekedar perubahan warna semata. Di balik itu sebenarnya adalah proses penuaan itu sendiri. Proses penuaan memang tak bisa dihentikan. Berjalan alamiah bersama dengan perjalanan sang Kala. Mungkin suatu saat kita merasa takut membayangkan bahwa di akhir perjalanan di sana, Sang Kala sedang menunggu. Jika dia datang menyalami, itulah akhir perjalanan kita. Tak pernah saya merasa risau akan Sang Kala yang menunggu di akhir perjalanan. Jika toh suatu saat dia muncul menyampaikan salam, saya akan menyapanya dengan akrab, dengan senyum bahagia.

Ee pembicaraan kok jadi melebar. Kembali ke masalah rambut memutih. Sejak masa muda saya selalu menyenangi rambut saya yang lebat dan hitam. Kecuali waktu masih kanak kanak, rambut saya selalu kaku berdiri. Guru saya selalu memperolok, katanya kalau dilempar batang pisang pasti saya nggak bisa berkutik lagi. Seperti kalau orang memburu landhak, selalu dilempar dengan batang pisang. Rambut saya selalu menjadi beban waktu itu. Sampai kelas tiga SR saya masih sering gundul plonthos, untuk menghindari mitos keliru tentang landhak.
Saya mulai mencintai rambut saya semasa duduk di bangku SMP. Rambut selalu saya sisir rapi, pakai minyak. Banyak jenis minyak rambut pernah saya pakai waktu itu. Mulai dari cem-ceman minyak kelapa, minyak wangi merk Orang Aring, minyak pomade merk Yaparco, dan merk Yardley. Terakhir sejak lulus dokter saya beralih ke cream merk Brylcream sampai sekarang. Tak juga tahu sebabnya. Tetapi kadang risih pakai pomade atau gel, kalau berkeringat minyaknya merembes membasahi dahi. Teman saya di fakultas dulu, setiap jam sebelas pagi dahinya berkilat (kinclong) karena pomadenya mulai meleleh. Suka diolok teman teman, dia tak pakai minyak rambut, tetapi minyak bathuk (dahi). Guru besar ilmu kimia selalu memanggilnya dengan Kinclong.

Sewaktu SMA, model rambut sangat khas di Solo. Jambul tinggi di depan, kiri kanan harus halus sampai mepet kepala. Kalau perlu di"cathuk". Saya nggak tahu tekniknya, tetapi di press dengan sisir logam yang dipanaskan, supaya bisa mepet sekali di kiri kanan kepala. Sayang foto kami bertiga dengan Martalin dan Diono, teman sewaktu kelas satu SMA, tak bisa saya temukan. Bertiga kami dengan model rambut berjambul di atas, dan kiri kanan di press mepet. Rasanya gimana gitu. Kalau kepala bergerak, menoleh ke kiri atau ke kanan, jambul rasanya ikut bergerak. Jika berjalan jalan di emper toko, kaca etalase rasanya selalu mengingatkan apakah jambul masih berdiri tegak atau sudah lunglai. Potong rambut cepak gaya militer juga tak populer waktu itu. Karena masalah keamanan. Saya pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ada seorang pemuda berambut cepak, pakai jaket biru usang kayak jaket militer, ditangkap PePeKuPer dan di suruh berdiri di muka markas tentara di jalan Slamet Riyadi semalam suntuk. Tak ingat apa itu Pepekuper, ada kata penguasa, perang, dst.,nggak tahu lagi saya. Pokoknya wajah garang pakai kumis. Hindari mereka kalau mau selamat.

Perjalanan waktu tak pernah berhenti. Masa masa dengan model rambut yang membanggakan telah lama lewat. Empat puluh tahun berlalu. Seperti lirik lagu indah Jamal Mirdad " Walau seribu tahun memutih rambutku. Hatiku tetap selembut salju". Tak hapal syair lagu indah itu. Tetapi pesannya begitu dalam. Saya juga tak akan risau akan rambut yang memutih itu. Tak risau akan penuaan yang datang memburu. Tak risau akan perjalanan waktu. Saya tetap akan menjelang dengan senyum bahagia jika masa itu tiba, Sang Kala akan menyapa. Rambut memutih apalah artinya. Silver in my head? Mungkin gold in my pocket. Sokur kalau ada stainless steel somewhere. Kalau nggak ya nggak apa apa. Kan hidup hanya berjalan menyusur waktu.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, Minggu 6 Juli 2008

(http://community.kompas.com/index.php/read/artikel/621)

Friday, July 4, 2008

Pindah kerja - perjalanan menyusur waktu

Saya sedang di Kuala Lumpur minggu lalu ketika sebuah pesan singkat masuk. Dari anak saya kedua, Nunu. Sangat jarang dia kirim pesan singkat. Isinya ringkas "Hi pak, saya sudah resign dan pasti berangkat dua minggu lagi". Saya agak gagap. Beberapa waktu memang sering bilang pengin pindah kerja, tetapi saya pikir tidak serius. Selama enam tahun terakhir ini dia bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi terkemuka di tanah air. Karier bagus. Penghasilan mantap. Kebutuhan keluarga tercukupi. Namun dia toh memutuskan untuk bergabung dengan satu perusahaan internasional untuk meniti karier. Ditempatkan di salah satu negara di Timur Tengah. Sebenarnya berat dia meninggalkan pekerjaan sekarang. Yang membuat dia memutuskan meninggalkan pekerjaan sekarang karena dia diterima langsung sebagai staf tetap senior engineer..Tak merayap lagi dari bawah. Ini kesempatan terakhir karena dua kali sebelumnya dia telah membatalkan keputusan di tahap akhir. Kesempatan itu tak mungkin datang lagi.

Lain dengan saya yang gagap akan keputusan secepat itu, NYI malah mendukung sepenuhnya. Kapan lagi, mumpung masih muda katanya. Jangan membuat keputusan terlambat. Nunu memang masih muda. Umurnya baru menginjak tiga puluh tahun. Anak dua masih kecil kecil. Perjalanan kariernya masih panjang. Bagi saya memutuskan untuk memilih dan berganti pekerjaan, adalah keputusan besar dalam hidup. Mungkin seperti membuat keputusan untuk kawin. Pekerjaan adalah bagian dari perjalanan hidup. Sesuatu yang sakral dan harus terencana sejak awal. Perjalanan panjang menyusur waktu

Saya ingat sewaktu teman teman lulusan seangkatan di pertengahan tahun tujuh puluhan semuanya sudah mantap dengan pekerjaan tetap masing masing, sebagian besar berkarya sebagai dokter di Puskesmas, saya masih sabar menunggu pengangkatan sebagai asisten dosen di perguruan tinggi. Waktu itu profesi dokter Puskesmas sangat populer dan dibanggakan masyarakat. Namun saya sejak awal pengin jadi peneliti dan pengajar. Walaupun harus menunggu sampai dua tahun untuk pengangkatan sebagai asisten dengan gaji sangat minim. Namun itu tak pernah mengecilkan semangat saya untuk berkarya. Meskipun harus lari kesana kemari dengan praktek pribadi untuk menutup kebutuhan hidup sehari hari.

Ketika saya memperoleh peluang beasiswa Rockefeller untuk menempuh program doktor, tak bisa saya gambarkan kebahagiaan waktu itu. Meskipun awalnya harus pisah dengan isteri dan anak anak yang masih kecil. Inilah Jalan ke Barat yang saya impikan sejak kecil. Juga ketika lulus doktor, saya cepat cepat pengin kembali ke alma mater dan mengembangkan laboratorium yang saya impikan. Walaupun NYI masih ingin kami tinggal lebih lama di UK oleh karena bea siswanya masih sisa dua tahun. Saya tak pernah tergiur dan mimpi pindah ke lembaga penelitian atau ke luar negeri, walaupun sarana penelitian waktu itu sangatlah minim. Harus mengembangkan dari nol. Tetapi saya tak berkecil hati karena sebelumnya menyadari memang itulah kondisinya. Tak bisa menuntut lebih. Naif untuk mengharapkan semua sarana penelitian lengkap seperti di Eropa. Toh akhirnya saya berhasil mengembangkan laboratorium saya dengan grant dan kerja sama penelitian, dan akhirnya bisa diakui menjadi Collaborating Centre untuk lembaga UN terkemuka. Satu satunya di tanah air dan di Asia untuk bidang saya.
Kesempatan emas untuk pindah kerjaan dengan sistem karier dan sistem insentif lebih baik batang beberapa kali. Tetapi mantap keinginan untuk bekerja di bidang yang saya tekuni di tanah air dan berkecimpung di di skala global, tak pernah terlintas keinginan untuk pindah. Dalam berbagai forum ilmiah global saya sering diminta memberikan perspektif dan pengalaman di negara berkembang. Sebagai orang Indonesia, ini adalah sesuatu yang membanggakan buat saya waktu itu.

Namun di pertengahan umur empat puluhan saya menyadari ada sesuatu yang tak benar dalam perjalanan saya. Ternyata selama enam belas tahun saya tak pernah naik pangkat. Tak enak sebenarnya mengeluarkan keluhan atau uneg uneg di sini. Ada kekecewaan yang dalam oleh karena apa yang saya lakukan untuk alma mater dan tanah air sama sekali tidak mendapat pengakuan wajar. Saya tak mengharap sesuatu yang istimewa. Tetapi kalau kenaikan pangkat terganjal selama enam belas tahun, ini sudah merupakan kekagalan sistem. Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan lembaga yang saya cintai dengan sangat berat. Tawaran yang saya terima sangatlah menyentuh. Bukan tawaran insentif bagi saya. Tetapi tantangan baru untuk mengembangkan strategi meningkatkan keterjangkauan dan ketersediaan obat untuk kalangan segmen bawah, dengan bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga lembaga partner. Cakupan daerah kerja saya sangatlah luas dan sangat menantang. Mulai dari daerah daerah terpencil di gurun Asia Tengah, pulau pulau kecil di Pasifik dan pedalaman terpencil di Mekong.

Anak saya Nunu mengambil keputusan cepat. Dia merasa kariernya tak berjalan seperti yang diharapkan. Mungkin ada ganjalan dalam dinamika kelompok di tempatnya bekerja. Bukan semata mata karena insentip dan penghasilan. Dia mungkin mengambil pelajaran dari saya. Menunggu keadaan membaik dengan sendirinya. Menunggu sesuatu yang tak akan datang. Enam belas tahun lembaga saya gagal menilai apa yang telah saya lakukan. Terjebak dalam mekanisme kelompok yang emosional. Kepercayaan publik yang diberikan kepada lembaga penelitian dan pendidikan tinggi, banyak disalah manfaatkan oleh mereka mereka yang berpangkat tinggi dan mendapat hak untuk menilai. Wewenang hampir tanpa batas, tanpa kendali dan tanpa pembanding. Ini adalah contoh kegagalan intelektual lembaga lembaga ilmiah di tanah air, yang harus diperbaiki jika ingin bersaing di skala global.

Ada banyak alsan mengapa orang meninggalkan pekerjaan yang dicintai. Mungkin karena insentip, mungkin karena perjalanan karier profesi, mungkin karena dinamika dan lingkungan kerja yang tak kondusif lagi. Semua orang punya alasan masing masing. Sah sah saja. Tetapi saya tak pernah kecewa meninggalkan pekerjaan saya dulu di lembaga pendidikan tinggi, juga tak kecewa akan keterlambatan saya mengambil keputusan. Tak ada alasan untuk menyesal. Hanya suatu saat saya terkejut menerima pertanyaan seorang rekan, apakah ditempat baru anda, anda nggak merasa seperti menjadi orang buangan? Dia salah seorang staf lain fakultas dimana saya bekerja dulu. Pertanyaan bodoh yang tak perlu ditanggapi. Hanya mencerminkan keterbatasan jangkauan pikirannya semata.

Di tempat baru, kita bisa menilai secara arif sampai di mana perjalanan kita. Arah kedepan mana yang akan ditempuh. Bukan kembali lagi ke awal perjalanan. Kita hanya berjalan menyusur waktu ke arah depan.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi