Friday, February 29, 2008

Madame Halimah

Wajahnya nampak sedikit tegang. Menunggu mobil di depan gerbang. Sementara para wartawan yang mencoba mencecar pertayaan, tak dia hiraukan. Berusaha tersenyum ramah. Namun hati tetap galau. Madame Halimah baru saja menghadiri sidang gugatan cerai di pengadilan. Gugatan yang diajukan sang suami yang telah menemani hidupnya selama lebih dari seperempat abad. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Suaminya yang gantheng dengan kumis menawan itu sampai hati menggugatnya cerai. Saya hanya mengamati dari jauh. Tak berusaha mendekat. Ya memang tak ada alasan mendekat. Saya bukan siapa siapa. Wartawan bukan, pengamat bukan, dukun bukan, intel juga bukan. Saya hanya pengembara dunia maya.

Tak bisa disembunyikan wajahnya yang rupawan. Anggun dan menawan. Umur tak bisa dikatakan muda lagi. Namun tak ada perubahan yang nampak karena umur di wajahnya. Masih saja wajah itu menebar pesona. Sinar matanya masih seperti dulu. Menatap lembut ke depan. Saya mengagumi bukan karena kecantikannya. Saya mengagumi karena karyanya. Program anak asuh yang telah banyak menolong mereka yang tak mampu memperoleh pendidikan. Tak bisa dipungkiri jika pengaruh keluarga suami juga sangat berperan dalam keberhasilan program anak asuh. Penguasa tertinggi di republik penuh mimpi ini. Namun gagasan dan pelaksanaan program anak asuh itu tetap saja merupakan karya sosial yang pantas dipuji dan dikagumi. Sayang ikut surut bersama surutnya kekuasaan.

Merasa terhina. Tersisih dan terbuang ketika suaminya diberitakan jatuh ke pangkuan wanita lain. Sakit rasanya tetapi apa yang bisa dia lakukan ? Hatinya terisak ketika anak perempuannya berkata sebagai saksi “ Pak Hakim, jangan biarkan orang tua kami berpisah”. Hakim kan bisanya hanya memukul palu. Palu adalah lambang kekuasan hakim. Manusia memang bisa berubah. Hidup bisa berubah. Tak ada yang bisa menjamin jika pasangan yang paling bahagia akan bertahan selamanya. Pak Hakim hanya mendengar kesaksian para saksi. Hakim tak punya kemampuan menghidupkan cinta yang telah surut. Hanya punya wewenang memutuskan cerai atau tidak. Penghulu yang mengawinkan dulu juga hanya bisa berharap lewat doa. Tak punya kemampuan atau kewenangan hukum untuk menjamin perkawinan bisa langgeng. Hakim dan penghulu hanyalah manusia biasa. Mereka juga kadang bisa berselingkuh dan bercerai. Bahkan juga ada yang kawin lagi, poligami.

Sore hari yang tenang. Saya menikmati udara cerah di beranda padepokan, di Yogya. Di bawah bayangan pohon pohon nangka. Ada beringin satu tetapi belum keramat benar. Sering menjadi tempat kencing anak anak. Setan dan roh halus juga males sama bau pesing. Suara arus kali Boyong mulai mengeras pertanda air mulai mengalir dri lereng Merapi. Tiba tiba ada pesan sms masuk. “Bapak Ki, panjenengan belum kenal saya. Tetapi saya kadang2 membaca tulisan tulisan Ki. Nanti malam jam 0830 saya tilpon apa bisa leluasa ? Saya ingin sedikit konsultasi”. “ Silahkan tilpon jam 0830. Jangan sebut namaku. Saya bukan siapa siapa. Panggil saya Ki Ageng”. Jawaban saya singkat. Saya selalu lugas dan tuntas menjawab pesan masuk. Apa lagi jika belum kenal siapa dia. Naluri intel dan naluri spiritual kadang bersatu dalam jiwa di dunia maya ini.

Jam delapan lewat saya duduk di ruang depan. NYI tahu jika saya ingin menyepi atau semedi saya biasa duduk menyendiri di ruang depan. Kali ini akan menerima tilpon. Dari sesorang yang belum saya kenal. Misterius. Akan konsultasi katanya. Secara harafiah ini bukan masuk golongan menyepi atau semedi. Tetapi dalam dunia spiritualpun kadang masih dibolehkan menerima sedikit goda. Begawan Tjiptaning dalam hikayat pernah digoda para bidadari yang mandi tanpa busana. Jika Begawan saja boleh digoda bidadari tanpa busana, saya yang bukan siapa siapa ini sih sah sah saja menerima pesan tilpon saat nyepi. Jaman memang sudah berubah. Tilpon genggam saya set ke silent mode. Biar nggak mengejutkan orang ketika datang tilpon. Tepat jam delapan tiga puluh tilpon genggam bergetar. “Bapak Ki Ageng. Ini saya dari Jakarta” Suaranya halus dari seberang. “Ehmmmm. Panggil saya Ki Ageng. Menghadaplah ke arah mata hari terbit jika bicara dengan saya”. “”Ki Ageng saya pengin sekali bertemu panjenengan. Penting sekali buat hidup saya Ki”. Saya tak segera mengiyakan. Dalam dunia spiritual, ada prinsip tahan harga. Jangan terlalu gampangan menerima permintaan client. Supaya mereka betul betul merasa butuh kepayang. “ Sampeyan siapa jeng? Dari mana tahu saya dan nomer saya”. “”Itu cerita tak penting Ki. Seseorang dengan kode Golf_d_s di Jakarta selatan memberikan nomer penjenengan”. Pikiran saya mulai berputar siapa Golf_d_s di Jakarta Selatan? Teman maya, mengembara di dunia tanpa batas. “Silahkan temui saya hari Selasa Kliwon. Menjelang maghrib. Di padepokan tepi Kali Boyong. Jangan bawa siapa siapa” . Saya selalu berpesan agar client tak membawa teman, apalagi wartawan. Bisa mengurangi makna konsultasi.

Hari Selasa sore saya sudah siap. Kembang setaman di ruang depan. Kordijn dan lampu khusus dibuat agar suasana kamar sedikit temaram. Aspritual (asisten pribadi spiritual) telah menyiapkan segalanya sejak jam 200. Dia pakai seragam pakaian Jawa model Yogya, blangkon dengan mondholan. Sementara saya juga berpakaian Jawa gaya Solo. Dengan kain parangrusak. Saya selalu menjaga jarak minimal satu meter dengan client. Terutama client wanita. Jangan terlalu dekat. Jangan terlalu jauh. Kalau terlalu dekat, bau parfum mengganggu konsentrasi semedi. Kalau terlalu jauh, tak bisa melihat secara seksama wajah client, yang biasanya sedikit malu malu penuh pesona. Para dukun spiritual Jakarta yang melayani selebriti umumnya duduk sebangku dengan client. Entah apa alasannya. Kadang kadang hanya pakai sarung tanpa dukungan pakaian dalam dan blangkon. Katanya biar isis, tidak sumuk. Ini pantangan buat saya. Dunia spiritual adalah dunia sakral dan penuh rahasia. Rahasia client harus dijaga. Burung perkutut pun tak boleh mendengar apa lagi mengintip.

Lewat jam lima, saya diberitahu asisten kalau tamu istimewa sudah datang. Saya menguak tabir ruang konsultasi. Seorang wanita duduk gelisah di ruang konsultasi. Berpakaian serasi, celana panjang warna putih, baju lengan panjang warna kuning dan scarf menutup kepala. Dia memakai kaca mata warna buram. Saya terkejut luar biasa. Jantung berdebar keras. Wajahnya sering terlihat di TV atau koran. Madame Halimah, wanita papan atas yang sedang tertimpa bencana rumah tangga. Sebagai professional spiritual saya mencoba tenang tak bergeming. “ Jeng Halimah. Selamat datang di padepokan saya” Saya mendahului menyapa sebagai taktik menguasai medan psikologi. “Bapak kok tahu nama saya? Mohon maaf jika saya mengganggu”” Jawabannya pelan gemetar. Saya di atas angin. “Panggil saya Ki Ageng. Jangan panggil namaku. Apalah arti sebuah nama”. Dia lantas mulai bercerita tentang masalah yang dihadapi. Tentang musibah yang dialami. Tentang suami yang jatuh ke pangkuan wanita lain. Tentang gugatan cerai yang diajukan suaminya.

“Kok Ki Ageng bisa menulis bahwa saya suka nylentik burung cocakrawa piaraan suami saya sih? Dari mana sumbernya?” Saya agak terbata menghadapi pertanyaan bertubi ini. “Semua atas informasi intelijen yang layak dipercaya Jeng”.
“”Tetapi saya tak pernah melakukannya. Yang sering saya belai belai agar mau bernyanyi lantang. Tak hanya tidur terkulai. Waktu penganten baru dulu sekali saya slentik, gemes saya karena pengin nyanyi terus”.
“Dalam dunia spiritual Jawa, burung cocak rawa atau perkutut pantang dislentik. Bisa kualat membawa sial di masa datang”.
“ Ki Ageng kok sering kirim pesan ke kangmas Prabowo, apa pasalnya?””
“”Kami berteman maya. Beliau ketua organisasi petani. Saya anak petani. Hanya ketemu sekali di tahun 1971. Tetapi pesan pesannya tak pernah menyatakan disclaimer Saya Asli Lho. Kadang saya ragu apa betul beliau.“
“” Ki saya pengin bertemu dia. Pengin belajar nyopir””
“”Hubungi saja di Friendsternya. Tetapi di Jakarta banyak kursus nyetir kan Jeng ? Dan sampeyan kemana mana punya sopir dan pengawal””
“”Saya pengin belajar nyopir bulldozer Ki. Minimal traktor. Gemes saya. Rumah maru saya biar tak bulldozer. Ditabrak pakai mobil biasa dindingnya tak mempan””.
“”Mbuldozer rumah orang, sekalipun maru, itu hukumnya musyrik Jeng. Bersahabat dengan syaiton””
“”Ki saya merasa sangat kehilangan. Bukan kehilangan apa apa. Hanya kumisnya yang bikin saya sangat kangen. Lain tidak ””
“”Jaman sekarang banyak kumis palsu. Nggak usah takut lah. Coba saja pasang di kontak jodoh kalau ada yang sreg. Bisa dipasangi kumis buatan””

Tiba tiba wanita anggun itu nampak emosi. Dadanya turun naik. Asisten spiritual memberikan air putih yang sudah saya kasih mantra. Saya mencoba mendekat. Tangan halus menutup wajah. Dia menangis. Saya mendekat melewati garis demarkasi, jarak satu meter yang saya jaga selama ini. Mencoba menenangkannya. Mencoba menggapai tangannya. Tiba tiba di luar gaduh luar biasa. Ada tiga buldoser siap di muka pintu. Salah satunya mulai menabrak jendela kamar semedi. Saya terdorong jatuh.

“”Tuluuuuuung”’. Terbangun saya jatuh ke lantai. Cucu saya Rio terbangun berteriak. “”Mbah kalau tidur jangan teriak teriak. Kayak orang gila saja””. Nyi datang membangunkan “”Mimpi apa ?“”Dikejar mbok Alimah”” . “Wong edan”” gumam Nyi. Ada tetangga saya mbok Alimah memang agak kurang waras. Sering datang ke muka rumah dan teriak marah marah. Tetangga yang kurang waras pun masih berguna untuk pelarian mimpi. Tetap ada hikmahnya. Hanya mimpi. Apalah arti mimpi? Tak ada makna apa apa.

Yang penting Madame Halimah tetap saja sosok wanita papan atas yang penuh pesona dan pengabdian. Anggun dan menawan. Pernah membantu anak anak kurang mampu. Program anak asuh. Memberikan harapan bagi mereka yang kesulitan sekolah. Dalam saat saat sulit menghadapi musibah rumah tangga seperti ini orang hanya bisa berdoa dan berharap agar semuanya cepat selesai dan damai. Siapa sih yang mau dimaru?

Ki Ageng Similikithi (asli lhoooo)

Thursday, February 28, 2008

Jeritan pilu di ambang petang

Musim kering tahun 1966. Saya mengunjungi nenek saya di desa Kalijambe Beringin Salatiga. Di masa lalu kami selalu naik kereta api dari Ambarawa ke Beringin, disambung jalan kaki sejauh tujuh kilometer. Tahun tahun terakhir itu perjalanan kereta sudah semakin tersendat. Harus naik bis dari Salatiga. Hanya ada bis tua menjalani route Salatiga Bringin, bis Estoe. Tak ada jalan aspal dari Beringin ke Kalijambe. Jalan kaki lewat jalan berbatu naik turun bukit melewati kebun karet dan tanah tandus berkapur. Kakek dan nenek saya selalu bercerita bahwa nantinya akan ada jalan aspal menembus desa itu. Cerita sejak jaman Belanda. Sampai kakek saya meninggal di tahun 1964, nenek saya tahun 1981, jalan aspal impian itu belum juga muncul. Jalan aspal selebar kira kira 4 meter baru jadi sesudah tahun sembilan puluhan. Bukan jalan yang luar biasa. Hanya jalan aspal tanpa kelas. Penantian sia sia sampai ajal menjemput mereka.

Saya datang sendirian lepas lohor waktu itu. Terik matahari terasa kering membakar. Tak nyaman sama sekali. Di musim kering kehidupan terasa sulit. Wajah wajah kuyu dan letih. Nenek saya selalu begitu gembira jika kami mengunjunginya. Mulai cerita tentang perkembangan terakhir. Peristiwa peristiwa yang terjadi selama bulan bulan terakhir di desa sepi itu. Tak begitu penting bagi saya. Hanya satu yang terasa menyentak.

“Datanglah ke pak likmu Darmo. Dia sakit sesek berminggu minggu ini. Adikmu Tri juga nggak begitu baik keadaannya. Sejak peristiwa mengerikan di atas bukit bulan lalu””.

Sepert biasanya setiap datang ke desa itu yang saya lakukan pertama kali adalah mandi di pancuran di samping rumah. Airnya begitu jernih dialirkan dari tepi hutan di muka rumah. Ada lereng terjal sejauh kurang lebih dua ratus meter dimuka rumah. Di atas ada kebun karet yang luas. Air memang selalu melimpah di sana. Meskipun musim kering. Tetapi ternyata air berlimpah tak juga membawa berkah yang bisa mengangkat sebagian besar penduduk dari kemiskinan dan kesulitan. Selepas azar saya ke rumah sebelah. Bau metana kotoran sapi bercampur dengan bau rumput terbakar di sore hari mulai terasa. Ke rumah pak Darmo, kemenakan kakek saya. Dia seorang pensiunan guru. Rumahnya persis di sebelah rumah nenek saya. Dua rumah tua dari kayu jati berdampingan. Kakek dan nenek saya mungkin merasa aman hidup berdampingan dengan kemenakan. Orang tua selalu mengharapkan ada keluarga dekat yang bisa dimintai tolong sewaktu waktu. Saudara saudara lain hidup jauh tersebar. Pak Darmo mestinya gagah di masa muda. Tinggi semampai dan berkulit kuning seperti kakek saya. Keluarga ibu saya selalu langsing semampai. Tak seperti cucu cucunya yang kebanyakan berperawakan besar dengan tinggi sedang.

“ Asma saya kumat Ki. Sudah ke mantri di Beringin kok nggak membaik. Sejak mendengar suara rentetan tembakan itu saya tak pernah bisa tidur. Takut. Ngeri, Jeritan mereka seolah menggema menuruni lereng lereng terjal itu“”.

Dia kemudian bercerita. Ada dua rombongan tahanan PKI yang ditembak di atas bukit di belakang desa. Tepatnya di tepi hutan karet itu. Pertama kabarnya 13 orang. Selang beberapa hari kemudian rombongan ke dua 11 orang. Laki perempuan. Suara truk itu menggelora melewati jalan jalan berbatu membawa orang orang yang hidupnya dipastikan harus berakhir sore itu. Penduduk desa diharuskan membantu menggali lubang. Tak semua punya nyali menyaksikan eksekusi itu. Hanya beberapa yang berani ikut menonton.

“ Begitu saya mendengar rentetan tembakan itu, saya cari Tri adikmu. Dia baru pulang menjelang magrib. Ikut menyaksikan eksekusi. Sesudah itu ia selalu diam melamun. Tidur selalu mengigau. Tolong lihat adikmu”.

Saya lupa nama lengkapnya. Sejak kecil saya hanya tahu dan memanggilnya dik Tri. Dia anak ke 3 dari empat bersaudara. Kadang kadang nampak manja. Dia seharusnya nggak boleh melihat peristiwa ngeri eksekusi itu. Jiwanya tak tegar. Jiwanya terguncang hebat.

“ Mas aku ngeri kalau ingat. Melihat mereka turun diseret dri truk dengan tangan terikat ke belakang. Semua pucat dan sikap pasrah. Beberapa tak mampu berjalan lagi. Seorang ibu, mungkin sedang hamil, diseret karena sudah tak sadarkan diri sejak di truk. Mengapa mereka dibunuh ?”. Dia menceritakan dengan rinci peristiwa itu. Kadang kadang nampak gemetar ketakutan.

Tak banyak yang bisa saya lakukan. Hanya minta mereka berdoa. Kita nggak ikut ikut. Ternyata susah melupakan ketika kejadian ngeri itu begitu dekat dari tempat mereka tinggal. Bulik saya hanya menangis meratapi perubahan dik Tri. “”Doakan moga moga adikmu bisa lupa dan kembali normal”. Nampak beban kesedihan begitu membekas. Dia berpesan agar saya jangan sekali sekali ke atas bukit. Nenek saya juga mengatakan jangan kemana mana. Tak seperti biasanya, nenek saya minta agar saya cepat cepat pulang. Biasanya selalu minta saya menambah satu dua malam di sana. Jaman memang tidak enak. Saya pulang dua hari kemudian dengan diantar dua orang suruhan nenek sampai ke Beringin. Dalam perjalanan pulang saya diberi tahu letak kuburan massal diatas tebing. Persis di atas jalan yang kami lalui. Dibawah naungan pepohonan bamboo liar. Ada sebatang pohon besar di atas tebing itu. Saya nggak tahu pohon apa. Mungkin randu alas.

Hari hari berlalu. Saya sudah di Solo sekolah SMA waktu itu. Tak sering lagi ke Kalijambe. Yang saya ingat pak Darmo meninggal beberapa bulan kemudian. Sesak napasnya tak pernah membaik. Masih sering mengeluhkan dan bercerita tentang eksekusi sore itu. Tentang jeritan jeritan pilu. Tentang rentetan tembakan menjelang petang. Dik TRI semakin parah. Sering mengigau dan menjerit histeris. Cerita tentang orang2 yang diseret dari truk. Sesaat mereka menunggu galian selesai. Tentang wanita yang menjerit lemah minta ampun. Ada beberapa kali bertemu kembali dengan Tri. Pernah menjalani pengobatan di RS Jiwa Magelang. Pernah berkunjung ke Ambarawa beberapa hari. Tetapi kondisinya tak pernah normal kembali. Di tahun 70 saya bertemu beberapa hari di Ambarawa. Sore sore makan jeruk ramai ramai dari pohon yang tumbuh di halaman samping. Tiba tiba salah satu dari kami, saya lupa siapa, melempar jeruk yang terasa kecut sambil teriak main main “dorrr”. Tiba tiba wajah dik TRI berubah pucat. Gemetar sambil mengeluarkan kata kata yang nggak jelas.

Kabarnya dia pernah ngamuk di desa. Sampai di pasung beberapa waktu. Saya bertemu terakhir kali di tahun 1975 sewaktu dengan NYI mengunjungi desa itu kembali. Kami belum kawin waktu itu. Dik Tri menangis ingin ikut ke Ambarawa. Dia terkurung di ruang dapur. Saya tak sampai hati melihatnya. Dan tak mampu berbuat apa apa. Dia meninggal tiga bulan sesudah kunjungan saya yang terakhir. Ibu dik TRI, adalah wanita tegar. Dalam kesedihannya sering mengucap. “Eksekusi itu telah membawa banyak korban. Orang orang desa yang hanya mendengar dan tak tahu apa apa pun harus ikut menderita seumur hidup”.

Kuburan massal itu masih di sana. Di atas lereng terjal di tepi hutan karet. Menjadi tempat peristirahatan mereka yang menjadi korban. Membawa penderitaan bukan hanya mereka yang jadi korban. Juga orang orang di sekitarnya. Tak pernah terjamah. Tak ada keberanian untuk mengungkap kekejaman. Tak ada rasa iba untuk mengungkap bencana kemanusiaan. Semua tertutup kemunafikan ideologi. Perbedaan ideologi itu telah menghilangkan kemampuan manusia untuk menghargai nilai kemanusiaan.

Salam kemanusiaan

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 27 Februari 2008)

Monday, February 18, 2008

Monumen nasional

Manusia selalu membuat karya cipta. Imaginasi dan pikiran manusia selalu mengembara menghasilkan karya karya indah mengagumkan. Perlambang eksistensi dan keperkasaan manusia berinteraksi dengan alam. Saya selalu mengagumi karya arsitektur manusia yang kebanyakan telah berumur ribuan tahun. Angkor Wat, Borobudur & Prambanan, Machu Picchu, tembok besar Cina, piramid Mesir, Taj Mahal dan tak terhitung lagi. Saya tak membayangkan apa yang ada di benak perancang karya kara kolosal sepanjang jaman ini. Penuh imaginasi yang menembus batas waktu dan jaman. Tak lapuk oleh perjalanan masa ribuan tahun ke depan. Kadang perlu banyak imaginasi untuk mengerti makna karya karya tersebut. Tak selalu gampang untuk mengerti makna apa di balik karya karya itu. Monumen sebenarnya dibangun untuk memperingati suatu peristiwa, seorang tokoh atau untuk tempat kegiatan sipiritual. Dalam budaya kotemporer kita juga banyak melihat monumen dalam skala mikro. Sebagai contoh gapura. Apa maknanya ? Tempat masuk gang ? Tempat masuk kelompok hunian. Untuk melindungi mereka yang tinggal di balik gapura? Belum tentu juga. Pada waktu gempa melanda Yogya, banyak gapura yang runtuh menimpa manusia yang seharusnya terlindungi. Jadi konsep gapura untuk melindungi penghuni dibaliknya, sudah terbukti tak benar. Mungkin menjadi refleksi kebersamaan penghuni gang, iuran bersama, membangun gapura bersama. Bisa jadi salah satu program kerja pengurus RT.

Dalam kehidupan modern Indonesia, warga negara tak lepas dari perlambang monumen nasional. Lambang kejayaan dan keperkasaan negara nasional. Monumen nasional yang berupa Tugu Monumen Nasional. Tak bermaksud mengecilkan makna dan arti nasionalisme. Tak mengurangi penghargaan saya yang tinggi akan imaginasi penciptanya. Saya ingin mengungkapkan makna monumen dengan imaginasi dan pengalaman saya. Sebagai pengagum karya arsitektur manusia. Termasuk pengagum para pencipta karya kolosal tersebut. Monumen Nasional tak bisa dilepaskan dari gagasan Bung Karno, Pemimpin Besar waktu itu, untuk memberikan perlambang keperkasaan bangsa Indonesia, negara Indonesia dan manusia Indonesia.

Inilah cerita yang pernah saya dengar. Suatu sore di musim panas di penghujung tahun lima puluhan di Roma. Tiga orang diplomat Indonesia mendapat tugas khusus menyampaikan kiriman dari ibu kota. Seorang diantaranya baru saja tiba dari Jakarta, membawa barang kiriman dengan pesan khusus. Bukan hanya dari Menteri Luar Negeri. Tetapi dari Ajudan Pemimpin Besar Bung Karno. Isi pesan agar lukisan diri Bung Karno, disampaikan ke bintang ternama, bintang terseksi Gina Lolobrigida. Konon beberapa bulan sebelumnya mereka pernah bertemu dan sempat makan malam. Kontak telah dilakukan dengan asisten pribadi sang bintang, dan disepakati untuk mengantar titipan lukisan. Lukisan Pemimpin Besar yang gagah dan ada tanda tangannya.

Ke tiga diplomat muda dengan berdebar sampai di rumah kediaman sang bintang. “”Buonasera ! Kami membawa lukisan dari Pemimpin Besar untuk Madame””.
“”Benvenuto. Iya kami telah menerima pemberitahuan dari kedutaan anda””, jawab sang asisten pribadi. “Maaf Madame sedang ada acara di luar kota. Ada surat untuk Pemimpin Besar. Grazie ””. Tak banyak percakapan. Ketiga diplomat itu cepat cepat pamitan. Mission accomplished. Siapa nggak bangga bisa melakukan tugas khusus untuk Pemimpin Besar. Ketiga diplomat muda itu kemudian memang menjadi tokoh malang melintang di dunia diplomatik Indonesia.

Tak banyak cerita sesudah itu. Tak jelas apa isi surat Gina. Namun ada kabar burung mengatakan bahwa Gina bercerita mengeluh tentang menara Pisa yang bengkok miring. Kalau mau membuat monumen di Jakarta, buatlah yang lurus menjulang tinggi ke angkasa. Harus nampak perkasa runcing menembus langit. Kebetulan Bung Karno juga sedang mengolah banyak gagasan membuat perlambang perlambang keperkasaan nasional. Beliau sendiri ikut menseleksi design mana yang dianggap cocok. Beberapa karya terbaik terpilih menjadi masterpiece lambang keperkasaan Jakarta dan Indonesia. Ada Tugu Monas dengan puncak runcing dari emas 35 kg. Ada Air Mancur yang semprotan airnya sampai puluhan meter menjulang ke angkasa. Ada jembatan Semanggi yang indah. Tugu Selamat Datang. Hotel Indonesia. ISTORA Senayan. Rancangan rancangan asli putra Indonesia pilihan Bung Karno. Mungkin bisa dikatakan awal mula karya arsitektur modern putra Indonesia. Menjadi kebanggaan warga Jakarta dan bangsa Indonesia dengan imaginasi masing masing.

Saya datang ke Jakarta pertama kali di tahun 1964. Umur saya 14 tahun. Bangga sekali melihat Jakarta waktu itu, termasuk melihat Tugu Nasional yang belum rampung. Juga sempat melihat Air Mancur, yang airnya selalu muncrat puluhan meter. Ingat lagu Lilis Suryani menggambarkan keindahan Air Mancur. Ini penggalannya.

Tinggi menjulang ke langit biru
Gemercik suaramu
Bila senja telah mendatang
Kau bertambah ayu
Terpesona aku oleh keindahanmu
Kau lambang penghias ibu kota

Sewaktu melihat Air Mancur dengan mata kepala sendiri imaginasi saya susah berkait dengan kata kata indah lagu almarhum Lilis Suryani itu. Tetapi ingatan saya melayang ke penjual jamu di pasar Ambarawa yang sering teriak teriak di hari pasaran, Pon, mempromosikan jamu buatannya. Katanya ramuan asli Kalimantan. Dia selalu mengatakan punya ramuan mujarab laki laki. Kalau ada pria minum jamu ramuannya, katanya kalau buang air seni akan nyemprot ratusan meter. Sering menimbulkan konflik antar tetangga karena air kencingnya nyemprot ke halaman sekitar. Harus hati hati bung, lihat kri kanan kalau mau buang air. Edan. Kok bisa ya ?

Sejak dibuka resmi di tahun 1975 oleh Orde Baru, monumen2 tadi selalu menjadi kebanggaan. Tak hanya kebanggan warga Jakarta saja. Bahkan mereka yang tinggal di pelosok yang belum pernah datang ke Jakarta, juga mengaguminya. Mereka hanya melihat gambar di koran atau dari radio. Persis seperti yang diungkapkan seorang tetangga saya di Suryodiningratan Yogyakarta, namanya pak Prawito di tahun 1978. Dia belum pernah mengunjungi Tugu Monas. Tetapi bangganya setengah mati dengan karya2 arsitektur Jakarta, terutama Tugu Monas. Umur sudah lanjut sekitar delapan puluh tahun. Tinggal bersama anaknya yang sudah berkeluarga. Isteri pertama sudah meninggal lama. Dia saat itu punya isteri yang masih belia, umurnya baru 23 tahun. Saya kadang sempat nggosip dengan pak Prawito kalau pas beli rokok. Punya jualan rokok di sisi rumah anaknya. Tentang banyak hal. Pengalaman hidupnya. Pengalaman sebagai suami. Dan tak ketinggalan kebanggaannya akan Tugu Monas. Candi candi yang jumlahnya ribuan di Prambanan tak pernah jadi kebanggaannya. Bukan lambang keperkasaan oleh karena jumlahnya banyak beramai ramai. Tugu Monas itu perkasa, karena menjulang ke angkasa sendirian. Hebat. Pak Prawito punya anak kecil kira2 umur 1.5 tahun namanya Sukar. Anak saya tertua Aryo masih umur 2 tahun, selalu main bersama dan memanggilnya “adik Kang”.

Suatu pagi saya berangkat ke kantor saya lihat kios rokok pak Prawito masih tutup. Biasanya pagi2 dia sudah buka. Saya tak banyak perhatian waktu itu karena memang tak ada keperluan beli rokok. Siangnya ketika pulang, rumah pak Prawito sudah banyak orang kumpul. NYI bilang, pak Prawito meninggal barusan, belum ada satu jam yang lalu. Kami bergegas layat ke sana. Mayat belum sempat dimandikan. Istri pak Prawito masih menangis berkepanjangan di samping jenazah suami yang dicintai. Saya bersama beberapa tetangga ikut memandikan jenazah disamping rumah. Saya sebenarnya takut melihat jenazah. Tetapi mau tak mau harus ikut oleh karena tak banyak orang.

Sesaat sebelum dimandikan, sewaktu kain penutup dibuka, semua yang hadir terhenyak kaget. Bahkan beberapa pelayat yang hadir nampak menahan geli. Tak layak di muka jenazah, ada orang kesusahan kok malah menahan geli. Susah ditahan. Melihat burungnya pak Prawito menjulang tinggi puluhan sentimeter, mungkin lebih dua puluh sentimeter. Belum pernah saya lihat dalam karier dokter saya burung sebesar itu. Memang sesudah meninggal pasti akan terjadi rigor mortis atau kaku jenazah. Tetapi saya tak pernah melihat burung yang sudah meninggal menjulang begitu lurus dan tinggi. Istri pak Prawito semakin meraung raung. Kami semua merasa iba dan kasihan melihatnya. Tetapi dalam hati tak bisa menahan rasa geli. Apalagi waktu melihat isteri pak Prawito menangisi dan memegang burung kesayangan. Selesai memandikan jenazah saya pamitan pulang, dari pada membuat dosa, ada orang kesusahan kok malah menahan geli.

Acara pemakaman selesai tanpa insiden. Untung tak banyak yang mengetahui peristiwa pemandian jenazah itu. Tetapi tak urung jadi bahan bisik bisik waktu rapat RT dan arisan ibu ibu. Biasanya kalau rapat RT selalu ngantuk. Sekali itu rapat RT jasi asyik bisik bisik mengenang almarhum, terutama tentang burungnya. Istri pak Prawito kembali ke dusun beberapa Minggu kemudian. Mungkin tak enak hidup ikut anak menantunya. Kami para tetangga selalu mengenang pak Prawito dengan kenangan yang baik. Tak sampai semilitan mengenang pahlawan. Tetapi mengenangnya sebagai seorang manusia yang penuh rasa bangga akan karya arsitektur lambang keperkasaan nasional. Kebanggaannya akan Tugu Monas dibawa sampai akhir hayatnya.

Salam Monas Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas cyber, 18 Feb 2008)

Sunday, February 17, 2008

Menulis

Menulis adalah ekspresi lamunan. Saya menulis jika sedang tidak sibuk atau merasa kesepian. Ide bisa saja. Kalau pas melamun atau kesepian, ada saja yang bisa dirangkai jadi tulisan. Saya ingat pelajaran saya menulis pertama kali lebih lima puluh tahun lalu. Masih kelas satu atau kelas dua sekolah rakyat. ide saya ambil dari bacaan pelajaran. Judulnya Surono Duwe Asu.

Surono duwe asu. Asune Surono lemu. Lemu asune karo Surono. Surono seneng mangan tahu. Asune Surono kerep dipangani tahu. Surono kaya asu. Senengane mangan tahu

Pak guru Djono, bilang waktu itu. ""Critamu ki ora nggenah le"".
Tak peduli, batin saya waktu itu. Pokoknya saya bisa menulis. Separuh nyomot buku bacaan.

Salam mangan tahu.

Ki AgengSimilikithi

Friday, February 15, 2008

Berbangga diri & membual

Dalam perjalanan waktu, kita bertemu dengan banyak orang dengan ciri dan watak yang sangat beragam. Sering gaya percakapannya seolah begitu membanggakan diri. Kadang terkesan pamer, kadang terkesan membual, atau bahkan terkesan sombong dan mengecilkan lawan bicara. Kitapun secara tak sadar mungkin sering melakukannya. Tak perlu kaget dan heran. Aja kagetan lan aja gumunan. Hadapilah dengan bijak. Inilah hidup.

Pernah saya ungkapkan secara singkat akan almarhum Bpk Slamet almarhum. Beliau adalah bapak kost saya di Patangpuluhan Yogyakarta di tahun 1972 sampai tahun 1976.
Seorang pensiunan pegawai Dinas Pekerjaan Umum sejak jaman Belanda. Beliau begitu bangga akan profesinya. Begitu mencintai profesinya. Mental priyayi yang sangat menjaga etos dan kehormatan profesi. Begitu bangganya akan profesi yang dicintainya, selalu bercerita tentang karya yang telah diselesaikannya dengan seksama.

Yang paling sering diceritakan adalah saat beliau mengkoordinir pembangunan jalan Wonosobo Dieng.

“ Ini adalah jalan paling tejal di seluruh pelosok Nusantara. Untung saya selalu tekun memperhitungkan segala resiko saat itu. Tak mungkin jalan itu selesai jika saya kerja semaunya. Edan kok saya ini “.

Masih ingat benar bagaimana dia menirukan suara dinamit saat memecahkan batu batu gunung. Meskipun batu batu gunung itu diangggap angker oleh penduduk desa sekitar situ. Begitu bersinar sinar matanya saat bercerita bagaimana puluhan penduduk dibawah lurah, membujuk dan menyembah agar batu keramat itu tidak diledakkan.

“ Ndoro insinger, nyuwun kawelasan ndoro. Sampun pun dinamit sela menika. Angker, jin setan mangke sami duka. Nyuwun kawelasan kula ndoro. Kulo ajrih” (
Tuan insinyur, mohon belas kasihannya. Atu itu jangan diledakkan. Angker, jin, setan nanti marah. Mohon belas kasihannya ndoro. Kami takut).

Sambil menerawang ke kejauhan dia menggumam bercerita
“ Saya ini pegawai pemerintah. Tidak takut jin dan setan sekalipun. Tak peduli tangisan cengeng kamu. Bleeeeeng !! Dinamit tak ledakkan titik “.

Sudah puluhan kali kami dengarkan ceritanya. Tak pernah bosan mendengar dan elihat raut wajahnya yang begitu serius dan nampak lucu du usia delapan puluhan. Sebelum eliau mengakhiiri ceritanya, kami selalu memotongnya duluan menirukan bunyi dinamit “”Bleeeeeeeeng””.

Beliau akan mengangguk puas sambil mengencangkan sarung yang kedodoran. Puas karena kami mendengarnya. Tak ada niat kami untuk menyanggah dan mempertanyakan kebanggaaanya. Jauh dari arogansi, hanya menceritakan kebanggaan karyanya.

Sewaktu kuliah di Fakultas Kedokteran di Mangkubumen Yogyakarta, ada guru besar zoology atau anatomi comparative yang juga sangat gemar berbicara tentang dirinya. Barang sepele jika beliau bercerita seolah menjadi sesuatu yang maha penting dan besar.

“ Saya ini kemarin baru datang dari luar negeri. Dari Hawai. Diwawancarai radio di sana. Edan nggak ”

Pernah bercerita tentang tari perut yang beliau lihat di Mesir . “ Saya ini guru besar anatomi. Saya belum pernah gagal dalam studi saya. Tidak pernah merasa gumunan dan kagetan lihat kejutan apapun. Tetapi melihat tari perut, saya benar benar gumun. Nggak ngerti saya. Otot apa yang bisa memuyar pantat dan perut begitu intens. Edan ah””

Begitu bangga dengan karya pribadinya, beliau selalu mulai bercerita dengan kata “Saya ini”. Pernah adik kelas sayam namanya Narko, mungkin pengin iseng atau apa nggak tahulah. Sewaktu guru besar itu baru mulai akan cerita dengan kata pembukaan seperti biasanya “”Saya ini””. Langsung Narko berteriak dari belakang “ Saya ini si gembala sapiiiiii”. Rupanya beliau tersinggung betul didahului teriakan gembala sapi tadi. Ini adalah pembukaan lagu indah Si Gembala sapi yang dinyanyikan Anneke Gronloh di tahun lima puluhan.

“ Jangan ngimpi kamu akan ke luar negeri. Anak kampong kamu. Melawat saja ke Sentolo sana. Angon bebek“”.

Kutukan beliau nggak pernah menjadi kenyataan. Narko sekarang menduduki jaatan tinggi di PLN. Berulang kali ke luar negeri.

Kita memang sering tak tahan mendengar seseorang omong besar tentang dirinya. Tentang keberhasilannya. Tentang karya karyanya. Ini alamiah oleh karena sebagai manusia kita merasa seolah dikecilkan dihadapan orang tersebut. Tetapi bukankah dia bermaksud mengecilkan anda ? Mungkin juga tidak. Hanya begitu bersemangat dan berapi api membanggakan dirinya. Tanpa bermaksud mengecilkan anda.

Saya tak perbah merasa dikecilkan jika seseorang bercerita tentang karyanya, tentang keberhasilannya, juga tentang kemampuan dirinya. Biarlah dia menikmati kebanggaannya, asalkan tak menyombongkan diri dan mengecilkan lawan bicaranya. Pengalaman saya bertahun tahun mewawancarai calon staf yang akan menduduki jabatan strategis di organisasi, biasanya calon dari Asia Timur dan Tenggara, sungkan untuk menceritakan kemampuannya,keberhasilannya dan prestasi prestasinya dalam wawancara. Ini tidak baik.

Seorang professional harus mampu melihat kemampuan dirinya, keberhasilannya dan keterbatasannya. Harus berani mempromosikan diri. Ya memang kita selalu diajurkan untuk andap asor, rendah hati, tetapi tak boleh rendah diri. Dalam pepatah Jawa ada petuah “”Nglurug tanpa bala, menang tanpo ngasorake”. Menyerbu tanpa teman, menang tanpa mengalahkan. Ini adalah petuah yang harus selalu dipegang.

Saya selalu menikmati melihat anak muda dengan bersemangat bercerita tentang karyanya, tentang prestasinya, tentang ambisinya, tentang cita citanya. Anak saya almarhum selalu gemar bercerita. Cerita di sekolah yang begitu sederhana dia ceritakan dihadapan kakak kakak dan saudara yang lebih tua dengan berbinar binary. Saya masih ingat saat dia kelas 5 SD cerita tentang menang balapan lari di sekolah. Sepupu sepupunya yang sudah SMA pun kok ya bisa bisanya mendengarkan dengan asyik.

Dalam perjalanan ke Buenos Aires di tahun 1995 dari Kuala Lumpur, saya kebetuan bertemu dengan seorang dosen yang relative masih muda. Dia kebetulan juga akan menghadiri konggres sedunia yang akan saya hadiri. Dalam percakapan dia nampak bangga sekali dan gmbira sekali oleh karena ini adalah kesempatan pertama kalinya untuk dia presentasi di luar negeri. Dia sampai nggak sempat bertanya apakah saya juga akan presentasi di kongres tersebut. Saya tak merasa terganggu ataupun terkecilkan dengan ceritanya. Dia pantas bangga oleh karena memang langka seseorang akan diterima makalahnya dalam forum kongres sedunia.

Hanya saat saya memberikan plenary lecture di kongres tersebut, dia mungkin tak mengira kalau saya akan memberikan kuliah tamu di sana. Setelah selesai kuliah tamu dia mendatangi saya dan minta maaf jika tidak mencoba menanyakan identitas saya sebelumnya. Nampak kelihatan kikuk, mungkin menyesal dengan cerita ceritanya di pesawat. Saya hanya bilang, tak ada yang perlu dimaafkan, tak ada yang salah. Saya sempat menghadiri presentasinya. Saya ucapkan selamat. Dia nampak begitu bangga saat itu. Kembali bercerita tentang ide ide penelitiannya yang kadang agak melambung. Saya hanya bilang good luck friend.

Pesan saya. Aja kagetan aja gumunan. Jangan kaget. Jangan heran. Dunia memang penuh warna. Jangan takut berbangga. Jangan takut bercerita tentang diri dan prestasi anda. Yang penting jangan menyombongkan diri dan jangan mengecilkan orang lain. Edaaan ah. Saya ini cuma si gembala sapi.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber, 15 Februari 2008

Wednesday, February 13, 2008

Dunia maya - pengembaraan tanpa batas

Saya terhenyak Ketika seorang teman mengingatkan bahwa pergaulan dunia maya adalah pergaulan semu. Tidak mencerminkan dunia nyata. Hanya yang tak mampu bersosialisasi di dunia nyata, menikmati pergaulan dunia maya. Mungkin dia benar juga. Untuk persepsi dirinya sendiri. Cerminan pengalaman perjalanan pribadi.

Bagi saya dunia maya adalah media untuk mengembara dunia yang tak berbatas. Kita menelusuri pelosok dunia meskipun lewat dunia maya. Kita melihat realita pelosok dunia dengan warna warni kehidupan melalui media dunia maya. Kita bertegur sapa dengan teman dan sahabat. teman dan sahabat itu adalah nyata. Hanya pertemuannya lewat dunia maya. Tak mengurangi arti persahabatan sama sekali.

Di masa kecil lauman saya selalu menerawang ingin menembus batas cakrawala. Hanya lamunan pengembaraan angan angan ke dunia yang tak berbatas. Lewat dunia maya saya merasa memiliki kesempatan untuk mengembara ke pelosok pelosok dunia. Pengembaraan tanpa batas. Bukan hanya lewat lamunan. Sapaan hangat dan persahabatan itu nyata adanya. Walau hanya lewat dunia maya. Pengembaraan tak berbatas.

Monday, February 4, 2008

Penggundulan hutan tropika basah

Bumi makin panas. Hutan tropika basah hancur dibabat habis. Ulah sebagian manusia. Yang sakit, yang suka membabat dan mengunduli hutan. Perusakan lingkungan sudah berjalan puluhan tahun. Tetapi hanya di tahun tahun terakhir ini saja manusia menyadari kemungkinan dampaknya yang sangat serius. Pemanasan global. Mantan wakil presiden Amerika, Al Gore menerima hadiah Nobel karena dianggap telah mampu menyampaikan pesan secara meyakinkan krisis lingkungan dalam masyarakat global ini. Sekarang hampir semua orang di dunia menyadari makna pemasanasan global. Mungkin terkecuali beberapa tokoh partai Republik di Amerika, kelompok vested interest dari industri dan para pembabat hutan. Jika anda belum sempat melihat film dokumenter Incovenient Truth, sempatkan untuk menontonnya. Sangat mudah diterima dan dimengerti oleh awam sekalipun.

Pengertian manusia sudah demikian meluas tentang fenomena pemanasan global, emisi karbon ke atmosfir, penggundulan hutan tropika basah dan akibat buruk lain di dunia makro kosmos. Namun sebagai pengamat spiritual perilaku manusia, saya masih merasa khawatir karena kesadaran manusia terhadap pemanasan lokal, akibat penggundulan hutan setengah basah (nyemek, seperti istilah bakmi Jawa) belumlah memadai. Jika dibiarkan berlanjut masalah ini juga akan berdampak serius dalam skala mikro kosmos, microenvironment. Tak ada maksud untuk menyebar-luaskan kebohongan publik dengan tulisan ini. Saya hanya mengajak anda semua merenung kejadian kejadian dalam lingkungan mikro sekitar kita..

Saya bercerita kisah yang telah lama berlalu. Di pertengahan tujuh puluhan, sebuah tim dokter bedah dari salah satu rumah sakit ternama di Jakarta, digugat oleh bekas pasien. Seorang pasien wanita. Gara garanya sederhana, tetapi bukan masalah sepele. Pasien itu adalah seorang wanita eksekutif, umur pertengahan tiga puluhan, dengan karier gemilang di bidangnya.Seorang professional murni. Dia menjalani operasi usus buntu. Sebenarnya secara teknis medis tergolong operasi sederhana. Operasi berjalan lancar tanpa komplikasi. Pasien pulang beberapa hari kemudian dengan sehat. Mission accomplished.

Tetapi selang seminggu kemudian pasien melalui penasehat hukumnya menggugat tim dokter, melalui majelis kode etik. Dia merasa dilecehkan sesaat sebelum operasi. Ceritanya begini. Sebelum memasuki kamar operasi sebenanrya pasien sudah ditidurkan dengan injeksi obat tidur. Dengan tubuh tanpa busana tetapi tertutup selimut, siap menjalani operasi pasien diletakkan di meja operasi. Ternyata dia belum tertidur benar, obat anestesi belum sepenuhnya menidurkannya. Dia bisa mendengar seloroh anggota tim operasi sebelum operasi dimulai.

"Lho kok gondrong, apa nggak dicukur?" . "Hutan tropika basah di Kalimantan saja digunduli, kok hutan lokal setengah basah nggak digunduli sebelum operasi ?.

Dalam sidang, pembela tim dokter menjawab gugatan tersebut dengan menyatakan bahwa seharusnya rambut kemaluan (pubes) memang harus dicukur bersih semalam sebelum operasi. Kemungkinan ada anggota tim yang mengeluh kok rambutnya nggak dicukur dulu oleh karena katanya bisa mengganggu jalannya operasi. Masih untung operasi berjalan lancar, nggak ada komplikasi. Bahkan sang pembela tim dokter menambahkan, kemungkinan pasien mengalami halusinasi suara karena obat yang diberikan. Pembelaan ini sih terlalu jauh. Secara teori bisa saja. Nggak tahu bagaimana akhirnya kasus itu oleh karena dimuat di harian Kompas juga. Mungkin mereka damai, biasanya dokter adalah manusia cinta damai. Minta maaf secara resmi, sambil membuat alibi kemungkinan juga karena halusinasi pasien karena pengaruh anestesi.

Sewaktu menjalani kepaniteraan klinik di rumah sakit di pertengahan tujuhpuluhan, saya ingat memang waktu itu setiap kasus operasi, rambut kemaluan (pubes) harus dicukur dan dibersihkan. Kadang saya juga heran, operasinya di leher, kok rambut di bawah nggak berdosa apa apa, harus dibabat, alasannya apa ?. Sering melihat perawat mencukur rambut kemaluan pasien ini dengan semangat luar biasa, seperti perilaku perambah hutan tropika basah. Bahkan banyak teman dokter muda yang juga ikut persiapan operasi dengan penggundulan hutan lokal ini. Teman saya Anto, sering melakukan pencukuran rambut sebelum operasi pernah mengatakan bahwa mencukur rambut pubes pasien pria biasanya lebih gampang dan cepat. Karena ada pegangannya. Di banyak rumah sakit kemudian kebiasaan ini tak dilanjutkan. Saya nggak tahu sekarang situasinya, apakah kebiasaan ini masih berlaku, walaupun kampanye illegal logging sudah demikian luas.

Yang saya tidak bisa membayangkan, bagaimana mungkin tim operasi yang saya ceritakan tadi bisa berseloroh ? Saya sering menghadapi situasi serupa, tetapi keadaanya selalu sangat serius. Jangankan ketawa, berpikir jelek tentang hutan lokal rambut kemaluan pun rasanya nggak berani. Suasana selalu sangat professional. Di tahun tahun 1973 sampai 1975, saya menjalani kepaniteraan klinik di beberapa rumah sakit pendidikan di Yogya dan Solo. Kami diharuskan hati hati sekali menghadapi pasien. Harus menangani pasien dengan penuh rasa hormat dan perhatian (care). Termasuk jika menghadapi pasien yang sampai rambut kemaluannya harus terpapar/terlihat. Ini bagian dari etika profesi.

Suatu pagi di RS Mangkuyudan Yogyakarta, kami bertiga sedang tugas di poliklinik ginekologi. Kira kira jam sepuluh pagi mendapat instruksi untuk mengikuti pemeriksaan ginekologi yang dilakukan oleh seorang dokter senior yang sangat kami segani, Dr A. . Pasien seorang wanita muda asal Magelang. Umur sekitar awal tiga puluhan. Istri seroang pengusaha muda. Nampak sangat tenang dan luwes. Dr. A memperkenalkan kami dan minta ijin bahwa kami akan diajak melihat pemeriksaan ginekologi, pemeriksaan dalam melalui vagina. Jika keberatan pasien diminta bilang. Pasien menyatakan persetujuannya tanpa ragu. Kami semua sangat serius, mengangguk hormat menyalami pasien dan kemudian mengikuti ke kamar khusus pemeriksaan ginekologi.

Suasana begitu hening.Hanya suara denting alat pemeriksaan saja yang terdengar. "Ibu tenang ya, tidak apa apa. Lemas saja jangan tegang", pesan Dr A berulang kali. Kami para dokter muda melihat jalannya pemeriksaan dengan seksama. Sesaat sempat terhenyak melihat pubes pasien yang begitu subur, sehat dan terawat rapih bersih. Bagaikan gumpalan semut hitam, mengkilat dalam bentangan kulit yang halus bersih. Tak ada satu pun yang berani menarik napas dalam. Semua terdiam mengikuti jalannya pemeriksaan. Harus menjunjung tinggi kehormatan pasien yang sudah mempercayakan dirinya untuk menjalani pemeriksaan. Pemeriksaan selesai dalam waktu singkat. Ada kista di uterus. Perlu tindakan operasi. Bukan operasi berat. Dijadualkan minggu depannya. Saya tak mengikuti operasi ok pindah tugas di bangsal.

Seminggu kemudian, saya berjumpa pasien tersebut di bangsal. Saya bertugas melakukan pemeriksaan rutin sesudah operasi dan melaporkannya ke dokter senior. Semua berjalan normal seperti sedia kala. Hanya satu saat, pasien itu bertanya

"Katanya kalau operasi rambut kemaluan harus dicukur bersih, kok saya tidak kenapa "?

Saya mencoba menjelaskan bahwa di rumah sakit ini ada kebijakan untuk tidak mencukur rambut kemaluan sebelum operasi, asal tindakan antiseptic dilakukan secara seksama. Saya memang tidak sempat membaca literature apakah pencukuran rambut kemaluan, ini terbukti secara ilmiah mengurangi resiko infeksi. Seingat saya waktu kecil dulu, penggundulan rambut kepala salah satu indikasinya kalau kulit kepala terinfeksi dengan kutu dan mengeluarkan nanah. Orang Jawa bilang 'boroken'.

Ibu itu masih bertanya lebih lanjut " Apakah rambut kemaluan saya harus dicukur ya Dok? Katanya suami kok harus dicukur secara rutin biar sehat". Tidak ada indikasi medis untuk mencukur rambut kemaluan yang begitu nampak sehat.

"Tergantunng Ibu lah. Tak ada indikasi medis untuk mencukurnya".

Dalam hati saya berpikir, kok sampai hati sang suami minta rambut yang demikian indah dan sehat di cukur. Saya kemudian ingat, jangan jangan sang suami adalah pengusaha kayu yang suka menampung kayu kayu sengon yang ditebang dari bukit bukit sekitar Ambarawa dan Magelang? Sah sah saja sih memotong pohon yang memang ditanam untuk dimanfaatkan kayunya. Tetapi kok terus merembet juga mau membabat rambut kemaluan isteri tercinta. Apa nggak termasuk perusakan lingkungan dalam ? Ini bisa mengakibatkan pemanasan lokal.

Pengalaman melihat berbagai bentuk rambut kemaluan selama menjalani kepaniteraan klinik memberikan kesan bahwa penampilan rambut juga sangat dipengaruhi oleh kesehatan umum pasien. Pasien pasien dengan kesehatan umum dan status gizi yang jelek, umumnya penampilan rambutnya juga nampak merana. Tak anggun dan indah sama sekali. Terurai lemah satu persatu, kadang kadang dengan warna pucat kemerahan. Apapun saya selalu menjaga kehormatan pasien pasien yang saya hadapi. Tak pernah saya berpikir, apalagi berkata " Rambut pubes sampeyan kok aneh seperti rambut landak, tak iye"

Mohon jangan lupa selalu menjaga kesehatan anda dan juga penampilan rambut pubes anda. Jangan terpengaruh napsu membabat hutan tropika basah, kemudian rambut anda dicukur habis tanpa alasan. Tetapi selera orang memang berlainan.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber, 4 Februari 2008)