Thursday, October 25, 2007

Topi tak selalu bundar

Salam dari bandara Svarnabhumi, Bangkok. Dalam perjalanan dari Phnom Penh ke Manila. Pagi tadi keluar dari hotel agak pagi, jam 0700, walaupun pesawat berangkat baru jam 10 lewat. Sebelum ke bandara lewat jalan raya 199, mau singgah ke tempat yang saya kunjungi semalam. Topi saya ketinggalan. Topi itu harganya nggak seberapa. Tetapi ada beberapa kisah menarik berkaitan dengannya. Saya beli di warung makan bandara Solo beberapa tahun lalu. Saya beli tiga topi, yang satu dengan merek bandara Adisumarmo, yang satu TNI AU dengan merk Sukhoi dan yang satu tanpa merk. Bentuknya sama seperti topi yang dikenakan para pilot.

Semalam ditilpun teman kalau ada yang punya batu safir Ratanakiri. Kami kemudian ke tempat yang punya batu. Tak banyak koleksinya oleh karena kalau asli memang jarang dan harganya selangit. Di Central Market kelihatan banyak sekali pilihan. Tetapi sebenarnya yang ada di sana sebagian besar adalah batu yang diproses atau tiruan. Ada dua safir Ratanakiri yang saya pilih. Saya belum punya jenis ini. Saya memang suka koleksi batu mulia. Topi yang saya cari ternyata sudah diantar ke hotel pagi tadi. Berselisih jalan . Untung salah seorang teman yang juga akan ke Manila, membawakannya ke bandara. Kali ini cerita saya bukan tentang batu tetapi tentang topi. Ada banyak cerita tentang topi yang mungkin menarik untuk direnungkan. Tentang batu lain kali saja ok akan lebih nges kalau di sertai foto. Sampai saat ini belum berhasil kirim foto ke Koki.

Bagi banyak orang topi mungkin sekedar merupakan asesori supaya penampilan lebih menarik. Tetapi di balik itu tentu ada fungs, entah melindungi kepala ( misalnya topi baja) atau sebagai lambang kebudayaan (misalnya blangkon). Masing masing jenis punya peran dan fungsi masing masing. Bisa dibayangkan betapa konyol jika dalam peralatan pesta perkawinan Jawa, topi blangkon diganti dengan topi baja. Atau dalam parade militer di hari Angkatan Bersenjata, topi baja diganti dengan blangkon.

Setiap jenis topi punya makna dan filosofi. Blangkon sebagai salah satu perangkat pakaian adat Jawa, juga berbeda antara Yogya dan Solo. Blangkon Solo tanpa tambahan hiasan telor (mondolan) di belakang. Tetapi blangkon Yogya, pasti ada mondolannya. Mungkin beberapa ratus tahun lalu, raja raja Solo kalau leyeh leyeh atau tiduran telentang selalu pakai blangkon. Sedangkan raja raja Yogya, kalau mau leyeh leyeh harus copot blangkon ok mondolan itu akan mengganjal. Nggak usah leyeh leyeh, pakai blangkon Yogya untuk nyopir pun selalu terganggu karena mondolan di belakang itu rasanya selalu mengganjal dengan sandaran kursi di belakang kepala.

Liburan lebaran kemarin saya bawa oleh oleh topi untuk cucu cucu saya, Rio (4 th), Laras (2 th) dan Karin (1.5 th). Masing masing 3 jenis topi anak anak yang masih ngetop modelnya. Rio sama Laras senang sekali pakai topi topi itu, apa lagi yang dengan bentuk kepala kelinci atau beruang. Tetapi Karin sama sekali nggak mau pakai, kalau di coba malah dibuang. Anak anak itu mungkin mempunyai persepsi yang berbeda akan topi. Orang dewasa juga punya persepsi dan kesukaan lain lain tentang topi. Tak semua orang suka topi.

Sewaktu kecil saya selalu memimpikan pakai topi. Perasaan saya seolah ada nilai lebih dengan topi di kepala. Sayang saya tak pernah dibelikan topi oleh orang tua saya. Sampai kelas 3 SR justru selalu plonthos alias gundul. Sehingga sering diledhek teman teman dengan lagu Gundul Pacul. Di kelas empat SR saya mencoba membuat topi sendiri, dari kulit batang pisang. Design bisa macam macam, bisa seperti bangkon, atau topi model kini. Sayang saya tak diijinkan memakai topi itu ke sekolah. Pengalaman memakai topi waktu kecil hanya kalau ke sawah, harus memakai caping untuk melindungi kepala dari panas mata hari. Jarang orang ke sawah tanpa caping. Panasnya sangat menusuk.

Pengalaman dengan topi yang agak membekas adalah sewaktu mahasiswa. Salah seorang teman saya dari Ponorogo, ayahnya pensiunan masinis. Topi peninggalan ayahnya, topi masinis, warna merah bundar, disimpan baik baik. Ternyata banyak gunanya. Saya pernah naik kereta api bersama dia ke Solo. Dia tak beli karcis. Ketika kondektur melakukan pemeriksaan karcis, teman saya ini pura pura tidur. Tetapi topi masinis almarhum ayahnya, didekap di dadanya. Ternyata ada pengaruhnya. Kondektur jadi ragu ragu untuk membangunkannya, dia berlalu saja meskipun nampak heran dengan topi itu.

Saya mulai suka mengkoleksi dan memakai topi sesudah lulus dan bertugas sebagai dosen. Jika bepergian selalu memakai topi, terutama topi warna gelap dengan model topi detektif. Mengapa suka pakai topi ? Ya hanya suka saja. Kakak saya juga selalu pakai topi. Jelas salah tujuannya untuk meningkatkan penampilan. Biar nampak beken mungkin.

Di awal tahun sembilan puluhan saya sering bolak balik ke Jakarta, sebagai konsultan proyek untuk Dep Kes. Biasanya nginap di Wisma Karya di depan rumah sakit Cikini di jalan Raden Saleh. Suatu sore saya pengin beli tahu goreng di depan RS. Saya pakai topi kesayangan saya, dan kebetulan pakai celana pendek. Si penjual ternyata nggak di tempat, baru ngantar pesanan ke dalam. Saya menunggu dengan sabar. Tiba tiba ada ibu ibu yang juga ingin beli tahu langsung bilang ke saya " Bang, tahunya dua puluh potong. Cepet ya, saya terburu buru". Asem, saya malah dikira penjual tahu. Dia baru sadar kalau keliru sewaktu si penual aslinya datang, "Maaf saya keliru", katanya. Tetapi waktu pergi, saya lihat dia menahan ketawa dengan temannya.

Tiga topi yang saya beli di Solo punya kisah menarik. Modelnya kayak topi pilot AU, sehingga dengan topi itu setiap kali saya masuk Navy Golf, mobil nggak pernah di geledah, malah penjaga selalu memberi hormat militer. Lumayan ngurangi waktu buka buka begasi. Yang payah kalau ada yang ngajak ngobrol tentang dunia militer, dikiranya saya pejabat militer dari Indonesia. Jika begini pelan pelan saya buka jati diri.

Yang aneh sewaktu kami akan ikut turnamen golf di salah satu klub private. Kami bertiga dengan teman orang Amerika. Salah satunya adalah boss di kantor saya. Dia yang membawa mobil ok mobil saya AC nya baru rusak. Di sebelahnya adalah teman sekantor , orang Haiti yang tinggi besar. Saya duduk di belakang dengan celana dan baju lengan panjang warna krem dan topi pilot bertuliskan Sukhoi.

Topi Sukhoi sebenarya hanya untuk psywar kalau mereka ngajak totohan main golf. Mereka berdua pakai seragam casual, celana pendek dan kaos pendek. Di pintu masuk klub, antrean mobil melambat ok ada pemeriksaan keamanan. Teman saya yang bawa mobil tanpa bilang a atau b, langsung bilang ke penjaga "We have His Excellency Ambasador and his bodyguard". Ternyata manjur, penjaga memberi hormat dan menyilahkan mobil kami masuk tanpa menunggu antrean. Begitu turun di pintu depan, penjaga membukakan pintu mobil dan memberi hormat militer. Saya sih manut manut saja, membalas dengan hormat militer. Teman saya berdua menggerutu habis habisan. Saya hanya bisa bilang ' It is not my fault, its your idea". Saya hanya manusia biasa, kadang juga seneng Petruk jadi Ratu. Kemarin malam di Phnom Penh, kami diajak ke ball room. Saya pakai topi itu, di pintu masuk penjaga keamanan memberi hormat militer. Tanpa sadar saya kok membalas juga dengan hormat militer. Anyway !

Kadang saya merenung. Topi ternyata bisa mengubah persepsi orang. Mengubah penampilan kita di mata orang lain. Kadang persepsi atau penampilan sok penting. Kadang persepsi dan penampilan budaya pop anak muda. Terserah anda pilih yang mana. Tetapi yang paling bijak adalah penampilan apa adanya. Apapun topi yang anda pakai. Topi memang tak selamanya bundar. Orang bisa mempunyai persepsi lain lain tergantung dari kesan masing masing.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi

(Kolom Kita Kompas Cyber Media, 26 Oktober 2007)

Tuesday, October 23, 2007

Arsitektur kota, baliho, spanduk dan umbul umbul.

Salam dari Phnom Penh. Kebetulan menghadiri rapat di ibu kota Kampuchea. Entah ke berapa kali mengunjungi kota yang indah ini. Bulevard di jalan utamanya nampak tertata asri, terutama Russian Boulevard. Bangsa Kamboja di masa lalu telah melahirkan arsitek2 unggul.. Bayangkan karya karya arsitektur kolosal mereka, seperti Angkor Wat dan Angkor Tom. Tak pernah lekang oleh waktu dan bertahan sepanjang jaman, paling tidak selama seribu tahun.

Saya selalu mengagumi karya aristektur kolosal. Karya cipta manusia yang penuh imaginasi dan intelektualitas. Jika anda berdiri di salah satu halaman candi Angkor, saya lupa yang mana, anda akan merasa kecil. Bangunan bangunan klasik itu sangat anggun, megah dan berwibawa. Mesin mesin berat yang dipakai untuk membantu renovasi, nampak kecil dan tak banyak daya berdiri dibawah bangunan bangunan kolosal itu. Pesan saya ke anak anak muda. Kunjungilah Angkor, di sana anda akan melihat puncak kejayaan arsitektur klasik Asia di luar Cina.

Saya juga menyenangi arsitektur tata ruang luar (landscape architecture), bagaimana menata letak suatu bangunan agar harmonis dengan alam sekitar. Bangunan klasik Asia selalu diletakkan dalam lingkungan begitu pas seolah menyatu dengan alam. Di manapun itu. Jika anda sempat berdiri di keraton Boko di sebelah selatan Prambanan, dan melihat kea rah utara, nampak pas sekali penempatan candhi Prambanan, candhi Sewu di bawah gunung Merapi. Begitu indah dan mengagumkan.

Saya membayangkan sang arsitek waktu itu dalam merencanakan bangunan bangunan tersebut, pasti dengan imaginasi luar biasa. Juga jika anda memandang titik lokasi candhi Gedhong Songo, titik titik lokasi itu seolah merefleksikan sesuatu. Diam tak bergeming sepanjang masa. Mungkin sang arsitek dulunya membayangkan lokasi bintang di langit.

Monumen Yogya Kembali di Yogya. Bukan hanya kebanggaan warga Yogya. Tetapi juga kebanggaan nasional melambangkan kembalinya Yogya ke tangan Republik. Saya pribadi tak bisa menyalurkan kebanggaan rasa nasionalisme ini menjadi kebanggaan akan karya seni arsitektur. Monumen tersebut dirancang dengan bentuk gunungan melambangkan asal mula cerita kehidupan dalam mitologi Jawa. Tetapi karya arsitekturnya tak memberikan pesan imaginer ini. Tak menggambarkan kebesaran dan keindahan alam. Jika anda melihat lokasinya dari udara, bangunan itu terkesan seolah menjadi benda asing di lingkungan alam sekitarnya

Arsitektur tata kota di Jawa juga selalu khas dengan adanya alun alun, pohon beringin, bangunan pendopo dan gedung pemerintahan di belakangnya.. Banyak arsitektur tata kota yang indah di Jawa. Temanggung, Banjarnegara, Magelang, Purworejo, Wonosobo hanya beberapa contoh kota ciri tata kota yang khas. Jika anda memasuki satu kota di Jawa pasti akan di sambut dengan gapura masuk yang masing masing kota akan berbeda.

Dalam tahun tahun terakhir setiap kali mengamati simbol dan cirri masing masing kota di Asia, saya selalu terusik dengan budaya pop masa kini yang mengganggu keasrian tata kota. Ciri arsitektur tata kota tertutup oleh iklan luar atau outdoor advertising. Bayangkan yang namanya spanduk, baliho (billboard) maupun umbul umbul yang selalu menutup keaslian keindahan tata kota. Gapura selamat datang ke satu kota kadang ditutup oleh baliho besar atau spanduk, lambang budaya konsumerisme masa kini.

Banyak ragam pesan visual yang terpampang, entah itu iklan komersial, pesan politik dari salah satu partai, pesan pendidikan untuk masyarakat. Tak semua isi pesan itu negatip sebenarnya. Tetapi sosok dan ukurannya agar mudah dibaca oleh massa yang menjadi target, telah demikian mengganggu keaslian ciri kota yang bersangkutan.

Salah satu contoh, beberapa tahun lalu, spanduk besar bergambar BH dengan merek tertentu banyak menghiasi jalan utama kota kota di Indonesia. Seolah memberi ucapan selamat datang bagi para pengunjung yang masuk kota kota itu. Belum lagi pesan pesan visual yang menyolok di billboard di tepi jalan utama masuk kota. Seolah kota kota itu menjadi milik produk produk komersial yang diiklankan. Bayangan untuk menikmati cirri arsitektur kota yang bersangkutan telah terenggut secara semena mena oleh gambar iklan.

Kadang ironis. Dalam pergaulan internasional ada semacam konvensi untuk mengurangi kebiasaan merokok, kota kota dan media massa kita dipenuhi dengan iklan merokok. Indonesia memang satu satunya negara di ASEAN yang tidak menanda tangani konvensi untuk mengurangi rokok, FCTC (Framework Convention of Tobacco Control, http://www.who.int/tobacco/framework/en/)

Rasa gemas selalu mampir ketika tepian jalan utama masuk kota dipenuhi dengan umbul umbul. Yang paling sering adalah umbul umbul milik partai politik. Seolah kota kota itu menjadi milik salah satu partai politik. Beberapa tahun lalu di masa jaya Orde Baru bahkan batang pohon di tepi jalan pun kadang kadang dicat dengan warna tertentu yang menjadi lambang partai. Keaslian alam pepohonan diperkosa oleh ambisi partai. Pohon beringin yang menjadi ciri arsitektur kota kota di Jawa direnggut begitu saja oleh kekuasaan menjadi lambang politik..

Fenomena dominasi iklan luar ini tak hanya menjadi masalah bagi kota kota di Indonesia. Dewan kota Sao Paolo melarang outdoor advertising terutama lewat billboard ok dianggap sebagai polusi visual (The Economist, 13 Oktober 2007). Gabungan pengusaha iklan jelas protes dan menempuh upaya hukum melawan larangan ini. Apapun hasilnya pemerintah pemerintah kota selalu menghadapi masalah dilematis oleh karena iklan iklan ini menjadi salah satu sumber pemasukan.

Jika tak mungkin dihilangkan tidak-kah ada alternatif lain untuk menempatkan iklan luar ini di lokasi yang tak mengganggu ciri arsitek tata kota ? Tak mudah untuk mencari alternative kompromistis. Tetapi kota kota yang saya selalu kagumi di Jawa, kebanyakan kota kota yang relatif kecil sehingga dominasi baliho, spanduk dan umbul umbul ini belum begitu merusak keindahan kota.

Salam damai, Ki Ageng Similikithi (Dimuat di Kolom Kita Kompas, 22 Oktober 2007)

Friday, October 19, 2007

Disiplin, tata tertib dan toleransi

Selamat berlebaran. Moga moga anda semua menikmati lebaran kali ini dan bertemu sanak saudara. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. Hanya beberapa hari saya di Yogya. Juga dalam rangka lebaran dan menghadiri acara lima puluh tahun ulang tahun perkawinan paklik saya, adik terkecil ayah almarhum. Acara sangat meriah kemarin siang, semalam dilanjutkan kumpul2 sambil berdansa ria di rumah tua, di Ambarawa. Mungkin akan saya ceritakan lain kali, jika ada kesempatan.

Beberapa hari di Yogya, sempat melihat arus mudik penumpang lebaran lewat tayangan televisi. Ada pemandangan yang sangat terbiasa, paling tidak selama empat puluh tahun terakhir. Penumpang yang berdesakan berebut tempat duduk di kereta atau bis antar kota. Banyak disiarkan oleh berbagai saluran televisi. Tak ada maksud untuk menghujat atau menjelekkan sama sekali. Hanya ada rasa kekecewaan dan keprihatinan melihat pemandangan demikian setelah kita merdeka lebih dari enam puluh tahun. Tak banyak perubahan. Tak banyak perbaikan.

Ingatan saya melayang ke tahun tahun enam puluhan dan tujuh puluhan. Sewaktu mencari bis di standplat Djohar di Semarang, atau di Gemblegan Solo, untuk pulang ke Ambarawa. Selalu harus berebut, berdesakan, saling dorong, untuk dapat naik dan mendapatkan tempat duduk di bis. Waktu itu memang masih ada keterbatasan sarana angkutan umum jalan raya. Mungkin ini bisa dijadikan alasan mengapa calon penumpang mesti berebut, adu kuat, adu fisik, dan adu cepat untuk naik ke bis atau ke kereta api. Tetapi kadang hal serupa pun terjadi walau penumpang nggak penuh, baik bis atau kereta. Sudah menjadi kebiasaan yang lajim bahwa naik kendaraan umum harus selalu berebut adu kuat seperti mau tawuran.

Seolah ada semacam rasa ketidak amanan dan ketidak percayaan, bahwa antre secara tertib akan menempatkan mereka di barisan belakang. Sehingga yang berlaku adalah hukum rimba, siapa yang kuat, cepat akan dapat tempat. Undang undang lalu lintas yang telah diberlakukan dengan segala perdebatan di forum parlemen yang terhormat itu ternyata tak bisa mengubah atau menggantikan peran hukum rimba yang berlaku. Hukum rimba ini semakin sulit ditinggalkan ketika para aparat yang mengawasi ketertiban terlibat konflik kepentingan. Bagian penjualan karcis terlibat kolusi dengan para calo. Petugas pengawas enggan menjatuhkan sanksi bagi sopir atau perusahaan yang melanggar ketentuan, atau memang sengaja menutup mata.

Para calon penumpang terlanjur kehilangan kepercayaan akan efisiensi pengelolaan dan pengaturan penumpang di standplat atau stasiun kereta api. Namun di sisi lain para pengelola juga akan selalu menyalahkan ketidak disiplinan calon penumpang, para sopir, kenek dan pengusaha bis. Kebiasaan yang lajim dalam masyarakat kita, kalau masih bisa menunjuk hidung pihak lain mengapa mesti introspeksi. Apapun yang benar, kesemrawutan yang kita lihat di standplat dan stasiun sewaktu calon penumpang berebut naik adalah kombinasi dari ketidak disiplinan, kesemrawutan pengelolaan dan pengawasan lalu lintas. Hasil akhirnya sama. Semrawut, tak aman dan tak manusiawi. Bukan sekali dua kita membaca berita adanya korban jiwa karena kesemrawutan seperti ini. Penumpang meninggal terjatuh dari atap kereta. Penumpang bis terjatuh saat berebut akan naik kendaraan.

Bayangkan jika anda melihat tayangan televisi yang menunjukkan penumpang pada berdiri di atap kereta api, apa yang anda pikirkan ? Jika para penumpang berlari lari, berdesakan berebut akan naik kereta atau bis ? Bukankah ini pemandangan yang tak wajar sama sekali. Entah karena sistem yang nggak bener atau disiplin manusia yang jelek. Mengapa pemandangan seperti ini masih saja terlihat selama puluhan tahun terakhir, walaupun perundangan makin lengkap, sarana dan prasarana semakin bagus ?

Saya mencoba merenungkannya dari sisi lain. Dari sisi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sistem pendidikan kita yang robust paska kemerdekaan mungkin telah berhasil meningkatkan intelektualitas formal masyarakat. Tingkat pendidikan rata rata warga negara jauh lebih tinggi dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir. Tingkat baca atau melek huruf juga sangat bagus. Tetapi sistem pendidikan kita mungkin tak banyak merubah intelektualitas riel anggota masyarakat. Juga tak banyak mengubah komponen perilaku (behavioral component). Tingkat baca meningkat, tingkat pengetahuan meningkat, tetapi tingkat disiplin, kemampuan menaati ketertiban, kemampuan toleransi dan menghargai sesama masih rendah. Tak hanya dalam disiplin antrean bis dan kereta, manifestasi ini sering kita lihat dengan meledaknya amuk massa, tawuran dan segala bentuk kekerasan sosial.

Dalam tingkat makro juga tak bisa diingkari akan adanya kepincangan ini. Beberapa lembaga pendidikan tinggi bisa masuk dalam rangking atas di dunia. Tetapi banyak kalangan intelek kita yang masih juga percaya akan dunia klenik dan perdukunan. Terutama jika sedang mengejar jabatan basah. Hampis semua lulusan, bahkan lulusan Sekolah Rakyatpun, yang pernah menjalani pendidikan tentang Panca Sila. Tetapi kita tak bisa mengingkari kejadian pelanggaran hak asasi merajalela. Mulai dari kejahatan dan pembunuhan massal sekitar 1965, pembersihan etnis dan pembunuhan di Kalimantan, huru hara berdarah 1968, dan lain lain yang makan banyak korban.

Seorang pendidik, kakak saya Ki Hadiwaratama, ahli Fisika Teknik pensiunan ITB, yang sekarang mencoba mendalami aksara Jawa Hanacaraka, mempertanyakan akan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengapa upaya mencerdaskan kehidupan bangsa banyak terseok dalam kehidupan sosial sehari hari. Sistem pendidikan kita seolah tak mampu mentransformasi mesyarakat ke arah masyarakat modern, disiplin, ber-etos kerja tinggi, bertoleransi tinggi. Pertanyaan yang harus selalu menjadi renungan dan pemecahan dari para pemikir, pendidik dan tokoh tokoh soaial. Bukan hanya semata tugas para pendidik di lembaga2 pendidikan. Tidaklah bijak para pemimpin politik dan masyarakat lebih banyak mengobarkan semangat kebebasan tetapi mau benar sendiri, mau menang sendiri, apa lagi mengobarkan semangat kebencian.

Ah terlalu jauh saya merenung. Pertanyaan saya hanya sederhana saja. Mengapa selama empat puluh tahun, masih saja calon penumpang itu berebut adu kuat untuk antre bis dan kereta. Mengapa hukum rimba itu tetap saja yang dominan ? Sebenarnya tak perlu waktu puluhan tahun untuk menertibkan antrean itu. Tak perlu juga membentuk Komando Operasi Tertib (Kopkamtip) untuk menertibkan. Jika saja kita sebagai warga bisa menanamkan disiplin, toleransi, taat ketentuan pada diri masing masing. Dan para pengelola sistem publik lebih mementingkan kepentingan dibanding kepentingannya sendiri, saya yakin kita akan bisa menciptakan masyarakat yang disipiln dan tertib.

Salam damai dari Yogya

Ki Ageng Similikithi`

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber media, 19 Oktober 2007)

Tuesday, October 16, 2007

Mental priyayi dan kebanggaan profesi

Menjelang dini hari di bandara Cengkareng. Baru saja datang dari Manila dengan Cebu Air Pacific, tengah malam tadi. Menunggu pesawat ke Yogya nanti jam enam. Di salah satu kafe terminal keberangkatan saya menunggu sambil terkantuk kantuk. Sepi pengunjung. Hanya ada beberapa pembeli. Ada satu keluarga, bapak, ibu dan anak gadisnya yang tertidur di meja seberang. Dan beberapa petugas yang sedang istirahat minum di ruang sebelah sambil ngobrol.

Sambil menahan kantuk saya menulis cerita ini. Mulanya pengin cerita tentang perasaan saat pulang tiba di bandara. Pulang ke Yogya. Sudah ratusan kali saya alami sejak tahun delapan puluhan.

Namun tiba tiba pikiran berubah. Seorang petugas polisi menyapa dengan ramah, kemudian dia duduk bersama dengan teman temanya di meja sana. Tak ada yang istimewa sebenarnya. Tetapi agak aneh buat saya. Ada tulisan dilarang merokok jelas terpampang di kafe ini. Tetapi rombongan petugas polisi yang sedang istirahat itu merokok dengan tenang. Mestinya merekalah yang ikut menegakkan aturan dilarang merokok di bandara ini. Sesudah beberapa saat, saya pindah keluar. Saya berjalan menelusuri terminal keberangkatan. Banyak calon penumpang yang menunggu pesawat lanjutan sedang berstirahat. Terminal ini sebenarnya artistik dan asri.

Seorang calon penumpang asing nampak terbaring di salah satu bangku. Tiduran sambil merokok dan di sampingnya berserakan botol bekas minuman. Nampak tak peduli dengan larangan merokok. Tak bisa disalahkan. Jika petugaspun tak mampu mentaaati, mana orang akan mentaati aturan. Ternyata di dalam terminal juga sama saja. Banyak petugas baik yang sedang bertugas maupun beristirahat pada merokok. Walaupun jelas ada tulisan dilarang merokok di mana mana. Seolah hanya jadi bagian dari dekorasi yang meramaikan dinding2 terminal.

Keinginan menulis saya berubah. Sekedar ingin menulis tentang kebanggaan petugas terhadap profesi dan tugas yang diembannya. Tak ada maksud untuk mencerca dan menjelekkan sama sekali. Di masa lalu kita selalu mendengar kritikan keras terhadap pejabat atau petugas yang bermental priyayi. Tak jelas benar apa itu mentalitas priyayi. Bisa feodal, bisa minta selalu diladeni. Setelah jaman kemerdekaan apa yang berbau mentalitas priyayi di babat habis. Terutama yang berakar dari bekas bekas pegawai pemerintahan Hindia Belanda.

Betulkah hanya sifat feodalisme, sifat yang minta selalu diladeni itu saja yang ada dalam apa yang disebut mentalitas priyayi itu ? Benarkah hanya ada keburukan dari apa yang dikenal dengan mentalitas priyayi ? Saya menerima kesan yang berbeda tentang persepsi mentalitas priyayi dari mereka yang pernah menjadi priyayi, pegawai pemerintah jaman Hindia Belanda.

Ketika saya kecil saya mengenal pakdhe saya almarhum yang pernah menjadi pegawai PTT (lupa kepanjangannya mungkin poste, telegraf dan telefone). Jabatan terakhir sebagai Kepala Kantor Pos Ambarawa di tahun lima puluhan. Saya bertahun tahun selalu tidur di rumah beliau setiap malam. Dari beliau saya melihat disiplin yang begitu tinggi. Berangkat kantor, pulang kantor, makan pagi, makan siang, waktu selalu sama. Ada jam saku yang selalu beliau pakai. Selalu memakai jas, topi bundar (seperti topi safari) dan tongkat. Tak banyak bicara. Setiap perkataan selalu diperhitungkan. Seolah ada protokol ketat bagaimana saya harus bicara dengan beliau. Tak ada istilah telat atau terlambat.

Ketika mahasiswa saya mondok di Patangpuluhan, di tempat almarhum Bpk Slamet yang pensiunan DPU (Dinas Pekerjaan Umum) dan pernah bekerja sebagai engineer sipil di jaman Hindia Belanda. Beliau yang membangun jalan Wonosobo Dieng. Pernah saya ceritakan di Koki bagaimana bangganya menyelesaikan tugas. Puluhan kali saya mendengar beliau mendemonstrasikan suara ledakan dinamit "bleeeeeeng" sewaktu membangun jalan itu. "Ini jalan termiring di seluruh Indonesia".

Walau kami sering terpingkal mendengar ceritanya, tetapi jelas benar kebanggaan beliau akan profesinya sebagai penanggung jawab pembangunan jalan itu. Kebanggaan akan menyelesaikan tugas dengan baik. Yang bikin kami semua geli sewaktu beliau cerita, akan meledakkan satu batu besar. Penduduk berkeberatan karena batu itu angker. Jawabannya " Saya ini bertugas, kalau perlu dhemit dan setan pun saya lawan" "Bleeeeeeeng", dinamit itu meledak katanya setan dan dhemit pada lari. "Saya bukan kelas pekerja, saya seorang priyayi dan tak pelu gentar menghadapi setiap halangan dalam tugas".

Di tahun 1973, sewaktu kami masih ko- asisten, punya seorang tetangga pegawai kantor pos. Umurnya masih sekitar pertengahan tiga puluhan. Setiap pagi kami bertemu di warung makan pagi di Patangpuluhan Yogyakarta. Dia selalu datang jam 0620 di warung, pesan teh panas dan nasi dengan sayur tempe. Jam 0640, dia cepat cepat berangkat ke kantor. Orangnya pendiam, tak suka banyak bicara. Dalam satu kesempatan dia cerita mengenai pekerjaannya. Dia sudah bekerja selama sepuluh tahun. Mula mula sebagai pengantar surat, kemudian tiga tahun terakhir katanya sering ditugaskan mengawal kiriman pos ke Bandung lewat kereta api. "Belum pernah saya gagal mengawal kiriman. Tak pernah kehilangan ".Temannya banyak kali kehilangan barang yang dikawal. Dia tak pernah mau diajak kompromi kiri kanan. Tugas mengawal barang adalah nomer satu.

Dari ke tiga cerita tadi saya mendapat kesan kuat akan adanya kebanggaan akan profesi, kebanggaan dan kesunnguhan menjalankan tugas dengan baik, dan kebiasaan disiplin yang tinggi. Mentalitas priyayi selalu kita sorot sisi negatipnya semata mata. Tak pernah kita melihat secara kualitatif dibalik mentalitas itu. Mereka memang tak ingin disamakan dengan orang kebanyakan atau kelas pekerja yang tak punya etos kerja. Para petugas di bandara yang saya lihat kali ini, mungkin tak punya kebanggaan profesi, tak punya kebanggaan menjalankan tugasnya dengan baik, minimal untuk tidak merokok sesuai dengan aturan yang harus di jalankannya. Bagaimana mau memberantas korupsi di negeri ini jika para petugas pun tak mampu menegakkan aturan larangan merokok ?

Sektor publik kita banyak kehilangan kebanggaan profesi, kebanggaan menjalankan tugas dengan baik, sikap disiplin dalam menjalankan tugas. Kolusi dan korupsi terjadi di banyak lini dengan mempertaruhkan martabat profesi dan jabatan. Anggota DPR , bupati, kadang merangkap profesi, bahkan bermain film biru. Jamane jaman edan. Para pejabat bermental "priyayi " yang memiliki kebanggaan profesi, tugas dan disiplin harus terpinggirkan. Tergantikan oleh mereka yang bertutur kata indah, bermuka manis, tetapi bermental pengerat (dalam filsafat Jawa dikenal sebagai barisan para bacingah).

Salam damai dan Selamat Merayakan Hari Raya Idul Fitri.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 17 Oktober 2007)

Sunday, October 7, 2007

Perkosaan TKI

Lagi lagi kita dikejutkan dengan berita pemerkosaan terhadap tenaga kerja wanita Indonesia di Malaysia. Berita Tempo hari ini mengabarkan adanya penculikan, penyekapan dan pemerkosaan seorang wanita tenaga kerja asal Indonesia, yang dilakukan oleh sekelompok orang di Malaysia, termasuk diantaranya polisi dan mahasiswa (http://www.tempointeraktif.com/) .

Tentu saja kita prihatin dengan kejadian kejadian tragis yang menimpa para pekerja pendatang di negara tetangga ini. Seringnya pemberitaan akan kejadian serupa bukan karena ada kesengajaan untuk mengobarkan kasus seperti ini untuk kampanye anti Malaysia. Tetapi jika anda mengikuti berita berita terkait, banyak kejadian juga menyangkut para pekerja pendatang dari Sri Langka, Bangladesh dan negara2 Asia lain yang notabene secara ekonomi tidak sebagus Malaysia. Jadi bukan hanya kejadian terisolir semata mata. Tetapi sudah menjadi gejala yang berkembang akibat sikap umum yang tak menghargai dan ingin memanfaatkan kelemahan pekerja pendatang. Juga bagian dari rangkaian peristiwa yang mencerminkan ketidak mampuan aparat di Malaysia untuk menerapkan hukum melindungi kaum pendatang.

Anehnya yang kita sering dengar justru alasan alasn yang dibuat buat untuk semakin memojokkan si korban, seperti alasan karena toh kasus kasus serupa juga terjadi di negara asal pekerja bersangkutan, karena mereka tenaga kerja illegal, karena mereka berasal dari negara yang penuh korupsi dan sebagainya. Bahkan maraknya pemberitaan ini juga sering justru kadang merupakan kebanggan minir adanya keterbukaan dan kebebasan media masa di negara tetangga tersebut.

Alasan apapun yang sering terdengar dari pihak Malaysia, sangat sulit untuk diterima akal sehat. Pelaku kejahatan ini bukan semata mata kelompok bawah yang tidak berpendidikan. Tetapi juga melibatkan para pejabat dan petinggi di Malaysia. Mungkin anda masih ingat kejadian kasus artis Mongolia yang di bom oleh polisi atas perintah seorang pejabat tinggi penasehat kantor perdana menteri ? Toh alasan yang berkembanga dan disebarluaskan karena adanya motif pemersan dari si artis Altantuya.

Kasus perkosaaan dan pengyaniayaan para pekerja pendatang mencerminkan betapa lemahnya sistem perlindungan buruh migrant. Di negara Malaysia yang sebenarnya sistem publik dan hukumnya sudah berjalan rapi pun kejadian ini tetap saja berulang, baik oleh polisi, aparat sukarela, dan kalangan awam. Tak ada alasan untuk melakukan kesewenangan ini dengan dalih toh mereka pendatang illegal, toh mereka di negaranya juga nggak terkamin dan terlindungi, toh di negaranya menjadi sarang korupsi. Ini hanya alasan2 yang sengaja digemborkan oleh pejabat Malaysia hanya mencoba membodohi masyarakat internasional saja. Sayangnya di negara asalnya, kecuali mungkin di Filipina, perlindungan hukum bagi pekerja migrant ini sering tak memadai. Mereka selalu menjadi korban penipuan dan pemerasan di negeri sendiri.

Selain mengembangkan mekanisme perlindungan buruh migrant oleh pemerintah, kalangan sipil membantu meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan ketaatan hukum dan keterampilan pekerja migrant melalui berbagai kegiatan. Kejadian tragis ini akan selalu berulang, berita beritanya akan selalu menghiasi media massa, mungkin kadang sampai membosankan untuk pihak yang berwenang atau untuk pembaca. Ada pejabat kedutaan yang bilang, kalau ngurusi TKI sih, nggak akan ada habisnya. Ya memang, maka yang paling baik adalah dengan mencegah dan mengurangi resiko melalui pemberdayaan dan perlindungan hukum bo ! Memang lebih baik mengirim tenaga terampil dan terdidik dari pada mengirim un-skilled workers. Ada kesan dan stigma jelek yang selalu mendorong orang yang punya wewenang untuk memanfaatkan kelemahan pekerja migrant tadi. Ini mungkin yang mendorong kelompok penjahat tadi yang diantaranya pejabat polisi dan mahasiswa itu untuk memanfaatkannya.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

( Dimuat di Kolom Kta Kompas Cyber Media, 6 Oktober 2007)

Thursday, October 4, 2007

Mitos dan kekuasaan

Dalam kehidupan spiritual, kita tak pernah lepas dari mitos. Yakni suatu cerita atau kepercayaan yang dianggap sakral yang berkaitan dengan asal muasal alam atau makhluk di dalamnya. Juga sering dikaitkan dengan dunia spiritual, dunia pahlawan, dunia pemimpin bangsa dan kekuasaan. Kadang banyak mitos dan legenda yang sengaja diciptakan untuk mendukung seorang penguasa, atau bahkan dalam kehidupan sehari hari untuk memberikan dukungan bagi orang yang disenangi. Saya bukan ahli filsafat atau antropologi. Tulisan saya hanyalah renungan pribadi semata dan tak bertujuan menghujat mitos tradisional yang sudah dipercaya ratusan tahun.

Contoh mitos atau legenda paling kuat yang saya kenal waktu anak anak adalah legenda Nyai Loro Kidul. Digambarkan sebagai seorang putri cantik yang menguasai laut Selatan, lautan Hindia yang ganas. Bahkan di tahun enam puluhan sewaktu saya di Sekolah Rakyat, saya membaca novel Nyai Loro Kidul, yang digambarkan sebagai wanita cantik dan seksi. Bahkan gambarnya sangat aduhai dengan pakaian dengan perut terbuka. Menurut kepercayaan banyak orang Jawa, Nyai Loro Kidul adalah TTM (teman tapi mesra) dari raja raja Jawa terutama dari Surakarta dan Yogyakarta. Sehingga selalu ada upacara persembahan larung di laut Selatan setiap tahun dari keraton keraton Jawa.

Saya masih ingat cerita di tahun tujuh puluhan, sewaktu seorang calon menantu pria salah satu keraton Jawa, menghilang beberapa hari sebelum pernuikahan agung. Ibu kost saya bilang, kelihatannya sang calon menantu ini diambil oleh Kanjeng Ratu Kidul oleh karena perkawinannya sebenarnya tidak disetujui. Yang terjadi sebenarnya sang calon menantu tidak lari ke laut Selatan dengan Nyai Loro Kidul, tetapi lari dengan seorang artis yang cantik. Mana tahan, si artis memang jelita ? Sayang hubungan cintanya dengan pria idaman yang notabene calon menantu keraton terlambat bersemi. Teman teman kost Ki Ageng berseloroh, mahasiswa kost memang tak pernah masuk hitungan para artist maupun Nyai Loro Kidul. Nggak usah ya!

Ada salah satu tulisan di Kompas di tahun tujuh puluhan yang mencoba mengungkap mengapa legenda Nyai Loro Kidul begitu hidup dalam kepercayaan Jawa. Mengapa tidak ada legenda mengenai laut Jawa di utara ? Ada beberapa kemungkinan, salah satunya karena utara tak pernah akrab dengan kerajaan2 Jawa. Musuh atau pengaruh kuat selalu datang dari utara. Salah satunya adalah armada Mongol, yang menyerbu Singasari di abad ke 13. Pengaruh budaya dan kekuasaan selalu masuk dari utara, termasuk masuknya orang Eropa di abad ke enam belas.

Tak pernah dalam sejarah Jawa musuh atau budaya kuat masuk dari selatan di masa lalu. Pengaruh kuat dari Selatan, terjadi waktu Timor Timur pisah dari RI, tetapi itu sudah bukan urusannya raja raja Jawa. Orang Jawa kemudian mencoba akrab dengan laut Selatan dengan legendanya. Putri cantik yang mengayomi, dan menjadi pacar raja raja Jawa. Saya pernah berseloroh dengan keluarga dekat Sinuwun Yogya mengenai hal ini, dan apa katanya ? Kurang kerjaan mas, kalau memang mau TTM nggak perlu cari demit dari laut Selatan. Dunia spiritual memang lain dengan dunia nyata. Kalau mau TTM nggak perlu susah2 kedinginan kungkum (mandi) di laut Selatan. Dugem (dunia gemerlap)dan spa yang hangat di kota2 besar di Jawa juga banyak, dan nggak pernah diskriminatif hanya untuk para raja bo !.

Cerita Ken Arok lain lagi. Ken Arok adalah salah satu penguasa Jawa di abad ke tiga belas, yang terkenal dari masa ke masa. Dia adalah raja Tumapel yang kemudian dikenal dengan Singasari. Dia berasal dari keluarga kebanyakan, bukan dari keluarga bangsawan. Tetapi karena kecerdikannya dia bisa menjadi pengawal (hulubalang) raja Tunggul Ametung. Suatu saat dia melihat sinar kemilau di antara paha Ken Dedes yang indah. Ken Dedes adalah isteri Tunggul Ametung. Ken Arok kemudian bertanya ke guru spiritualnya dan diberi tahu makna sinar itu. Jika dia bisa memperisteri Ken Dedes dia akan menurunkan raja raja Jawa yang akan bertahan dari masa ke masa. Ken Arok kemudian secara licik membunuh Tunggul Ametung dengan keris Empu Gandring, setelah sang Empu juga dihabisinya.

Tragedi bunuh membunuh ini kemudian berlanjut selama tujuh turunan. Ken Arok dibunuh oleh anak Tunggul Ametung, Anusapati. Anusapati terbunuh oleh anak Ken Arok, Panji Tohjaya. Dan Panji Tohjaya juga mati oleh keturunan Anusapati. Sekali lagi banyak mitos tercipta untuk melanggengkan kekuasaan. Bahwa sebenarnya Ken Arok lahir dari batu, untuk menutup asal usulnya yang nggak jelas. Juga mitos adanya sinar memancar dari antara paha Ken Dedes. Sejak dulu kala tak pernah vagina bisa memancarkan sinar meskipun orangnya secantik bidadari sekalipun. Untuk memperhalus supaya tak kelihatan porno, maka para pujangga keraton diminta menceritakan bahwa yang bersinar sebenarnya adalah betis dari Ken Dedes. Di jaman dulu penulis pun bisa dikooptasi kekuasaan. Sinar kemilau itu hanya mitos belaka yang diciptakan untuk justifikasi merebut Ken Dedes.

Di tahun enam puluh tujuh di Solo keadaan kalut, tawuran antara berbagai faksi politik sering terjadi di jalan raya. Sering tak aman berjalan sendirian apalagi buat orang dari luar Solo. Anak anak muda sering kemudian mencari perlindungan ke tokoh spiritual untuk mendapatkan "gemblengan", supaya kebal. Kami bertiga dengan teman sekelas juga mencarinya. Bukan karena ingin tawuran, tetapi untuk keamanan diri oleh karena pernah pulang sekolah hampir dikeroyok massa kelompok politik tertentu, karena kami tak membalas teriakan heroik mereka.

Kami malam malam mengunjungi seorang tokoh spiritual di Kemlayan. Beliau sudah tua bicaranya sudah nggak jelas. Tetapi para muridnya percaya kalau dia punya isteri peri yang cantik (makhluk halus wanita). Dia dengan semangat bercerita tentang peri cantik itu, yang katanya selalu membawanya terbang ke alam lain. Teman saya Diono, sewaktu pulang menggumam " Wah peri kok sukanya malah sama pria yang sudah uzur ya ?" Kami harus puasa mutih tiga hari tiga malam. Tak ada manfaat gemblengan itu oleh karena memang kami tak pernah tawuran. Hanya kalau pas sepak bola lawan main kami agak keder untuk tackling. Beberapa kali sesudah itu saya berhasil memasukkan gol dalam pertandingan antar kelas. Tak pernah sebelumnya saya bisa meng-goal kan bola. Imbas dari mitos sang tokoh spiritual dengan pacar perinya.

Dalam dinua modern, terutama di bidang politik, kita selalu mendengar mitos yang sengaja diciptakan. Mitos politik atau mitos sosial, bahwa seseorang telah memperoleh wahyu untuk memimpin bangsa. Kita pernah terlena selama tiga puluh dua tahun karena mitos yang diciptakan untuk kekuasaan. Mitos Ratu Adil yang menjadi dambaan setiap orang untuk kehidupan yang makmur dan adil. Dalam kehidupan sehari hari, kadang kita menokohkan seseorang karena mitos kepercayaan, bukan karena karyanya. Termasuk dalam kehidupan akademis, seseorang ditokohkan karena kepercayaan lingkungannya, bukan karena karya karya akademisnya. Dalam PILKADA (Pilihan Kepala Daerah) banyak mitos tercipta untuk memenangkan pemilihan.

Marilah mencoba menilai seseorang dengan karya dan pengabdiannya. Biukan karena mitos dan kepercayaan semata.

Salam damai dalam lamunan. Salam hormat untuk Nyai Loro Kidul.

Ki Ageng Similikithi (bs2751950@yahoo.com)

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cybermedia 4 Oktober 2007)

Monday, October 1, 2007

Glastnost - keterbukaan

Salam dari Geneva. Siang hari sehabis makan siang. Baru saja selesai acara pertemuan. Masih ada janjian untuk ketemu seseorang nanti jam tiga. Penerbangan pulang nanti malam jam setengah tujuh. Sambil menunggu saya mulai menulis cerita ini. Kali ini agak berat, bicara tentang politik. Sejarah politik tentang keterbukaan dan kebebasan.

Keterbukaan selalu merupakan kata mutiara yang harus diamalkan di dunia nyata bagi para tokoh demokrasi. Demokrasi tak bisa dipisahkan dengan keterbukaan dan kebebasan. Kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan kebebasan untuk melihat sesuatu secara jernih. Dalam situasi keterbukaan manusia bisa melihat dengan jernih dan pikiran tenang. Saya selalu mencoba mengerti, menghayati dan kadang kadang melihat keterbukaan ini dengan kebebasan yang ada dalam rambu rambu hukum dan sosial.

Bagi yang berminat dalam sejarah politik, pasti akan ingat siapa yang melontarkan kata
Glasnost, yang hakekatnya bermakna keterbukaan. Adalah mantan presiden Uni Soviet, Mikhail Gorbachev. Glasnost yang dia pelopori telah meruntuhkan negara adi daya Uni Soviet dan negara negara Pakta Warsawa. Eksperimen sosial politik paham komunisme yang telah berjalan lebih dari lima puluh tahun luluh lantak dengan runtuhnya sistem komunisme di berbagai negara.

Saya bukan ahli politik dan selalu gagal mempelajari perkembangan wahana keterbukaan ini dari kaca mata politik. Selalu macet di tengah jalan. Inilah kisah konyol ketidak mampuan saya membaca artikel tentang Mikhail Gorbachev dan teori glasnost dan perestroika.

Beberapa bulan lalu saya bersama Nyi dalam perjalanan pulang ke Yogya, lewat Singapura. Menunggu sambungan penerbangan ke Jakarta selama dua jam di bandara Changi. Saya mencoba membaca artikel yang menceritakan tentang riwayat gerakan glasnost dan perestroika yang digalakkan oleh Presiden Mikhail Gorbachev. Mula mula memang sangat asyik membaca artikel tersebut. Tetapi lama lama kok jenuh, kemampuan mengikuti dan berkonsentrasi terhadap pokok masalah buyar. Rupanya lebih menarik melihat gaya bicara presiden Mikhail Gorbachev di televisi dari pada membaca pikiran pikirannya lewat artikel dari penulis politik. Kemampuan imaginasi saya begitu terbatas untuk mengendapkan pengertian glastnost dan perestroika.

Saya mencoba istirahat mau tiduran sebentar. Kaca mata gelap yang barusan dibeli saya pakai supaya bisa memejamkan mata sejenak. Nyi Ageng sudah jalan jalan sendiri lihat toko toko di bandara. Saya mulai mengantuk. Banyak orang bisa menikmati rasa kantuk, terutama kalau pas rapat atau mendengarkan pidato. Saat itu saya sempat menikmati rasa kantuk yang membelai.

Tak saya sadari seorang bapak bersama isteri dan dua anak gadisnya, duduk di muka saya. Dia kira kira pertengahan empat puluhan, nampak ganteng dan berwibawa. Saya tetap menikmati rasa kantuk saya. Mereka ngobrol sambil bergurau akrab. Kelihatan bahagia benar. Mereka ngobrol sambil bergurau ringan. Kedua anak gadisnya nampak manja sama sang bapak.

Tak lama kemudian ada dua wanita, ibu ibu dengan pakaian modis duduk di sebelah kiri saya. Keduanya memakai celana panjang jean. Juga ngobrol asyik sendiri sambil ketawa renyah. Kadang2 cekikikan. Boleh tahan lah. Si bapak yang tadinya ramai bergurau dengan isteri dan kedua anak gadisnya kemudian diam asyik membaca koran. Serius benar. Sambil lalu saya melihat wajahnya dibalik lembaran koran, tetapi pandangan matanya kok nggak fokus membaca koran. Mula mula saya nggak perhatian. Tetapi lama lama kok mulai bertanya Instink intel saya mengatakan, something is going wrong. Tiba tiba saja instink muncul, pengin tahu apa yang terjadi.

Saya menoleh ke arah kedua ibu ibu yang asyik ngobrol ketawa ketawa renyah tadi. Eee ladalah ternyata mereka berdua mengenakan celana panjang dan baju kaos seksi. Nampak jelas bagian perut mereka terbuka dan sangat mudah terlihat walau tanpa kijker. Batin saya, inilah penyebab bapak itu asyik sekali pura pura baca koran. Belum habis rasa kaget saya, ternyata baru saya sadar kalau isteri bapak tadi dan kedua anak gadisnya juga memakai pakaian dengan gaya modis yang sama, perut terbuka. Transparan dan demonstratif.. Saya hanya bisa menyebut ”Aja kagetan lan aja gumunan" Jamane jaman keterbukaan dan transparansi. Nggak ngimpi nggak ada firasat apa apa, kok wudel (pusar) bertaburan. Inilah refleksi dari teori glastnost yang sedang saya baca tadi.

Dalam beberapa tahun terakhir memang nampak benar berkembangnya mode pakaian dengan perut terbuka. Pusar terlihat jelas sebagai lambang keterbukaan dan kebebasan individu, sekaligus lambang kecantikan. Tak hanya di kalangan anak gadis belasan tahun, tetapi juga di kalangan ibu ibu. Sah sah saja dan saya tidak ada maksud menghujatnya sama sekali. Toh ini hak dan kesenangan masing masing orang. Nggak ada manfaatnya menghujat. Kalau senang ya dilihat atau diterapkan. Kalau nggak senang ya diamkan saja. Tetapi kalau ada mata yang melirik jangan gampang mengeluh pelecehan. Yang melihat kan juga punya kebebasan untuk melihat dengan jernih.

Ingatan saya mencoba kembali ke teori glasnost dan perestroika dari presiden Mikhail Gorbachev. Keterbukaan dan kebebasan. Ternyata jauh lebih mudah mencerna teori itu dari sisi mode pakaian masa kini. Tak perlu banyak konsentrasi dan imaginasi. Semua gampang dimengerti. Tak perlu teori muluk muluk tentang ilmu politik. Orang bisa saja menghujat, namanya Ki Ageng kok suka melirik wudel. Lha wong namanya negara adidaya Uni Soviet saja runtuh karena keterbukaan dan kebebasan, kok manusia biasa harus menutup mata pura pura nggak melihat. Kan ini juga bagian dari kebebasan melihat dengan jernih dan jelas. Hanya manusia biasa.

Jamannya ya memang jaman keterbukaan. Kebijakan dan administrasi publik harus transparan dan terbuka. Tak secepat yang dibayangkan. Korupsi dan penyelewengan kewenangan publik masih merajalela. Masih kalah cepat dengan perkembangan keterbukaan wudel sama perut bo.

Wis embuh lur, jamane jaman edan.

Salam damai dan keterbukaan.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom kita Kompas Cyber Media, 1 Oktober 2007)