Wednesday, January 30, 2008

Parodi burung bernyanyi

“ Burung nuri terbang tinggi. Aku rindu kepada tuan. Mari mari kasih hati aku rindu kepada tuan. Rupamu elok tak ada bandingnya. Suaramu nyaring lagu merdu. Oooooo Ooooo”.

Ini adalah penggalan lagu indah irama Melayu tentang burung. Sangat populer di tahun limapuluhan. Lupa siapa penyanyinya. Banyak lagu indah diciptakan untuk burung dari masa ke masa. Tetapi benarkah untuk burung ? Tidak juga. Orang menciptakan lagu tentang burung ya untuk fantasi manusia sendiri. Tak ada komponis lagu yang menciptakan lagu untuk menghibur burung. Bahkan manusia selalu pengin menikmati nyanyian para burung. Harga mahal harus dibayar oleh para burung itu. Kebebasan dan kelangsungan hidupnya. Burung kepodang, cocak rawa, perkutut, kutilang, nuri, jalak dan lain sebagainya.

Burung burung ini banyak diburu, dipelihara dan dipisah dari habitatnya. Kehilangan kebebasan. Kehilangan kelangsungan beranak pinak. Mereka menuju kepunahan. Saya suka memelihara burung waktu kecil. Tetapi burung burung itu bebas berkeliaran di rumah kami, di Ambarawa. Mereka seolah mejadi bagian dari keluarga dan hewan hewan piaraan kami. Entah itu lembu, kambing, anjing, kucing, kuda dan sebagainya. Saya mempunyai ikatan batin yang mendalam dengan mereka waktu itu.

Dalam kehidupan kotemporer saat ini manusia modernpun tak bisa dipisahkan dari burung. Entah itu politisi, selebritis, tokoh spiritual. Kadangkala burung bukan hanya sebagai piaraan untuk didengarkan irama nyanyiannya. Tetapi juga kadang dijadikan simbol kejantanan dan kekuasaan. Tetapi pernahkah kita membayangkan apa yang ada di benak burung burung itu. Dibalik nyanyian nyanyian indahnya ? Dengarkanlah nyanyian mereka. Dengarkanlah cerita mereka seandainya mereka bisa berwawancara seperti induk semangnya. Entah itu dalam talk show, seminar, lokakarya, rapat pengarahan atau apa lagi lah. Jika saja burung itu punya kesempatan untuk bernyanyi dan berbicara. Dengarlah kesan kesan mereka tentang induk semang yang mereka cintai. Yang menentukan kebebasan mereka dan kelangsungan hidup mereka. Yang mungkin bersedia membayar mahal untuk memenuhi napsu menikmati nyanyian burung.

Sang burung kutilang, burung yang ceria, dipelihara oleh seorang pensiunan pejabat pemerintahan. Dalam nyanyiannya dia bersenandung

“ Saya sudah menua, sudah pensiun. Tidak bisa lagi apel pagi. Tidak bisa berbaris berdiri tegak seperti dulu. Tidak lagi lantang bernyanyi. Hanya menunduk lesu. Menikmati dunia di masa masa kahir hidupku. Minum jamu pun hanya placebo, sia sia lah. Menikmati dunia dari jauh dalam lamunan, Nggak usah berprasangka macam macam”.

Alamiah, nggak seperti waktu masih dinas aktif, harus berdiri tegak setiap pagi. Selalu siap menjalankan perintah. Terutama dari ibu, sebelum berangkat kantor.

Giliran burung cocak rawa bercerita. Dia menjadi klangenan tokoh yang masuk orang terkaya di Indonesia yang namanya muncul hampir tiap hari di TV karena baru saja kawin lagi dengan seorang penyanyi muda usia. Ramai di pengadilan. Ramai di TV dan media masa.

“Bapakku tenang sekali orangnya. Kaya dan ngganteng. Ibu pertamaku sangat cantik dan anggun. Tetapi suka nylentik saya. Saya nggak berani berdiri jika ada ibu. Lain dengan ibu muda ini sekarang. Penyanyi ndangdhut. Selalu menyanyikan lagu untukku dengan mesra Wahai Kau Burung Dalam Sangkar. Dapatkah Kau Menahan Siksa ? Ibu muda ini nggak pernah nylentik, tetapi malah membelai belaiku setiap saat. Geliiiiii deh “.

Apapun yang terjadi di pengadilan, burung cocakrawa ini hanyalah menjadi obyek atau alat sang induk semang. Tak bisa bersaksi. Tak bisa mengajukan keberatan. Tak bisa mengajukan kasasi. Apapun putusan pengadilan, sang burung cocak rawa harus tetap menjalankan tugas sebagai burung. Tunduk perintah sang induk semang. Nggak mau ikut ikutan pusing masuk siding, masuk acara TV.

Bagaimana cerita si burung nuri yang dimiliki seorang anggota DPR yang harus mundur dari jabatan karena foto pornonya beredar di masyarakat umum ? Bercerita dengan semangat tinggilah dia.

“Bapakku orangnya sangat cerdik. Dirumah saya harus tunduk menjalankan tugas sehari hari sebagai burung. Ya bernyanyi. Ya berbaris. Harus siap setiap saat. Siap tembaklah. Saya selalu diberi makan sambal pedas supaya bisa menyanyi lantang. Di luar rumah tugas saya juga sama. Siap menyanyi. Siap tembak. Kawan wanitanya tak suka pisang raja. Sukanya cabe pedas. Sama saya sayang sekali. Sering dicium dan di belai. Bahkan kadang2 di foto. Sering menyanyi lagu lagu revolusi. Semangat saya ikut berapi api. Tetapi geniiiiiiit ah, ini bukan jaman revolusi. Revolusi jaman edan “

Tiba giliran burung perkutut yang dimiliki seorang tokoh spiritual yang sering menjadi tempat para selebritis menmpahkan curhat dan meramalkan keberuntungan masa depan.

“Bapakku orangnya alim. Hanya para selebritis molek itulah yang sering datang konsultasi jika sedang dilanda prahara asmara. Selalu pakai sarung kalau pas menemui klien. Saya sering menderita kedinginan. Tetapi ya lumayanlah. Sering berdiri mengintip yang molek molek itu. Siapa tahu ada yang mau menyentuhku. Bapakku toh juga seorang manusia biasa. Mana tahanlah. Tidak disentuh nggak apa apa, disentuh ya sokur, apalagi dibelai. Rejeki kan datangnya lain lain, Terima saja apa adanya. Asyiiiiiiik lhooooo, Sori mek sori sori”.

Lain cerita burung kacer. Induk semangnya punya hobi keluyuran setiap malam. Karaoke, panti pijat, nite club dan yang lain.

“Sialan saya. Selalu capek kurang tidur. Boss selalu ngajak saya main keluar setiap malam. Keluar masuk daerah yang agak becek. Agak kumuh dan berbau. Badan rasanya sakit semua dipaksa kerja terus menerus. Tetapi lumayanlah. Boss sebenarnya sayang sama saya. Hanya mungkin kurang memiliki rasa peri perburungan. Yaah saya sih manut manut saja. Hidup sekedar menunda kekalahan. Nikmati saja apa adanya. Langit diluar yang indah, lorong yang gelap dan basah, bersatu dalam jiwa “.

Kok cerita burungnya jadi ngelantur ya ? Kadang2 burungpun harus didengar suaranya. Tak hanya jadi alat klangenan semata Bung. Hidup tak hanya untuk memelihara burung. Baah sementara saya dengar Nyi Ageng melantunkan lagu Wahai Kau Burung dalam Sangkar. Lagu indah kesayangan sejak masa muda.

Mohon maaf tak bermaksud mendiskreditkan siapapun dengan monolog burung ini.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat dalam Kolom kita Kompas Cyber 30 Januari 2008)

Monday, January 28, 2008

Untaian mawar merah

Jam menunjukkan hampir pukul 11 malam ketika kami sampai di rumah. Malam Minggu. Beberapa untaian mawar merah kami bawa pulang. Kenangan kami menerawang bersama mawar warna merah kelam itu. Warna sendu. Nyi sibuk mencari vas bunga warna putih yang dibeli beberapa waktu lalu. Untaian untaian mawar itu akhirnya tersusun rapi. Di meja di ujung ruangan. Hening membisu. Merah kelam. Ada beberapa warna putih di antaranya. Saya tak tahu apa nama bunga warna putih itu. Namun warna merah kelam itu begitu dominan. Kesunyian yang dalam membawa angan kami menerawang bersamanya.

Kami barusan keluar tadi jam sembilan. Berjalan menikmati udara malam. Melihat langit dan bintang. Menelusuri Roxas Boullevard, Macapagal Avenue, melewati Asia Mall yang megah dan sibuk. Pulang lewat Aristocrat, di taman Rajah Suleiman. Banyak orang berlalu lalang, berkumpul menikmati udara malam. Restoran Aristocrat masih nampak penuh manusia. Banyak turis nampak berjalan kaki di trotoir di muka taman. Beberapa kereta kuda nampak berbaris. Saya selalu berhati hati lewat daerah ini. Nampak asri tetapi kadang mencelakakan. Seekor kuda binal pernah meloncat ke atas kap mobil saya. Untung di bayar asuransi.

Saya harus memperlambat mobil dan berhenti menunggu ketika sekelompok turis tawar menawar dengan seorang anak penjual bunga. Mereka menutup simpang jalan. Saya hanya bersabar dan berpikir mengapa mereka nggak menepi. Kelompok turis berlima itu berlalu meninggalkan anak kecil yang terperangah di persimpangan jalan. Transaksi kelihatannya gagal. Hati saya berdesir ketika anak lelaki umur kira2 sepuluh tahun itu membalik ke arah kami. Wajahnya begitu mirip almarhum. Waktu berlalu begitu cepat. Ketika saya berbelok ke kanan, sebuah kereta kuda menerjang si anak malang penjual bunga itu. NYI menjerit lirih. Saya melihat wajah anak itu sekali lagi. Dia bangun dengan wajah sangat terkejut. Untaian untaian mawar itu terserak di persimpangan jalan.

Kelompok turis itu hanya berlalu, tak berusaha menolong. Tukang kereta juga tak berusaha turun. Si anak susah payah mengumpulkan kembali untaian untaian bunga yang terserak. Saya membelokkan mobil ke kanan mencari ruang parkir. NYI bilang pelan, wajahnya seperti almarhum Moko. Saya terdiam. Saya tak berani mengatakannya. Membuka luka lama dan rasa rindu yang mendalam. Akhirnya kami berusaha melihat anak itu kembali. Sesudah memarkir mobil dengan aman, kami berjalan ke simpang jalan. Persimpangan celaka, dimana dulu mobil saya juga dipecundangi seekor kuda binal.

Simpang jalan itu sudah kembali normal. Kendaraan lalu lalang seperti biasa hari Sabtu malam. Orang berjalan menikmati hawa dingin malam hari. Kami tanyakan di mana anak penjual bunga yang ketabrak kereta kuda tadi ? Tak ada yang menjawab. Seolah peristiwa kecelakaan itu sudah menjadi bagian hidup keseharian di persimpangan jalan itu. Anak anak berjualan di simpang jalan. Mengharapkan sesuatu untuk membantu orang tuanya. Bencana dan keberuntungan seolah menyatu dalam nasib dan jiwa. Mereka hanya sekedar mengikuti perjalanan waktu. Mencoba untuk bertahan hari itu.
Akhirnya kami menemukan anak kecil itu. Umurnya mungkin antara sepuluh sampai dua belas tahun. Perawakan agak tinggi agak gemuk. Matanya seolah begitu lekat dalam ingatan kami. Kami berusaha menahan perasaan.

“Berapa untaian mawarmu anak muda ? Dia menjawab dengan penuh harap, matanya berbinar. Saya berkesan ada harapan dan keraguan di matanya. Mencoba meyakinkan kami. “Saya punya banyak untaian mawar segar tuan. Silahkan mau ambil berapa”. NYI mengambil semua untaian mawar merah yang dia punya. Ketika NYI memberikan uang untuk membayarnya, dia berkata “Saya tak punya uang kembalinya”. NYI menyahut singkat “ Itu untuk anda”. Saya menukas “ Hati hati di persimpangan jalan. Di sini berbahaya”. “ Terima kasih sekali Mom & Tuan”.

Kami cepat beranjak dari tempat itu. Masuk ke restoran Aristocrat. Penginnya cuma minum kopi. Tetapi malah pesen Halo Halo, es teller campur khas Filipina. Kami bicara lirih. Angan angan kami melayang dalam kerinduan yang dalam. Kerinduan masa masa indah bersamanya. Waktu telah berjalan. Sampai nanti di akhir perjalanan waktu, kenangan indah itu akan tetap berada di hati kami masing masing. NYI sembahyang tahajud sementara saya menulis catatan ini.

Untaian mawar merah. Sampaikan salam dan kasih sayang kami kepadanya. Dimanapun dia berada. Di alam yang tak berbatas waktu. Hanya doa, cinta dan kerinduan kami yang selalu menemuinya. Bukan pula kesedihan yang kami sebarkan. Kami mengenangnya setiap waktu, saat saat indah bersamanya yang telah lama berlalu.

Salam mawar merah.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 28 Januari 2008)

Friday, January 25, 2008

Nyanyian dari langit - mengingat mbak Tie

Lebih lima puluh tahun lalu. Kami bernyanyi riang. Bertepuk. Bersorak. Berlari. Bersembunyi. Di manapun angan angan terbang. Melayang tak bertepi. Tak terhalang bukit. Tak terbatas lautan. Hanya gembira dan bahagia. Langit dan awan, bukit, gunung dan lembah adalah padang pengembaraan angan yang tak ada batasnya. Tiba tiba saja dia muncul. Seolah datang dari langit, dari balik awan. Gadis kecil berpakaian warna lila. Dia menyanyikan lagu indah. Lagu tentang cinta, tentang kasih, kasih ibu.

" Salam sayang adik adikku. Aku kakakmu. Namaku Atie. Aku datang menengokmu. Ingin main bersamamu".

Rambutnya keriting halus. Wajahnya bersih lembut. Kugapai tangannya. Ingin kupeluk tubuh mungilnya. Dia menjauh, makin menjauh. Semakin samar, dia menghilang di balik awan. Menghilang di langit. Ke ketiadaan yang abadi. Aku terlolong menangis terbangun dari mimpi. Ibuku hanya berbisik, memeluk dan membujukku agar tenang. Saya minum air putih dan tidur kembali. Saya tak mempersoalkan kembali tentang mimpi itu. Hari hari berlalu wajar. Walau saya kadang teringat mimpi itu, dan nama gadis kecil itu, mbak Tie.

Suatu saat kemudian pagi pagi saya dan adik saya makan kueh moho warna warni merah putih. Kami belum bersekolah saat itu. Duduk duduk di dasar pintu menghadap ke timur. Ke arah tratag rambat yang menuju ke dapur. Ibu saya biasanya diam saja. Tiba tiba dia teriak dari dalam kamar.

"Nggak boleh duduk di pintu itu. Pindah ke ruang depan". Tak habis pikir saya oleh karena pintu itu jauh lebih strategis. Masih di dalam ruangan belakang ke arah dapur. Pintu depan langsung menghadap ke luar. Rasanya tidak aman untuk kami. Setiap kami duduk di pintu itu ibu saya selalu melarang tanpa saya ketahui sebabnya. Beberapa waktu kemudian saya coba bertanya mengapa kami tak boleh duduk di pintu itu. Dengan singkat dia mengatakan.

"Kakakmu Tie, dulu setiap pagi selalu duduk di pintu itu makan kueh. Melihatmu di pintu itu, selalu membuatku sangat merindukannya".

Ibu akhirnya bercerita bahwa kakak saya itu bernama Woro Hadiati. Dia anak kedua. Mungkin lahir sekitar tahun 1939. Dia meninggal dalam umur sedikit di atas dua tahun. Karena difteria. Ibuku tak pernah lagi bercerita tentang mBak Tie. Mungkin terlalu sibuk mengasuh kami semua. Kami bersembilan sesudah meninggalnya mBak Tie. Bapakku juga tidak pernah menyinggung atau menceritakan tentang kakak saya. Tak ada gambar, tak ada foto, tak ada cerita yang tersisa. Saya berjumpa dengannya dalam mimpi. Mimpi tentang langit. Hanya itu ingatan yang tersisa. Ketika dia datang dengan nyanyian dari langit. Bapak ibuku sibuk dengan irama hidup sehari hari. Juga kami menjalani kehidupan yang hangat sejak masa kanak kanak. Banyak terlupa sosok mBak Tie.

Kami selalu menikmati langit, menikmati gunung dan bukit, dan lembah yang indah. Ambarawa adalah lembah yang sangat indah bagiku. Dua gunung sejoli, Telomoyo dan Gajah Mungkur selalu teguh dihadapan pandangan kami seolah menjadi pelindung yang abadi. Kami bersaudara hanya tinggal di Ambarawa sampai tamat SMP. Sesudah itu harus berpencar untuk meneruskan sekolah masing masing. Dan sampai akhirnya memang harus hidup dengan keluarga masing masing. Kisah tentang kakak saya Woro Hadiati seolah tenggelam dalam perjalanan hidup masing masing.

Saya pernah mendengar Bapak menyinggung mbak Tie, sewaktu kami mengunjungi makamnya. Makam kecil sendirian di atas bukit. Dia mengeluh

"Singkat sekali umurmu nDuk. Belum sempat menimang dan mencumbumu. Sendirian engkau di sana, sepi sekali". Saya masih ingat sewaktu saya di SMP, ibuku juga pernah berucap. Ibuku duduk di muka rumah memandang ke dua gunung jauh di sana. Pandangannya menerawang ke langit lepas.

"Seandaninya kakakmu Tie masih ada, mestinya dia sudah berkeluarga ya. Saya sudah punya cucu".

Kebetulan waktu itu belum lahir satu orang cucupun. Di luar peristiwa peristiwa kecil itu, kami semua selalu hening terdiam tentang mbak Tie. Dia berada jauh di sana, di langit, di balik awan. Bapak dan ibu tidak pernah bercerita, tidak pernah mengucap apa apa tentangnya. Hanya kisah masa lalu yang telah tenggelam dalam perjalanan waktu.

Di awal tahun 1982, saya berangkat menyelesaikan tahap akhir program doktor di Newcastle (UK). Ibu menginap di rumah di Yogya beberapa hari menjelang kami berangkat sekeluarga. Pas saya pamit, dia memelukku erat erat dan berkata

" Hati hati ya. Saya pengin menunggumu kembali".

Saya tak bisa berbincang lama lama. Hening. Beberapa bulan kemudian pagi pagi sekali saya ditelpon kalau ibu dalam keadaan gawat di rumah sakit. Lemah jantung. Hati saya berdesir keras, mungkin kami tak akan bertemu lagi. Benar. Beberapa hari kemudian saya ditilpun kakak saya kalau ibu sudah pergi selamanya. Beberapa saat sebelum kepergiannya dia berpesan.

"Saya masih ingin menunggumu semua. Tetapi kakakmu Tie kasihan. Dia sendirian di sana berpuluh tahun. Tempatkan saya disisinya ya".

Sesuai permintaanya ibu dimakamkan disamping makamnya mBak Tie. Makam mungil di atas bukit. Moga moga dia tidak kesepian lagi. Selang kira kira dua belas tahun sesudah kepergian ibu, bapak juga meninggalkan kami dan cucu cucu selamanya. Meninggal dengan sangat tenang. Tiga hari sebelum kepergiannya, dia nampak sehat sekali dan datang ke rumah saya di Yogya diantar adik saya. Tak biasanya dia salaman dan memeluk saya. Sesudah pamitan dan menuju mobil, dia kembali dan memeluk dan menjabat tangan saya. Di Ambarawa beberapa hari terakhir dia selalu minta adik adiknya kumpul di ruma. Tepat pada tanggal 1 Syura. Siang hari setelah makan siang istirahat tidur. Ternyata pergi selamanya dalam tidur. Adik dan kakak saya tak percaya kalau dia sudah tak ada ketika menjenguk kamarnya sesaat kemudian. Yang saya ingat waktu itu, ketika di Yogya dia bilang

"Jika saya meninggal, makamkan saya disamping kakakmu Tie. Dia sendirian di sana menungguku puluhan tahun" .

Mereka bertiga istirahat berdampingan di bukit Penggung. Hening, sunyi dan damai. Anak saya Moko menyusul kemudian, dibaringkan sedikit dibawahnya. Jasad mereka beristirahat selamanya. Moga moga mereka selalu bersama dan berbahagia di sana. Mereka mungkin tak akan kesepian lagi. Bersama dalam damai dan kehidupan yang abadi.

Nyanyian dari langit. Ternyata kasih ibu dan bapak terhadap anak tak akan lekang oleh waktu. Tak akan hilang dalam perjalanan waktu. Walau tak pernah terucapkan lagi, kisah tentang mbak Tie, ibu dan bapak akhirnya minta beristirahat disampingnya di akhir perjalanan hidupnya.

Nyanyian tentang kasih untuk Mbak Tie dan Moko tersayang. Untuk Bapak dan Ibu. Nyanyian yang abadi. Nyanyian dari langit.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber, 25 January 2008)

Friday, January 18, 2008

Kutunggu kau di kaki bukit

Menjelang musim kering di tahun 1973. Hampir petang ketika mereka tiba di dusun itu. Matahari meredup. Sinar keemasan memantul dari permukaan bengawan. Dusun itu terletak di tepi bengawan. Senyap. Hanya suara hewan yang kadang terdengar. Suara lembu melenguh di kandang. Anak anak kambing mengembik mencari induknya. Bau kotoran sapi dan rumput yang dibakar menyebarkan aroma khas pedesaan. Angin bertiup lembut. Sepi dan damai.

Mereka datang bertiga. Bambang, Andi dan Maslan. Di dusun itu mereka harus menyelesaikan tugas lapangan. Tak bisa dihindari untuk syarat tugas akhir sebelum lulus. Mereka tiba di dusun itu naik ojek dari Sragen. Berangkat dari Yogya pagi harinya, naik bis. Tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Jalan berbatu di daerah perbukitan memang tak memberi suasana akrab kepada siapa saja yang datang. Juga dusun itu begitu senyap dan acuh. Seolah berkata jangan ganggu kami. Biarlah semuanya berlalu senyap seperti apa adanya. Tukang ojek mengantar mereka ke rumah tua di ujung desa.

“Mas sampeyan akan tinggal bersama di rumah Bu Manten ?”, tanya salah seorang tukang ojek.

Bambang mengangguk ringan. Tak ada obrolan lebih lanjut. Rumah tua itu berhalaman luas. Ada beberapa pohon nangka yang rindang di halaman. Salah satu tukang ojek, Kelik ternyata putra Bu Manten, si empunya rumah tua. Umur Kelik sekitar tujuh belas tahun. Masih sekolah di salah satu SMA swasta. Pagi sekolah, sore narik ojek. Nampak sangat pendiam. Terkesan sangat enggan bicara.

Mereka disambut Bu Manten. Dingin dan tak banyak bicara. Wajahnya pucat. Usianya kurang lebih separoh baya, belum nampak tua benar. Ada pendapa luas di depan rumah induk. Ada beberapa ruang di samping kiri rumah induk. Mereka tinggal di kamar di samping pendapa itu. Kamar sederhana khas rumah pedesaan. Tetapi terawat bersih. Selama tiga minggu harus tinggal di kamar itu. Sumur dan kamar mandi terletak di belakang, di bawah pohon beringin yang rindang.

Hari hari berikutnya mereka langsung terlibat kegiatan tugas lapangan. Ada berbagai proyek dan kegiatan yang harus dilakukan. Penyuluhan, kerja bakti, kunjungan rumah ke rumah, pertemuan warga, membantu warga menata jalan desa dan masih banyak lagi. Tak ada waktu yang terluang. Kesempatan duduk bersama hanya di sore hari. Di rumah pondokan rumah tua Bu Manten. Malam sering harus mengikuti pertemuan dan rapat warga.

Hari berganti hari, waktu berlalu cepat. Tak ada yang istimewa. Suatu malam Bambang mendengar Kelik mengigau dalam tidurnya. Dia tidur di kamar seberang di rumah induk. Semula biasa saja seperti orang mengigau. Menggumam pelan. Tetapi lama lama semakin jelas berkepanjangan. Selang seling dengan tangis dan jeritan memanggil seseorang. Berlangsung beberapa menit. Kemudian kembali senyap. Ternyata Kelik tak hanya sekali itu mengigau dalam tidurnya. Dia sering sekali mengigau berkepanjangan dalam tidurnya.

Bambang pernah menanyakan ke Kelik, tentang mimpinya. Tak memperoleh jawaban. Bu Manten hanya mengatakan, Kelik memang punya kebiasaan mimpi buruk sejak enam tahun lalu. Bambang, Adi dan Maslan mula mula merasa terganggu ketika malam malam Kelik mengigau berkepanjangan. Kadang begitu jelas seolah Kelik bicara dengan seseorang.

“Kakang, kau bilang kan, akan menungguku di gardu di kaki bukit itu. Mengapa kau pergi ? Mengapa tak mau menungguku ?”” Gumam Kelik bercampur rintihan tangis.

Suaranya sendiri menjawab. “ Dhi, kau menunggu ibu. Itu pesan bapak. Saya pergi menemani bapak”.

“ Ibu tak apa apa. Saya boleh menyusulmu Kang. Tetapi kau tak mau menungguku. Kau tak ada di gardu. Kau pergi tak menungguku. Juga bapak”

“ Dhi saya tak meninggalkanmu. Saya menemani bapak. Kasihan Bapak kan. Kita berbagi tugas ya”.

“ Sakit ya Kang ? Takut ya ? Mengapa sampai hati mereka menyakitimu ?

“ Tak ada yang sakit. Tak ada yang takut. Saya pergi bersama bapak. Jangan menangis Dhi. Laki laki tak layak menangis”.

Di akhir igauannya biasanya Kelik selalu menangis sesenggrukan. Mula mula mereka bertiga selalu berusaha membangunkan dan menenangkannya. Tetapi sia sia. Bu Manten hanya akan memberi segelas air ke Kelik.

“Lik, tidurlah anakku. Besok harus sekolah”.

Hari hari berikutnya mereka terbiasa dengan igauan Kelik. Mereka seolah tak terganggu lagi. Tak juga berusaha menenangkan Kelik. Toh paling paling lima menit akan tenang kembali. Tidur kembali. Suatu petang mereka bertiga menjumpai Kelik di gardu. Di kaki bukit itu. Dia menangis sesenggrukan tak sadar diri. Seperti jika dia sedang mengigau dalam mimpi mimpi yang lalu. Mereka membimbing Kelik pulang ke rumah. Kejadian itu juga berulang beberapa kali.

Bambang, mahasiswa kedokteran . Dia hanya menyimpulkan bahwa Kelik mempunyai gangguan tidur. Gangguan mimpi. Biasalah manusia memang sering banyak mimpi. Dikuasai mimpi. Pendapatnya berubah total ketika di malam terakhir Bu Manten bercerita. Cerita tentang peristiwa yang menakutkan itu. Kejadian tujuh tahun sebelumnya yang seolah tak pernah hilang dari ingatannya.

Waktu itu suasana begitu mencekam sesudah peristiwa 1965. Banyak tetangga yang hilang tak pernah kembali. Pak Manten adalah ketua barisan tani yang menjadi anak organisasi kiri di desa itu. Bu Manten dan pak Manten selalu ketakutan. Jangan jangan akan ada rombongan tak diundang datang. Telah beberapa kali ada serombongan pemuda yang datang ke rumah mereka. Pak Manten dan Bu Manten selalu menyambut mereka dengan hangat dan menjamu sebagai tamu. Hampir semua anggota rombongan itu mereka kenal baik semua. Biasanya mereka akan segara pamitan kembali. Rupanya tak sampai hati mengambil pak Manten, mantan Lurah yang mereka segani

Sampai suatu sore ada rombongan lain. Pemuda dari lain desa dengan sekelompok aparat. Mereka datang dengan truk. Diantar pak Lurah. Dengan sigap kepala rombongan itu mengatakan bahwa pak Manten dipanggil komandan. Diajak ke balai desa di dusun sebelah. Bu Manten terduduk lemas. Kelik menangis tak tertahankan.

“Bapak mau dibawa kemana ? Saya ikut Bapak”

Kakak Kelik, Sardon mencoba memenangkan adiknya.

“Dhi, tak usah menangis. Kau tinggal di rumah. Kau temani ibu. Saya pergi menemani Bapak ya?”

“Kang, tunggu aku ya di gardu itu. Di kaki bukit itu. Jangan pergi lebih jauh”

“ Akan kutunggu kau di sana. Jangan menangis Dhi. Tak ada yang akan memisahkan kita. Kita tak akan berpisah”.

Kelik masih berumur lebih sepuluh tahun waktu itu. Masih manja baik ke orang tuanya, maupun ke kakaknya, Sardon. Sardon berumur empat belas tahun. Hubungan kakak beradik itu sangat rukun dan akrab. Ketika ibunya tenang kembali. Kelik berlari menyusul kakaknya yang pergi bersama rombongan itu. Gardu itu ternyata kosong. Tak ada siapa siapa. Para tetangga hanya terdiam tak ada yang menoba memberitahunya. Kelik menangis berkepanjangan memanggil-manggil bapak dan kakaknya. Mereka telah dibawa pergi. Seorang tetangga memberi tahu Kelik untuk pulang saja. Bapak dan kakaknya, Sardon ternyata tak dibawa ke balai desa. Tetapi dibawa ke arah bengawan. Kelik hanya meraung menangis berkepanjangan pulang ke rumah. Menemui ibunya yang terduduk lemas menangis di ruang tengah.

” Ibu mereka membawa Kakang dan bapak ke bengawan. Mengapa mereka sampai hati membawa ke sana Bu?

Mereka tak sanggup membayangkan apa yang terjadi. Bapak dan kakak Kelik tak pernah kembali sejak sore itu. Banyak orang hilang secara paksa di tepi bengawan itu. Mereka kehilangan orang yang dicintai secara paksa. Sejak peristiwa itu Kelik selalu mengigau dalam tidur, selalu menangis. Kadang duduk terpekur di tepi bengawan. Menatap air bengawan yang telah terkotori. Bukan hanya oleh cemaran lingkungan. Tetapi oleh darah, oleh kebuasan dan keberingasan. Kelik tak mampu menghilangkan ingatan mengerikan itu dari alam bawah sadarnya.

Esoknya Bambang, Adi dan Maslan berpamitan meninggalkan dusun itu. Bambang hanya bisa berpesan ke Kelik supaya bertahan. Sekolah terus membahagiakan ibunya. Kelik hanya mengangguk lemah. Matanya basah. Kata katanya sesak keluar.

“Saya hanya akan menemani ibu, Itu saja ”.

Bambang berpesan, dia juga punya tugas lain. Meskipun tugas menemani ibu nantinya akan selesai.

“Jangan hanya berhenti disitu. Masih ada tugas lain. Tugas untuk hidup terus. Tugas sebagai manusia”

Ketika mereka berjalan meninggalkan desa, matahari sangat cerah. Angin kepagian menyapu sejuk. Bambang berpikir, semua keindahan dan kedamaian ini hanyalah menutupi riwayat keberingasan dan kesedihan keluarga yang kehilangan.

Saya menutup tulisan ini sesudah terhenti beberapa minggu. Sangat berat mengungkap kisah yang disampaikan teman satu kelompok di bangku kuliah, Bambang. Dia pernah mengajukan kasus Kelik dalam diskusi di ko-skap psikiatri. Bambang juga telah mendahului pergi selamanya beberapa tahun lalu. Namun kisah kesedihan di tepi bengawan itu tak akan terkubur begitu saja dari ingatan saya. Pasti juga dari ingatan Kelik dan para keluarga korban. Saya sendiri tak pernah bertemu Kelik. Hanya mendengar dalam diskusi kasus dari almarhum Bambang.

Namun bengawan itu selalu marah sepanjang masa karena ulah manusia, Meninggalkan kutukan dan penderitaan banjir setiap musim hujan. Tercemar erosi, kotoran, darah dan kesedihan. Meskipun kita senantiasa mencoba menyanyikan lagu indah tentangnya “Bengawan Solo”.

Salam damai dan selamat tinggal kesedihan.

Ki Ageng Similikithi (bs2751950@yahoo.com)

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber, 17 Januari 2008)

Sunday, January 6, 2008

Bunuh diri di Gunung Kidul dan mitos pulung gantung?

Sambil terisak, beberapa perempuan berkerudung yang sebagian besar berusia setengah baya itu memandikan jenazah EA (17) yang terbujur kaku, di dalam sebuah bilik khusus berdinding dari bentangan empat lembar kain batik. Puluhan pelayat yang datang sejak tengah hari, juga masih setia menunggu. Mereka duduk menyebar, ada yang di bawah tenda, pepohonan, dan kayu-kayu rangka bekas rumah yang rusak oleh gempa bumi 27 Mei 2006. Di salah satu sudut pekarangan yang lain, sebagian lelaki sibuk mempersiapkan segala peralatan untuk pemakaman. Suasana duka begitu terasa di rumah Karto tumiran (80-an), warga Dusun Pugeran, Patuk, Gunung Kidul, Provinsi DI Yogyakarta, Sabtu (30/6) sore.Lantunan ayat suci yang terdengar dari sebuah pemutar tape memecahkan kesunyian kawasan pegunungan yang berjarak sekitar 17 kilometer arah timur Kota Yogyakarta. Kabar meninggalnya EA, siswi kelas II sebuah SMK negeri di Kota Yogyakarta, cukup menggemparkan. Tubuh gadis itu ditemukan kakeknya, Karto Tumiran, sekitar pukul 10.00, dalam keadaan tergantung pada kerangka pintu rumahnya
(http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0707/02/utama/3646390.htm).

Tulisan di atas adalah cuplikan berita yang dimuat di harian Kompas di pertengahan tahun 2007. Sebagai berita mungkin sudah basi. Tetapi masalah bunuh diri di kabupaten Gunung Kidul tak akan pernah basi. Masalah terjadinya kasus bunuh diri yang sering terjadi berurutan di daerah Gunung Kidul, sudah di ketahui sejak beberapa puluh lalu. Menyisakan banyak misteri, banyak pertanyaan untuk kalangan profesi dan ilmiah, dan meninggalkan kesedihan untuk keluarga yang ditinggal. Angka kejadian bunuh diri di kabupaten Gunung Kidul sebesar 9 per 100 000 penduduk per tahun, jauh lebih tinggi dari kejadian di Jakarta yang hanya kurang dari 2 per 100 000 per tahun. Yang lebih menyedihkan, di tahun tahun terakhir peristiwa bunuh diri ini banyak mengenai anak anak sekolah, seperti gadis EA cucu dari mBah Karto Tumiran tadi. Wanita yang saya ceritakan dalam tulisan saya yang lalu, melakukan bunuh diri karena depresi sesudah persalinan dan kehilangan bayi yang baru dilahirkannya.

Apa sebenarnya yang terjadi ? Jelas bunuh diri merupakan fenomena yang sangat kompleks yang melibatkan banyak faktor penyebab, termasuk faktor psikologis, biologis, sosio kultural. Saya tak berpretensi sebagai ahli antropologi atau ahli psikologi/psikiatri yang mempunyai kompetensi menganalisis masalah ini secara tuntas. Saya hanya ingin mengingatkan kembali mengenai masalah bunuh diri, dan perlunya upaya pencegahan, terlebih di Gunung Kidul. Diperlukan analisis yang mendalam mengenai faktor faktor yang berperan dan diperlukan pengembangan program yang komprehensif untuk mencegah kejadian bunuh diri. Selama puluhan tahun masalah bunuh diri di Gunung Kidul ini telah menjadi bahan diskusi dan analisis. Seharusnya kejadian ini dapat ditekan serendah rendahnya.

Di masa lalu di kalangan masyarakat Gunung Kidul, terutama yang tinggal di pedesaan, ada mitos pulung gantung. Pulung artinya wahyu. Di waktu malam hari masyarakat sering melihat sinar merah yang bergerak di atas bukit yang kemudian akan turun di salah satu rumah penduduk. Banyak anggota masyarakat yang masih percaya bahwa penghuni rumah yang kejatuhan pulung gantung, dia ditakdirkan untuk meninggal dengan cara menggantung diri. Jika salah satu penghuni rumah tadi percaya akan mitos ini atau jiwanya dalam keadaan tidak stabil, maka dengan serta merta dia akan melakukan bunuh diri oleh karena percaya bahwa ini sudah menjadi takdirnya.

Jika warna sinar tadi kebiruan maka dipercaya bahwa yang kejatuhan akan mendapatkan wahyu, misalnya dapat lotere, kepilih PILKADA, dan sebagainya. Mitos ketiban wahyu (kejatuhan wahyu) yang ditandai dengan jatuhnya sinar dari angkasa di atap rumah memang dikenal dalam kepercayaan Jawa. Tetapi umumnya bersifat positip, tanpa membedakan warna sinarnya. Di Gunung Kidul, mitos ini agak lebih canggih, kalau warna biru kehijauan, wahyu positip. Kalau warna merah, suratan takdir untuk bunuh diri. Ya kalau mau percaya mitos sebenarnya nggak perlu yang canggih2. Terima saja apa adanya, apapun warna sinar yang jatuh, anggap itu wahyu.

Saya sendiri pernah melihat dengan mata kepala sendiri akan adanya sinar ini, sewaktu praktek ko asistensi kesehatan masyarakat di Mangunan, Gunung Kidul. Sinar warna kebiruan itu hanya berjarak kira kira dua tiga ratus meter dan nampak jelas di atas bukit. Cuma statis dan tak bergerak, besarnya tak sampai sebesar bola sepak. Kesan saya ini adalah fenomena alam biasa, suatu fenomena fisika atau biologis. Tak tahu pastinya. Mungkin kumpulan gas metana, mungkin binatang yang mengandung fosfor.

Di Ambarawa di tahun enam puluhan, saya pernah melihat ulat hidup sebesar ibu jari tangan, yang dari jarak seratus meter di malam hari nampak memancarkan sinar kebiruan yang amat tajam. Binatang itu pasti mengandung fosfor seperti halnya kunang kunang. Di malam hari kotoran sapi yang dibakar kadang menampakkan sinar kebiruan karena gas metana. Saya mengenal fenomena gas metana ini di Ambarawa dan di Beringin di tempat kakek saya. Bau kotoran sapi yang mengeluarkan metana kadang2 tercium dari jauh, sebelum kita memasuki desa. Baunya sangat khas dan agak harum adiktif.

Banyak kalangan yang juga menyangsikan fenomena pulung gantung ini sebagai penyebab bunuh diri. Dalam analisisnya seorang peneliti dari UGM menyimpulkan bahwa kasus kasus bunuh diri di Gunung Kidul lebih erat berkaitan dengan kemiskinan, kekeringan dan kesulitan hidup sehari hari. Kasus kasus bunuh diri lebih banyak terjadi di daerah daerah yang sangat kering, miskin dan sulit. Di tahun enam puluhan Gunung Kidul memang terkenal tandus dan rawan kelaparan. Tetapi perbaikan ekonomi selama beberapa tahun terakhir ternyata tak juga mampu mencegah kejadian bunuh diri. Masih banyak faktor psikologi dan psikiatrik yang tak membaik hanya semata mata dengan perbaikan ekonomi.

Apapun penyebabnya perlu dikembangkan program pencegahan. Sebagian besar pelaku bunuh diri juga menderita masalah psikiatrik depresi yang mudah dikenali oleh keluarga dan lingkungannya. Dan sebagian besar pelaku bunuh diri pernah menyatakan hasrat untuk bunuh diri atau menunjukkan gejala yang gampang dikenali sebelum melakukan bunuh diri. Orang orang seperti ini, juga termasuk yang percaya mitos pulung gantung tadi perlu mendapatkan pendampingan secara psikologis dari lingkungannya. Jika merasa kejatuhan pulung gantung, yang bersangkutan perlu diyakinkan bahwa itu adalah fenomena alam biasa dan tak menakdirkan yang bersangkutan untuk bunuh diri. Jika ada yang menderita mania luar biasa yang tak wajar, percaya akan dipilih jadi bupati setelah melihat sinar kebiruan di kandang sapi, katakan saja itu sinar dari metana tahi sapi bukan wahyu untuk jadi bupati. Jagi bupati tak cukup bermodalkan wahyu dari tahi sapi.

Pendidikan terhadap masyarakat akan kesehatan mental juga memegang peran penting, terutama untuk guru guru, jika target intervensinya adalah anak anak sekolah. Sering tindakan guru menyebabkan stress yang berlebihan pada anak didik. Banyak kebiasaan yang nggak pas sering dijumpai di kalangan masyarakat. Kalau ada anggota keluarga yang menderita depresi, sering cepat cepat dinikahkan supaya sembuh. Padahal dalam banyak hal, perkawinan kadang malah menambah depresi.

Sekali lagi tulisan saya hanyalah menggugah akan masalah bunuh diri, terutama di Gunung Kidul. Mungkin ada Kokiers yang ahli psikiatri yang mau nyumbang tulisan.

Salam sejahtera moga moga dapat wahyu di tahun baru.

Ki Ageng Similikithi

(dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 2 Januari 2008)