Friday, June 29, 2007

Cerita tentang pondokan

Sewaktu kuliah di Yogya, saya selalu mondok atau indekost. Tahun pertama dan kedua di Gerjen. Tahun ke empat sampai selesai di Patangpuluhan. Tahun ke tiga saya tinggal di satu hotel melati di jalan Pajeksan, sekalian kerja ngurusi hotel itu. Tetapi hanya tahan setahun. Susah, ada saja urusan setiap harinya. Malam malam digedor polisi, ada tamu yang mabuk, ada pasangan tuis yang tengkar. Ada saja kejadian yang nggak enak. Nggak pernah tidur enak.

Di Gerjen, bapak kost mempunyai kelompok musik keroncong. Anggotanya sebagian besar sudah manula. Latihan seminggu sekali. Lagunya jarang ganti. Latihan satu lagu, berulangkali berminggu minggu. Sekarang latihan, seminggu kemudian lupa lagi. Kami yang kost kadang ikut menikmati, kadang menderita mendengar lagu yang sama terus menerus.

Bapak kost di Patangpuluhan adalah pensiunan pejabat PU di jaman Belanda. Ceritanya hanya berkisar pengalamannya membuat jalan paling miring di Dieng Wonosobo. Kami mendengar cerita yang sama sampai puluhan kali. Sering bicara bahasa Belanda dengan kami, walau mereka tahu kami nggak ada yang isa bicara Belanda.. Nggak dhong saya.

Ibu kostnya agak keras dan sedikit feodal.. Komentarnya kadang agak miring jika lihat teman kami yang bergaya agak kampung. Ada taktik mengatasi ini. Jika ditanya pekerjaan orang tua oleh ibu kost, informasinya di marked up. Teman dari Bojonegoro, bapaknya pensiunan pegawai kantor pos, bilang pensiunan wedana. Teman dari Nganjuk, Bapaknya guru SD, bilangnya dosen di salah satu universitas ternama di Jawa Timur. Ada yang bapaknya mempunyai usaha penjahit, di mark up jadi dokter bedah. Ada yang Bapaknya menjabat sebagai carik desa, di marked up jadi Sekda. Itu saja kadang komentar ibu kost masih sok sering nylekit. “”Kok nak Ki ini, gayanya nggak seperti dari keluarga priyayi ya ?”” Beliau memang dari kelas priyayi.


Di akhir pekan yang sepi kadang saya main ke tempat kost teman teman dri Solo, di Wirobrajan. Amad, teman kuliah yang pernah saya singgung sebelumnya, bersama 4 orang dari Solo kost bersama di Wirobrajan. Semua lajang belum punya pacar.

Suatu Sabtu malam, saya main ke tempat kostnya. Dia belum tahu kalau saya putus sama pacar, Eni waktu itu. "Kok malam Minggu ke sini ? Traktir Bung, saya baru krisis nggak ada uang". Saya jawab pelan kalau saya juga sedang krisis. 'Bajinguk, nek pas ora duwe duwit dolan nggonku, nek duwe duwit nang nggone wedokane"Saya hanya diam dan membaca buku di kamarnya. Dia kelihatan sedang kesal saat itu.

Ada dua orang yang tinggal di kamar seberang. Satu mahasiswa ekonomi dan satunya di Farmasi. Kami kenal dekat dengan mereka. Yang kuliah di ekonomi, bapaknya pensiunan di PJKA, mantan kondektur kereta api. Rupanya mereka sedang ketamuan seorang teman, juga dari Solo, yang kuliah di biologi. Bicaranya banyak, orangnya supel. Cerita kalau dia sudah punya pacar di Solo, kelas dua SMA. Sudah dikenalkan sama orang tua si pacar, seorang kepala sekolah. Tetapi dia diberi tahu kalau nggak boleh mesra mesraan dulu ok si gadis masih SMA.

Katanya, ibu si gadis begitu bangga waktu diperlihatkan kartu mahasiswanya. Amad nggrundel " Gemblung, duwe kartu mahasiswa nggo golek bojo" "Bilang sama ibunya, boleh nggak nyosor, tetapi mulut ditutupi pakai masker" ? "Punya pacar jarikan gitu aja berkoar kemana mana." Rupanya kami juga keki, ketika mereka manggil bakmi, kita nggak ditawari. 'Orang kok ngurusi wadhuk sendiri. Nggak punya solidaritas kost kost an'. Bau bakmi godog itu memang sedap dan merangsang benar.

Selesai melayani ketiga teman sebelah, tukang bakmi itu kembali memukul wajan menawarkan jualannya sambil teriak nyaring "Miiiiiiiii". Amad, nggak bisa menahan dongkol. Tukang bakmi itu persis di depan jendela kamar. Dia keluar dan teriak. "Ora klonthangan, bengak bengok nggurahi wong turu. Minggat sing adoh ". Tukang bakmi hanya menggerutu, bilang kalau di tidak main main, dia jualan. Tetapi dia keder ok Amad badannya memang besar, berat 95 kg, tinggi 185 cm. Ada sepeda tersandar di bawah jendela. "Ki ini sepedamu ?'' "Bukan, saya tadi jalan kaki". Amad menaruh sepeda itu di belakang dan menutup pintu agar nggak bising.

Saya ketiduran di kamar Amad. Rupanya dia juga tertidur di meja tulis. Tiba tiba bangun jam 1100 malam, ada suara gaduh di luar Seorang polisi dengan senter besar sedang bicara dengan teman teman tadi. Sepeda tamu itu hilang. Yang punya langsung lapor polisi. Amad menjelaskan kalau sepedanya di lempar di loteng, biar aman. Polisi itu marah marah. "Mahasiswa nggak tahu aturan. Main main kebablasen". Amad diam saja, Sesudah polisi itu pergi, dia ngomong sama teman teman itu. "Kamu sudah untung nggak hilang sungguhan. Saya lempar ke loteng kan aman, Harusnya anda terima kasih".

Bergaul dengan teman yang sedikit urakan ini banyak membantu di waktu kesepian. Kami memang bersahabat erat. Kadang kalau ke Solo sama sama mereka di akhir pekan. Saya hanya bayar tiket kereta diskon lewat salah satu teman tadi. Topi kondektur bapaknya selalu dibawa di dalam tas. Setiap naik kereta rupanya dengan modal topi itu dia nggak pernah beli tiket.

Begitu ada pemeriksaan karcis, topi kondektur itu dikeluarkan dari tas. Kemudian memberi beberapa lembaran uang untuk kondektur yang bertugas. Uang tiket yang dia kumpulkan biasanya dipakai beli tahu bacem sewaktu kereta berhenti di Klaten.

Ada beberapa kali saya ikut pulang ke Solo bersama mereka. Saya biasanya akan turun di stasiun Purwosari. Saya nginap di rumah kakak saya di Kota Barat. Di Solo biasanya sudah nggak sempat ketemu lagi. Acaranya lain lain, gengnya sudah lain. Saya bertemu teman teman semasa SMA. Umumnya mereka serius, nggak ada yang bergaya semau gue. Tahun tahun kuliah di Yogya, saya nggak lepas hubungan dengan kota Solo. Perjalanan Yogya Solo dengan kereta Kuda Putih menjadi kenangan tak terlupakan. Masa kost di Yogya memberikan kenangan tersendiri. Gaya hidup pas pasan, jauh dari gaya priyayi gedhongan, terutama menjelang akhir bulan.

Salam sejahtera untuk Kokiers dan mereka mereka yang pernah jadi anak kost.

Ki Ageng Similikith

Dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 26 Juni 2007)

Thursday, June 28, 2007

Rintihan pilu dari Trisakti dan Semanggi

Puisi ini saya untai untuk mengenang mereka yang gugur di Trisakti dan Semanggi. Mereka gugur untuk sebuah harapan bagi bangsa tercinta. Mereka bertanya dan menghadap kekuasaan yang tak bertepi. Kekuasaan tanpa nurani.

Saya terhenyak ketika ada pembaca Koki yang menanyakan apakah puisi saya Anak Anak Bangsa dari Plaza de Mayo, juga diperuntukkan korban Trisakti dan Semanggi ?

Ikut gugur di Semanggi adalah anak kawan saya di SR dan SMP, Arief Prijadi. Putraya adalah Wawan (Bernardino Realino Norma Irmawan). Ibu Wawan, Sumarsih, menjadi tokoh pejuang hak azasi manusia di Indonesia).


Rintihan pilu dari Trisakti dan Semanggi

Anak anak muda itu hanya ingin tahu
Sampai kapan kekuasaan itu akan berlalu
Yang tak berbatas langit dan tak berbatas mimpi
Yang terkemas dalam surat perintah rapi
Terbungkus palsu sejarah berwindu windu.

Anak anak muda itu hanya ingin bertanya
Mengapa kelaparan semakin mendera
Mengapa derita dan kekurangan merajalela
Di tengah maraknya segala tipu daya penguasa
Merengguk harta bumi nusantara.

Mengapa anak anak negeri masih juga menanggung lapar
Mengapa anak anak negeri masih juga mati di usia dini
Mengapa ibu ibu muda terpaksa pergi untuk selamanya
Anak anak negeri ini tak mampu lagi berdiri
Tak mampu berlari mengejar mimpi
Seonggok harapan menggapai masa depan selalu sirna
Bersama derita dan kemelaratan.

Tak ada kata kata bijak
Tak ada pesan pesan sejuk
Tak ada ungkapan menjawab sedu sedan itu
Hanya hiruk pikuk retorika
Teriakan lantang demi stabilitas kekuasaan.

Ledakan peluru yang menyambut anak anak muda itu
Terenggut hidup dari impian masa depan
Terenggut kasih dari bapak, ibu dan saudara
Terenggut persahabatan di akhir perjalanan
Ah hidup ternyata begitu singkat untuk mereka
Gugur dalam dekapan bumi pertiwi
Nama nama mereka terukir dalam sejarah
Rintihan kesunyian mereka akan terngiang sepanjang masa.
(Manila, 24 Juni 2007)

(Dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 25 Juni 2007)

Saturday, June 23, 2007

Nyanyian sunyi

Bangun pagi kesepian terasa mendera. Buka email, ada beberapa pesan singkat masuk. Sapaan ringan dan salam sejahtera dari teman maya yang belum pernah bertemu. Dan mungkin tidak akan pernah bertemu. Dalam kesenyapan seperti ini kadang merupakan kesempatan yang pas untuk mengenang kembali peristiwa masa lalu. Kesalahan, kesedihan dan kebahagian yang telah berlalu bersama waktu.

Saya menulis singkat kisah perjalanan bersama Endang EMSA tiga puluh tahun lalu. Episode antara 1972 - 1974. Saya kirimkan ke Koki Kompas Cyber. Nggak tahu akan muncul kapan. Nggak penting. Yang penting bisa menelusuri kembali kisah kisah itu dan menuangkannya dalam tulisan. Tak ada niat untuk selalu mengingatnya. Hanya dalam kesunyian kesunyian seperti inilah, kesempatan untuk merenung kembali masa lalu. Kesunyian adalah nyanyian kehidupan. Saya akan menikmatinya sepanjang perjalanan waktu yang tersisa. Nyanyi sunyi, nyanyian jiwa yang mengembara di dunia maya.

Minggu depan akan ke Yogya dan Ambarawa. Khusus akan melihat sumber sumber air di sekitar Ambarawa. Jika sumber sumber air itu menyusut, itulah pertanda susutnya dukungan lingkungan untuk manusia. Perjalanan waktu juga bersama menyurutnya lingkungan dan sumber air.

Cerita cinta dari keremangan pohon jambu

Tak bermaksud menghujat atau melecehkan siapapun. Hanya satu ungkapan episode singkat perjalanan cinta yang telah lewat di makan waktu. Kisah masa muda. Bukan pula cinta pertama. Kisah cinta monyet itu pernah saya ceritakan sebelumnya. Terjadi semasa SMP. Ini kisah singkat pengalaman pacaran yang pertama kali.

Masa masa SMA di Solo, tak ada pertemanan dengan wanita. SMA St Josef yang muridnya semua laki laki. Jika berbaris rapi, semua pakai tongkat. Tak ada cerita romantis. Tak ada dalam kamus waktu itu pertemanan dengan wanita. Baru sesudah masuk perguruan tinggi, masa pancaroba langsung mulai. Mula mula pada waktu perplocoan, tak ada yang menarik. Semuanya kusam dan kuyu. Yang laki gundul seperti tuyul. Yang wanita tanpa tanpa gincu, wajah sayu. Rambutnya diikat tanpa aturan.

Hanya pas pesta penutupan baru mata bisa memandang. Wajah wajah ceria lepas dari dera perploncoan yang tak manusiawi. Ternyata banyak yang cantik dan menarik. Dunia tak selamanya kusam dan kuyu. Boleh tahan istilah di negeri jiran. Orang Jakarta bilang 'siip deh lu'. Tetapi orang Yogya biasanya malah berdoa kalau lihat orang cantik 'amit amit wolo wolo kuwato" (semoga kuatlah hati ini). Kelompok kami yang dari Solo selalu tenang. Masih asing di Yogya. "Aja kagetan, aja gumunan" (Jangan kaget, jangan gumun). Walaupun baru pertama bertemu wanita. Harus tahan harga dan tahan banting. Tetapi hidup mulai terasa bergairah sesudaj depresi karena perploncoan Mamakonga (Masyarakat Mahasiswa Kompleks Ngasem).

Ada kejutan kultural awalnya. Di Solo kalau bicara dengan kenalan wanita, memakai bahasa Jawa halus, kedua tangan di depan. Sangat formal dan sopan. Apalagi dengan gadis njeron mbeteng di lingkungan kraton. Ada dua gadis yang sangat anggun dan berwibawa, Sekartaji dan Saraswati. Memandangpun saya selalu kalah wibawa, walau hati berdesir. Di Yogya, masuk UGM kumpul mahasiswa dari berbagai pelosok tanah air. Sangat langsung dan terbuka. Masih ingat pagi pagi, kami berdua dengan seorang teman dari Solo, Amad, cari tempat duduk paling depan untuk kuliah kimia. Gurubesarnya kalau ngomong hanya bisik bisik.

Kami harus berangkat subuh untuk menaruh buku di kursi barisan depan. Nanti jam 6 kembali ke kost untuk mandi dulu. Kuliah baru mulai jam 700. Ada teman putri yang lihat kami belum mandi. "Bung, tampangmu semrawut bangun pagi. Bujang lapuk" Gadis Solo nggak akan ngomong gitu. Tapi ini Yogya, lain kota lain kata. Teman saya hanya bicara pelan. "Belum tahu siapa kita. Dia akan datang minta tolong" Kami sangat percaya diri. Ujian akhir SMA rangking satu dan dua dari seluruh SMA di SOLO jurusan Pengetahuan Alam. Jika tak istimewa betul gadis secantik apapun nggak masuk kamus.

Sewaktu mata pelajaran semakin sulit, terutama fisika, praktis mahasiswa harus saling belajar kelompok. Saya selalu taat bersama teman2 dari Solo sampai satu saat seorang teman wanita bernama Nana ngajak kami main sekaligus belajar bersama. Rumah kostnya di Bintaran. Saya di Gerjen. Dia bersama kelompoknya, salah satu yang mengatakan kami bujang lapuk itu. Ini seolah pucuk dicinta ulam tiba, bagi saya. "Bung Nana sama kelompoknya pengin ngajak kita belajar bersama". Apa kata Amad, teman dri Solo ?. "Ki, kita ini bukan laki laki murahan. Tahan harga." Dia pengagum fanatik putri Solo. Nyanyian nyanyian kecilnya hanya sekitar lagu Putri Solo, Bengawan Solo dan Tirtonadi. Gemar nonton wayang kulit semalam suntuk, terutama jika sinden dan dalangnya dari Solo. Kadang kadang saya dengar pelan melantun Hei Jude, dari the Beattle. Lagu Indonesia Raya dia tak hapal benar, kena setrap waktu plonco.

Guru Inggris semasa SMA, seorang pastur, selalu mengingatkan "Jangan sekali sekali menolak uluran seorang wanita. Akan kecewa seumur hidup". Nasehat ini lebih menarik dari pada masalah tahan harga. Setelah berbagai manuver akhirnya sepakat, ada tiga laki laki termasuk saya. Satu dari Palembang Achdy dan satunya dari Riau, Rusli. Keduanya belum paham mana putri Solo mana bukan. Dan tiga rekan wanita, Nana, Ria dan Eni. Tiga tiganya dari luar Yogya. Sepakat belajar bersama.

Bahasa mereka lugas dan lepas. Kami cepat akrab. Selalu ramai ramai bersama, praktikum, belajar, kuliah. Gadis gadis manis, ceria. Kuliahpun suka cekikikan. Amad dan kawan kawan dari Solo sewaktu lihat kami sering bersama mereka, komentarnya langsung 'Ki kok anda punya kelompok Tiga Dara Sitombut". Memang secara fisik ketiganya agak sedikit subur untuk ukuran Solo. Mereka ini selalu bilang mbodi (amba tur gedhi; lebar dan besar). Tak perlu saya jelaskan, malah dikira melecehkan ukuran tubuh. Mau setumbut mau silinder, mau amba mau gedhi, bukan urusan saya.

Lagu Putri Solo menggambarkan gadis Solo yang gemulai, berjalan seperti harimau lapar, lambaian tangannya seperti lambaian daun kelapa terterpa angin. Suaranya mengalun berbisik lembut. Bahkan dulu guru saya di SR bilang, "Anak anak, yang namanya putri Solo itu, kalau nginjak tahu ayam pun nggak akan penyet". Begitu halus, mungkin kayak Lembayung. Lagu putri Solo di tahun enampuluhan sampai memberi kan kesan begitu dalam terhadap penggemarnya, walau mungkin nggak selamanya benar. Nyatanya teman saya dri Solo yang sekarang jadi anggota cabinet itu, galaknya bukan main, tukang becak seluruh Mangkubumen takut sama dia.

Mulanya biasa saja. Berjalan normal platonis. Belajar kadang bergurau. Tak tahunya, lama lama kok makin asyik. Sering saling meledek, memasang masangkan (macokke, Jawa). Mulai berubah suasana. Achdy, merasa nggak enak, lalu jarang ikut. Sementara Nana sama Rusli semakin asyik. Saya sama Eni, rasanya kok berdesir setiap ketemu (ambil istilah dari La Rose). Nggak ada capeknya ketemu. Kadang saya berpikir, jangan jangan ini katuh cinta. Something was not normal. Tetapi saya terus diam.

Sampai satu saat Nana bilang. 'Ki kok kamu pasif amat. Proaktif dhong. Kasihan Eni". Proaktif gimana, pikir saya. "Datanglah ke rumah Eni Sabtu malam, dia pasti senang". Kalau dipikir pikir, nggak ada jeleknya juga. Belum pernah main ke teman wanita, Sabtu malam. Persiapan berminggu minggu. Akhirnya suatu Sabtu sore, saya beranikan datang. Dia tinggal bersama embahnya. Saya masih ingat berpakaian baju putih warna kesayangan waktu itu. Tak lupa bawa sangu permen atau pastiles, seperti pesan Nana. Katanya ini modal apel hari Sabtu. Taruh di meja, sebagai kode, kalau dia ambil, pasti mau itu. Dan jangan grusa grusu, harus tenang. Ini nasehat Nana. Nana sama Rusli sudah jelas dalam tahap berpacaran, walau belum tetap.

Seperti malam malam Minggu sebelumnya, Eni selalu ditemani neneknya. Malam itu juga, kami ngobrol bersama beliau. Kelihatan sayang sekali sama Eni. 'Sokur sampeyan main ke sini, bisa nemani Eni, nggak sepi". Kami asyik ngobrol kesana kemari. Kata katanya selalu teratur, tenang tak meluap luap. Wajahnya semakin sendu merayu. Matanya selalu redup menerawang romantis. Semakin malam semakin tambah kelihatan cantik. Sewaktu lihat kotak permen itu saya taruh di meja, dia diam tak bereaksi. Malah neneknya yang berulang kali ambil sambil cerita. Saya mulai keder. Saya nggak konsentrasi lagi ngobrol. Dengan permen ini jangan jangan salah umpan.

Lewat jam sembilan saya pamit. Hati lunglai. Dia nggak bereaksi dengan permen itu. Ini pengalaman pertama tertolak walau saya nggak bicara apa apa tentang cinta. Lebih baik action dari pada omong cinta. Sepeda tua saya saya taruh dibelakang. Dibawah pohon jambu. Di tempat gelap, biar aman. Nggak ada kunci, nggak ada lampu. Sepeda tua itu teman setia di Yogya. Nggak punya brompiet atau udhug, kayak Josh Chen. Modal sepeda tambah permen.

Eni mengantar saya ke belakang. 'Kok cepet amat, masih sore ?". Hati saya masih penuh teka teki, rancu. Saya ambil sepeda di bawah pohon jambu itu, dalam kegelapan. Tiba tiba Eni, memegang tangan saya erat sekali, menyebut nama saya lirih Ki. Dia memeluk saya mesra. Saya tak bisa bereaksi normal, tangan saya pegang sepeda. Tetapi hati saya melayang ke awing awing. Ciuman pertama saya rasakan dalam hidup saya. Hanya beberapa menit. Saya terpana. Gemetar dan sewaktu tangan saya ingin menggapainya, suara keras 'gubraaaak', sepeda lepas dari pegangan ambruk menimpa pot bunga. Tak siap benar, jika tahu ada kejutan, pasti sepeda itu saya taruh dulu. Sang nenek teriak dari dalam. 'Eni, ada apa?". Saya bergegas pergi. Hati bernyanyi, naik sepeda seperti naik permadani terbang.

Saya masih ingat sampai di rumah ada cap merah di baju saya. Cemaran cat kimia, tapi tak apa dari gincu Eni. Nggak mikir merknya apa. Apapun merknya saya bahagia. Sekarang ibu ibu yang suka pakai gincu bermutu tidak baik, biasanya selalu ngecap di bibir cangkir atau gelas. Baju saya lipat dan taruh di atas meja belajar. Maksudnya sih mau disimpan dulu, ada capnya untuk kenangan. Tahunya sewaktu saya pergi kuliah, dicuci sama pembantu. Kecewa tapi nggak bisa apa apa. "Gus bajunga kelunturan warna merah. Sudah saya cuci". Saya hanya diam. Cap ini susah dicari lagi.

Hari hari kemudian hanya terasa indah. Bersemangat. Beberapa minggu kemudian ada perayaan sekaten. Pengin keluar sama Eni, ternyata nggak diijinkan sang nenek. Mungkin kawatir mungkin curiga. Nggak tahu. Teman saya yang lain dari Solo, Ben yang kemudian minta ijin ke neneknya. Diijinkan, dan kami bertiga jalan jalan. Menyusuri jalan sekitar alun alun utara, kantor pos dan Malioboro. Makan satai di utara alun alun.

Pulang naik becak bertiga. Hujan rintik rintik hingga becak harus ditutup. Bolak balik Ben manggil saya "Ki are you OK". Mungkin dia curiga. Sial, lewat kampung Langenastran, becak terbalik masuk parit. Saya di bawah, ketindih becak bersama Eni nggak bisa bergerak. Ben bisa loncat duluan. Eni tanya"Are you OK dear, sambil mencium cepat cepatan. Tukang becak bloon itu payah betul. Kaki saya yang ditarik, bukan becaknya yang dibalik. Pulang Ben menggerutu, kamu sama Eni bikin tukang becak itu nggak konsentrasi.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Awalnya serba indah. Di tahun kedua hubungan merenggang. Akhirnya terasa meynyesakkan. Di akhir pekan dia banyak dikunjungi karbol (taruna Akabri). Mereka memang gagah. Pakaian lengkap, sepatu bersih dan kinclong. Ayahnya memang pejabat tinggi militer. Saya pikir, ya sudahlah enaknya nggak seberapa, malah stress nggak tenang. Rusli dan Nana sudah nggak lagi pacaran. Nana pacaran sama karbol, Rusli dapat mahasiswa KG, sampai ke pelaminan.

Ah hanya cerita masa lalu. Di keremangan pohon jambu. Amad kawin dengan gadis Solo sampai sekarang. Kesenangan lagunya sudah banyak berkembang. Katanya seneng musik klasik. Ahli jantung terpandang, tak cuma di Indonesia. Eni bahagia dengan suami tercinta. Nana terakhir kirim email setelah puluhan tahun tak kontak. Dia diundang sebagai seorang ahli dari Indonesia dalam konsultasi antar negara di badan dunia di Geneva. Suaminya ternyata dari sipil. Nyi Ageng tahu cerita ini, walau tak detil. Yang berat kalau menantu saya, bisa cerita ke cucu saya, Rio yang pasti akan tanya. Tetapi jamannya memang jaman keterbukaan dan transparansi. Masa telah berlalu bersama perjalanan waktu.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 21 Juni 2007

Wednesday, June 13, 2007

A lost birthday

Today, thirteenth of June, is the birthday of my son, Moko, who passed away almost ten years ago. He tragically died due to unexpected traffic accident in 13th December 1997.

It was Friday, and he was on his way home from school that afternoon. A recklessly driven car hit him in the street close to our house. That was the last journey in his life. A journey that never reach its destination. The last journey that terminated his everything. His dream, his imagination for a happy and bright future.

He would have been twenty seven years of age by now. If that accident did not happen. If that reckless driver had cautious mind for the safety of other people in the street. The accident suddenly changed everything, nothing is left, only memory. It will be forever and nothing will come back.

Moko or Saworo Tino Triatmo, was a happy young boy. He loved his friends and family. He had many dreams to pursue. He had many imagination for his future. We love him so much. All of a sudden everything changed, everything ended. Just because somebody drove recklessly, having no concern of others safety.

He was very close to me. I remember the last birthday ten years ago. We had dinner with him. Just a simple dinner. He was a little bit quite as he was concentrating for his final year exam. He wanted to go to medical school if he passed the exam. This never comes true.

He was born in 1980 when I was in Newcastle (UK). I was waiting for the news from home those days. The news about the baby. It came to me a few days after he was born. It was a boy and I gave him a name Saworo, meaning news. We rarely celebrated his birthdays those years. He was always happy with all his friends.

Every time his birthday comes, just like today, I try to remember the happy and cheerful time we had with him. But finding only sorrow and deep feeling of missing. The loss and sadness will never end. It will be forever. I hope he is happy out there. I want to fly, my thoughts flying through the sky, just want to say hello and to hug him. His birthday is always a lost birthday forever. I keep waiting and waiting until the time comes when I can see him somewhere out there.

Manila, 13 June 2007

Saturday, June 2, 2007

Hukuman mati

Berita mengejutkan itu sampai ke saya pagi ini. Saya datang ke kantor pukul 800. Agak terlambat ok semalam tidak bisa tidur, jam 300 masih di komputer. Salah seorang staff memberikan print out berita BBC, 29 Mei 2007, tentang hukuman mati yang dijatuhkan kepada mantan Komisioner, State Food and Drug Administration (SFDA) RRC (http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6699441.stm) . Berita mengenai proses penahanan sudah tersebar di media masa Barat sejak beberapa bulan lalu.

Siang hari sewaktu saya pulang makan siang sekalian ambil cell phone yang ketinggalan, sempat memperhatikan tayangan berita AlJazeera. Dengan jelas ditayangkan saat vonis dijatuhkan terhadap Mr. Zheng Xiaoyu. Wajahnya sangat pucat dan sayu. Dia terduduk lemas. Saya tertegun dan sedih. Saya kenal secara pribadi walaupun tidak dekat.

Beberapa kali bertemu dalam pertemuan resmi. Beberapa kali saya diundang makan malam atau makan siang secara resmi. Dia pribadi yang tenang dan sabar. Wajahnya masih tampan dan menarik. Perawakannya tinggi dan langsing seperti halnya penduduk Cina Timur Laut. Saya pernah menyanyi Burung Kakak Tua setelah dia menyanyikan lagu dari daerah asalnya di HongKong di tahun 2002.

Di dituduh menerima suap 6.5 juta yuan selama menjabat sebagai Komisioner untuk memberikan ijin produksi dan peredaran obat. Hampir sebanyak 170 000 ijin yang dikeluarkan selama dia menjabat diragukan mutu dan keabsahannya. Saya tak akan berkomentar tentang segi hukum atau benar tidaknya tuduhan itu.

Masalah yang dihadapi negara tirai bambu ini dalam produksi dan peredaran obat sangatlah kompleks. Di satu pihak setelah reformasi dan kebijakan pasar bebas, telah terjadi peningkatan pesat kapasitas produksi obat obatan. Beberapa tahun lalu terdapat lebih lima ribu pabrik. Kemampuan untuk produksi obat yang baik masih tidak merata di semua pabrik. Kemampuan dan efisiensi pengawasan terhadap mutu dan keamanan melalui sistem registrasi dan inspeksi juga relatif terbatas.

Sebagian pabrik ini milik pemerintah dan produksinya harus diserap pasar. Dalam kondisi berlimpahnya produksi inilah banyak terjadi persaingan tidak sehat. Kadang2 obat yang tak memenuhi syarat mutu masuk ke pasar bahkan sering merembes ke pasar di negara2 lain.

Banyak keluhan dari negara2 lain. Terutama yang tidak mampu mencegah masuknya obat secara tidak legal, karena tidak berfungsinya pengawasan pasar secara optimal seperti negara2 delta Mekong. Selain obat obat yang mutunya sering dibawah standard, ada kecurigaan bahwa Cina sumber utama obat palsu. Sebagian benar.

Kebijakan pengawasan obat termasuk hal yang strategis di banyak negara. Banyak kejadian pejabat berwenang di bidang kebijakan pengawasan produksi dan peredaran obat diseret ke pengadilan. Mungkin karena memang murni penyelewengan dan korupsi, mungkin juga karena ketidak-efisienan sistem pendaftaran dan pengawasan.

Saya yakin sekali bahwa peredaran obat dibawah standard dan obat palsu ini sama sekali tidak melibatkan para pemegang kebijakan di Cina. Mereka juga telah bekerja keras untuk memeranginya di dalam negeri, walaupun mereka menolak ikut dalam sistem peringatan dini yang dikembangkan di tingkat regional. Banyak produsen obat palsu dan illegal juga telah di tangkap di Cina. Perkara menerima uang suap, saya nggak berkompeten untuk berkomentar.

Saya hanya berdoa agar vonis ini bisa diubah lebih ringan. Memang tidak mudah untuk melakukan pengawasan secara efektif jika system pengawasan belum berkembang penuh dan jumlah produsen yang harus diawasi demikian banyak. Jangan sampai hukuman dijauhkan hanya untuk menunjukkan ke dunia luar bahwa pemerintah mereka mengambil langkah serius dalam memerangi korupsi dan peredaran obat dibawah standard dan obat palsu.

Negara negara Eropa, Pasifik termasuk Australia dan New Zealand telah menghapuskan hukuman mati. Negara negara seperti USA, Jepang, India, Singapura, Malaysia, Indonesia, Korea Selatan, Taiwan masih memperlakukan hukuman mati untuk kejahatan berat seperti pembunuhan. Menurut Wikipedia, di tahun 2006, negara negara ini paling banyak melakukan hukuman mati. Cina (1010 kasus), Iran (177), Pakistan(82), Irak (65), Sudan (65), dan USA (53).

Banyak pro dan kontra akan hukuman mati. Saya tak berkompeten memberikan komentar. Moga moga ada penggemar Koki yang lebih berkompeten untuk menulis di kolom ini. Saya hanya berdoa agar Zheng Xiaouyu lepas dri hukuman tembak. Istri dan anaknya juga ikut ditangkap.

Ki Ageng Similikithi

(Telah dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 2 June 2007)